Makalah Bid'Ah Mita Dan Penyebabnya
Makalah Bid'Ah Mita Dan Penyebabnya
DISUSUN OLEH
PRODI : MANAJEMEN
NIM : 22310154
KELAS : B22
Dosen pembimbing :
BANDA ACEH
1
Daftar Isi
Daftar Isi 2
KATA PENGANTAR 3
BAB I PENDAHULUAN 4
A. Latar belakang 4
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan 5
BAB II PEMBAHASAN 6
A. Pengertian Bid’ah 6
1. Definisi Bid’ah 6
1. Dalil Al-Qur’an 13
2. Dalil Hadits 13
a) Para Sahabat 18
b) Para Tabi’in 19
Daftar Pustaka 26
2
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil 'alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah
menganugerahkan keimanan, keislaman, kesehatan, dan kesempatan sehingga penulis dapat
menyusun makalah ini dengan baik, dengan judul "Bid’ah Dalam Ibadah" ini disusun dalam
rangka memenuhi tugas kuliah.
Penyusunan makalah ini tak lepas dari campur tangan berbagai pihak yang telah
berkontribusi secara maksimal. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya.
Meski demikian, penulis meyakini masih banyak yang perlu diperbaiki dalam
penyusunan makalah ini, baik dari segi dalil, sumber hukum, tata bahasa, dan bahkan tanda
baca sehingga sangat diharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian sebagai bahan
evaluasi penulis.
Demikian, besar harapan penulis agar makalah ini dapat menjadi bacaan menarik bagi
pembaca dan peserta seminar.
MIFTAHUL JANNAH
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sesuatu yang diadakan (baru) dan bertentangan dengan kitab suci al Quran,
sunnah rasul, ijma' para ulama, atau atsar (para sahabat), maka itulah bid'ah dan ini
dilarang. Sedangkan suatu kebaikan yang tidak bertentangan sedikitpun dengan al Quran,
sunnah, ijma' atau atsar maka yang demikian itu adalah terpuji.
Bid’ah adalah mengadakan suatu perkara yang baru dalam agama. Adapun
mengadakan suatu perkara yang tidak diniatkan untuk agama tetapi semata diniatkan
untuk terealisasinya maslahat duniawi seperti mengadakan perindustrian dan alat-alat
sekedar untuk mendapatkan kemaslahatan manusia yang bersifat duniawi
tidak dinamakan bid’ah.
Bid’ah tidak mempunyai dasar yang ditunjukkan syariat. Adapun apa yang
ditunjukkan oleh kaidah-kaidah syariat bukanlah bid’ah, walaupun tidak ditentukan oleh
nash secara khusus.Bid’ah dalam agama terkadang menambah dan terkadang
mengurangi syariat sebagaimana yang dikatakan oleh Suyuthi di samping dibutuhkan
pembatasan yaitu apakah motivasi adanya penambahan itu agama. Adapun bila motivasi
penambahan selain agama, bukanlah bid’ah. Contohnya meninggalkan perkara wajib
tanpa udzur, maka perbuatan ini adalah tindakan maksiat bukan bid’ah. Demikian juga
meninggalkan satu amalan sunnah tidak dinamakan bid’ah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan dari latar belakang tersebut, dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Apa definisi atau pengertian dari bid’ah?
2. Bagaimanakah Pembagian bid’ah itu?
3. Apa yang melatarbelakangi bid’ah terbagi menjadi 2?
4. Sebutkan contoh bid’ah hasanah?
5. Sebutkan contoh bid’ah dhalalah?
4
C. Tujuan
Adapun tujuan disusunnya makalah ini yaitu:
1. Untuk melengkapi nilai dan tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam 2.
2. Untuk meningkatkan pengetahuan tentang Bid’ah dan pembagiannya.
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bid’ah
1. Definisi Bid’ah
Untuk mengetahui pengertian bid'ah yang benar maka kita harus terlebih
dahulu memahami arti bid'ah secara Bahasa (etimologi) dan istilah
(terminologi/syariat). Bid'ah Menurut Bahasa (Etimologi) Yaitu hal baru yang
disisipkan pada syariat setelah setelah ia sempurna. Ibnu As-Sikkit berpendapat
bahwa bid'ah adalah segala hal yang baru. Sementara istilah pelaku bid'ah (baca:
mubtadi') menurut adat terkesan tercela. Adapun Abu Adnan berpendapat bahwa
bid'ah adalah melakukan satu perbuatan yang nyaris belum pernah dilakukan oleh
siapapun, seperti perkataan Anda: si fulan berbuat bid'ah dalam perkara ini, artinya
ia telah mendahului untuk melakukan hal itu sebelum orang lain. Bid'ah Menurut
Istilah (Terminologi/Syariat).
Ada dua cara yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid'ah menurut
syara'. Segala hal yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW adalah Bid'ah.
Pandangan ini dimotori oleh Al Izz bin Abdussalam (ulama madzhab Syafi'i), dia
menganggap bahwa segala hal yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW sebagai
bid'ah. Bid'ah ini pun terbagi kepada hukum yang lima. Berikut perkataan Al Izz:
"Amal perbuatan yang belum pernah ada di zaman Nabi SAW atau tidak pernah
dilakukan di zaman beliau terbagi lima macam: Bid'ah wajib, Bid'ah haram
Bid'ah sunnah, Bid'ah makruh, Bid'ah mubah.
Adapun untuk mengetahui semua itu adalah mengembalikan semua perbuatan
yang dianggap bid'ah itu di hadapan kaidah-kaidah syariat, jika ia masuk atau
sesuai dengan kaidah atau prinsip wajib maka perbuatan itupun menjadi wajib
(bid'ah wajib), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip haram maka
perbuatan itupun menjadi haram (bid'ah haram), jika ia masuk atau sesuai dengan
kaidah atau prinsip sunah maka perbuatan itupun menjadi sunah (bid'ah sunah),
jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip mubah (boleh) maka
perbuatan itu pun menjadi mubah (bid'ah mubah). (Lihat Qawa'id Al Ahkam fi
Mashalihil Anam, juz 2. h. 204) Makna tersebut juga dikatakan oleh Imam
6
An-Nawawi yang berpendapat bahwa segala perbuatan yang tidak pernah ada di
zaman Nabi dinamakan bid'ah, akan tetapi hal itu ada yang baik dan ada yang
kebalikannya/buruk. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqalani. Juz 2.h. 394).
7
Sementara Hujjatul Islam, Abu Hamid Al Ghazali berpendapat bahwa tidak
semua perkara baru yang tidak dilakukan di zaman nabi SAW itu dilarang, akan
tetapi yang dilarang adalah perkara bid'ah yang bertolak belakang dengan Sunnah
dan menghilangkan apa yang sudah ditetapkan syari'at. (Lih.Ihya' Ulumuddin, juz
2, h. 248)
Imam An-Nawawi telah menukil dari Sulthanul ulama, Imam Izzuddin bin
Abdussalam, dia berkata di akhir kitab Qawa'id Al Ahkam (kaidah-kaidah
hukum),"Bid'ah itu terbagi kepada wajib, sunah, mubah, haram dan makruh ... ",Di
kesempatan lain, dalam pembicaraan tentang hukum bersalaman usai shalat, dia
juga berkata, "Ketahuilah bahwa bersalaman ini disunahkan pada setiap pertemuan,
adapun orang-orang membiasakan bersalaman pada setiap kali usai shalat maka ini
tidak ada dasarnya sama sekali, akan tetapi hal itu tidak mengapa dilakukan, karena
dasar bersalaman itu adalah Sunnah. Adapun mereka yang membiasakannya pada
kondisi tertentu seperti usai shalat maka hal ini tidak keluar dari keberadaan
bersalaman yang disinggung oleh dasar syariat (Sunnah)." (lihat An-Nawawi dalam
Al Adzkar)
"Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah huda (yang berpetunjuk) dan bid'ah
dholalah (sesat), jika perkaranya bertolak belakang dengan apa yang diperintahkan
Rasulullah SAW maka itu termasuk tercela dan dikecam. Jika perkara itu termasuk
yang disunahkan dan dianjurkan maka perkara itu terpuji. Dia pun menambahkan:
bid'ah yang baik pada dasarnya adalah sunnah."
