Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH BAHASA INDONESIA

PENINGKATAN PEMASARAN BERAS LOKAL TERHADAP PERSAINGAN


BERAS IMPOR

DOSEN PENGAMPU
RAFSANJANI, S. Pd., M. Pd.

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
DIWANI FARA SAGITA 221310014
GUGUN HENDRAWAN 221310237
SELVI ANDINI 221310175
SYARIFAH MARSYELLA WIDIATNI 221310134
WINDI AHMAD PIJAR 221310224
YUNNY MELLYANTI 221310200

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
PONTIANAK
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga makalah
ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
pikiran maupun materi.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk
itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Pontianak, November 2022

Kelompok 3

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................................2


Daftar Isi ..................................................................................................................3
Bab I
Pendahuluan ............................................................................................................4
1.1. Latar Belakang ...........................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah .....................................................................................7
1.3. Tujuan .........................................................................................................7
Bab II
Pembahasaan ...........................................................................................................8
2.1. Impor Bahan Pangan .................................................................................8
2.2. Dampak dan Sosuli Untuk Pemasaran Lokal Terhadap Adanya Beras
Impor ...........................................................................................................11
2.3. Pemasaran Beras di Indonesia ..................................................................16
Bab III
Penutup ....................................................................................................................21
Daftar Pustaka..........................................................................................................22

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara agraris yang mempunyai kekayaan


sumber daya alam yang melimpah. Hal ini terbukti dengan keadaan tanah Indonesia
yang sangat subur. Negara Indonesia memiliki peran penting sebagai produsen
bahan pangan di mata dunia. Indonesia adalah produsen beras terbesar ketiga dunia
setelah China dan India. Kontribusi Indonesia terhadap produksi beras dunia sebesar
8,5% atau 51 juta ton. China dan India sebagai produsen utama beras berkontribusi
54%. Vietnam dan Thailand yang secara tradisional merupakan negara eksportir
beras hanya berkontribusi 5,4% dan 3,9%.
Dalam konteks pertanian umum, Indonesia memiliki potensi yang luar biasa.
Kelapa sawit, karet, dan coklat produksi Indonesia mulai bergerak menguasai pasar
dunia. Namun, dalam konteks produksi pangan memang ada suatu keunikan. Meski
menduduki posisi ketiga sebagai negara penghasil pangan di dunia, hampir setiap
tahun Indonesia selalu menghadapi persoalan berulang dengan produksi pangan
terutama beras. Produksi beras Indonesia yang begitu tinggi belum bisa mencukupi
kebutuhan penduduknya, akibatnya Indonesia masih harus mengimpor beras dari
negara lain.
Selain beras, bahan pokok lainnya seperti kedelai, tepung, cabai, bawang
merah, singkong, daging sapi dan hortikultura pun harus diimpor dari luar negeri.
Hal ini sangat memprihatinkan, mengingat Indonesia merupakan negara agraris
yang kaya akan sumber daya alam yang melimpah. Indonesia sebagai negara agraris
diharapkan mampu mencukupi kebutuhan pangan warga negaranya dari produksi
dalam negeri. Kenyataanya, Indonesia masih mengimpor pangan dari luar negeri
dan di pedesaan masih banyak penduduk yang mengalami kelaparan. Jadi,
pernyataan bahwa negara Indonesia adalah negara agraris patut dipertanyakan.
Istilah ekspor impor hakikatnya merupakan sebuah transaksi jual beli barang
yang dilakukan oleh perseorangan ataupun perusahaan yang berbeda wilayah
ataupun melintasi batas negara. Berkembangnya transaksi ekspor impor tidak hanya

4
untuk memenuhi kebutuhan sebuah negara saja, melainkan dalam upaya
meningkatkan laju perekonomian, pembangunan dan juga memberikan lapangan
pekerjaan. Berbicara mengenai ekspor impor, pada 15 Januari 2018 pemerintah
melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengumumkan rencana impor beras
sebanyak 500.000 ton (Impor Jilid I) dari Vietnam dan Thailand dalam rangka
mengamankan pasokan beras dan pengendalian harga ditingkat konsumen.
Pemerintah beralasan bahwa pemerintah tidak ingin permasalahan kekurangan
menjadi sebuah kekhawatiran, sebab berdasarkan data Perum Bulog, stok yang
dimiliki saat itu kurang lebih berkisar 903.000 ton, padahal jumlah konsumsi beras
di Indonesia rata-rata sebulan 2,3 dan 2,4 juta ton.1 Selain permasalahan stok beras,
harga beras medium yang meningkat melebihi harga tertinggi juga menjadi
pertimbangan pihak Kementerian untuk melakukan impor beras. Dengan kata lain,
menipisnya stok beras dan juga tingginya harga beras medium di pasaran menjadi
indikasi bahwa jumlah stok beras yang ada untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
tidaklah aman.Atas dasar persoalan tersebut, Kementerian Perdagangan (Kemendag)
melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 1 Tahun 2018 tentang
Impor dan Ekspor menunjuk PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) sebagai
importir pelaksana impor beras yang kemudian dalam penunjukannya tersebut
menimbulkan polemik karena dianggap bertentangan dengan aturan wewenang
impor beras sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d Peraturan
Presiden (Perpres) No 48 Tahun 2016 dan diktum ketujuh angka 3 Instruksi
Presiden No 5 Tahun 2015 yang kemudian penujukan itu dibatalkan dan dialihkan
kepada Badan Umum Urusan Logistik (Bulog) yang memang berwenang dalam
mengadakan persediaan pangan dan juga menciptakan stabilitas harga beras.
Ketidakcermatan Kemendag dalam memberikan kewenangan impor tersebut
mengindikasikan adanya pengambilan keputusan yang tergesa-gesa dan kurang
memperhatikan prinsip kehati-hatian. Tentunya ini merupakan hal yang fatal bagi
Kemendag selaku pihak Kementerian yang diberikan mandat untuk menjamin
terselenggaranya tugas pemerintahan dengan baik. Sebelumnya Ombudsman juga
mengungkapkan adanya indikasi pelanggaran atau maladministrasi yang antara lain

5
terkait kurangnya kehati-hatian dalam melakukan impor, serta soal kewenangan
impor, termasuk penyampaian informasi stok yang tidak akurat.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di Asia Tenggara yang selama
ini dikenal sebagai negara agraris sekaligus negara pengekspor beras terbaik di
dunia karena tanahnya yang subur dan baik untuk bercocoktanam padi. Masih
terekam jelas di benak kita ketika Indonesia berhasil memenuhi kebutuhan pangan
dalam negeri khususnya beras dengan kapasitas produksi sebanyak 25,8 juta ton per
tahun, hingga pemerintah Indonesia saat itu menerapkan kebijakan bahwa seluruh
bangsa Indonesia harus makan nasi (beras) dan melakukan swasembada beras pada
tahun 1982. Tidak hanya itu, keberhasilan Indonesia dalam memproduksi beras
dengan jumlah yang besar juga membuatnya pernah mendonasikan 1 juta ton padi
kering kepada rakyat Afrika yang kala itu dilanda kelaparan. Namun, keberhasilan
itu kini menjadi kenangan. Saat ini, Indonesia harus menerima kenyataan sebagai
pengimpor beras terbanyak disetiap tahunnya untuk mencukupi kebutuhan beras
dalam negeri. Pemerintah sendiri mengklaim bahwa kebijakan impor dilakukan
untuk mengamankan stok beras dalam negeri agar tidak kekurangan dan untuk
menghindari melonjaknya harga beras di dalam negeri. Pada bulan April 2014, BPS
mencatat bahwa impor beras pada bulan tersebut merupakan yang terbanyak yang
diimpor dari India sebanyak 13.445 Ton (US$4,9 Juta), Thailand sebanyak 11.450
Ton (US$4,8 Juta), Pakistan sebanyak 3500 Ton (US$1,3 Juta), dan akumulasi
negara-negara lainnya sebanyak 2250 Ton (US$711 Ribu). Pemerintah sendiri
mengklaim bahwa langkah ini diambil karena tingginya permintaan beras di dalam
negeri yang ih didominasi oleh sektor perhotelan dan restoran menjelang ramadhan
sehingga memicu peningkatan volume impor beras pada bulan april 2014. Apabila
diakumulasikan pada 4 bulan terakhir (Januari-April), impor beras sudah mencapai
94.942 Ton (US$40,4 Juta). Tentu saja langkah pemerintah ini dapat mengancam
eksistensi beras lokal di pasar dalam negeri, mengingat daya saing beras lokal
semakin melemah baik dari segi harga hingga kualitas dibandingkan dengan beras
impor. Kualitas beras lokal yang semakin tertinggal apabila dibandingkan dengan
beras impor tentu makin memperlemah daya saing beras lokal. Sebagai contoh,
harga termahal beras premium eks Vietnam hanya Rp 8.700/Kg atau setara dengan

6
beras kualitas medium dari dalam negeri. Bahkan beras 'super' eks Vietnam tersebut
hanya dijual Rp 7.000/Kg. Murahnya harga beras non lokal membuat permintaan
akan beras non lokal melonjak dan perlahan mulai mendominasi pasar lokal.
Merosotnya kualitas beras lokal sebenarnya sudah sangat lama terjadi tepatnya saat
revolusi hijau mulai digalakkan oleh pemerintah orde baru. Revolusi hijau sendiri
merupakan usaha pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi
pangan. Peningkatan produksi tersebut dilakukan dengan cara mengubah sistem
pertanian tradisional menjadi pertanian modern, yakni dengan penggunaan teknologi
yang lebih maju dari waktu sebelumnya. Jadi, revolusi hijau terletak pada
pemanfaatan hasil penemuan teknologi up to date. Bila dilihat dari definisinya,
revolusi hijau sudah menjadi langkah nyata pemerintah dalam meningkatkan sektor
pertanian dengan mengimplementasikan teknologi-teknologi terbaru. Faktanya,
keadaan di lapangan justru berbanding terbalik dengan nilai-nilai positif yang
terkandung dari definisi dan tujuan Revolusi Hijau itu sendiri. Penerapan teknologi-
teknologi di bidang pertanian sangat berlawanan dengan kaidah ekologi yang
seharusnya dijaga sehingga melahirkan beberapa dampak negatif

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang dapat diambil
adalah sebagai berikut :
A. Apa dampak yang terjadi pada beras lokal terhadap beras impor ?
B. Bagaimana pemasaran beras lokal ?
C. Bagaimana pengaruh adanya beras impor ?

