Anda di halaman 1dari 5

BAB 3

Memahami Sosiologi Guru Global

Di pasar internasional yang kompetitif, pendidikan memainkan peran penting dalam


membantu setiap negara untuk menciptakan dan mempertahankan keunggulan kompetitif.
Dengan demikian, dalam menanggapi aspek wacana globalisasi, berbagai upaya dan strategi
telah dilakukan untuk menyesuaikan sistem pendidikan dengan "kebutuhan modal” pada
tatanan internasional. Banyak negara, yang menggunakan indikator internasional seperti
Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Programme for
International Student Assessment (PISA), telah didorong untuk mereformasi pelayanan
pendidikannya dan meningkatkan tingkat pencapaiannya secara terukur. Dampak yang muncul
adalah serangkaian tuntutan kebijakan publik yang baru untuk efisiensi, akuntabilitas,
efektivitas, dan fleksibilitas yang bertujuan untuk mereformasi pelayanan pendidikan sektor
publik.
Dalam bab ini, kita akan mengeksplorasi apa arti tuntutan ini dalam kaitannya dengan
(re)konstruksi kinerja guru. Bab ini dimulai dengan diskusi singkat tentang globalisasi dan
pengaruhnya terhadap kebijakan pendidikan. Selanjutnya mengeksplorasi beberapa upaya
yang telah dilakukan untuk merekonstruksi guru dan kinerja guru dalam lingkup kebijakan ini.
Meskipun demikian, dengan memanfaatkan beberapa contoh reformasi pendidikan guru, dapat
dikatakan bahwa konstruksi guru selalu bergantung pada konteks—guru dihasilkan dari
sejarah, budaya, dan politik lokal. Pembedaan ini berfungsi terhadap upaya-upaya ketika
hubungan antara globalisasi dan kebijakan pendidikan terus berkembang.