Karena itu hadits Nabi SAW, "Bahwa setiap perkara baru itu bid'ah."
Dipahami jika perkara baru itu bertentangan dengan dasar-dasar syariat dan
bertolak belakang dengan Sunnah." (lihat An-Nihayah, karangan Ibnu Al Atsir juz
1. h. 80)
Ibnu Al Manzhur juga memiliki pendapat yang bagus mengenai definisi bid'ah
secara istilah syar'i, menurutnya:
Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah berpetunjuk (huda) dan bid'ah yang sesat
(dhalal). Jika perkara itu bertolak belakang dengan perintah Allah dan Rasul-Nya
maka itu termasuk tercela dan dikecam. Adapun jika perkaranya termasuk atau
8
sesuai dengan apa yang dianjurkan Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk
perkara terpuji. Adapun perkara yang tidak ada contohnya di zaman nabi SAW
seperti macam-macam jenis kebaikan dan kedermawanan serta perbuatan baik
lainnya maka itu termasuk perbuatan yang terpuji (seperti bersedekah dengan
pulsa, voucher, mengucapkan selamat via email dan SMS atau MMS, mengaji via
telepon, dan lain sebagainya--Red)."
Perkara baru ini tidak boleh bertentangan dengan dasar-dasar syariat, karena
Nabi SAW telah menilai perbuatan ini (yang sesuai dengan dasar-dasar syari'at)
berhak mendapatkan pahala: beliau bersabda,"Siapa yang memulai perbuatan baik
maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya."
"Ini (shalat Tarawih berjamaah) bid'ah yang baik".Jika perbuatan itu termasuk
kategori kebaikan dan terpuji maka dinamakannya dengan bid'ah yang baik dan
terpuji, karena Nabi SAW tidak menyunahkan shalat Tarawih secara berjamaah
kepada mereka, Rasulullah hanya melakukannya beberapa hari lalu
meninggalkannya dan tidak lagi mengumpulkan jamaah untuk melakukan shalat
Tarawih. Praktik shalat Tarawih berjamaah ini juga tidak dilakukan pada masa Abu
Bakar. Namun hal itu dipraktikkan di masa Umar bin Al Khaththab, beliau
menganjurkannya serta membiasakannya, sehingga Umar menamakannya dengan
bid'ah pula, namun pada hakikatnya praktik tersebut adalah sunnah, berdasarkan
sabda Nabi SAW, "Ikutilah Sunnahku, dan sunnah khulafaur rasyidin
setelahku."Juga sabda beliau lainnya, "Ikuti orang-orang setelahku, yaitu Abu
Bakar, Umar, Utsman dan Ali ".
Adapun hadits nabi SAW, "Setiap perkara baru adalah bid'ah". Dipahami jika
perkara itu bertolak belakang dengan dasar-dasar syariat dan tidak sesuai dengan
Sunnah. (lihat Lisan Al 'Arab juz 8. h. 6)
9
Jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa bid'ah terbagi
beberapa macam, hal ini nampak pada pendapat imam Syafi'i dan para pengikutnya
seperti, Al Izzu bin Abdussalam, An-Nawawi dan Abu Syamah. Dari Madzhab
Maliki seperti, Al Qarafi dan Az-Zarqani. Dari Madzhab Hanafi, seperti Ibnu
Abidin. Dari Madzhab Hambali, seperti Ibnu Al Jauzi. Dari madzhab Zhahiriyah,
seperti Ibnu Hazm.
Semua ini tercermin dalam definisi yang diberikan Al Izz bin Abdussalam
mengenai bid'ah, yaitu perbuatan atau amal yang tidak pernah ada di zaman Nabi
SAW, dan hal ini terbagi pada bid'ah wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.
Bid'ah wajib
Seperti mempelajari ilmu nahwu dan sharaf (gramatika bahasa Arab) yang
dengannya dapat memahami kalam Ilahi dan sabda Rasulullah. Ini termasuk bid'ah
wajib, karena ilmu ini berfungsi untuk menjaga kemurnian syariat, sebagaimana
dijelaskan dalam kaidah fikih,
"Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak akan berjalan sempurna maka sesuatu itu
pun menjadi wajib hukumnya."
- Bid'ah haram
- Bid'ah sunnah
- Bid'ah makruh
10
- Bid'ah mubah
Mengenai bid'ah mubah ini diperlukan sikap toleransi yang tinggi di kalangan
umat Islam untuk menjaga persatuan dan persaudaraan yang hukumnya wajib,
artinya siapa saja boleh melakukan dan meninggalkannya, jangan sampai ada
paksaan sedikitpun dalam melakukannya apalagi saling merasa benar atau
menyalahkan kelompok lainnya.
Adapun dalil yang menjadi dasar pembagian bid'ah ini menjadi lima adalah:
Aku keluar rumah bersama Umar bin Khaththab pada malam bulan
Ramadhan menuju masjid. Kami menyaksikan orang-orang terbagi-bagi, masing
masing melakukan shalat sendirian. Kemudian Umar berkata,"Aku berpandangan
andai saja aku bisa mengumpulkan mereka pada satu imam maka ini lebih baik dan
ideal." Beliau Pun bertekad mengumpulkan mereka dengan imamnya Ubay bin
Ka'ab. Kemudian aku keluar ke masjid pada hari berikutnya bersama beliau, kami
pun melihat orang-orang sedang shalat dibelakang satu imam. Umar lalu berkata.
Abdullah bin Umar menilai shalat Dhuha yang dilakukan secara berjamaah di
masjid adalah bid'ah, padahal itu merupakan perkara baik.
11
Diriwayatkan dari Mujahid, dia berkata:
Aku dan Urwah bin Zubair masuk masjid, ternyata ada Abdullah bin Umar
sedang duduk di samping serambi rumah Aisyah, lalu ada sekelompok orang
melakukan shalat Dhuha secara berjamaah. Kami Pun menanyakan hukum shalat
mereka ini kepadanya, dia pun menjawab,"Bid'ah".(HR. Bukhari dan Muslim)
Dari apa yang disampaikan dapat kita simpulkan bahwa mengenai bid'ah ini ada
dua pandangan para ulama:
Seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dan lainnya, bahwa
semua perbuatan yang diberi pahala dan disyariatkan melakukannya tidak
dinamakan bid'ah, sekalipun hal itu pantas dinamakan bid'ah dari segi bahasa, yaitu
perbuatan baru yang belum pernah ada yang melakukannya, akan tetapi penamaan
bid'ah terhadap perbuatan ini tidak dimaksudkan sebagai bid'ah yang tercela
apalagi sesat. Pandangan perincian macam-macam bid'ah seperti yang
dikemukakan oleh Al Izz bin Abdissalam sebagaimana yang telah kami paparkan
sebelumnya.
Sementara sikap kita sebagai muslim terhadap masalah yang cukup penting ini
yang mempengaruhi pemikiran Islam, masalah-masalah fikih, juga pandangan atau
sikap kita terhadap saudara-saudara semuslim kita lainnya, sehingga janganlah
dengan mudah kita mengklaim mereka yang melakukan bid'ah hasanah (yang baik)
itu sebagai pelaku bid'ah yang sesat dan fasik (wal 'iyadzu billah/kita memohon
perlindungan kepada Allah dari hal itu), hal ini terjadi karena ketidaktahuan
dengan prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah yang telah jelas tersebut, sehingga
masalah ini pun menjadi samar dan aneh di kalangan umat Islam.
