Anda di halaman 1dari 8

Makalah Analisis Lingkungan Peradilan Agama

Dosen Pengampu : Dr. dr. Heri Sasono, S. Psi, M. Psi

Oleh
Alfi ‘Atiyatul Mubasyiroh
NIM : 22.6.9.0237

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KESEHATAN


JURUSAN KESEHATAN
UNIVERSITAS SUNAN GIRI SURABAYA
2022
A. Latar Belakang
Peradilan Agama adalah salah satu lembaga pelaksana kekuasaan
kehakiman yang harus menempatkan dirinya sebagai lembaga peradilan yang
sesungguhnya (court of law) yang disegani dan dihormati serta memiliki
otoritas dan kewenangan yang tinggi. Peradilan Agama sendiri adalah
terjemahan dari bahasa Belanda yaitu godsdienstige rechtspraak. Kata
godsdienstige berarti ibadah atau agama, adapun kata rechtspraak berarti
peradilan. Dalam Perundangan-undangan Belanda istilah godsdienstige
rechtspraak dipakai sebagai pemisah dari Peradilan Agama ke Peradilan
Umum yang lebih bersifat keduniawian atau dikenal dengan istilah
wereldlijke rechtpraak. Keberadaan Peradilan Agama sendiri telah diakui jauh
sebelum Negara Republik Indonesia ini memploklamirkan diri sebagai bangsa
yang merdeka, meskipun sempat mengalami masa-masa pasang surut baik itu
dari segi penamaan, status, kedudukan maupun kewenanganya.
Eksistensi dari sebuah lembaga Peradilan sangat dibutuhkan oleh
masyarakat Indonesia, tak terkecuali bagi kalangan pemeluk agama mayoritas
di Negara ini, yaitu kaum muslim. Perbandingan antara jumlah pemeluk
Agama Islam dengan agama lainya sangatlah jauh, permasalahan yang kian
banyak dan makin kompleks menjadikan kaum muslim membutuhan lembaga
peradilan khusus bagi kaum muslim, yang mana lembaga peradilan tersebut
khusus menangani permasalahan perdata kaum muslim dan berasaskan
kepada Al-qur’an dan Al-hadits. Hal ini karena ia tidak hanya berfungsi
sebagai “pedang” melainkan juga sebagai medan akhir dalam menyelesaikan
proses sengketa yang terjadi pada masyarakat muslim. Disamping itu, hal
tersebut juga berfungsi sebagai penjaga eksistensi dari keberlansungan
penegakkan Hukum Islam di Indonesia. Keberadaanya merupakan sebuah
comditio sine qua non dan melekat di tengah-tengah eksistensi yang
berbanding lurus dengan masyarakat muslim itu sendiri.
B. Pembahasan
a. Pengertian Peradilan Agama
Peradilan Agama merupakan salah satu literature resmi diantara Lembaga
Peradilan atau Kekuasaan Kehakiman lainya. Peradilan Agama adalah
salah satu peradilan khusus di Indonesia. Dua peradilan khusus lainya
adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata usaha Negara. Dikatakan
sebagai peradilan khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-
perkara tertentu. Dalam hal ini wewenang Peradilan Agama hanya di
bidang perdata saja dan tidak bisa menangani perkara di bidang pidana dan
hanya berlaku bagi kalangan penganut agama islam.4 Masing-masing pada
setiap peradilan terdiri dari tingkat pertama sampai tingkatan banding, yang
mana semua tingkatan peradilan tersebut berpuncak pada Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi. Jika hal tersebut dijabarkan maka
susunan badan-badan peradilan di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Lingkungan Peradilan Umum adalah wilayah Pengadilan Negeri (PN),
Pengadilan Tinggi (PT), dan Mahkamah Agung (MA);
2. Lingkungan Peradilan Agama adalah wilayah Pengadilan Agama (PA),
Pengadilan Tinggi Agama (PTA) dan Mahkamah Agung (MA);
3. Lingkungan Peradilan Militer adalah wilayah Mahkamah Militer
(MAHMIL), Mahkamah Militer Tinggi ( MAHMILTI), dan
Mahkamah Militer Agung (MAHMILGUNG);
4. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adalah wilayah Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
(PPTUN), dan Mahkamah Agung (MA);
5. Sedangkan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili dalam hal
sengketa yang berkaitan tentang konstitusi dan Undang-Undang mulai
tingkat pertama sampai tingkat akhir, dan keputusanya bersifat final
tidak ada lagi upaya banding setelahnya
b. Dasar Hukum
Dasar hukum peradilan agama dalam Undang Undang Dasar 1945 adalah
diatur oleh Pasal 24 yang pada ayat (1) menjelaskan bahwa kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Undang Undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah terakhir
kalinya dengan Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009, yang dalam Pasal
2 menegaskan bahwa peradilan agama merupakan salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang undang.
Selanjutnya dalam 2 Pasal 2 ayat (1) menerangkan bahwa kekuasaan
kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh pengadilan
agama dan pengadilan tinggi agama.

