Anda di halaman 1dari 17

PANDUAN RESTRAIN

BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Dalam memenuhi kebutuhan setiap tenagakesehatan akan pentingnya meminimalisasi
penggunaan restrain, saat ini telahdikembangkan suatu strategi etika komprehensif. Strategi ini
mengharuskan tenaga kesehatan untuk memikirkan juga aspek etika dalam pengambilan
keputusan penggunaan restrain, dan aspek etika ini harus diaplikasikan dalam semua aspek
asuhan keperawatan di setiap fasilitas kesehatan.
Penyelesaian masalah etika merupakan suatu hal yang sulit terutama dalam pembuatan
keputusan untuk melakukan pembatasan fisik, karena baik dilakukan restrain atau tidak, hal
tersebut dapat membahayakan pasien. Perawat memiliki tanggungjawab terhadap seluruh pasien
yang berada dalam asuhan keperawatannyadan bila ternyata pemberian ijin kebebasan bertindak
kepada satu pasien yang dapat menyebabkan kerugian atau membahayakan orang lain, maka
pengambilan keputusan harus mempertimbangkan konsekuensi terhadap pengaplikasian restrain
atau tidak mengaplikasikan restrain.

1.1 Aspek Hukum


Situasi dimana restrain diperbolehkan adalah jika pasien telah diberikan informasi yang
cukup mengenai kondisinya dan perlunya penggunaan restrain serta telah menyetujui
dilakukannya tindakan tersebut sebagai bagian dan program rencana asuhan keperawatan pasien.
Pada kasus yang lain, perawat mempunyai kewajiban untuk membatasi pasien dengan tujuan
melindungi pasien dari terjadinya risiko yang lebih membahayakan atau untuk menghindari
potensi risiko bahaya terhadap orang lain. Dalam situasi dimana perawat atau orang lain diserang
atau beresiko mengalami bahaya fisik, diperbolehkan menggunakan restrain sebagai suatu wujud
pertahanan.
Mental Capacity Act 2005 berlaku untuk setiap orang dengan usia enam belas tahun ke atas.
Undang – undang ini menyediakan suatu kerangka hokum untuk memperkuat dan melindungi
masyarakat yang tidak dapat membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Sebagai contohnya pada
orang dengan demensia, memiliki gangguan dalam belajar, masalah kesehatan jiwa, stroke,atau
cedera kepala. Dalam Mental Capacity Act 2005, terdapat lima prinsip yang berkaitan dengan
proteksi kapasitas untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Berikut adalah
kelima prinsip dasar tersebut.
1. Seseorang harus dianggap memiliki kapasitas mental yang baik kecuali telah terbukti
bahwa orang tersebut tidak memilik kapasitas
2. Seseorang tidak boleh diperlakukan seakan-akan ia tidak dapat atau tidak mampu
membuat keputusan kecuali semua langkah untuk membantunya membuat keputusan
telah dilakukan dan tidak berhasil.
3. Seseorang tidak boleh diperlakukan seakan-akan tidak dapat atau tidak mampu membuat
keputusan hanya karena sebelumnya ia membuat keputusan yang tidak bijaksana atau
kurang tepat.
4. Suatu keputusan yang dibuat di bawah naungan perundang – undangan dan
diperuntukkan kepada seseorang yang tidak mampu membuat keputusan haruslah
berdasarkan kepentingan yang menjadi pilihan terbaiknya.
5. Sebelum suatu keputusan dibuat, pertimbangkan juga mengenai apakah tujuan tersebut
dapat dicapai secara efektif dengan cara yang lebih tidak membatasi hak dan kebebasan
seseorang.
Mental Capacity Act 2005 menetapkan definisi yang legal atau sah mengenai status individu
yang mempunyai keterbatasan kapasitas. Seseorang dianggap tidak mampu membuat keputusan
untuk dirinya sendiri jika seseorang tersebut tidak mampu :
1. Memahami informasi yang relevan dengan keputusan tersebut
2. Mengingat informasi tersebut
3. Menggunakan informasi tersebut sebagai bagian dan proses pembuatan keputusan
4. Mengkomnikasikan keputusannya, baik dengan berbicara, menggunakan bahasa tubuh
ataupun dengan cara lainnya.
Fakta bahwa seseorang hanya mampu mengingat informasi yang relevan dengan pembuatan
keputusan dalam periode waktu yang singkattidaklah mencegah mereka untuk
dianggapkompeten dan mampu membuat keputusan. Dalam situasi dimana terdapat
pertimbangan menggunakan restrain pada individu yang tidak kompeten, Mental Capacity Act
2005 memperbolehkan dilakukan tata laksana sepanjang hal ini merupakan tindakan yang