12
B. Dalil Tentang Haramnya Bid’ah
1. Dalil Al-Qur’an
نﻮﻜﯿﻓ ﻦﻛ ﮫﻟ لﻮﻘﯾ ﺎﻤﻧﺈﻓ اﺮﻣأ ﻰﻀﻗ اذإو ضرﻷاو تاوﺎﻤﺴﻟا ﻊﯾﺪﺑ
Artinya adalah “Memulai, mengkreasi dan mencipta sesuatu tanpa ada contoh
sebelumnya” (QS. Al-Baqarah 117).
نﻮﻘﺘﺗ ﻢﻜﻠﻌﻟ ﮫﺑ ﻢﻛﺎﺻو ﻢﻜﻟذ ﮫﻠﯿﺒﺳ ﻦﻋ ﻢﻜﺑ قﺮﻔﺘﻓ ﻞﺒﺴﻟا اﻮﻌﺒﺘﺗ ﻻو هﻮﻌﺒﺗﺎﻓ ﺎﻤﯿﻘﺘﺴﻣ ﻲطاﺮﺻ اﺬھ نأو
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah
dia; dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (Qs. Al An'am [6]: 153).
2. Dalil Hadits
1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan
agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no.
2697 dan Muslim no. 1718)
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka
amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)
ﺔﻟﻼﺿ ﺔﻋﺪﺑ ﻞﻛو ﺎﮭﺗﺎﺛﺪﺤﻣ رﻮﻣﻷا ﺮﺷو ﺪﻤﺤﻣ ىﺪھ ىﺪﮭﻟا ﺮﯿﺧو ﷲ بﺎﺘﻛ ﺚﯾﺪﺤﻟا ﺮﯿﺧ نﺈﻓ ﺪﻌﺑ ﺎﻣأ
13
ﮫﻟ ﻞﻀﻣ ﻼﻓ ﷲ ﺪﮭﯾ ﻦﻣ، ﮫﻟ يدﺎھ ﻼﻓ ﻞﻠﻀﯾ ﻦﻣو، ﷲ بﺎﺘﻛ ﺚﯾﺪﺤﻟا قﺪﺻأ نإ، ﺪﻤﺤﻣ يﺪھ يﺪﮭﻟا ﻦﺴﺣأو
ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ، ﺎﮭﺗﺎﺛﺪﺤﻣ رﻮﻣﻷا ﺮﺷو، ﺔﻋﺪﺑ ﺔﺛﺪﺤﻣ ﻞﻛو، ﺔﻟﻼﺿ ﺔﻋﺪﺑ ﻞﻛو، رﺎﻨﻟا ﻲﻓ ﺔﻟﻼﺿ ﻞﻛو
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa
menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi
petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara
agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan
setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An-Nasa’i)
ﻰﺘﻨﺴﺑ ﻢﻜﯿﻠﻌﻓ اﺮﯿﺜﻛ ﺎﻓﻼﺘﺧا ىﺮﯿﺴﻓ ىﺪﻌﺑ ﻢﻜﻨﻣ ﺶﻌﯾ ﻦﻣ ﮫﻧﺈﻓ ﺎﯿﺸﺒﺣ اﺪﺒﻋ نإو ﺔﻋﺎﻄﻟاو ﻊﻤﺴﻟاو ﷲ ىﻮﻘﺘﺑ ﻢﻜﯿﺻوأ
ﺔﻋﺪﺑ ﺔﺛﺪﺤﻣ ﻞﻛ نﺈﻓ رﻮﻣﻷا تﺎﺛﺪﺤﻣو ﻢﻛﺎﯾإو ﺬﺟاﻮﻨﺎﻟﺑ ﺎﮭﯿﻠﻋ اﻮﻀﻋو ﺎﮭﺑ اﻮﻜﺴﻤﺗ ﻦﯾﺪﺷاﺮﻟا ﻦﯿﯾﺪﮭﻤﻟا ءﺎﻔﻠﺨﻟا ﺔﻨﺳو
ﺔﻟﻼﺿ ﺔﻋﺪﺑ ﻞﻛو
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar
dan taat kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak
dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku
nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk
berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mereka itu telah
diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham
kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara
(agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR.
At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”)
14
ضﻮﺤﻟا ﻰﻠﻋ ﻢﻜطﺮﻓ ﺎﻧأ، ﻰﺑﺎﺤﺻأ بر ىأ لﻮﻗﺄﻓ ﻰﻧود اﻮﺠﻠﺘﺧا ﻢﮭﻟوﺎﻧﻷ ﺖﯾﻮھأ اذإ ﻰﺘﺣ ﻢﻜﻨﻣ لﺎﺟر ﻰﻟإ ﻦﻌﻓﺮﯿﻟ
كﺪﻌﺑ اﻮﺛﺪﺣأ ﺎﻣ ىرﺪﺗ ﻻ لﻮﻘﯾ.
ﻰﻨﻣ ﻢﮭﻧإ. ىﺪﻌﺑ لﺪﺑ ﻦﻤﻟ ﺎﻘﺤﺳ ﺎﻘﺤﺳ لﻮﻗﺄﻓ كﺪﻌﺑ اﻮﻟﺪﺑ ﺎﻣ ىرﺪﺗ ﻻ ﻚﻧإ لﺎﻘﯿﻓ
• ﺔﻨﺴﻟا• نﻮﺌﻔﻄﯾ• لﺎﺟر• يﺪﻌﺑ• ﻦﻣ• ﻢﻛﺮﻣأ• ﻲﻠﯿﺳ• ﮫﻧا، •• ﺔﻋﺪﺑ• نﻮﺛﺪﺤﯾو، •• ”• ﺎﮭﺘﯿﻗاﻮﻣ• ﻦﻋ• ةﻼﺼﻟا• نوﺮﺧﺆﯾو، •ﻦﺑا• لﺎﻗ
: ﷲ لﻮﺳر ﺎﯾ، لﺎﻗ ؟ ﻢﮭﺘﻛردأ اذإ ﻲﺑ ﻒﯿﻛ: ” ” ﷲ ﻰﺼﻋ ﻦﻤﻟ ﺔﻋﺎط ﺪﺒﻋ مأ ﻦﺑا ﺎﯾ ﺲﯿﻟ، ثﻼﺛ ﺎﮭﺎﻟﻗ
دﻮﻌﺴﻣ تاﺮﻣ
15
“Sungguh diantara perkara yang akan datang pada kalian sepeninggalku
nanti, yaitu akan ada orang (pemimpin) yang mematikan sunnah dan membuat
bid’ah. Mereka juga mengakhirkan shalat dari waktu sebenarnya’. Ibnu Mas’ud lalu
bertanya: ‘apa yang mesti kami perbuat jika kami menemui mereka?’. Nabi
bersabda: ‘Wahai anak Adam, tidak ada ketaatan pada orang yang bermaksiat pada
Allah'”. Beliau mengatakannya 3 kali. (HR. Ahmad no.3659, Ibnu Majah no.2860.
Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Hadits Shahihah, 2864)
ﺎﺌﯿﺷ ﻢھرﻮﺟأ ﻦﻣ ﺺﻘﻨﯾ نأ ﺮﯿﻏ ﻦﻣ• ﺎﮭﺑ• ﻞﻤﻋ ﻦﻣ ﻞﺜﻣ ﺮﺟﻷا ﻦﻣ ﮫﻟ نﺈﻓ يﺪﻌﺑ ﺖﺘﯿﻣأ• ﺪﻗ ﻲﺘﻨﺳ ﻦﻣ ﺔﻨﺳ ﺎﯿﺣأ ﻦﻣ ﮫﻧإ
، سﺎﻨﻟا رازوأ ﻦﻣ ﻚﻟذ ﺺﻘﻨﯾ ﻻ ﺎﮭﺑ ﻞﻤﻋ ﻦﻣ مﺎﺛآ ﻞﺜﻣ ﮫﯿﻠﻋ نﺎﻛ ﮫﻟﻮﺳرو ﷲ ﺎھﺎﺿﺮﯾ ﻻ ﺔﻟﻼﺿ ﺔﻋﺪﺑ عﺪﺘﺑا• ﻦﻣو
ﺎﺌﯿﺷ
ﺮﺸﺑ ﺎﻨﻛ ﺎﻧإ ! ﷲ لﻮﺳر ﺎﯾ. ﺮﯿﺨﺑ ﷲ ءﺎﺠﻓ. ﮫﯿﻓ ﻦﺤﻨﻓ. ﺖﻠﻗ ( ﻢﻌﻧ ) لﺎﻗ ؟ ﺮﺷ ﺮﯿﺨﻟا اﺬھ ءارو ﻦﻣ ﻞﮭﻓ: ﻦﻣ ﻞھ
ﺖﻠﻗ ( ﻢﻌﻧ ) لﺎﻗ ؟ ﺮﯿﺧ ﺮﺸﻟا ﻚﻟذ ءارو: ﺖﻠﻗ ( ﻢﻌﻧ ) لﺎﻗ ؟ ﺮﺷ ﺮﯿﺨﻟا ﻚﻟذ ءارو ﻦﻣ ﻞﮭﻓ: نﻮﻜﯾ ) لﺎﻗ ؟ ﻒﯿﻛ
ياﺪﮭﺑ نوﺪﺘﮭﯾ ﻻ ﺔﻤﺋأ يﺪﻌﺑ، ﻲﺘﻨﺴﺑ نﻮﻨﺘﺴﯾ ﻻو. ( ﺲﻧإ• نﺎﻤﺜﺟ• ﻲﻓ• ﻦﯿطﺎﯿﺸﻟا بﻮﻠﻗ ﻢﮭﺑﻮﻠﻗ لﺎﺟر ﻢﮭﯿﻓ مﻮﻘﯿﺳو
ﺖﻠﻗ لﺎﻗ: ﺮﯿﻣﻸﻟ• ﻊﯿﻄﺗو• ﻊﻤﺴﺗ ) لﺎﻗ• ؟ ﻚﻟ ُ•ذ ﺖﻛردأ نإ ! ﷲ لﻮﺳر ﺎﯾ ؟ ﻊﻨﺻأ ﻒﯿﻛ. • كﺮﮭظ بﺮﺿ• نإو. •ﺬﺧأو
ﻚﺎﻟﻣ. ) ﻊطأو ﻊﻤﺳﺎﻓ
“Wahai Rasulullah, dulu kami orang biasa. Lalu Allah mendatangkan kami
kebaikan (berupa Islam), dan kami sekarang berada dalam keislaman. Apakah
setelah semua ini akan datang kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah itu
akan datang kebaikan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah itu akan datang
kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Aku bertanya: ‘Apa itu?’. Nabi bersabda:
‘akan datang para pemimpin yang tidak berpegang pada petunjukku dan tidak
berpegang pada sunnahku. Akan hidup diantara mereka orang-orang yang hatinya
adalah hati
16
setan namun berjasad manusia’. Aku bertanya: ‘Apa yang mesti kami perbuat wahai
Rasulullah jika mendapati mereka?’. Nabi bersabda: ‘Tetaplah mendengar dan taat
kepada penguasa, walau mereka memukul punggungmu atau mengambil hartamu,
tetaplah mendengar dan taat’” (HR. Muslim no.1847)
Tidak berpegang pada sunnah Nabi dalam beragama artinya ia berpegang pada
sunnah-sunnah yang berasal dari selain Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan
kebid’ahan.
“Orang yang akan pertama kali mengubah-ubah sunnahku berasal dari Bani
Umayyah” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam Al Awa’il, no.61, dishahihkan Al Albani
dalam Silsilah Ash Shahihah 1749)
Dalam hadits ini Nabi mengabarkan bahwa akan ada orang yang
mengubah-ubah sunnah beliau. Sunnah Nabi yang diubah-ubah ini adalah kebid’ahan.
ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا ةدﺎﺒﻋ ﻦﻋ نﻮﺄﻟﺴﯾ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا جاوزأ تﻮﯿﺑ ﻰﻟإ ﻂھر ﺔﺛﻼﺛ ءﺎﺟ، ﺎﻤﻠﻓ
ﺎھﻮﺎﻟﻘﺗ ﻢﮭﻧﺄﻛ، اﻮﺎﻟﻘﻓ: ؟• ﺮﺧﺄﺗ ﺎﻣو• ﮫﺒﻧذ• ﻦﻣ• مﺪﻘﺗ ﺎﻣ ﮫﻟ ﺮﻔﻏ ﺪﻗ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا ﻦﻣ ﻦﺤﻧ ﻦﯾأو
: ﺎﻧأ ﺎﻣأ، اﺪﺑأ ﻞﯿﻠﻟا ﻲﻠﺻأ ﻲﻧﺈﻓ، ﺮﺧآ لﺎﻗو: ﺮﻄﻓأ ﻻو ﺮھﺪﻟا مﻮﺻأ ﺎﻧأ، ﺮﺧآ لﺎﻗو: اوﺮﺒﺧأ ءﺎﺴﻨﻟا لﺰﺘﻋأ ﺎﻧأ
اﺪﺑأ، ﻢﮭﯿﻟإ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﷲ لﻮﺳر ءﺎﺠﻓ، لﺎﻘﻓ: ” اﺬﻛو اﺬﻛ ﻢﺘﻠﻗ ﻦﯾﺬﻟا ﻢﺘﻧأ، ﻢھﺪﺣأ لﺎﻗ ﻲﻧإ ﷲو ﺎﻣأ
جوﺰﺗأ ﻼﻓ
ﺮﻄﻓأو مﻮﺻأ ﻲﻨﻜﻟ ﮫﻟ ﻢﻛﺎﻘﺗأو، ﺪﻗرأو ﻲﻠﺻأو، ءﺎﺴﻨﻟا جوﺰﺗأو، ﻲﻨﻣ ﺲﯿﻠﻓ ﻲﺘﻨﺳ ﻦﻋ ﺐﻏر ﻦﻤﻓ ﻢﻛﺎﺸﺧﻷ
Bid’ah
1. Para Sahabat
Sebagaimana telah diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu,
Dari Jabir bin Abdillah berkata : Jika Rasulullah berkhutbah maka merahlah kedua mata
beliau dan suara beliau tinggi serta keras kemarahan (emosi) beliau, seakan-akan beliau
sedang memperingatkan pasukan perang seraya berkata “Waspadalah terhadap musuh
yang akan menyerang kalian di pagi hari, waspadalah kalian terhadap musuh yang akan
menyerang kalian di sore hari !!”. Beliau berkata, “Aku telah diutus dan antara aku dan
hari kiamat seperti dua jari jemari ini –Nabi menggandengkan antara dua jari beliau yaitu
jari telunjuk dan jari tengah-, dan beliau berkata
18 : “Kemudian daripada itu, sesungguhnya
sebaik-baik perkataan adalah Al-Qur’an dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang baru dan semua
bid’ah adalah kesesatan” (HR Muslim no 2042)
َ َو ُك ُّل، ٌضالَلَة
ضالَلَ ٍة فِي النَّا ِر َ َو ُك ُّل بِ ْد َع ٍة ٌَو ُكلُّ ُمحْ َدثَ ٍة بِ ْد َعة
“Dan semua perkara yang baru adalah bid’ah dan seluruh bid’ah adalah kesesatan dan
seluruh kesesatan di neraka” (HR An-Nasaai no 1578)
Kaidah ini juga merupakan penggalan dari wasiat Nabi yang telah mengalirkan air mata
para sahabat radhiallahu ‘anhum, sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat ‘Irbaadh bin
Sariyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
« ِّين الرَّا ِش ِدينَ تَ َم َّس ُكوا بِهَا َوعَضُّ وا َعلَ ْيهَا •َ اختِالَفًا َكثِيرًا فَ َعلَ ْي ُك ْم بِ ُسنَّتِى َو ُسنَّ ِة ْال ُخلَفَا ِء ْال َم ْه ِدي
ْ فَِإنَّهُ َم ْن يَ ِعشْ ِم ْن ُك ْم بَ ْع ِدى فَ َسيَ َرى
ٌضالَلَة
َ َو ُك َّل ِب ْد َع ٍة ٌور فَِإ َّن ُك َّل ُمحْ َدثَ ٍة بِ ْد َعة »بِالنَّ َوا ِج ِذ َوِإيَّا ُك ْم َو ُمحْ َدثَا ِ ُأل
