FAKULTAS SYARI'AH
PATI
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Zakat sebagai salah satu kewajiban seorang mukmin yang telah ditentukan oleh Allah
SWT, mempunyai hikmah, dan tujuan. Diantara hikmah tersebut tercermin dari urgensinya
yang dapat memperbaiki kondisi masyarakat, baik dari aspek moril maupun materiil, dimana
zakat dapat menyatukan anggotanya bagaikan sebuah batang tubuh, disamping juga dapat
membersihkan jiwa dari sifat kikir dan pelit, sekaligus merupakan benteng pengaman dalam
ekonomi Islam yang dapat menjamin kelanjutan dan kesetabilannya.
Di zaman modern ini mengenal suatu bentuk kekayaan yanng diciptakan oleh kemajuan
dalam bidangb industri dan perdagangan dunia, yang disebut “Saham dan Obligasi”. Saham
dan obligasi adalah kertas berharga yang berlaku dalam transaksi-transaksi perdagangan
khusus yang disebut “Bursa kertas-kertas berharga”. Kertas-kertas berharga ini oleh ahli-ahli
keuangan diberi nama “nilai terbawa” dan mengenakan pajak atas pendapatannya yang
selalu mengalir, disebut “Pajak pendapat atas nilai terbawa”, bahkan sebagian lain
menghendaki agar pajak juga dikenakan atas saham itu sendiri berdasarkan bahwa
pajak adalah pajak atas kekayaan.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, tim penyusun membagi dalam beberapa sub pembahasan, adalah sebagai
berikut :
1. Pengertian dan perbedaan Saham dan Obligasi
2. Pandangan & Landasan hukum zakat saham dan obligasi
3. Nishab dan kadar zakat saham dan obligasi
BAB II
LANDASAN TEORI
a) Zakat Saham
Menurut Abdurrahman Isa, tidak semua saham dizakati, apabila saham-saham itu
berkaitan dengan perusahaan / perseroan yang menangani langsung perdagangan, untuk
diperdagangkan; maka wajib dizakati seluruh sahamnya. Tetapi apabila saham itu berkaitan
dengan perusahan / perseroan yang tidak menangani langsung perdagangan atau tidak
memproduksi barang untuk diperdagangkan, seperti perusahaan bus angkutan umum,
penerbangan, pelayaran, perhotelan, dimana nilai saham-saham itu terletak pada pabrik-
pabrik, mesin-mesin, maka pemegang saham tidak wajib menzakati saham-sahamnya, tetapi
hanya keuntungan dari saham itu digabungkan dengan harta lain yang dimiliki oleh
pemegang saham yang wajib menzakatinya.
1000 lembar saham dari perusahaan Al Mu’amalat al Islamiyah. Nilai nominal perusahaan
500 dinar. Harga pasar ketika dating waktu pembayaran zakat adalah 600 dinar dan
keuntungan yang dicapai selama setahun adalah 20 dinar per lembar saham.
Jawab :
Pak Yusuf memiliki saham PT Amanah Setia 80.000 lembar dengan harga perlembar
adalah Rp. 1.000 maka total Rp. 80.000.000,- dan deviden Rp. 200/lembar = 80.000 x 200 =
Rp. 16.000.000.
Al-hasil, zakat saham perusahaan dikenakan pada saham dan keuntungannya sekaligus
karena dianalogikan dengan perdagangan besarnya 2,5%, jika harta tersebut cukup nishab
dan haul saat itulah zakat wajib diwajibkan.
3. Contoh lain:
Nyonya Fatimah memiliki 500.000 lembar saham PT. Abdi Ilahi Rabbi. Harga
nominal Rp. 5.000,00/lembar. Pada akhir tahun buku, setiap lembar saham memperoleh
deviden Rp. 3.00,00. Bagaimana perhitungan zakatnya?
