Anda di halaman 1dari 9

MENGANALISIS ADANYA PERUBAHAN KURIKULUM

Kurikulum merupakan alat yang sangat penting bagi keberhasilan suatu


pendidikan. Tanpa kurikulum yang sesuai dan tepat akan sulit untuk mencapai tujuan dan
sasaran pendidikan yang diinginkan. Dalam sejarah pendidikan di Indonesia sudah
beberapa kali diadakan perubahan dan perbaikan kurikulum yang tujuannya sudah tentu
untuk menyesuaikannya dengan perkembangan dan kemajuan zaman, guna mencapai
hasil yang maksimal.
Perubahan kurikulum didasari pada kesadaran bahwa perkembangan dan
perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di
Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta seni dan budaya. Perubahan secara terus menerus ini
menuntut perlunya perbaikan sistem pendidikan nasional, termasuk penyempurnaan
kurikulum untuk mewujudkan masyarakat yang mampu bersaing dan menyesuaikan diri
dengan perubahan.
Perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia dewasa ini salah satu diantaranya
adalah karena ilmu pengetahuan itu sendiri selalu dinamis. Selain itu, perubahan tersebut
juga dinilainya dipengaruhi oleh kebutuhan manusia yang selalu berubah juga pengaruh
dari luar, dimana secara menyeluruh kurikulum itu tidak berdiri sendiri, tetapi
dipengaruhi oleh prubahan iklim ekonomi, politik, dan kebudayaan. Sehingga dengan
adanya perubahan kurikulum itu, pada gilirannya berdampak pada kemajuan bangsa dan
negara. Kurikulum pendidikan harus berubah tapi diiringi juga dengan perubahan dari
seluruh masyarakat pendidikan di Indonesia yang harus mengikuti perubahan tersebut,
karena kurikulum itu bersifat dinamis bukan stasis, kalau kurikulum bersifat statis maka
itulah yang merupakan kurikulum yang tidak baik.

A. Esensi Perubahan Kurikulum

Dalam perspektif soetopo dan soemanto pengertian perubahan kurikulum agak


sukar untuk dirumuskan dalam suatu devinisi. Suatu kurikulum disebut mengalami
perubahan bila terdapat adanya perbedaan dalam satu atau lebih komponen kurikulum
antara dua periode tertentu, yang disebabkan oleh adanya usaha yang disengaja, tentunya
menuju movement yang lebih baik.
Berbeda dengan ungkapan nasution, perubahan kurikulum mengenai tujuan
maupun alat-alat atau cara-cara untuk mencapai tujuan itu. Mengubah kurikulum sering
berarti turut mengubah manusia, yaitu guru, pembina pendidikan, dan mereka-mereka
yang mengasuh pendidikan. Itu sebab perubahan kurikulum dianggap sebagai perubahan
sosial, suatu social change. Perubahan kurikulum juga
disebut devolupment (pembaharuan) atau inovasi kurikulum.
Mengenai makna perubahan kurikulum, bila kita bicara tentang perubahan
kurikulum, kita dapat bertanya dalam arti apa kurikulum digunakan. Kurikulum dapat
dipandang sebagai buku atau dokumen yang dijadikan guru sebagai pegangan dalam
proses pembelajaran. Kurikulum dapat juga dilihat sebagai produk yaitu apa yang
diharapkan dapat dicapai siswa dan sebagai proses untuk mencapainya. Keduanya saling
berinteaksi. Kurikulum dapat juga diartikan sebagai sesuatu yang hidup dan berlaku
selama jangka waktu tertentu dan perlu di revisi secara berkala agar tetap relevan dengan
perkembangan zaman.
Selanjutnya kurikulum dapat ditafsirkan sebagai apa yang dalam kenyataan terjadi
dengan murid didalam kelas. Kurikulum dalam arti ini tak mungkin direncanakan
sepenuhnya betapapun rincinya dirrencanakan, karena dalam interaksi dalam kelas selalu
timbul hal-hal yang spontan dan kreatif yang tak dapat diramalkan sebelumnya. Dalam
hal ini guru lebih besar kesempatannya menjadi pengembang kurikulum dalam kelasnya.
Akhirnya kurikulum dapat dipandang sebagai cetusan jiwa pendidik yang berusaha untuk
mewujudkan cita-cita, nilai-nilai yang tertinggi dalam kelakuan anak didiknya.
Kurikulum ini sangat erat hubungannya dengan kepribadian guru.
Kurikulum yang formal mengubah pedoman kurikulum, relatif lebih terbatas dari
pada kurikulum yang riil. Kurikulum yang riil bukan sekedar buku pedoman, melainkan
segala sesuatu yang dialami anak dalam kelas, ruang olahraga, warung sekolah, tempat
bermain, karya wisata, dan banyak kegiatan lainnya, pendek kata mengenai seluruh
kehidupan anak sepanjang bersekolah. Mengubah kurikulum dalam arti yang luas ini jauh
lebih luas dan dengan demikian lebih pelik, sebab menyangkut banyak variabel.
Perubahan kurikulum disini berarti mengubah semua yang terlibat didalamnya, yaitu guru
sendiri, murid, kepala sekolah, penilik sekolah juga orang tua dan masyarakat umumnya
yang berkepentingan dalam pendidikan sekolah. Seperti yang telah penulis paprkn di
atas, bahwa perubahan kurikulum adalah perubahan sosial, curriculum change is social
change.

