Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN TEORI

SEJARAH RSUP dr. MOHAMMAD HOSEIN


PALEMBANG

A. Sejarah Singkat RSUP dr. Mohammad Hoesin


Palembang
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad
Hoesin Palembang (RSMH) merupakan salah satu
Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Pelayanan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI yang diberikan
mandat untuk memberikan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat, khususnya masyarakat dalam
wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Didirikan sejak
tahun 1953, RSMH saat ini adalah Rumah Sakit Badan
Layanan Umum berdasarkan SK Menkes RI Nomor
1243 / Menkes / SK / VIII / 2005, tanggal 11 Agustus
2005.
RSMH sebagai Rumah Sakit Rujukan Nasional
untuk wilayah Sumsel sendiri serta ke 4 provinsi lain
seperti Jambi, Lampung, Bengkulu dan Bangka-
Belitung, sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor HK.02.02/MENKES/390/2014 tanggal 17
Oktober 2014 serta penetapan RSMH sebagai Rumah
Sakit Pendidikan Utama Kelas A Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor HK 02.02/MENKES/192/2015
tanggal 27 Mei 2015 memacu RSMH untuk terus
meningkatkan mutu dan layanannya sesuai standar
akreditasi internasional (JCI) yang telah berhasil diraih
pada bulan Desember 2016, dan pada bulan November
2019 RSMH juga berhasil lulus “Tingkat Paripurna”
akreditasi SNARS Edisi 1.

B. Visi , Misi dan Budaya RSUP dr. Mohammad


Hoesin Palembang
Visi:
“Menjadi Rumah Sakit Pendidikan dan Rujukan
Nasional berstandar Internasional 2019”.
Misi:
1. Menyelenggarakan pelayanan, pendidikan dan
penelitian berstandar internasional.
2. Menyelenggarakan promosi kesehatan secara
komprehensif dan berkelanjutan.
3. Menjalin kemitraan dan melaksanakan sistem
rujukan dengan rumah sakit jejaring
4. Meningkatkan kompetensi, kinerja dan
kesejahteraan pegawai

Budaya Kerja (Tata Nilai)

Sinergi

Koordinasi, kolaborasi, satu persepsi dalam


meningkatkan mutu dan keselamatan.

Integritas

Jujur, disiplin, konsisten, komitmen dan menjadi


teladan

Profesional

Tanggung jawab, kompeten, bekerja tuntas, akurat,


efektif dan efisien.
KONSEP TEORICHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

A. Definisi
Gagal ginjal kronis (GGK) adalah hasil dari
perkembangan dan ketidakmampuan kembalinya
fungsi nefron.Gejala klinis yang serius sering tidak
terjadi sampai jumlah nefron yang berfungsi menjadi
rusak setidaknya 70-75% di bawah normal.Bahkan,
konsentrasi elektrolit darah relatif normal dan volume
cairan tubuh yang normal masih bisa di kembalikan
sampai jumlah nefron yang berfungsi menurun di
bawah 20-25 persen.(Guyton and Hall, 2016).
Menurut Syamsir (2017) Chronic Kidney
Disease (CKD) adalah kasus penurunan fungsi ginjal
yang terjadi secara akut (kambuhan) maupun kronis
(menahun).Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney
Disease) terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak
mampu mempertahankan lingkungan dalam keadaaan
yang cocok untuk kelangsungan hidup.Kerusakan pada
kedua ginjal bersifat ireversibel.
Dari beberapa pengertian diatas dapat
dikemukakan bahwa gagal ginjal kronis adalah
kerusakan ginjal yang ireversibel sehingga fungsi
ginjal tidak optimal dan diperkukan terapi yang
membantu kinerja ginjal serta dalam beberapa kondisi
diperlukan transplantasi ginjal.
Ada tiga prinsip yang mendasari cara kerja
hemodialisis menurut Syamsir Alam, dkk (2017),
yaitu:
1. Difusi
Toksik dan limbah di dalam darah dialihkan
melalui proses difusi. Melalui cara bergeraknya
darah yang berkosentrasi tinggi ke cairan dialisat
yang berkonsentrasi lebih rendah. Cairan dialisat
tersusun dari elektrolit yang penting dengan
konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kadar elektrolit
darah dapat dikendalikan dengan mengatur
rendaman dialisat secara tepat.
2. Osmosis
Air yang berlebih dikeluarkan melalui proses
osmosis. Keluarnya air dapat diatur dengan
menciptakan gradien tekanan. Air bergerak dari
tekanan yang lebih tinggi (tubuh) ke tekanan yang
lebih rendah (cairan dialisat).
3. Ultrafiltrasi
Peningkatan gradien tekanan dengan penambahan
tekanan negatif yang biasa disebut ultrafiltrasi
pada mesin dialysis. Tekanan negatif diterapkan
pada alat ini. Untuk meningkatkan kekuatan
penghisap pada membrane dan memfasilitasi
pengeluaran air. Kekuatan ini diperlukan hingga
mencapai isovolemia (keseimbangan cairan).

