Anda di halaman 1dari 60

KONTROL POSTURAL

BAB 1

PENDAHULUAN

Keterampilan motorik yang baik berhubungan dengan kontrol

postural yang baik. Kontrol postural adalah kemampuan untuk

menyesuaikan posisi tubuh relatif terhadap gravitasi menggunakan

mekanisme keseimbangan yang tepat untuk stabilisasi dan orientasi.

Kontrol postural diperlukan dalam semua aspek gerakan fungsional

sebagai dasar keseimbangan postural untuk mengontrol dan

membuat gerakan menjadi efisien (Syatibi, 2014).

Sistem kontrol postural memiliki dua fungsi utama: yang

pertama mempertahankan postur tegak melawan gravitasi dan

menjaga keseimbangan, kedua adalah menstabilkan orientasi dan

posisi segmen yang berfungsi sebagai kerangka acuan untuk

persepsi dan tindakan eksternal. Fungsi pengendalian sikap ini

didasarkan pada empat komponen. Artinya, nilai referensi

berdasarkan orientasi segmen tubuh dan lokasi pusat massa, yang

dikenal sebagai model tubuh internal atau skema pose. Masukan

multisensor untuk orientasi dan stabilisasi segmental. Prediksi respon

postural atau rebalancing setelah gangguan, dan stabilisasi postural

selama gerakan sukarela (Massion et al., 1994).

Inti dari regulasi postural adalah interaksi dengan kekuatan

eksternal: gravitasi, mekanika tubuh, kekuatan neuromuskular, dan

input multisensor ke ruang eksternal dalam bentuk vektor gravitasi

vertikal dari visi, labirin, proprioception, dan somatosensori (Massion

et al., 1994). Ketiga sistem ini menciptakan sistem seperti lingkungan


di sistem saraf pusat yang disebut model internal. Model internal

memetakan ruang sekitarnya, fitur tubuh, dan interaksi yang dapat

berperan dalam pembelajaran motorik (Brandt et al., 1999, Jordan et

al., 1999).

Orientasi spasial terhadap gravitasi penting untuk

mempertahankan postur tegak, berjalan, dan sebagian besar

aktivitas motorik (Mazibrada et al., 2008). Orientasi spasial

dimodulasi oleh input dari sistem visual, vestibular, dan

somatosensori yang halus (Alrwaily et al., 2019). Karena ketiga

sistem ini mengintegrasikan dan memproses informasi aferen pada

tingkat batang otak dan hemisfer, gangguan sistem terintegrasi pusat

dan perifer dapat menyebabkan persepsi abnormal orientasi dan

vertikalitas tubuh (Mazibrada et al., 2008).

Kontrol postural berkembang dengan perkembangan motorik.

Pada awal perkembangan, anak-anak mengintegrasikan

perkembangan motorik seperti berguling, merangkak, merayap, dan

berjalan. Pada tahun pertama, anak-anak mampu mencapai stabilitas

postural yang cukup untuk berdiri dan melawan gravitasi (Murphy et

al., 2003). Kontrol postural yang baik membutuhkan kekuatan dan

kontrol otot untuk menghasilkan pola kontraktil yang dinamis dalam

respon keseimbangan yang baik (Wang et al. 2011).

Aktivitas motorik terdiri dari refleks terintegrasi dan aktivitas

volunter dari vertebrae, medula oblongata, midbrain, dan korteks

cerebri. Input ke neuron motorik mengatur tiga fungsi yang berbeda,

yaitu, menghasilkan aktivitas volunter, mengoordinasikan postur tubuh

sesuai gerakan, dan mengoordinasikan kerja otot yang berbeda untuk

membuat gerakan yang halus dan tepat. Pola aktivitas volunter


direncanakan di otak untuk terus menerus menyesuaikan postur

sebelum dan sesudah latihan. Untuk melakukan gerakan volunter,

korteks motorik harus merencanakan gerakan, menempatkan gerakan

yang sesuai pada berbagai sendi yang terlibat, dan mengoordinasikan

gerakan dengan membandingkan keadaan saat ini yang diperoleh

dari perencanaan dan umpan balik. Aktivitas motorik ini juga bekerja

paling baik bila gerakan dilakukan berulang-ulang. Hal ini terkait

dengan mekanisme pembelajaran motorik yang melibatkan plastisitas

sinaptik (Avanzino et al., 2015).

Performa motorik yang baik juga ditentukan oleh reaksi

optimal terhadap gangguan eksternal dan internal. Gangguan

eksternal muncul dari kondisi lingkungan seperti gravitasi, gaya

reaksi yang diciptakan oleh lokasi, percepatan, dan hambatan.

Gangguan internal dihasilkan dari kondisi intrinsik tubuh, termasuk

geometri bagian tubuh, sifat inersia bagian tubuh, dan kontraksi otot

(Massion et al., 1992). Dalam kontrol motorik ada beberapa

mekanisme yang digunakan tubuh untuk mempertahankan referensi

terhadap gangguan eksternal atau internal. Reference value

merupakan posisi bagian tubuh seperti lengan, batang tubuh, kaki,

atau seluruh tubuh untuk mempertahankan postur. Reference value

dapat menjadi parameter abstrak dalam arti penyesuaian

keseimbangan. Ada tiga kriteria yang terlibat dalam kontrol postural:

egosentris, eksosentris, dan geosentris (Massion et al., 1992, diFabio

et al., 1997).

Penyesuaian sikap statis dan dinamis juga terkait dengan

mekanisme feedforward dan feedback. Kedua jenis ini bekerja pada

mekanisme yang berbeda untuk mengontrol komponen penggerak


yang berbeda dalam kondisi sebelum dan selama pergerakan.

Kontrol ini dilakukan secara terus menerus, termasuk sistem visual,

vestibular dan somatosensori, dengan mempertimbangkan nilai

referensi sebagai acuan untuk menjaga vertikalitas. Melalui

mekanisme regulasi, tubuh juga menerapkan berbagai strategi untuk

mencapai keadaan ekuilibrium (Chiba et al., 2016).

Gangguan pada kontrol postural menjadi permasalahan yang

banyak ditemui oleh pasien stroke, cerebral palsy, gangguan

muskuloskeletal, gangguan sensoris, dan gangguan keseimbangan.

Tinjauan kepustakaan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman

tentang konsep dasar mengenai kontrol postural dalam fisiologi dan

mekanisme gangguan pada kontrol postural.


BAB 2

ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM MOTORIK

2.1 Sistem Neurologis pada Kontrol Motorik

Pusat tertinggi dalam kontrol pergerakan adalah korteks

serebri dengan cara mentransmisikan impuls melewati traktus

piramidalis ke nukleus nervus kranialis motorik ke sel – sel kornu

anterior medulla spinalis. Sistem piramidalis berperan dalam

gerakan volunter, sedangkan sistem ekstrapiramidal merupakan

jalur antara korteks serebri, basal ganglia, batang otak, dan medulla

spinalis yang keluar dari traktus piramidalis. Traktus ini berfungsi

dalam mempertahankan tonus otot, gerakan kasar, dan perencanaan

suatu gerakan (Baehr et al., 2012).

2.1.1 Korteks Motorik

Impuls motorik untuk gerakan volunter berasal dari gyrus

precentral pada lobus frontalis, yaitu pada area Broadmann 4 dan

area korteks di sekitarnya. Impuls motorik akan berjalan melewati

traktus kortikonuklear dan kortikospinal atau traktus piramidalis lewat

brainstem dan ke anterior horn dari spinal cord (Baehr et al., 2012).

2.1.2 Traktus Piramidalis

Traktus piramidalis merupakan jalur jalur antara primary

motor area dan anterior horn dari neuron motorik. Traktus piramidalis

berasal dari korteks motorik dan berjalan melalui cerebral white

matter atau corona radiata, bagian posterior dari corona radiata,

bagian posterior dari capsula interna, bagian sentral dari cerebral


peduncle (crus cerebri), pons, dan bagian anterior dari medulla. Pada

akhir medulla, 80 – 85% dari serabut piramidalis bersilangan pada

sisi kontralateral pada decussasio pyramidalis. Traktus yang menuju

ke spinal cord dapat dibedakan menjadi traktus kortikospinalis

anterior dan lateralis (Baehr et al., 2012).

Gambar 2.1 Traktus Piramidalis (Baehr et al., 2012).

2.1.3 Sistem Ekstrapiramidal

Sistem ekstrapiramidalis merupakan suatu sistem fungsional

yangbterdiri dari kortikal, striata (basal ganglia) dan tegmental

(mesencephalon). Fungsi utama dari sistem ekstrapiramidalis

berhubungan dengan pengaturan sikap tubuh dan integrasi otonom

(Baehr et al., 2012).


Traktus ekstrapiramidal berperan dalam menjaga postur dan

meregulasi fungsi motorik volunter dan involunter dengan mengatur

tonus postural, refleks, dan gerakan otomatis. Mekanisme regulasi

melibatkan pemrosesan sentral pada area di otak, seperti korteks

serebri, cerebellum, thalamus, substansia retikuler, dan beberapa

bagian basal ganglia (Caminero et al., 2020).

Traktus ekstrapiramidal merupakan sekelompok nukleus dan

traktus yang menerima impuls dari korteks serebri dan

mengirimkannya ke brainstem dan spinal cord, secara fungsional

bekerja sebagai complex motor – modulation system. Traktus

ekstrapiramidal terdiri dari beberapa traktus dan nukleus, antara lain

traktus reticulospinal, vestibulospinal, dan rubrospinal. Traktus

retikulospinal memberikan proyeksi di funiculus anterior yang

terdapat neuron motorik alfa dan gamma dari otot ekstensor. Traktus

vestibulospinal berakhir pada neuron motorik anggota gerak yang

menginervasi otot – otot tubuh bagian atas, khususnya otot leher dan

tubuh bagian depan sehingga traktus ini berperan penting dalam

menjaga postur tegak. Traktus tekstospinal berperan dalam fungsi

orientasi kepala, leher, mata, dan ekstremitas atas (Caminero et al.,

2020).
Gambar 2.2 Traktus Ekstrapiramidalis (Baehr et al., 2012).

2.1.4 Ganglia Basalis

Ganglia basalis merupakan bagian dari sistem motorik yang

memiliki 3 nukleus utama yaitu nukleus kaudatus, putamen, dan

globus palidus yang terletak pada white matter subkortikal

telensepalon. Ketiga inti ini saling terhubung satu sama lain pada

complex regulatory circuits dan memiliki efek eksitasi dan inhibisi

pada korteks motorik. Sirkuit ini memainkan peran penting dalam

inisiasi dan modulasi pergerakan, serta kontrol tonus otot (Baehr et

al., 2012).

Gambar 2.3 Ganglia basalis (Baehr et al., 2012)

2.1.5 Serebelum
Serebelum merupakan organ pusat yang berfungsi untuk

kontrol motorik halus dari sistem sensorik terutama vestibular dan

proprioseptif. Secara fungsional, serebelum dibagi menjadi tiga

komponen yaitu vestibulocerebellum, spinocerebellum, dan

cerebrocerebellum. Vestibulocerebellum menerima input aferen

terutama dari organ vestibular dan berfungsi untuk mengatur

keseimbangan. Spinocerebellum memproses impuls proprioseptif

serta mengontrol sikap dan pola jalan. Cerebrocerebellum

mempunyai hubungan fungsional dengan korteks motorik dari

telencephalon dan bertanggungjawab dalam eksekusi gerakan halus

yang mulus dan presisi (Baehr et al., 2012).

Gambar 2.4 Serebelum (Baehr et al., 2012).

2.2 Sistem Informasi Sensoris pada Kontrol Motorik

Sistem informasi sensoris meliputi visual, vestibular dan

somatosensoris.

2.2.1 Visual

Sistem visual (penglihatan) memegang peranan penting

dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, memberikan otak


dengan informasi tentang posisi tubuh relatif terhadap lingkungan

berdasarkan sudut dan jarak ke benda-benda di sekitarnya. Tubuh

manusia dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan melalui

input visual. Sistem visual memberikan informasi ke otak, dan otak

memberikan informasi ke sistem muskuloskeletal, seperti otot dan

tulang, bekerja secara sinergis untuk menjaga keseimbangan dalam

tubuh (Watson & Black, 2008).

2.2.2 Vestibular

Sistem vestibular memainkan peran penting dalam

keseimbangan, gerakan kepala, dan gerakan mata. Sistem vestibular

meliputi organ-organ telinga bagian dalam, termasuk kanalis

semisirkularis, ampula, sakulus, utrikulus, dan saraf vestibular (Kahle

& Frotscher, 2003). Sistem ini terkait dengan sistem visual dan

pendengaran yang merasakan orientasi dan gerakan kepala.

Ganglion vestibular terletak di dasar saluran pendengaran

internal dan terdiri dari bagian atas dan bawah. Bagian atas

menopang puncak ampula kanalis semisirkularis anterior dan kanalis

semisirkularis lateral, kemudian utrikulus-makula dan kapsul-makula.

Neuron mendukung puncak ampula kanalis semisirkularis posterior

dan bagian dari kantung makula di bawahnya. Sel saraf membentuk

akar saraf vestibular yang terhubung dengan akar saraf koklea, dan

bermigrasi melalui kanalis auditorius internal ke fossa kranial tengah

(Kahle & Frotscher, 2003).

Ketika silia beristirahat, sel-sel rambut melepaskan

neurotransmitter glutamat, memicu potensial aksi di serabut saraf

ganglion vestibular. Saat kepala berubah posisi, kanalis


semisirkularis bergerak secara otomatis, tetapi endolimfe di dalam

kanalis bergerak lebih lambat. Perbedaan tekanan di dalam kupula

menyebabkan stereosilia saling bergesekan dan menekuk.

Pembengkokan stereosilia ini meningkatkan konduktivitas, memicu

pertukaran Na+ dan K+ antara endolimfe dan sel rambut,

mendepolarisasi sel rambut, membuka jalur, melepaskan sejumlah

besar glutamat, dan meningkatkan frekuensi aksi. Arus ini dialirkan

ke sakus dan utrikulus. Makula dan silia sakulus dan utrikulus,

bersama dengan otolit atau kristal otolit, menggantikan membran

otolitik. Membran otolitik membengkokkan silia karena perubahan

gravitasi, seperti ketika kepala dipindahkan dari sumbu vertikal.

Dalam hal ini makula merespon akselerasi atau deselerasi linier

(Kahle & Frotscher, 2003).

Aparatus otolitik terdiri dari sakulus dan utrikulus yang

berkontribusi pada stabilitas postural dengan memberikan informasi

tentang perubahan percepatan linier dan gravitasi. Pada posisi tegak,

sakulus berada pada posisi vertikal dan merasakan percepatan linier

pada bidang oksipitokaudal. Utrikulus dalam posisi horizontal (3,5-4

cm dari garis tengah) dan percepatan linier terjadi secara lateral dan

binaural. Otolith bertindak sebagai sensor gravito inertial force (GIF)

dan berperan dalam orientasi spasial (tegak lurus dengan Bumi)

(Akin et al., 2009).

Neuron bipolar pada ganglion vestibular bersinaps dengan

nucleus vestibularis. Traktusnya berjalan ke sisi kontralateral dan

nucleus otot ocular, dan serebelum, neuron motorik dari otot skelet,

ke gyrus post sentraclis. Refleks vestibular menjaga keseimbangan


tubuh (postural motor function) dan menjaga lapang pandang tetap

fokus walaupun terdapat perubahan posisi kepala dan tubuh

(Silbernagi & Despopulos, 2009).

Gambar 2.5 Orientasi dari organ otolith. Sakulus berada pada


bidang vertikal dan utrikula berada pada bidang horizontal (Akin et
al., 2009)

2.2.3 Somatosensoris (Taktil & Propioseptif)

Sistem somatosensori terdiri dari persepsi taktil, proprioseptif,

dan kognitif. Informasi proprioseptif diteruskan ke otak melalui

kolumna dorsalis medula spinalis. Sebagian besar input proprioseptif

dikirim ke otak kecil, tetapi beberapa dikirim ke korteks serebral

melalui lumnikulus medial dan thalamus (Willis, 2007). Persepsi

posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang sebagian tergantung pada

impuls dari organ sensorik intra dan peri-artikular. Organ sensorik

secara perlahan beradaptasi dengan ujung saraf di aparatus sinovial

dan ligamen. Impuls dari sensasi ini berasal dari reseptor sentuhan di

kulit dan jaringan lain serta otot, diproses di korteks untuk merasakan

posisi tubuh di ruang angkasa (Willis, 2007).

Peran somatosensori dalam keseimbangan untuk

memberikan informasi tentang orientasi bagian tubuh yang berbeda

satu sama lain dan ke permukaan pijakan. Somatosensori terdiri dari

sentuhan, tekanan, dan proprioseptif. Proprioceptif terdiri dari indra

static, indra pengukur gerakan/ kinesthesia/ propiosepsi dinamik.


Reseptor sensorik posisi memberikan informasi tentang posisi (statis

dan dinamis) sebagai respons terhadap sudut dan perubahan pada

semua sendi di semua bidang. Banyak jenis reseptor yang digunakan

untuk lokalisasi, termasuk reseptor kulit taktil dan reseptor dalam di

sendi seperti badan Pacinian di otot, Ruffini, dan reseptor tendon

Golgi. Spindel otot diperlukan untuk menentukan sudut sendi selama

gerakan sendi, yang juga sangat penting dalam mengontrol gerakan

otot. Ketika sudut beberapa otot berubah, beberapa otot ditarik dan

yang lain diregangkan. Informasi menarik ini diproses oleh otot dan

diproses oleh sumsum tulang belakang dan tulang belakang untuk

menentukan sudut sendi. Dalam beberapa kasus, menarik ligamen

dan jaringan dalam di sekitar sendi memberikan informasi tambahan

untuk menentukan lokasi (Guyton & Hall, 2006). Masukan

somatosensori berasal dari gaya kontak dan gerakan antara kaki dan

tapak. Ketika seseorang berdiri di atas permukaan datar, COG

Excursion sangat kecil dibandingkan dengan limits of stability (LOS).

Menutup mata secara signifikan meningkatkan ayunan COG karena

kehilangan penglihatan (Nashner, 2016).

Kontribusi sistem somatosensori terhadap gangguan pijakan

lebih besar daripada sistem vestibular. Input vestibular memainkan

peran kecil dalam kontrol postural saat pedal bergerak horizontal,

tetapi penting untuk mengkompensasi gangguan saat pedal memutar

jari kaki ke atas. Cedera menyebabkan peregangan dan aktivasi otot

gastrocnemius, membuat subjek tidak stabil dan mengkompensasi

otot tibialis anterior untuk mengembalikan keseimbangan. Dalam hal

ini, aktivasi otot tibialis anterior diaktifkan oleh sistem visual dan

vestibular saat mata terbuka. Kemudian melewati saluran vestibular


ketika mata tertutup (Myer et al., 2005).

2.3 Hierarki Sistem Motorik pada Manusia

Sistem motorik otak dan sumsum tulang belakang terdiri dari :

(1) sirkuit motorik tulang belakang yang terdiri dari neuron motorik

dan interneuron, (2) supraspinal descending projection system yang

terdiri dari batang otak dan korteks motorik primer (3). basal ganglia

dan cerebellum yang merupakan pusat kontrol motorik subkortikal,

dan (4) area lobus frontal dan parietal yang disebut korteks motorik

yang lebih tinggi atau korteks asosiasi motorik (Martin & Carpenter,

2001).

Komponen sistem motorik yang disusun secara hierarkis pada

tingkat terendah adalah neuron motorik, yang pada akhirnya

menerima semua input kontrol dari (1) jalur motorik supraspinal, (2)

neuron tulang belakang (interneuron segmental dan intersegmental),

dan (3) serat aferen primer. Tingkatan tertinggi berikutnya adalah

pada interneuron sumsum tulang belakang, yang terletak di atas

neuron motorik yang disebut interneuron segmental, atau pada

tingkat tulang belakang lain yang disebut neuron intersegmental.

Interneuron tulang belakang juga mengintegrasikan informasi dari

serat aferen primer dan jalur desendens (Martin & Carpenter, 2001).

Level lebih tinggi selanjutnya adalah descending motor

pathways yang memiliki fungsi integrasi yang lebih kompleks yang

berasal dari brain stem dan korteks serebri. Selain itu, jalur kortikal

yang mempunyai koneksi dengan brain stem juga memberi proyeksi

spinal (Martin & Carpenter, 2001).

Pada brainstem dan spinal cord, sistem motorik berkaitan


dengan ekseskusi motorik, aktivasi neuron motorik, dan interneuron

pools yang menghasilkan gerakan yang sesuai dengan tujuan serta

membuat penyesuaian postural (Martin & Carpenter, 2001).

Tingkat tertinggi dari sistem motorik terdiri dari ganglia basal,

serebelum, dan area motorik kortikal yang lebih tinggi, yang

memberikan masukan penting ke jalur motorik. Proyeksi sumsum

tulang belakang dari daerah kortikal yang lebih tinggi dari lobus

frontal, otak kecil, dan ganglia basal. Lobus frontal memiliki

setidaknya empat area motorik. Korteks motorik adalah area dengan

proyeksi ke sumsum tulang belakang atau inti motorik kranial yang

mewakili otot dan sendi tubuh yang diaktifkan selama perencanaan

dan pelaksanaan gerakan. Satu wilayah lobus frontal, korteks motorik

primer, memainkan peran penting dalam mengatur pembangkitan

kekuatan, mengendalikan gerakan individualisasi pergerakan jari

tangan, dan memposisikan kaki dengan benar selama berjalan.

Selain itu, ada area lobus frontal, korteks motorik yang lebih tinggi,

yang berperan dalam inisiasi dan kontrol gerakan yang bergantung

pada rangsangan eksternal, terutama rangsangan visual (Martin &

Carpenter, 2001).
Gambar 2.6 Hierarki Sistem Motorik pada Manusia (Merrel et al.,
2019)

2.4 Sistem Komputasional pada Kontrol Motorik

Berfungsinya setiap tingkat kontrol motorik sangat bergantung

pada informasi sensorik. Pada tingkat tertinggi, informasi sensorik

menciptakan model internal tubuh dan ruang eksternal, sedangkan

pada tingkat menengah, keputusan taktis didasarkan pada ingatan

informasi sensorik sebelumnya. Digunakan untuk mempertahankan

postur, panjang otot, dan nada sebelum, selama, dan setelah

berolahraga (Merrel et al., 2019).

Untuk memindahkan efektor dan sensor posisi relatif terhadap

objek di ruang eksternal, pengontrol motor perlu mengoordinasikan

berbagai data sensorik dan motorik. Transformasi data antara

koordinat motorik dan sensorik menutup loop sensorimotor. Kontrol

motor juga bekerja secara dinamis. Baik konversi data maupun

dinamika penting dalam sistem kontrol engine. Sistem motorik dapat

dipandang sebagai sistem yang inputnya adalah perintah motorik dari

sistem saraf pusat dan variabel statusnya adalah respons sistem


terhadap input tersebut. Sistem saraf pusat mungkin memiliki sinyal

umpan balik sensorik yang merupakan variabel terkondisi untuk input

ke sistem motorik (Jordan et al., 1999).

Gambar 2.7 Sistem kontrol motorik dari segi komputasional memiliki


komponen input berupa motor command dari controller
yaitu sistem saraf pusat, serta motor planning, internal
model, state estimation, motor learning, dan multiple
internal model (Jordan et al., 1999).

2.4.1 Motor Planning

Motor planning adalah proses komputasi untuk mengurangi

langkah-langkah atau proses dari perintah saraf untuk aktivasi otot,

yang merupakan level tertinggi ke dinamika motorik atau level

terendah. Untuk aktivitas sederhana seperti menggerakkan tangan ke

tujuan, ada banyak jalur dan profil kecepatan yang dapat dipilih.

Karena ada banyak kombinasi sudut sendi dan kontraksi dari banyak

otot untuk mencapai profil perpindahan dan kecepatan tertentu,

rencana motorik memilih salah satu dari banyak pola aktivitas motorik

yang konsisten (Jordan et al., 1999).


Dengan menentukan pola perilaku pada satu tingkat hierarki

dapat menentukan pola di tingkat yang lebih rendah (banyak pola di

tingkat yang lebih tinggi sesuai dengan pola di tingkat yang lebih

rendah). Perencanaan dapat dicirikan sebagai proses pemilihan pola

tertentu pada beberapa tingkat hierarki motorik untuk tujuan eksternal

(Jordan et al., 1999).

Motor planning tidak secara langsung menentukan kinematika

sudut dan kecepatan dalam aktivitas motorik, tetapi

mempertimbangkan efisiensi, kelancaran, akurasi, dan durasi secara

holistik. sistem motorik. Selama perencanaan, gerak motorik

dipengaruhi oleh parameter amplitudo dan durasi, dan selama

eksekusi, gerak motorik dipengaruhi oleh perintah saraf dan profil

kecepatan. Selain itu, mekanisme feedforward berkontribusi pada

proses optimasi aktivitas motorik dengan mengurangi waktu yang

dibutuhkan untuk melakukan aktivitas motorik selama cedera (Jordan

et al., 1999).

Aktivitas motor berkecepatan tinggi juga diketahui

memerlukan sinyal kontrol yang lebih besar, tetapi dapat

menimbulkan banyak gangguan yang mengurangi akurasi gerakan.

Ini dikompensasi oleh mekanisme feedforward dan kecepatan

perjalanan yang berkurang. Selain mempelajari dan mengulangi

gerakan, sistem motorik mengoordinasikan jalur motorik dari gerakan

tersebut, termasuk parameter perencanaan dan eksekusi yang

dikirim ke otot untuk menghasilkan gerakan yang optimal (Jordan et

al., 1999).
Gambar 2.8 Level hierarkis sistem motorik menunjukkan adanya
pengurangan degree of freedom antara level motorik di
atas dan di bawahnya (Jordan et al., 1999)

2.4.2 Internal model

Model internal merupakan sebuah sistem pada sistem saraf

pusat yang menyerupai lingkungan yang berperan dalam kontrol

motorik. Model internal penting dalam berbagai proses kontrol

motorik karena mengintegrasikan input dan output dan

disempurnakan oleh pembelajaran motorik (Jordan et al., 1999).

Tugas mendasar dari sistem kontrol adalah menjaga

hubungan antara variabel sensorik dan motorik. Ada dua jenis

transformasi: transformasi sensorik-motorik dan transformasi motorik-

sensorik. Transformasi ini dilakukan oleh lingkungan dan sistem

muskuloskeletal dengan mengubah aktivitas motor eferen menjadi

reafferent sensory feedback. Transformasi internal oleh sirkuit neural

ini disebut dengan internal forward model. Forward model akan

memprediksi kondisi berikutnya, misalnya posisi dan kecepatan dari

suatu aktivitas motorik, sedangkan forward output model akan


memprediksi sensory feedback. Berkebalikan dengan hal tersebut,

inverse model menghasilkan motor command sebagai controller

untuk melakukan perubahan pada aktivitas motorik (Jordan et al.,

1999).

2.4.3 Prediksi motorik: forward model

Forward model memberikan kontrol motorik dan motor

learning yang memproses efference atau dari motor command untuk

antisipasi dan membatalkan efek sensoris dari pergerakan. Pada

anggota gerak, mekanisme ini dapat membatalkan efek sensoris self

– motion dan membedakan gerakan yangaberasal dari sensory

feedback yang disebabkan kontak denganaobjek pada lingkungan

(Jordan et al., 1999).

Peran dari forward model juga sebagai fast internal loop yang

membantu menstabilkan sistemakontrol feedback karena dapat

terjadi delay pada sistem feedback. Intermittency dan prediksi

merupakan strategi yang dapat mempertahankan stabilitas.

Intermittency gerakan dilakukan untuk memberikan umpan balik

sensoris sebelum gerakan yang baru dimulai. Kontrol prediktif dari

forward model digunakan untuk memberikan feedback internal untuk

prediksi aktivitas motorik sebelum feedback sensoris ada untuk

mencegah instabilitas. Contoh dari forward model adalahagerakan

manual tracking dan saccadic pada bola mata. Contoh lain

adalahasistem kontrol produksi bicara yang melibatkan forward

model pada traktusavokalis pada jalur feedback internal (Jordan et

al., 1999).

2.4.4 Inverse model


Inverse model adalah model internal yang mengubah variabel

sensorik menjadi variabel motorik. Model invers internal adalah

modul dasar dari sistem kontrol open loop yang menghitung sinyal

kontrol yang sesuai tanpa bergantung pada umpan balik untuk

koreksi kesalahan. (Jordan et al., 1999).

Contoh dari inverse model adalah vestibulo – ocular reflex

yang menggabungkan pergerakan mata dan kepala untuk

menetapkan posisi pandangan terhadap ruang eksternal. Mekanisme

ini bekerja dengan mengatur gerakan kedua mata dalam arah yang

sama dan berlawanan dengan gerakan kepala. Sistem kontrol VOR

kemudian akan melakukan kalkukasi prediksi motor command untuk

menghasilkan kecepatan gerak bola mata tertentu. Kalkulasi ini

dilakukan oleh inverse model untuk menghubungkan kontraksi otot

dan gerakan bola mata (Jordan et al., 1999).

2.4.5 Estimasi Kondisi

Sistem kontrol mesin tidak dapat mengetahui keadaan sistem

secara langsung, tetapi sistem secara tidak langsung dapat

memperkirakan keadaan dengan memantau aliran input (motor

command) dan output (sensory feedback) pada sistem.

Menggunakan kedua informasi memungkinkan sistem untuk

memperkirakan istilah dan mengurangi tingkat ketidakpastian.

Karena terdapat delay pada input sensory feedback, sistem

menggunakan motor command untuk estimasi kondisi (Jordan et al.,

1999).

Saat menggerakkan lengan tanpa feedback visual, sistem

saraf pusat akan melakukan estimasi kondisi, yaitu posisi dan

kecepatan. Estimasi ini meliputi 3 metode dasar, yaitu menggunakan


input sensoris propioseptif, menggunakan input motorik yang dikirim

ke lengan, atau kombinasi dari keduanya. Input sensoris dapat

digunakan untuk menandai posisi lengan, namun input motorik

membutuhkan internal model untuk estimasi konfigurasi akhir dari

lengan (Jordan et al., 1999).

Kesalahan informasi pada integrasi sensori-motor dapat

berasal dari variabilitas respon lengan terhadap motor command dan

sensory feedback terhadap konfigurasi lengan. Untuk estimasi

kondisi, terjadi kombinasi dua proses yaitu proses feedforward yang

menggunakan aliran eferen untukamemprediksi kondisi setelahnya

dengan simulasi pergerakan dinamik dengan forward model,

kemudian proses yang kedua adalahaproses feedback untuk

membandingkan input sensoris dengan prediksi input sensoris

terhadap kondisi sekarang. Sensory error yang merupakan

perbedaan antara sensory feedback aktual dan prediksi digunakan

untuk koreksi kondisi yang dihasilkan forward model untuk

memperoleh estimasi kondisi motorik yang optimal (Jordan et al.,

1999).

Gambar 2.9 Model Sensoriintegrasi (Jordan et al., 1999).

2.4.6 Motor Learning


Internal model dapat digunakan sebagai sistem kontrol dan

inverse model yang merupakan basic building block dari kontrol open

– loop. Forward model dapat digunakan pada open – loop dan

mempunyai peran tambahan yaitu estimasi dan kompensasi delay.

Internal model juga merupakan bentuk "pengetahuan" dari ruang

eksternal. Ini karena kontrol mesin melibatkan interaksi dengan ruang

eksternal dan objek dengan sifat mekanik yang tidak diketahui. Selain

itu, ia memainkan peran penting dalam proses adaptif, karena

pertumbuhan dan cedera menginduksi perubahan dalam sistem

muskuloskeletal. Sistem kontrol engine dapat beradaptasi untuk

memelihara dan memperbarui "pengetahuan" internal dan dinamika

eksternal (Jordan et al., 1999).

Ketika subjek melakukan aktivitas motorik dengan jalur yang

berbeda, mereka beradaptasi dengan model terbalik atau

menggabungkan sistem pendukung untuk melawan kekuatan baru

yang dihadapi selama gerakan. Kondisi baru kemudian secara

bertahap diperkuat, menghilang saat kondisi baru lainnya terhadap

motor learning. Terdapat 5 pendekatan motor learning yang berbeda,

yaitu direct inverse modeling, feedback error learning, distal

supervised learning, reinforcement learning, dan unsupervised

bootrstrap learning. Pendekatan ini mempunyai mekanisme learning

transformasi sensori-motor dan memiliki perbedaan pada jenis data

serta struktur bantuan yang dibutuhkan (Jordan et al., 1999).

2.4.7 Modularitas

Modularitas adalah sistem yang digunakan untuk

menggabungkan banyak model untuk memecahkan masalah,


tergantung pada kisaran input. Dengan cara ini, memecahkan

masalah dan membuat perkiraan yang akurat sesuai dengan

"keterampilan" masing-masing bekerja secara bersamaan. Model ini

digunakan pada high – level vision dan sensorimotor learning pada

basal ganglia (Jordan et al., 1999).

Dalam pembelajaran visuomotor, posisi satu target visual

dipetakan kembali ke dua posisi tangan yang berbeda tergantung

pada posisi awal gerakan. Gangguan dapat menyebabkan konflik di

peta visuo-motor dengan input visual dan posisi nyata, model

prediktif dapat mempelajari pemetaan yang bersaing, dan

mekanisme gating menggabungkan output dari dua peta visuo-motor

untuk membentuk visual pertama Pindah dari peta kinetik ke yang

baru peta (Jordan et al., 1999). Beberapa model terbalik

memungkinkan kontrol motor yang lebih efisien jika diinginkan.

Modularitas juga membuat modul individual untuk pembelajaran

motorik tanpa mempengaruhi perilaku motorik modul lainnya.

Modularisasi dapat mengurangi interferensi antara apa yang sedang

dipelajari dan apa yang belum dipelajari, mempercepat pembelajaran

motorik sambil mempertahankan perilaku yang dipelajari (Jordan et


al., 1999).

Gambar 2.10 Multiple paired forward inverse model (Jordan et al.,


1999).

Multiple paired forward inverse model mempunyai banyak

inverse model dan tiap modelamemiliki forward model. Kedua model

berpasangan ini bertanggung jawabauntuk kontrol aktivitas dan

diharapkan mempunyai kesalahan yang kecil pada estimasi forward

model dengan terus menerus melakukan learning. Sinyal dari forward

model juga dijadikanaacuan bagi inverse model dan keduanya

digabungkan sebagai output dari model untuk motor command

(Jordan et al., 1999).


BAB 3 KONTROL POSTURAL

Kemampuan motorik adalah pengaturan gerakan pada

organisme dengan sistem saraf. Dua jenis keterampilan motorik yang

penting untuk kontrol motorik adalah kontrol gerakan sukarela dan

kontrol postural, atau kontrol keseimbangan. Kontrol postural untuk

mempertahankan postur tegak adalah salah satu kebutuhan dasar

dan esensial manusia dalam kehidupan sehari-hari dan penting untuk

aktivitas seperti berdiri, berjalan, dan melakukan prosedur manual.

Kontrol postural mempertahankan keselarasan postur tubuh dan

hubungan vertikal antara segmen tubuh untuk menahan gravitasi dan

mempertahankan postur tegak. Selain itu, kontrol postural juga

berperan dalam menstabilkan tubuh sebelum komponen primer

mover melakukan gerakan volunter. (Massion et al., 2004).

3.1 Definisi Postur

Postur tidak hanya mempertahankan orientasi tubuh terhadap

lingkungan, tetapi merupakan bagian penting dari sistem persepsi

dan perilaku kita. Postur juga berfungsi sebagai penopang mekanis,

menghubungkan segmen tubuh yang berbeda untuk melakukan

gerakan dan menyesuaikan kekakuan sendi selama gerakan

dinamis. Posisi segmen tubuh berasal dari gambar postural internal

atau skema postural yang berasal dari input multisensor. Di antara

banyak input sensorik, orientasi satu atau lebih segmen tubuh

memberikan kerangka acuan untuk mengatur gerakan (Massion et

al., 2004).
3.2 Fungsi Postur

Postur mempunyai fungsi antigravitasi dan penghubung untuk

persepsi dan aksi. Fungsi anti gravitasi atau postur tegak dari

segmen tubuh yaitu kepala, tulang belakang, dan tungkai, terhadap

axis longitudinal melawan gaya gravitasi dan ground reaction force.

Posisi dari segmen tubuh dibatasi secara mekanik oleh sendi

sehingga center of gravity tetap berada pada base of support pada

kondisi statis. Fungsi anti gravitasi diatur oleh tonus postural yang

secara dominan didistribusikan pada otot – otot ekstensor (Massion

et al., 2004).

Postur berfungsi sebagai penghubung ke ruang eksternal

untuk persepsi dan tindakan, dengan kepala, batang tubuh, dan

lengan berfungsi sebagai kerangka acuan. Kerangka acuan dapat

digunakan untuk memposisikan gerakan tubuh relatif terhadap dunia

luar dan untuk mengoordinasikan gerakan menuju target eksternal.

(Massion et al., 2004).

3.3 Perkembangan Kontrol Postural

Perkembangan motorik bayi bersifat otomatis dan bergantung

pada orientasi visual dan kebutuhan emosional. Perkembangan

atletik manusia adalah genetik dan mengikuti pola yang dapat

diprediksi. Perkembangan morfologi rangka, posisi sendi, dan postur

tubuh bergantung pada fungsi stabilisasi otot selama latihan. Semua

otot dan persendian memiliki biomekanik ideal untuk gerakan yang

berkembang seiring dengan matangnya sistem saraf pusat. Menurut

developmental kinesiology, terdapat pola sinergi motorik dan otot

pusat yang terjadi secara otomatis selama proses perkembangan


spesifik selama pematangan SSP (Kolar et al., 2013).

Menurut developmental kinesiology, terdapat tiga tingkatan

kontrol sensori-motor pada sistem saraf pusat. Selama fase

neonatus, gerakan umum dan refleks primitif dikontrol oleh spinal dan

brain stem. Refleks primitif adalah pola gerakan refleks yang

berkembang sebagai respons motorik terhadap rangsangan aferen

spesifik dan biasanya muncul pada usia 4 hingga 6 minggu. Pada

tahap ini, bayi tidak dapat mempertahankan posisi netral dan kontak

mata. Dapat mempertahankan kontak mata jika posisi postural dapat

dipertahankan secara manual (Kolar et al., 2013).

Pada tahap selanjutnya, permukaan subkortikal berkembang

dan matang, memungkinkan bayi untuk melakukan stabilisasi batang

tubuh dasar yang diperlukan untuk gerakan anggota badan dan

fungsi motorik. Pada level ini terdapat integrated spinal stabilizing

system (ISSS) yang terdiri dari mekanisme penyeimbangan deep

cervical flexor, spinal extensors pada area cervical dan thorakal.

Selain itu terdapat diafragma, otot dasar panggul, abdomen, dan

ekstensor spinal pada area thorakal bawah dan lumbar. Diafragma,

dasar panggul, dan otot transversus abdominis mengatur tekanan

intra-abdomen dan menstabilkan postur panggul-panggul anterior.

Otot intrinsik yang menstabilkan tulang belakang mengatur tekanan

intra-abdomen untuk memberikan stabilitas dinamis pada tulang

belakang. Otot-otot ini juga menjadi otot dalam yang secara otomatis

bertindak sebagai mekanisme feed forward untuk menstabilkan

gerakan dan fungsi muskuloskeletal. (Kolar et al., 2013).


Pada awal perkembangan postural, fungsi diafragma

terutama sebagai otot pernapasan, dan pada usia 4 sampai 6

minggu, anak mulai aktif mengangkat kepala dalam posisi tengkurap

dan kaki dalam posisi terlentang, dan bertindak sebagai otot postural.

Selama latihan postural, diafragma secara fisiologis turun oleh

kontraksi konsentris, dan otot-otot dasar panggul bekerja secara

konsentris melawan diafragma. Selain itu, ada kontraksi eksentrik

otot perut setelah kompresi komponen intra-abdomen kranial

(diafragma) dan kaudal (dasar panggul) (Kolar et al., 2013).

Peningkatan tekanan intra-abdomen sebagai akibat dari

aktivitas postural ini menentukan stabilitas lumbal dan tulang belakang

dada bawah dalam gerakan aktif dan postur melawan gravitasi,

sedangkan stabilitas tulang belakang dada dan leher bagian atas

ditentukan oleh otot fleksor dan ekstensor. leher. , terutama lapisan

dalam (Kolar et al., 2013). Sinergi otot postural yang baik diperlukan

untuk memastikan kualitas dan stabilitas inti yang efektif dalam semua

gerakan (Frank et al., 2013).

Gambar 3.1 Regulasi tekanan intraabdomen oleh diafragma, dasar panggul, dan
transversus abdominis (Frank et al., 2013).
Stabilisasi core pada posisi sagitalamengalami maturasi pada

usia 4,5 bulan. Posisi danabentuk spine, dada, dan pelvis

mencapai posisi netral sebagai hasil aktivitas otot yang

terkoordinasi. Tahap ini diikuti dengan perkembangan fungsi atau

fase dinamis anggota gerak, antara lain fungsi stepping forward

(grasping & reaching) dan supporting (taking off). Pada fungsi

stepping forward, ekstremitas bekerja pada rantai kinematik terbuka

sedangkan pada fungsi supporting, ekstremitas bekerja pada rantai

kinematik tertutup (Kolar et al., 2013). Pematangan fungsi motorik

terjadi bersamaan dengan dua stereotip: pola ipsilateral (rotasi) dan

pola kontralateral (merangkak atau merangkak). Pola ipsilateral

berputar dari posisi terlentang, mengaktifkan lengan dan tungkai

ipsilateral untuk melakukan fungsi langkah maju (reach), dan

mengaktifkan lengan dan tungkai kontralateral untuk melakukan

fungsi supporting dan taking off (Kolar et al., 2013).

Pola kontralateral (creeping dan crawling) berkembang dari

posisi prone dan fungsi stepping forward dan supporting terjadi pada

lengan dan tungkai kontralateral. Fungsi lokomotor ini bergantung

pada stabilisasi intrinsik dengan aktivitas terkoordinasi dari kelompok

otot antagonis dan stabilitas tubuh bagian atas selama latihan

dinamis. Semua informasi aferen, termasuk fungsi orofasial, juga

berpartisipasi dalam kompleks postural dan motorik di mana mata

dan lidah secara otomatis bergerak ke arah lengan yang terentang

(Kolar et al., 2013).


Gambar 3.2 Pola Maturasi Motorik pada Bayi (Kolar et al., 2013)

Saat bayi berkembang, tingkat korteks yang penting untuk

kualitas hidup dan karakteristik motorik menjadi lebih matang,

menghasilkan gerakan dan relaksasi segmental yang terisolasi.

Tingkat kortikal adalah tingkat tertinggi dari kontrol sistem saraf pusat

dan mencakup fungsi gnostik seperti citra tubuh, posisi tubuh, dan

integrasi multisensor dari perspektif tubuh. Kesadaran tubuh yang

baik memastikan gerakan fasik yang berkualitas, gerakan pemisahan

segmental, dan relaksasi. Persepsi yang baik dicapai melalui

integrasi visi, vestibular dan propriocepsi. Korteks juga penting dalam

proses motorplaning (Kolar et al., 2013).


3.4 Pengaturan Postur

Terdapat dua metode pengaturan postur, yang pertama

adalah pengaturan global dengan model inverted pendulum yang

terkait kontrol equilibrium. Metode ini mengatur agar center of

pressure berada pada base of support secara statis dan posisi center

of pressure dan proyeksi center of gravity pada base of support saat

kondisi dinamis. Kontrol keseimbangan juga terkait dengan

pengaturan inersia tubuh dan sifat sendi dan otot selama gerakan

(Massion et al., 2004).

Metode kedua dari penyesuaian sikap adalah kontrol modular.

Dalam metode ini, segmen tubuh dikendalikan bukan sebagai unit

tetapi sebagai superposisi setiap segmen di sepanjang rantai

kinematik dari kaki sampai kepala. Setiap segmen dihubungkan oleh

otot dengan kontrol pusat dan perifernya sendiri untuk

mempertahankan posisi referensi setiap segmen. Kepala merupakan

sumbu segmen tubuh terbesar, karena memiliki banyak sensor

seperti retina, labirin aferen, dan proprioseptor di leher yang dapat

menstabilkan kepala berdasarkan penglihatan, vertikalitas, dan axis

trunk (Massion et al., 2004).

Susunan postur bagian tubuh secara keseluruhan dan

modular dalam kaitannya dengan ruang eksternal dapat

menimbulkan konflik, tetapi karena organisasi modular

memungkinkan untuk memperbaiki postur bagian-bagian tubuh

secara mandiri, proses stabilisasi ini dapat menjadi masukan sinyal

untuk perubahan posisi tubuh. di ruang eksternal untuk mengevaluasi

input visual dan labirin. Organisasi modular juga berperan dalam


sistem referensi posisi gerakan, misalnya kepala dan batang tubuh

akan menjadi nilai referensi tubuh untuk menghitung posisi target

selama operasi pendekatan, dan lengan bawah menjadi kerangka

acuan dan distabilkan saat mengangkut benda berat (Massion et al.,

2004).

3.5 Konsep Kontrol Postural

Ada dua model kontrol postural sentral, yaitu model genetik

dan model hierarkis.

3.5.1 Model Kontrol Postural Genetik

Setiap spesies memiliki referensi postural genetik yang

ditentukan oleh tonus postural dasar dan refleks atau reaksi postural.

Respons muncul dari input visual dan vestibular lokal di tingkat

kepala dan sistem somatosensori dengan input dari setiap segmen.

Karena gravitasi bekerja pada segmen tubuh ketika berdiri tegak,

vektor gravitasi menjadi kerangka acuan antara segmen tubuh dan

ruang eksternal, yang disebut kerangka acuan geosentris. Tiga fungsi

utama dari model postur genetic adalah (1) fungsi gravitasi; (2)

orientasi segmen tubuh terhadap gravitasi; (3) adaptasi postur

terhadap orientasi tubuh pada ruang (Massion et al., 2004).

3.5.1.1 Fungsi Anti Gravitasi

Fungsi antigravitasi postural dibentuk oleh ketegangan

postural yang dominan pada tungkai, punggung, ekstensor leher, dan

otot rahang. Vektor otot ini menahan efek gravitasi ketika berdiri

tegak untuk menjaga keseimbangan. Karena tonus otot postural

dipengaruhi oleh integritas loop reflex myotatic, stretch reflex adalah


mekanisme untuk mengendalikan postur tegak dengan menangkal

penyimpangan dari garis dasar. Selain stretch reflex, ada respons

dukungan positif yang menyesuaikan ketegangan ekstremitas dan

batang tubuh sebagai respons terhadap berat badan. Respon

postural ini ditujukan untuk memulihkan keseimbangan terhadap

gangguan internal, refleks ini didasarkan pada respons yang dipilih

dan terjadi selama ontogeni (Massion et al., 2004).

3.5.1.2 Orientasi Segmen Tubuh terhadap Vektor Gravitasi

Pada mamalia yang tubuhnya terbagi menjadi kepala, trunk,

dan tungkai. Otolith dan penglihatan berperan untuk mengorientasi

kepala terhadap sumbu gravitasi. Manusia memiliki orientasi vertikal

di mana orientasi kepala terhadap ruang distabilisasi oleh refleks

vestibulocolic, reflek placing, dan reflek hopping. Reflek placing terdiri

dari tactile placing reaction (fleksi tungkai diikuti ekstensi dengan

respon stimulasi kutan), visual, dan labyrinthine placing reaction,

serta reflek hopping bertujuan untuk reorientasi tungkai sesuai

dengan axis gravitasi (Massion et al., 2004).

3.5.1.3 Adaptasi Postur Antigravitasi pada Postur Segmen Tubuh

atau Pergerakan

Adaptasi postural antigravitasi untuk aktivitas yang dilakukan

menggunakan refleks labirin untuk menyelaraskan kepala dengan

bidang frontal dan sagital. Contohnya ketika seluruh tubuh

dimiringkan ke satu sisi, pintu masuk otolit dari sisi itu meningkatkan

tegangan postural di sisi itu. Pada refleks leher dan labirin, tubuh

memutar postur kaki dan batang tubuh ke arah leher atau panggul.
Misalnya, menggerakkan kepala ke kanan menyebabkan ekstensi

ekstremitas kanan dan fleksi kiri. Namun, jika batang tubuh diputar ke

kanan, fleksi lengan, samping kanan, ekstensi kaki kanan (Massion

et al., 2004).

Gambar 3.3 Perbandingan antara Tonic Neck Reflex dan Tonic


Lumbar Reflex pada posisi (a) berdiri (b) dorsiflexi (c)
ventroflexi (d) rotasi ke kanan (e) deviasi ke kanan
(Massion et al., 2004).

3.5.2 Model Kontrol Postural Hierarki

Model kontrol postural secara hierarkis menunjukkan bahwa

respons postural tidak sesuai dengan refleks postural dan bahwa ada

fleksibilitas spatiotemporal tergantung pada gerakan dan aktivitas

yang dilakukan. Selain gerakan sukarela, ada penyesuaian postural

prediktif untuk menjaga keseimbangan dan keselarasan segmen

tubuh selama gerakan dan untuk mendukung kekuatan dan

kecepatan gerakan. Prediksi perubahan postural, yang bergantung

pada model internal yang tertanam di otak yang memetakan ruang di

sekitarnya, fitur tubuh, dan interaksinya, mungkin berperan dalam


motor learning (Massion et al., 2004).

Dalam model kontrol postur hierarki, terdapat 2 level kontrol,

yaitu level pose/diagram, dan level implementasi kontrol postur.

Selama adaptasi postural, representasi internal skema postural

sebagian bersifat genetik dan sebagian dipelajari. Proses adaptasi ini

memiliki tiga aspek, yaitu: (1) Representasi geometris tubuh, (2)

Representasi kinetik tubuh, dan (3) Representasi orientasi tubuh

terhadap gravitasi (vertikal) (Massion et al., 2004).

3.5.2.1 Representasi Geometrik Tubuh

Representasi geometris tubuh terutama bergantung pada

informasi yang berasal dari input sensorik Ia yang sesuai. Input

perseptual memberikan umpan balik pada gerakan tubuh, kecepatan,

dan goyangan, serta kontrol postural aktual saat berdiri diam. Postur

seluruh bagian tubuh berperan dalam menjaga postur tubuh, dimana

dengan diam, terbentuklah urutan kinematik dari masukan otot setiap

sendi ke bagian tubuh yang lain (Massion et al., 2004).

Output dari input aferen primer dari sumbu otot ditafsirkan

secara berbeda oleh sistem saraf pusat tergantung pada kerangka

acuan yang digunakan (tubuh atau koordinat tiga dimensi medium)

dan keberadaan gravitasi. Selain itu, input sensorik juga melacak

posisi otot mata relatif terhadap kepala sehingga posisi target visual

dapat diperkirakan relatif terhadap koordinat kepala. Selain itu, input

indera juga memantau posisi kepala relatif terhadap trunkus dan kaki

(Massion et al., 2004).

3.5.2.2 Representasi Kinetik Tubuh

Dalam representasi kinematik tubuh, perlu untuk


mengevaluasi keadaan bidang istirahat oleh sistem saraf (orientasi

segmen tubuh sehubungan dengan sumbu gravitasi) dan inersia

segmen tubuh yang berbeda di bawah aksi dinamika. Kondisi untuk

menentukan perkiraan yang akurat dari center of gravity. Sistem

saraf mengevaluasi permukaan tanah untuk menjaga keseimbangan

melalui reseptor dan input sensorik di sekitar sendi tempat ia

bersandar. Dari informasi ini, tubuh membangun representasi internal

dari permukaan berjalan dan kemudian menentukan aktuator untuk

menjaga keseimbangan optimal. Kinematika tubuh juga melibatkan

persepsi inersia bagian tubuh untuk memperbaiki keseimbangan

dengan menyesuaikan pusat gravitasi seefisien mungkin (Massion et

al., 2004).

3.5.2.3 Orientasi Terkait dengan Posisi Vertikal

Orientasi tubuh relatif terhadap posisi vertikal di bidang frontal

dan miring merupakan hambatan utama untuk berdiri karena efek

gravitasi. Beberapa sensor untuk orientasi dari postur ke posisi

vertikal di bagian frontal dan sagital di kepala dan segmen tubuh

lainnya (Massion et al., 2004).

Postur tubuh merupakan hasiladari superposisi dari banyak

segmen. Terdapat dua metode representasi segmen tubuh

terhadap ruang eksternal yaitu, yang pertama adalah mode top –

down di mana informasi dari labirintin dari otolith digunakan sebagai

nilai untuk menghitung orientasi kepala terhadap posisi vertikal,

sedangkan kalkulasi dari posisi trunk, pelvis, tungkai, dan kaki

terhadap posisi kepala pada ruang eksternal. Metode ini muncul

pertama kali saat ontogenesis dan melakukanastabilisasi kepala


pada ruang eksternal. Metode kedua adalah mode bottom – up yang

menggunakan permukaan pijakan di bawah kaki sebagai nilai

referensi untuk menghitung posisi pelvis terhadap ruang eksternal.

Metode ini utamanya berkaitan dengan kontrol ekuilibrium dan

muncul pada akhir ontogenesis, yaitu saat mulai menapak dan jalan

(Massion et al., 2004).

Empat sumber informasi orientasi vertikal adalah labirin dan

sensor visual yang terletak di kepala, sensor taktil dan tubuh.

3.5.2.3.1 Sensor Labirintin

Otolith memberikan informasi tentang vektor gravitasi.

Distribusi foramen pada bidang longitudinal dan transversal

memberikan informasi tentang kemiringan kepala relatif terhadap

posisi vertikal pada bidang frontal dan transversal. Otolith juga

melacak percepatan linier pada sumbu horizontal dan vertikal, tetapi

ketidaksejajaran terjadi saat subjek atau kepala subjek bergerak.

Reseptor labirin juga memainkan peran penting dalam stabilisasi

kepala dan orientasi tubuh. Percepatan linier dikendalikan oleh otolit

dan akselerasi angular (pitch, roll, dan yaw) dikontrol oleh tiga

saluran semisirkular (Peterka et al., 2001).


Gambar 3.4 Gambaran skematik dari kepala sebagai sebuah kubus
dan pencocokan koordinat 3 dimensi dari vestibular dan
vertikal. Terdapat 3 bidang kerja sistem vestibular yaitu
frontal roll, horizontal yaw, dan sagittal pitch pada axis x,
y, dan z. Pada gambar kiri, koordinat visual cocok
dengan koordinat vestibular, pada gambar tengah, ilusi
kemiringan ruangan 180o pada pada bidang pitch
(pandangan atas ke bawah), pada gambar kanan, ilusi
kemiringan ruangan 90 derajat pada bidang roll (Peterka
et al., 2001).

3.5.2.3.2 Sensor Visual

Orientasi sumbu tubuh, input gambar statis digunakan untuk

objek dalam kerangka visual vertikal atau horizontal, di mana

perubahan dalam bingkai visual akan mengubah persepsi orientasi

potret dan postur. Kestabilan orientasi yang diperoleh dari input

visual bergantung pada vektor, yaitu informasi dari sistem visual yang

memantau pergerakan kepala dan tubuh relatif terhadap ruang

eksternal. Gerak linier bingkai di bidang pandang menyebabkan

tubuh berosilasi ke arah gerak bingkai yang besarnya tergantung

pada kecepatan spasial dan frekuensi bingkai, sedangkan gerakan

melingkar di bidang depan menyebabkan kemiringan tubuh ke arah

gerakan (Peterka et al., 2001).

Input visual dan labirin yang intuitif ada di kepala dan

membantu mengarahkan posisi kepala. Namun, karena posisi kepala


relatif terhadap batang tubuh tidak tetap, pengaruh posisi kepala

pada postur tubuh dan kontrol keseimbangan tergantung pada

penilaian posisi kepala relatif terhadap batang tubuh oleh organ

sensorik. dari otot leher (Peterka et al., 2001).

3.5.2.3.3 Sensor Haptic

Kontak sederhana dari tangan atau jari dengan permukaan

ruang eksternal atau Haptic dapat digunakan sebagai kerangka

referensi untuk kalkulasi osilasiatubuh terhadap permukaan. Haptic

sangat efisien dalam stabilisasi postur, contohnya pada pasien yang

menggunakan cane, tangan yang kontak dengan cane akan bergerak

secara ritmis, akan muncul sway tubuh dengan frekuensi yang sama

tanpa phase shift yang menunjukkanaadanya kontrol feed – forward

(Peterka et al., 2001).

3.5.2.3.4 Graviceptor Tubuh

Graviseptor tubuh adalah sensor pada tubuh yang

memberikan orientasi vertikal. Persepsi arah tubuh tergantung pada

vektor gravitasi dan arah reaksi tanah yang diberikan oleh subjek

untuk mengontrol keseimbangan. Dalam kondisi normal, graviceptor

memonitor vektor gaya yang diberikan oleh objek melawan gravitasi

dan informasi ini berkontribusi pada representasi internal sumbu

vertikal. Informasi vektor gaya ini dipantau oleh organ tendon Golgi

dengan mengukur jumlah unit motorik yang bekerja pada saat yang

sama pada otot yang bertindak untuk mengontrol postur. Selain

sensor tubuh tertentu, stabilisasi keseimbangan sensor tubuh

terutama bergantung pada sensor kaki yang memantau besarnya

dan arah gaya kontak yang diberikan oleh tubuh di tanah (Peterka et
al., 2001).

3.6 Konvergensi Multisensoris dan Kontrol Keseimbangan

Menggunakan informasi sensorik dari berbagai sumber,

termasuk visual, vestibular, dan pendengaran, adalah kunci untuk

kontrol saraf yang mengarahkan tubuh ke posisi tegak dan stabilitas

terhadap gangguan eksternal. Ada dua pandangan yang berbeda

tentang peran persepsi polisensori. Dari satu sudut pandang, banyak

input sensorik adalah referensi vertikal di mana tubuh disejajarkan.

Pandangan lain adalah bahwa beberapa input sensorik memantau

kesalahan postural aktual berdasarkan nilai referensi yang ditentukan

oleh sensor lain. Nilai referensi vertikal ditentukan oleh sekelompok

graviceptor dan berperan terhadap koreksi postur jika input aferen Ia

mendeteksi adanya sway (Massion et al., 2004).

Informasi sensorik dalam koreksi postural yang digunakan

diperoleh dari sensor tergantung pada lokasi dan kecepatan

gangguan postural. Selain itu, setiap sensor memiliki rentang

sensitivitas yang berbeda. Input visual lebih sensitif terhadap

informasi tubuh bergerak kecepatan rendah, sedangkan input labirin

lebih sensitif terhadap informasi tubuh bergerak kecepatan tinggi.

Interaksi antara masing-masing input sensorik dapat dinilai dengan

memanipulasi atau mengurangi satu jenis input sensorik untuk

melihat pengaruhnya terhadap postur dan input sensorik lainnya

(Hirabayashi et al., 1995).

3.6.1 Efek Aditif

Setiap input sensorik memiliki efek pada input lainnya. Vektor

visual akan menyebabkan pose berubah jika input lainnya tetap tidak
berubah. Selanjutnya, orientasi tubuh akan miring ke posisi vertikal

saat memiringkan referensi visual meskipun labirin dan input persepsi

tidak berubah. Jika ada konflik sensorik mengenai informasi vertikal

pasien, orientasi yang digunakan adalah arah perantara dari setiap

input sensor. Jika salah satu sensor dilepas, mekanisme kompensasi

akan terjadi, misalnya pada lesi labirin, kontrol postural akan

dipertahankan meskipun hanya input visual dan pendengaran, tetapi

turbulensi.Gangguan input visual dan pendengaran akan

mengakibatkan gangguan keseimbangan yang signifikan (Massion et

al., 2004).

3.6.2 Seleksi

Jika ada informasi yang saling bertentangan dari satu input ke

input lainnya, satu input dipilih sebagai dominan. Input visual dari

retina adalah input yang dominan, dan input yang salah diabaikan.

Ketika mata terbuka dan tidak ada input visual dan vestibular yang

mendeteksi gerakan tubuh, input somatosensori adalah satu-satunya

input yang memberi sinyal gerakan, dan input lain yang

menentangnya diabaikan. Beberapa mengandalkan penglihatan,

yang lain pada somatosensori (Massion et al., 2004).

3.7 Kontrol Postural terhadap Gangguan Keseimbangan

3.7.1 Strategi dan Sinergi

Ada dua tingkat kontrol keseimbangan untuk gerakan anggota

badan. tingkat strategi, di mana segmen tubuh bagian atas dan

bawah bergerak berlawanan arah, dan tingkat sinergis, di mana


pelaksanaan strategi disesuaikan dengan kondisi lingkungan.

Dalam gerakan volunter, strategi diartikan sebagai cara untuk

mencapai suatu tujuan yang dijalankan atau diimplementasikan

dalam pola otot atau sinergi. Strategi pergelangan kaki dan pinggul

adalah dua cara berbeda untuk mencapai tujuan yang sama yaitu

menjaga keseimbangan. Untuk menggerakkan strategi, terdapat pola

atau sinergi otot yang menciptakan kekuatan otot. Strategi kinematik

diterapkan untuk menyesuaikan pusat inersia tubuh, yaitu posisi kaki,

dan kemudian sinergi otot sesuai dengan perubahan kinematik,

menggunakan mekanisme pembelajaran singkat untuk memodifikasi

sinergi yang ada. Setiap strategi memiliki pola otot/sinergi yang

sama, tetapi jika ada gangguan eksternal, sinergi otot harus diubah

untuk mencapai strategi yang diinginkan. Perubahan respons

neuromuskular yang disesuaikan untuk melakukan aktivitas baru

disebut adaptasi. Perubahan tersebut dapat terjadi dengan paparan

berulang terhadap aktivitas. Adaptasi memungkinkan otot untuk

mengurangi amplitudo respon otot antagonis terhadap gangguan,

sehingga meminimalkan perpindahan tubuh (Myer et al., 2005).

Sinergi otot adalah pola aktivasi otot yang konsisten dengan

sifat spatiotemporal yang terkoordinasi. Sinergi otot termasuk ketika

otot-otot berkomodulasi, yaitu ketika otot-otot pinggul dan distal yang

diaktifkan secara terpusat, seperti gastrocnemius, dan otot-otot lain,

seperti gracilis, dikendalikan secara independen. Ada variabilitas.

Otot-otot ini membantu sinergi otot untuk mencapai tujuan produksi

biomekanik ground reaction forces yang spesifik. Dari banyak otot

yang bersinergi, otot biartikuler merupakan otot yang paling sensitif

terhadap input perifer dan mengatur vektor gaya yang dilakukan otot
monoartikuler untuk beradaptasi terhadap perturbasi eksternal (Myer

et al., 2005).

Pemrograman pusat mengoordinasikan kelompok otot yang

berbeda selama kontrol postural. Respons otot yang teraktivasi

terhadap cedera mungkin merupakan bagian dari respons atau

sinergi saraf terprogram, atau mungkin hasil dari peregangan dan

aktivasi otot individu secara independen. Respons terhadap

gangguan adalah sinergi saraf terprogram dan terdiri dari respons

awal dan akhir. Respon awal dipicu oleh input dari sendi yang

relevan, sedangkan respon lambat diaktifkan oleh input visual atau

vestibular disebut juga dengan sway synergy (Piscitelli et al., 2016).

Aktivitas otot yang berperan dalam kontrol pergerakan antara

lain ankle, lutut, dan pinggul. Pada postur yang menyebabkan sway

anterior, otot ankle teraktivasi kurang lebih 90 ms setelah onset

perturbasi, diikuti otot hamstring, dan paraspinal pada interval 20 ms,

dan gastrocnemius 50 ms setelah latensi refleks regang

monosinaptik yang menunjukkan bahwa gastrocnemiusamelibatkan

jalur saraf yang lebih kompleks. Pada perturbasi yang menyebabkan

sway posterior, urutan otot-otot yang teraktivasi adalah tibialis

anterior, diikuti quadriceps dan abdomen (Piscitelli et al., 2016).

3.7.2 Pengaturan Postur Antisipatori

Penyesuaian postural prediktif dibuat sebagai kompensasi

awal untuk perubahan postur dan keseimbangan terkait gerakan.

Kontrol postural antisipatif melibatkan sinergi otot yang terjadi pada

respons postural sebelum aktivasi penggerak utama. Fitur utama dari

pengkondisian postural adalah kemampuan beradaptasinya terhadap

kondisi aktivitas dan pemilihan sebelumnya dari otot-otot postural


yang digunakan untuk pengaturan antisipatori (Piscitelli et al., 2016).

Pengaturan postur antisipatori bertujuan untuk kontrol

keseimbangan dan stabilisasi postur, namun pada beberapa

aktivitas, pengaturan ini bertujuan untukastabilisasi center of gravity

selama pergerakan dan stabilisasi posisi dari segmen tubuh. Selain

itu tujuan dari pengaturan postur antisipatori ini adalah memberikan

support dinamik rantai postural dari permukaan pijakan ke segmen

yang bergerak untuk meningkatkan performaabaik gaya maupun

kecepatan (Piscitelli et al., 2016). Kontrol sentral dari regulasi

postural antisipatif melibatkan korteks dan regulasi gerakan dan

postur, daripada melalui koneksi langsung melintasi corpus callosum

antara korteks yang mengontrol sisi gerakan dan sisi yang mengatur

postur. Itu dibuat melalui koneksi subkortikal antara jalur . Sebuah

sikap positif terlibat. Penyesuaian postural prediktif dilakukan melalui

daerah kortikal kontralateral. Area ini mendefinisikan segmen yang

akan digunakan sebagai kerangka acuan untuk pergerakan dan

stabilisasi segmen tersebut selama pergerakan (Massion et al.,

2004).

3.8 Organisasi dari Kontrol Postural

Karena kompleksitas biomekanik postural manusia, kontrol

postural sulit dipahami. Tubuh ditopang oleh dasar penopang yang

sempit tempat terjadinya gaya aksi dan reaksi. Tubuh adalah rantai

artikulasi yang terdiri dari segmen-segmen dengan massa dan inersia

yang bervariasi yang dihubungkan oleh otot dengan sifat viskoelastik.

Gerakan sendi individu dikaitkan dengan interaksi dinamis dengan

tautan lain dalam rantai, dan gerakan ini mengubah pengaruh

kekuatan eksternal, seperti gravitasi, pada segmen tubuh, yang


memengaruhi regulasi postural (Massion et al., 2004).

Kontrol postural juga bertujuan untuk mengurangi kontrol

multi-sendi untuk mengontrol kontrol keseimbangan setiap segmen

tubuh yang bergerak. Ada beberapa konsep yang digunakan dalam

meringkas kontrol ini, yaitu “reference posture” yaitu model Lambda

dan Inverse Dynamic Model (Massion et al., 2004).

Konsep dari model Lambda adalah terdapat ambang panjang

kritis dari masing – masing otot (ambang refleks myotatic) yang diatur

untuk menentukan konfigurasi referensi postural yaitu panjang dari

masing – masing otot dengan nilai yang sesuai. Konsep ini dapat

terlihat saat forward dan backward trunk bending yang diikuti dengan

perpindahan berlawanan dari otot AGB sehingga COG akan tetap

berada pada base of support (Massion et al., 2004).

Konsep inverse dynamic model Kami menunjukkan bahwa

model internal segmen tubuh ada secara kinematik dan dinamis, dan

ketika melakukan gerakan sukarela, interaksi dinamis antara segmen

tubuh yang mengganggu lintasan harus dikompensasi. Karena

interaksi dinamis adalah penyebab utama ketidakseimbangan selama

latihan, terdapat Feedforward inverse dynamic model pada

cerebellum yang dapat mengontrol keseimbangan secara akurat

selama pergerakan. Kontrol postur selama pergerakan juga

melibatkan strategi hip dan ankle untuk mengembalikan

keseimbangan sehingga dapat terjadi 2 kontrol paralel yaitu sinergi

untuk melakukan gerakan dan dan sinergi lain untuk melakukan

kontrol postural atau pengaturan postur antisipatori (Massion et al.,

2004).
3.8.1 Kontrol Kepala Selama Pergerakan

Stabilisasi kepala seiring gerakanatubuh merupakan bagian

dari refleks righting, sifat otot dan jaringan ikat yang elastik dan

viscous dari segmen kepalaadan leher, serta mekanisme sensoris

higher – order yaitu body schema dan kerangka referensi yang

berperan dominan pada kontrol posisi kepala selama pergerakan

volunter untuk antisipasi lokasi center of gravity danalokasi kepala

yang tepat saat terjadi perubahan postur tubuh yang membutuhkan

intergrasi dari banyak input sensoris (diFabio et al., 1997).

Mekanisme high – order menyatukan input sensoris menuju

kontrol postural dan feedback diberikan oleh propioseptif otot dan

informasi somatosensoris yang menimbulkan gerakan volunter atau

reflex untuk kontrol postural. Body schema merupakan sebuah

template stabilisasi postural yang dipengaruhi oleh input vestibuler

dan input lain. Amplitudo dan arah dari stabilisasi antisipatori

bergantung pada kondisi awal yang dibuat input sensoris terhadap

body schema. Orientasi angular dikoreksi pada level subconscious

setelah perubahan satu atau lebih kerangka referensi dan gerakan

volunter (diFabio et al., 1997).

Stabilisasi dilakukan pada feedback loop dengan

meminimalisasi perubahan posisi mata (stabilisasi input retina), posisi

organ vestibuler, dan posisi leher (stabilisasi somatosensoris leher

dan input propioseptif). Ketika stabilisasi kepala tercapai, maka

stabilitas dari trunk dan ekstremitas akan mengikuti. Kemudian

gerakan ini akan menghasilkan sensory feedback yang dapat

digunakan untuk modifikasi body schema pada gerakan selanjutnya.

Kerangka referensi geosentris merupakan hierarki paling tinggi,


namun tidak mencukupi untuk kontrol feed – forward pada kepala

sehingga dibutuhkan kerangka referensi egosentris dan eksosentris

untuk stabilisasi kepala antisipatori (diFabio et al., 1997).

3.8.2 Kontrol Postural pada Pergerakan Tungkai

Pergerakan Tungkai sebagai penopang tubuh merupakan

sumber gangguan keseimbangan karena terjadi perpindahan center

of gravity. Perpindahan center of gravity terjadi sebelum gait dimulai,

berdiri dengan ujungakaki atau tumit, atau menaikkan tungkai

(Massion et al., 2004).

Kontrol neural dari perpindahan center of gravity ini berbeda

dengan pengaturan posisi antisipatori yang bertujuan mencegah

perpindahan center of gravity. Pada perpindahan center of gravity,

tujuan gerakan adalah posisi center of gravity yang baru, sedangkan

pada gerakan volunter, tujuan gerakan berupa geometri atau objek

dalam ruang. Kontrol neural untuk gerakan ini sangat bergantung

pada area korteks motorik (Massion et al., 2004).

Selama berjalan, center of gravity berpindah ke luar base of

support kaki dan menyebabkan kondisi tidak seimbang secara terus

menerus. Tubuh mencegah jatuh dengan meletakkan kaki yang

mengayun ke depan dan lateral dari center of gravity seiring gerakan

ke depan. Aspek utama dari keseimbanganaselama pergerakan

adalah kontrol dari head, arm, and trunk (HAT) terhadap hip karena

segmen ini merupakan beban besar yang harusadipertahankan

dalam posisi tegak (diFabio et al., 1997).

Keseimbangan dinamis dari kepala, lengan dan badan diatur

oleh otot-otot pinggul tanpa pengaruh otot-otot pergelangan kaki.


Jenis kontrol ini lebih efisien karena sendi pinggul memiliki lebih

sedikit inersia untuk mengontrol segmen HAT daripada pergelangan

kaki, yang harus mengontrol seluruh tubuh.

Kontrol keseimbangan selama berjalan normal dikendalikan

oleh otot pinggul, sedangkan ketidakseimbangan kompensasi selama

gangguan dikendalikan terutama oleh otot pergelangan kaki dan

paha, diaktifkan dalam urutan distal ke proksimal (diFabio et al.,

1997). Menstabilkan kepala selama gerakan tubuh dapat

meningkatkan interpretasi input vestibular untuk keseimbangan,

terutama ketika input visual dan somatosensori terganggu atau

berbeda. (diFabio et al., 1997).

Untuk menjaga posisi sudut kepala relatif terhadap ruang

relatif konstan, tubuh menggunakan strategi menstabilkan kepala di

ruang angkasa, terlepas dari besarnya atau arah gerakan tubuh dari

pusat kekuatan. Tubuh menggunakan strategi ini untuk mengurangi

potensi ambiguitas dalam menafsirkan masukan sensorik untuk

keseimbangan, terutama berasal dari kerangka acuan geosentris,

yaitu, orientasi vertikal, dan berpusat pada diri sendiri (kepala-ke-

tubuh) atau eksosentris (orientasi ke objek) disempurnakan dalam

ruang) kerangka acuan (diFabio et al., 1997).

3.9 Kerangka Referensi

Kerangka keseimbangan acuan adalah acuan yang

digunakan untuk mengukur perubahan postur. Ada tiga kerangka

acuan untuk kontrol kepala dan postural: egosentris, eksentrisitas,

dan geosentris (diFabio et al., 1997).

Kerangka acuan egosentris adalah orientasi ke tubuh yang


memberikan koordinat spasial posisi anggota badan dan segmen

tubuh, sedangkan kerangka acuan eksosentris adalah ruang

eksternal yang memberikan informasi tentang posisi tubuh di

lingkungan. orientasi objek. Posisi objek relatif terhadap subjek, dan

kerangka acuan geosentris adalah objek yang mempertahankan

sikapnya terhadap gravitasi, keselarasan vertikalnya. Kerangka

acuan egosentris dan eksosentris diturunkan dari kerangka acuan

geosentris. Setiap kerangka acuan muncul dari transformasi kesan

sensorik menjadi persepsi spasial dan berperan dalam pembentukan

keseluruhan body schema untuk keseimbangan dan prediksi

perpindahan center of force (diFabio et al., 1997).

Body schema adalah kombinasi standar terhadap semua

perubahan postur yang diukur. Body schema merupakan template

kontrol postural yang mempengaruhi orientasi spasial terjadi

perubahan postur. Body schema juga merupakan gabungan dari

kerangka referensi egosentrik, eksosentrik, dan geosentrik (diFabio

et al., 1997).

Kontrol postural bertujuan untuk menstabilkan kepala pada

posisi vertikal. Sistem koordinat geosentris memungkinkan kontrol

kepala yang efektif dengan mengantisipasi dan mengantisipasi

gerakan center of force yang disebabkan gerakan volunter. Kerangka

referensi menggunakan input somatosensoris, propioseptif, dan

vestibular untuk kontrol stabilisasi kepala dengan feed – forward

(Aruin et al., 2016).

Mekanisme feed – forward merupakan mekanisme yang

sudah ditentukan sebelumnya dan didapat dari motor learning. Input

sensoris pada feed forward digunakan sebagai knowledge of


response untuk pengaturan postur antisipatori berikutnya secara

tepat. Proses ini berkelanjutan untuk membuat kerangka referensi

baru untuk membuat body schema dan kontrol keseimbangan (Aruin

et al., 2016).

Gambar 3.5 Mekanisme kerangka referensi dalam kontrol postural


(diFabio et al., 1997).

3.9.1 Transformasi Input Sensoris

Input sensorik dari sistem visual, vestibular, dan proprioseptif

diterjemahkan ke dalam kerangka acuan yang berkontribusi pada

kontrol postural. Ketiga sensor tersebut digunakan oleh sistem saraf

pusat untuk memperkirakan komposisi permukaan berpijak dan

lokasi center of gravity. Adanya limit of stability merupakan persepsi

dari satu atau lebih kerangka referensi untuk keseimbangan (diFabio

et al., 1997).

3.9.2 Peran Vestibular pada Kerangka Referensi Geosentris

Labirin memberikan informasi tentang kinematika kepala


dalam bentuk (1) keselarasan statis pose kepala terhadap gravitasi

dan (2) deteksi akselerasi kepala. Input vestibular memberikan

informasi postur kepala statis untuk memastikan kontrol feed –

forward atau antisipatori terhadap posisi kepala dengan terus

menerus memonitor orientasi kepala (diFabio et al., 1997).

Otolith memberikan referensi posisi kepala yang berbeda –

beda terhadap posisi vertikal bumi. Input vestibular akan melakukan

re - positioning mataaberdasarkan orientasi kepala. Selain itu input

vestibular akan mempengaruhi stabilitas trunk dan anggota gerak

ketika terjadi perubahan posisi kepalaadengan mekanisme

pengaturan feed – forward (diFabio et al., 1997).

3.9.3 Peran Somatosensorik pada Kerangka Referensi Geosentris

Sensor somatik yang berperan dalam referensi geosentris

untuk keseimbangan dan stabilisasi kepala termasuk propriosepsi

umum pada kulit, sendi, baroreseptor, dan spindel otot aferen.

Kontak fisik antara kaki dan tanah, serta kontak ujung jari,

memprediksi gangguan penglihatan, memicu kontraksi otot leher

antisipatif, dan meningkatkan gerakan kepala. Stabilitas kepala

bergantung pada kerangka acuan geosentris terintegrasi dengan

input vestibular dan somatosensori dari permukaan lengan dan kaki

yang menendang untuk menstabilkan kepala dalam posisi vertikal.

Kerangka acuan geosentris juga dipengaruhi oleh reseptor gravitasi

somatik di visera trunkus (diFabio et al., 1997).

3.9.4 Peran Sistem Visual pada Kerangka Referensi Geosentris

Input visual atau retina tidak diperlukan dalam stabilisasi


kepala, namun dalam kondisi tidak ada input visual, mekanisme feed

forward tetap dapat berjalan dengan input sensoris optimal dari

vestibular dan somatosensoris (diFabio et al., 1997).

3.9.5 Pengaruh dari Pandangan dan Propioseptif otot terhadap

Kerangka Referensi Egosentris dan Eksosentris

Faktor-faktor yang mempengaruhi penglihatan adalah posisi

mata di kepala dan posisi kepala dalam ruang tiga dimensi.

Pandangan berkontribusi pada kerangka acuan egosentris dan

eksosentris. Komponen kerangka acuan egosentris berasal dari otot

proprioseptif yang mengontrol gerakan mata untuk mengontrol

pengaturan spasial kepala dan dada. Komponen sistem koordinat

eksosentris berasal dari spindel informasi aferen otot mata yang

membantu menemukan target visual di ruang eksternal. (diFabio et

al., 1997).

3.10 Mekanisme Feed Forward

Pada sistem kontrol feed forward, input sensoris berperan

dalam (1) identifikasi kondisi stance awal (posisi, orientasi, gerakan

tubuh), (2) sebagai pemberi informasi respon setelah feed forward

dimulai dan telah mencapai keadaan seimbang, (3) feedback untuk

learning jangka panjang untuk meningkatkan keefektifan respon feed

– forward selanjutnya. Strategi untuk mengontrol posisi kepala

selama gerakan sukarela diperlukan untuk kualitas dan kegunaan

input sensorik untuk mengidentifikasi keadaan awal (diFabio et al.,

1997).

Kontrol feed forward terjadi pada kerangka referensi

geosentrik yang konstan dengan input dari vestibular dan diperhalus

oleh somatosensoris serta propioseptif. Mekanisme perlindungan


yang meningkatkan stabilitas kepala tanpa adanya input visual

adalah dengan mengurangi gerakan kepala. Selain itu, ada sinergi

fungsional antara otot mata, anggota badan, dan batang tubuh yang

mempengaruhi kontrol arah (diFabio et al., 1997).

3.11 Vertikalitas

Tegak lurus adalah posisi objek yang konsisten dengan

dimensi vertikal (Cian et al., 2017). Tegak lurus adalah perkiraan

gravitasi internal yang diakses otak secara bersamaan berdasarkan

referensi kepala atau tubuh (Cuturi et al., 2017). Kesadaran

fungsional akan vertikalitas penting untuk menjaga stabilitas postural.

Ini karena input yang naik mengirim sinyal gravitasi. Jadi saya perlu

memberikan masukan untuk mengubah orientasi agar tidak terbalik.

(Cuturi et al., 2017). Representasi dari vertikalitas dapat dinilai

dengan mengukur persepsi visual vertical, postural vertical, dan

tactile vertical. Persepsi vertikalitas atau uprightness bukan

merupakan konsep tunggal, melainkan berbagai sensoris dapat

memberikan input yang berbeda dan bertentangan untuk persepsi

vertikalitas (Bronstein, 1999).

Sistem vestibular, visual, dan somatosensori bekerja sama

untuk menggerakkan sistem kepala relatif terhadap batang tubuh,

memungkinkan orientasi spasial dalam koordinat tiga dimensi

egosentris (berpusat pada tubuh) dan eksosentris (berpusat pada

ruang) (Brandt et al., 1999).

Koordinat retina bergantung pada pandangan dan posisi

kepala, dan koordinat labirin harus terus diperbarui sesuai dengan

posisi mata dan kepala untuk memberikan masukan yang dapat


diandalkan untuk eksplorasi spasial visual dan motorik. Informasi

spasial dalam koordinat non-retina memungkinkan tubuh untuk

menentukan posisinya relatif terhadap ruang visual dan memberikan

respons motorik yang akurat. Untuk menetapkan hubungan ini,

pengkodean informasi koordinat dari organ sensorik perifer (retina,

otolith, kanal setengah lingkaran, proprioception muscle spindle, dll.)

harus dimodifikasi dan diintegrasikan. Fungsi ini dilakukan oleh

korteks parietal posterior, dan kerusakan pada korteks dapat

mengganggu transformasi koordinat input sensorik dari lingkungan

menjadi sistem koordinat egosentris yang berpusat pada tubuh

(Brandt el al., 1999).

Pada penyakit yang menyebabkan gangguan perifer dan

sentral dari input vestibular, ketidaksesuaian antara koordinat visual

dan vestibular tiga dimensi dapat terjadi, menyebabkan nistagmus

karena kemiringan planar dan orientasi spasial, yang mengakibatkan

asimetri.Tegangan vestibular di batang otak mencapai korteks

melalui proses asenden (Brandt et al., 1999).

Informasi aferen yang memperkirakan uprightness adalah

sinyal somatosensoris dan otolithic graviceptive. Menurut Bisdorff et

al., pada tahun 1996, propiosepsi cukup untuk untuk memperkirakan

uprightness tetapi input vestibular yang dapat dipercaya

meningkatkan sensitivitas uprightness. Meskipun informasi otolith

tidak dapat sepenuhnya menekan efek adaptif proprioseptif dalam

keadaan tubuh miring, sensitivitas normal untuk merasakan

vertikalitas tubuh membutuhkan input vestibular yang baik dan stabil.

Adaptasi terhadap kemiringan terutama bergantung pada kontak

proprioseptif. Mekanisme penyesuaian kemiringan terjadi saat


gerakan aktif (Bisdorff et al., 1996).

Orientasi spasial dimediasi secara independen oleh sistem

visual, vestibular, dan proprioseptif. Untuk persepsi kontradiktif,

propriosepsi dominan, dan untuk gangguan somatosensori, input

vestibular dominan. Organ otolit labirin bertanggung jawab untuk

merasakan percepatan linier, dan organ ini memainkan peran penting

dalam merasakan input gravitasi, khususnya persepsi uprightness.

Konsep uprightness atau vertikalitas melibatkan deteksi vertikalitas

diri sendiri (subjective postural vertical atau SPV) dan vertikalitas

diinspeksi dari penglihatan (subjective visual vertical atau SVV) atau

sentuhan (haptic vertical), dan menjaga ortogonalitas (hubungan

antara vertikalitas dan horizontalitas) (Gresty et al., 1992).

Aparatus otolith merasakan gaya inersia gravitasi di kepala

dan mengirimkan sinyal ke kepala yang penting untuk orientasi

spasial, persepsi motorik, dan pengaturan perilaku motorik (Gresty et

al., 1992).
DAFTAR PUSTAKA

Akin, F. W., & Murnane, O. D. (2009). Subjective visual vertical test.


Seminars in Hearing, 30(4), 281–286.

Alrwaily, M., Sparto, P. J., & Whitney, S. L. (2019). Perception of


verticality is altered in people with severe chronic low back pain
compared to healthy controls: A cross-sectional study.
Musculoskeletal Science and Practice, 45, 102074.

Avanzino, L., Gueugneau, N., Bisio, A., Ruggeri, P., Papaxanthis, C.,
& Bove, M. (2015). Motor cortical plasticity induced by motor
learning through mental practice. Frontiers in Behavioral
Neuroscience, 9(APR), 1–10.

Baehr, M. and Frotscher, M. 2012. Duus’ Topical Diagnosis in


Neurology: 5th Edition. Germany: Thieme Publishing Group.

Bisdorff, A. R., Wolsley, C. J., Anastasopoulos, D., Bronstein, A. M., &


Gresty, M.
A. (1996). The perception of body verticality (subjective postural
vertical) in peripheral and central vestibular disorders. Brain, 119(5),
1523–1534.

Brandt, T., dan M. Dieterich. (1999). The Vestibular Cortex Its


Locations, Functions, Disorders. Annals New York Academy of
Sciences, 293 – 312.

Brandt, T., Dieterich, M., & Danek, A. (1994). Vestibular cortex


lesions affect the perception of verticality. Annals of Neurology,
35(4), 403–412.

Bronstein, A. M. (1999). The interaction of otolith and proprioceptive


information in the perception of verticality: The effects of
labyrinthine and CNS disease. Annals of the New York
Academy of Sciences, Vol. 871, pp. 324–333.

Caminero, F., & Cascella, M. (2020). Neuroanatomy, Mesencephalon


Midbrain.
StatPearls. 20(1), 2-8.

Chiba, R., Takakusaki, K., Ota, J., Yozu, A., & Haga, N. (2016).
Human upright posture control models based on multisensory
inputs; in fast and slow dynamics. Neuroscience Research, 104,
96–104.

Cian, L. (2017). Verticality and Conceptual Metaphors: A Systematic


Review.
Journal of the Association for Consumer Research, 2(4), 444–459.
Cuturi, L. F., & Gori, M. (2017). The effect of visual experience on
perceived haptic verticality when tilted in the roll plane. Frontiers
in Neuroscience, 11(DEC), 1–9.

Di Fabio, R. P., & Emasithi, A. (1997). Aging and the mechanisms


underlying head and postural control during voluntary motion.
Physical Therapy, 77(5), 458– 475.

Gresty, M. A., Bronstein, A. M., Brandt, T., & Dieterich, M. (1992).


Neurology of otolith function. Brain, 115, 647–673.

Guyton, A.C. and Hall, J.E., 2006. Textbook of Medical Physiology.


11th ed.Philadelphia, PA, USA: Elsevier Saunders.

Hirabayashi, S. ichi, & Iwasaki, Y. (1995). Developmental perspective


of sensory organization on postural control. Brain and
Development, 17(2), 111–113.

Jordan, M. I., & Wolpert, D. M. (1999). Computational motor control.


Dalam The Cognitive Neuroscience (pp. 1-28). Cambridge: MIT
Press.

Kahle, W. dan M. Frotscher. 2003. Color atlas of human anatomy.


Vol 3. Nerveus system and sensory organ . thieme. New York.
Halaman 18.

Kolar, P., dan A. Kobesova. 2013. Developmental Kinesiology: Three


Levels of Motor Control in The Assessment and Treatment of
The Motor System. Journal of Bodywork & Movement
Therapies. Vol. 20.

Martin, J.H. dan M.B. Carpenter. (2001). Descending Motor


Pathways and the Lower Motor Neuron. Dalam Downey &
Darling’s Physiological Basis of Rehabilitation Medicine.
Woburn: Butterworth – Heinemann.

Massion, J. (1994). Postural control system. Current Opinion in


Neurobiology, 4(6), 877–887.

Massion, J., dan M.J. Woollacott. (2004). Posture and Equilibrium.


Dalam Clinical Disorders of Balance, Posture, and Gait (2nd
Edition) (pp. 1-19). New York: Oxford University Press.

Massion, Jean. 1992. Movement, Posture, and Equilibrium:


Interaction and Coordination. Progress in Neurobiology, 38, 35-
56.

Mazibrada, G., Tariq, S., Pérennou, D., Gresty, M., Greenwood, R.,
& Bronstein, A. M. (2008). The peripheral nervous system and
the perception of verticality.
Gait and Posture, 27(2), 202–208.

Merel, J., Botvinick, M., & Wayne, G. (2019). Hierarchical motor


control in mammals and machines. Nature Communications,
10(1), 1–12.

Myer, G.D., Ford, K.R, Palumbo, J.P., dan T. Hewett. 2005.


Neuromuscular Training Improves Performance and Lower
Extremity Biomechanics in Female Athletes. Journal of Strength
and Conditioning Research. 19(1): 51- 60.
Nashner, L. M. (2009). Balance and Posture Control. Encyclopedia of
Neuroscience, 21–29.

Peterka, R. J. (2002). Sensorimotor integration in human postural


control. Journal of Neurophysiology, 88(3), 1097–1118.

Piscitelli, D., Falaki, A., Solnik, S., & Latash, M. L. (2017).


Anticipatory postural adjustments and anticipatory synergy
adjustments: preparing to a postural perturbation with
predictable and unpredictable direction. Experimental Brain
Research, 235(3), 713–730.

Silbernagi, S., & Despopulos, A. 2009. Sensory Nervous System. In


S. Silbernagi, & A. Despopulos, Color Atlas of Physiology (pp.
348 – 349). New York: Thieme.

Wang, T. N., Howe, T. H., Hinojosa, J., & Weinberg, S. L. (2011).


Relationship between postural control and fine motor skills in
preterm infants at 6 and 12 months adjusted age. American
Journal of Occupational Therapy, 65(6), 695– 701.

Watson M A, and Black F A, 2016. “The Human Balance System” A


Complex Coordination Of Central And Peripheral Systems By
The Vestibular Disorders Association.

Willis, W. D. (2007). The somatosensory system, with emphasis on


structures important for pain. Brain Research Reviews, 55(2
SPEC. ISS.), 297–313.

Anda mungkin juga menyukai