Anda di halaman 1dari 16

METODE KUANTITATIF DIALEKTOMETRI DALAM REKONSTRUKSI

BAHASA
Tugas Mata Kuliah Dialektologi

Oleh
1. Desy Yunita Sari 121611133069
2. Taufin Arifiyah 121611133070
3. Arini Azizah H. 121611133071
4. Ika Rahma M.Y. 121611133074
5. Yunika Aprilia 121611133075
6. Nur Rochimah Ainin 121611133077
7. Dini Salvida 121611133081
8. Nur Rizky R. 121611133085
9. Saflanadia Putri R. 121611133099
Kelompok 6
Kelas A

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
kami panjatkan puji syukur atas kehadiran-Nya, yang telah melimpahkan rahmat-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Metode
Kuantitatif Dialektometri Dalam Rekonstruksi Bahasa” dengan tepat waktu.
Makalah ini telah kami susun dengan sebaik-baiknya. Kami ucapkan terima kasih
kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas makalah kami.
Kami menyadari bahwa makalah yang telah kami buat tidak lepas dari kekurangan. Maka
dari itu, kami menerima segala saran dan kritik oleh pembaca.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah yang kami bahas dapat berguna dan
bermanfaat bagi pembaca.

Surabaya, 16 November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang........................................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................. 2

1.3 Tujuan ..................................................................................................................... 2

1.4 Manfaat ................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................ 3

2.1 Definisi Dialektologi .............................................................................................. 3

2.2 Definisi Dialektometri ............................................................................................ 3

2.3 Tahapan Penelitian Dialektometri .......................................................................... 4

2.4 Penghitungan Dialektometri ................................................................................... 6

2.5 Contoh Penelitian Dialektometri ............................................................................ 8

BAB III PENUTUP ...................................................................................................... 11

3.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak sekali bahasa daerah, Grimes
(1988) menyebutkan bahwa bahasa di Indonesia tidak kurang dari 672 bahasa (dalam
Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia). Salah satu bidang bahasa yang dapat
memperlihatkan perbedaan bahasa daerah dengan daerah lainnya berdasarkan tempat atau
lokasi tuturan adalah dialektologi. Penelitian bidang linguistik interdisipliner ini masih
sangat sedikit jumlahnya. Hal tersebut diketahui dari banyaknya bahasa daerah yang ada
di Indonesia, tetapi dialektologi hanya sebanyak 140 penelitian dari tahun 1951 sampai
2007 (Lauder, 2007: 48).
Pada bidang dialektologi ada banyak sekali bahasa daerah di Indonesia yang
belum didokumentasikan. Dokumentasi bahasa berupa pencatatan aspek fonologis,
morfologis, sintaksis, dan lain sebagainya. Pencatatan satu aspek saja dari bahasa daerah
tersebut sudah dapat dikatakan sebagai kegiatan dokumentasi bahasa (Budiono, 2015: 3).
Dialektologi sendiri ialah bidang ilmu tentang dialek atau cabang linguistik mengenai
variasi bahasa sebagai struktur yang utuh. Variasi pada bahasa disebabkan beberapa
faktor, seperti halnya letak geografis, idiolek (variasi bahasa yang dimiliki perseorangan),
serta dialek (bahasa yang digunakan oleh sekelompok masyarakat suatu tempat (wilayah)
(Ayatroehadi, 1983).
Meskipun banyak sekali aspek bahasa pada masing-masing bahasa serta jumlah
bahasa daerah yang begitu besar, penelitian dialektologi masih sangat sedikit sekali. Hal
ini yang menyebabkan peneliti selanjutnya lebih tertarik pada penelitian tersebut dengan
menggunakan dialektometri untuk menghitung pemetaan pada setiap variasi-variasi
bahasa pada daerah masing-masing bahkan pada dialek yang digunakan pada daerah
tersebut. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai penelitian menggunakan dialektometri
akan dijelaskan pada makalah ini.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diambil rumusan masalah
sebagai berikut.
1. Apakah definisi dialektologi?
2. Apakah definisi dialektometri?
3. Bagaimanakah tahapan penelitian dialektometri?
4. Bagaimanakah penghitungan dialektometri?
5. Bagaimanakah contoh penelitian dialektometri?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan definisi dialektologi.
2. Mendeskripsikan definisi dialektometri.
3. Mendeskripsikan tahapan penelitian dialektometri.
4. Mendeskripsikan penghitungan dialektometri.
5. Mendeskripsikan contoh penelitian dialektometri.
1.4 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Menambah wawasan/pengetahuan pembaca mengenai penelitian
menggunakan metode dialektometri.
2. Agar makalah ini dapat digunakan untuk referensi penelitian yang sejenis.