terbaikuntuk kepentingan pasien. Perundang – undangan ini mengharuskan bahwa factor – factor
di bawah ini harus dipertimbangkan sebelum dilakukan pengambilan tindakan terhadap individu
yang tidak kompeten :
1. Keinginan atau harapan dan perasaan pasien dahulu dan saat ini ( dan pernyataan tertulis
apapun yang relevan dengan kondisi pasien )
2. Kepercayaan dan nilai atau norma yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan pasien
3. Faktor lainnya yang mungkin akan dipertimbangkan oleh pasien seandainya pasien kompeten
Mental Capacity Act 2005 menetapkan kondisi dimana undang – undang ini dapat diterapkan
dan menyangkut penggunaan restrain terhadap individu yang tidak kompeten. Menurut undang –
undang ini, restrain didefinisikan sebagai suatu tindakan yang menharuskan atau memaksa
pasien untuk melakukan suatu hal yang tidak mereka inginkan, atau membatasi kebebasan
bergerak pasien tanpa memperdulikan persetujuan pasien. Kewenangan hokum untuk membatasi
seseorang hanya diperbolehkan jika ketiga kondisi di bawah ini terpenuhi, yaitu :
1. Individu kurang atau tidak kompeten dalam membuat keputusan
2. Perawat yakin dan memiliki alasan yang kuat akan perlunya penggunaan restrain untuk
mencegah hal yang lebih buruk pada pasien
3. Tindakan ini merupakan respon yang sebanding atau sepadan dengan potensi risiko bahaya
yang dapat dialami oleh individu dan beratnya bahaya tersebut.
Undang – undang 11AM ( 1998 ) menetapkan panduan mengenai hak atau kebebasan
individu. Penggunaan restrain harus dijustifikasi dengan menggunakan alas an yang rasional dan
jelas. Alasan ini harus menjelaskan mengapa pertimbangan ini diyakini dapat atau boleh
membatasi hak atau kebebasan individu.
Hukum perdata menyatakan bahwa jika perawat membatasi pasien tanpa adanya dasar
atau alas an yang professional dan sah secara hokum, maka individu dapat membuat klaim atau
gugatan kepada pengadilan dan menyatakan permohonan kompensasi terhadap kerugian yang
dialami oleh individu tersebut akibat adanya pembatasan. Kerugian ini dapat berbentuk fisik atau
psikologis yang secara langsung disebabkan oleh tindakan pembatasan ( restrain ). Pengadilan
akan menilai standar professional saat itu untuk melihat apakah pembatasan ini beralasan. Jika
tindakan perawat berada di bawah standar, terdapat kemungkinan bahwa gugatan individu akan
menang. Fakta – fakta dari setiap kasus akan menjadi penting dan suatu peninjauan ulang akan
diselenggarakan dalam kurun waktu tertentu dimana restrain tersebut digunakan. Kedua factor
ini akan dijustifikasi utuk melihat apakah factor ini dapat diterima secara professional dan
mengandung alas an yang kuat. Penting diingat bahwa penggunaan restrain haruslah diantisipasi.
Hukum pidana menyatakan bahwa membatasi tindakan atau gerakkan seseorang tanpa
persetujuan mereka dapat merupakan suatu bentuk tindak criminal. Perawat yang melakukan
pembatasan yang tidak beralasan dapat dituntut secara hokum dan dapat mengarah pada
penahanan, bergantung pada beratnya jenis pembatasan ( restrain ) tersebut , penting diketahui
bahwa kapanpun restrain digunakan oleh perawat, haruslah sesuai dengan standar professional
yang telah dijustifikasi dalam kondisi tertentu. Setiap tuntutan yang diatur dalam hokum pidana
akan mempertimbangan apakah tindakan pembatasan ( restrain ) tergolong suatu tindak criminal
berdasarkan undang – undang parlemen, dalam hal ini dapat meliputi penyerahan atau kekerasan,
penahanan yang sah, penanganan yang buruk, atau kelalaian yang disengaja.
Kontrak kerja sering membatasi lingkup praktik perawat dan mengharuskan perawat
untuk mengikuti kebijakan setempat yang berlaku, prosedur, ataupun protocol yang berkaitan
dengan restrain. Hal ini dapat berupa penjelasan terperinci mengenai bagaimana suatu keputusan
untuk melakukan pembatasan dibuat dalam kondisi yang berbeda – beda, siapa yang
bertanggungjawab, dan persyaratan lainnya seperti : mengikuti pelatihan berbasis kompetensi
dan pelaksanaan asesmen risiko untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kerugian atau bahaya
yang tidak diingikan sebelum menggunakan restrain.

