Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

seseorang tersebut merasa sehat dan bahagia, mampu menghadapi tantangan hidup

serta dapat menerima orang lain sebagaimana seharusnya serta mempunyai sikap

positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana

seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial

sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi

tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk

komunitasnya. Kondisi perkembangan yang tidak sesuai pada individu disebut

gangguan jiwa (UU No.18 tahun 2014).

Gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal,

baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental (Yosep, 2007).

Menurut data World Health Organization (WHO) masalah gangguan jiwa di

seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat serius. WHO dalam

Yosep (2007) menyatakan, paling tidak, ada satu dari empat orang di dunia

mengalami masalah mental dan saat ini di perkirakan ada 450 ribu penderita

ganggguan jiwa di dunia. Pada saat ini kecenderungan penderita dengan gangguan

jiwa jumlahnya mengalami peningkatan.

Salah satu bentuk dari gangguan jiwa adalah skizofrenia, dimana

skizofrenia merupakan suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan

timbulnya pikiran, persepsi, emosi, dan perilaku yang aneh dan terganggu.

Penyakit ini ditakuti sebagai gangguan jiwa yang berbahaya dan tidak dapat

1
dikontrol, dan mereka yang terdiagnosis penyakit ini digambarkan sebagai

individu yang tidak mengalami masalah emosional atau psikologis yang terkendali

dan memperhatikan perilaku yang aneh dan amarah (Videbeck,2008).

Departemen kesehatan Republik Indonesia Riset Kesehatan Dasar

(Rikesdas, 2013) menyatakan bahwa jumlah gangguan jiwa berat

psikosis/skizofrenia diindonesia dimana provinsi-provinsi memiliki gangguan jiwa

terbesar yaitu urutan pertama DI Yogyakarta (0,27%), urutan kedua Aceh

(0,27%), urutan ketiga Sulawesi Selatan (0,26%), Bali menempati urutan keempat

(0,23%), dan Jawa Tengah menempati posisi kelima (0.23%). Berarti bahwa

provinsi Jawa Tengah menempati urutan kelima (Riskesdas, 2013). Penduduk

Jawa Tengah yang mengalami gangguan jiwa skizofrenia mulai muncul pada usia

sekitar 15 -35 tahun. Cakupan kesehatan jiwa Kabupaten Kebumen di puskesmas

pada tahun 2015 tercatat 6.293 jiwa (laki – laki 3.559 jiwa dan perempuan 2.734

jiwa), Kabupaten Kebumen menduduki peringkat kedua sebagai wilayah dengan

penderita gangguan jiwa terbanyak setelah Kabupaten Semarang. Hasil pendaan di

35 puskesmas di Kabupaten Kebumen dari 26 kecamatan tercatat 773 warga

mengalami gangguan jiwa.

Pasien yang mengalami skizofrenia gejalanya salah satunya terjadi

gangguan persepsi sensori berupa halusinasi akibat adanya kecemasan yang

berkepanjangan yang tidak dapat diatasi oleh pasien mekanisme koping yang ada

pada diri pasien. Sementara pendapat lain, mengatakan bahwa halusinasi yang

terjadi pada pasien skizofrenia halusinasi isi kejaran atau kebesaran dan gangguan

alam perasaan dan perilaku kecemasan yang tidak menentu, kemarahan, suka

bertengkar, berdebat, dan tindak kekerasan (Hawari, 2014).

2
Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana klien mempersepsikan

sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi (Muhith 2011). Halusinasi bisa berupa

suara-suara yang bising atau mendengung, dan yang paling sering berupa kata-

kata yang tersusun dalam bentuk kalimat. Biasanya kalimat tersebut

membicarakan mengenai keadaan pasien yang ditujukan pada pasien tersebut.

Akibatnya pasien menjadi marah, bahkan menciderai diri, orang lain dan

lingkungan yang terjadi karena suara halusinasi tersebut. Pasien juga terlihat

seperti mendengarkan suara dan berbicara keras-keras seperti menjawab

pertanyaan seseorang dan bibirnya bergerak-gerak. Kadang-kadang pasien

menganggap halusinasi datang dari setiap tubuh atau diluar tubuhnya, halusinasi

ini kadang-kadang menyenangkan misalnya bersifat khayalan, ancaman dan lain-

lain (Fitria Nita 2009).

3
Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Jambi, merupakan rumah sakit jiwa

satu-satunya yang ada di kota Jambi, yang melayani berbagai pasien dengan

masalah kejiwaan dan juga melayani penyakit umum.

Tabel 1.1 Berdasarkan Laporan Diagnosa keperawatan aktual rawat


inap RSJD Provinsi Jambi tahun 2017

No Diagnosa Keperawatan Jumlah


1 Halusinasi 7693
2 Perilaku Kekerasan 457
3 ISOS 358
4 DPD 251
5 Waham 102
6 RBD 101
7 HDR 67

Sumber : Laporan Diagnosa Keperawatan Aktual Tahun 2017 ruang rawat inap
RSJD Provinsi Jambi
Berdasarkan data dari Laporan Diagnosa Aktual rumah sakit jiwa daerah

propinsi jambi didapatkan pada tahun 2017 dari 9029 diagnosa actual dirawat

inap terdapat diagnose keperawatan halusinasi pada tahun 2017 di sejumlah

7693 diagnosa dengan halusinasi dengan peringkat pertama dari 7 diagnosa

kepearawatan actual dirawat inap RSJD Provinsi Jambi. Dari wawancara awal

dengan 2 pasien halusinasi pada tanggal 05 juli 2018, dari 17 pasien diruang

arjuna didapat hasil bahwa 2 pasien yang diwawancara masing-masing selama

10 menit masih terdapat gejala halusinasi yang ditimbulkan pasien diantaranya :

pasien terlihat tersenyum dan tertawa sendiri, pasien menggerakan bibir tanpa

suara pergerakan mata yang cepat, respons verbal lambat. Pasien juga

mengatakan kurang mampu untuk mengontrol halusinasinya sewaktu muncul.

Ketika ditanya apakah pasien mengetahui gangguan apa yang pasien alami,

pasien mengatakan halusinasi, namun ketika ditanya apa itu halusinasi pasien

hanya diam, kemudian pasien terlihat tidak mampu mengontrol halusinasi

denngan cara menghardik secara mandiri. Pasien juga tidak tahu tentang obat-

4
obatan yang dikonsumsinya yang pasien tahu hanya jumlah obat yang

dikonsumsinya.

Berdasarkan data diatas peneliti berminat untuk menyusun Karya Tulis

Ilmiah dengan judul “ Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan Gangguan Halusinasi

Pendengaran di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi.