2
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Definisi Dialektologi
Istilah dialektologi berasal dari kata dialect dan logi. Kata dialect berasal dari
bahasa Yunani, dialektos. Kata dialektos digunakan untuk menunjuk pada keadaan
bahasa di Yunani yang memperlihatkan perbedaan-perbedaan kecil dalam bahasa
yang mereka gunakan. Adapun kata logi berasal dari bahasa Yunani, logos yang
berarti ‘ilmu.’ Gabungan dari kedua kata ini beserta artinya membawa pengertian
dialektologi sebagai ilmu yang mempelajari suatu dialek dari suatu bahasa dan dapat
pula mempelajari dialek-dialek yang ada dalam suatu bahasa.
Pendapat mengenai tataran penelitian dialektologi dikemukakan oleh Lauder
(2007) yang menyatakan bahwa titik pusat perhatian penelitian dialektologi
dicurahkan pada unsur leksikon. Daftar pertanyaan yang dibentuk berdasarkan tataran
leksikon akan dapat memunculkan gejala fonologis dan morfologis sekaligus. Oleh
karena itu, tataran leksikon dianggap sebagai ruang lingkup yang tepat digunakan
dalam penelitian dialektologi.
2.2 Definisi Dialektometri
Metode dialektometri merupakan ukuran statistik yang digunakan untuk
melihat berapa jauh perbedaan dan persamaan pada daerah daerah yang diteliti
dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari tempat yang diteliti
tersebut. Hasil yang diperoleh dalam metode dialektometri berupa persentase jarak
unsur-unsur kebahasaan di antara daerah-daerah pengamatan itu, yang menentukan
hubungan daerah-daerah pengamatan tersebut dengan kriteria-kriteria yang telah
ditentukan.
Dialektometri untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh ahli ilmu bahasa E.
Bagby Atwood pada tahun 1995, sedangkan istilah dialectometrie, diperkenalkan
oleh Jean Seguy dalam bukunya yang berjudul La Dialectometri dans l’atlas
Linguistique de la Gascogne. Istilah ini dibentuk dengan beranalogi pada istilah
ekonometri dalam ilmu ekonomi. Menurut Revier dalam Mahsun (1995: 118)
dialektometri merupakan ukuran statistik yang dipergunakan untuk melihat berapa
jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat pada tempat-tempat yang diteliti
dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari daerah pengamatan.