1. Jenis-Jenis Perubahan
Menurut Soetopo dan Soemanto, Perubahan kurikulum dapat bersifat sebagian-
sebagian, tapi dapat pula bersifat menyeluruh.

a. Perubahan sebagian-sebagian
Perubahan yang terjadi hanya pada komponen (unsur) tentu saja dari kurikulum
kita sebut perubahan yang sebagian-sebagian. Perubahan dalam metode mengajar saja,
perubahan dalam itu saja, atau perubahan dalam sistem penilaian saja, adalah merupakan
contoh dari perubahan sebagian-sebagian.
Dalam perubahan sebagian-sebagian ini, dapat terjadi bahwa perubahan yang
berlangsung pada komponen tertentu sama sekali tidak berpengaruh terhadap komponen
yang lain. Sebagai contoh, penambahan satu atau lebih bidang studi kedalam suatu
kurikulum dapat saja terjadi tanpa membawa perubahan dalam cara (metode) mengajar
atau sistem penilaian dalam kurikulum tersebut.

b. Perubahan menyeluruh
Disamping secara sebagian-sebagian, perubahan suatu kurikulum dapat saja
terjadi secara menyeluruh . Artinya keseluruhan sistem dari kurikulum tersebut
mengalami perubahan mana tergambar baik didalam tujuannya, isinya organisasi dan
strategi dan pelaksanaannya.
Perubahan dari kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975 dan 1976 lebih
merupakan perubahan kurikulum secara menyeluruh. Demikian pula kegiatan
pengembangan kurikulum sekolah pembangunan mencerminkan pula usaha perubahan
kurikulum yang bersifat menyeluruh. Kurikulum 1975 dan 1976 misalnya,
pengembangan , tujuan, isi, organisasi dan strategi pelaksanaan yang baru dan dalam
banyak hal berbeda dari kurikulum sebelumnya.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan kurikulum

Menurut Soetopo dan Soemanto, ada sejumlah faktor yang dipandang mendorong
terjadinya perubahan kurikulum pada berbagai Negara dewasa ini.

a. Bebasnya sejumlah wilayah tertentu di dunia ini dari kekuasaan kaum


kolonialis.
Dengan merdekanya Negara-negara tersebut, mereka menyadari bahwa selama ini
mereka telah dibina dalam suatu sistem pendidikan yang sudah tidak sesuai lagi dengan
cita-cita nasional merdeka. Untuk itu , mereka mulai merencanakan adanya perubahan
yang cukup penting di dalam kurikulum dan sistem pendidikan yang ada.

b. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat sekali.


Di satu pihak, perkembangan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang
diajarkan di sekolah menghasilkan diketemukannya teori-teori yang lama. Di lain pihak,
perkembangan di dalam ilmu pengetahuan psikologi, komunikasi, dan lain-lainnya
menimbulkan diketemukannya teori dan cara-cara baru di dalam proses belajar mengajar.
Kedua perkembangan di atas, dengan sendirinya mendorong timbulnya perubahan dalam
isi maupun strategi pelaksanaan kurikulum.

c. Pertumbuhan yang pesat dari penduduk dunia.