5
B. Tujuan

1. Tujuan Umum Menerapkan asuhan keperawatan klien dengan


gangguan persepsi halusinasi pendengaran secara komprehensif
2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari asuhan keperawatan klien dengan
gangguan persepsi halusinasi pendengaran :
a. Melakukan pengkajian pada pasien yang mengalami
halusinasi pendengaran.
b. Menentukan masalah keperawatan pada pasien dengan
halusinasi pendengaran.
c. Menentukan rencana keperawatan pada pasien dengan
halusinasi pendengaran.
d. Melaksanakan tindakan keperawatan sesuai rencana pada
pasien dengan halusinasi pendengaran.
e. Mengevaluasi sesuai dengan implementasi keperawatan pada
pasien dengan halusinasi pendengaran.
f. Mendokumentasikan penerapan proses keperawatan pada
pasien dengan halusinasi pendengaran.

6
C. Manfaat Penulisan

1. Penulis
a. Mempraktikan dan menerapkan asuhan keperawatan jiwa dengan
halusinasi.
b. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam penerapan asuhan
keperawatan jiwa.
2. Institusi
a. Mengevaluasi sejauh mana mahasiswa dalam menerapkan asuhan
keperawatan jiwa.
b. Bahan bacaan untuk menambah wawasan bagi para mahasiswa yang
barkaitan dengan asuhan keperawatan jiwa.

7
BAB II
KONSEP DASAR

A. Konsep Halusinasi
1. Pengertian
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana pasien
mengalami perubahan sensori persepsi, seperti merasakan sensasi palsu
berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan, klien
merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada (Muhith, 2011). Halusinasi
dapat didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori seseorang,
dimana tidak terdapat stimulus (Yosep, 2009).
Pengertian halusinasi berdasarkan referensi di atas adalah persepsi
klien yang salah terhadap lingkungan tanpa adanya rangsangan atau
stimulus yang nyata sehingga klien mempersiapkan dan merasakan
sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.

2. Etiologi
Menurut Muhith (2011)Faktor penyebab yang mendukung
terjadinya halusinasi diantaranya adalah :
1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan
jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk
mengatasi stres. Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya,
mengenai faktor perkembangan sosisal kultural, biokimia, psikologis,
dan genetik yaitu faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stres.
Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya
respon neurobiology seperti pada halusinasi antara lain :
a. Faktor genetik
Telah diketahui bahwa secara genetik schizophrenia diturunkan
melalui kromosom-kromosom tertentu. Namun demikian,
kromosom yang keberapa menjadi faktor penentu gangguan ini
sampai sekarang masih dalam tahap penelitian.

8
b. Faktor perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan
interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stres dan
kecemasan.
c. Faktor neurobiology
Ditemukan bahwa kortex pre frontal dan kortex limbic pada klien
dengan schizophrenia tidak pernah berkembang penuh. Ditemukan
juga pada klien schizophrenia terjadi penurunan volume dan
fungsi otak yang abnormal.
d. Faktor neurotransmitter
Schizophrenia diduga juga disebabkan oleh adanya
ketidakseimbangan neurotransmitter serta dopamine berlebihan,
tidak seimbang dengan kadar serotinin.
e. Faktor biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan
adanya stres yang berlebihan yang dialami seseorang, maka tubuh
akan menghasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik
neurokimia sepertiBuffofenon dan Dimetytranferase (DPM).
f. Teori virus
Paparan virus influenza pada trimester ke-3 kehamilan dapat
menjadi faktor predisposisi schizophrenia.
g. Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi
schizophrenia, antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang
pencemas, terlalu melindungi, dingin dan tidak berperasaan,
sementara ayah yang mengambil jarak dengan anaknya.
h. Faktor sosiokultural
Berbagai faktor dimasyarakat dapat menyebabkan seorang merasa
disingkirkan oleh kesepian terhadap lingkungan tempat klien
dibesarkan(Muhith,2011).

9
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu

sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi

ekstra untuk menghadapinya. Adanya rangsangan dari lingkungan,

dan juga suasana sepi atau terisolasi sering menjadi pencetus

terjadinya halusinasi. Hal tersebut dapat meningkatkan stres dan

kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik

(Fitria Nita,2009)

3. Jenis halusinasi
Menurut Muhith (2011) menjelaskan jenis-jenis halusinasi sebagai berikut:
1. Halusinasi pendengaran
Mendengarkan suara atau kebisingan yang kurang jelas ataupun yang
jelas, di mana terkadang suara-suara tersebut seperti mengajak
berbicara klien dan kadang memerintah klien untuk melakukan
sesuatu.
2. Halusinasi penglihatan
Stimulus visual dalam betuk kilatan atau cahaya, gambaran atau
bayangan yang rumit dan kompleks. Bayangan bisa menyenangkan
atau menakutkan.
3. Halusinasi penghidu
Membau bau-bauan tertentu seperti bau darah, urine, feses, parfum,
atau bau yang lain. Ini sering terjadi pada seseorang pasca serangan
stroke, kejang atau demensia.
4. Halusinasi pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti darah, urine, feses, atau lainnya.
5. Halusinasi perabaan
Merasa mengalami nyeri, rasa tersetrum atau ketidaknyamanan tanpa
stimulus yang jelas.

10
6. Halusinasi canesthetic

Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri,


pencernaan makanan atau pembentukan urine.
7. Halusinasi kinestetika
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

4. Tahapan halusinasi
Halusinasi berkembang melalui empat tahap berdasarkan (Ermawati
dkk, 2009) yaitu sebagai berikut :
1. Tahap I (Non-psikotik)
Memberi nyaman tingkat ansietas sedang secara umum halusinasi
merupakan suatu kesenangan.
Karakteristik:

a) Mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan.


b) Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas.
c) Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam kontrol kesadaran.
Perilaku yang muncul:
 Tersenyum atau tertawa sendiri.
 Menggerakan bibir tanpa suara
 Pergerakan mata yang cepat
 Respons verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi.
2. Tahap II
Tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami
tingkat kecemasan berat. Secara umum halusinasi yang ada dapat
menyebabkan antipati.
Karakteristik:
a) Pengalaman sensori menakutkan.
b) Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut.
c) Mulai merasa kehilangan kontrol.
d) Menarik diri dari orang lain.

11
Perilaku yang muncul:
1) Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan, dan tekanan
darah.
2) Perhatian terhadap lingkungan berkurang.
3) Konsentrasi terhadap pengalaman sensoripun.
4) Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dengan
realitas.
3. Tahap III
Klien biasanya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, tingkat
kecemasan berat, dan halusinasi tidak dapat ditolak.
Karakteristik:
a. Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya (halusinasi).
b. Isi halusinasi menjadi atraktif.
c. Klien menjadi kesepian bila pengalaman sensori
berakhir. Perilaku yang muncul:
1) Perintah halusinasi ditandai
2) Sulit berhubungan dengan orang lain.
3) Perhatian terhadap lingkungan sedikit kurang atau hanya
beberapa detik.
4) Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tampak tremor
dan berkeringat.
4. Tahap IV
Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat
panik.
Perilaku yang muncul:
a. Perilaku panik.
b. Potensial untuk bunuh diri atau membunuh.
c. Tindak kekerasanagitasi, menarik atau katatonik.
d. Tidak mampu merespon terhadap lingkungannya.