1.2 Persetujuan ( Informed Consent )


Persetujuan merupakan salah satu alat hukum yang legal dimana seseorang memberikan
kekuasaan yang sah terhadap tata laksana atau keperawatan. Hal ini dapat mencakup
memberikan persetujuan terhadap suatu bentuk restrain. Dasar persetujuan yang sah identik
dengan persyaratan professional bahwa suatu persetujuan diperlukan sebelum melakukan suatu
tindakan atau prosedur. Terdapat tiga persyaratan yang harus dipenuhi sebelum persyaratan
persetujuan oleh individu dapt diterima secara sah, yaitu :
a. Persetujuan harus diberikan oleh seseorang yang kompeten dalam segi mental atau
kejiwaan.
b. Individu yang membuat persetujuan harus memperoleh informasi yang memadai
mengenai kondisinya, risiko dan implikasi penggunaan restrain.
c. Persetujuan ini harus dibuat tanpa adanya paksaan.
1.3 Pemberian Dukungan dan Organisasi
Organisasi, berikut semua staf yang tercakup di dalamnya, mempunyai kewajiban
pelayanan. Untuk membantu memastikan tidak terjadinya penggunaan restrain yang tidak perlu
dan perawat atau staf lainnya berkontribusi dalam membuat keputusan yang tepat mengenai
penggunaan restrain, pemilik atau pemegang kekuasaan sebaiknya menyediakan :
a. Suatu kebijakan atau panduan untuk staf mengenai penggunaan restrain
b. Suatu pendekatan multidisiplin terhadap perencanaan asuhan keperawatan masing –
masing individu, termasuk tinjauan ulang rencana keperawatan pasien secara rutin.
c. Suatu sistem pelaporan insiden dimana pasien atau tenaga kesehatan mengalami bahaya
atau menderita kerugian atau potensi bahaya, dan belajar dan pengalaman tersebut.
d. Alur yang jelas mengenai tindak lanjut etis terhadap penggunaan restrain yang tidak
bahaya tempatnya.
e. Akses pengacara independent untuk pasien.
f. Prosedur asesmen risiko sehingga risiko yang dapat timbul akibat penggunaan restrain
dapat diantisipasi dan dikurangi.
g. Edukasi yang sesuai, termasuk supervise klinis, praktik, pembelajaran dan contoh praktik
yang baik, dan pelatihan berbasis kompetensi.
h. Audit rutin yang berkaitan dengan restrain, termasuk studi banding dengan fasilitas
layanan kesehatan lainnya.
i. Pelatihan perawatan untuk demensia dan meningkatkan kewaspadaan tenaga kesehatan
disemua tingkat layanan kesehatan.

Pemilik atau pemegang kekuasaan juga sebaiknya memastikan bahwa :