3
Sebuah bahasa terkadang terdiri atas beberapa dialek. Perbedaan variasi dalam
tataran dialek lebih sedikit dibandingkan dengan perbedaan variasi pada tataran
bahasa. Dalam kajian dialektometri, bahasa dan dialek memiliki jarak persentase
yang berbeda, yaitu 81-100% (beda bahasa) dan 51-80% (beda dialek) (Guiter, dalam
Ayatroehadi, 1979: 31).
Kajian dalam geografi dialek dilakukan dengan melalui beberapa tahapan,
yaitu:
1. mengumpulkan kosakata dasar bahasa-bahasa yang akan diteliti dengan
menggunakan suatu daftar kosakata,
2. memisahkan morfem-morfem terikat dari morfem-morfem bebas (morfem-
morfem terikat tidak dianalisis),
3. mengeluarkan kata-kata jadian dan pinjaman,
4. mendaftarkan ragam dialek bahasa yang diteliti,
5. menentukan variasi unsur kosakata bahasa yang diteliti dengan rumus
dialektometri, dan
6. membuat pemetaan variasi dialek bahasa yang diteliti.
Penghitungan dialektometri dilakukan untuk menentukan tingkat perbedaan
dan persamaaan antarabahasa, dialek atau subdialek. Usaha untuk menemukan cara
pemilahan bahasa masih terus dilakukan, namun sejauh ini nampaknya dialektometri
dianggap masih mampu melakukan pemilahan bahasa secara objektif.
2.3 Tahapan Penelitian Dialektometri
Penghitungan dialektometri dilakukan untuk menentukan tingkat perbedaan
dan persamaaan antarabahasa, dialek atau subdialek. Kajian dalam geografi dialek
dilakukan dengan melalui beberapa tahapan, yaitu:
1. mengumpulkan kosakata dasar bahasa-bahasa yang akan diteliti dengan
menggunakan suatu daftar kosakata,
2. memisahkan morfem-morfem terikat dari morfem-morfem bebas (morfem-
morfem terikat tidak dianalisis),
3. mengeluarkan kata-kata jadian dan pinjaman,
4. mengklasifikasikan ragam dialek bahasa yang diteliti,
5. menentukan variasi unsur kosakata bahasa yang diteliti dengan rumus
dialektometri, dan

4
6. membuat pemetaan variasi dialek bahasa yang diteliti.
Analisis bahasa yang diperbandingkan antartempat itu adalah analisis fonologi,
morfologi, kosakata, sintaksis, morfosintaksis, dan morfonologi. Agar perhitungan
lebih mudah dari setiap anasir disiapkan 100 buah peta. Dengan memperhitungkan
jumlah bedanya masing-masing yang dikalikan dengan 100 lalu dibagi jumlah nyata
peta yang dibandingkan. Dengan rumus sederhana, diperoleh persentase jarak antara
dialek tersebut untuk menentukan perbedaan bidang leksikon dan perbedaan bidang
fonologi (Guiter, dalam Mahsun, 1995).
Penghitungan dialektometri dilakukan dengan dua cara, yaitu: (a) segitiga
antardaerah pengamatan dan (b) permutasian antardaerah pengamatan.
Untuk menghitung dengan segitiga antardaerah pengamatan dilakukan dengan
ketentuan-ketentuan berikut.
1) Daerah pengamatan yang diperbandingkan hanya daerah pengamatan yang
berdasarkan letaknya masing-masing mungkin melakukan komunikasi.
2) Setiap daerah yang mungkin berkomunikasi secara langsung dihubungkan
dengan sebuah garis sehingga diperoleh segitiga yang beragam bentuknya.
3) Garis-garis segitiga pada segitiga dialektometri tidak boleh saling berpotongan.
Pilih salah satu kemungkinan saja, dan sebaliknya dipilih yang berdasarkan
letaknya lebih dekat satu sama lain.
Selanjutnya, penerapan dialektometri baik dengan segitiga antardaerah
pengamatan maupun dengan permutasian antardaerah pengamatan dilakukan dengan
berpegang pada prinsip-prinsip umum berikut.
1) Apabila pada daerah pengamatan dikenal lebih dari satu bentuk untuk satu
makna dan salah satu di antaranya dikenal di daerah pengamatan lain yang
diperbandingkan, maka perbandingan itu dianggap tidak ada.
2) Apabila di daerah pengamatan yang diperbandingkan itu salah satu di antaranya
tidak memiliki bentuk sebagai realisasi suatu makna tertentu, maka dianggap ada
perbedaan.
3) Apabila daerah pengamatan yang diperbandingkan itu semua tidak memiliki
bentuk sebagai realisasi dari satu makna tertentu, maka daerah pengamatan itu
dianggap sama.