12
5. Pohon Masalah
Pohon masalah berdasarkan Fitria (2009) adalah sebagai berikut:
Bagan 1.1 Pohon Masalah
Effect Resiko Tinggi Prilaku Kekerasan

Core Problem Gangguan Persepsi Sensori; Halusinasi

Causa
Isolasi Sosial

Harga Diri Rendah Kronis

6. Masalah keperawatan yang muncul


Menurut Fitria Nita (2009) masalah keperawatan yang muncul pada
perilaku skizofrenia sebagai berikut :
a. Risiko tinggi Perilaku Kekerasan.
b. Perubahan persepsi sensori : halusinasi.
c. Harga diri rendah kronis.

13
B. Asuhan Keperawatan Halusinasi

1. Data yang perlu dikaji


Data yang perlu dikaji
sebagai berikut:
Tabel 2.1 Pengkajian Halusinasi Pendengaran
Masalah keperawatan Data yang Perlu Dikaji

Perubahan persepsi sensori : subjektif :


Halusinasi a. Klien mengatakan mendengar
sesuatu
b. Klien mengatakan melihat
bayangan putih
c. Klien mengatkan dirinya
disengar listrik
d. Klien mencium bau-bauan yang
tidak sedap, feses.
e. Klien mengatakan kepalanya
melayang diudara.
f. Klien mengatakan merasakan
ada sesuatu yang berbeda dalam
dirinya.

Objektif :
a. Klien terlihat bicara atau
tertawa sendiri saat dikaji
b. Bersikap seperti mendengarkan
sesuatu
c. Berhenti ditengah-tengah
kalimat untuk mendengarkan
sesuatu
d. Disorientasi
e. Konsentrasi rendah
f. Fikiran cepat berubah-rubah
g. Kekacauan alur fikiran

Sumber : Fitria Nita (2009)

14
2. Diagnosa Keperawatan
Gangguan persepsi Sensori : halusinasi

3. Rencana tindakan keperawatan


Rencana keperawatan berdasarkan (Fitria 2009) adalah sebagai
berikut:
1. Tindakan Keperawatan untuk Klien
Tujuan tindakan untuk klien adalah sebagai berikut.
a. Klien mengalami halusinasi yang dialaminya.
b. Klien dapat mengontrol halusinasinya.

c. Klien mengikuti program pengobatan secara optimal.

Tindakan keperawatan :
1) Membantu klien mengenali halusinasi.
Diskusi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
membantu klien mengenali halusinasinya. Perawat dapat
berdiskusi dengan klien terkait isi halusinasi (apa yang
didengar atau dilihat), waktu terjadi halusinasi, frekuensi
terjadinya halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi
yang menyebabakan halusinasi muncul, dan perasaan klien
saat halusinasi muncul (komunikasinya sama dengan yang
diatas).
2) Melatih klien mengontrol halusinasi.
Perawat dapat melatih empat cara dalam mengendalikan
halusinasi pada klien. Keempat cara tersebut sudah terbukti
mampu mengontrol halusinasi seseorang. Keempat cara
tersebut adalah menghardik halusinasi, bercakap-cakap dengan
orang lain, melakukan aktivitas yang terjadwal, dan
mengonsumsi obat secara teratur.

15
4. Tindakan Keperawatan Untuk Keluarga Klien
a. Tujuan tindakan untuk keluarga.
Keluarga dapat merawat klien di rumah dan menjadi sistem
pendukung yang efektif untuk klien.
b. Tindakan keperawatan.
Keluarga merupakan faktor vital dalam penanganan klien
gangguan jiwa di rumah.
Hal ini mengingat keluarga adalah sistem pendukung terdekat
dan orang yang bersama-sama dengan klien selama 24 jam.
Keluarga sangat menentukan apakah klien akan kambuh atau
tetap sehat. Keluarga yang menukung klien secara konsisten
akan membuat klien mampu mempertahankan program
pengobatan secara optimal. Namun demikian, jika keluarga
tidak mampu merawat maka klien akan kambuh bahkan akan
memulihkannya kembali akan sangat sulit. Oleh karena itu,
perawat harus melatih keluarga klien agar mapu merawat klien
gangguan jiwa di rumah.
Pendidikan kesehatan kepada keluarga dapat dilakukan
melalui tiga tahap.Tahap pertama adalah menjelaskan tentang
masalah yang dialami oleh klien dan pentingnya peran keluaraga
untuk mendukung klien. Tahap kedua adalah melatih keluarga
untuk merawat klien langung.Informasi yang perlu disampaikan
kepada keluarga meliputi pengetian halusinasi, cara merawat
klien halusinasi, (cara berkomunikasi, pemberian obat dan
pemberian aktivitas kepada klien), serta sumber-sumber
pelayanan kesehatan yang di jangkau.

16
5. Strategi Pelaksanaan
Adapun strategi pelaksanaan untuk dengan masalah keperawatan
gangguan persepsi sensori halusinasi berdasarkan (Fitria Nita) adalah
sebagai berikut :
A. SP 1
a. Menggali halusinasi yang dialami klien ( isi, frekuensi, waktu,
respon, situasi).
b. Mengajarkan teknik menghardik dengan mengucapkan pergi,
pergi, pergi kamu suara palsu.
c. Membimbing atau meminta klien untuk mendemonstrasikan
teknik mengontrol halusinasi dengan menghardik.
d. Memotivasi klien untuk membuat jadwal latihan menghardik 2
jam sekali.
B. SP II
a. Mengenalkan dan mendemonstrasikan cara kontrol halusinasi
yang kedua yaitu dengan bercakap-cakap.
b. Melatih teknik cara kontrol halusinasi dengan bercakap-cakap
sama teman atau perawat.
C. SP III
a. Mengenalkan dan mendemonstrasikan cara kontrol halusinasi
yang ke-3 yaitu dengan melakukan kegiatan seperti mengepel,
cuci piring, melipat baju.
b. Melatih ulang cara kontrol halusinasi sp 3 dengan melakukan
kegiatan.
D. SP IV
a. Menjelaskan tata cara minum obat secara teratur dengan 5
benar dalam minum obat :
1.       Benar obat
2.       Benar pasien
3.       Benar cara meminumnya
4.       Benar waktunya
5.       Benar dosisnya.