1. Mahasiswa keperawatan atau asisten layanan kesehatan tidak diikutsertakan dalam
membuat keputusan mengenai penggunaan restrain karena kurang kompeten
2. Perawat tidak dipaksa untuk mengikuti keinginan dan keluarga pasien untuk melakukan
restrain terhadap pasien jika hal tersebut bukanlah yang terbaik untuk pasien
3. Menilai dan memantau penggunaan restrain atau isolasi di dalam fasilitas mereka
4. Memastikan bahwa kebijakan rumah sakit telah memenuhi persyaratan dalam standart
minimal nasional yang ditetapkan oleh pemerintah mengenai penggunaan restrain.
Restrain tidak boleh digunakan semata – mata untuk mengurangi beban kerja. Direktur
tidak boleh menempatkan perawat dalam posisi dimana mereka terpaksa melakukan restrain
karena kurangnya staf yang bertugas atau kurangnya sumber daya untuk menyediakan perawatan
yang aman dan berkualitas.
Pemilik atau pemegang kekuasaan di situasi yang berbeda dapat mempunyai tanggung jawab
spesifik, misalnya standart minimal nasional untuk rumah keperawatan ( panti jompo ) adalah
adanya orang yang berwenang untuk memastikan bahwa restrain hanya digunakan jika hal ini
merupakan cara atau metode praktikal satu – satunya dalam memastikan kesejahteraan dan
bahwa penggunaan restrain terdokumentasi dengan baik.

2. Tujuan
2.1 Membatasi aktifitas fisik
2.2 Mengamankan tindakan khusus
2.3 Membantu memberikan layanan kesehatan yang terbaik untu pasien
2.4 Mencegah bahaya pada pasien dan orang lain
2.5 Mencegah kerusakan lingkungan fisik
2.6 Membantu mengatasi perilaku agitasi yang tidak dapat dikendalikan dengan
pengobatan.
2.7 Mempertahankan terapi sebagai bagian terapi perilaku yang bberkelanjutan
2.8 Mengurangi jumlah stimulasi yang diterima pasien
2.9 Memenuhi permintaan pasien atau keluarga untuk pengendalian perilaku eksternal (
pastikan bahwa tindakan ini telah dikaji dan berindikasi terapeutik )
2.10 Ancaman terhadap integritas fisik berhubungan dengan penolakan pasien untuk
beristirahat, makan dan minum.

3. Pengertian
3.1 Restrain adalah semua metode, fisik atau mekanik untuk membatasi pasien dari
kebebasan bergerak, aktifitas fisik atau akses normal pada badannya sendiri (
JCAHO, 2001 ).
3.2 Restrain adalah alat atau tindakan perlindungan untuk membatasi gerakan atau aktifitas
fisik klien atau bagian tubuh klien.
3.3 Restrain diklasifikasikan menjadi fisikal ( physical ) dan kemikal ( chemical ) restrain :
Fisikal restrain adalah restrain dengan metode manual atau alat Bantu mekanik, atau
alat – alat yang dipasang pada tubuh klien sehingga klien tidak dapat bergerak dengan
mudah dan terbatas gerakannya; kemikal restrain adalah restrain dalam bentuk kimia
neurpleptics, anxioulytic, sedative, dan psikotropika yang digunakanuntuk mengontrol
tingkah laku social yang merusak.
3.4 Pengertian secara internasional : restrain adalah suatu metode atau cara pembatasan
atau restriksi yang disengaja terhadap gerakan atau perilaku seseorang. Dalam hal ini, “
perilaku “ yang dimaksud adalah tindakan yang direncanakan, bukan suatu tindakan
yang tidak disadari atau tidak disengaja atau sebagai suatu reflek.
3.5 suatu tindakan untuk menghambat atau mencegah seseorang melakukan sesuatu yang
diinginkan.
BAB II
TATA LAKSANA

1. Jenis – jenis restrain atau pengikat adalah :


a. Restrain Jaket
Restrain jaket digunakan pada anak dengan tali diikat ke belakang sehingga anak tidak
dapat membukanya. Pita panjang diikatkan ke bagian bawah tempat tidur, menjaga anak
tetap di dlaam tempat tidur. Restrain jaket berguna sebagai sebagai alat mempertahankan
anak pada pososi horizontal yang diinginkan, dan digunakan pada pasien dalam pengaruh
sedatife ( penurunan aktifitas fungsional ).