c. Fungsi
Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara- antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah
dan ekonomi syariah sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Fungsi peradilan agama antara lain Fungsi mengadili (judicial power),
Fungsi pembinaan Fungsi pengawasan, Fungsi nasehat, Fungsi
administrative dan fungsi lainnya melakukan koordinasi dalam pelaksanaan
tugas hisab dan rukyat dengan instansi lain yang terkait, seperti DEPAG,
MUI, Ormas Islam dan lain-lain, serta pelayanan penyuluhan hukum,
pelayanan riset/penelitian dan sebagainya serta memberi akses yang seluas-
luasnya bagi masyarakat dalam era keterbukaan dan Transparansi
Informasi Peradilan, sepanjang diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah
Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi
di Pengadilan.
d. Analisis Salah Satu Dalam Peradilan Agama

Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai umur tertentu


memerlukan orang lain dalam kehidupannya, baik dalam pengaturan
fisiknya, maupun dalam pembentukan akhlaknya. Seseorang yang
melakukan tugas hadhanah sangat berperan dalam hal tersebut. Oleh sebab
itu masalah Hadhanah mendapat perhatian khusus dalam ajaran Islam. Di
atas pundak kedua orang tuanyalah terletak kewajiban untuk melakukan
tugas tersebut. Bilamana kedua orang tuanya tidak dapat atau tidak layak
untuk tugas itu disebabkan tidak mencukupi syarat-syarat yang dipcrlukan
rnenurut pandangan Islam, maka hendaklah dicarikan pcngasuh yang
mencukupi syarat-syaratnya. Untuk kepentingan scorang anak. sikap peduli
dari kedua orang tua terhadap masalah hadhanah memang sangat
diperlukan. Jika tidak, rnaka bisa mengakibatkan seorang anak tumbuh
tidak terpe1ihara dun tidak terarah seperti yang diharapkan. Maka yang
paling diharapkan adalah keterpaduan kerjasarna antara ayah dan i bu
dulum rnelakukan tugas ini. Jalinan kerjasama antara keduanya hanya akan
bisa diwujudkan selama dua orang tua itu masih tetap dalam hubungan
suami isteri. Dalam suasana yang demikian, kendatipun tugas hadhanah
sesuai dengan tabiatnya akan lebih banyak dilakukan olch pihak ibu.
namun peranan seorang ayah tidak bisa diabaikan, baik dalam memenuhi
segala kebutuhan yang memperlancar tugas hadhanah, maupun dalam
menciptakan suasana damai dalam rumah tangga dimana anak diasuh dan
dibesarkan.
Harapan seperti disebutkan di atas tidak akan terwujud. Bilamana terjadi
perceraian antara ayah dan ibu si anak.Peristiwa perceraian apapun
alasannya merupakan rnalapetaka bagi si anak. Di saat itu si anak tidak lagi
dapat merasakan nikmat kasih sayang sekaligus dari kedua orangtuanya.
Padahal merasakan kasih sayang kcdua orangtua merupakan unsur penting
bagi pertumbuhan mental seorang anak. Pecahnya rumah tangga kedua
orangtua,tidak jarang mernbawa kepada terlantarnya pengasuhan anak.
Itulah sebabnya menurut ajaran Islam perceraian sedapat mungkin harus
dihindarkan. Dalam sebuah hadis diingatkan, bahwa "sesuatu yang halal
(dibolehkan) yang paling tidak disukai Allah ialah perceraian." (H.R. Abu
Daud dan Ibnu Majah). Untuk menghindarkan hal itu pula mengapa agama
Islam menganjurkan agar lebih hati-hati dalam memilih jodoh, dengan
rnemperhitungkan faktor-faktor pendukung untuk lestarinya hubungan
suami isteri, dan sebaliknya. Memang diakui tidak tertutup kernungkinan
adanya perceraian kendatipun dari semula calon suarni isteri xudah penuh
hati-hati menjatuhkan pilihan. Namun. adanya faktor keudakhari-hatian
akan mernperlebar kemungkinan tersebut. Kelalaian dalam
memperhitungkan kernungkinan tersehut. Kelalaian dalam
memperhitungkan IaktorIaktor dirnaksud akan herakibat hubungan suami
isteri menjadi rapuh. yang pada gilirannya peristiwa perceraian sudah tidak
dapat dihindarkan. Bilamana terjadi perceraian. maka khusus bagi
pasangan yang telah mempunyai cahaya mata dan masih kecil, timbul
permasalahan. siapakah di antara kedua orangtua yang lebih berhak
terhadap anak itu yang selanjutnya melakukan tugas hadhanah. Masalahnya
akan menjadi lebih rumit. bilamana masing-masing dari dua orangtua tidak
mau mengalah, disebabkan ada pertimbangan prinsipil dalam pandangan
kedua belah pihak.

