Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH SIKLUS UMRAN/KERADABAN

Bahan Presentasi Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“Filsafat Ekonomi”

Dosen Pengampu:

Burhanuddin, SM., E., SPd., ME

Disusun Oleh

Nur Aini (0502192083)

JURUSAN AKUNTANSI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

T.A. 2022

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT


yang telah memberikan rahmad serta hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga
berkat karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Filsafat
Ekonomi” ini. Sholawat beriring salam kita hadiahkan kepada junjungan besar
kita, Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan
yang lurus berupa ajaran agama islam yang sempurna dan menjadi anugerah
terbesar bagi seluruh alam semesta.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Akuntansi Syariah. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca. Kami pun menyadari bahwa didalam makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Kami mohon maaf yang sebesar-
besarnya jika terdapat kata-kata yang kurang berkenan.

Medan, September 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................2

DAFTAR ISI..................................................3

BAB I PENDAHULUAN...........................................4

A. Latar Belakang Masalah................................4


B. Rumusan Masalah.......................................5

BAB II PEMBAHASAN...........................................6

A. Pengertian Umran/Keradaban............................6
B. Hakikat Peradaban.....................................7
C. Pengaruh Dasar Intelektual dalam Membangun Peradaban........7
D. Siklus Peradaban Manusia....................................................................8
E. RelasiAl-Quran dan Peradaban............................................................10
F. Unsur-Unsur Peradaban.......................................................................11
G. Agama Sebagai Salah Satu Faktor Penting Peradaban...................12
H. Sebab-Sebab Kegagalan Peradaban...................................................13
I. Paradigma infrastruktur ibnu khaldun................................................14
J. Teori Thaba’i al-Umran Ibnu Khaldun...............................................21

BAB III PENUTUP.............................................26

A. Kesimpulan............................................26
B. Saran.................................................27

DAFTAR PUSTAKA..............................................28

3
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Menurut Sayyid Qutb, peradaban adalah sesuatu yang
dikontribusikan manusia dalam menuntun kehidupannya, baik dalam
bentuk gagasan, gambar, konsep, atau nilai-nilai kehidupan. Sedangkan
menurut Gustave Le Bon, sebagaimana yang dikutip oleh Raghib al-
Sirjani bahwa peradaban adalah pemikiran yang matang, keyakinan yang
kuat, serta metode-metode dasar yang bertujuan untuk merubah manusia
untuk menjadi makhluk yang lebih baik.
Di samping itu, ada istilah lain yang perlu dipahami dan dibedakan
dengan term peradaban, yaitu term kebudayaan yang dalam bahasa Arab
disebut saqafah dan dalam bahasa Inggris disebut culture. Dua term ini
memiliki perbedaan yang cukup signifikan.
Begitu juga peradaban Persia yang dasar logikanya adalah kekuatan dan
kemewahan. Manifestasi peradaban yang muncul sangat erat dengan dua
logika ini, seperti kastil-kastil megah, tempat-tempat mewah yang
berlebihan, dan kekuatan militer yang tangguh.
Sedangkan peradaban Islam memiliki dasar logika yang sangat
kompleks yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, seperti
kemampuan berfikir, kekuatan logika, kerohanian, etika-sosial, dan materi.
Kompleksitas dasar logika ini memengaruhi manifestasi peradaban Islam,
di mana peradaban Islam sangat kental dengan ilmu pengetahuan,
kekuatan militer, kesucian jiwa, dan menjunjung tinggi etik

4
B. Rumusan Masalah
1. Apa Yang dimaksud dengan Umran/Keberadaban?
2. Apa Saja Hakikat Peradaban?
3. Apa Pengaruh Dasar Intelektual dalam Membangun Peradaban?
4. Apa saja siklus Peradaban Manusia?
5. Apa saja Unsur-Unsur Peradaban?
6. Bagaimana Sebab-Sebab Kegagalan Peradaban?
7. Jelaskan Paradigma infrastruktur ibnu khaldun?

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Umran/Keradaban
Sebagai seorang insinyur, kebiasaan ilmiah Bennabi menanamkan dalam
dirinya suatu perhatian untuk mendefinisikan konsep-konsepnya melalui
analisis dan sintesis. Di luar pendekatan ini, ia mendefinisikan konsep
peradaban berkali-kali dari sudut yang berbeda-beda. Salah satu definisi
peradaban yang dikemukakannya adalah 'keseluruhan sarana moral dan
material yang menjadikan masyarakat memberikan semua pelayanan sosial
yang diperlukan bagi setiap anggotanya untuk kemajuan.
(Diajukan et al., 2022) Berdasarkan definisi di atas, peradaban dalam
pandangan Bennabi bukan sekedar kemajuan ekomomi, politik, dan teknologi.
Peradaban adalah produk unsur-unsur dinamik, integral, dan kongkrit. Di
antara unsur-unsur yang paling krusial adalah moral. Adanya disintegrasi
sistem moral, atau kemunduran dalam skala nilai, akan menghadapkan suatu
masyarakat pada berbagai masalah. Meskipun Bennabi secara terbatas,
memberikan posisi penting yang sama pada aspek material dan non-material
peradaban, ia kadang-kadang disalah-pahami.
Misalnya, ada seorang penulis yang menginterpretasikan definisi Bennabi
tentang peradaban sebagai konsep yang sepenuhnya materalistik, lebih dekat
kepada modernisasi (madanah) ketimbang kepada peradaban. Penggunaan
istilah 'jaminan sosial' (al-dhamanat al-ijtima'iyyah) oleh Bennabi barangkali
yang menyebabkan salah interpretasi ini.
Secara kualitatif dan kuantitatif tidak mungkin membeli semua produk
suatu peradaban untuk membangun peradaban lain. Peradaban, bagi Bennabi,
tdak dapat menjual kepada kita semangat, gagasan, dan kekayaannya yang
mendalam, yaitu rasa atau akumulasi gagasan dan makna yang tak tertangkap.
Kesalahan kaum Muslimin, dan juga dunia ketiga, menurutnya adalah bahwa
setelah mereka memperoleh kemerdekaan politik, mereka langsung

6
mengembangkan „peradaban kebendaan‟ (hadharah syayiyyah) yang
didasarkan pada akumulasi. Kenyataannya, mengimpor komoditas material
adalah aktivitas yang dibesar-besarkan di beberapa negara Muslim, suatu hal
yang memperkuat ketidak mampuan mencipta dan memproduksi.

B. Hakikat Peradaban
Menurut Husayn Mu'nis, sejarawan asal Mesir, peradaban adalah hasil
usaha manusia dalam memperbaiki kondisi hidupnya baik dalam bentuk
materi atau immateri. Peradaban sangat erat kaitannya dengan sejarah, bahkan
tanpa sejarah seseorang tidak bisa memahami hakikat peradaban. Hal itu
disebabkan karena sejarah adalah waktu, sedangkan waktu merupakan salah
satu komponen dalam konstruksi peradaban.
Menurut Sayyid Qutb, peradaban adalah sesuatu yang dikontribusikan
manusia dalam menuntun kehidupannya, baik dalam bentuk gagasan, gambar,
konsep, atau nilai-nilai kehidupan. Sedangkan menurut Gustave Le Bon,
sebagaimana yang dikutip oleh Raghib al-Sirjani bahwa peradaban adalah
pemikiran yang matang, keyakinan yang kuat, serta metode-metode dasar
yang bertujuan untuk merubah manusia untuk menjadi makhluk yang lebih
baik.
Di samping itu, ada istilah lain yang perlu dipahami dan dibedakan dengan
term peradaban, yaitu term kebudayaan yang dalam bahasa Arab disebut
saqafah dan dalam bahasa Inggris disebut culture. Dua term ini memiliki
perbedaan yang cukup signifikan.

C. Pengaruh Dasar Intelektual dalam Membangun Peradaban


Jika diamati, peradaban manusia sepanjang perjalanannya sangat kental
dengan dasar logika mereka. Peradaban Yunani yang dasar logikanya adalah
kemampuan berfikir, dalam perjalanannya melahirkan peradaban ilmu, mulai
dari filsafat, psikologi, kedokteran, dan lain sebagainya. Peradaban Romawi
yang dasar logikanya adalah kekuatan fisik melahirkan manifestasi-

7
manifestasi peradaban militer yang gagah dan kuat, teknologi tempur yang
maju, dan lain sebagainya.
Begitu juga peradaban Persia yang dasar logikanya adalah kekuatan dan
kemewahan. Manifestasi peradaban yang muncul sangat erat dengan dua
logika ini, seperti kastil-kastil megah, tempat-tempat mewah yang berlebihan,
dan kekuatan militer yang tangguh.
Sedangkan peradaban Islam memiliki dasar logika yang sangat kompleks
yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, seperti kemampuan
berfikir, kekuatan logika, kerohanian, etika-sosial, dan materi. Kompleksitas
dasar logika ini memengaruhi manifestasi peradaban Islam, di mana
peradaban Islam sangat kental dengan ilmu pengetahuan, kekuatan militer,
kesucian jiwa, dan menjunjung tinggi etika.

D. Siklus Peradaban Manusia


1. Tahap Keberhasilan
Tahap pertama dalam siklus peradaban manusia adalah tahap
keberhasilan. Tahap ini dalam teori siklus Ibnu Khaldun disebut taur al-
zufr. Dalam tahap ini, tokoh-tokoh yang terlibat mengalahkan kekuasaan
sebelumnya termasuk tokoh-tokoh hebat, sehingga tokoh-tokoh tersebut
kerap dijadikan panutan oleh rakyatnya. Pada fase ini, tokoh utama beserta
orangorang yang terlibat dalam kesuksesan kekuasaan baru tersebut
menyusun pondasi-pondasi kekuasaannya, mulai dari pendidikan,
kekuatan militer, ekonomi, sosial dan lain sebagainya.

2. Tahap Kesejahteraan
Sebelum memasuki tahap kehancuran, pada umumnya peradaban
suatu bangsa akan memasuki tahap kemajuan dan kesejahteraan. Tahap ini
dalam teori siklus Ibnu Khaldun disebut dengan taur al-faragh. Pada tahap
ini kedaulatan suatu negara telah dinikmati dan para pengusaha fokus
membangun dan mengembangkan negara kekuasaannya.

8
Dalam sejarah dinasti Umayyah, tahap ini bisa dilihat pada masa
kepemimpinan khalifah Walid bin Abdul Malik dan Umar bin Abdul Aziz.
Masa kepemimpinan khalifah Walid bin Abdul Malik disebut sebagai
masa ketentraman, keamanan, dan kesejahteraan. Hanya dalam kurun
waktu 10 tahun, Walid bin Abdul Malik melakukan banyak ekspansi
militer melanjutkan para pendahulunya.
(Diajukan et al., 2022) Di dalam bidang keilmuan, dinasti
Umayyah juga pernah mencapai puncak kejayaannya. Bukan hanya
sekadar ilmu-ilmu keagmaan seperti teologi, tafsir, hukum yurispundensi
dan lain sebagainya, ilmu pengetahuan umum juga maju dan berkembang
pesat pada saat itu, seperti filsafat, ilmu pasti, sejarah, geografi, astronomi,
dan kedokteran.
Bahkan khalifah Walid bin Abdul Malik berhasil membangun
rumah sakit pertama dalam sejarah umat Islam yang diberi nama rumah
sakit al-Nuri. Dokter dan perawat di rumah sakit ini merupakan orang-
orang yang sangat profesional dan dilengkapi dengan alat-alat kedokteran
tercanggih pada saat itu.

3. Tahap Kehancuran
Dalam banyak literatur, kemunduran suatu kekuasaan terjadi
setelah melewati masa kegemilangan. Di mana para penguasa sudah mulai
lalai dengan prinsip-prinsip leluhurnya. Mereka suka menuruti hawa
nafsunya dan membelanjakan harta-hartanya untuk memuaskan
keinginannya. Fase ini dalam teori siklus Ibnu Khaldun disebut sebagai
taur al-Israf.
Salah satu bukti sejarah yang merepresentasikan kesesuaian teori
ini dengan fakta adalah catatan sejarah kemunduran dinasti Abbasyiah.
Pada fase kemundurannya, dinasti Abbasyiah memiliki banyak
problematika, baik dalam bidang politik atau bidang ekonomi.

9
E. Relasi Alquran dan Peradaban
Alquran memiliki peran penting dalam kehidupan manusia.
Kedudukannya sebagai firman berfungsi sebagai penghubung antara manusia
dan Tuhanya. Oleh karena itu, Alquran merupakan sumber hukum, keimanan,
moral, dan peradaban. Di dalam rukun iman yang enam, hanya ada dua rukun
yang tidak ghaib, yaitu Nabi Muhammad sebagai utusan dan Alquran sebagai
kitab suci. Akan tetapi jika diperhatikan, Nabi Muhammad pun juga termasuk
yang ghaib bagi umat yang hidup tidak sezaman dengannya. Dengan
demikian, satu-satunya media yang menghubungkan secara langsung antara
manusia dan Tuhannya adalah Alquran al-Karim.

Alquran datang dengan membawa doktrin bahwa tujuan penciptaan


manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Dan Aku tidak pernah
menciptakan seorang jinndan manusia kecuali pada akhirnya mereka akan
menyembahkkepada-Ku.

Oleh karena peradaban berpotensi untuk mendatangkan petaka bagi


manusia, maka menurut al-Buti, perlu adanya pengendali dan petunjuk bagi
manusia sebagai elemen aktif peradaban agar bisa menggunakan kemajuan
peradaban tersebut pada hal-hal positif yang bisa mendatangkan kebaikan,
ketentraman, dan kedamaian. Adapun pengendali yang dimaksud berupa
pedoman-pedoman yang telah ditransmisikan oleh Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW. dan telah terkodifikasi dengan baik hingga saat ini, yaitu
Alquran.

Pada dasarnya, peradaban yang diinginkan Alquran, menurut al-Buti,


bukan hanya sekadar peradaban fisik yang termanivestasi dalam bentuk
infrastruktur yang megah, sistem yang rapi, kemajuan teknologi, kesejahteraan
ekonomi yang merata dan lain sebagainya, atau peradaban non fisik yang
termanivestasi dalam bentuk majunya ilmu pengetahuan, namun tidak didasari
pada nilai-nilai keimanan kepada Allah SWT. Dalam surat Ibrahim Allah
berfirman:

10
Orang-orang kafir berkata kepada Rasul-rasul mereka: "Kami
sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu
kembali kepada agama kami". Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka:
"Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zalim itu, dan Kami
pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. Yang
demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap)
kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku".

F. Unsur-Unsur Peradaban
Dalam menganalisis unsur-unsur peradaban, Bennabi menyebut tiga unsur
penting, yaitu: insan (manusia), turab (tanah), dan waqt (waktu). Pemilihan
istilah turab (tanah) sebagai ganti kata maddah (materi) dengan sengaja dan
hati-hati dilakukan oleh Bennabi. Ia ingin memfokuskan pada makna
sosiologi-politik tanah dalam bentuk bumi, yang mengimplikasikan pemilikan,
menuntut kontrol teknis dan memberikan jaminan dan keamanan sosial (al-
dhamanat al-ijtima'iyyah). Istilah tersebut tidak saja berkaitan dengan alam
dan sumber-sumbernya, tetapi juga berkaitan dengan 'cinta tanah air' dan
harapan bagi kesejahteraannya.
(Sudrajat & Barat, 2009) Istilah di atas dapat juga ditafsirkan dari sudut
pandang Islam, yaitu sebagai tanah, dunia, atau alam semesta yang diciptakan
Allah bagi manusia untuk diselidiki, dimanfaatkan, dan dikembangkan. Istilah
turab (tanah) adalah konsep yang dapat menembus ruang lingkup yang luas.
Bahkan, Bennabi dengan sengaja memilih istilah turab (tanah) dan
menghindari penggunaan istilah maddah (materi), karena dalam etika, materi
bertentangan dengan 'jiwa' (spirit), dalam ilmu pengetahuan bertentangan
dengan 'energi', dan dalam filsafat berlawanan dengan 'idealisme'. Secara
tegas, ia menolak pandangan kaum materialis terhadap dunia yang substansi
atau materinya yang utama adalah materi itu sendiri.
Bennabi dalam teorinya tentang peradaban, menempatkan manusia pada
posisi sentral. Ia adalah „alat utama masyarakat, jika ia bergerak, masyarakat

11
dan sejarah juga bergerak; sebalinya jika ia berhenti, masyarakat dan sejarah
juga berhenti‟. Tantangan besar yang dihadapi oleh kaum Muslimin dalam
konteks ini adalah bagaimana melahirkan orang-orang yang mampu
memanfaatkan tanah, waktu, dan kreativitas mereka sendiri untuk mencapai
tujuan mereka yang besar dalam sejarah.

G. Agama Sebagai Salah Satu Faktor Penting Peradaban


Agama menjadi 'katalisator' yang memberikan kepada manusia, di
samping waktu dan tanah, tanda dimulainya siklus peradaban. Agama
merupakan katalisator bagi ketiga unsur tersebut (manusia, tanah, dan waktu).
Agama dapat mengkatalisasi nilai-nilai sosial yang ia gambarkan ke dalam
gagasan kolektif yang lebih efektif. Tetapi, ketika agama (keimanan) menjadi
keyakinan yang 'tumpul' tanpa cahaya, maka misi historisnya di bumi akan
berakhir. Agama tak lagi dapat mendorong suatu peradaban, karena telah
menjadi keimanan pada pertapa, yang menarik diri dari kehidupan dan
melepaskan kewajiban dan tanggung jawabnya.
(Diajukan et al., 2022) Peradaban, demikian dikatakan Bennabi, dilahirkan
dua kali, pertama, ketika gagasan keagamaan lahir, dan kedua ketika gagasan
tersebut terekam dalam jiwa dan masuk dalam peristiwa-peristiwa sejarah.
Dengan menegaskan bahwa peradaban Islam memiliki 'dua kelahiran'
sekaligus, Bennabi menegaskan fenomena ini dengan merujuk pada
'kehampaan bahwa Islam dibangun pada jiwa-jiwa bangsa Arab yang
perawan'. Sebaliknya, Kristen muncul dalam suatu lingkungan ketika beberapa
agama dan kebudayaan, baik Yahudi, Romawi, dan Yunani, berkembang.
Terbukti bahwa Bennabi sampai pada kesimpulan yang mengherankan ini
dengan mudah tanpa argumentasi yang dikembangkan dengan baik untuk
mendukung gagasannya bahwa 'agama sebagai katalisator' peradaban. Namun
filosof-filosof lain telah mencapai kesimpulan yang sama dari penyelidikan
kritis mereka yang lebih rinci terhadap sejarah dan teori Marxis.

12
H. Sebab-Sebab Kegagalan Peradaban
Walaupun peradaban Muslim tengah mengalami kemunduran, Benabi
percaya bahwa mereka teap memiliki peluang untuk bangkit. Oleh karena itu,
sebab-sebab kejatuhan manusia pasca Al-Muwahhidun perlu dipelajari secara
ilmiah dan dicari penyelesaiannya. Bennabi menolak untuk memfokuskan
perhatian pada sebab-sebab eksternal. Inti permasalahannya harus dicari di
dalam masyarakat yang mundur itu sendiri, dalam hal ini masyarakat Muslim.
Ia, misalnya, memandang sia-sia tuntutan negeri-negeri Muslim yang dijajah
untuk merdeka sekiranya persoalan internal mereka, yaitu keadaan bisa dijajah
masih ada pada diri mereka. Selain itu, untuk memicu terjadinya kemajuan
dalam peradaban Islam, spiritualitas perlu dibangun kembali sehingga siklus
ini bisa dikembalikan lagi ke tahap awal.
Bennabi mengkritik para reformis pendahulunya, seperti Jamal al-Dīn al-
Afghānī (1838-1897) dan Muhammad „Abduh (1849-1905), yang
dianggapnya tidak mengarahkan gerakan reformasi mereka pada peradaban.
Mereka terlalu asyik mencari kesalahan di luar diri mereka dan menyuplai
kaum Muslimin dengan berbagai pembenaran dan pertahanan diri ketimbang
mentransformasikan kondisi sosial umat secara langsung. Kaum reformis,
dalam upaya mereka mengeluarkan umat dari krisis, telah menghabiskan
energi mereka untuk mengobati berbagai gejala dan bukannya menyembuhkan
penyakit yang sebenarnya. Kaum reformis sibuk membangun sekolah,
menuntut kemerdekaan, mendirikan pabrik tanpa memahami apa yang
sesungguhnya telah menyebabkan kemunduran kaum Muslimin.
(Sudrajat & Barat, 2009) Hal ini pada gilirannya menyebabkan mereka
gagal membangun kembali peradaban mereka yang tengah mengalami
kemunduran. Bennabi mengkritik mereka karena menghendaki kaum
Muslimin untuk menjadi peniru atau pelanggan dari suatu peradaban yang
membuka pasarpasar mereka lebih banyak daripada sekolah. Kaum modernis
juga dianggap cenderung untuk mengikuti Barat dan tidak selektif dalam
meminjam temuantemuan Barat untuk memodernisir masyarakat mereka

13
sendiri. Bagi Bennabi, orang-orang Eropa tidak datang ke Timur untuk
menjadi pembaharu.
Bila mengacu pada teori Bennabi, cultural borrowing tersebut biasanya
tidak dilakukan pada tahap pertama (tahap spiritual) dari suatu peradaban,
melainkan pada tahap kedua (tahap rasional) ketika peradaban telah berdiri
kokoh dan mampu menyerap aspek-aspek kebudayaan lain dalam kerangka
ide-ide otentik yang telah mereka miliki. Seperti dikatakannya, kaum
Muslimin mengalami kemunduran karena mereka tengah mengalami
kebodohan atau miskin dengan dunia pemikiran. Kreasi berpikir tidak
mengimbangi kemajuan sosial, produktivitas materi terhimpit oleh derasnya
propaganda Barat yang mengakibatkan kaum Muslimin menjadi konsumtif
belaka.

I. Paradigma infrastruktur ibnu khaldun


Deretan bangunan berdiri tegak dan megah diapit hamparan jalan raya,
terhubung stasiun, terminal, pelabuhan dan bandar udara, terciptalah akses
penduduk untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Pembangunan suatu gedung; baik untuk tempat tinggal, arena perdagangan,
pabrik, dan perkantoran merupakan dialog non verbal dari suatu sistem alam
dan kondisi penduduk yang mendiami suatu wilayah.
Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa anda harus mengetahui batu-batu tak
terurai paling cocok yang dapat dioperasikan. Anda harus mengetahui
genusnya, kekuatan, perbuatan dan sesuatu apa yang berupa pemutusan dan
pengerasan, pemurnian, klasifikasi, absorpsi, atau transformasi, yang dapat
memberikan efek. Orang yang tidak mengetahui prinsip-prinsip dasar kimia
tak akan pernah mencapai hasil yang baik. Anda harus mengetahui apakah
(batu-batu itu) dapat ditambahkan dengan sesuatu yang lain, ataukah cukup
dengan apa adanya sendiri, apakah ia merupakan satu hal sendiri sejak awal,
ataukah ia ditemani lainnya, dan menjadi satu hal dengan sendirinya selama
perlakuan (tadbir), dan karenanya disebut ‘batu’. Anda harus juga mengetahui
bagaimana cara kerjanya; berapa ukuran dan waktu memadai untuknya,

14
bagaimana ruh menyelinap ke dalamnya, dan bagaimana pula jiwa masuk ke
dalamnya. Apakah api dapat memisahkan jiwa dari batu setelah ia berada di
dalamnya; bila tidak, mengapa tidak, dan apa yang mengharuskannya
demikian. Inilah yang harus diketahui.
Konstruksi ilmu pengetahuan Ibnu Khaldun dalam paradigma peradaban
infrastruktur, ditopang oleh tiga teori, yaitu :
1. Teori Perkotaan (‘Urban)
Ibnu Khaldun mengemukakan teori urban dengan terlebih dahulu
menampilkan suku Badui kemudian orang-orang kota yang sama-sama
merupakan golongan alami. Perbedaan hal ihwal penduduk adalah
akibat dari perbedaan cara memperoleh penghidupan. Orang-orang
yang hidup bermasyarakat tidak lain hanyalah untuk saling membantu
di dalam memperoleh penghidupan, dan untuk memenuhi kebutuhan
hidup yang sederhana, sebelum mencari kebutuhan hidup yang lebih
tinggi. Ada yang hidup dengan bertani, menanam sayur dan buah-
buahan; dan ada pula yang hidup dengan memelihara binatang, baik itu
kambing, sapi, domba, lebah, dan ulat sutra, untuk dikembangbiakkan
atau diambil hasilnya. Orang-orang yang hidup dengan bertani dan
memelihara binatang, harus menerima panggilan padang pasir, sebab
dia sendiri butuh kepada tanah yang luas, padang rumput untuk
gembala binatang, alat membajak, dan lain-lain. Kehidupan
bermasyarakat dan saling membantu dalam memenuhi kebutuhan
hidup dan peradaban, seperti makanan, perlindungan, dan panas tidak
melecut untuk memperolehnya, lebih dari batas kebutuhan guna
melangsungkan kehidupan menurut batas kebutuhan hidup.
Pemenuhan kebutuhan hidup manusia masih berkisar pada sandang,
pangan, dan papan. Pergulatan persaingan hidup belum tampak di
daerah-daerah pertanian, perkebunan, dan peternakan. Masing-masing
petani memiliki hubungan sama rata sama rasa dengan petani lainnya.
Kepentingan penguasaan lahan untuk gembala dan pertanian dan
perkebunan, diarahkan untuk menguatkan kehidupan satu sama lain.

15
Kehidupan antar keluarga terjadi dengan harmonis, karena ada ikatan
kepentingan bersama, yaitu persediaan makanan dan minuman.
Kebutuhan sandang berupa pakaian, diselenggarakan dengan cara
sederhana yaitu untuk melindungi diri, yaitu fisik dan kehormatan.
Pandangan Ibnu Khaldun tersebut, memang sudah menjadi kenyataan
pada pembangunan di negara-negara sedang berkembang termasuk
Indonesia. Pembangunan perkotaan menjadi prioritas bagi penguasa,
karena menjadi etalase keberhasilan selama memimpin. Kantor-kantor
pemerintahan berada di kota, dilengkapi dengan sistem keamanan
berlapis, supaya warga kota merasa nyaman dari ancaman bahaya.
Untuk menghindari bahaya, semua rumah yang ada di kota diberi
pagar tembok. Selanjutnya, kota diletakkan dalam situasi demikian
rupa, hingga untuk sampai ke kawasan itu, harus melewati jembatan.
Dengan demikian, musuk sukar masuk ke dalam kota, dan penjagaan
serta pembentengannya meningkat beberapa kali lipat. Untuk menjaga
dari bahaya yang berhubungan dengan gejala atmosfir, hendaklah
diperhatikan adanya udara yang sehat. Bila udara mati dan buruk, atau
berdekatan dengan air yang busuk, atau dengan kolam dan tempat
mandi yang tengik, dengan cepat udara tercemar. Dampaknya, semua
makhluk hidup dengan cepatnya dihinggapi penyakit. Fakta ini sudah
terbukti oleh pengamatan langsung.

2. Teori Pembangunan (‘umran)


Penyediaan fasilitas bagi kebutuhan hidup manusia merupakan
konsensus sosial, artinya orang-orang yang hidup di suatu tempat
melakukan kesepakatan untuk membangun sarana tempat tinggal yang
layak, sarana ibadah, sarana pendidikan, sarana sosial, sarana
pedestrian, sarana pengairan dan fasilitas lainnya yang menjamin
kelangsungan hidup para penghuni. Semakin banyak penghuni sebuah
kawasan, maka semakin kompleks fasilitas yang dibutuhkan. Ibnu
Khaldun mengemukakan, bahwa setelah kedaulatan dicapai, orang

16
dituntut untuk menguasai kota-kota karena dua alasan. Pertama,
kedaulatan menyebabkan rakyat berusaha hidup tenteram, tenang, dan
santai, serta berusaha melengkapi aspekaspek peradaban, ‘umran, yang
langka di padang pasir. Kedua, para saingan dan musuh dapat
menyerang kerajaan, dan setiap orang harus mempertahankan diri dari
serangan itu.
‘Umran dalam bahasa Arab dari kata ‘amara – ya’muru – ‘umran –
‘amaratan artinya dihuni – sedang menghuni – tempat hunian. ‘Umran
disebut juga dalam arti bangunan. ‘Amara juga asal kata umur atau usia.
25 Dengan demikian dapat dimaknai bahwa kemanfaatan usia
seseorang dapat dilihat dari fasilitas atau gedung yang telah dibangun.
Menurut Muhsin Mahdi. ‘umran dalam bahasa Arab, akarnya adalah ‘-
m-r yang memiliki arti pokok ; (a) tinggal, menempati, diam
meneruskan, menetap pada suatu tempat, (b) yang didiami, tersedia,
atau diolah dan ditanami, dalam keadaan baik, dan (c) Menanam,
membangun, melembagakan, memajukan, mengamati, mengunjungi
atau mengarahkan ‘Umran dapat berarti yang didiami, kegiatan, hidup
yang sibuk, kemakmuran yang berkembang dan penuh kemajuan;
penduduk yang banyak dan kemakmuran sebuah negeri, kultur,
peradaban; bangunan, gedung, dan struktur.27 Lalu Muhsin Mahdi
memberi makna singkat kepada ‘Ilm al-‘Umran sebagai “ilmu kultur”.
Sosiolog Fuad Baali memberi makna kepada ‘Ilm ‘Umran sebagai
“ilmu organisasi sosial” yang dalam istilah modern tidak lain adalah
sosiologi. Baali kemudian mengutip pendapat P.A. Sorokin tentang al-
Muqaddimah sebagai “the earliest systematic treatise both in sosiology
and in rural-urban sociology”
Dalam kitab al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun merinci cakupan ‘Ilm
al-‘Umran dalam enam bagian pokok, yaitu :
o Tentang peradaban manusia pada umumnya, jenisnya
bermacammacam, porsi bumi yang beradab.

17
o Tentang peradaban padang pasir, termasuk laporan
tentang suku-suku dan bangsa-bangsa primitif dan liar.
o Tentang dinasti-dinasti kekhilafahan, dan kekuasaan
bangsawan, termasuk pembicaraan mengenai hierarki
pemerintahan.
o Tentang peradaban penduduk, menetap, negeri-negeri
dan kotakota.
o Tentang keahlian, cara-cara melangsungkan kehidupan,
posisiposisi yang menguntungkan dan berbagai
aspeknya.
o Tentang berbagai ilmu pengetahuan, cara
pencapaiannya, dan kajian tentang ilmu-ilmu.

3. Teori Kebangsaan (‘ashabiyah)


Naluri manusia secara alami, selalu mencari orang yang memiliki
kesamaan pada dirinya untuk mencapai suatu tujuan. Ada tujuan
insidentil dan ada tujuan permanen. Tujuan insidentil adalah
kepentingan sesaat atau jangka pendek, yang hendak dicapai dalam
tempo yang sesingkat-singkatnya. Misalnya, pada sebuah perjalanan
menuju suatu tempat. Seseorang selalu bertanya kepada orang lain
yang juga melakukan perjalanan. Pertanyaannya adalah siapa yang
hendak menuju suatu tempat. Kalau jawaban dari orang lain itu
memiliki maksud yang sama dengan penanya, yakni samasama tujuan,
maka akan berlanjut keakraban, karena memiliki persamaan
kecemasan untuk mencapai tujuan itu. Semakin banyak orang yang
memiliki tujuan yang sama, maka akan semakin mengurangi tingkat
kecemasan dan meningkatkan perasaan kegembiraan, karena tercipta
suatu kekuatan.
Ibnu Khaldun mengemukakan, kerajaan dan dinasti hanya bisa
ditegakkan atas bantuan dan solidaritas rakyat. Sebagaimana telah kita
ketahui, kemenangan terdapat di pihak yang mempunyai solidaritas

18
lebih kuat, dan yang anggota-anggotanya lebih sanggup berjuang dan
bersedia mati guna kepentingan bersama.
Kekuatan soliditas dan solidaritas dalam Islam mengambil tempat
yang sangat tepat, ketika jihad dikumandangkan dengan tujuan untuk
menegakkan syariat Islam. Ghirah dan gairah umat Islam begitu kuat,
jika semangat dakwah menjadi ruh perjuangan membangun kekuasaan
politik. Karena dengan kekuasaan, dakwah dapat dilaksanakan dengan
baik dan benar.
Ibnu Khaldun menguraikan teori ‘ashabiyah dengan panjang lebar,
termasuk macam, kadar dan pengaruhnya terhadap kehidupan
bernegara, sebagai berikut :
 Solidaritas kelompok terdapat dalam watak manusia. Dasarnya
dapat bermacam-macam: ikatan darah atau persamaan
keturunan, bertempat tinggal berdekatan atau bertetangga,
persekutuan atau aliansi, dan hubungan antara pelindung dan
yang dilindungi. Pembangkit ‘ashabiyah adalah rasa malu pada
setiap manusia kalau terjadi perlakuan tidak adil atau
penganiayaan atas mereka yang mempunyai hubungan
berdasarkan satu atau lebih dari ikatan-ikatan tersebut.
 Adanya solidaritas kelompok yang kuat merupakan suatu
keharusan bagi bangunnya suatu dinasti atau negara besar.
Oleh karenanya jarang terjadi suatu dinasti dapat berdiri di
suatu kawasan di mana terdapat beraneka ragam suku. Sebab
dalam keadaan yang demikian masing-masing suku
mempunyai kepentingan dan aspirasi yang berbeda-beda satu
sama lain, dan tiap kepentingan dan aspirasi suku-suku tersebut
didukung oleh ashabiyah suku, atau dengan perkataan lain
dinasti yang besar dan kuat hanya dapat berdiri apabila terdapat
homogenitas, sehingga menimbulkan solidaritas kelompok
yang kuat.

19
 Seorang kepala negara atau raja, agar mampu secara efektif
mengendalikan ketertiban negara dan melindunginya, baik
terhadap gangguan dari dalam maupun terhadap ancaman dari
luar, harus memiliki wibawa yang besar dan kekuatan fisik
yang memadai. Untuk itu dia memerlukan solidaritas kelompok
yang besar dan kuat berupa loyalitas dari kelompoknya dalam
menghadapi tantangan, baik dari dalam maupun dari luar
negeri terhadap otoritas dan kekuasaannya. Oleh karenanya,
dari berbagai ashabiyah atau solidaritas kelompok terdapat di
negara itu, kepala negara atau raja harus berasal dari solidaritas
kelompok yang paling dominan.
 Banyak dinasti atau negara besar yang bangun dari atau agama,
oleh karena kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa atau raja
itu berkat adanya superiritas atau keunggulan. Keunggulan
tercapai karena adanya solidaritas kelompok yang kuat, dan
hanya dengan pertolongan Tuhan dalam menegakkan agama
maka manusia sepakat untuk tidak mendesakkan kemauan atau
ambisinya masing-masing, dan sebaliknya bersatu hati untuk
mengusahakan tujuan-tujuan yang lebih mulia.

Teori ‘ashabiyah yang dikemukakan Ibnu Khaldun menjadi


ikatan kebangsaan, di dalamnya terdapat kepentingan persamaan
nasib yang diayomi oleh sistem kenegaraan. Pemimpin yang tampil
menjadi kepala negara, lahir dari konsensus warga negara melalui
pemilihan umum. Setiap warga negara yang memenuhi syarat
untuk memilih, memiliki kedaulatan individu untuk menentukan
pilihan sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh otoritas
penyelenggara pemilihan umum. (Syamsuri Akil, 2020).

20
J. Teori Thaba’i al-Umran Ibnu Khaldun
Ibn Khaldun merupakan seorang tokoh politisi besar dan termasuk dalam
salah satu tokoh pemikir Arab-Islam yang terbaik di sepanjang masa. Ibn
Khaldun banyak meninggalkan pola cara berpikir kritis dengan berintelektual
tinggi, warisan intelektual tersebut diakui oleh para pakar sarjana dari berbagai
disiplin ilmu di dunia. Akan tetapi ada dari beberapa segi aspek ide (gagasan),
pemikiran, dan pernyataan Ibn Khaldun yang belum dapat terpaparkan secara
keseluruhan makna seperti salah satunya mengenai al-‘Umran (peradaban)
yang dinyatakan sebagai ilmu baru (Riyadi, 2018: 48).
Abdurrahman bin Khaldun (732-808 H/ 1332-1406 M) merupakan
kalangan pejuang  dari keluarga Eropa. Beliau hidup dalam kondisi politik dan
kesukuan yang amat rumit. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun sering berpindah
tempat dari dinasti-dinasti politik lantaran  problematika yang menghimpit
Islam saat itu serta ketidakpuasannya terhadap pemikiran darinya yang ditolak
oleh beberapa orang sekitar. Dengan proses rihlah Ibnu Khaldun tersebut telah
memberikan dampak yang amat dalam pemikirannya hingga akhirnya ia
berpindah halauan menjadi ilmuan serta meninggal tepat di Mesir. Ibnu
Khaldun adalah tokoh yang terkemuka, datangnya ia disaat Islam sedang
dalam masa mencengkam (Muhammad, 2008: 2). Didasari dari pemikiran
yang kritis dan inovativ yang dimilikinya tersebut, menjadikannya selalu
berpikir kedepan-maju lantaran permasalah yang ada hingga keributan yang
terjadi pada masanya. Kemudian Ibnu Khaldun memunculkan sebuah
penjabaran baru yang tidak sedikit pula para tokoh terkemuka ikut serta
mengkritik dan ada pula yang mengapresiasi pembaharuan tersebut melalui
pengkolaborasian dengan disiplin ilmu lainnya, pembaharuan dari Ibnu
Khaldun yang disebut al-Umran.
Hakikatnya manusia adalah makhluk sosial (Al-insanu madaniyyun bit-
thab’i) istilah madani yang bersangkutan dengan makna kota, dan istilah ini
digunakan untuk organisasi sosial (al-ijtima’ al-basyariy) yang bermakna
bahwa manusia membutuhkan orang lain dengan ketertarikannya untuk
berkumpul, berdiskusi (tukar pikiran) dan berinteraksi terhadap sesama, hal

21
tersebut menjadikan syarat esensial sebagai sarana untuk membangun
peradaban dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Continuity and change
(mengadopsi dan mengganti) merupakan sebuah istilah untuk makna
peradaban itu sendiri dimana ia terjun dalam suatu era untuk mengadopsi
banyak tradisi kemudian menarik visi dan misinya sendiri, begitupun
seterusnya (Jurdi, 2008: 55).
Masyarakat pada umumnya memiliki siklus kehidupan yang sama, begitu
pula dengan peradaban yang mengalami siklus perputaran meskipun dengan
durasi waktu yang berbeda. Perputaran siklus yang dialami tidak lain adalah
dari awal masa lahir-tumbuh-dewasa-stagnan-menua-mati, dan proses tersebut
akan terus berjalan sedemikian rupa layaknya roda yang berputar. Ibnu
Khaldun menilik lebih jauh pandangannya mengenai struktur sosial yang
dilihat dari aspek kontrol sosial yang disebut yaitu badawa (primitif)
dan hadharah (peradaban) (Jurdi, 2008: 59).
Konsep dasar al-Umron dalam pemikiran Ibnu Khaldun diantaranya
adalah asosiasi manusia dan kebudayaan manusia. Al-Umran memiliki makna
luas, meliputi frame seluruh aspek aktifitas kemanusiaan, di antaranya
mencakup geografi peradaban, perekonomian, sosial, politik, dan ilmu
pengetahuan, sehingga tujuan akhir yang akan dicapainya adalah tercapai
puncak peradaban bumi (Kasdi, 2014: 294). Memahami sejarah dasar
mengenai Thaba’i al-Umran sama halnya mempelajari karakter
perkembangan peradaban manusia (‘umran) dari awal perkembangan sampai
akhir runtuhnya peradaban manusia. Begitupun dari fenomena-fenomena
sosial dalam kehidupan yang sifatnya pasti dan percaya bahwasannya hal
tersebut memiliki hukum sebab-akibat dan dapat dikatakan bahwa setiap
peradaban memiliki ciri mengenai kebudayaan.
Secara umum mengenai perbedaan antara badawa dan hadharah dapat
dilihat dari corak kehidupannya. Ibnu Khaldun membagi menjadi dua
perkembangan  yang dipaparkannya yaitu; Badawa yang merupakan
masyarakat desa dengan ketergantungannya terhadap alam lewat
kesederhanaan, kebebasan dan banyaknya kebutuhan menjadikan masyarakat

22
yang lebih condong untuk melakukan usaha. Hadharah yang merupakan
masyarakat dengan kemewahan hidup memajukan kota-kota yang ada dan
gaya hidup lebih modern dimana kehidupannya lebih terpenuhi serta
memanfaatkan kekayaan yang sudah didapatkan.

POKOK PIKIRANNYA TENTANG SEJARAH


Suatu gejala yang timbul pada pemikiran Islam, yaitu metode yang
diciptakan oleh Ibnu Khaldun dalam penelitiannya terhadap sejarah
mendapatkan sambutan yang sangat luar biasa dari generasi pada masanya dan
generasi sesudahnya. Pemikir ini mendapati bahwa manusia mengkaji sejarah
secara tradisional terbatas dalam menyebutkan peristiwa-peristiwa politik dan
peperangan dengan melupakan bahwa sejarah itu adalah ilmu kemanusiaan
yang mengkaji semua gejala sosial termasuk ekonomi, sains, agama, akhlak,
dan politik. Selain dari itu kaidah tradisional yang diikuti oleh sejarawan-
sejarawan tidak luput dari cacat cela, oleh sebab ia tidak berdasar pada prinsip
menyelidiki cerita-cerita dan mengkritiknya.
Ibnu Khaldun menerangkan sebab-sebab yang menyebabkan sejarawan
tidak sanggup membedakan antara yang benar dan yang dusta pada cerita-
cerita sejarah. Diantaranya adalah fanatisme terhadap suatu pendapat atau
suatu aliran agama tertentu. Selain itu juga adalah cepat percaya,
ketidaksanggupan menafsirkan peristiwa-peristiwa, dan mencari muka kepada
penguasa melalui pujian dan sanjungan. Yang terpenting dari semuanya
adalah bahwa sejarawansejarawan itu tidak tahu bahwa masyarakat itu punya
undang-undang tertentu yang dilaluinya. Undang-undang inilah yang harus
dijadikan dasar untuk membedakan antara cerita-cerita yang benar dan yang
bohong. (Sujati, 2018).
Jadi penelitian sejarah itu tidak akan berguna jika ia tidak berdasar pada
kajian terhadap masyarakat yang kita tulis sejarahnya itu. Ibnu Khaldun
memberi nama penelitian masyarakat dengan ilmu umran. Ia mengakui bahwa

