Anda di halaman 1dari 2

Sinopsis

Sendhyakala ning Majapahit merupakan sebuah lakon lima babak yang ditulis Sanusi Pane pada
tahun 1933, yang sebagaimana judulnya, lakon ini berkisah tentang masa-masa terakhir dari
kejayaan Majapahit. Diawali dengan percakapan Damar Wulan dengan neneknya, awal dari babak
pertama lakon ini menyajikan suatu cara pandang filosofis pada mengenai alam dan manusia, lewat
pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari kegelisahan Damar Wulan mengenai hal tersebut. Dalam
dialog itu, neneknya yang dikenal sebagai seorang yang arif pun tak dapat memberikan suatu
jawaban yang dapat membuat lalu kegelisahan cucunya. Hingga beberapa jurus ke depan, dikisahkan
bahwa Damar Wulan hanyut dalam suatu realitas lain yang mengawang ketika ia masih berupaya
mencari jalan agar pertanyaanya mengenai penciptaan ini menemui kejelasan. Dalam realitas itu
Damar Wulan bertemu dengan Wisynu yang menyampaikan sekaligus menjawab hal-ihwal
mengenai penciptaan alam yang sejak lama menggelisahkan hati Damar Wulan. Wisnu berkata
“Janganlah cari kedamaian dalam jiwa dalam dunia bayang-bayang. Nirwana dalam hatimu sendiri.
Insyaflah kamu, bahwa engkau adalah daku, Batara Wisnu”.

Babak pertama dalam lakon ini merupakan suatu gambaran yang menerangkan karakteristik juga
latar belakang dari pribadi Damar Wulan sebagai tokoh utama. Bukan sekadar kebetulan Sanusi Pane
membuka lakon ini dengan gambaran tersebut, melainkan kiranya memanglah diperlukan suatu
penegasan yang dominan tentang karakter tokoh utama dari suatu lakon, terlebih apabila hanya
tokoh tersebutlah satu-satunya tokoh yang menjalani lakon ini dari awal sampai akhir. Sebab apa
yang ditampilkan setiap penulis pada awal tulisannya, akan menjadi suatu pondasi dari imajinasi
pembaca mengenai tulisan tersebut. Selain itu di babak pertama ini penulis benar-benar
menyatakan cara pandangnya dalam menyikapi realita kehidupan. Hal tersebut sangat kentara lewat
perkataan-perkataan Wisynu ketika menjelaskan bagaimana rupa alam dan manusia yang
sebenarnya kepada Damar Wulan. Dari sini tergambar pula bahwa Sanusi Pane merupakan seorang
pikirannya lebih condong ke Timur dari pada ke Barat.

Setelah mendapatkan jawaban atas kegelisahannya lewat pertemuan mistis dengan Wisynu di
tengah dialog bersama neneknya, dan setelah kesadarannya kembali pada realitas yang semula, ia
merasa matanya lebih terbuka. Dengan begitu makin mantaplah ia berangkat ke Wirabumi untuk
melenyapkan Menak Jingga yang hendak merebut singgasana Majapahit, sebagaimana yang sudah
dianjurkan oleh nenek dan Nawangsari, Ibunya.

Babak ke dua mengisahkan pertemuan Damar Wulan dengan Anjasmara (putri dari patih Majapahit
yang sebenarnya merupakan paman Damar Wulan). Damar Wulan di sana menyamar sebagai
seorang yang memelihara kuda untuk mengetahui keadaan sosial masyarakat di sana. Pada babak ini
dikisahkan bahwa mereka saling jatuh hati, namun ironi seketika menyelimuti ketika Damar Wulan
mengatakan maksud tujuannya datang ke Majapahit untuk menumpas Menak Djingga yang
memakmurkan rakyat di sana. Namun sebagai kekasih yang penuh cinta, Anjasmara hanya
mendukung apa yang menjadi tujuan kekasihnya itu mesti dengan berat hati. Awan murung makin
menebal ketika sampai kabar mengenai Nawangsari, ibu Damar Wulan yang sedang sakit parah. Hal
itu sempat menciutkan maksud semulanya, namun setelah merenung Damar Wulan memutuskan
untuk tetap maju demi kepentingan Majapahit dan rakyatnya. Pada gambaran tersebut, terselip
kembali falsafah uniomystika - collectivisme Sanusi Pane dalam kegiatan berkesenian.

Babak ke tiga mengisahkan suatu keadan krisis yang dihadapi oleh Majapahit, para Adipati
bermusyawarah bersama Dewi Suhita, mencari jalan keluar yang dapat ditempuh oleh mereka.
Permasalahan krisis itu bertambah ketika tidak adanya Adipati yang berkenan menjadi senapati di
medan perang, andai kata peperangan nanti terjadi, sebab Raden Gajah (sebutan bagi Damar
Wulan). Dan hal itu bertambah menekan lagi sebab datang kabar bahwasanya Menak Jingga telah
sampai dan merebut kuasa di Perebalingga. Mereka terus berunding hingga untuk sekian kalinya
datang seorang abdi dalam menghadap, ia mengabarkan bahwa di luar istana sedang terjadi huru-
hara antara rakyat. Namun di tengah kekacauan itu semua, tak lama datanglah Raden Gajah yang
menghadap Dewi Suhita dan menyatakan siap menjadi senapati di medan perang, setelah
menyampaikan wasiat dari ayahnya Raden Udara yang menjadi senapati pada perang sebelumnya.

Bagian ke empat mengisahkan sekilas mengenai peperangan antara Damar Wulan dan Menak Jingga
yang akhirnya dimenangkan oleh Damar Wulan bersama bala pasukan Majapahit. Damar Wulan
berhasil menacapkan panji musuh di bawah singgasana Jawadwipa. Kemenangan itu selanjutnya
menghantarkan Damar Wulan pada gelar Ratu Angabaya di Majapahit. Dewi Suhita senang dan
rakyat tentram.

Babak ke lima mengisahkan Senjakala di tanah Majapahit. Kerajaan raksasa itu runtuh diserang oleh
pasukan Islam. Namun hal itu tentunya berkaitan dengan peristiwa sebelumnya. Bahwa dikisahkan
di sana banyak beberapa pejabat kerajaan yang iri melihat Damar Wulan menduduki kekuasaan yang
tinggi, termasuk Patih sendiri ayah dari Anjasmara. Orang-orang itu akhirnya berniat untuk
menggulingkan Damar Wulan dengan mengadukan sebuah fitnah tentang ketidakbecusan Damar
Wulan dalam mengemban amanat dari jabatannya. Dewi Suhita sebenarnya tak lantas percaya pada
tuduhan yang ditujukan pada Damar Wulan, namun fitnah itu dikuatkan mereka cara
memenghadirkan saksi-saksi palsu yang dibayar. Akhirnya Damar Wulan pun dihukum mati,
kematiannya itu sekaligus menandai keruntuhan Majapahit pula.

Anda mungkin juga menyukai