B. Etiologi
Etiologi GGK/CKD menurut Syamsir Alam, dkk
(2017), adalah:
1. Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis).
2. Penyakit peradangan (glomerulonefritis).
3. Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis,
stenosis arteri renalis).
4. Gangguan jaringan penyambung (lupus
eritematosus sistemik, poliarteritis nodusa,
sklerosis sitemik progresif).
5. Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal
polikistik, asidosis tubulus ginjal).
6. Penyakit metabolik (DM, gout,
hiperparatiroidisme).
7. Nefropati toksikmisalnya penyalahgunaan
analgesik,nefropati timbal.
8. Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih
bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis
netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah:
hipertropi prostat, striktur uretra, anomali
kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.

C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis CKD menurut Syamsir Alam, dkk
(2017), adalah:
1. Gangguan pada sistem gastrointestinal: Anoreksia,
nausea, vomitus yag berhubungan dengan ganguan
metabolisme protein di dalam usus, terbentuknya
zat-zat toksin akibat metabolisme bakteri usus
seperti ammonia danmelil guanidine serta
lembabnya mukosa usus.
2. Faktor uremik disebabkan oleh ureum yang
berlebihan pada air liur diubah oleh bakteri
dimulut menjadi amoni sehingga nafas berbau
amonia. Gastritis erosife, ulkus peptic dan colitis
uremik.
3. Kulit: Kulit berwarna pucat, anemia dan kekuning-
kuningan akibat penimbunan urokrom. Gatal-gatal
akibat toksin uremin dan pengendapan kalsium di
pori-pori kulit. Ekimosis akibat gangguan
hematologi. Ure frost: akibat kristalsasi yang ada
pada keringat. Bekas-bekas garukan karena gatal.
4. Sistem Hematologi: Anemia yang dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain:
Berkurangnya produksi eritropoitin, hemolisis
akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam
suasana uremia toksin, defisiensi besi, asam folat,
dan lain-lain akibat nafsu makan yang berkurang,
perdarahan, dan fibrosis sumsum tulang akibat
hipertiroidism sekunder. Gangguan fungsi
trombosit dan trombositopenia.
5. Sistem saraf dan otot: Restless Leg Syndrome,
pasien merasa pegal pada kakinya sehingga selalu
digerakkan. Burning Feet Syndrome, rasa semutan
dan seperti terbakar terutama di telapak kaki.
Ensefalopati metabolik, lemah, tidak bisa tidur,
gangguan konsetrasi, tremor, asteriksis, mioklonus,
kejang. Miopati, kelemahan dan hipertrofi otot
terutama ekstermitas proksimal.
6. Sistem kardiovaskuler: Hipertensi akibat
penimbunan cairan dan garam atau peningkatan
aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron. Nyeri
dada dan sesak nafas akibat perikarditis atau gagal
jantung akibat penimbunan cairan hipertensif.
Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis,
gangguan elektrolit dan klasifikasi metastasik.
Edema akibat penimbunan cairan.
7. Sistem Endokrin: Gangguan seksual, libido,
fertilitas, dan ereksi menurun pada laki-laki akibat
testosteron dan spermatogenesis menurun. Pada
wanita timbul gangguan menstruasi, gangguan
ovulasi, sampai amenore. Gangguan metabolisme
glokusa, resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin. Gangguan metabolisme lemak. Gangguan
metabolisme vitamin D.
8. Gangguan Sistem Lain: Tulang osteodistropi
ginjal, yaitu osteomalasia, osteoslerosis, osteitis
fibrosia dan klasifikasi metastasik. Asidosis
metabolik akibat penimbuna asam organik sebagai
hasil metabolisme. Elektrolit: hiperfosfotemia,
hiperkalemia, hipokalsemia.