b. Restrain Mumi atau Bedong


1. Selimut atau kain dibentangkan di atas tempat tidur dengan salah satu ujungnya
dilipatkan ke tengah.
2. Bayi diletakkan di atas selimut tersebut dengan bahu berada dilipatkan dan kaki kea rah
sudut yang berlawanan.
3. Lengan kanan kanan bayi lurus ke bawah rapat dengan tubuh, sis kanan selimut ditarik ke
tengah melintasi bahu kanan anak dan dada diselipkan di bawah sisi tubuh bagian kiri.
4. Lengan kiri anak diletakkan lurus rapat dengan tubuh anak, dan sisi kiri selimut
dikencangkan melintasi bahu dan dada dikunci di bawah tubuh anak bagian kanan. Sudut
bagian bawah dilipat dan ditarik kea rah tubuh dan diselipkan atau dikencangkan dengan
pin pengaman, mummy untuk mencegah gerakan bayi atau anak saat dilakukan tindakan
tertentu.

c. Restrain Lengan dan kaki


Restrain pada lengan dan kaki kadang – kadang digunakan untuk mengimbolisasi satu
ekstremitas atau lebih guna pengobatan atau prosedur, atau untuk memfasilitasi satu
ekstremitas atau lebih guna pengobatan atau prosedur, atau unit untuk memfasilitasi
penyembuhan. Beberapa alat restrain yang ada di pasaran atau yang tersedia, termasuk.
Restrain pergelangan tangan atau kaki sekali pakai, atau restrain dapat dibuat dari
pitakasa, kain muslin, atau stockinette tipis.
Jika restrain jenis ini digunakan, ukurannya harus sesuai dengan tubuh anak, harus
dilapisi bantalan untuk mencegah tekanan yang tidak semestinya, kontriksi atau
ciderajaringan dan pengamatan ekstremitas harus sering dilakukan untuk memastikan adanya
tanda – tanda iritasi dan atau gangguan sirkulasi ujung restrain tidak boleh diikat ke
penghalangtempat tidur, karena jika penghalang tempat tidur diturunkan akan mengganggu
ekstremitas, yang sering disertai sentakan tiba – tiba yang dapat menciderai anak.

d. Restrain Siku
Adalah tindakan mencegah anak menekuk siku atau meraih kepala atau wajah,
kadang – kadangpenting dilakukan pada pasien setelah bedah bibir atau agar anak tidak
menggaruk pada kulita yang terganggu. Bentuk restrain siku yang paling banyak digunakan
terdiri dari seutas kain muslin yang cukup panjang untuk mengikat tepat dari bawah aksila
sampai ke pergelangan tangan dengan sejumlah kantong vertical tempat dimasukkannya
depressor lidah. Restrain dilingkarkan diseputar lengan dan direkatkan dengan plester atau
pin. Sik untuk melindungi siku anak atau bayi yang luka agar tidak terlipat atau disentuh atau
digaruk.

2. Prinsip Penggunaan Alat Pengikat


Dalam menggunakan alat pengikat ( restrain ) harus memperhatikan hal – hal berikut ini :
a. Alat pengikat ini digunakan hanya jika diperlukan pada keadaan dimana pasien
berpotensial membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain.
b. Petugas harus memikirkan bahwa kemungkinan perilaku agresif atau tindak kekerasan
yang dilakukan oleh pasien merupakan gejala – gejala akibat kondisi pasien misalnya
trauma kepala , minum – minuman berakohol, penggunaan psikotropika, gaangguan
metabolic, stress dan gangguan kejiwaan.
c. Penggunaan alat pengikat harus diikuti dengan pengawasan yang adekuat pada tanda –
tanda vital dan tidak diperbolehkan membatasi kemampuan bernapas pasien atau
menekan system vascular saraf.
d. Peralatan pengikat harus berlapis kulit atau berbahan lembut, seperti sabuk pengaman
e. Pada tulang yang menonjol diberikan bantalan
f. Ikatan harus mudah dibuka
g. Lepaskan ikatan 2 – 4 jam sekali, observasi kondisi kulit, latihan ROM, rawat kulit,
h. Usahakan ikatan tidak menarik perhatian, dapat membuat malu klien
i. Dampingi selama pengikatan ( Support Emosi )
j. Amankan restrain dari jangkauan pasien
k. Petugas harus melakukan pemeriksaan tanda – tanda vital pasien
l. Selalu lakukan monitoring pada tubuh yang diikat
m. Berikan obat anti cemas jika diperlukan
n. Petugas selalu perhatikan respon tindakan pengikat tersebut pada pasien
o. Dokumentasikan tindakan yang telah dilakukan
Jaket restrain ini juga bisa digunakan untuk mengamankan lansia atau pasien dengan
kondisi haus menggunakan kursi roda agar tidak jatuh ke depan. Dengan cara yang sama, hanya
saja ini dikaitkan di kursi roda bukan tempat tidur.