5
4) Dalam penghitungan dialektometri pada tataran leksikon, perbedaan fonologi,
morfologi yang muncul harus dikesampingkan.
5) Hasil penghitungan itu dipetakan dengan sistem konstruksi “polygons de
Thiessen” pada peta segitiga dialektometri.
6) Perbedaan kriteria persentase yang digunakan di daerah pengamatan sebagai
kelompok bahasa, dialek, subdialek yang berbeda untuk bidang fonologi dengan
bidang leksikon. Persentase untuk bidang fonologi lebih kecil dibandingkan
dengan persentase di bidang leksikon (Mahsun, 1995). Menurut Guiter (1973),
kecilnya persentase untuk bidang fonologi itu dikarenakan satu perbedaan pada
bidang fonologi dapat terrefleksi pada perbedaan beberapa bentuk untuk
beberapa makna.
2.4 Penghitungan Dialektometri
Guiter (dalam Mahsun, 1995: 118 dan Mahsun, 2010: 48-50) menyatakan
rumus dialektometri dan pembagian persentase jarak unsur-unsur kebahasaan seperti di
bawah ini.
s Xd%
= d%
n
s : jumlah beda leksikon antar titik pengamatan
n : jumlah peta leksikon yang diperbandingkan
d % : jarak linguistik dalam persentase
Penghitungan dialektometri di atas akan menghasilkan sebuah persentase yang
dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok. Kelompok tersebut dapat
menghasilkan sebuah pemilahan bahasa, apakah daerah yang dihitung tersebut
merupakan daerah yang memiliki perbedaan dari segi wicara, subdialek, dialek, atau
bahasa.
Penghitungan Guiter:
81% ke atas : dianggap perbedaan bahasa
51-80% : dianggap perbedaan dialek
31-50% : dianggap perbedaan sub dialek
21-30% : dianggap perbedaan wicara
20% ke bawah : dianggap tidak ada perbedaan

6
Namun Lauder dalam Ayatroehadi (2002: 12) mengusulkan pengelompokan
hasil penghitungan dialektometri yang berbeda dari Guiter. Lauder mengusulkan
bahwa hasil di atas 70% dianggap sebagai perbedaan bahasa. Selanjutnya, hasil
penghitungan antara 51-70% dianggap sebagai perbedaan dialek. Kemudian, hasil
penghitungan dialektometri sebesar 41-50% dianggap sebagai perbedaan subdialek.
Berikutnya, hasil yang diperoleh antara 31-40% dianggap sebagai perbedaan wicara,
sedangkan perbedaan di bawah 30% dianggap tidak ada. Perubahan yang banyak
terjadi dalam bahasa-bahasa itu tidak berlangsung secara teratur lebih banyak bersifat
sporadis (tidak teratur) daripada perubahan yang bersifat teratur (korespondensi).
Menurut Lauder, perbedaan hasil penghitungan tersebut disebabkan kondisi
kebahasaan Indonesia yang sangat beragam sehingga pengelompokan hasil
penghitungan Guiter tidak akan sesuai bila digunakan di Indonesia.
Pandangan Lauder tersebut mungkin melihat kategori penentuan status bahasa,
dialek, atau subdialek berdasarkan analisis kuantitatif dialektometri ada kaitannya
dengan kategori penentuan berdasarkan pemahaman timbal balik (mutual
intelligibility). Selain itu, filosofi penentuan titik krusial yang menjadi batas
pemilahan isolek-isolek itu sebagai bahasa yang sama atau bahasa yang berbeda, baik
dalam leksikostatistik maupun dialektometri adalah 80%. Angka tersebut diperoleh
dari kajian terhadap perubahan berbagai bahasa di dunia barat yang memiliki
dokumen naskah kuno yang berusia lebih dari 1000 tahun.
Untuk mengidentifikasi varian dalam suatu bahasa, pendekatan yang cocok
digunakan adalah pendekatan secara dialektologis. Dialektologi mendasarkan diri
pada penelusuran perbedaan antarisolek yang diperbandingkan, mengidentifikasi
isolek yang berstatus bahasa ke dalam bahasa yang berbeda, dan mengidentifikasi
varian dalam satu bahasa sebagai dialek, subdialek, atau beda wicara. Adapun
leksikostatistik mendasarkan diri pada penelusuran persamaan (historis) antarisolek
yang diperbandingkan dan mengidentifikasi apakah isolek tersebut merupakan
bahasa yang sama, keluarga bahasa, atau rumpun bahasa sampai ke tingkat relasi
historis yang paling kuno (makrofilum) (Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa, 2018: 7)