Dengan bertambahnya penduduk, maka makin bertambah pula jumlah orang yang
membutuhkan pendidikan. Hal ini menyebabkan bahwa cara atau pendekatan yang telah
digunakan selama ini dalam pendidikan perlu ditinjau kembali dan kalau perlu diubah
agar dapat memenuhi kebutuhan akan pendidikan yang semakin besar. Ketiga faktor di
atas itulah yang secara umum banyak mempengaruhi timbulnya perubahan kurikulum
yang kita alami dewasa ini.

3. Sebab-Sebab Kurikulum Itu Diubah

Kurikulum itu selalu dinamis dan senantiasa dipengaruhi oleh perubahan-


perubahan dalam faktor-faktor yang mendasarinya. Tujuan pendidikan dapat berubah
secara fundamental, bila suatu negara beralih dari negara yang dijajah menjadi Negara
yang merdeka. Dengan sendirinya kurikulum pun harus mengalami perubahan yang
menyeluruh.
Kurikulum juga diubah bila tekanan dalam tujuan mengalami pergeseran.
Misalnya pada tahun 30-an sebagai pengaruh golongan progresif di USA tekanan
kurikulum adalah pada anak, sehingga kurikulum mengarah kepada child-centered
curriculum sebagai reaksi terhadap subject-centered curriculum yang dianggap terlalu
bersifat adulatif (pembujukan) dan society-centered.. Pada tahun 40-an, sebagai akibat
perang, asas masyarakatlah yang diutamakan dan kurikulum menjadi lebih society-
centered. Kurikulum dapat pula mengalami perubahan bila terdapat pendirian baru
mengenai proses belajar, sehingga timbul bentuk-bentuk kurikulum
seperti activity atau experience curriculum, programmed instruction, pengajaran modul,
dan sebagainya.
Perubahan dalam masyarakat, eksplosi (ledakan) ilmu pengetahuan dan lain-lain
mengharuskan adanya perubahan kurikulum. Perubahan-perubahan itu menyebabkan
kurikulum yang berlaku tidak lagi relevan, dan ancaman serupa ini akan senantiasa
dihadapi oleh setiap kurikulum, betapapun relevannya pada suatu saat.

4. Kesulitan-Kesulitan Dalam Perubahan Kurikulum

Sejarah menunjukkan bahwa sekolah itu sangat sukar menerima pembaharuan.


Ide yang baru tentang pendidikan memerlukan waktu sekitar 75 tahun sebelum
dipraktikan secara umum di sekolah-sekolah.
Manusia itu pada umumnya bersifat konservatif (tertutup) dan guru termasuk
golongan itu juga. Guru-guru lebih senang mengikuti jejak-jejak yang lama secara rutin.
Ada kalanya karena cara yang demikianlah yang paling mudah dilakukan. Mengadakan
pembaharuan memerlukan pemikiran dan tenaga yang lebih banyak. Tak semua orang
suka bekerja lebih banyak daripada yang diperlukan. Akan tetapi ada pula kalanya,
bahwa guru-guru tidak mendapat kesempatan atau wewenang untuk mengadakan
perubahan karena peraturan-peraturan administratif. Guru itu hanya diharapkan
mengikuti instruksi atasan.
Pembaharuan kurikulum kadang-kadang terikat pada tokoh yang
mencetuskannya. Dengan meninggalnya tokoh itu lenyap pula pembaharuan yang telah
dimulainya itu. Dalam pembaharuan kurikulum ternyata bahwa mencetuskan ide-ide baru
lebih “mudah” daripada menerapkannya dalam praktik. Dan sekalipun telah dilaksanakan
sebagai percobaan, masih banyak mengalami rintangan dalam penyebarluasannya, oleh
sebab harus melibatkan banyak orang dan mungkin memerlukan perubahan struktur
organisasi dan administrasi sistem pendidikan.
Disadari atau tidak pembaharuan kurikulum pastinya memerlukan biaya yang
lebih banyak untuk fasilitas dan alat-alat pendidikan baru, yang tidak selalu dapat
dipenuhi. Tak jarang pula pembaharuan ditentang oleh mereka yang ingin berpegang
pada yang sudah lazim dilakukan atau yang kurang percaya akan yang baru sebelum
terbukti kelebihannya. Bersifat kritis terhadap pembaharuan kurikulum adalah sifat yang
sehat, karena pembaharuan itu jangan hanya sekedar mode yang timbul pada suatu saat
untuk lenyap lagi dalam waktu yang tidak lama.