ِ ت ا ُم
“Sesungguhnya barangsiapa yang hidup setelahku maka dia akan melihat banyak
perselisihan, maka wajib bagi kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah para
khulafaaur rosyidin yang mendapat petunjuk setelahku, berpegang teguhlah dengan
sunnah-sunnah tersebut, dan gigitlah ia dengan geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian
terhadap perkara-perkara baru, karena semua perkara baru adalah bid’ah dan semua
bid’ah adalah kesesatan“ (HR Abu Dawud no 4069)
Selain dua hadits di atas ada hadits lain yang juga mendukung bahwa semua bid’ah adalah
kesesatan, yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
َت فَ ْت َرتُهُ ِإلَى ُسنَّ ٍة فَقَ ْد ا ْهتَدَى َ فَ َمنْ َكانَتْ فَ ْت َرتُهُ ِإلَى بِ ْد َع ٍة فَقَ ْد ،ً“ ِإ َّن لِ ُك ِّل َع َم ٍل ِش َّرةً ثُ َّم فَ ْت َرة
ْ َو َم ْن َكان،ض َّل
“Sesungguhnya bagi setiap amalan ada semangat dan ada futur (tidak semangat),
maka barangsiapa yang futurnya ke bid’ah maka dia telah sesat, dan barangsiapa yang
futurnya ke sunnah maka dia telah mendapatkan petunjuk” (HR Ahmad 38/457 no 23474
dengan sanad yang shahih)
Dalam hadits ini jelas Nabi menjadikan sunnah sebagai lawan bid’ah dan mengandengkan
bid’ah dengan kesesatan. 19
Demikian juga sebuah atsar dari Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu dimana beliau pernah
berkata:
“Hampir saja ada seseorang yang berkata : Kenapa orang-orang tidak mengikuti aku,
padahal aku telah membaca Al-Qur’an, mereka tidaklah mengikutiku hingga aku membuat
bid’ah untuk mereka. Maka waspadalah kalian terhadap bid’ah karena setiap bid’ah
adalah kesesatan.” (Riwayat Abu Dawud no 4613, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro
10/210 no 21444, Abdurrozaq dalam mushonnafnya 11/363 no 20750 dengan sanad yang
shahih)
Dalam atsar ini Mu’adz bin Jabal mensifati bid’ah dengan dolalah (kesesatan).
Hadits dan atasar ini semakin menguatkan kaidah umum yang telah dilafalkan oleh Nabi
“Semua bid’ah adalah kesesatan“.
b) Para Tabi’in
menurut Ibnu Taimiyah Ibnu taimiyah yang dijuluki sebagai Syaikhul Islam
lahir tahun 661 H, dalam fatwanya menyebut sebagai berikut:25 24 Ahmad Bin Idris
Bin Abdurrahman al-Masyhur al-Qarafi, al-Furuq, Juz IV, (Saudi: Dakwah
Irsyadiyah, 1421 H), hlm. 202-204. 25 Ahmad Bin Taimiyah, Majmu‟ Fatawa, Juz
XX, (Saudi: Dakwah Isyadiyah, 1425), hlm. 163.
ﻞﻣ لﻮﺳر نﺄﺑ ﻢﻠﻌﻟا ﻮﺑ الا ﻢﺘﯾ ال نﺎﻤﯾﻻا نا ﻢﻋز ادﺎﻘﺘﻋا وأ ﺎﻘﯾﺮط عﺪﺘﺑا ﻦﻣ لﻼﺿ فﺮﻌﯾ ﺎﻨ ﻦﻣو
ﺔﻋﺪﺑ ﻰﻤﺴﯾ ﻞﻣ ﺪﻘﻓ ﺎﮭﻔﺎﻟﺧ ﻮﻧأ ﻢﻠﻌﯾ ﻞﻣ ﺎﻣو ﺖﻤﻠﺴﻟدا قﺎﻔﺗﺎﺑ ﺔﻋﺪﺑ ﻮﮭﻓ صﻮﺼﻨﻟا ﻒﺎﻟﺧ ﺎﻣو. لﺎﻗ
هﺮﻛﺬﯾ هﺬﮭﻓ ﻞﻠھا لﻮﺳر بﺎﺤﺻأ ﺾﻌﺑ ﻦﻋ اﺮﺛأو ﺎﻋﺎﺟواو ﺔﻨﺳو ﺎﺑﺎﺘﻛ ﺖﻔﺎﻟﺧ ﺔﻋﺪﺑ نﺎﺘﻋﺪﺑ• ﺔﻋﺪﺒﻟا
هﺬھ ﺔﻋﺪﺒﻟا ﺖﻤﻌﻧ ﺮﻤﻋ لﻮﻘﻟ ﺔﻨﺴﺣ نﻮﻜﺗ ﺪﻗ هﺬھو ﻚﻟذ ﻦﻣ ﺎﺌﯿﺷ ﻒﺎﻟﺧ ﻞﻣ ﺔﻋﺪﺑو. ﻲﻌﻓﺎﺸﻟا هﻮﺤﻧ ىﺬ
لﻼﺿ ﺔﻋﺪﺑ ﻞﺧﺪﻟا ﻒﯾ ﺢﯿﺤﺼﻟا هدﺎﻨﺳﺈﺑ ﻲﻘﮭﯿﺒﻟا هاور
Artinya: “Dari sini diketahui kesesatan orang yang membuat jalan atau aqidah
yang menganggap bahwa iman tidak sempurna kecuali dengan jalan atau aqidah itu
bersamaan dengan itu ia mengetahui bahwa Rasul tidak menyebutkannya dan sesuatu
20
yang bertentangan dengan nas maka semua itu adalah bid'ah sesuai dengan
kesepakatan umat islam. Sedangkan bid‟ah yang tidak diketahui bertentangan dengan
nas, maka sesungguhnya terkadang ia tidak disebut bid'ah.Imam Syafi'i berkata:
Bid'ah ada dua.(Pertama) Bid'ah yang bertentangan dengan kitab, sunnah, ijma dan
asar dari sebagian sahabat nabi, maka ini adalah bid'ah yang 4 sesat. (Kedua) bid‟ah
yang sama sekali tidak bertentangan dengan empat hal tersebut maka bid'ah ini
terkadang baik sebab ucapan Umar : ini adalah sebaik-baik bidah. Ucapan ini dan
yang semisalnya diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad shaḥiḥ dalam Al Madkhal.
21
c) Tabi’ut dan Tabi’in
Ada tulisan kali ini, penulis ingin memaparkan lagi satu pandangan dari imam
Mazhab Syafi’i yaitu Muhammad bin Idris As-Syafi’i terkait persoalan bid’ah. beliau
berpandangan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua macam yaitu bid’ah yang terpuji dan
bid’ah yang tercela. Hal ini seperti yang termaktub dalam kitab Hilyatul Auliya milik
Abu Na’im Al-Isfahani. “…Bercerita kepada kami Harmalah bin Yahya ia berkata:
aku mendengar Muhammad bin Idris As-Syafi’i berkata: bid’ah ada dua macam,
bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Maka bid’ah yang selaras dengan
sunnah maka itu terpuji, dan yang bertentangan dengan sunnah maka itu
tercela”.Menurut kitab Hilyatul Auliya wa Thabaqat Al-Ashfiya Juz 9 Hal. 113 Cet.
Darul Kitab Al-Arabi.