Kontekstualisasi guru global


Banyak klaim yang saat ini dibuat tentang perlunya reformasi pendidikan bertumpu
pada pernyataan bahwa ada "tatanan dunia baru" berhubungan dengan globalisasi (Green et al.,
2007). Hal yang dimaksud dengan globalisasi masih dipertentangkan: versi yang "kuat"
didasarkan pada premis munculnya pasar dunia yang hampir tak terhindarkan, menggantikan
peran dan pengaruh negara-bangsa dalam pengambilan keputusan; ada versi lain menunjukkan
bahwa globalisasi dapat menghasilkan "tekanan baru untuk otonomi lokal" (Giddens, 1999:
13). Namun, secara umumnya, globalisasi menyiratkan dunia ketika kompresi ruang/waktu
mengurangi "hambatan geografi", dan ketika perubahan ekonomi, budaya dan politik telah
terjalin dan saling bergantung, didorong dan ditopang oleh perkembangan komunikasi dan
teknologi (Olssen et al., 2004).
Globalisasi adalah serangkaian praktik diskursif sekaligus material. Artinya, wacana
globalisasi memungkinkan terhadap cara tertentu dalam berpikir, bertindak, dan menjadi, dan
juga dapat menghilangkan batas atau menyembunyikan alternatif. Dunia menyaksikan
pertandingan Olimpiade sebagaimana adanya; komunitas internasional mengalami kejatuhan
dari kehancuran di pasar ekonomi; sirkulasi luas film Hollywood (dan begitu juga
Bollywood)—semua hasil material ini menunjukkan keterkaitan dan konvergensi dunia
kontemporer. "Peristiwa" ini dimaksudkan sebagai ilustrasi jangkauan globalisasi. Mantan
Perdana Menteri Inggris, Tony Blair mengatakannya seperti ini:
Kita akan hidup di pasar keuangan global dan akan ada investor yang memutuskan untuk
memindahkan uang mereka masuk dan keluar dari negara-negara. Padahal kita hidup
dengan masalah ekonomi yang sangat serius . . . kita juga telah memperoleh manfaat besar
dari perdagangan internasional yang lebih besar, tidak ada hal sangat diproteksi dan sangat
dikontrol (Blair, 1998).
Perputaran dan pengulangan tesis globalisasi dan klaimnya yang tersebar di mana-mana
tampaknya telah memengaruhi kebijakan dan pelayanan pendidikan di seluruh dunia. Ketika
Ball (2008: 25) memperingatkan bahwa "gagasan globalisasi harus diperlakukan dengan hati-
hati", dorongan globalisasi terdahadap kebijakan pendidikan terbukti menyebar di mana-mana.
Di banyak negara, kebijakan pendidikan terus diartikulasikan dan dibangun sebagai tanggapan
terhadap wacana globalisasi yang tampaknya tak tertahankan dan menegaskan "perlunya"
reformasi infrastruktur dan ekonomi untuk mendukung dan meningkatkan daya saing
internasional.
Pendidikan telah diposisikan kembali sebagai alat vital untuk menciptakan dan
mempertahankan kemakmuran ekonomi dan untuk mempertahankan keunggulan kompetitif di
pasar dunia. Menurut Olssen et al. (2004: 13), "yang terjadi adalah kebijakan pemerintahan
neoliberal—bukan globalisasi seperti adanya—yang merupakan kekuatan kunci
mempengaruhi (dan merusak) negara-bangsa saat ini" (Colclough, 1996). Seperti yang
ditegaskan Ball (2008: 53), "Kebijakan pendidikan semakin disubordinasikan dan
diartikulasikan dalam hal kebijakan ekonomi dan kebutuhan persaingan internasional".
Apa pun penjelasan seseorang tentang apa yang mendorong pembuatan reformasi
pendidikan internasional (globalisasi dan/atau neo-liberalisme), wacana dominan yang
menekankan tujuan ekonomi pendidikan saat ini tampaknya telah menggusur wacana alternatif
(Winch dan Gingell, 2004). Hasilnya dapat dilihat dalam semarak internasional saat ini dengan
meningkatkan standar dan pencapaian yang terukur, membuat pendidikan negara merasa
sangat bertanggung jawab dalam kaitannya dengan target yang digelontorkan secara
internasional dan untuk memastikan bahwa kurikulum dan pedagogi dikelola untuk
"memenuhi" tuntutan tersebut. Hal yang diutamakan adalah produksi tenaga kerja yang,
setidaknya di Barat, "sesuai" dengan tuntutan dunia pasca-industri dan de-industrialisasi,
meskipun kehati-hatian terhadap hubungan antara globalisasi dan reformasi pendidikan saat ini
diartikulasikan dalam pernyataan kebijakan hampir semua pemerintah di seluruh dunia.
Ketika dampak dari "tatanan dunia baru" tidak diragukan lagi telah mempengaruhi
reformasi pendidikan dan globalisasi ekonomi, nyatanya belum dialami sebagai fenomena
yang homogen. Dalam perubahan kapitalisme akhir yang sedang berlangsung, jelas bahwa
perubahan dalam hubungan kapitalis dan produksi kebijakan diliputi oleh kekhususan sejarah
dan budaya lokal (ekonomi, politik dan sosial) dan dikalibrasi ulang dari waktu ke waktu.
Konteks di Inggris misalnya, setelah krisis minyak internasional tahun 1970-an, respons
kebijakan neo-liberal menekankan perlunya kekuatan pasar (persaingan dan otonomi sekolah)
untuk melawan "krisis" pendidikan dari pengajaran "tidak berprestasi" dan "miskin" yang
diduga berkontribusi terhadap penurunan ekonomi. Pada 1990-an, kebijakan melakukan
deregulasi dan "pilihan" sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan standar
sekolah dan membuat sekolah lebih akuntabel seperti bisnis, meskipun, secara paradoks,
beberapa bentuk persiapan guru menjadi ditentukan dengan ketat dan sangat terpusat.
Perkembangan selanjutnya, terdapat fokus pada elemen "nirlaba" dalam pendidikan negara dan
pendekatan terhadap individualisasi dan personalisasi (Clarke et al., 2007). Sampai batas
tertentu, gerakan ini juga telah tercermin dalam serangkaian perubahan dalam pelatihan
kompetensi guru. Namun, semua perubahan kebijakan yang berbeda ini masih ditetapkan
dengan kuat dalam wacana yang mengatur tentang kebutuhan ekonomi dan kebutuhan akan
daya saing internasional.