B. Analisis Perubahan Kurikulum Dari 1947 – 2006

Dalam perjalanan sejarah sejak Indonesia merdeka, kurikulum pendidikan


nasional telah mengalami perubahan berturut-turut, yaitu pada tahun 1947, tahun1952,
tahun1964, tahun1968, tahun1975, tahun1984, tahun1994, dan tahun2004, serta yang
terbaru adalah kurikulum tahun 2006. Dinamika tersebut merupakan konsekuensi logis
dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan IPTEK dalam
masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana
pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan
yang terjadi di masyarakat. Namun yang jelas, perkembangan semua kurikulum nasional
dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan 
perbedaannya terletak pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan
dalam mengimplementasikannya.
Dimulai pada tahun 1947, saat itu kurikulum pendidikan di Indonesia masih
dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan
yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Peladjaran 1947 (sebutan kurikulum saat
itu) merupakan pengganti sistem  pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana
kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka
pendidikan sebagai development conformism (pelaku pembaharuan) lebih menekankan
pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar
dengan bangsa lain di muka bumi ini.
Pada tahun 1952, kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan, dengan
menggunakan sebutan Rentjana Peladjaran Terurai 1952.
Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Ciri yang paling
menonjol dalam kurikulum 1952 adalah setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi
pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Menjelang tahun 1964, dilakukan kembali penyempurnaan sistem kurikulum di
Indonesia, yang hasilnya dinamakan Rentjana Pendidikan 1964.
Yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah penekanan pada pengetahuan akademik
untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program
Pancawardhana, yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional / artistik, keprigelan,
dan jasmani.
Dari Kurikulum 1964 diperbaharui menjadi kurikulum 1968,  dalam hal ini
terjadi  perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi
pembinaan jiwa Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.
Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD
1945 secara murni dan konsekuen. Penekanan dalam Kurikulum 1968, pada upaya untuk
membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan
dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan
diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta
mengembangkan fisik.
Sebagai pengganti kurikulum 1968 adalah kurikulum 1975.  Dalam kurikulum ini
menggunakan pendekatan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI),
mengarah kepada tercapainya tujuan spesifik, yang dapat diukur dan dirumuskan dalam
bentuk tingkah laku siswa. Dalam pelaksanaannya banyak menganut psikologi tingkah
laku dengan menekankan kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill).
Menjelang tahun 1983, kurikulum 1975 dianggap sudah tidak mampu lagi
memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan perkembangan IPTEK. Sehingga
dipertimbangkan untuk segera ada perubahan. Karena itulah pada tahun 1984 pemerintah
menetapkan pergantian kurikulum 1975 dengan kurikulum 1984. Kurikulum 1984
berorientasi kepada tujuan instruksional, didasari oleh pandangan bahwa pemberian
pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah
harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau
menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus
dicapai siswa.
Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui Cara Belajar Siswa Aktif
(CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada
siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan
siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif,
afektif, maupun psikomotor
Materi pelajaran dikemas dengan menggunakan pendekatan spiral yakni pendekatan yang
digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi
pelajaran. Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi
pelajaran yang diberikan.
Pada tahun 1993, disinyalir bahwa pada kurikulum 1984, proses pembelajaran
menekankan pada pola pengajaran yang berorientasi pada teori belajar mengajar yang 
kurang memperhatikan muatan pelajaran, sehingga lahirlah sebagai penggantinya adalah
kurikulum1994.
Ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya adalah
pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem caturwulan Pembelajaran di
sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi
pelajaran/isi). Dalam pelaksanaan kegiatan, guru harus memilih dan menggunakan
strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial.
Untuk mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada
jawaban konvergen, divergen dan penyelidikan. Dan dalam pengajaran suatu mata
pelajaran harus menyesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan
perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara
pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang
menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
Selama dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan,
terutama sebagai akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan
materi (content oriented), di antaranya adalah beban belajar siswa terlalu berat karena
banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/substansi setiap mata pelajaran.  Hal ini
mendorong para pembuat kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah
satu upaya penyempurnaan adalah diberlakukannya Suplemen Kurikulum 1994.
Usaha pemerintah maupun pihak swasta dalam rangka meningkatkan mutu
pendidikan terutama meningkatkan hasil belajar siswa dalam berbagai mata pelajaran
terus menerus dilakukan, seperti penyempurnaan kurikulum, materi pelajaran, dan proses
pembelajaran. Dengan dilaksanakannya UU No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah, sehingga sebagai konsekuensi logis harus terjadi juga perubahan struktural dalam
penyelenggaraan pendidikan, maka bersamaan dengan hal tersebut terjadilah perubahan
lagi pada kurikulum pendidikan.
Kurikukum yang dikembangkan pada tahun 2004 diberi nama Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK). Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada
pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai
dengan standard performan yang telah ditetapkan. Hal ini mengandung arti bahwa
pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat
kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu KBK
sebagai pedoman pembelajaran.
Sejalan dengan visi pendidikan yang mengarahkan pada dua pengembangan yaitu
untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan kebutuhan masa datang, maka pendidikan di
sekolah dititipi seperangkat misi dalam bentuk paket-paket kompetensi.
Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang
direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak
secara konsisten dan terus menerus dapat memungkinkan seseorang untuk menjadi
kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk
melakukan sesuatu. Dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi dalam
kurikulum adalah sebagai berikut :
1. Kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam
berbagai konteks.
2. Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi
kompeten.
3. Kompeten merupakan hasil belajar yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan
siswa setelah melalui proses pembelajaran.
4. Kehandalan kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas
dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat
diukur.