D. Patofisiologi dan Pathway


Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian
nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh
sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh).
Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi
volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi
walaupun dalam keadaan penurunan GFR/daya saring.
Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk
berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban
bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada
yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik
disertai poliuri dan haus.Selanjutnya karena jumlah
nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul
disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya
gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan
muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-
kira fungsi ginjal telah hilang 80%-90%. Pada tingkat
ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance
turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. Fungsi
renal menurun, produk akhir metabolisme protein
(yang normalnya diekskresikan ke dalam urin)
tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak
timbunan produk sampah maka gejala akan semakin
berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis
(Syamsir, 2017).
Pathway
E. Komplikasi
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya,
penderita CKD akan mengalami beberapa komplikasi.
Komplikasi dari CKD menurut Syamsir Alam, dkk
(2017), adalah:
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis
metabolik, katabolisme, dan masukan diit
berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad
jantung akibat retensi produk sampah uremik dan
dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta
malfungsi sistem renin angiotensin aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat
retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah,
metabolisme vitamin D yang abnormal dan
peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan
nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam
tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung
yang berlebihan.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan
Hiperfosfatemia.

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang CKD menurut Syamsir Alam,
dkk (2017), adalah:
1. Radiologi: Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal
dan derajat komplikasi ginjal.
2. Ultrasonografi ginjal digunakan untuk
menentukan ukuran ginjal dan adanya massa kista,
obtruksi pada saluran perkemihan bagianatas.
3. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk
menentukan sel jaringan untuk diagnosis
histologis.
4. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan
pelvis ginjal.
5. EKG mungkin abnormal menunjukkan
ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.
6. Foto Polos Abdomen: Menilai besar dan bentuk
ginjal serta adakah batu atau obstruksi lain.
7. Pielografi Intravena: Menilai sistem pelviokalises
dan ureter, beresiko terjadi penurunan faal ginjal
pada usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati
asam urat.
8. USG: Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal
parenkin ginjal, anatomi sistem pelviokalises, dan
ureter proksimal, kepadatan parenkim ginjal,
anatomi sistem pelviokalises dan ureter proksimal,
kandung kemih dan prostat.
9. Renogram: Menilai fungsi ginjal kanan dan kiri,
lokasi gangguan (vaskuler, parenkhim) serta sisa
fungsi ginjal.
10. Pemeriksaan Radiologi Jantung: Mencari adanya
kardiomegali, efusi perikarditis.
11. Pemeriksaan radiologi Tulang: Mencari
osteodistrofi (terutama pada falangks/jari)
kalsifikasi metatastik.
12. Pemeriksaan radiologi Paru: Mencari uremik lung
yang disebabkan karena bendungan.
13. Pemeriksaan Pielografi Retrograde: Dilakukan
bila dicurigai adanya obstruksi yang reversible.
14. EKG: Untuk melihat kemungkinan adanya
hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis,
aritmia karena gangguan elektrolit (hiperkalemia).
15. Biopsi Ginjal: dilakukan bila terdapat keraguan
dalam diagnostik gagal ginjal kronis atau perlu
untuk mengetahui etiologinya.
16. Pemeriksaan laboratorium menunjang untuk
diagnosis gagal ginjal:
a. Laju endap darah
b. Urin
1) Volume: Biasanya kurang dari 400 ml/jam
(oliguria atau urine tidak ada (anuria)).
2) Warna: Secara normal perubahan urine
mungkin disebabkan oleh pus/nanah,
bakteri, lemak, partikel koloid,fosfat,
sedimen kotor, warna kecoklatan
menunjukkan adanya darah, miglobin, dan
porfirin.
3) Berat Jenis: Kurang dari 1,015 (menetap
pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal
berat).
c. Osmolalitas: Kurang dari 350 mOsm/kg
menunjukkan kerusakan tubular, amrasio
urine/ureum sering 1:1.
d. Ureum dan Kreatinin: Kadar kreatinin 10
mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah
yaitu 5).
e. Hiponatremia
f. Hiperkalemia
g. Hipokalsemia dan hiperfosfatemia
h. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia
i. Gula darah tinggi
j. Hipertrigliserida
k. Asidosis metabolik

G. Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama penatalaksanaan pasien GGK
adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal yang
tersisa dan homeostasis tubuh selama mungkin serta
mencegah atau mengobati komplikasi. Terapi
konservatif tidak dapat mengobati GGK namun dapat
memperlambat progres dari penyakit ini karena yang
dibutuhkan adalah terapi penggantian ginjal baik
dengan dialisis atau transplantasi ginjal. Pengobatan
gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi 2 (dua) tahap,
yaitu tindakan konservatif dan dialisis atau
transplantasi ginjal (Syamsir, 2017).
1. Tindakan Konservatif: Tujuan pengobatan pada
tahap ini adalah untuk meredakan atau
memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif,
pengobatan antara lain:
a. pengaturan diet protein, kalium, natrium, dan
cairan,
b. pencegahan dan pengobatan komplikasi;
hipertensi, hiperkalemia, anemia, asidosis,
c. diet rendah fosfat.
d. Pengobatan hiperurisemia: Adapun jenis obat
pilihan yang dapat mengobati hiperuremia pada
penyakit gagal ginjal lanjut adalah alopurinol.
Efek kerja obat ini mengurangi kadar asam urat
dengan menghambat biosintesis sebagai asam
urat total yang dihasilkan oleh tubuh.
2. Dialisis
a. Hemodialisa: Hemodialisa merupakan suatu
proses yang digunakan pada pasien dalam
keadaan sakit akut dan memerlukan terapi
dialysis jangka pendek (beberapa hari sampai
beberapa minggu) atau pada pasien dengan
gagal ginjal kronik stadium akhir atau End
Stage Renal Desease (ESRD) yang
memerlukan terapi jangka panjang atau
permanen. Sehelai membran sintetik yang
semipermeabel menggantikan glomerulus serta
tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi
ginjal yang terganggu fungsinya itu. Pada
penderita gagal ginjal kronik, hemodialisa akan
mencegah kematian. Namun demikian,
hemodialisa tidak menyembuhkan atau
memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu
mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik
atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan
dampak dari gagal ginjal serta terapinya
terhadap kualitas hidup pasien. Pasien dengan
gagal ginjal kronik yang mendapatkan
replacement therapy harus menjalani terapi
dialisis sepanjang hidupnya atau biasanya tiga
kali seminggu selama paling sedikit 3 atau 4
jam per kali terapi atau sampai mendapat ginjal
pengganti atau baru melalui operasi
pencangkokan yang berhasil. Pasien
memerlukan terapi dialisis yang kronis kalau
terapi ini diperlukan untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya dan mengendalikan
gejala uremia.
b. CAPD: Continous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) merupakan salah satu cara
dialisis lainnya, CAPD dilakukan dengan
menggunakan permukaan peritoneum yang
luasnya sekitar 22.000 cm2. Permukaan
peritoneum berfungsi sebagai permukaan difusi
.
c. Transplantasi Ginjal (TPG): Tranplantasi ginjal
telah menjadi terapi pilihan bagi mayoritas
pasien dengan penyakit renal tahap akhir
hampir di seluruh dunia. Manfaat transplantasi
ginjal sudah jelas terbukti lebih baik
dibandingkan dengan dialisis terutama dalam
hal perbaikan kualitas hidup. Salah satu
diantaranya adalah tercapainya tingkat
kesegaran jasmani yang lebih baik
Penatalaksanaan dari CKD berdasarkan derajat

LFG nya, yaitu:


H. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Chronic
Kidney Disease
1. Pengkajian Fokus
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala: Kelelahan ekstremitas, kelemahan,
malaaise. Gangguan tidur (insomnia, gelisah,
somnolen).
Tanda: Kelemahan otot, kehilangan tonus,
penurunan rentang gerak.
b. Sirkulasi
Gejala: Riwayat hipertensi lama atau berat.
Palpitasi, nyeri dada (angina).
Tanda: Hipertensi, peningkatan vena jugularis,
nadi kuat, edema jaringan umum dan pitting
pada telapak kaki dan telapak tangan.
Disretmia jantung. Nadi lemah, dan halus,
hipotensi ortostatik menunjukkan hipovolemia
yang jarang pada penyakit tahap akhir. Friction
rub pericardial (respon terhadap akumulasi
sisa). Pucat, kulit kekuningan. Kecederungan
perdarahan.
c. Integritas Ego
Gejala: Faktor stress, contoh : finansial,
hubungan, dan sebagainya. Perasaan tak
berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.
Tanda: Menolak, ansietas, takut, marah, mudah
terangsang, perubahan kepribadian.
d. Eliminasi
Gejala: Penuruna frekuensi urin, oliguri, anuria
(gagal ginjal tahap lanjut) Abdomen kembung,
diare, atau konstipasi.
Tanda: Perubahan warna urin, contoh: kuning
pekat, merah, coklat berawan, oliguria, dapat
menjadi anuria.
e. Makanan dan cairan
Gejala: Peningkatan BB cepat (edema)
penurunan BB (malnutrisi). Anoreksia, nyeri
ulu hati, mual, muntah. Rasa metalik tak sedap
pada mulut (pernapasan amonia) Penggunaan
diuretik.
Tanda: Distensi abdomen atau asites,
pembesaran hati tahap akhir. Penurunan turgor
kulit dan kelembapan. Edema. Penurunan otot,
penuruna lemak, subkutan, penampilan tak
bertenaga.
f. Neurosensori
Gejala: Sakit kepala dan penglihatan kabur.
Kram otot/kejang: sindrom “kaki gelisah” ;
kebas dan rasa terbakar pada kaki.
Kebas/kesemutan dan kelmahan, khususnya
ekstremita bawah (neuropati perifer) .
Tanda: Gangguan status mental, contoh
penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau,
penurunan tingkat kesadaran, stupor, koma.
Kejang, fasikulasi otot, aktivitas kejang.
Rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala: Nyeri panggul, sakit kepala. Kram
otot/nyeri kaki (memperburuk saat malam
hari).
Tanda: Perilaku hati-hati/distraksi, gelisah.
h. Pernapasan
Gejala: Napas pendek, dispnea noktural
proksimal. Batuk dengan tanpa sputum kental
dan banyak.
Tanda: Takipnea, dispnea, peningkatan
frekuensi dan kedalaman (pernapasan
kusmaul). Batuk produktif dengan sputum
merah muda dan encer (edema paru).
i. Keamanan
Gejala:Kulit gatal, ada berulangnya infeksi.
Tanda: Pruritus. Demam (sepsis, dehidrasi):
normotermia dapat secara aktual terjadi
peningkatan pada tubuh yang mengalami suhu
tubuh lebih rendah dari normal (efek gagal
ginjal kronis/depresi respon imun). Petekie,
area ekimosis pada kulit. Fraktur tulang:
deposit fostfat kalsium (klasifikasi metastasi)
pada kulit, jaringan lunak, sendi keterbatasan
gerak sendi.
j. Seksualitas
Gejala: Penurunan libido, amenore, infertilitas.
k. Interaksi Sosial
Gejala: Kesulitan menentukan kondisi, contoh
tak mampu bekerja, mempertahankan fungsi
peran biasanya dalam berkeluarga.
l. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: Riwayat diabetes melitus (DM),
keluarga (resiko tinggi untuk gagal ginjal),
penyakt polikistik, netresis herediter. Riwayat
terpajan pada toksin, contoh obat, racun
lingkungan. Penggunaan antibiotik nefrotoksik
saat ini berulang.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada
CKD adalah sebagai berikut:
a. Ketidakefektifan Perfusi jaringan perifer
berhubungan dengan hipertensi
b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan
penurunan haluran urin dan retensi cairan dan
natrium.
c. Perubahan pola napas berhubungan dengan
hiperventilasi paru.
d. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia mual muntah.
e. Gangguan perfusi jaringan berhubungan
dengan penurunan suplai O2 dan nutrisi ke
jaringan sekunder.
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
keletihan anemia, retensi produk sampah dan
prosedur dialysis.
g. Resiko gangguan pertukaran gas berhubungan
dengan kerusakan alveolus sekunder terhadap
adanya edema pulmoner.
h. Resiko penurunan curah jantung berhubungan
dengan ketidak seimbangan cairan
mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan
tahanan vaskuler sistemik, gangguan frekuensi,
irama, konduksi jantung (ketidak seimbangan
elektrolit).
NO Diagnosa Keperawatan SLKI Intervensi Keperawatan SIKI