1.3. Tujuan
Tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut :
A. Mengetahui dampak yang terjadi pada beras lokal terhadap beras impor
B. Mengetahui pemasaran beras lokal
C. Mengetahui pengaruh dari adanya beras impor

7
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Impor Bahan Pangan


Impor bahan pangan disebabkan oleh negara Indonesia memiliki potensi yang luar
biasa di bidang pertanian. Kelapa sawit, karet, dan coklat produksi Indonesia mulai
bergerak menguasai pasar dunia. Namun, dalam konteks produksi pangan memang ada
suatu keunikan. Meski menduduki posisi ketiga sebagai negara penghasil pangan di
dunia, hampir setiap tahun Indonesia selalu menghadapi persoalan berulang dengan
produksi pangan sehingga harus mengimpor bahan pangan dari luar negeri. Impor bahan
ini disebabkan oleh berbagai hal diantaranya :

1. Jumlah penduduk yang sangat besar


Salah satu penyebab utama Indonesia mengimpor bahan pangan adalah jumlah
penduduknya yang sangat besar. Data statistik menunjukkan pada tahun 2012
penduduk Indonesia sejumlah 230-237 juta jiwa. Hal ini membuat kebutuhan
pangan di Indonesia menjadi semakin besar. Akibatnya, produksi pangan di
dalam negeri tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan seluruh masyarakatnya
sehingga Indonesia harus mengimpor bahan pangan dari luar negeri.

2. Ketergantungan mengkonsumsi beras


Seluruh masyarakat Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokok.
Dengan besarnya jumlah penduduk di Indonesia maka kebutuhan beras pun
menjadi sangat besar. Penduduk Indonesia merupakan pemakan beras terbesar di
dunia dengan konsumsi 154 kg per orang per tahun. Bandingkan dengan rerata
konsumsi di China yang hanya 90 kg, India 74 kg, Thailand 100 kg, dan
Philppine 100 kg. Hal ini mengakibatkan kebutuhan beras di Indonesia menjadi
tidak terpenuhi. Walaupun produksi beras Indonesia tinggi tetapi belum bisa
mencukupi kebutuhan penduduknya, akibatnya Indonesia masih harus
mengimpor beras dari negara penghasil pangan lain seperti Thailand. Selain itu,
Indonesia masih mengimpor komoditas pangan lainnya seperti 45% kebutuhan

8
kedelai dalam negeri, 50% kebutuhan garam dalam negeri, bahkan 70%
kebutuhan susu dalam negeri dipenuhi melalui impor.

3. Perubahan Iklim
Faktor lain yang mendorong adanya impor bahan pangan adalah iklim,
khususnya cuaca yang tidak mendukung keberhasilan sektor pertanian pangan,
seperti yang terjadi saat ini. Pergeseran musim hujan dan musim kemarau
menyebabkan petani kesulitan dalam menetapkan waktu yang tepat untuk
mengawali masa tanam, benih besarta pupuk yang digunakan, dan sistem
pertanaman yang digunakan. Sehingga penyediaan benih dan pupuk yang
semula terjadwal, permintaanya menjadi tidak menentu yang dapat
menyebabkan kelangkaan karena keterlambatan pasokan benih dan pupuk.
Akhirnya hasil produksi pangan pada waktu itu menurun. Bahkan terjadinya
anomali iklim yang ekstrem dapat secara langsung menyebabkan penurunan
produksi tanaman pangan tertentu, karena tidak mendukung lingkungan yang
baik sebagai syarat tumbuh suatu tanaman. Contohnya saat terjadi anomali iklim
El Nino menyebabkan penurunan hasil produksi tanaman tebu, sehingga negara
melalukan impor gula.

4. Luas lahan pertanian yang semakin sempit


Penyebab impor bahan pangan selanjutnya adalah luas lahan pertanian yang
semakin sempit. Terdapat kecenderungan bahwa konversi lahan pertanian
menjadi lahan non pertanian mengalami percepatan. Dari tahun 1995 sampai
tahun 2011 terjadi konversi lahan sawah di Pulau Jawa seluas 15 Juta Ha dan 5,7
juta Ha di luar Pulau Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang sama
dilakukan percetakan sawah seluas 0,52 juta ha di Jawa dan sekitar 2,7 juta Ha
di luar pulau Jawa, namun kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti
dengan pengontrolan konversi, tidak mampu membendung peningkatan
ketergantungan Indonesia terhadap beras impor.

5. Mahalnya biaya transportasi

9
Ketergantungan impor bahan baku pangan juga disebabkan mahalnya biaya
transportasi di Indonesia yang mencapai 34 sen dolar AS per kilometer.
Bandingkan dengan negara lain seperti Thailand, China, dan Vietnam yang rata-
rata sebesar 22 sen dolar AS per kilometer. Sepanjang kepastian pasokan tidak
kontinyu dan biaya transportasi tetap tinggi, maka industri produk pangan akan
selalu memiliki ketergantungan impor bahan baku.

6. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat


Faktor-faktor di atas yang mendorong dilakukannya impor masih diperparah
dengan berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah yang semakin menambah
ketergantungan kita akan produksi pangan luar negeri. Seperti kebijakan dan
praktek privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi. Privatisasi, akar dari masalah ini
tidak hanya parsial pada aspek impor dan harga seperti yang sering
didengungkan oleh pemerintah dan pers. Lebih besar dari itu, ternyata negara
dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam
mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor
pangan, kita telah tergantung oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh
segelintir perusahaan raksasa. Privatisasi sektor pangan yang notabene
merupakan kebutuhan pokok rakyat tentunya tidak sesuai dengan mandat
konstitusi RI, yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan
sebesar- besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Faktanya, Bulog dijadikan privat,
dan industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh
perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia
jika tidak bekerja menjadi kuli di sektor pangan, pasti menjadi konsumen atau
end-user. Privatisasi ini pun berdampak serius, sehingga berpotensi besar
dikuasainya sektor pangan hanya oleh monopoli atau oligopoli (kartel), seperti
yang sudah terjadi saat ini. Liberalisasi, disebabkan oleh kebijakan dan praktek
yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF),
serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan
bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara dikooptasi

10
menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi
terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Market
access Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan hingga 0% seperti kedelai (1998,
2008) dan beras (1998). Sementara domestic subsidy untuk petani kita terus
berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain,
export subsidy dari negara- negara overproduksi pangan seperti AS dan Uni
Eropa beserta perusahaan- perusahaannya malah meningkat. Indonesia pun
dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik kita hancur.
Hal ini jelas membunuh petani kita. Deregulasi, beberapa kebijakan sangat
dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti
contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air,
Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang
termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan
regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan
semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara
serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan
konsumsi di sektor pangan. Dengan sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia
kini tergantung kepada pasar internasional (harga dan tren komoditas). Maka
saat terjadi perubahan pola-pola produksi – distribusi – konsumsi secara
internasional, kita langsung terkena dampaknya. Kasus kedelai 2008 ini
sebenarnya bukanlah yang pertama, karena ada kasus-kasus sebelumnya (beras
pada tahun 1998, susu pada tahun 2007, dan minyak goreng pada tahun 2007).
Hal ini akan sedikit banyak serupa pada beberapa komoditas pangan yang sangat
vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar internasional: beras, kedelai,
jagung, gula, singkong dan minyak goreng.

2.2. Dampak dan solusi untuk pemasaran Beras Lokal Terhadap adanya Beras
Impor
Kualitas beras lokal yang semakin tertinggal apabila dibandingkan dengan
beras impor tentu makin memperlemah daya saing beras lokal. Sebagai contoh,
harga termahal beras premium eks Vietnam hanya Rp 8.700/Kg atau setara dengan

11
beras kualitas medium dari dalam negeri. Bahkan beras 'super' eks Vietnam tersebut
hanya dijual Rp 7.000/Kg. Murahnya harga beras non lokal membuat permintaan
akan beras non lokal melonjak dan perlahan mulai mendominasi pasar lokal.
Merosotnya kualitas beras lokal sebenarnya sudah sangat lama terjadi tepatnya saat
revolusi hijau mulai digalakkan oleh pemerintah orde baru. Revolusi hijau sendiri
merupakan usaha pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi
pangan. Peningkatan produksi tersebut dilakukan dengan cara mengubah sistem
pertanian tradisional menjadi pertanian modern, yakni dengan penggunaan teknologi
yang lebih maju dari waktu sebelumnya. Jadi, revolusi hijau terletak pada
pemanfaatan hasil penemuan teknologi up to date. Bila dilihat dari definisinya,
revolusi hijau sudah menjadi langkah nyata pemerintah dalam meningkatkan sektor
pertanian dengan mengimplementasikan teknologi-teknologi terbaru. Faktanya,
keadaan di lapangan justru berbanding terbalik dengan nilai-nilai positif yang
terkandung dari definisi dan tujuan Revolusi Hijau itu sendiri. Penerapan teknologi-
teknologi di bidang pertanian sangat berlawanan dengan kaidah ekologi yang
seharusnya dijaga sehingga melahirkan beberapa dampak negatif. Salah satu
dampak negatif yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan teknologi pertanian adalah
penurunan kualitas dan kuantitas dari hasil panen tanaman budidaya. Hal ini
dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti :
1. Turunnya kualitas sifat fisik tanah dimana akibat penggunaan bahan kimia yang
berlebihan menjadikan tanah lebih keras sehingga mempersulit akar tanaman untuk
berkembang serta mengurasi aerasi di dalam tanah
2. Matinya organisme tanah baik organisme makro ataupun mikro yang berperan
sebagai penyumbang bahan organik pada tanah
3. Berkurangnya populasi musuh alami sehingga mengakibatkan meledaknya
populasi hama (resurgensi)
4. Penggunaan pestisida kimia yang berlebihan sehingga mengakibatkan resistensi
terhadap hama dan peningkatan kekebalan hama terhadap pestisida yang digunakan
Selain disebabkan diluar batasnya penggunaan bahan kimia dalam budidaya.
Penurunan kualitas dan kuantitas juga disebabkan oleh beberapa hal lain, seperti :

