Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

HUBUNGAN KONDISI KERUKUNAN KELUARGA DENGAN


PRESTASI BELAJAR SEKOLAH DI SD GALAXY KELAS 6
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Bimbingan dan Konseling di SD

Dosen Pengajar : H. Dedi Sudrajat, M.M.pd

Oleh :

Kelompok 6

1. Hilda Hilmeida (60403070121075)


2. Salma Nursiva (60403070121016)
3. Fahmy Fadhillah (60403070121137)
4. Sakinah (60403070121057)
5. Wili Apriani (60403070121061)

STKIP BINA MUTIARA SUKABUMI KAMPUS II SURADE

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita panjatkan kepada Tuhan yang maha Esa. Atas
berkat rahmatnya, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah “Hubungan
Kondisi Kerukunan Keluarga dengan Prestasi Belajar Siswa disekolah di SD
GALAXY Kelas ” ini dengan baik. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah Bimbingan dan Konseling di SD. Selain itu, kami juga berharap agar
makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca.

Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Dosen


H. Dedi Sudrajat, M.M.pd selaku dosen mata kuliah ini. Tugas yang diberikan ini
dapat menambah pengetahuan dan wawasan kami

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan
makalah ini.

Sukabumi, 26 Nopember 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

HUBUNGAN KONDISI KERUKUNAN KELUARGA DENGAN PRESTASI


BELAJAR SEKOLAH DI SD GALAXY KELAS 6...........................................1
KATA PENGANTAR............................................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................................3
BAB I.......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
A. Latar Belakang............................................................................................4
B. Rumusan Masalah.......................................................................................5
C. Tujuan Penelitian........................................................................................5
D. Manfaat Penelitian......................................................................................5
BAB II.....................................................................................................................6
PEMBAHASAN.....................................................................................................6
REMAJA AWAL (di SD kelas 6)......................................................................6
PRESTASI BELAJAR.....................................................................................10
KERUKUNAN/KEHARMONISAN KELUARGA.......................................17
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP KERUKUNAN ATAU
KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PRESTASI BELAJAR.......19
BAB III..................................................................................................................20
PENUTUP.............................................................................................................20
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa anak pada usia Sekolah Dasar merupakan usia yang paling
efektif untuk mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya. Pada
masa ini pola pertumbuhan dan perkembangannya baik perkembangan
fisik, perkembangan sosial, perbembangan emosional maupun
perkembangan kognitif sudah berkembang secara optimal. Perkembangan
kognitif anak pada usia 7-12 tahun berada pada tahapan operasi konkrit
yaitu anak mengembangkan konsep dengan menggunakan benda-benda
konkrit.
Oleh karena itu orang tua dan guru memiliki peran yang sangat
penting dalam membantu mengembangkan potensi-potensi yang ada pada
diri anak. Perkembangan potensi harus disesuaikan dengan kemampuan
dan karakteristik tiap anak. Pada umumnya anak usia Sekolah Dasar
adalah usia anak yang masih berada pada tahap belajar sambil bermain
(learning by doing). Pada hakikatnya siswa dalam proses pembelajaran
mengalami kesulitan atau kendala, kesulitan belajar matematika
merupakan salah satu bentuk kesulitan yang dihadapi siswa dalam
pembelajaran.
Prestasi belajar merupakan puncak hasil belajar yang dapat
mencerminkan hasil keberhasilan belajar siswa terhadap tujuan belajar
yang telah ditetapkan”. Prestasi belajar dapat digolongkan menjadi tiga
ranah, yaitu: ranak kognitif, afektif dan psikomotor. Prestasi siswa dapat
dicapai dengan baik manakala guru sebagai pengajar dapat menjalankan
tugasnya dengan sungguh-sungguh dan orang tua sebagai pendidik di
rumah dapat memberikan perhatian yang penuh.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, penulis ingin
mengetahui apakah ada hubungan antara kerukunan keluarga dengan
prestasi belajar di SD Kelas 6.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan
antara kerukunan keluarga dengan prestasi belajar di SD Kelas 6.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Sebagai tambahan literatur di bidang psikologi belajar dan
psikologi perkembangan mengenai hubungan antara kerukunan
keluarga dengan prestasi belajar di SD Kelas 6.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
orangtua, sekolah, dan remaja akhir mengenai kaitan antara faktor
eksternal yaitu kerukunan keluarga dengan prestasi belajar.
BAB II

