Wadah :
Kemasan tersegel; wadah suatu bahan steril yang dimaksudkan untuk pengobatan
C. Jelaskan mengenai mengapa ada perubahan paradigma farmasi dari product oriented
ke patient oriented.
Jawab : Product oriented adalah manajemen pemasaran dengan mengedepankan
kualitas produk yang dipasarkan untuk meningkatkan penjualan. Patient oriented
adalah manajemen pelayanan kefarmasian yang mengedepankan kualitas hidup pasien
daripada sekedar memasarkan obat kepada pasien. Orientasi pelayanan kefarmasian
pada saat ini telah bergeser dari pelayanan obat (product oriented) menjadi pelayanan
pada pasien (patient oriented) yang mengacu pada Pharmaceutical Care (PC). Dalam
tuntutan paradigma ini, farmasis tidak hanya berorientasi hanya kepada produk,
namun juga dituntut untuk berorientasi kepada pasien dengan tujuan meningkatkan
kualitas hidup pasien. Dengan adanya perubahan tersebut, apoteker dituntut untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan berkomunikasi dengan
pasien agar dapat memberikan pelayanan yang baik. Mengapa ada perubahan
tersebut? Secara historis, perkembangan farmasi global melalui tahapan-tahapan
periode. Yang pertama tahap tradisional, yakni terjadi sebelum tahun 1940-an dimana
fungsi dan peranan farmasis hanya berorientasi kepada produk, seperti kegiatan
menyediakan, membuat dan mendistribusikan obat. Kegiatan ini menekankan pada
ilmu dan seni meracik obat dalam skala kecil untuk kebutuhan pengobatan di rumah
sakit ataupun di komunitas. Tahap ini mulai goyah ketika mulai berkembangnya
farmasi industri yang memproduksi obat dalam skala besar. Periode tersebut terjadi
sekitar tahun 1940-an, dimana peresepan tidak lagi menekankan pada obat-obatan
yang membutuhkan peracikan, namun peresepan berisikan obat-obatan dalam sediaan
jadi yang diproduksi oleh industri farmasi dalam skala besar. Lalu, dengan semakin
berkembangnya ilmu kedokteran pada tahun 1960 hingga 1970-an ditandai dengan
mulai bermunculan berbagai jenis obat-obatan baru serta berkembangnya metode dan
alat-alat diagnosa yang baru sehingga menimbulkan permasalahan-permasalahan baru
dalam proses penggunaan obat. Hal tersebut memunculkan tahapan transisional,
dimana tuntutan terhadap kontribusi farmasis dalam dunia kesehatan semakin tinggi.
Pada masa tersebut banyak kalangan memandang bahwa peran farmasis tidak
difungsikan sebagaimana kompetensi yang dimilikinya, sehingga di Amerika dan
Inggris pada tahun 1960-an muncul istilah farmasi klinik. Periode awal famasi klinik
ditunjukkan dengan adanya farmasis yang mulai mengembangkan fungsi-fungsi baru
dan mencoba menerapkannya, misalnya yaitu dengan dimulainya kegiatan farmasis
bangsal yang menempatkan farmasis di bangsal-bangsal rawat inap untuk
memberikan kontribusi keilmuannya dalam rangka meningkatkan kualitas hidup
pasien, meskipun kontribusi tersebut masih dirasakan terbatas. Penerapan fungsi-
fungsi baru pada masa itu bukanlah tanpa kendala, kendala yang ditemui diantaranya
adalah banyaknya pertentangan dari dokter, perawat dan farmasis, namun terdapat
pula faksi-faksi yang mendukung fungsi-fungsi baru tersebut untuk terus dilakukan
dan dikembangkan. Kegigihan dan semangat untuk menjawab tuntutan berbagai
kalangan mengenai peran farmasis ditunjukkan dari masa ke masa, sehingga lahirlah
periode Pharmaceutical care dimana clinical pharmacy services diberikan dengan
semakin baik dan paripurna. Periode Pharmaceutical Care ditunjukkan dengan
berkembangnya pendidikan tinggi farmasi yang berbasiskan farmasi klinik. Hal
tersebut ditandai dengan munculnya pendidikan farmasi klinik yang sifatnya
spesialistik. Kehadiran farmasis berkeahlian klinik di negara-negara maju makin
dirasakan sangat penting, mengingat makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi dibidang kesehatan. Secara sederhananya, pharmaceutical care merupakan
sebuah bentuk optimalisasi peran apoteker dalam melakukan terapi obat pada pasien
guna meningkatkan derajat kesehatan pasien itu sendiri. Hal ini berarti mengubah
bentuk pekerjaan apoteker yang semula hanya berada di belakang layar menjadi
sebuah profesi yang langsung bersentuhan dengan pasien. Perubahan ini juga berarti
bahwa pekerjaan apoteker tidak lagi hanya meracik dan menyerahkan obat saja
kepada pasien, tetapi bertanggung jawab juga terhadap terapi yang diberikan kepada
pasien. Hal ini berarti pekerjaan kefarmasian di era patient oriented ini jika terlaksana
dalam sebuah sistem kesehatan nasional maka dipastikan akan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat Indonesia. Karena kompetensi apoteker menjamin keselamatan
pasien dalam hal penggunaan obat.
danya interaksi antara apoteker dengan pasien ini diharapkan mampu mendukung
tercapainya tujuan terapi (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35,
2014).