12
1. Rendahnya ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh petani lokal sehingga
menghambat munculnya kreativitas untuk berinovasi
2. Masih rendahnya tingkat teknologi yang digunakan dalam berbudidaya sehingga
tidak dapat menghasilkan hasil produksi yang optimal
3. Menyempitnya lahan pertanian yang disebabkan oleh beralih fungsinya lahan
pertanian menjadi perumahan, kawasan industri dan lain-lain
4. Kurangnya rangsangan dari pemerintah terhadap petani untuk mengembangkan
usaha tani yang dimilikinya sehingga usaha tani petani lebih cenderung tidak
berkembang.

Permasalahan yang dihadapi oleh sektor pertanian semakin hari semakin pelik. Mulai
dari alih fungsi lahan, penyempitan lahan, kerusakan lahan hingga ketidakpastian
musim. Belum lagi kesulitan para petani dalam mendapatkan saprodi, tingkat
pengetahuan yang rendah, teknologi yang minim dan kebijakan pemerintah yang kurang
berpihak pada petani. Oleh sebab itu, perlu dirumuskan solusi yang tepat untuk
menyokong keberlanjutan sektor pertanian terutama menjelang AFTA. Sesuai dengan
keadaan dan masalah sektor pertanian yang terjadi di Indonesia saat ini, terdapat 2
macam solusi yang ditawarkan yaitu solusi internal dan solusi eksternal. Solusi internal
sendiri dapat diartikan sebagai solusi yang berhadapan langsung dengan permasalahan
internal petani lokal, diantaranya adalah :

1. Peningkatan IPTEK di kalangan petani

Tidak dapat dipungkiri IPTEK menjadi salah satu faktor penentu berhasil atau tidaknya
suatu budidaya pertanian. Semakin tinggi tingkat teknologi yang digunakan maka
peluang keberhasilan juga akan semakin tinggi dan sebaliknya. Peningkatan IPTEK
yang dimaksud dapat berupa penggunaan varietas unggul baru (VUB) dikalangan petani
dan pengenalan mesin-mesin pertanian terbaru kepada petani

2. Penerapan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)

Salah satu penyebab masih rendahnya produktivitas pada komoditas padi lokal
dikarenakan petani belum menerapkan teknologi pengelolaan tanaman padi secara
terpadu. PTT merupakan salah satu metode peningkatan produktivitas padi lokal

13
melalui penggunaan varietas unggul baru, penggunaan benih bermutu, persemaian,
penggunaan bibit muda, jumlah bibit dan sistem tanam, pemupukan spesifik lokasi,
pengendalian gulma, pengendalian hama dan penyakit, panen dan pasca panen, dan
analisis usaha tani.

3. Pemberian motivasi terhadap petani

Hingga saat ini, dukungan moril terhadap petani sangat minim dan memprihatinkan.
Kurangnya perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian dan petani menjadikan
petani kurang termotivasi dalam melakukan usaha taninya. Akibatnya, banyak petani
lebih memilih melakukan urbanisasi ke kota dan meninggalkan lahan pertanian atau
menjual lahan pertaniannya sehingga tentunya jumlah lahan pertanian akan semakin
berkurang. Melihat hal tersebut, pemerintah hendaknya selalu memotivasi petani.
Pemberian motivasi dapat berupa perlombaan kreativitas dan inovasi kelompok tani se-
Indonesia sehingga dapat memacu semangat dan kreativitas petani

Selain solusi internal, permasalahan petani juga dapat diselesaikan melalui solusi
eksternal yang dapat diartikan sebagai solusi yang berasal dari luar kalangan petani,
seperti :

1. Mengurangi volume impor

Saat ini, produk-produk impor merajai pasaran dalam negeri. Tidak terkecuali bahan
pangan terutama beras. Banjirnya beras-beras impor di pasar dalam negeri saat ini dapat
mematikan eksistensi beras lokal yang secara harga dan kualitas tertinggal dari beras
impor. Melihat hal ini, pemerintah seharusnya mengurangi keran impor demi
menyelamatkan eksistensi beras lokal. Pengurangan volume impor dapat dilakukan
dengan berbagai cara seperti : pembuatan undang-undang yang membatasi volume
impor seminimal mungkin, mengurangi pemberian izin terhadap importir beras impor
serta mengutamakan beras lokal untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat
Indonesia.

2. Pendirian Lembaga Bantuan Keuangan Khusus Petani Indonesia

14
Salah satu hambatan petani untuk berinovasi serta mengembangkan usaha taninya
adalah keterbatasan modal. Melalui pendirian Lembaga Bantuan Keuangan Khusus
Petani Indonesia diharapkan petani dapat lebih terangsang untuk berinovasi maupun
mengembangkan usaha taninya dengan memberikan pinjaman sebagai modal untuk
usaha tani dengan bunga yang rendah.