Jawabannya :
b) Zakat obligasi
Mengenai zakat obligasi ini, selama si pemilik obligasi belum dapat mencairkan uang
obligasi, karena belum jatuh temponya atau belum mendapat undiannya, maka ia tidak wajib
menzakatinya, sebab obligasi adalah harta yang tidak dimiliki secara penuh, karena masih
hutang, belum di tangan pemiliknya. Demikianlah pendapat Malik dan Abu Yusuf. Apabila
sudah bisa dicairkan uang obligasinya, maka wajib segera dizakatinya sebanyak 2,5 %.
Pak Saadi memiliki sukuk PT. Barokah Mulia sebesar Rp 550.000.000 untuk proyek
pengembangan produk. Bagi hasil yag disepakati adalah 60:40 per tahun dimana 60% untuk
Pak Saadi, dengan jangka waktu sukuk 10 tahun. Pada akhir tahun pertama. Bagaimana
perhitungan zakatnya?
JAWABAN :
Nilai sukuk = Rp 550.000.000
Bagi Hasil = 60:40
Apabila Pendapatan setelah satu tahun Rp 100.000.000, maka Bagi hasil untuk Pak Saadi
sebesar 60% x Rp Rp 100.000.000 = Rp 60.000.000, maka zakat yang harus dikeluarkan
adalah :
Nilai sukuk + keuntungan = Rp 550.000.000 + Rp 60.000.000
= Rp 610.000.000
Nilai zakat = 2,5% x Rp 610.000.000
= Rp 15.250.000
a) Pertama, jika perusahaan itu merupakan perusahaan industri murni, artinya tidak
melakukan kegiatan perdagangan, maka sahamnya tidaklah wajib dizakati. Misalnya
perusahaan hotel, biro perjalanan, dan angkutan (darat, laut, udara). Alasannya adalah
saham-saham itu terletak pada alat-alat, perlengkapan, gedung-gedung, sarana dan
prasarana lainnya. Akan tetapi keuntungan yang ada dimasukan ke dalam harta para
pemilik saham tersebut, lalu zakatnya dikeluarkan bersama harta harta lainya.
b) Kedua, jika perusahaan tersebut merupakan perusahaan dagang murni yang membeli
dan menjual barang-barang, tanpa melakukan kegiatan pengolahan, seperti perusahaan
yang menjual hasil-hasil industri, perusahaan dagang internasional, perusahaan
ekspor-impor, maka saham-saham atas perusahaan itu wajib dikeluarkan zakatnya.
1
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern (Jakarta : Gema Insani, 2002) hlm. 103
2
Yusuf Qardhawi, Op.cit, hlm. 492
ijmak, dan qiyas yang benar. Karena saham-saham baik pada yang pertama maupun yang
kedua sama-sama merupakan modal yang bertumbuh yang memberikan keeuntungan
tahunan yang terus mengalir, bahkan pada yang kedua keuntungan itu bisa lebih besar.3
a) Obligasi Konvensional
Para ulama sepakat mengenai keharaman bermuamalah dengan obligasi jenis ini
karena sarat dengan unsur ribawi, namun kontroversi justru terjadi pada hukum
mengeluarkan zakatnya.
Obligasi sangat tergantung kepada bunga yang termasuk kategori riba yang dilarang
secara tegas oleh ajaran Islam. Meskipun demikian, yang menarik adalah bahwa sebagian
ulama‘ walaupun sepakat dengan haramnya bunga tetapi mereka tetap menyatakan bahwa
obligasi adalah satu objek atau sumber zakat dalam perekonomian modern ini.
Pendapat pertama, mengatakan bahwa zakat tidak wajib dikenakan atas obligasi dan
bunga yang diperoleh, karena mengandung unsur riba (bunga) yang diharamkan syara’. Oleh
karena itu, mengeluarkan zakat dari sesuatu yang haram hukumnya tidak sah.4
Haramnya bunga tidak bisa dijadikan alasan untuk membebaskan pemilik obligasi
dari kewajiban membayar zakat, oleh karena mengerjakan perbuatan terlarang tidak bisa
memberikan keistimewaan kepada yang mengerjakan.6
Muhammad Abu Zahrah7 menyatakan bahwa jika obligasi itu kita bebaskan dari
zakat, maka akibatnya orang lebih suka memanfaatkan obligasi dari pada saham. Dengan
demikian, orang akan terdorong untuk meninggalkan yang halal dan melakukan yang haram.