Rekonstruksi guru global


Reformasi pendidikan guru kontemporer, bersamaan dengan itu pembangunan guru
"baru" untuk "tatanan dunia baru", didasarkan pada berbagai anggapan: bahwa sekolah telah
gagal di masa lalu, karena guru tidak efisien dan tidak kompeten, dan bahwa pembuat kebijakan
dan pemerintah ditempatkan sebagai paling baik untuk menentukan hal yang menjadikan guru
"efektif" dan sekolah "baik". Sebagai konsekuensinya, reformasi guru telah diberlakukan
dengan menetapkan hal yang tepat untuk dikerjakan oleh guru, serta bagaimana mereka harus
dinilai. Terdapat beberapa pemisahan dalam kajian antara karya yang mempertimbangkan
perkembangan kebijakan dalam pra-pengajaran sebagai bagian dari pendidikan guru awal
(Acedo, 2007) dan penelitian tentang reformasi pembangunan guru untuk usaha
merekonstruksi sekolah (Ball, 2003). Dalam bab ini, akan dibahas kedua literatur—karena hal
tersebut menawarkan serangkaian argumen yang bersinggungan dan terintegrasi serta
mengarah menuju narasi guru baru. Hal tersebut akan dieksplorasi dalam tiga aspek: (1)
regulasi dan kontrol, (2) standar dan (3) kinerja dan akuntabilitas.
Salah satu cara untuk memastikan kualitas guru adalah dengan mereformasi pengajaran
dari sumbernya dengan mengatur dan mengendalikan pendidikan guru pra-pengajaran. Banyak
negara, termasuk AS, Inggris, Selandia Baru, Australia, Kanada, dan negara-negara di Eropa
dan di kawasan Asia-Pasifik, sekarang berusaha untuk mengelola perekrutan dan pelatihan pra-
pengajaran melalui pembuatan daftar kompetensi yang harus dipenuhi sebelum guru dapat
dilisensikan untuk mengajar di sekolah. Diantara banyak dari kompetensi tersebut termasuk
formula yang disebut sebagai "praktik baik" (best practice). Melalui formula tersebut
diharapkan dapat diadopsi dan dilakukan oleh guru lain di tengah-tengah mereka melakukan
proses di sekolah. Penekanan dalam kinerja yang direstrukturisasi ini bisa disebut sebagai
praktik kelas "pembuktian guru". Dengan demikian, penekanannya terutama pada pengalaman
kesuksesan di sekolah, keterampilan teknis seperti mengajar literasi melalui metode yang
ditentukan secara terpusat, manajemen perilaku, pembiasaan dengan pengujian, dan lain
sebagainya. Hal-hal lain, misalnya, komitmen, nilai-nilai, dan penilaian karakter sering
dikesampingkan, dibuat opsional atau dihilangkan begitu saja; pendidikan guru dikonstruksi
sebagai keterampilan, dan pengetahuan kompleksitas politik apa pun dibersihkan dari agenda
(Cochrane-Smith, 2004). Sederhananya, guru direkonstruksi sebagai teknisi negara, dilatih
untuk menyampaikan kurikulum nasional di sekolah-sekolah. Selain model kompetensi guru
berbasis keterampilan teknis, yakni menerapka model pasar terhadap mengajar sebagai
pekerjaan, sebuah langkah menuju kontrak individu dan negosiasi gaji. Hal ini memposisikan
guru sebagai bagian dari tenaga kerja yang dikontrak daripada sebagai mitra profesional dalam
proses pendidikan.
Pendekatan sebagaimana yang telah disebutkan dalam memposisikan guru, menjadikan
regulasi dikelola melalui produksi kurikulum untuk pendidikan guru, generasi kriteria dengan
standar "kompetensi" guru diukur dan sering melakukan inspeksi melalui pelatihan dan
pengajaran. Kontrol dibangun saat pelatihan awal dan dikendalikan ke tahun-tahun awal
pengajaran untuk mempertahankan budaya harapan yang tinggi, perhatian terhadap target
nasional, dan konsentrasi pada keterampilan dasar literasi dan numerasi. Dengan cara ini, versi
"guru" yang sangat khusus dibuat. Penekanannya adalah pada kepatuhan terhadap kompetensi
daripada dengan berpikir kritis tentang praktik; berfokus pada pengajaran daripada belajar;
melakukan daripada berpikir; keterampilan daripada nilai-nilai. Rezim ini dipertahankan (dan
dibenarkan) melalui produksi dari tingkat lokal, nasional dan internasional yang memberikan
tekanan untuk meningkatkan investasi dan meramaikan kegiatan di setiap kesempatan (Barber,
2001). Dengan cara ini, tekanan regulasi dan kontrol dalam menghasilkan guru dimasukkan ke