PEMBAHASAN

A. REMAJA AWAL (di SD kelas 6)


1. Definisi Remaja Awal
Masa remaja awal terjadi di antara usia 10-13 tahun. Selama tahap
ini, anak-anak sering kali mulai tumbuh lebih cepat dan mengalami
tahap awal pubertas. Baik anak laki-laki maupun perempuan akan
mengalami pertumbuhan fisik yang signifikan.
Secara kognitif, remaja pada tahap ini sudah mulai mengalami
peningkatan minat intelektual. Mereka juga memiliki pemikiran yang
konkrit, seperti mulai mencari kebenaran dari suatu hal, baik atau
buruk, dan sebagainya. Selain itu, pada tahap ini para remaja juga
mulai memusatkan pemikiran mereka pada diri sendiri (disebut
egosentrisme).
Sebagai bagian dari ini, praremaja dan remaja awal sering kali
sadar diri tentang penampilan mereka dan merasa seolah-olah mereka
selalu dinilai oleh teman sebayanya. Hal ini yang membuat
kebanyakan anak remaja menganggap penting semua pemikiran dan
penilaian orang tentang dirinya.
Selain itu, anak praremaja merasakan peningkatan kebutuhan akan
privasi. Mereka mungkin mulai mencari cara untuk mandiri dari
keluarga. Dalam proses ini, mereka tampak memberikan batasan atau
bereaksi keras jika orang tua mereka terkesan terlalu mengekang atau
mencampuri urusan pribadi mereka.
2. Karakteristik Remaja Awal
Makmun, (2003) memerinci karakteristik perilaku dan pribadi pada
masa remaja, yang terbagi ke dalam bagian dua kelompok yaitu remaja
awal (11-13 s.d. 14-15 tahun) dan remaja akhir (14-16 s.d. 18-20
tahun) meliputi aspek: fisik, psikomotor, bahasa, kognitif, sosial,
moralitas, keagamaan, konatif, emosi afektif dan kepribadian. Berikut
ini akan dijelaskan karakteristik pada remaja awal melalui masing –
masing aspek:
a. Aspek Pertumbuhan Fisik
Pada fase remaja awal (11-14 tahun) karakteristik seks
sekunder mulai tampak, seperti penonjolan payudara pada remaja
perempuan, pembesaran testis pada remaja laki-laki, pertumbuhan
rambut ketiak, atau rambut pubis.
b. Aspek Kemampuan berpikir
Pada tahap awal remaja mencari-cari nilai dan energi baru
serta membandingkan normalitas dengan teman sebaya yang jenis
kelaminnya sama.
c. Aspek Identitas
Pada tahap awal,ketertarikan terhadap teman sebaya
ditunjukkan dengan penerimaan atau penolakan.
d. Aspek Hubungan dengan orang tua
Keinginan yang kuat untuk tetap bergantung pada orangtua
adalah ciri yang dimiliki oleh remaja pada tahap awal. Dalam
tahap ini, tidak terjadi konflik utama terhadap kontrol orang tua.
e. Aspek Hubungan dengan sebaya
Remaja pada tahap awal dan pertengahan mencari afiliasi
dengan teman sebaya untuk menghadapi ketidakstabilan yang
diakibatkan oleh perubahan yang cepat; pertemanan lebih dekat
dengan jenis kelamin yang sama, namun mereka mulai
mengeksplorasi kemampuan untuk menarik lawan jenis. Mereka
berjuang untuk mengambil tempat di dalam kelompok; standar
perilaku dibentuk oleh kelompok sebaya sehingga penerimaan
oleh sebaya adalah hal yang sangat penting.
f. Aspek Agama
Pada masa ini terjadi perubahan jasmani yang cepat,
sehingga memungkin kan terjadinya kegoncangan emosi, kece
masan, dan kekhawatiran. Keadaan ter sebut menjadikan jiwa
agamapun tidak menetap. Contohnya remaja memahami tentang
sabar, pada saat tertentu remaja bisa menggunakan sikap sabar
dalam mengadapi masalah, tapi disituasi yang lain konsep sabar
bisa pudar dan dikuasi oleh emosi yang tidak stabil. Kemudian
pada saat tertentu remaja yakin dengan konsep sabar yang
dipelajarinya namun ada di saat tertentu remaja ragu dengan
konsep sabar tersebut. Jadi konsep agama pada masa remaja masih
dalam keraguan dan tidak menetap (Ramayulis, 2002:68).
g. Aspek Konatif, Emosi, Afektif dan Kepribadian
Secara kognitif, remaja pada tahap ini sudah mulai
mengalami peningkatan minat intelektual. Mereka juga memiliki
pemikiran yang konkrit, seperti mulai mencari kebenaran dari
suatu hal, baik atau buruk, dan sebagainya. Selain itu, pada tahap
ini para remaja juga mulai memusatkan pemikiran mereka pada
diri sendiri (disebut egosentrisme).
Sebagai bagian dari ini, praremaja dan remaja awal sering
kali sadar diri tentang penampilan mereka dan merasa seolah-olah
mereka selalu dinilai oleh teman sebayanya. Hal ini yang membuat
kebanyakan anak remaja menganggap penting semua pemikiran
dan penilaian orang tentang dirinya.
Selain itu, anak praremaja merasakan peningkatan
kebutuhan akan privasi. Mereka mungkin mulai mencari cara
untuk mandiri dari keluarga. Dalam proses ini, mereka tampak
memberikan batasan atau bereaksi keras jika orang tua mereka
terkesan terlalu mengekang atau mencampuri urusan pribadi
mereka.
3. Tugas Perkembangan Remaja Awal
Dalam setiap tahap perkembangan kehidupan manusia terdapat
tugas perkembangan yang harus dilalui, begitu pula dalam tahap
perkembangan remaja. Havighurst dalam (Kimmel, 1995) menawarkan
suatu konsep tugas perkembangan yang meliputi pengetahuan,
keterampilan, sikap atau fungsi yang diharapkan dapat dicapai oleh
individu pada setiap tahap perkembangannya. Tugas-tugas
perkembangan ini harus dicapai sebelum seorang individu melangkah
ke tahapan perkembangan selanjutnya. Apabila seorang individu gagal
dalam memenuhi tugas perkembangannya, maka ia akan sulit untuk
memenuhi tugas perkembangan fase selanjutnya. Atau, apabila ia gagal
melaksanakan tugas perkembangannya pada waktu yang tepat, maka ia
akan mengalami kesulitan untuk menyelesaikannya di waktu yang lain,
atau melaksanakan tugas perkembangan pada tahapan yang lebih
lanjut.
Pada remaja awal, tugas yang harus dilakukan pada masa remaja
awal mengisi dengan kegiatan positif. Beberapa cara tersebut
diantaranya mendekatkan diri kepada tuhan yang maha Esa. Kedua,
Selalu berpikir positif dan melakukan positif. Ketiga, Banyak
membaca buku pengetahuan. Keempat, Bergaul dengan teman yang
baik. Kelima, Mengembangkan hobi dan bakat yang dimiliki.

B. PRESTASI BELAJAR
1. Pengertian Belajar
Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar
merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti bahwa berhasil
tidaknya pencapaian tujuan pendidikan tergantung pada bagaimana
proses belajar yang dialami oleh siswa.
Menurut Winkel (1996) belajar adalah “suatu aktivitas mental/
psikis yang berlangsung dalam interaksi yang aktif dengan lingkungan,
yang menghasilkan perubahan - perubahan dalam pengetahuan,
pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat
secara relatif konstan.
Selanjutnya menurut Slameto (2003), belajar ialah suatu proses
usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa
belajar adalah suatu kegiatan aktif yang dilakukan oleh seseorang
untuk mendapatkan perubahan tingkah laku, pengetahuan, ketrampilan
dan sikap yang bersifat permanen.
2. Pengertian Prestasi Belajar
Prestasi belajar adalah kemampuan siswa untuk mencapai target
yang telah ditetapkan dalam suatu program pendidikan. Prestasi itu
dapat diukur melalui evaluasi belajar terhadap siswa baik melalui ujian
maupun tes (Syah, 2004). Sedangkan menurut Azwar (2007),
keberhasilan siswa dalam belajar ditunjukkan oleh prestasi belajar
siswa melalui tes hasil belajar yang diberikan dan dinilai oleh guru,
baik pada pertengahan maupun akhir periode belajar.
Sementara menurut Winkel (2007) prestasi belajar merupakan
suatu hasil dari suatu proses belajar yang terjadi pada anak sekolah
yang hasilnya berupa ilmu pengetahuan, ketrampilan dan sikap.
Prestasi belajar siswa terfokus pada nilai atau angka yang dicapai
siswa dalam proses pembelajaran di sekolah. Nilai tersebut terutama
dilihat dari sisi kognitif, karena aspek ini yang sering dinilai oleh guru
untuk melihat penguasaan pengetahuan sebagai ukuran pencapaian
hasil belajar siswa (Arifin, 1991).
Dari berbagai macam pengertian prestasi belajar tersebut dapat
disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah kemampuan yang diperoleh
anak didik setelah melalui kegiatan belajar yang ditunjukkan dengan
nilai tes yang diberikan guru.
3. Kriteria Penilaian Prestasi Belajar
Penilaian adalah hasil pengukuran dan penentuan pencapaian hasil
belajar, sementara evaluasi adalah penentuan nilai suatu program dan
penentuan pencapaian tujuan suatu program. Adapun tujuan penilaian
meliputi:
1. Menilai kemampuan individual melalui tugas tertentu.
2. Menentukan kebutuhan pembelajaran.
3. Membantu dan mendorong siswa.
4. Membantu dan mendorong guru untuk mengajar yang lebih baik
5. Menentukan strategi pembelajaran
6. Akuntabilitas lembaga
7. Meningkatkan kualitas pendidikan