Itulah pandangan yang diutarakan oleh imam Syafi’i terkait bid’ah, pada
bahasan selanjutnya kita bisa mengupas perihal maulid Nabi Saw bersandarkan pada
pandangan tersebut. Jika kita sandarkan pada pandangan tersebut terkait mereka yang
mengatakan bahwa maulid Nabi Saw adalah bid’ah, apakah bid’ahnya masuk pada
bid’ah yang terpuji, yang berarti tidak bertentangan dengan Al-Quran, Sunnah atau
yang lainnya, ataukah masuk pada bid’ah yang tercela dan sesat?.
Jama’ah.
Pertama,
bid’ah yang
bersifat wajib
seperti
mempelajari
bahasa Arab.
Sebab tanpa
bahasa Arab,
seseorang tak
akan mampu
memahami Al-
Qur’an, hadits,
serta kitab-kitab karangan para ulama dengan baik. Al-Qur’an sendiri
menurut Imam Ali
adalah hammalatul aujuh (mempunyai banyak wajah atau tafsiran), untuk itu
menjalankan bid’ah yang ini menjadi wajib. “Oleh karenanya, pesantren-pesantren
NU maupun pesantren-pesantren yang didirikan Syaikhona Kholil Bangkalan pasti
pesantren bahasa,” ungkap Zuhair Misrawi atau yang akrab disapa dengan Gus Mis.
Seseorang yang mengerti bahasa Arab, kemungkinan menjadi teroris pun sangat
rendah, sebab ia memahami konteks Al-Qur’an dan hadits dengan baik. “Itu sudah
menjadi jaminan,” lanjut Gus Mis. Cara memahami bahasa Arab itu dapat dilakukan
dengan mempelajari Alfiyah Ibn Malik, ‘Imrithi, Jurumiyyah dan ilmu-ilmu alat
lainnya. Ia juga berharap kepada kader-kader NU untuk memahami bahasa Arab
dengan benar.
Kedua, bid’ah yang bersifat haram seperti yang dilakukan oleh kalangan
jabariyah yang
katalistik
dimana ia
mendirikan negara 21
Tuhan dan mengatakan dirinya paling benar, selain itu juga seperti yang dilakukan
kalangan qadariyyah yang memberhalakan rasio atau akal serta seperti yang dilakukan
kalangan mujassamah.
Ketiga, bid’ah yang bersifat mandub (sunnah). Bid’ah yang jika dikerjakan
menjadi baik
kalau tidak,
tidak akan
masalah, seperti
membangun sekolah, pesantren, dan mempererat tali silaturahim. “Sebelum ukhuwah
Islamiyah maka dahulukan ukhuwah Nahdliyah,” kata Gus Mis mengutip dari KH
Mustofa Bisri.
Keempat, bid’ah yang bersifat makruh, seperti memperindah mushaf Al-Qur’an,
menghiasi
masjid.
“Menghiasi
masjid itu, seperti
kubahnya dari emas bangunannya dipermegah. Yang harus diisi itu hatinya ketika di
dalam masjid, bukan bangunannya, percuma masjid megah tapi kalau sholat
jamaahnya kosong,” lanjut Gus Mis.
Kelima, bid’ah yang bersifat mubah seperti berjabat tangan setelah shalat. “Itu
bid’ah tapi
diperbolehkan,” terangnya. Contoh bid’ah lain yang bersifat mubah adalah
22
memperluas
tempat makan maupun minum,
supaya orang lain kebagian hidangan yang kita sajikan. (Nuri Farikhatin/Fathoni).
Hal ini merupakan bentuk bid'ah sebab tidak ada sesuatu yang disyariatkan
dalam hal ibadah kecuali dengan dalil. Sesuatu yang tidak ada dalilnya termasuk
kategori bid’ah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
berbunyi:
Hal-hal termasuk contoh bid'ah sebab tidak dijelaskan oleh Rasulullah SAW
berfirman:
ضرﻷا ﻲﻓ ﺎﻣو تاوﺎﻤﺴﻟا ﻲﻓ ﺎﻣ ﻢﻠﻌﯾ ﷲو ﻢﻜﻨﯾﺪﺑ• ﷲ نﻮﻤﻠﻌﺗأ ﻞﻗ ﻢﯿﻠﻋ ءﻲﺷ ﻞﻜﺑ ﷲو
23
2. Bid’ah dalam puasa
● Bid’ah Berdzikir Dengan Keras Setelah Salam Shalat Tarawih
Berdzikir dengan suara keras setelah melakukan salam pada shalat tarawih
dengan dikomandani oleh satu suara adalah perbuatan yang tidak disyariatkan. Begitu
pula perkataan muazin, “assholaatu yarhakumullah” dan yang semisal dengan
perkataan tersebut ketika hendak melaksanakan shalat tarawih, perbuatan ini juga
tidak disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula oleh para
sahabat maupun orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Oleh karena itu
hendaklah kita merasa cukup dengan sesuatu yang telah mereka contohkan. Seluruh
kebaikan adalah dengan mengikuti jejak mereka dan segala keburukan adalah dengan
membuat-buat perkara baru yang tidak ada tuntunannya dari mereka.
● Membangunkan Orang-Orang untuk Sahur
Perbuatan ini merupakan salah satu bid’ah yang tidak pernah dilakukan pada
masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak pernah memerintahkan hal
ini. Perbedaan tata-cara membangunkan sahur dari tiap-tiap daerah juga menunjukkan
tidak disyariatkannya hal ini, padahal jika seandainya perkara ini disyariatkan maka
tentunya mereka tidak akan berselisih.
● Melafadzkan Niat
Melafazkan niat ketika hendak melaksanakan puasa Ramadhan adalah tradisi
yang dilakukan oleh banyak kaum muslimin, tidak terkecuali di negeri kita. Di antara
yang kita jumpai adalah imam masjid shalat tarawih ketika selesai melaksanakan
shalat witir mereka mengomandoi untuk bersama-sama membaca niat untuk
melakukan puasa besok harinya. Perbuatan ini adalah perbuatan yang tidak
dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga orang-orang saleh
setelah beliau. Yang sesuai tuntunan adalah berniat untuk melaksanakan puasa pada
malam hari sebelumnya cukup dengan meniatkan dalam hati saja, tanpa dilafazkan.
● Imsak
Tradisi imsak, sudah menjadi tren yang dilakukan kaum muslimin ketika
ramadhan. Ketika waktu sudah hampir fajar, maka sebagian orang meneriakkan
“imsak, imsak…” supaya orang-orang tidak lagi makan dan minum padahal saat itu
adalah waktu yang bahkan Rasulullah menganjurkan kita untuk makan dan minum.
Sahabat Anas meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhuma, “Kami makan
sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau shalat. Maka
24
kata Anas, “Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?”, Zaid menjawab, “Kira-kira
50 ayat membaca ayat al-Qur’an.” (HR. Bukhari dan Muslim).
● Menunda Azan Magrib Dengan Alasan Kehati-Hatian
Hal ini bertentangan dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menganjurkan kita untuk menyegerakan berbuka. Rasulullah bersabda,
ﺮﻄﻔﻟا اﻮﻠﺠﻋ ﺎﻣ ﺮﯿﺨﺑ سﺎﻨﻟا الﺰﯾ ﻻ
“Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.”
(HR. Bukhari Muslim).
● Takbiran
Yaitu menyambut datangnya ied dengan mengeraskan membaca takbir dan
memukul bedug pada malam ied. Perbuatan ini tidak disyariatkan, yang sesuai dengan
sunnah adalah melakukan takbir ketika keluar rumah hendak melaksanakan shalat ied
sampai tiba di lapangan tempat melaksanakan shalat ied.
● Padusan
Yaitu Mandi besar pada satu hari menjelang satu ramadhan dimulai. Perbuatan
ini tidak disyariatkan dalam agama ini, yang menjadi syarat untuk melakukan puasa
ramadhan adalah niat untuk berpuasa esok pada malam sebelum puasa, adapun mandi
junub untuk puasa Ramadhan tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
25
Tradisi ziarah kubur menjelang atau sesudah ramadhan banyak dilakukan oleh
kaum muslimin, bahkan di antara mereka ada yang sampai berlebihan dengan
melakukan perbuatan-perbuatan syirik di sana. Perbuatan ini tidak disyariatkan.