23
ilmu ini berdiri sendiri, sebab ia meneliti hal yang tidaki diteliti oleh ilmu-
ilmu yang lain.
Di sisi lain, para Ilmuwan sosial sependapat bahwa kemajuan dan
kemunduran suatu masyarakat merupakan fakta sejarah. Akan tetapi, apakah
dan siapakah yang menggerakan dan memungkinkan terjadinya perubahan
sosial itu ? tentang hal ini, berbagai pendapat bermunculan. Plato, Kong Fu
Tse, Thuoydides, Machhiavelli, misalnya berpendapat bahwa penggerak sosial
adalah mereka yang tengah memegang posisi sentral, yaitu para penguasa.
Akan tetapi, bagi Ibnu Khaldun, ia berbeda dengan tokoh-tokoh diatas. Maju-
Mundurnya suatu masyarakat tidaklah disebabkan keberhasilan atau kegagalan
sang penguasa, atau akibat peristiwa kebetulan atau takdir. Bagi Khaldun, ia
lebih mengandalkan masyarakat Syar‟iiyah yang akan mengalami perubahan
sebaik-baiknya. Akan tetapi, bukan hal ini yang dialami Khaldun, tetapi justru
perubahan sosial sebagaimana yang berlangsung secara global itu sendiri.
Bagi Khaldun, semua perubahan sosial menyusur rentang waktu sekitar
120 tahun, terangkat atas tiga generasi yang masing-masing berusia 40 tahun.
Lagi-lagi teori ini, menurut Mahyuddin, merupakan inspirasi yang diperoleh
dari Al-Qur‟an. Betapapun teori ini masih dapat diperdebatkan, tetapi yang
justru menarik adalah persoalan „Ashabiyah (solidaritas) yang terdapat dalam
anggota masyarakat itu. Dengan melihat tinggi rendahnya kadar „Ashabiyah
diatas, Khaldun menggolongkan masyarakat atas dua bagian. Pertama,
Masyarakat Badawah (badawi), dan kedua : masyarakat hadharah (peradaban).
Jenis pertama merujuk pada suatu golongan masyarakat sederhana, hidup
mengembara dan lemah dalam peradaban. Akan tetapi, perasaan senasib, dasar
norma-norma, nilai-nilai serta kepercayaan yang sama pula dan keinginan
untuk bekerjasama merupakan suatu hal yang tumbuh subur dalam masyarakat
ini. Ringkasnya, „Ashabiyah (solidaritas) dalam masyarakat ini sangat kuat.
Adapun masyarakat kedua, ditandai oleh hubungan sosial yang impersonal
dan sering superfisial. Masing-masing pribadi berusaha untuk memenuhi
kebutuhan pribadinya, tanpa menghiraukan yang lain. Khaldun menjelaskan
bahwa semakin modern suatu masyarakat, semakin melemahlah

24
nilai‟Ashabiyah atau solidaritas. Integrasi sosial yang rendah mengakibatkan
kontrol sosial yang rendah pula. Sebaliknya, integrasi sosial yang tinggi akan
membuahkan kontrol sosial yang tinggi pula.

BAB III

25
PENUTUP

A. Kesimpulan

Ibn Khaldun merupakan seorang tokoh politisi besar dan termasuk


dalam salah satu tokoh pemikir Arab-Islam yang terbaik di sepanjang
masa. Ibn Khaldun banyak meninggalkan pola cara berpikir kritis dengan
berintelektual tinggi, warisan intelektual tersebut diakui oleh para pakar
sarjana dari berbagai disiplin ilmu di dunia. Akan tetapi ada dari beberapa
segi aspek ide (gagasan), pemikiran, dan pernyataan Ibn Khaldun yang
belum dapat terpaparkan secara keseluruhan makna seperti salah satunya
mengenai al-‘Umran (peradaban) yang dinyatakan sebagai ilmu baru.

Agama menjadi 'katalisator' yang memberikan kepada manusia, di


samping waktu dan tanah, tanda dimulainya siklus peradaban. Agama
merupakan katalisator bagi ketiga unsur tersebut (manusia, tanah, dan
waktu). Agama dapat mengkatalisasi nilai-nilai sosial yang ia gambarkan
ke dalam gagasan kolektif yang lebih efektif. Tetapi, ketika agama
(keimanan) menjadi keyakinan yang 'tumpul' tanpa cahaya, maka misi
historisnya di bumi akan berakhir. Agama tak lagi dapat mendorong suatu
peradaban, karena telah menjadi keimanan pada pertapa, yang menarik diri
dari kehidupan dan melepaskan kewajiban dan tanggung jawabnya.

B. Saran

26
Dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari
kata sempurnah, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

27
Diajukan, S., Ushuluddin, F., Uin, F., Ampel, S., Oleh, D., & Nim, F. (2022).
ALQURAN DAN PERADABAN MANUSIA PERSPEKTIF MUHAMMAD SAI
> D RAMAD } A > N AL-BU > T } I >.

Sudrajat, A., & Barat, S. A. (2009). No Title. 1–16.

Sujati, B. (2018). Konsepsi Pemikiran Filsafat Sejarah Dan Sejarah Menurut Ibnu
Khaldun. Jurnal Tamaddun : Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan Islam, 6(2),
127–148. https://doi.org/10.24235/tamaddun.v6i2.3521

Syamsuri Akil. (2020). PERADABAN INFRASTRUKTUR IBNU KHALDUN


(Perspektif Perpindahan Ibu Kota Negara Republik Indonesia). Rausyan
Fikr, 16(2), 213–241.

28

Anda mungkin juga menyukai