Penilaian merupakan salah satu bagian yang penting dalam


rangkaian proses pendidikan dan pengajaran. Dapat dikatakan semua
kegiatan pendidikan dan pengajaran baik tidaknya di tentukan oleh
penilaian, dan tentunya di dalam prakteknya tidak melihat hasil
baiknya saja tetapi juga harus melihat kriteria atau hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam penilaian, antara lain:

1. Penilaian harus mencakup tiga aspek kemampuan, yaitu kognitif,


afektif, dan psikomotor.
2. Menggunakan berbagai cara penilaian pada waktu kegiatan belajar
sedang berlangsung.
3. Pemilihan alat dan jenis penilaian berdasarkan rumusan tujuan
pembelajaran.
4. Mengacu pada tujuan dan fungsi penilaian,misal pemberian umpan
balik,memberikan laporan pada orang tua,dan pemberian
informasi pada siswa tentang tingkat keberhsilan belajarnya.
5. Alat penilaian harus mendorong kemapuan penalaran dan
kreativitas siswa, misalnya tes tertulis uraian, portofolio, hasil
karya siswa, observasi dan lain-lain.
6. Penilaian dapat dilakukan melalui tes dan non tes.
7. Mengacu pada prinsip diferensiasi,yakni memberikan peluang
kepada siswa untuk menunjukkan apa yang diketahui, yang
dipahami, dan mampu dilakukannya.
8. Tidak bersifat diskriminasi, yakni untuk memilih-milih mana
siswa yang berhasil dan mana yang gagal dalam menerima
pembelajaran (Depdiknas,2003)
4. Pengukuran Prestasi Belajar
Prestasi belajar dapat diukur melalui tes yang sering dikenal
dengan tes prestasi belajar. Azwar (2007) mengemukakan tentang tes
prestasi belajar bila dilihat dari tujuannya yaitu mengungkap
keberhasilan sesorang dalam belajar.
Menurut Djamarah (2002) untuk mengukur dan mengevaluasi
tingkat keberhasilan belajar dapat dilakukan melalui tes prestasi
belajar. Berdasarkan tujuan dan ruang lingkupnya, tes prestasi belajar
dapat digolongkan ke dalam jenis penilaian sebagai berikut:
a. Tes Formatif
Penilaian ini digunakan untuk mengukur satu atau beberapa
pokok bahasan tertentu dengan bertujuan untuk memperoleh
gambaran tentang daya serap siswa terhadap pokok bahasan
tertentu
b. Tes Subsumatif
Tes ini meliputi sejumlah bahan pengajaran tertentu yang
telah diajarkan dalam waktu tertentu. Tujuannya adalah untuk
memperoleh gambaran daya serap siswa untuk meningkatkan
tingkat prestasi belajar siswa.
c. Tes Sumatif
Tes ini diadakan untuk mengukur daya serap siswa
terhadap bahan pokok – pokok bahasan yang telah diajarkan
selama satu semester, satu atau dua tahun pelajaran. Tujuannya
adalah untuk menetapkan tingkat atau taraf keberhasilan belajar
siswa dalam suatu periode belajar tertentu.
Pengukuran prestasi belajar menurut Mulyana (2002) antara lain
dengan menggunakan kegiatan:
a. Ulangan Umum
Ulangan umum dilaksanakan bersama-sama kelas pararel
dan ulangan umum bersama di tingkat rayon, kecamatan, kodya
atau kabupaten maupun propinsi.
b. Ujian Akhir
Ujian akhir dilakukan pada akhir program pendidikan.
Hasil evaluasi ujian akhir ini dipergunakan untuk menentukan
kelulusan bagi setiap peserta didik.
Ada beberapa alternatif norma pengukuran tingkat
keberhasilan siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar
(Syah, 1995). Di antara norma-norma pengukuran tersebut
adalah:
1) Norma skala dari 0-10
2) Norma skala dari 0-100
Fudyartanto (2002) mengungkapkan bahwa di sekolah
perlu diadakan pengukuran untuk mengetahui sejauh mana
pencapaian dan penguasaan bahan – bahan yang telah dipelajari
oleh siswa. Hasil pengukuran tersebut dapat dipakai sebagai
umpan balik atau bahan masukan untuk memperbaiki proses
belajar mengajar, penyediaan sarana belajar dan sebagainya.
Hasil pengukuran juga dapat dipergunakan untuk meningkatkan
prestasi belajar dan peningkatan kualitas pendidikan.
5. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Menurut Syah (1995), secara global faktor – faktor yang
mempengaruhi belajar siswa dapat dibedakan menjadi tiga macam:
a. Faktor internal (faktor dari dalam siswa), yakni keadaan atau
kondisi jasmani dan rohani.
b. Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yakni kondisi di
lingkungan sekitar siswa.
c. Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis
upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang
digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi –
materi pelajaran.

Faktor – faktor diatas dapat saling berkaitan satu sama lain dalam
hubungannya dengan prestasi belajar yang diperoleh seseorang.
Berikut ini akan dijabarkan faktor – faktor yang mempengaruhi
prestasi belajar siswa:

a. Faktor Internal
Faktor yang berasal dari dalam individu sendiri meliputi
dua aspek, yakni: aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah) dan
aspek psikologis (yang bersifat rohaniah).
1) Aspek Fisiologis
Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot)
yang menandai tingkat kebugaran organ – organ tubuh dan
sendi – sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan
intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ
tubuh yang lemah, apalagi jika disertai pusing – pusing
kepala misalnya, dapat menurunkan kualitas ranah cipta
(kognitif) sehingga materi yang dipelajarinya pun kurang
atau tidak berbekas. Kondisi organ – organ khusus siswa,
seperti tingkat kesehatan indera pendengaran dan indera
penglihatan, juga sangat mempengaruhi kemampuan siswa
dalam menyerap informasi dan pengetahuan.
2) Aspek Psikologis
a) Inteligensi
Inteligensi pada umumnya dapat diartikan sebagai
kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan
atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan
cara yang tepat (Reber, 1988). Tingkat kecerdasan
atau intelegensi (IQ) siswa tak dapat diragukan lagi,
sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar
siswa.
b) Sikap
Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif
berupa kecenderungan untuk mereaksi atau
merespon dengan cara yang relatif tetap terhadap
objek, orang, barang, dan sebagainya, baik secara
positif maupun negatif. Sikap siswa yang positif
maupun negatif terutama kepada guru dan mata
pelajaran yang disajikan dapat mempengaruhi
proses belajar siswa tersebut dan kemudian akan
mempengaruhi prestasi belajarnya.
c) Bakat
Secara umum, bakat adalah kemampuan potensial
yang dimiliki seseorang untuk mencapai
keberhasilan pada masa yang akan datang (Chaplin,
1972; Reber, 1988). Dalam perkembangan
selanjutnya, bakat kemudian diartikan sebagai
kemampuan individu untuk melakukan tugas
tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya
pendidikan dan latihan. Siswa yang berbakat di
suatu bidang, akan jauh lebih mudah menyerap
informasi, pengetahuan, dan ketrampilan yang
berhubungan dengan bidang tersebut. Oleh sebab
itu, bakat akan dapat mempengaruhi tinggi
rendahnya prestasi belajar siswa pada bidang –
bidang studi tertentu.
d) Minat
Minat berarti kecenderungan dan kegairahan yang
tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu.
Seorang siswa yang menaruh minat besar terhadap
suatu bidang studi akan memusatkan perhatiannya
lebih banyak daripada siswa lainnya. Kemudian,
karena pemusatan perhatian yang intensif terhadap
materi itulah yang memungkinkan siswa tadi untuk
belajar lebih giat, dan akhirnya mencapai prestasi
yang diinginkan.
e) Motivasi
Pengertian dasar motivasi adalah keadaan internal
organisme (manusia ataupun hewan) yang
mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dalam
pengetian ini, motivasi berarti pemasok daya untuk
bertingkah laku secara terarah (Gleitman, 1989;
Reber, 1988). Dalam perkembangan selanjutnya,
motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi
intrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal dari
dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya
melakukan tindakan belajar, seperti perasaan
menyenangi materi tertentu. Motivasi eksrinsik
adalah hal dan keadaan yang datang dari luar
individu siswa yang juga mendorongnya untuk
melakukan kegiatan belajar, seperti pujian dan
hadiah.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal terdiri atas dua macam, yakni: faktor
lingkungan social dan faktor lingkungan nonsosial.
1) Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial yang terdapat disekitar individu
seperti keluarga, teman sebaya, masyarakat atau tetangga,
dan staff pengajar dapat mempengaruhi proses belajar
seseorang. Lingkungan sosial yang lebih banyak
mempengaruhi kegiatan belajar adalah orangtua dan
keluarga siswa itu sendiri. Sifat – sifat orang tua, praktik
pengelolaan keluarga, ketegangan keluarga, dan demografi
keluarga (letak rumah), semuanya dapat memberi dampak
baik ataupun buruk terhadap kegiatan belajar dan hasil
yang dicapai oleh siswa.
2) Lingkungan Non-Sosial
Faktor – faktor yang termasuk lingkungan non
sosial adalah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat
tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat – alat belajar,
keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan siswa.
Faktor – faktor ini dipandang turut menentukan tingkat
keberhasilan seseorang.
3) Faktor Pendekatan
Belajar Pendekatan belajar dapat dipahami sebagai
segala cara atau strategi yang digunakan siswa dalam
menunjang efektifitas dan efisiensi proses pembelajaran
materi tertentu. Strategi dalam hal ini berarti seperangkat
langkah operasional yang direkayasa sedemikian rupa
untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan belajar
tertentu.

C. KERUKUNAN/KEHARMONISAN KELUARGA
1. Pengertian Keharmonisan Keluarga
Menurut Gunarsa (2004), keharmonisan keluarga ialah bilamana
seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh
berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan puas terhadap seluruh
keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi dan aktualisasi diri) yang
meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial.
Keharmonisan keluarga adalah keadaan keluarga yang serasi dan
seimbang di dalam keluarga, saling memuaskan kebutuhan anggota
lainnya serta memperoleh pemuasan atas segala kebutuhannya
(Nurzainun, 2006). Sedangkan menurut Hawari (1997), keharmonisan
keluarga itu akan terwujud apabila masing-masing unsur dalam
keluarga itu dapat berfungsi dan berperan sebagaimana mestinya dan
tetap berpegang teguh pada nilai- nilai agama kita, maka interaksi
sosial yang harmonis antar unsur dalam keluarga itu akan dapat
diciptakan.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa
keharmonisan keluarga adalah keadaan keluarga yang bahagia, serasi
dan seimbang sehingga masing – masing anggota keluarga merasa
puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya yang meliputi
aspek fisik, mental, emosi dan sosial.
2. Aspek-Aspek Kerukunan atau Keharmonisan Keluarga
Hawari (dalam Murni, 2004) mengemukakan enam aspek sebagai
suatu pegangan hubungan keluarga harmonis adalah:
a. Menciptakan kehidupan beragama dalam keluarga.
Sebuah keluarga yang harmonis ditandai dengan
terciptanya kehidupan beragama dalam rumah tersebut. Hal ini
penting karena dalam agama terdapat nilai-nilai moral dan etika
kehidupan.
b. Mempunyai waktu bersama keluarga
Keluarga yang harmonis selalu menyediakan waktu untuk bersama
keluarganya, baik itu hanya sekedar berkumpul, makan bersama,
menemani anak bermain dan mendengarkan masalah dan keluhan-
keluhan anak, dalam kebersamaan ini anak akan merasa dirinya
dibutuhkan dan diperhatikan oleh orangtuanya, sehingga anak
akan betah tinggal di rumah.
c. Mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga
Komunikasi yang baik dalam keluarga akan dapat
membantu remaja untuk memecahkan permasalahan yang
dihadapinya di luar rumah, dalam hal ini selain berperan sebagai
orangtua, ibu dan ayah juga harus berperan sebagai teman, agar
anak lebih leluasa dan terbuka dalam menyampaikan semua
permasalahannya.
d. Saling menghargai antar sesama anggota keluarga
Furhmann (dalam Murni, 2004) mengatakan bahwa
keluarga yang harmonis adalah keluarga yang memberikan tempat
bagi setiap anggota keluarga menghargai perubahan yang terjadi
dan mengajarkan ketrampilan berinteraksi sedini mungkin pada
anak dengan lingkungan yang lebih luas.
e. Kualitas dan kuantitas konflik yang minim.
Jika dalam keluarga sering terjadi perselisihan dan
pertengkaran maka suasana dalam keluarga tidak lagi
menyenangkan. Dalam keluarga harmonis setiap anggota keluarga
berusaha menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan
mencari penyelesaian terbaik dari setiap permasalahan.
f. Adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga.
Hubungan yang erat antar anggota keluarga juga
menentukan harmonisnya sebuah keluarga, apabila dalam suatu
keluarga tidak memiliki hubungan yang erat maka antar anggota
keluarga tidak ada lagi rasa saling memiliki dan rasa kebersamaan
akan kurang.

D. HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP KERUKUNAN


ATAU KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PRESTASI
BELAJAR
Usia Sekolah Dasar merupakan usia yang paling efektif untuk
mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya. Pada masa ini pola
pertumbuhan dan perkembangannya baik perkembangan fisik,
perkembangan sosial, perbembangan emosional maupun perkembangan
kognitif sudah berkembang secara optimal. Perkembangan kognitif anak
pada usia 7-12 tahun berada pada tahapan operasi konkrit yaitu anak
mengembangkan konsep dengan menggunakan benda-benda konkrit.
Seperti yang telah disebutkan diatas, lingkungan keluarga menjadi
salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan anak dalam meraih
prestasi belajar di sekolah. Keluarga memberikan pengaruh utama dan
pertama bagi kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan seseorang.
Pengaruh - pengaruh tersebut antara lain banyak sedikitnya perhatian yang
diberikan oleh orang tua pada anak, pola pengasuhan orang tua, hubungan
interpersonal dan interaksi antara orang tua dengan anak.
Selain hal diatas, harmonis atau tidaknya keluarga juga akan
memberikan dampak pada setiap anggota keluarga. Misalnya, seorang
anak yang merasa keluarganya harmonis akan menganggap rumah mereka
sebagai suatu tempat yang membahagiakan karena semakin sedikit
masalah antara orangtua, maka semakin sedikit masalah yang dihadapi
anak. Hal ini akan menciptakan suasana yang kondusif untuk proses
belajar anak sehingga diharapkan akan membantu anak dalam mencapai
prestasi yang diharapkan. Sebaliknya, jika anak mempersepsi keluarganya
berantakan atau kurang harmonis maka ia akan terbebani dengan masalah
yang sedang dihadapi di dalam keluarganya tersebut. Suasana di dalam
rumah menjadi tidak tenang sehingga rumah menjadi tempat yang kurang
menyenangkan untuk proses belajar anak karena banyaknya konflik dan
permasalahan. Hal ini akan mengganggu konsentrasi anak dalam belajar
dan membuat suasana hati anak menjadi kurang baik untuk belajar,
sehingga akan mempengaruhi prestasi belajarnya di sekolah.

BAB III

PENUTUP
KESIMPULAN

Keluarga diperlukan hubungan yang harmonis, baik masyarakat. Sebagai


orang tua yang bijak hendaknya jangan salah tafsir terhadap anak-anaknya yang
sudah diserahkan kepada sekolah, karena sekolah hanya membantu keluarga
dalam mendidik anak-anaknya. Berhasil atau tidaknya pendidikan anak disekolah
tergantung pada pendidikan dalam keluarga (Sahrani,2011:58).

Pendidikan manusia dimulai dari keluarga. Keluarga adalah tempat


pertama dan utama bagi pembentukan dan pendidikan anak. Jika ingin
membentuk anak yang shaleh dan shalehah, cerdas serta terampil, maka harus
dimulai dari keluarga. Agar terbentuk keluarga yang sehat dan bahagia pun para
orang tua perlu pengetahuan yang cukup sehingga mampu membimbing dan
mengarahkan setiap anggota keluarga menuju tujuan yang diharapkan.

Dari uraian-uraian diatas, dapat dipahami kesuksesan anak belajar, prestasi


yang diperoleh siswa di sekolah, juga di pengaruhi oleh keharmonisan keluarga.
Maka dari itu kondisi keluarga yang harmonis sangat mempengaruhi terhadap
prestasi pembelajaran di sekolah.
DAFTAR PERPUSTAKA

VINI, Nur Laila Dia. Pengaruh tingkat penghasilan keluarga terhadap


prestasi belajar Pendidikan Agama Islam siswa Kelas X SMA Islam Kepanjen.
2008. PhD Thesis. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

SARI, Ayu Permata; ILYAS, Asmidir; IFDIL, Ifdil. Tingkat kecanduan


internet pada remaja awal. Jppi (jurnal penelitian pendidikan indonesia), 2017,
3.2: 110-117.

BATUBARA, Jose RL. Adolescent development (perkembangan


remaja). Sari pediatri, 2016, 12.1: 21-9.

RISKA, Hotmauli Adina; KRISNATUTI, Diah; YULIATI, Lilik Noor.


Pengaruh interaksi remaja dengan keluarga dan teman serta self-esteem terhadap
perilaku prososial remaja awal. Jurnal Ilmu Keluarga & Konsumen, 2018, 11.3:
206-218.

Aulia, Azizah. "Hubungan antara Keharmonisan Keluarga dengan Prestasi


Belajar Siswa di SMP Muhammadiyah 4 Banjarmasin." (2015).

Fajri, I. N., & Minsih, S. A. (2015). Hubungan Lingkungan Keluarga


dengan Prestasi Belajar Siswa di SD Muhammadiyah 18 Sangkrah Surakarta
Tahun Ajaran 2014/2015 (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah
Surakarta).

Anda mungkin juga menyukai