3. Penerapan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian

Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas dari produksi beras dapat
dilakukan dengan 2 cara yaitu melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Peningkatan
kualitas dan kuantitas produksi beras melalui intensifikasi dapat dilakukan dengan sapta
usaha tani diantaranya adalah pengolahan tanah yang baik, irigasi yang teratur,
pemilihan bibit unggul, pemupukan, pengelolaan hama dan penyakit yang terpadu
(IPM), pasca panen, dan pemasaran. Sementara itu, untuk ekstensifikasi dapat dilakukan
dengan cara perluasan lahan pertanian dan peningkatan jumlah dan kualitas dari tenaga
kerja

4. Penetapan harga jual beras oleh pemerintah

Salah satu upaya untuk menjaga eksistensi beras lokal di pasar dalam negeri adalah
melalui penetapan harga jual beras yang ditentukan oleh pemerintah. Upaya ini
dilakukan untuk menjaga agar harga beras tidak mengalami fluktuasi dan juga untuk
menjamin pendapatan petani. Penentuan harga jual beras haruslah sesuai dengan biaya
produksi yang dikeluarkan petani sehingga tidak merugikan petani serta perlu
disesuaikan dengan daya beli masyarakat agar masyarakat lebih tertarik menkonsumsi
beras lokal.

5. Memfungsikan Sekolah Lapang Petani

Salah satu kelemahan petani lokal adalah kurangnya ilmu pengetahuan yang dimiliki
oleh petani. Dengan memfungsikan sekolah lapang petani, penyuluh turun kelapangan
untuk melihat permasalahan yang terjadi di lapangan serta mengajak petani untuk
menemukan solusi yang baik dan tepat untuk permasalahan yang terjadi pada lahan
mereka serta menganalisis perkembangan tanaman mereka. Sekolah lapang petani
melibatkan dinas pertanian atau dinas terkait dan juga mahasiswa sebagai tenaga

15
penyuluh. Sehingga, diharapkan sekolah lapang petani menjadi sarana diskusi antara
penyuluh dengan petani petani petani.

Keberhasilan sektor pertanian lokal tidak hanya bergantung pada petani tapi lebih
dari itu perkembangan sektor pertanian hendaknya didukung oleh pemerintah dan
masyarakat umum terlebih oleh mahasiswa sebagai kaum akademisi. Maka dari itu,
sudah seharusnya pemerintah dan masyarakat berkomitmen dalam satu langkah bersama
untuk membangun sistem pertanian terutama pada komoditi padi yang lebih baik.
Terutama baik dari segi ramah lingkungan, teknologi yang tinggi, tenaga kerja yang
berkualitas, serta luas lahan yang mencukupi. Sudah saatnya bangsa Indonesia
menikmati hasilnya keringatnya sendiri. Dengan mengkonsumsi beras lokal maka kita
sudah berpartisipasi pada kemandirian pangan Indonesia.

2.3. Pemasaran Beras di Indonesia


A. Kinerja Produksi dan Harga Beras
Indonesia Tanaman padi selama ini dibudidayakan di hampir semua
provinsi di Indonesia sepanjang tahun. Bahkan, di beberapa daerah
penanamannya bisa mencapai 3 kali dalam satu tahun (IP = 3). Walaupun
demikian, berdasarkan data rata-rata 5 tahun terakhir (2008-2012) lebih dari
77,15 persen produksi padi di Indonesia didominasi oleh sumbangan dari 9
provinsi sentra. Provinsi sentra produksi padi didominasi oleh Provinsi Jawa
Timur 17,22 persen (11,23 juta ton), Jawa Barat memberikan kontribusi sebesar
17,20 persen (11,22 juta ton), Jawa Tengah 14,87 persen (9,7juta ton GKG),
Sulawesi Selatan 6,84 persen (4,46 juta ton), Sumatera Utara 5,45 persen (3,55
juta ton), Sumatera Selatan 4,92 persen (3,2 juta ton), Lampung 4,25 persen
(2,77 juta ton), Sumatera Barat 3,35 persen (2,2 juta ton), dan Kalimantan
Selatan 3,0 persen (1,97 juta ton). Kesembilan provinsi sentra tersebut
memberikan kontribusi produksi padi/gabah kering giling (GKG) sebanyak
77,15 persen dan 24 propinsi lainnya hanya memberikan kontribusi sebesar
22,85 persen. Secara rinci provinsi sentra produksi padi berdasarkan angka rata-
rata tahun 2008 - 2012 dapat dilihat pada Tabel .