Ziarah kubur dianjurkan agar kita teringat dengan kematian dan akhirat, akan tetapi
mengkhususkannya karena even tertentu tidak ada tuntunannya dari Rasulullah
maupun para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’iin.
Inilah beberapa bid’ah yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin,
khususnya di negeri kita, semoga Allah ta’ala memberikan kita ilmu yang bermanfaat,
sehingga kita bisa meninggalkan perkara-perkara tersebut dan melakukan perbuatan
yang sesuai dengan tuntunan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
● Menjaharkan niat di dalam thaharah dan bersuci dari hadats. Biasanya mengucapkan;
ﺮﻐﺻﻷا ثﺪﺤﻟا ﻊﻓر ﺖﯾﻮﻧ.
● Mengucapkan; ءﻮﺿﻮﻟا ﻦﻨﺳ ﺖﯾﻮﻧdan ءﻮﺿﻮﻟا ﺾﺋاﺮﻓ ﺖﯾﻮﻧ. (Artinya aku berniat untuk
melakukan sunnah-sunnah wudhu) dan (aku berniat melakukan kewajiban-kewajiban
wudhu).
● Ucapan orang yang wudhu ketika membasuh kedua tangan;
و رﺎﻨﻟا ﻰﻠﻋ ىﺪﺴﺟ و ىﺮﻌﺷ مﺮﺣ و ﻰﺎﻟﻤﺸﺑ ﻰﺑﺎﺘﻛ ﻰﻨﻄﻌﺗ ﻻ و ﻰﻨﯿﻤﯿﺑ ﻰﺑﺎﺘﻛ ﻰﻨﻄﻋأ و ﻰﮭﺟو ﺾﯿﺑ ﻢﮭﻠﻟا
ﺦﻟا … ﻦﯿﻤﯿﻟا ﻰﻣﺪﻗ ﺖﺒﺛ و لﻼﺑ ناذأ ﻰﻨﻌﻤﺳأ
● Begitu pula ucapan; رﻮﮭﻄﻟا ءﺎـﻤﻟا اﺬھ ﻰﻠﻋ ﺪﻤﺤﻟا و ارﻮﻧ مﻼﺳﻹا و ارﻮﮭط ءﺎـﻤﻟا ﻞﻌﺟ ىﺬﻟا ﺪﻤﺤﻟا
● Adanya perasaan was was di dalam wudhu.
● Membaca dzikir atau doa khusus dikala membasuh atau mengusap anggota-anggota
wudhu.
● Memperbaharui air wudhu untuk kedua telinga lantaran menyelisihi hadits yang
shahih.
● Memisahkan antara mengusap kepala dan dua telinga.
● Membasuh kepala sebanyak tiga kali.
● Membasuh leher di dalam wudhu.
● Membasuh tengkuk secara khusus di dalam wudhu.
● Mengusap kening atau sedikit bahagian rambut yang depan saja.
● Mewudhukan bahagian rambut yang rontok.
● Berlebihan di dalam menggunakan air pada saat bersuci (mandi atau wudlu). Biasanya
lantaran saling mengobrol atau bersenda gurau.
● Beranggapan bahwa bersentuhan antara lelaki dan perempuan itu membatalkan
wudhu, meskipun suami istri.
● Beranggapan bahwa keluarnya darah dari selain dua lubang (qubul dan dubur) itu
membatalkan wudhu, misalnya dari hidung (mimisan), mulut, pecahnya bisul dan
lainnya.
● Menetapkan doa setelah wudhu dengan mengangkat kedua tangan dan
menengadahkan kepala ke langit.
● Wudhu untuk menyembelih hewan kurban.
● Tidak mau berwudlu dengan air zamzam lantaran keutamaan air zamzam tersebut.
F. PENYEBAB BID’AH
Sedangkan kebodohan terhadap qiyas dalam penentuan hukum Islam adalah yang
menjadikan ulama fikih generasi khalaf yang menetapkan qiyas dalam masalah-masalah
ibadah dan menetapkannya dalam agama terhadap apa yang tidak terdapat dalam hadits
dan amal, padahal banyaknya kebutuhan untuk mengamalkannya dan tidak ada yang
menghalanginya.
Adapun kebodohan tentang gaya bahasa Arab adalah yang menyebabkan dipahaminya
dalil-dalil bukan pada arahnya. Demikian itu menjadi sebab adanya hal baru yang tidak
dikenal generasi awal.
Sebagai contoh adalah pendapat sebagian manusia tentang hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
َ ثُ َّم، ِإ َذا َس ِم ْعتُ ْم ْال ُمَؤ ِّذنَ فَقُولُوا ِم ْث َل َما يَقُو ُل
َّ َصلُّوا َعل
ي
“Jika kamu mendengar orang adzan maka katakanlah seperti apa yang dikatakannya
kemudian bershalawatlah kepadaku” [Hadits Riwayat Muslim No. 384]
Artinya, dia menjadikan hawa nafsu sebagai pedoman penyimpulan dalil dan penetapan
hukum. Demikian itu berarti pemutarbalikan posisi hukum dan merusak tujuan syari’at
dalam menetapkan dalil.
Mengikuti hawa nafsu adalah akar dasar penyelewengan dari jalan Allah dan lurus.
FirmanNya.
َ َو َم ْن َأ
ِ ضلُّ ِم َّم ِن اتَّبَ َع هَ َواهُ بِ َغي ِْر هُدًى ِمنَ هَّللا
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan
tidak mendapat petunjuk dari Allah seikitpun?” [al-Qashash/28 : 50]
Bid’ah karena mengikuti hawa nafsu adalah bentuk bid’ah yang paling besar dosanya di
sisi Allah dan paling besar pelanggarannya terhadap kebaikan. Sebab betapa banyak
hawa nafsu yang telah merubah syari’at, mengganti agama dan menjatuhkan manusia ke
dalam kesesatan yang nyata.
Maka, dalam sesuatu yang tidak dapat dijangkau akal dan penalaran, menusia harus
merujuk kepada pembawa berita yang jujur yang dijamin kebenarannya karena mu’jizat
yang dibawanya. Dia adalah seorang rasul yang dikuatkan dengan mu’jizat dari sisi
Allah Yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu yang Maha cermat dengan apa yang
Dia ciptakan.
Atas dasar ini Allah mengutus para rasulNya untuk mejelaskan kepada manusia apa
yang diridhai Pencipta mereka, menjamin kebahagiaan mereka, dan menjadikan mereka
memperoleh keberuntungan dalam kebaikan dunia dan kebaikan di akhirat.
Sesungguhnya sebab-sebab terjadinya bid’ah yang kami sebutkan diatas telah tercakup
semua sisinya dan terpadunya pokok-pokoknya dalam hadits.