KBK berorientasi pada:


a. Hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui
serangkaian pengalaman belajar yang bermakna.
b. Keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya.

KBK memiliki ciri-ciri sebagai berikut:


1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun
klasikal.
2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang
bervariasi.
4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang
memenuhi unsur edukatif.
5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau
pencapaian suatu kompetensi.
6. Struktur kompetensi dalam KBK dalam suatu mata pelajaran memuat rincian
kompetensi dasar mata pelajaran itu dan sikap yang diharapkan dimiliki siswa.
7. Struktur kompetensi dasar KBK ini dirinci dalam komponen aspek, kelas dan
semester. Keterampilan dan pengetahuan dalam setiap mata pelajaran,
disusun dan dibagi menurut aspek dari mata pelajaran tersebut.
8. Pernyataan hasil belajar ditetapkan untuk setiap aspek rumpun pelajaran pada
setiap level.
9. Perumusan hasil belajar adalah untuk menjawab pertanyaan, Apa yang harus
siswa ketahui dan mampu lakukan sebagai hasil belajar mereka pada level ini?.
10. Hasil belajar mencerminkan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas kurikulum
dinyatakan dengan kata kerja yang dapat diukur dengan berbagai teknik penilaian.
11. Setiap hasil belajar memiliki seperangkat indikator.
12. Perumusan indikator adalah untuk menjawab pertanyaan, Bagaimana kita
mengetahui bahwa siswa telah mencapai hasil belajar yang diharapkan?.
13. Guru akan menggunakan indikator sebagai dasar untuk menilai apakah siswa
telah mencapai hasil belajar seperti yang diharapkan. Indikator bukan berarti
dirumuskan dengan rentang yang sempit, yaitu tidak dimaksudkan untuk
membatasi berbagai aktivitas pembelajaran siswa, juga tidak dimaksudkan untuk
menentukan bagaimana guru melakukan penilaian. Misalkan, jika indikator
menyatakan bahwa siswa mampu menjelaskan konsep atau gagasan tertentu,
maka ini dapat ditunjukkan dengan kegiatan menulis, presentasi, atau melalui
kinerja atau melakukan tugas lainnya.