b. Baju Restrain
Tata Laksana :
a. Petugas mengeksplorasi perasaan, kecemasan dan ketakutan pasien terlebih dahulu
b. Petugas mengedukasi pasien dan keluarga
c. Pilihlah alat pengikat yang tepat
d. Pegang pundak pasien dan tangan yang agresif, berjalan dibelakang pasien dan tetap
waspada
e. Buka baju dalam posisi “ menyerbu “
f. Pasangkan restrain pada pasien dengan cepat dan tepat
g. Handle tangan pasien ke belakang, seperti orang diborgol
h. Amankan restrain dari jangkauan pasien
i. Petugas harus melakukan pemeriksaan tanda - tanda vital pasien
j. Selalu lakukan monitoring pada tubuh yang diikat
k. Berikan obat anti cemas jika perlu
l. Petugas selalu perhatikan respon tindakan pengikat tersebut pada pasien
m. Dokumentasikan tindakan yang telah dilakukan.

d. Tehnik Elbow Restrain


Definisi : Restrain ini digunakan pada umumnya untuk anak – anak atau bayi guna mencegah
anak menekuk tangan dan mencapai insisi atau alat terapeutik lain yang menempel pada anak.
Contoh kasus : Anak L ( 3 tahun ) selalu bergerak tanpa henti dan menangis terisak – isak. Pada
hari itu perawat N akan memasang infuse, tehnik restrain yang tepat digunakan untuk anak L ?
Dari kasus di atas, restrain yang tepat digunakan adlah Elbow restraint. Elbow restraint akan
mencegah anak L untuk meraih dan menegakkan tangannya sehingga perawat N mampu
menginfus dengan benar serta mengurangi cidera.
Tata Laksana :
a. Petugas mengeksplorasi perasaan, kecemasan dan ketakutan pasien terlebih dahulu.
b. Petugas mengedukasi pasien dan keluarga
c. Pilihlah alat pengikat yang tepat
d. Pegang lengan klien
e. Pasangkan ikatan ke klien
f. Masukkan satu jari sebelum diikat agar tidak terlalu kencang
g. Hindari mengikat restrain pada side rall tempat tidur
h. Amankan restrain dari jangkauan pasien
i. Melakukan pemeriksaan tanda vital ( khususnya pada capillary refill dan pulsasi proximal
di lengan untuk mengetahui sirkulasi pasien )
j. Selalu lakukan monitoring pada tubuh yang diikat
k. Berikan obat anti cemas jika perlu
l. Petugas selalu perhatikan respon tindakan pengikat tersebut pada pasien
m. Dokumentasi tindakan yang telah dilakukan
( tindakan pengikat dengan tehnik Elbow Restraint terlampir )

d. Restrain Ekstremitas
Definisi : Restrain yang digunakan untuk membatasi gerak ekstremitas.
Contoh kasus : Tn W ( 30 th ) berbadan besar dan berotot “ sadis “ tengah kambuh halusinasinya.
Dia mengamuk dan tak henti – hentinya berusaha melukai orang yang berbaju hijau. Apa restrain
yang tepat untuk Tn W ?
Dari kasus di atas, restrain yang tepat digunakan adalah Tehnik restrain ekstremitas. Tehnik
restrain ekstremitas akan menghentikan gerak keempat ekstremitas sehingga tidak dapat melukai
orang lain atau diri sendiri.
Tata Laksana :
a. Petugas mengekspresikan perasaan, kecemasan dan ketakutan pasein terlebih dahulu
b. Petugas mengedukasi pasien dan keluarga
c. Pilihlah alat pengikat yang tepat
d. Amankan pasien dan posisikan pasien ke kasur dalam keadaan tengkurap dengan satu
tangan di belakang sedangkan perawat lainnnya memegangi kaki.
e. Ikat atau berikan restrain dari tangan yang dominant ( paling kuat), tangan berikutnya,
kaki dominant, kemudian kaki berikutnya.
f. Ikat dengan cara membuat simpul clove restrain kemudian ikatkan pada lubang dibawah
tempat tidur
g. Pada saat mengikat gunakan satu jari untuk menahan agar ikatan tidak terlalu kuat
h. Posisi pengikat restrain adalah salah satu tangan berada di atas dan satu tangan
disamping.
i. Hindari mengikat restrain pada side rall tempat tidur
j. Amankan restrain dari jangkauan pasien
k. Sediakan keamanan dan kenyamanan sesuai kebutuhan
l. Melakukan pemeriksaan tanda vital ( khusunya pada capillary refill dari pulsasi proximal
di lengan untuk mengetahui sirkulasi pasien )
m. Selalu lakukan monitoring pada tubuh yang diikat
n. Berikan obat anti cemas jika perlu
o. Petugas selalu perhatikan respon tindakan pengikat tersebut pada pasien
p. Dokumentasikan tindakan yang telah dilakukan
( tindakan pengikat dengan tehnik Restrain Ekstremitas terlampir )