َف ُع ُدلُهُ يَ ْنفُوْ نَ تَحْ ِر ْيفَ ْالغَالِ ْينَ َو ا ْنتِ ِحال ْال ُمب ِْطلِ ْينَ َو تَْأ ِو ْي َل ْال َجا ِهلِ ْين
ٍ َيَحْ ِم ُل هَ َذا ْال ِع ْل َم ِم ْن ُكلِّ َخل
“Akan mengemban ilmu ini dari setiap generasi, orang-orang yang adil di antara mereka
yang akan menafikan orang-orang yang ekstrim, dan ajaran orang-orang yang
melakukan kebatilan serta penakwilan orang-orang yang bodoh” [2]
[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi
Ushul Fiqh, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah,Penulis Syaikh Ali Hasan Ali
Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit
Pustaka Al-Kautsar]
______
Footnote
[1]. Lihat Kitab Al-Bid’ah, karya Syaikh Mahmud Syaltut : 17-36
[2] .Hadits hasan Lihat Isryad As-Sari I/4 oleh Al-Qasthallani dan Al-Hiththah oleh
Shiddiq Hasan Khan : 70
G. BAHAYA BID’AH
Syaikh Shalih As-Suhaimi hafidzahullahu berkata: Sesungguhnya bid’ah-bid’ah dan
hal-hal baru dalam urusan agama mengakibatkan bahaya-bahaya yang besar dan
dampak-dampak negatif terhadap individu maupun masyarakat bahkan terhadap semua
bidang agama baik yang ushul maupun furu’.[1]
Inilah peringatan dari Allah, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para shalafush
shalih tentang bahaya bid’ah. Dan ini hukum secara umum (terutama dalam hukum di
akhirat), maka tidak boleh kita serampangan untuk menghukumi individu yang
melakukannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: Sesungguhnya
nash-nash Al-Qur’an tentang ancaman itu secara mutlak. Semisal firman Allah:
صلَ ۡونَ َس ِعي ۬ ًرا ُ ڪلُونَ َأمۡ َوٲ َل ۡٱليَتَ ٰـ َم ٰى ظُ ۡل ًما ِإنَّ َما يَ ۡأ
ۡ َڪلُونَ فِى بُطُونِ ِهمۡ نَا ۬ ًر ۖا َو َسي ُ ِإ َّن ٱلَّ ِذينَ يَ ۡأ
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka). (QS. An-Nisa’ : 10)
Demikian pula yang semisal dengannya: Barangsiapa yang berbuat demikian maka
baginya demikian. Ini adalah secara mutlak dan umum. Dan hal ini juga seperti apa
yang dikatakan oleh para salaf: Barangsiapa yang mengatakan demikian maka dia
demikian. Adapun individunya mungkin tidak berlaku ancaman tersebut karena dia
sudah bertaubat, atau ada kebaikan yang menghapusnya atau musibah-musibah yang
bisa menghapus atau syafaat yang diterima[2].
Maka pahamilah dengan baik dan jangan gagal paham!
Dan barangsiapa yang melakukan suatu amal perbuatan yang tidak sesuai dengan
tuntunanku maka dia tertolak. (HR. Muslim)
Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr hafidzahullahu berkata: Apabila ibadah
seperti wudhu, mandi jababat, shalat dan lain sebagainya jika dilakukan tidak sesuai
syariat maka tertolak dan tidak sah…..Hadits ini menunjukkan dengan kemutlakannya
bahwa setiap amaliyah yang menyelisihi syariat tertolak, meskipun niat pelakunya
baik[3].
Apa saja yang tidak dianggap agama di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
maka sampai kapan pun tidak dianggap sebagai agama[7].
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa fitnah
atau ditimpa azab yang pedih. (QS. An-Nuur : 63)[9]
Apakah Imam Malik rahimahullahu terlalu mudah menvonis bid’ah amaliyah? Atau
apakah beliau tidak paham masalah furu’ dan ushul?
9. Pelaku bid’ah diancam adzab yang pedih. Sebagaimana dalam ayat yang dibawakan
oleh Imam Malik diatas.
13. Pelaku bid’ah diusir dari telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sungguh akan diusir sekelompok orang dari
telagaku, sebagaimana diusirnya unta yang tersesat. Aku pun memanggil mereka:
Kemarilah, kemarilah, kemarilah. Kemudian ada seruan: Sesungguhnya mereka telah
merubah (membuat hal baru dalam agama) setelahmu. Maka aku berkata: Jauhkan,
jauhkan, jauhkan. (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Asy-Syathibi rahimahullahu berkata: Sebagian ulama mentafsirkan
mereka adalah ahli bid’ah.[13]
14. Pelaku bid’ah datang pada hari kiamat dalam keadaan berwajah hitam
muram. Allah berfirman:
ۚ
ٌيَ ۡو َم ت َۡبيَضُّ ُوجُو ۬هٌ َوت َۡس َو ُّد ُوجُو ۬ه
Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang
hitam muram. (QS. Ali-Imran : 106)
Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: Pada hari kiamat berseri-seri wajah
ahlussunnah wal jama’ah dan hitam muram wajah wajah ahli bid’ah dan firqah.[14]
وشر األمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضاللة وكل ضاللة في النار
Dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (dalam urusan agama)
dan setiap yang baru (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan
setiap kesesatan itu di neraka. (HR. Muslim)
Inilah sebagian dari bahaya bid’ah, baik bid’ah aqidah atau amaliyah.
Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: Yang ada dalam ucapan para salafush
shalih adalah peringatan keras terhadap bid’ah secara mutlak baik dalam masalah aqidah
atau ibadah. Seandainya ada seorang muslim berbuat bid’ah dan telah jelas kebid’ahan
itu baginya dan dia terus dalam kebid’ahannya seperti yang telah aku contohkan tadi
(shalat sunnah fajar empat rakaat), maka orang ini sama dengan yang mengingkari
bahwa Allah ada diatas makhluk-Nya atau sama dengan yang mengingkari al-qur’an itu
kalamullah. Tidak ada bedanya antara yang ini dan yang itu. Kita katakan: dia adalah
mubtadi’/ahli bid’ah -dengan syarat tadi- dan telah ditegakkan hujjah atasnya[15].
Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al-Aql hafidzahullahu menjawab: Ahli
bid’ah adalah setiap orang yang mengada-adakan hal baru dalam urusan agama yang
bukan bagian darinya, baik dalam masalah aqidah, ucapan dan amal perbuatan
(amaliyah). Dan kata-kata ahli bid’ah itu menurut para ulama ada dua makna:
1. (Makna) secara umum yaitu mencakup semua pengikut hawa nafsu dan kelompok-
kelompok (sesat) serta pengikut bid’ah-bid’ah dalam aqidah, ucapan dan amal
perbuatan. Seperti kelompok Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Murjiah, Jabariyah,
Jahmiyah, Mu’tazilah, Ahlu Kalam (seperti Asy-‘Ariyah dan Maturidiyah), Sufiyah,
Filosof, Bathiniyah, kelompok hizbiyah dan qaumiyah, sosialisme, dan selain
mereka. Demikian pula dengan kelompok-kelompok sesat kontemporer semisal
Qadiyaniyah, Bahaiyah, Brilawiyah dan selainnya.
[1] Tanbiihu ulil abshar ila kamaal ad-diin wa maa fii al-bida’ min akhthaar hal.153.
[2] Majmu’ Fatawa 3/231.
[3] Fathu Al-Qawi Al-Matin fi syarhi al-arba’in wa tatimmati al-khamsiin hal. 114-115.
[4] Tafsir Ibnu Katsir 5/180.
[5] Lihat atsar ini selengkapnya dalam kitab sunan Ad-Darimi hal 83-84 no.210.
[6] Jami’ ulum wa al-hikam hal.128 dengan tahqiq syaikh Syu’aib Al-Arnauth.
[7] Al-I’thisham 1/62 oleh Imam Asy-Syathibi.
[8] Syarhu As-Sunnah 1/216 oleh Imam Al-Baghawi.
[9] Idem 1/132.
[10] Syarhu As-Sunnah hal.61.
[11] Tanbiih ulil abshar hal.178.
[12] Al-Mustashfaa 1/274 oleh Al-Ghazali.
[13] Al-I’tisham 1/96.
[14] Tafsir Ibnu Katsir 2/79.
[15] Al-Bida’ wal mubtadi’un hal.72.
[16] Kalau ada yang mengatakan bahwa bid’ah amaliyah yang dimasukkan ke dalam bab
ushul/aqidah oleh ulama ahlussunnah karena merupakan ciri khas ahli bid’ah, maka apakah
bid’ah-bid’ah amaliyah yang banyak tersebar ini ciri khas ahlussunnah atau ahli bid’ah? atau fii
manzilah baina manzilatain? Dan bukankah meninggalkan bid’ah itu sendiri baik bid’ah aqidah
atau amaliyah termasuk ushul?
[17] Dirasat fi al-ahwa’ wa al-firaq wa al-bida’ hal.32-33.
Daftar Pustaka