3
Ibid, hlm. 494
4
Fakhruddin, Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia (Malang : UIN Malang Press, 2008) hlm.162
5
Ibid.
6
Yusuf Qardhawi, Op.cit, hlm. 495
7
Muhammad Abu Zuhrah dalam : Penerapan Zakat dalam Dunia Modern, Syauqi Ismail, terj.
Anshori Umar Situnggal (Jakarta: Pustaka Dian dan Antar Kota, 1989) hlm.187
Dan juga bila ada harta haram, sedangkan pemiliknya tidak diketahui, maka ia disalurkan
kepada sedekah.
b) Obligasi Syariah
Jika Obligasi tersebut adalah obligasi syariah, maka hukumnya halal dan wajib
dizakatkan, baik obligasinya maupun keuntungan yang diperoleh. Obligasi syariah
menggunakan akad Mudharabah, dengan prosentase bagi hasil yang disetujui kedua belah
pihak. Obligasi itu menjadi wajib dikeluarkan zakatnya, apabila telah memenuhi persyaratan,
yaitu Islam, merdeka, milik sendiri, cukup haul (satu tahun) dan cukup nishab.
Dari sudut hukum, saham dan obligasi termasuk kedalam harta yang wajib
dikeluarkan zakatnya. Kewajiban zakat ini akan lebih jelas dan gamblang, apabila dikaitkan
dengan nash-nash yang bersifat umum, seperti dalam Q.S At-Taubah: 103 yang
mewajibakan semua harta yang dimiliki untuk dikeluarkan zakatnya.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan 8
dan mensucikan9 mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.”10 Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang
berlebih-lebihan kepada harta benda.
Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan
memperkembangkan harta benda mereka.
Sedangkan diantara dalil hadist adanya kewajiban zakat saham “Sayyidina ali telah
meriwayatkan bahwa nabi saw bersabda: Apabila kamu mempunyai (uang simpanan) 200
dirham dan telah cukup haul (genap setahun), maka diwajibkan zakatnya 5 dirham. Dan
tidak diwajibkan mengeluarkan zakat (emas) kecuali kamu mempunyai 20 dinar dan telah
cukup setahun, maka diwajibkan zakatnya setengah dinar. Demikian juga kadarnya jika
nilainya bertambah, dan tidak diwajibkan zakat suatu harta kecuali genap setahun” (HR
Abu Dawud)
8
Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada
harta benda.
9
Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan
harta benda mereka.
10
Q.S At-Taubah : 103 dalam Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan
terjemahannya (Jakarta : Depag RI, 1983) hlm. 297
Menurut Abu Zahrah saham wajib dizakatkan karena saham adalah harta yang
beredar dan dapat di perjual-belikan, dan pemiliknya mendapatkan keuntungan dari hasil
penjualan tersebut.
Saham dianalogikan pada zakat perdagangan, baik nishab maupun ukurannya yaitu
senilai 85 gram emas dan zakatnya sebesar 2,5%. Sementara itu muktamar internasional
pertama tentang zakat (Kuwait, 29 Rajab 1404 H) menyatakan bahwa jika perusahaan telah
mengeluarkan zakatnya sebelum dividen dibagikan kepada pemegang saham, maka
pemegang saham tidak perlu lagi mengeluarkan zakatnya. Jika belum mengeluarkan, maka
tentu para pemegang sahamlah yang berkewajiban mengeluarkan zakatnya. Dan hal ini harus
dituangkan dalam peraturan perusahaan agar tidak terjadi pembayaran zakat ganda.11
Apabila perusahaan itu belum mengeluarkan zakatnya, maka si pemilik saham wajib
membayar zakat dengan cara sebagai berikut :
a) Jika ia bisa mengetahui, melalui perusahaan yang mengeluarkan saham atau pihak
lain, nilai setiap saham dari total kekayaan yang wajib ia zakati, maka ia wajib
membayar zakatnya sebesar 2,5% dari nilai saham itu.
b) Jika ia tidak dapat mengetahuinya, maka ia harus menggabungkan laba saham tersebut
dengan kekayaan yang lain dalam penghitungan haul dan nishab kemudian membayar
zakatnya sebesar 2,5%.