17
6. Terapi Aktivitas Kelompok
Kelompok adalah sekumpulan orang yang saling berhubungan,
saling bergantung satu sama lain dan menyepakati suatu tatanan norma
tertentu. Individu dalam kelompok saling mempengaruhi dan bertukar
informasi melalui komunikasi. Dinamika dalam kelompok bahkan dapat
memfasilitasi perubahan perilaku anggota kelompoknya sehingga apabila
kelompok ini didesain secara sistematis dapat menjadi sarana perubahan
perilaku maladaptif menjadi perilaku adaptif atau dapat difungsikan
sebagai perilaku (Keliat dkk 2011)

7. Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok


Manfaat terapi aktivitas kelompok menurut (Direja, 2011)
1. Terapeutik
a. Umum
a) Meningkatkan kemampuan kemampuan uji realitas (reality
testing) melalui komunikasi dan umpan balik dengan atau dari
orang lain.
b) Melakukan sosialisasi
c) Membangkitkan motivasi untuk kemajuan fungsi kognitif dan
efektif.
b. Khusus
a) Meningkatkan identitas diri
b) Menyalurkan emosi secara konstruktif
c) Meningkatkan ketrampilan hubungan interpersonal atau social
d) Meningkatkan keterampilan ekspresi diri
e) Meningkatkan ketrampilan social
f) Meningkatkan kemempuan empati
g) Meningkatkan kemampuan/pengetahuan pemecahan masalah

18
8. Tujuan Terapi Aktivitas Kelompok
Tujuan terapi aktivitas kelompok menurut (Direja, 2011) :
a. Mengembangkan stimulasi kognitif
Tipe : Biblioterapy.
Aktifitas : menggunakan artikel, sajak, puisi, buku, surat kabar
untuk merangsang dan mengembangkan hubungan dengan orang
lain.
b. Mengembangkan stimulasi sensoris
Tipe : musik, seni, menari.
Aktifitas : menyediakan kegiatan, mengekpresikan perasaan.
Tipe : relaksasi.
Aktifitas : belajar teknik relaksasi dengan cara nafas dalam.
c. Mengembangkan orientasi realitas
Tipe : kelompok orientasi realitas, kelompok validasi.
Aktifitas : fokus pada orientasi waktu, tempat, dan orang, benar,
salah.
d. Mengembangkan sosialisasi
Tipe : kelompok remotivasi.
Aktifitas : mengorientasikan klien yang menarik diri, regresi.

9. Tahapan dalam terapi aktifitas kelompok


Menurut Yalom, yang dikutip Stuart dan Sundeen, 1995.
Menggambarkan fase-fase dalam terapi aktifitas kelompok adalah sebagai
berikut :
a. Pre kelompok
Dimulai dengan membuat tujuan, merencanakan siapa yang menjadi
leader, anggota, tempat, dan waktu kegiatan kelompok yang akan
dilaksanakan serta membuat proposal lengkap dengan media yang
akan digunakan berserta dana yang akan dibutuhkan.
b. Fase awal
Pada fase ini terdapat 3 tahapan yang terjadi, yaitu :
Orientasi, konflik dan kebersamaan.

19
Orientasi : anggota mulai mencoba mengembangkan sistem social
masing-masing, leader mulai menunjukkan rencana terapi dan
mengambil kontrak dengan anggota.
Konflik : merupakan masa sulit dalam proses kelompok, anggota
mulai memikirkan siapa yang berkuasa dalam kelompok, bagaimana
peran anggota, tugasnya, dan saling ketergantungan yang akan
terjadi.
Kebersamaan : anggota mulai bekerjasama untuk mengatasi
masalah, anggota mulai menemukan siapa dirinya.
c. Fase kerja
1) Merupakan fase yang menyenangkan bagi pemimpin dan
anggotanya.
2) Perasaan positif dan negative dapat dikoreksi dengan hubungan
saling percaya yang telah terbina.
3) Semua anggota bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah
disepakati
4) Tanggungjawab merata, kecemasan menurun, kelompok lebih
stabil dan realisitis.
5) Kelompok mulai mengesplorasi lebih jauh sesuai dengan tujuan
dan tugas kelompok dalam menyelesaikan tugasnya.
6) Fase ini ditandai dengan penyelesaian masalah yang
kreatif. Petunjuk untuk leader pada fase ini :
1) Intervensi leader didasari pada kerangka kerja teoritis,
pengalaman, personaliti, dan kebutuhan kelompok serta
anggotanya.
2) Membantu perkembangan keutuhan kelompok dan
mempertahankan batasannya, mendorong kelompok bekerja
pada tugasnya.
3) Intervensi langsung ditujukan untuk menolong kelompok
mengatasi masalah khusus.

20
d. Fase terminasi
Ada dua jenis terminasi, yaitu terminasi akhir dan terminasi
sementara. Anggota kelompok mungkin mengalami terminasi
prematur, tidak sukses atau mengalami sukses. Terminasi dapat
mengakibatkan kecemasan, regresi dan kecewa. Untuk menghindari
hal ini, terapis perlu mengevaluasi kegitan dan menunjukkan sikap
bertapa bermaknanya kegiatan tersebut, menganjurkan anggota
untuk member umpan balik pada tiap anggota.
Terminasi tidak boleh disangkal, tetapi harus tuntas didiskusikan.
Akhir terapi aktifitas kelompok harus dievaluasi, bisa melalui pre
dan post test.

10. Peran perawat dalam terapi aktifitas kelompok


a. Mempersiapkan program terapi aktifitas kelompok.
b. Tugas sebagai leader dan co-leader.
c. Tugas sebagai fasilitator.
d. Tugas sebagai observer.
e. Tugas dalam mengatasi permasalahan yang timbul dalam
pelaksanaan terapi.
f. Program antisipasi masal

21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Studi Kasus


Karya tulis ilmiah ini menggunakan desain dengan pendekatan studi kasus.
Tujuan deskriktif dalam studi kasus ini adalah untuk melihat bagaiman penerapan
asuhan keperawatan jiwa pada penderita dengan halusinasi di Rumah Sakit Jiwa
Daerah Provinsi Jambi tahun 2018.

B. Subjek Studi Kasus


Subjek dalam studi kasus ini adalah klien yang dirawat inap di Rumah Sakit
Jiwa Daerah Provinsi Jambi dengan masalah keperawatan halusinasi. Adapun subjek
studi kasus ini dirumuskan dengan criteria inklusi lainnya sebagai berikut :
1. Klien mampu menggunakan bahas Indonesia dan kooperatif
2. Klien yang memiliki keluarga dan mau bekerja sama dalam menerapkan
asuhan keperawatan
3. Bersedia menjadi responden
4. Insight baik (daya tilik diri) menilai diri sendiri.
5. Pasien rawat inap laki-laki

Sedangkan criteria eklusi dalam studi kasus ini yaitu :


1. Klien dengan gangguan mental organic
2. Klien dalam kondisi gelisah dan tidak kooperatif
3. Klien yang mengalami kecacatan fisik

C. Fokus Studi
Fokus studi adalah tujuan utama dari masalah yang akan dijadikan titik acuan
studi kasus. Fokus studi dalam studi kasus deskriktif ini adalah gambaran pemberian
latihan verbal keperawatan jiwa pada klien dengan Halusinasi yang dirawat inap di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi.

22
D. Defenisi Operasional
Defenisi operasional dalam studi kasus ini adalah Halusinasi Pendengaran :
1. Asuhan keperawatan adalah langkah-langkah pemecahan masalah
keperawatan terkait halusinasi meliputi pengkajian, analisa data, perumusan
masalah keperawatan, perencanaan dan pelaksanaan tindakan keperawatan
meliputi sesi pelaksanaan 1-4 serta evaluasi dari asuhan keperawatan pada
pasien halusinasi pendengaran.
2. Halusinasi pendengaran
Pasien yang mendengarkan suara atau kebisingan yang kurang jelas, dimana
terkadang suara-suara tersebut seperti mengajak berbicara klien untuk
melakukan sesuatu.
E. Tempat dan Waktu
Studi kasus ini direncanakan dilakukan diruang Arjuna Rumah Sakit Jiwa
Daerah Provinsi Jambi. Studi kasus ini direncanakan dilakukan pada bulan Juli
sampai dengan Agustus 2018.

F. Pengumpulan Data
1. Prosedur pengumpulan data
Langkah-langkah dalam prosedur studi kasus ini adalah sebagai berikut :
a. Persiapan :
1) Menyusun proposal sampai seminar proposal dan perbaikan
proposal.
2) Penulis mengajukan permohonan tertulis kepada instansi
penelitian dilakukan yaitu RSJD Provinsi Jambi
3) Setetlah perizinan selesai penulis akan melakukan koordinasi
kepihak terkait.
4) Mengidentifikasi calon subjektif studi kasus yang ada dan
sesuai dengan criteria inklusi penelitian.
5) Membuat kesepakatan dengan subjek kasus yang memenuhi
criteria inklusi.

b. Pelaksanaan :
1) Tahap pengisian Formulir persetujuan menjadi responden.
2) Subjek studi kasus diminta mengisi data sesuai yang tercantum
dalam instrument pengumpul data.

23
3) Tahap pengumpulan data dengan wawancara terpimpin.
4) Melakukan penerapan asuhan keperawatan jiwa sesuai dengan
proses keperawatan yakni penerapan latihan verbal pada klien
Halusinasi.
c. Pelaporan
Pada tahap ini penulis menyusun hasil dari proses studi kasus dan
melakukan pelaporan dalam bentuk hasil seminar hasil penelitian.

2. Alat pengumpulan Data


Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adlah format pengkajian
keperawatan,diagnose keperawatan, perencanaan keperawatan, implementasi
keperawatan, evaluasi keperawatan, dan alat pemeriksaan fisik yang terdiri
dari spyg manometer (tensi meter), stetoskop, thermometer. Pengumpulan
data dilakukan dengan cara anamnesa, pemeriksaan fisik, observasi lansung,
wawancara dan studi dokumentasi.
a. Format pengkajian keperawatan terdiri dari : identitas pasien, alas an masuk,
factor predisposisi, pemeriksaan fisik, psikososial, genogram, konsep diri, dan
program pengobatan.
b. Format analisa data terdiri dari : nama pasien, nomor rekam medis, data,
masalah, dan etiologi (pohon masalah).
c. Format diagnose keperawatan terdiri dari : nama pasien nomor rekam medis,
diagnose keperawatan, tanggal dan paraf ditemukananya masalah, serta
d. Format NCP yang terdiri dari rencana tindakan keperawatan dan implementasi
keperawatan yang diberikan.
e. Evaluasi merupakan lembar evaluasi tindakan keperawatan yang telah
diberikan kepada subjek studi kasus khususnya dalam penerapan latihan
verbal terhadap halusinasi yang menjadi masalah keperawatan dalam
rancangan studi kasus ini.

G. Penyajian Data
Penyajian data dalam studi kasus deskriptif ini dilakukan secara
tekstular/narasi sesuai dengan penerapan asuhan keperawatan jiwa yang telah
diberikan oleh penulis. Adapun untuk mendukung dan menggunakan data hasil studi
kasus ini juga akan ditambahkan cuplikan ungkapan verbal dari subjek studi kasus.

24
H. Etika studi Kasus
Menurut Hidayat (2008), etika dalam penelitian merupakan hal yang sangat
penting dalam pelaksanaan sebuah penelitian, mengingat penelitian keperawatan akan
berhubungan dengan manusia.
1. Anonimity (tanpa nama)
Merupakan masalah etika dengn tidak memberikan nama responden
pada alat bantu penelitian, cukup dengan kode yang hanya dimengerti
oleh peneliti.
2. Confidentially (kerahasiaan)
Merupakan masalah etika dengna menjamin kerahasian informasi yang
diberikan oleh informan. Peneliti hanya melaporkan kelompok data
tertentu saja pada hasil penelitian.
3. Privacy
Merupakan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian yang
mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan harus
dirahasiakan.
4. Self determination (perlakuan yang manusiawi)
Merupakan jaminan yang diberikan kepad subjek penelitian agar
diperlakukan secara manusiawi. Subjek mempunyai hak-hak
memutuskan untuk menjadi responden ataupun tidak, tanpa adanya
sangsi apapun.

25
BAB IV

TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN

A. Tinjauan Kasus

Bab ini penulis akan membahas asuhan keperawatan pada Tn. S


dengan diagnosa Gangguan persepsi sensori : Halusinasi ( pendengaran )
di ruang Arjuna RSJ Daerah Provinsi Jambi, untuk mengetahui sejauh
mana asuhan keperawatan jiwa yang sudah ditetapkan dan untuk
mengetahui adanya kesenjangan antara teori dan praktek dalam
memberikan asuhan keperawatan jiwa.
Penulis memberikan asuhan keperawatan pada Tn. S dengan
gangguan persepsi sensori : halusinasi ( pendengaran ) di ruang Arjuna
RSJ Daerah Provinsi Jambi menggunakan proses keperawatan jiwa yang
terdiri dari lima tahap standar yaitu pengkajian, diagnosis, perencanaan,
implementasi dan evaluasi (Muhith, 2011).
Hasil pengkajian pada tanggal 17 juli 2018 diperoleh data, klien
berinitial Tn. S, berjenis kelamin Laki-laki, usia 27 tahun, pendidikan
terakhir SMP, dan saat ini belum bekerja. Penanggung jawab klien adalah
Ny.H , alamat di Saken Kumpe Ulu Kab. Muaro Jambi dan berusia 47
tahun. Klien dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi pada
tanggal 7 juli 2018 dengan diagnosa medis F.20.3 Skizofrenia tak terinci,
dengan alasan dirumah gelisah, suka keluyuran, sulit diarahkan, dan
tertawa sendiri. Riwayat penyakit dahulu, klien pernah dirawat di RSJD
Provinsi Jambi pada tanggal 9 Mei 2015. Selama pengobatan klien tidak
teratur minum obat karena klien merasa bosan dan malas meminum obat,
klien memiliki riwayat gangguan jiwa sejak tahun 2013 setelah di PHK
dari pekerjaannya. Dalam keluarganya tidak terdapat anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa.
Hasil pengkajian pada tanggal 17 juli 2018 pukul 9.30 didapatkan
data subjektif : Klien mengatakan “kadang mendengar suara pacar yang
menggombali saya. Saya mendengar suara itu ketika saya sedang sendiri
dan melamun, saya mendengar suara itu 1 kali sehari, saya merasa senang

26
ketika mendengar suara itu, saya hanya diam ketika suara itu datang”.
Klien mengatakan malu sudah berumur 27 tahun tetapi belum menikah dan
belum bekerja, malu karena sebagai abang belum bisa membahagiakan
adiknya dan malu merepotkan keluarga karena sering bolak balik ke rumah
sakit jiwa. Klien mengatakan ketika dirumah mengamuk, mudah
tersinggung dan menyerang orang lain.
Data objektif yang didapatkan adalah klien terlihat bingung,
mondar-mandir sendiri, klien tampak melamun, kontak mata mudah
beralih, klien tampak komat-kamit sendiri, pembicaraan klien mengkritik
diri sendiri, kontak mata menunduk, menyendiri, dan emosi klien labil,
penampilan fisik dan pakaian rapi dan bersih, rambut hitam dan berkutu,
gigi bersih tidak ompong, kuku bersih tidak panjang dan kulit sawo
matang, tidak bersisik, turgor kulit baik. Klien dapat menjawab pertanyaan
yang diajukan, klien dapat melakukan kegiatan sehari-hari. Selama proses
wawancara kadang klien kooperatif kadang tidak. Proses pikir klien adalah
flight of ideas yaitu pembicaraan meloncat-loncat dari topik satu ke topik
lainnya dan pembicaraan klien berbelit-belit, klien berpikir secara realistis,
ada gangguan isi pikir seperti phobia, dan waham. Tingkat kesadaran
compos mentis, orientasi waktu, tempat, dan orang baik. Klien tidak
mengalami gangguan daya ingat jangka panjang, jangka pendek maupun
saat ini.
Masalah keperawatan pertama adalah gangguan persepsi sensori
halusinasi: pendengaran, didapatkan data subjektif ; Klien mengatakan
“kadang mendengar suara pacar yang menggombali saya. Saya mendengar
suara itu ketika saya sedang sendiri dan melamun, saya mendengar suara
itu 1 kali sehari, saya merasa senang ketika mendengar suara itu, saya
hanya diam ketika suara itu datang”. Data objektif : Klien terlihat bingung,
mondar-mandir sendiri, klien tampak melamun, kontak mata mudah
beralih, klien tampak komat-kamit sendiri.
Berdasarkan hasil pengkajian yang penulis lakukan, didapatkan
diagnosa gangguan persepsi sensori : halusinasi (pendengaran). Penulis
mengambil diagnosa gangguan persepsi sensori halusinasi sebagai
prioritas masalah utama karena pada saat pengkajian tanda gejala yang
muncul lebih banyak menuju ke masalah keperawatan gangguan persepsi
sensori halusinasi dan jika tidak segera di tangani akan menghambat

27
proses penyebuhan masalah keperawatan lainya, hal ini sesuai dengan
pendapat Carpenito (2000), dimana “prioritas diagnosa adalah diagnosa
keperawatan yang bila tidak di atasi sekarang akan mengganggu kemajuan
untuk mencapai hasil atau secara negatif mempengaruhi status fungsional
klien.
Rencana keperawatan yang akan diberikan adalah bina hubungan
saling percaya, adakan kontak sering dan singkat secara bertahap,
observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya, diskusikan
dengan klien apa yang dirasakan ketika terjadi dan beri kesempatan kepada
klien untuk mengungkapkan perasaannya, diskusikan dengan klien apa
yang dilakukan untuk mengatasi perasaan tersebut, diskusikan tentang
dampak yang akan dialaminya bila klien menikmati halusinasinya,
diskusikan dengan klien apa yang dirasakan ketika terjadi halusinasi,
diskusikan dengan klien apa yang dilakukan untuk mengatasi perasaannya,
ajarkan klien cara mengontrol haluinasi dengan menghardik halusinasi,
bercakap-cakap dengan orang lain, melaksnakan kegiatan terjadwal dan
meminum obar secara teratur.
Implementasi pada tanggal 18 juli 2018 pukul 13.00 SP 1
mengidentifikasi jenis, isi, waktu, frekuensi, perasaan dan respon klien
terhadap halusinasinya, melatih mengontrol halusinasi dengan cara
menghardik, membimbing pasien mengontrol halusinasi dengan cara
menghardik dengan evaluasi dari tindakan keperawatan yang telah
dilakukan ditemukan data sebagai berikut : S : Klien mengatakan “kadang
mendengar suara pacar yang menggombali saya. Saya mendengar suara itu
ketika saya sedang sendiri dan melamun, saya mendengar suara itu 1 kali
sehari, saya merasa senang ketika mendengar suara itu, saya hanya diam
ketika suara itu datang”. O :klien mampu menceritakan jenis, isi, frekuensi,
situasi, waktu dan respon halusinasi, klien mampu mengontrol halusinasi
dengan cara melakukan kegiatan dengan bimbingan, kontak mata mudah
beralih, klien masih tampak komat-kamit sendiri. A :Klien mampu
mengontrol halusinasi dengan cara menghardik dengan bimbingan. P :
bimbing klien dalam aplikasi cara kontrol halusinasi (menghardik).
Implementasi pada tanggal 19 juli 2018 pukul 12.30 SP 2
memvalidasi masalah dan latihan sebelumya, melatih klien cara kontrol
halusinasi dengan melakukan interaksi dengan teman, membimbing pasien

28
memasukan latihan mengontrol halusinasi dengan cara melakukan
interaksi dengan evaluasi dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan,
ditemukan data sebagai berikut : S : klien mengatakan masih mendengar
suara pacar saya waktu saya sendiri, saya mendengar suara itu cuma satu
kali sehari, saya senang ketika suara itu datang, saya lupa mencoba cara
yang di ajarkan kemarin. O : kontak mata mudah beralih, klien mengontrol
halusinasi dengan cara melakukan kegiatan dengan bimbingan, klien
belum optimal dalam melaksanakan interaksi dengan sesamanya. A : Klien
belum optimal dalam mengontrol halusinasi dengan cara melakukan
interaksi. P : bimbing klien dalam aplikasi cara kontrol halusinasi dengan
melakukan interaksi, anjurkan klien untuk menggunakan cara kontrol
halusinasi dengan cara melakukan interaksi saat halusinasi datang.
Implementasi pada tanggal 20 juli 2018 pukul 13.00 SP 3
memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya, melatih klien cara kontrol
halusinasi dengan melakukan kegiatan, membimbing pasien memasukan
latihan mengontrol halusinasi dengan cara melakukan kegiatan dengan
evaluasi dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan, ditemukan data
sebagai berikut : S : klien mengatakan sudah tidak mendengar suara-suara .
O : klien mampu melakukan cara kontrol halusinasi dengan cara
melakukan kegiatan, klien mampu melaksanakan jadwal kegiatan, jadwal
terlampir, kontak mata klien kadang mudah beralih, klien kadang masih
suka menyendiri, klien kooperatif. A : Klien belum mampu dalam
pelaksanaan aplikasi cara mengontrol halusinasi dengan cara melakukan
kegiatan. P :motivasi klien dalam aplikasi cara kontrol halusinasi
(melakukan kegiatan), lanjutkan latihan klien dalam cara kontrol halusinasi
dengan menghardik, anjurkan klien menggunakan cara kontrol halusinasi
dengan melakukan kegiatan.

29
Implementasi pada tanggal 21 juli 2018 pukul 13.00 SP 4
memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya, melatih klien cara kontrol
halusinasi dengan obat, menganjurkan klien untuk memasukan latihan ke
jadwal kegiatan dengan evaluasi dari tindakan keperawatan yang telah
dilakukan, ditemukan data sebagai berikut : S : klien sudah tidak
mendengar suara pacarnya, klien tidak bisa melakukan cara menghardik,
klien malas melakukannya, klien ingin pulang. O : Klien belum mampu
aplikasi cara kontrol halusinasi dengan obat, klien tampak gelisah, klien
kooperatif. A : belum mampu cara kontrol halusinasi dengan obat, jadwal
dilaksanakan dengan bimbingan. P : motivasi klien dalam aplikasi cara
kontrol halusinasi dengan obat, bimbing klien dalam mengontrol halusinasi
dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain, anjurkan klien
menggunakan cara kontrol halusinasi dengan obat.
Evaluasi tindakan keperawatan selama 3 hari yaitu dari tanggal 18
sampai 21 juli 2018 yaitu gangguan persepsi sensori : halusinasi
(pendengaran) dengan Tn. H : Klien mnegatakan sudah tidak mendengar
suara-suara orang ngaji dan klien bisa mempraktekan cara mengontrol
halusinasi dengan menghardik, menemui orang lain, dan melakukan
aktivitas sehari-hari, O : klien tampak tenang, klien tampak senang, klien
terlihat berinteraksi dengan teman-temannya pada saat kegiatan TAK dan
aktifitasnya masih dimotivasi, A : masalah klien teratasi, P : pertahankan
intervensi.

30
B. Pembahasan
Penulis akan membahas kesenjangan yang terdapat pada konsep
dasar dan studi kasus pada klien dengan gangguan persepsi sensori :
halusinasi yang dimulai dengan membahas pengkajian, diagnosa,
intervensi, implementasi dan evaluasi. Hasil dari data yang diperoleh dari
klien, perawat ruangan dan rekam medik, dalam kasus ini penulis
melakukan pengkajian yaitu meliputi : identitas klien, alasan masuk RSJ,
faktor presipitasi dan faktor predisposisi, konsep diri, hubungan sosial,
status mental, mekanisme koping, masalah psikososial dan pengetahuan
dari klien. Pada saat pengkajian ditemukan data subjektif :Klien
mengatakan “kadang mendengar suara pacar yang menggombali saya. Saya
mendengar suara itu ketika saya sedang sendiri dan melamun, saya
mendengar suara itu 1 kali sehari, saya merasa senang ketika mendengar
suara itu, saya hanya diam ketika suara itu datang”. Data objektif : klien
terlihat bingung, mondar-mandir sendiri, klien tampak melamun, kontak
mata mudah beralih, klien nampak komat-kamit sendiri, dan klien nampak
senyum-senyum sendiri. Keliat (2011) menjelaskan tanda dan gejala dari
halusinasi adalah sebagai berikut: bicara, senyum, dan ketawa sendiri,
menggerakan bibir tanpa suara, pergerakan mata cepat, dan respon verbal
yang lambat, menarik diri dari orang lain, dan berusaha untuk menghindari
diri dari orang lain, tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan
keadaan tidak nyata, terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan
tekanan darah, perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya
beberapa detik dan bekonsentrasi dengan pengalaman sensorinya, curiga,
bermusuahan, merusak (diri sendiri, orang lain, dan lingkunganya), takut,
dan sulit berhubungan dengan orang lain.
C.
Diagnosa keperawatan jiwa tentang halusinasi digambarkan dalam
pohon masalah menurut Fitria (2009) diawali dari gangguan konsep diri:
harga diri rendah menjadi isolasi sosial dan mengakibatkan gangguan
persepsi sensori halusinasi yang beresiko perilaku kekerasan, namun pada
kasus ini diagnosa yang muncul adalah gangguan persepsi sensori
halusinasi, gangguan konsep diri harga diri rendah dan resiko perilaku
kekerasan, sedangkan diagnosa yang tidak muncul adalah isolasi soaial,
karena klien dalam berinteraksi dengan klien lain yang ada di ruang arjuna
RSJD Provinsi Jambi cukup baik, ikut dalam kegiatan yang ada di RSJ dan

31
mau berkomunikasi dengan temannya dengan baik.Penulis menetapkan
gangguan persepsi sensori : halusinasi sebagai prioritas utama yang perlu
ditangani terlebih dahulu karena masalah tersebut adalah yang paling sering
dirasakan klien dan beresiko menimbulkan masalah-masalah lain sehingga
diagnosa ini menjadi prioritas utama, hal ini sesuai dengan pendapat
Carpenito (2007) dimana prioritas diagnosa adalah diagnosa keperawatan
yang bila tidak diatasi sekarang akan mengganggu kemajuan untuk
mencapai hasil atau secara negatif mempengaruhi status fungsional klien.
Tujuan dari tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dengan
gangguan persepsi sensori adalah sebagai berikut, tujuan umum : klien
dapat mengontrol halusinasi yang dialaminya. Tujuan khusus : klien dapat
membina hubungan saling percaya, klien dapat mengenal halusinasinya,
klien dapat mengontrol halusinasinya, klien dapat dukungan dari keluarga
dalam mengontrol halusinasinya dan klien dapat memanfaatkan obat dengan
baik, Fitria Nita (2009) berdasarkan asuhan keperawatan yang dilakukan
pada Tn.H tujuan tindakan tersebut dimaksudkan agar klien dapat
mengenali dan tahu apa yang sebernarnya terjadi pada klien bahwa itu
hanyalah halusinasi, sehingga klien mau dan bisa mengontrol halusinasi
agar halusinasi tidak muncul dan mengikuti program pengobatan,
diharapkan dapat mengembalikan keadaan klien seperti semula dan
mencegah timbulnya resiko yang diakibatkan dari masalah utama tersebut.
Intervensi keperawatan yang dilakukan yaitu bina hubungan saling
percaya, rasionalnya hubungan saling percaya akan mempermudah petugas
medis untuk memberikan terapi (Senyum perawat.com, 2014 ), adakan
kontak sering dan singkat secara bertahap, observasi tingkah laku klien
terkait dengan halusinasinya, diskusikan dengan klien apa yang dirasakan
ketika terjadi dan beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan
perasaannya, diskusikan dengan klien apa yang dilakukan untuk mengatasi
perasaan tersebut, diskusikan tentang dampak yang akan dialaminya bila
klien menikmati halusinasinya, diskusikan dengan klien apa yang dirasakan
ketika terjadi halusinasi, diskusikan dengan klien apa yang dilakukan untuk
mengatasi perasaannya, ajarkan klien cara mengontrol haluinasi dengan
menghardik halusinasi, bercakap-cakap dengan orang lain, melaksnakan
kegiatan terjadwal dan meminum obat secara teratur. Rencana tersebut

32
dilakukan supaya klien dapat mengenal, mampu mengontrol, mengikuti
program pengobatan dan tidak munculnya resiko yang dapat
membahayakan klien.
Implementasi yang dilakukan pada tanggal 18-21 Juli 2018 adalah
Mengidentifikasi jenis, isi, waktu, frekuensi, perasaan dan respon klien
terhadap halusinasinya, rasionalnya untuk mengetahui hal-hal yang dapat
menimbulkan halusinasi. Melatih mengontrol halusinasi dengan cara
menghardik, raisonalnya untuk mengajarkan klien cara mengatasi halusinasi
dengan tepat. Melatih mengontrol halusinasi dengan cara berinteraksi
dengan teman, rasionalnya untuk mengalihkan perhatian pasien terhadap
persepsi palsu ( halusinasi ) pasien ketika datang. Membimbing pasien
memasukan latihan mengontrol halusinasi, rasionalnya agar klien dapat
melakukan latihan rutin dan teratur. Melatih klien cara kontrol halusinasi
dengan cara meminum obat dengan benar, rasionalnya untuk mengajarkan
klien cara mengatasi halusinasi secara farmakologi dengan tepat.
Implementasi yang dilakukan penulis pada kasus ini sesuai dengan
teori yang ditetapkan menurut Fitria (2009) bahwa perawat dapat melatih
empat cara dalam mengendalikan halusinasi pada klien. Keempat cara
tersebut sudah terbukti mampu mengontrol halusinasi seseorang. Keempat
cara tersebut adalah menghardik halusinasi, bercakap-cakap dengan orang
lain, melakukan aktivitas terjadwal, dan mengkonsumsi obat secara teratur.
Pada kasus ini penulis menetapkan implementasi cara kontrol halusinasi
dengan cara menghardik terlebih dahulu sebelum cara kontrol halusinasi
dengan cara kegiatan terjadwal karena pada kasus ini klien kurang nyaman
dengan halusinasi yang dating. Sehingga menurut klien cara kontrol
halusinasi dengan menghardik efektif apabila diterapkan terlebih dahulu
kepada klien.
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada
respon klien terhadap tindakan yang telah dilaksanakan, evaluasi dapat
dibagi dua jenis yaitu evaluasi proses atau formatif dilakukan selesai
melaksanakan tindakan, evaluasi hasil atau somatif dilakukan dengan
membandingkan respon klien pada tujuan umum dan tujuan khusus yang
telah ditentukan (Dalami et all, 2009).

33
Evaluasi hasil yang didapat setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 hari dari tanggal 18-21 juli 2018 adalah gangguan
persepsi sensori halusinasi pendengaran sudah teratasi sebagian
pertahankan intervensi.

34
BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Penulis telah melaksanakan asuhan keperawatan jiwa pada Tn. S dengan


gangguan persepsi sensori : halusinasi di Ruang Arjuna Rumah Sakit Jiwa
Daerah Provinsi Jambi, penulis mengambil simpulan sebagai berikut:
1. Hasil pengkajian pada tanggal 17 Juli 2018 didapatkan data : subjektif :
klien mengatakan “kadang mendengar suara pacar yang menggombali saya.
Saya mendengar suara itu ketika saya sedang sendiri dan melamun, saya
mendengar suara itu 1 kali sehari, saya merasa senang ketika mendengar
suara itu, saya hanya diam ketika suara itu datang”. Objektif : klien terlihat
bingung,mondar mandir sendiri,klien tampak melamun.kontak mata mudah
beralih,klien tampak komat kamit sendiri,klien tampak senyum senyum
sendiri
2. Diagnosa yang muncul pada Tn. S adalah gangguan persepsi sensori :
halusinasi, Waham ,gangguan konsep diri : harga diri rendah, resiko
perilaku kekerasan. Penulis memprioritaskan gangguan persepsi sensori :
halusinasi sebagai masalah utama.
3. Intervensi yang dilakukan pada Tn. S adalah bina hubungan saling percaya,
mengidentifikasi jenis, isi, waktu, frekuensi, perasaan dan respon klien
terhadap halusinasinya, melatih mengontrol halusinasi dengan cara
menghardik, bercakap-cakap dengann orang lain, melaksanakan kegiatan
terjadwal dan minum obat secara teratur.
Tindakan keperawatan yang dilakukan pada Tn. S adalah SP 1
mengidentifikasi jenis, isi, waktu, frekuensi, perasaan dan respon klien
terhadap halusinasinya, melatih mengontrol halusinasi dengan cara
menhardik. SP 2 memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya, melatih
klien cara kontrol halusinasi dengan cara interaksi (bercakap-cakap). SP 3
memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya, melatih klien cara kontrol
halusinasi dengan cara melakukan kegiatan. SP 4 memvalidasi masalah dan
latihan sebelumnya, melatih klien cara kontrol halusinasi dengan obat.

35
5. Evaluasi hasil yang didapat setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3 hari dari tanggal 18-21 Juli 2018 adalah gangguan persepsi sensori
halusinasi pendengaran sudah teratasi sebagian.

B. Saran

1. Mahasiswa diharapkan lebih bersungguh-sungguh, lebih cermat dan sabar


dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien halusinasi yang memiliki
emosi labil, sehingga dalam pemberian asuhan keperawatan pada klien dapat
dilakukan dengan tepat sesuai dengan kebutuhan klien.
2. Perawat diharapkan dapat meningkatkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan
sesuai perkembangan ilmu dan teknologi sehingga dapat meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan pada masyarakat.
3. Peran serta keluarga dan masyarakat sangat diharapkan untuk membantu
kesembuhan pada klien dengan gangguan jiwa.

36
DAFTAR PUSTAKA

A, Aziz Alimul Hidayat, 2008. Metode Penelitian Kebidanan Teknik


Analisa Data.Jakarta : Salemba Medika

Carpenito-Moyet, L. J, 2007, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi


10, EGC, Jakarta.

Dalami, Ermawati dkk. 2009. Asuha Keperawatan Klien Dengan


Gangguan Jiwa. Jakarta : Trans Media

Fitria, Nita. 2009. Perinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan


Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika.

Herman Surya Direja, Ade.2011.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.


nNuha Medika : Yogyakarta.

Keliat, Anna, Budi dkk. 2011. Manajemen Kasus Gangguan Jiwa. Jakarta :
EGC

Muhith, Abdul. 2011. Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Andi.

Rikesdas 2013. Riset Kesehatan Dasar. Kementrian kesehatan


www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil
%20Riskesdas%202013.pdf di akses pada tanggal 7 juli 2013.

Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi, 2017. Laporan Tahunan


Diagnosa keperawatan actual Rumah Sakit Jiwa Daerah
Propinsi Jambi Tahun 2017. Bagian Pencatatan dan pelaporan
Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Jambi.

Stuart, Gail W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : Buku


Kedokteran EGC.

Videbeck, S. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

www.senyumperawat.com/2014/12/tindakan-keperawatan-untuk-pasien-
jiwa.html

Yosep & Sutini , 2014, Buku Ajar Keperawatan Jiwa dan Advance Mental
Health Nursing. Bandung : PT RefikaAditama.

37
38

Anda mungkin juga menyukai