dalam, dan diedarkan melalui, sistem sekolah pemerintah yang pada akhirnya harus juga diikuti
sekolah swasta.
Sistem regulasi dan kontrol ini disatukan bersama melalui produksi kumpulan data
tentang pencapaian anak-anak dan remaja di seluruh dunia. Negara (dan berbagai kementerian
pendidikannnya) secara teratur membandingkan diri mereka satu sama lain. Para ekonom
menilai pencapaian pendidikan pada profil internasional dalam upaya mereka untuk meninjau
kapasitas "saham modal manusia" (Barro dan Lee, 2001). Keasyikan dengan ukuran dan
standar peningkatan adalah wacana yang kuat dan terinternasionalisasi yang diwujudkan dalam
penetapan target. Kapasitas untuk memenuhi (atau tidak) target-target ini pada gilirannya
menjadi ukuran keberhasilan dan tombol dalam menilai dan meningkatkan kinerja masing-
masing anak, guru, sekolah dan begitu juga prestasi pendidikan negara.
Pada intinya, dalam dunia praktik sehari-hari, guru mungkin menghadapi serangkaian
ketegangan pribadi dan profesional. Saat dituntut memenuhi target, mereka kadang-kadang
mungkin harus "mengajar demi untuk menguji" dan mengesampingkan masalah pedagogis
lainnya, seperti estetika, moral, sosial atau tujuan kognitif yang lebih luas. Dalam reorientasi
dan penataan ulang "guru" ini, identitas alternatif seperti yang didasarkan pada komitmen
terhadap kebaikan bersama atau pada serangkaian nilai dan watak yang berbeda (misalnya,
kurikulum yang sensitif dengan perkembangan dan budaya) menjadi tergeser. Ketika bekerja
untuk "menengahi" nilai-nilai yang kompleks dan terkadang kontradiktif dalam praktik
mereka, guru mungkin menemukan diri mereka terjebak dalam perjuangan di sekitar penilaian
profesional dan cara baru untuk “menjadi” (manusia sesungguhnya). Ball (2003: 218) menulis
tentang guru yang terjebak dalam "budaya performativitas kompetitif" baru, di mana ada
potensi untuk dinilai sebagai "sukses" dan "luar biasa". Begitupun, perihal "menjadi" dan
"melakukan" oleh guru tipe baru ini, yang target dan "aspirasinya" diatur oleh skema pengujian
nasional, dapat menghasilkan perasaan tentang apa yang disebut Ball (2003) sebagai
"ketidakotentikan". Guru baru ini, diukur dan dievaluasi melalui teknik-teknik seperti
pemantau, luaran "bukti" dokumenter tentang perencanaan yang efektif untuk pengajaran,
tinjauan kinerja, penilaian, inspeksi dan sejenisnya, dapat menjadi bertentangan secara
profesional: "komitmen, penilaian dan keaslian dalam praktik dikorbankan" pada medan hasil
yang terukur (Ball, 2003: 221).
Pengambilan kebijakan pendidikan telah didorong oleh kebutuhan untuk memastikan
bahwa generasi muda dibekali dengan sarana untuk berkontribusi pada, dan bersaing di, dunia
tanpa batas. Hal yang paling sederhana adalah pengawasan untuk akuntabilitas guru agar guru
dapat mempertanggungjawabkan dalam membuat perbaikan yang dapat dibuktikan dalam
pembelajaran siswa. "Setiap guru mengasumsikan tanggung jawab untuk menciptakan ruang
kelas di mana siswa dapat menguasai pengetahuan sekolah dengan kecepatan yang tepat dan
dengan tingkat tantangan yang tinggi". Dengan demikian, serangkaian teknik akuntabilitas
telah dikembangkan untuk memantau, menilai, dan mengevaluasi sejauh mana guru memenuhi
tanggung jawab ini, terutama melalui pengujian siswa yang mereka ajar. Ada ketegangan yang
tak terhindarkan: guru mungkin berkonsentrasi pada pengujian daripada pemahaman; guru
mungkin merasa tertekan untuk memperhatikan target yang mungkin mereka tafsirkan sebagai
tidak layak (guru "tidak autentik" Ball); guru pada akhirnya menawarkan hal yang mereka
yakini sebagai kurikulum yang terbatas dan terdilusi. Guru mungkin menjadi kewalahan
dengan mempercepat tuntutan dan penambahan pada peran kerja mereka (Bartlett, 2004) dan
mungkin meninggalkan pekerjaan itu sama sekali. Semua tekanan ini dilalui dengan "meminta
pertanggungjawaban sekolah" sebagai strategi kebijakan utama dalam mereformasi guru dan
kinerja guru.
Ada banyak bukti yang memetakan kecenderungan reformasi internasional untuk