Mengenai nishab dan kadar zakat obligasi ini terdapat dua pendapat dalam obligasi
konvensional. Pendapat pertama, Zakat wajib dikeluarkan atas harga atau nilai dari obligasi
itu sendiri dan bukan dari bunganya. Besarnya suku zakat adalah 2,5 persen yang
dikeluarkan setiap akhir tahun, beranalogi pada zakat komoditas perdagangan. Sementara itu,
bunga atau keuntungan yang diperoleh wajib disedekahkan semuanya untuk fakir miskin
11
Fakhruddin, Op.cit, hlm. 158
12
Ibid.
atau kepentingan umum.13 Ini adalah pendapat Abdurrahman Isa, seorang pakar ekonomi
Islam.
Pendapat kedua, yaitu pendapat Wahbah al-Zuhaili, dimana zakat wajib atas obligasi
dan bunganya sekaligus. Mekanisme pengeluaran zakatnya adalah dengan menggabungkan
nilai keduanya pada waktu jatuh tempo dan dikeluarkan jika telah
mencapai haul dan nishab dengan suku zakat sebesar 10%, dianalogikan dengan zakat
pertanian dan perkebunan.14
Melihat kedua pendapat di atas, agaknya pendapat pertama yang lebih tepat.
Mengenakan zakat pada bunga yang diperoleh tidak diperbolehkan, karena bunga tersebut
tidak halal dan harus dikeluarkan semuanya untuk fakir miskin atau kepentingan umum.
Tetapi sejauh pemilikan obligasi sah secara agama, maka zakatpun harus dikenakan atas
obligasi itu. Suku zakat 2,5 persen, dianalogikan dengan zakat komoditas perdagangan.
Sedangkan besarnya suku zakat untuk obligasi syariah adalah 2,5 persen pertahun (bila
mencapai haul dan nishab), dianalogikan pada zakat komoditi perdagangan.15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Saham adalah surat bukti bagi persero dalam perseroan terbatas. Saham
merupakan hak kepemilikan terhadap sejumlah tertentu kekayaan suatu perusahaan
terbatas (PT). Sedangkan obligasi adalah surat bukti turut serta dalam pinjaman
kepada perusahaan atau dalam pemerintahan. Mengenai perolehan gaji, saham dan
obligasi, dalam hukum Islam tetap dikenai zakat apabila sudah cukup haul dan
nisabnya.
Zakat saham dan obligasi, ada ulama yang berpendapat bahwa apabila
perusahaan itu merupakan perusahaan murni tidak melakukan kegiatan dagang, maka
tidak wajib zakat kecuali apabila penghasilanya digabungkan dengan harta kekayaan
yang dimiliki. Dan adapula ulama yang memandang bahwa saham dan obligasi sama
dengan barang dagangan, maka zakatnya sama dengan zakat barang dagangan yaitu
2,5%.
Sedang mengenai obligasi yang mengandung unsur riba yaitu adanya
perolehan bunga, bahwa dapat disimpulkan haramnya bunga tidak bisa dijadikan
13
Ibid. hlm. 162
14
Ibid. hlm. 163
15
Ibid.
alasan untuk membebaskan pemilik obligasi dari kewajiban membayar zakat, oleh
karena mengerjakan perbuatan terlarang tidak bisa memberikan keistimewaan
kepada yang mengerjakan.
Diskuisi tentang bunga bank itu haram ataukah tidak harus dianggap selesai.
Tugas kita adalah terus menumbuhkembangkan institusikeuangan alternatof yang
bebas bunga yang sesuai dengan syariah Islamiyah.
Daftar Pustaka