7
Leksikostatistik Dialektometri
Persentase Kategori Persentase Kategori
81-100% Bahasa (language) 81-100% Beda bahasa
37-80% Keluarga (family) 51-80% Beda dialek
12-36% Rumpun (stock) 31-50% Beda subdialek
4-11% Mikrofilum 21-30% Beda wicara
1-3% Mesofilum ≤ 20% Tidak ada
perbedaan
≤ 1% Makrofilum - -

2.5 Contoh Penelitian Dialektometri


Berikut penjabaran penggunaan metode dialektometri pada penelitian Susiati
dan Risman Iye dalam judul penelitian “Kajian Geografi Bahasa dan Dialek di
Sulawesi Tenggara: Analisis Dialektometri.”
Dengan menggunakan rumus yang diajukan oleh Seguy-Guyder (Lauder,
2001), diperoleh peta dasar segitiga dialektometri dari kelima kabupaten, yaitu: 1.
Kabupaten Wakatobi (dialek Kaledupa dan dialek Tomia), 2. Kabupaten Buton
Selatan (bahasa CiaCia), 3. Kabupaten Buton Tengah (bahasa Pancana), 4.
Kabupaten Buton Utara (Kioko), dan 5. Kabupaten Konawe Utara dan Konawe
Selatan (bahasa Tolaki). Dengan rincian dialek dan bahasa sebagai berikut: 1. Bahasa
Wakatobi dialek Kaledupa, 2. Bahasa Wakatobi dialek Tomia, 3. Bahasa Cia-Cia, 4.
Bahasa Pancana, 5. Bahasa Kioko, dan 6. Bahasa Tolaki.

8
Peta bahasa Sulawesi Tenggara

Kemudian dilakukan analisis dalam memperoleh perbedaan dengan titik


perbandingan bahasa-bahasa. Berikut adalah hasil jumlah perbedaan pada enam titik
pengamatan.

Setelah didapatkan jumlah perbedaan yang ada, maka bisa dilanjutkan pada
tahap selanjutnya yaitu perhitungan menggunakan rumus dialektometri hasilnya
sebagai berikut.

9
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Dialektologi adalah ilmu yang mempelajari suatu dialek dari suatu bahasa dan
dapat pula mempelajari dialek-dialek yang ada dalam suatu bahasa. Sementara
metode dialektometri merupakan ukuran statistik yang digunakan untuk melihat
berapa jauh perbedaan dan persamaan pada daerah daerah yang diteliti dengan
membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari tempat yang diteliti tersebut.
Hasil yang diperoleh dalam metode dialektometri berupa persentase jarak unsur-
unsur kebahasaan di antara daerah-daerah pengamatan itu, yang menentukan
hubungan daerah-daerah pengamatan tersebut dengan kriteria-kriteria yang telah
ditentukan.
Penghitungan dialektometri dilakukan dengan dua cara, yaitu: (a) segitiga
antardaerah pengamatan dan (b) permutasian antardaerah pengamatan. Di dalam
penghitungan Guiter jika hasilnya 81% ke atas maka dianggap perbedaan bahasa, 51-
80% dianggap perbedaan dialek, 31-50% dianggap perbedaan sub dialek, 21-30%
dianggap perbedaan wicara, dan 20% ke bawah dianggap tidak ada perbedaan.
Sebagai contoh penelitian dialektometri, maka diambil judul pada penelitian
Susiati dan Risman Iye yaitu “Kajian Geografi Bahasa dan Dialek di Sulawesi
Tenggara: Analisis Dialektometri.” Dengan menggunakan rumus yang diajukan oleh
Seguy-Guyder diperoleh peta dasar segitiga dialektometri dari kelima kabupaten,
yaitu: 1. Kabupaten Wakatobi (dialek Kaleduapa dan dialek Tomia), 2. Kabupaten
Buton Selatan (bahasa CiaCia), 3. Kabupaten Buton Tengah (bahasa Pancana), 4.
Kabupaten Buton Utara (Kioko), dan 5. Kabupaten Konawe Utara dan Konawe
Selatan (bahasa Tolaki). Dengan rincian dialek dan bahasa sebagai berikut: 1. Bahasa
Wakatobi dialek Kaledupa, 2. Bahasa Wakatobi dialek Tomia, 3. Bahasa Cia-Cia, 4.
Bahasa Pancana, 5. Bahasa Kioko, dan 6. Bahasa Tolaki.

11
DAFTAR PUSTAKA

Ayatroehadi. 1979. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan


dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

__________. 1983. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan


Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Bab II Kajian Pustaka, Konsep Penelitian, Landasan Teori, dan Model Penelitian.
http://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/a9e0a9bf4288bccd9dd60760be1f2f
57.pdf. Diakses pada Tanggal 15 November.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2018. Pedoman Penelitian Pemetaan


Bahasa. Jakarta: Badan Bahasa.

Budiono, Satwiko. 2015. “Variasi Bahasa di Kabupaten Banyuwangi: Penelitian


Dialektologi”. Skripsi. Belum Diterbitkan. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya.
Universitas Indonesia: Depok.

Dialektologi. Bab II Kerangka Teori dan Tinjauan Pustaka. Sumatera Utara: Universitas
Sumatera Utara.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/66441/Chapter%20II.pdf
?sequence=4&isAllowed=y. Diakses pada Tanggal 15 November.

Guiter, Hendri. 1973. “Atlas et Frontoere Linguistique”. Orf: 61-109.

Iye, Risman & Susanti. 2018. “Kajian Geografi Bahasa dan Dialek di Sulawesi Tenggara:
Analisis Dialektometri.” Gramatika, 6(2): 139.

Lauder, Multamia RMT. 2007. Sekilas Mengenai Pemetaan Bahasa. Jakarta: Akbar
Media Eka Sarana.

Mahsun. 1995. “Penelitian Dialek Geografis Bahasa Sumbawa.” Yogyakarta: Universitas


Gadjah Mada.

______. 1995. Dialektologi Diakronis: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Pamolango, Valantino Ateng. 2012. “Geografi Dialek Bahasa Saluan.” Parafrase 12(2):
7-20. http://jurnal.untag-sby.ac.id/index.php/parafrase/article/viewFile/217/212.
Diakses pada Tanggal 15 November.

Patriantoro, dkk. 2012. “Dialektologi Bahasa Melayu di Pesisir Kabupaten Bengkayang.”


Kajian Linguistik dan Sastra. 24(1): 106.

Revier, Xavier. 1973. “L’Incidence Maximale du Fait Dialectal,” Les Dialectes Romans
de France. Paris: Central National de la Recherche Scientifique. No. 930: 43-59.
Seguy, Jean. 1973. “La Dialectometrie dans l’Atlas Linguistique de la Gascogne,”
Revue e Linguistique Romane. Vol. 37: 1-24.

Sugono, Dendy. 2008. Bahasa dan Peta Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional.

Tim Pemetaan Bahasa. 2018. Pedoman Penelitian Pemetaan Bahasa. Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/default/files/Pedoman%2
0Penelitian%20Pemetaan%20Bahasa.pdf. Diakses pada Tanggal 15 November.

Anda mungkin juga menyukai