Yang paling mutahir adalah KTSP, Untuk menghindari dampak negatif yang
kemungkinan terjadi seperti diuraikan di atas, perlu disosialisasikan secara luas dan benar
esensi KTSP dan potensi dampak positif yang akan dihasilkannya di dalam praktik
pendidikan di lapangan. Sikap kritis terhadap ide pembaharuan pendidikan memang perlu
dikembangkan, tetapi harus disertai dengan sikap keterbukaan (open mindedness) dan
keobjektifan di dalam menilai ide pembaruan tersebut. Agar kesetimbangan penyikapan
ini dapat terjadi diperlukan penajaman yang cukup komprehensif, dengan
mengedepankan sisi-sisi positif secara berimbang dengan potensi resiko yang dapat
ditimbulkannya terutama bila ide pembaharuan tersebut tidak dipahami secara benar.
Ada beberapa hal yang dapat kita jadikan sebagai bahan pertimbangan untuk
mengkritisi kebijakan Pemerintah tentang KTSP tersebut :

1. Secara substansial nuansa reformasi kurikulum tidak mampu memaknai otonomi


pendidikan yang sebenarnya. Reformasi setengah hati ini malah membingungkan
pemangku kepentingan pendidikan, jangankan menyusun kurikulum, menjalankan
kurikulum yang sudah adapun sulitnya setengah mati. Oleh karena itu, tepatlah
orang melabeli KTSP sebagai kurikulum tidak siap pakai.
2. Buaian sentralistik pendidikan yang selama ini terjadi telah menjadi virus yang
mengerdilkan ide dan kreativitas satuan pendidikan dalam memberdayakan
potensi dirinya. Penyakit ini telah coba diatasi dengan berbagai upaya oleh
pemerintah. Misalnya, saat pemerintah pusat tercengang dengan minimnya
pergulatan kreativitas sekolah, dikumandangkanlah paradigma otonomi
pendidikan melalui manajemen berbasis sekolah. Kenyataannya, institusi
prasyarat manajemen berbasis sekolah seperti dewan pendidikan dan komite
sekolah hanya hiasan struktur organisasi. Bukan sebagai alat vital organisasi.
Mereka tak berdaya karena ketidaktahuan dan kebiasaan ketergantungan.
Maklumlah, di Indonesia sistem manajemen pendidikan tak sefundamental
kurikulum dan ujian. Lain halnya kebijakan try and error yang menyangkut
kurikulum.
3. Sudah rahasia umum, pendidikan keguruan di negeri ini tidak pernah menyiapkan
guru dan sekolah menjadi pengembang kurikulum. Sementara dalam KTSP guru
harus mampu menafsirkan standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi
indikator dan materi pembelajaran, sekaligus menentukan sendiri metodologi
didaktisnya agar tercipta harmoni pembelajaran yang efektif dan efisien. Paradoks
KTSP dan kesiapan guru bisa menjadi musibah nasional pendidikan. Musibah
intelektual ini sulit di-recovery dan butuh waktu relatif lama, apalagi jika
dikaitkan dengan konteks global jelas terjadi ironi. Globalisasi memaksa
terjadinya variasi dan dinamika sumber pengetahuan. Dulu guru sebagai satu-
satunya sumber pengetahuan. Sejalan dengan globalisasi, guru bukan satu-satunya
lagi sumber pengetahuan. Siswa memiliki peluang mengakses informasi dari
berbagai sumber, dikenallah istilah on-line learning.
4. KTSP menghadapi tantangan besar terkait keterpaduan informasi lokal, nasional,
dan internasional. Kemampuan memadukan ini hanya bisa dilakukan oleh sumber
daya yang memang disiapkan jauh-jauh hari, bukan oleh guru yang disiapkan
secara instan melalui berbagai program pendampingan pengembangan kurikulum.
Lebih berbahaya lagi jika sekolah akhirnya menjiplak panduan yang ditawarkan
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Tujuan mulia KTSP pada akhirnya
hanya akan melahirkan sekolah-sekolah ’kurung batok’, instan, dan kerdil
kreativitas.
Sekedar untuk digaris bawahi bahwa secara substansial, pemberlakuan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang
ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran
tetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi, yaitu :
1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun
klasikal.
2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang
bervariasi.
4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang
memenuhi unsur edukatif.
5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau
pencapaian suatu kompetensi.
Terdapat perbedaan mendasar dibandingkan dengan kurikulum berbasis
kompetensi sebelumnya, bahwa sekolah diberi kewenangan penuh menyusun rencana
pendidikan sesuai karakteristik Satuan Pendidikan dan keberadaannya, dengan mengacu
pada standar-standar yang telah ditetapkan, mulai dari tujuan, visi-misi, struktur dan
muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga pengembangan silabus
dan Rancangan Pelaksanaan Pembelajarannya.

Anda mungkin juga menyukai