C. Kesimpulan
Pada keadaan seperti diatas, kewajiban melakukan hadhanah terletak
dipundak kedua orangtua. Prinsip tersebut hanya akan berjalan lancar bilamana
kedua orangtua tetap dalam hubungan suami isteri. Yang menjadi persoalan
adalah apabila kedua orangtua sianak telah berpisah cerai. maka pihak rnanakah
yang lebih berhak terhadap anak itu. Dalam Kaitannya dengan masalah ini ada
dua priode bagi anak yang perlu dikemukakan.
Apabila terjadi perceraian, demi kepentingan anak dalam umur tersebut,
maka ibu lebih berhak untuk mengasuhnya, bilamana persyaratan -
persyaratannya dapat dilengkapi. lbnu Qudamah seorang pakar hukum pengikut
Mazhab Hambali dalam kitabnya Al-Mughni menjelaskan tidak ada perbedaan
pendapat di kalangan ulama dalam masalah tersebut.
Dasar hukumnya adalah hadis Abu Hurairah yang menceritakan seorang
wanita mengadukan tingkah bekas suaminya yang hendak mengambil anak
mereka berdua, yang telah mulai mampu menolong mengambil air dari sumur.
Lalu Rasulullah menghadirkan kedua pihak yang bersengketa dun mengadili:
"Hai anak, ini ibumu dan ini ayahmu. Pilihlah yang mana yang engkau sukai
untuk tinggal bersamanya. Lalu anak itu memilih ibunya". Anak yang disebut
dalam hadis di atas sudah mampu membantu ibunya mengambil air di sumur,
yang diperkirakan berumur di atas tujuh tahun atau sudah mummayyiz. Dengan
demikian hadis tersebut menunjukkan bahwa anak yang sudah mumayyiz atau
sudah dianggap mampu menentukan pilihan sendiri, diberi hak untuk memilih
sendiri.

D. Daftar Pustaka
Analisa Yurisprudensi Pengadilan Agama, Tentang Hadhanah, Harta

Bersama, Wasia, Hibah, Wakaf. Mahkamah Republik Indonesia, 2000

https://perpustakaan.mahkamahagung.go.id/assets/resource/ebook/Analisa

%20Yurisprudensi%20Peradilan%20Agama%20full.pdf (diakses pada

tanggal 19 Desember 2022)

https://fh.unpatti.ac.id/hukum-acara-peradilan-agama/ (diakses pada tanggal 19

Desember 2022)S

Anda mungkin juga menyukai