16
Realisasi panen padi di Indonesia terjadi sepanjang tahun. Secara umum, puncak
panen padi di Indonesia terjadi pada bulan Maret-April dan Agustus. Selain pada
bulan tersebut, walaupun ada realisasi panen padi, terjadi penurunan yang cukup
signifikan. Bulan November merupakan bulan dimana realisasi panennya
merupakan yang terendah setiap tahunnya. Pergerakan harga gabah di tingkat
petani cenderung terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2012 harga gabah
(GKG) di tingkat petani berkisar antara Rp4.200 sampai dengan Rp4.700 per
kilogram. Pada tahun 2011 kisaran harga GKG meningkat menjadi Rp3.500
sampai Rp4.500 per kilogram. Perkembangan harga beras di tingkat konsumen
tidak banyak berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat setiap tahunnya.
Harga beras pada tahun 2012 cenderung lebih tajam dibandingkan dengan tahun
2011. Pada tahun 2011 harga beras berkisar antara Rp7.000 sampai Rp7.800 per
kilogram sedangkan pada tahun 2012 kisaran harga beras meningkat menjadi
Rp7.900 sampai Rp8.200. Harga beras cenderung turun setelah musim panen
raya bulan Maret – Juni. Harga beras di tingkat konsumen terus meningkat

17
sampai akhir tahun 2012. Secara nasional, sejak tahun 2002 hingga 2010 harga
produsen gabah dan harga konsumen beras relatif berfluktuasi namun
mempunyai kecenderungan meningkat, masing-masing sebesar 11,66 persen dan
12,65 persen. Peningkatan harga produsen gabah dan harga konsumen beras
tertinggi terjadi pada tahun 2006 yakni masing-masing sebesar 33,83 persen dan
30,06 persen. Laju peningkatan harga konsumen yang cenderung lebih lambat
membawa dampak marjin harga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Laju
pertumbuhan marjin harga ini pada periode 2002 - 2010 adalah rata-rata sebesar
14,55 persen setiap tahunnya
B. Kinerja perdagangan beras
China merupakan penghasil beras sekaligus konsumen beras terbesar dunia
yaitu dengan total produksi sebesar 136 juta ton dan konsumsinya sebesar 133
juta ton, dengan total stok sebesar 39 juta ton pada tahun 2009/10. Selanjutnya,
India memiliki total produksi sebanyak 89 juta ton dan konsumsi sebesar 86,8
juta ton serta stok sebesar 19 juta ton. Adapun produksi beras Indonesia pada
tahun 2009/10 adalah sebesar 36,4 juta ton, dengan konsumsi sebesar 37,7 juta
ton dan stok nasional mencapai 5,6 juta ton. Indonesia tercatat sebagai negara
penghasil beras nomor 3 di dunia. Namun, China dan India merupakan negara
net eksportir beras, berbeda dengan Indonesia yang menjadi negara net importir
beras. Pada tahun 2010, Filipina merupakan negara importir beras terbesar di
dunia dengan jumlah impor mencapai 2,3 juta ton, diikuti Saudi Arabia dengan
total impor mencapai 1,3 juta ton dan Uni Emirates Arab dengan total impor
sebesar 1,2 juta ton. Thailand adalah negara ekspotir beras terbesar di dunia
dengan total ekspor pada tahun 2010 mencapai 8,9 juta ton, diikuti oleh Amerika
Serikat sebesar 4,5 juta ton; Vietnam mencapai 3,9 juta ton dan India dengan
total ekspor beras sebesar 2,5 juta ton. Pemasaran beras internasional
digambarkan dalam keragaan berikut ini yang mencakup ekspor-impor dan
neraca perdagangan padi Indonesia baik bentuk segar maupun olahan, negara-
negara tujuan ekspor beras Indonesia serta negara-negara asal beras yang
diimpor oleh Indonesia. Selama periode tahun 2008-2012 ekspor total beras
Indonesia mengalami peningkatan baik volume maupun nilainya dengan rata-

18
rata sebesar 33,81 persen dan 44,39 persen. Peningkatan ekspor ini lebih
disebabkan karena peningkatan ekspor yang cukup signifikan pada tahun 2008
dan 2009. Sementara tahun 2010 terjadi penurunan ekspor beras volume maupun
nilainya. Tabel 2 memuat perkembangan volume dan nilai ekspor-impor total
beras Indonesia beserta neracanya pada periode tahun 2011 - 2012. Realisasi
impor beras Indonesia cukup besar dibanding ekspor dan terus mengalami
peningkatan dengan rata-rata sebesar 107,65 persen (volume) dan 5.126,61
persen (nilai). Hal ini menyebabkan neraca perdagangan beras Indonesia selalu
mengalami defisit. Defisit neraca perdagangan beras Indonesia dari tahun 2008 -
2012 relatif berfluktuasi, namun cenderung mengalami peningkatan dengan rata-
rata sebesar 108,39 persen (volume) dan 127,91 persen (nilai). Defisit neraca
perdagangan terbesar pada tahun 2011 yang mencapai 2.743,196 ribu ton atau
setara dengan US$1.507,985 juta (Tabel 2).