e. Tehnik Mummy Restraint


Definisi : tehnik ini dilakukan untuk bayi agar tidak bergerak dan jatuh atau untuk mengontrol
pergerakkan selama pemeriksaan.
Bentuknya seperti gurita atau grito, bedanya ada 2 lapis, lapisan pertama diikat ke tempat tidur
sedangkan lapisan kedua di ikat ke bayi atau anak ( seperti grito ).
BAB III
DOKUMENTASI

1. Untuk pendokumentasian pemasangan restrain pertama kali dipasang dicatat pada lembar
rekam medis pasien yaitu Catatan Pelayanan.
2. Untuk evaluasi penggunaan restrain dicatat setiap shift jaga perawat selama pasien
menggunakannya dan pencatatannya pada lembar rekam medis pasien ( RM 78 )
BAB IV
PENUTUP

Restrain ( dalam psikiatrik ) secara umum mengacu pada suatu bentuk tindakan
menggunakann tali untuk mengekang atau membatasi gerakan ekstremitas individu yang
berperilaku di luar kendali yang bertujuan memberikan keamanan fisik dan psikologis individu.
Jenis restrain antara lain restrain jaket, restrain mumi atau bedong, restrain lengan dan kaki serta
restrain siku. Tujuan dilakukannya restrain antara lain untuk membantu dalam pelaksanaan uji
diagmostik dan prosedur terapeutik.
Jika seseorang anak harus direstrain, beri penjelasan kepada orang tua tentang alas an
penggunaan restrain tersebut. Hal yang paling penting adalah menyakinkan anak bahwa restrain
tersebut bukan merupakan suatu hukuman. Orang tua perlu mengetahui bagaimana cara
memasang dan melepaskan restrain, dan tanda – tanda komplikasi dari penggunaannya.
Panduan ini disusun untuk menjadi acuan dalam aplikasi restrain yang sesuai dengan
prosedur di Rumah Sakit Natar Medika. Tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan
dalam pembuatan panduan ini, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi.
Tim penyusun banyak berharap pada para pembaca memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada tim penyusun demi kesempurnaan panduan di kesempatan berikutnya.
Semoga panduan ini berguna bagi tim Pelayanan Pasien di Ruamh Sakit Natar Medika pada
khususnya juga untuk para pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI dan Kepolisian NegaraRI (2004), Pedoman Penatalaksanaan


Identifikasi Korban Mati Pada Bencana Massal Departemen Kesehatan RI.

Republik Indonesia (1998), Petunjuk Pelaksanaan IndikatorMutu Pelayanan Rumah Sakit.


Jakarta : Direktorat Jendral Layanan Medis.

Sastroasmoro S, Madiyono B (1991). Tetralogi Fallot. Dalam MArkum AH, Ismael s, Alatas
H ( Eds ), Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Jakarta : BAgian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI.

Trisnohadi HB. (1996). Kelainan Gangguan Irama Jantung yang Spesifik. Dalam Sjaifoellah
N, Waspadji S, RAchman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H. (Eds) Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak Jilid I, edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Trisnohadi HB (2000). Syok kardiogenik. Prosiding Simposium PenatalaksanaanKedaruratan di


Bidang Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan IlmuBAgian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.

Anda mungkin juga menyukai