merekonstruksi guru agar "sesuai" dengan kebutuhan ekonomi globalisasi, guru "kelas dunia".
Ini menandakan bentuk konvergensi kebijakan, sebuah langkah untuk membentuk guru global
yang sekaligus merupakan "manajer kelas profesional, seorang ahli yang menyediakan layanan
klien "berkualitas tinggi" dalam kurun waktu yang "terbatas" (McWilliams, 2008: 35). Guru
yang direkonstruksi dihasilkan dari serangkaian formula untuk tindakan, aturan sistemik,
teknologi kinerja dan tindakan kelas rutin yang dirancang (oleh orang lain) untuk
"memberikan" kualitas dan "memastikan" standar tinggi. Guru disusun kembali sebagai
"manajer risiko" teknis yang, dalam istilah McWilliam (2008: 36), membuat "hasil belajar lebih
terlihat, dapat dihitung, dan dengan demikian lebih bertanggung jawab" dalam konteks di
mana, sampai batas tertentu, menghilangkan komitmen setiap versi guru untuk berlomba dalam
kretifitas.
Membentuk kembali guru: kompleksitas dan biaya
Dalam bagian ini, dinyatakan bahwa impuls neo-liberal dan globalisasi memiliki hasil
yang jelas dalam membentuk kembali kinerja guru di banyak bagian dunia. Di sini, akan
dibahas secara singkat beberapa poin yang membicarakan tentang "dunia" atau "perubahan
internasional" berkaitan dengan membentuk kembali guru dan kinerjanya. Mengajar adalah
pekerjaan yang kompleks, tersebar dan berbeda. Secara internasional, ada berbagai variasi
dalam kualifikasi masuk, durasi pelatihan pra-pengajaran dan dalam status dan gaji berbagai
"jenis" guru. Misalnya, guru kelompok elit mungkin memiliki sedikit kemiripan dengan guru
orang miskin dalam lingkungan nasional yang sama. Persiapan, status, dan gaji guru tahun-
tahun awal mengajar dan guru sekolah menengah spesialis mungkin sangat berbeda. Guru di
sektor kota mungkin berbeda dari mereka yang berada di sektor pedalaman. Dengan demikian,
menjadi berbahaya menyeragamkan apa artinya menjadi seorang guru.
Sementara neo-liberalisme global mempengaruhi apa artinya mengajar dan menjadi
seorang guru, "masa depan belum bisa dipastikan dan tidak ada yang bisa mengklaim
pemahaman definitif tentang hubungan saat ini antara globalisasi, negara, pendidikan, dan
perubahan sosial". Pasar dan negara rentan terhadap kegagalan. Ada perbedaan dalam hasil,
serta beberapa "perjuangan dan kemenangan besar dan kecil" (Robertson, 2007). Salah satu
cara menuju "mengatasi" cara-cara ketika kebijakan neo-liberal secara berbeda menggaungkan
konstruksi guru dalam konteks yang berbeda, disarankan oleh Lingard (2000), yang
berpendapat untuk menggunakan pendekatan yang secara bersamaan mengakui perubahan
global dalam hal "vernakular"nya (kearifan lokal); yaitu, cara-cara yang dilokalkan dan sering
kali berbeda ketika perubahan ini dikonfigurasi dan ditulis ulang ke dalam pengaturan nasional.
Namun demikian, privatisasi perambahan yang dimasukkan ke dalam kebijakan
pendidikan secara lebih luas (Ball, 2007), serta ke dalam rekonstruksi guru dan pekerjaan guru,
tampaknya akan terus berlanjut. Mungkin saja para guru orang miskin dan yang kehilangan
haknya, di mana pun mereka berada adalah yang paling segera menjadi sasaran keharusan
reformasi neo-liberal yang dipaksakan kepada mereka oleh lembaga-lembaga internasional.
Secara lebih umum, biaya untuk dijadikan sebagai guru global baru, di mana pun ini terjadi,
mungkin merupakan "redundansi eksistensial" (duplikasi perwujudan) (Rutherford, 2008: 16)
dari guru profesional, etis, dan pengambil keputusan.

Latihan
1. Bagaimana posisi pendidikan dalam konteks global?
2. Bagaimana praktik pengaturan pendidikan di bawah kendali neo-liberal? Dan apa yang
dituju?
3. Bagaimana regulasi dan kontrol terhadap rekonstruksi guru di bawah kendali kapitalisme?
4. Bagaimana standar yang ditetapkan terhadap rekonstruksi guru di bawah kendali
kapitalisme?
5. Kinerja seperti apa yang dituntutkan kepada guru di bawah kendali kapitalisme? Dan
bagaimana dampaknya?
6. Bagaimana alternatif yang perlu dilakukan dalam merancang program guru? dan apa
pertimbangannya?

Anda mungkin juga menyukai