1. Pola napas tidak efektif b.d (Pola napas L. 01004) Manajemen Jalan napas (1.01011)
sindrom hipoventilasi
Setelah dilakukan asuhan keperawatan Observasi
selama 2x24 jam Pola napas pasien
menjadi efektif dengan kriteria hasil : 4. Monitor pola napas
5. Monitor bunyi napas tambahan
1. Frekuensi napas
Teraupetik
2 5
6. Pertahankan kepatenan jalan napas
dengan head-tilk dan chin-lift
2. Kedalaman napas 7. Posisikan semi Fowler atau fowler
2 5 8. Berikan minum hangat
9. Lakukan fisioterapi dada
10. Lakukan penghisapan lendir kurang
3. Ekskursi dada dari 15 detik
2 5 11. Lakukan hiperpksigenasi sebelum
penghisapan endotrakeal
12. Keluarkan sumbatan benda padat
Ket : dengan forsep McGill
2 cukup memburuk
5 membaik Edukasi
13. Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari
14. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
15. Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik
2 Hipervolemia berhubungan Keseimbangan Cairan (L.03020) Manajemen Hipervolemia (1.15506)
dengan mekanisme Observasi
regulisas Setelah dilakukan asuhan keperawatan
selama 3x24 jam Cairan dapat 1. Periksa tanda dan gejala hipervolemia
seimbang. 2. Identifikasi penyebab hipervolemia
3. Monitor status hemodinamik
Kriteria Hasil: 4. Monitor intake output cairan
1. Asupan cairan 5. Monitor tanda hemokonsentrasi
6. Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik plasma
2 5 7. Monitor kecepatan infus secara ketat
8. Monitor efeksampik deuretik
2. Haluaran urin Terapeutik
2 5 1. Timbang berat badan setiap hari
2. Batasi asupan cairan dan garam
3. Kelembaban membran mukosa 3. Tinggikan kepala tempat tidur
Edukasi
2 5 1. Anjurkan melapor jika haluaran urin
2. Anjurkan melopor jika bb bertambah
Ket : 3. Ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan dan
2 cukup menurun haluaran cairan
5 meningkat 4. Ajarkan cara membatasi cairan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian deuretik
2. Kolaborasi penggantian kehilangan kalium akibat
deuretik
3. Kolaborasi pemberian continous renal replacement
tharapy.
3 Perfusi perifer tidak efektif Perfusi perifer (L.02011) Perawatan sirkulasi ( 1.02079)
berhubungan dengan Observasi
peningkatan tekanan darah Setelah dilakukan asuhan keperawatan
selama 3x24 jam diharapkan perfusi 1. Periksa sirkulasi perifer
perifer meningkat 2. Identifikasi faktor resiko gangguan sirkulasi
3. Monitor panas,kemerahan, nyeri atau bengkak
Dengan kriteria hasil
Terapeutik
1. . edema perifer 1. Hindari pemasangan infus atau pengambilan di area
perbatasan perfusi
2 5
2. Hindari pengukuran tekanan darah pada ektermitas
dengan keterbatasan perfusi
2. Kelemahan otot
3. Hindari penenkanan dan pemasangan touniquet pada
2 5 area yang cidera
4. Lakukan pencegahan infeksi
3. Tekanan darah 5. Lakukan perawatan kaki dan kuku
Edukasi
2 5
1. Anjurkan berhenti merokok
2. Anjurkan berolahraga rutin
4. Turgor kulit 3. Anjurkan mengecek air mandi untuk menghindari kulit
terbakar
2 5 4. Anjurkan meminum obat penurun tekanan darah
5. Anjurkan menghindari obat penyekat beta
Ket : 6. Anjurkan melakukan perawatan kulit yang tepat
2 cukup menurun 7. Anjurkan program rehabilitasi vaskular
5 meningkat 8. Ajarkan program diet untuk memberbaiki sirkulasi
9. Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus
dilaporkan.
kolaborasi
4 Intoleransi aktivitas Toleransi aktivitas (L. 05047) Manajemen energi :
berhubungan dengan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan Observasi
keletihan anemia, retensi
produk sampah dan selama 3x24 jam Intoleransi aktivitas − monitor kelelahan fisik dan emosional
prosedur dialysis. adekuat.
− monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
Kriteria Hasil: melakukan aktivitas
1. Keluhan lelah teraupetik
− lakukan latihan rentang gerak pasif atau aktif
2 5
edukasi
2. Dispnea saat beraktivitas anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
2 5

3. Dispnea setelah beraktivitas

2 5

4. Perasaan lemah

2 5

Ket :
2 cukup memburuk
5 membaik
DAFTAR PUSTAKA

Guyton & Hall. 2016. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 12, Jakarta: EGC.

Herdman, T.H. 2015. NANDA International Diagnosis Keperawatan Definisi dan


Klasifikasi 2015-2017, Jakarta: EGC.

Nurarif. A.H. & Kusuma. H. 2015. Aplikasi NANDA NIC-NOC. Jilid 1, 2 dan 3,
Yogyakarta: Media Action.

Syamsir Alam, dkk. 2017. Gagal Ginjal, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai