Oleh:
2. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala menurut Azizah (2016) adalah sebagai berikut :
a. Fisik
Muka merah dan tegang, mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal,
rahang mengatup, wajah memerah dan tegang, postur tubuh kaku,
pandangan tajam, mengatupkan rahang dengan kuat, mengepalkan tangan
dan jalan mondar-mandir.
b. Verbal
Bicara kasar, suara tinggi, membentak/berteriak, mengancam secara verbal
atau fisik, mengumpat dengan kata kotor, suara keras dan ketus
c. Perilaku
Melempar atau memukul benda/orang lain, menyerang orang lain, melukai
diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan dan amuk/agresif.
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, dendam jengkel, tidak berdaya,
bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan juga menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan dan juga sarkasme.
f. Spiritual
Merasa dirinya berkuasa, merasa dirinya benar, mengkritik pendapat orang
lain, menyinggung perasaan orang lain, tidak peduli dan juga kasar.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran.
h. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri dan penyimpangan seksual.
3. Rentang Respon
Keterangan :
Menurut Yususf (2015) rentang respon kemarahan individu dimulai dari respon
normal (adaptif) sampai dengan tidak normal (maladaptif).
Asertif : Pasien dapat mengungkapkan kemarahan yang diungkapkan
tanpa menyakiti orang lain
Frustasi : Pasien mengalami kegagalan mencapai tujuan, tidak
realistis/terhambat
Pasif : Respons lanjutan dari pasien yang tidak mampu
mengungkapkan perasaan.
Agresif : Perilaku destruktif tapi masih terkontrol
Perilaku kekerasan/amuk : Perilaku destruktif yang tidak terkontrol (amuk)
4. Mekanisme Koping
Menurut Prabowo (2014) mekanisme koping yang dipakai pada pasien marah
untuk melindungi diri antara lain :
a. Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia yang artinya di mata
masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya
secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan
kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan kue, meninju
tembok dan sebagainya yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan akibat
rasa marah.
b. Proyeksi
Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang
tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia
mempunyai perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, namun berbalik
menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
c. Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke dalam
alam sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya
yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang
diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang
tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci itu di tekannya
dan pada akhirnya ia mampu melupakannya.
d. Reaksi
Formasi Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresikan, dengan
melebih-lebihkan sikap juga perilaku yang berlawanan dan juga
menggunakannya sebagai rintangan. Misalkan seseorang yang tertarik pada
teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kuat.
e. Displancement
Yaitu melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan. Pada obyek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya telah
membangkitkan emosi tersebut. Misalnya anak berusia 4 tahun marah karena
ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding
kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan dengan temannya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kasus
Tn.I berusia 31 tahun datang ke IGD pada tanggal 13 Oktober 2022. Keluarga klien
mengatakan bahwa klien mengamuk dan memukuli adiknya dengan membawa
senjata tajam dan meresahkan lingkungan sekitar. Hasil pemeriksaan keadaan umum
TD: 115/68 mmHg, N: 77 x/m, S: 36,5 °C, RR: 20x/m.
2. Pertanyaan Klinis
Adakah pengaruh relaksasi otot progresif terhadap kemampuan mengontrol marah
pada pasien resiko perilaku kekerasan?
ANALISIS JURNAL
3) Beda Mean
Rata-rata (mean) skor kemampuan mengontrol marah sebelum
dilakukan intervensi adalah 52.0 (rendah), setelah diberikan intervensi rata-rata
menjadi 60.23 (sedang) sedangkan standar deviasi sebelum intervensi adalah
10.5 dan standar deviasi setelah intervensi menjadi 12.5. Berdasarkan hasil
wawancara selama penelitian didapatkan data bahwa pasien yang mengalami
RPK merasa dalam situasi yang tidak nyaman dan sering tidak menyenangkan
akibat stresor eksternal yaitu lingkungan sekitar.
c. Applicability
1) Dalam diskusi
Hasil penelitian skor kemampuan marah sebelum dilakukan intervensi
adalah 52.0 (sedang), sedangkan setelah intervensi menjadi 60.2 (sedang). Hal ini
terlihat setelah dilakukan intervensi relaksasi otot progresif pada pasien RPK,
terlihat ada perubahan dari kemampuan mengontrol marah pada pasien RPK di
RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah. Terbukti dari nilai thitung
dan ttabel yaitu 10.90 > 1.67 (thitung > ttabel) dan nilai signifikansi ( -value ) =
0.000 <0.05.
Berdasarkan hasil wawancara selama penelitian didapatkan data bahwa
pasien yang mengalami RPK merasa dalam situasi yang tidak nyaman dan sering
tidak menyenangkan akibat stresor eksternal yaitu lingkungan sekitar. Hal ini
sesuai dengan faktor presipitasi yang dikemukakan oleh Yosep, I. dan Sutini T
(2014), bahwa pasien akan berespon dengan marah apabila terancam. Ancaman
(stresor) dapat berasal dari eksternal (lingkungan). Stimulus yang menimbulkan
ketegangan diterima oleh organ sensorik, amigdala dan prefrontal cortex
mengirimkan sinyal bahaya ke divisi simpatetik dari saraf otonom yang
selanjutnya memberi perintah kepada kelenjar adrenalin untuk menghasilkan
neurotransmitter, salah satu yang berperan dalam marah adalah serotonin. Ketika
seseorang kekurangan serotonin, maka akan terjadi ketidakseimbangan
neurotransmiter, yang kemudian akan mengganggu pengontrolan emosi.
Kekurangan serotonin ini mengakibatkan perilaku cepat marah, mudah
tersinggung, dan kesal.
2) Karakteristik subjek
Usia, Jenis kelamin, dan pekerjaan
3) Fasilitas biaya
Tidak dicantumkan jumlah biaya yang digunakan
8. Diskusi
Pengendalian marah adalah suatu tindakan untuk mengatur pikiran, perasaan,
nafsu amarah dengan cara yang tepat dan positif serta dapat diterima secara sosial,
sehingga dapat mencegah sesuatu yang buruk atau merugikan diri sendiri dan orang
lain. Setelah melaksanakan relaksasi otot progresif responden menjadi lebih tenang
dalam berfikir dan dapat mengelola rasa marah dan pernafasannya. Responden yang
telah melakukan relaksasi otot progresif tubuh menjadi rileks dan pikiran menjadi
tenang. Selain itu setelah relaksasi otot progresif gejala emosi seperti mudah marah dan
tersinggung dapat berkurang.