Apabila ditelaah lebih lanjut, pada tahun 2010 ekspor beras Indonesia cukup
berimbang antara beras segar 42,62 persen (volume) dan beras olahan 57,38
persen. Namun demikian, kontribusi nilai ekspor beras segar lebih besar
dibandingkan beras olahan, yaitu 80,69 persen. Beras dalam wujud segar
meliputi beras berkulit, beras thai hom mali dan beras ketan. Negara tujuan

19
ekspor beras segar Indonesia pada tahun 2010 sebagian besar adalah ke
Singapura sebesar 306,39 ton atau setara dengan US$404.410 atau 88,75 persen
dari total ekspor beras segar Indonesia. Negara berikutnya adalah Malaysia
sebesar 37,82 ton (setara US$45.860), dan Jerman sebesar 1,01 ton (US$1.360).
Di antara ekspor beras segar Indonesia paling banyak adalah dalam bentuk beras
ketan sebesar 302,4 ton (US$398.630). Seluruh ekspor beras tersebut dikirim ke
Singapura yang merupakan negara tujuan ekspor beras segar Indonesia.
Sementara itu, negara tujuan ekspor beras olahan utamanya adalah ke Singapura
sebesar 367,2 ton atau setara dengan US$47.700, Malaysia sebesar 54,08 ton
atau setara US$8.650 dan Timor Timur sebesar 28,29 ton atau setara
US$33.470. Negara lainnya tercatat besarnya ekspor kurang dari 10 persen dari
total ekspor. Sebesar 93,2 persen beras olahan yang diekspor oleh Indonesia
adalah dalam bentuk dedak, bekatul dan residu beras lainnya. Keragaan impor
beras Indonesia tahun 2010 mengalami sedikit perubahan, di mana importir
utama berasal dari Thailand (tahun 2009) menjadi Vietnam pada tahun 2010.
Pada tahun 2010, impor beras Indonesia juga didominasi oleh beras segar lebih
dari 99 persen (baik volume maupun nilainya) sisanya merupakan beras olahan.
Pada tahun 2010, impor beras segar Indonesia (67,97%) berasal dari Vietnam
yaitu sebanyak 467,37 ribu ton atau setara dengan US$232,92 juta. Berikutnya
adalah impor beras berasal dari Thailand sebesar 209,13 ribu ton atau
US$109,13 juta. Beras segar yang diimpor Indonesia didominasi bentuk beras
giling lainnya 57,76 persen dari total beras yang diimpor atau setara dengan
397.130 ton, diikuti dengan beras ketan (21,24%), beras pecah (19,64%), selain
itu beras yang diimpor dalam wujud beras pecah >25 persen, beras berkulit
(gabah), beras berkulit lainnya, dan beras setengah matang. Sementara, realisasi
impor beras olahan Indonesa pada tahun 2010 sangat kecil dibandingkan dari
total impor beras. Negara asal beras olahan yang masuk ke lndonesia pada tahun
2010 yaitu Australia (bentuk olahan berupa tepung beras dan sake) dan
Singapura (bentuk Olahan berupa dedak, bekatul dan residu beras lainnya).
Bentuk beras olahan yang dominan Diimpor adalah dedak, bekatul dan residu

20
beras lainnya yang mencapai 43,20 persen dari total Beras olahan yang diimpor
Indonesia.

21
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Perkiraan Indonesia akan kekurangan beras jauh lebih realistis dari pada
menempatkan Indonesia sebagai negara yang mempunyai surplus beras, terutama jika
memperhatikan Keunggulan komparatif beras Indonesia sangat rendah. Oleh karena itu,
kebijakan peningkatan ekonomi dan daya saing beras perlu diarahkan ke dalam bentuk
kebijakan operasional baik dari sisi produksi maupun permintaan. Banyak hal yang
dapat dilakukan oleh Pemerintah. Kementerian Pertanian dapat menerapkan berbagai
kebijakan, yaitu: (i) mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian (hilirisasi
pertanian atau agroindustri), terutama untuk menekan kehilangan hasil baik pada saat
panen maupun pada saat pasca panen (pengeringan dan penggilingan); (ii)
penganekaragaman pangan berbasis pangan lokal; (iii) peningkatan daya beli petani dan
konsumen melalui diversifikasi usaha agribisnis di pedesaan; dan (iv) melakukan
promosi produk olahan panganlokal (kuliner) berbasis pangan lokal.

3.1. Saran

Merupakan kewajiban tiap masyarakat untuk saling bahu-membahu membawa


kembali nama baik nusantara sebagai salah satu negara agraris yang patut
diperhitungkan. Implementasikan perkembangan IPTEK yang telah mengglobal ini
dengan tidak mengabaikan kesejahteraan para petani tradisional serta cintai negeri
sendiri dengan mengonsumsi produk buatan dalam negeri. Penulis mohon maaf jika
banyak kekurangan, semoga informasi ini dapat membantu dan memberikan ilmu
kepada pembaca. Penulis memohon untuk memberikan masukan dan saran yang
membangun.

22
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2013. Berita Resmi Statistik, Angka Ramalan II, Produksi Padi,
Jagung dan Kedelai Tahun 2013. Badan Pusat Statistik. Jakarta

Badan Pusat Statistik. 2012. Data Strategis BPS. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Biro Pusat Statistik. 2009. Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2008.
Biro Pusat Statistik. Jakarta

Kementerian Pertanian, 2013. Statistik Pertanian 2013. Pusat Data dan Sistem
Informasi Pertanian. Jakarta.

Kementerian Pertanian, 2011. Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian. Pusat Data


dan Sistem Informasi Pertanian. Jakarta.

23

Anda mungkin juga menyukai