Anda di halaman 1dari 3

Pengalaman transformasi siswa kulit hitam di universitas Afrika Selatan yang sebelumnya

"hanya kulit putih": studi photovoice

Penulis : Josephine Cornella,b dan Shose Kessic

Pendidikan tinggi Afrika Selatan telah mengalami perubahan signifikan sejak 1994, terutama,
pergeseran demografi universitas “hanya kulit putih” secara historis. Pada tahun 2013, di
University of Cape Town (UCT), mahasiswa “Afrika” merupakan dua puluh empat persen dari
pendaftaran mahasiswa; “SA Coloured” empat belas persen, “SA Indian” tujuh persen dan “SA
white” tiga puluh dua persen, sebagaimana tercantum di situs web Universitas Cape Town
Politik transformasi, khususnya kebijakan penerimaan, sangat gencar diperdebatkan (Favish dan
Hendry 2010; Soudien et al. 2008) seringkali merepresentasikan siswa kulit hitam secara negatif
dan menyoroti ambivalensi seputar transformasi (Kessi 2013). Artikel ini membahas hasil proyek
penelitian photovoice yang mengeksplorasi pengalaman siswa kulit hitam1 dalam konteks ini.
Para penulis menyoroti bagaimana stereotip siswa kulit hitam berdampak pada identitas mereka,
dan bagaimana siswa mengembangkan strategi untuk melawannya.

Wacana tentang ras dan transformasi


UCT menggunakan kebijakan penerimaan tindakan afirmatif untuk mengatasi ketidaksetaraan
rasial dalam tubuh siswanya. Kebijakan ini menetapkan persyaratan masuk yang berbeda untuk
siswa dari kategori ras apartheid yang berbeda2 dan telah diperdebatkan dengan hangat di media
serta publikasi akademis Perdebatan seputar transformasi ini telah mengakibatkan stigmatisasi
tipe stereo siswa kulit hitam. Siswa kulit hitam sering digambarkan sangat dirugikan secara
akademis, tidak siap untuk bekerja setelah mereka lulus, dan menggunakan apartheid sebagai
alasan untuk berprestasi rendah. Pelajar kulit hitam sangat sadar akan stereotip ini, yang
seringkali merusak keberhasilan mereka dalam lingkungan pendidikan. Stereotip ini adalah
bagian dari wacana yang memposisikan peningkatan jumlah mahasiswa kulit hitam sebagai
penyebab penurunan standar universitas “kulit putih”. Robus dan Macleod (2006) menyebut
wacana ini sebagai “keunggulan putih/kegagalan hitam”.
Gerakan mahasiswa mengangkat masalah ini dimulai pada awal 2015 dengan Gerakan Rhodes
Must Fall (RMF) di UCT yang menyerukan dekolonisasi pendidikan tinggi di Afrika Selatan.
Gerakan ini berusaha menarik perhatian pada rasisme yang dilembagakan di UCT dan
menciptakan jalan untuk transformasi. Ini telah menyebar ke lembaga pendidikan tinggi lainnya
di seluruh negeri, dengan gerakan seperti TransformWits dan OpenStellenbosch, dan secara
internasional seperti di Universitas Oxford di Inggris Gerakan mahasiswa ini berpuncak pada
Gerakan Nasional FeesMustFall pada akhir tahun 2015 yang berfokus pada laju transformasi
yang lambat dan sifat pendidikan tinggi yang eksklusif bagi sebagian besar orang Afrika Selatan.
Jelas bahwa ada kebutuhan untuk mengkaji transformasi dalam pendidikan tinggi di Afrika
Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman mahasiswa kulit hitam di
UCT dan melibatkan mereka dalam dialog tentang isu-isu transformasi.

Metode
Metodologi penelitian tindakan partisipatif (PAR) photovoice digunakan untuk penelitian ini.
Photovoice dikembangkan oleh Wang dan Burris (1997) pada pertengahan 1990- an sebagai alat
pengembangan masyarakat bagi perempuan di pedesaan Cina. Metodologi Photovoice bertujuan
untuk mempromosikan dialog kritis; untuk memberdayakan peserta dan mempromosikan
perubahan sosial; dan untuk menjangkau pembuat kebijakan melalui pameran fotografi.
Metodologi ini memungkinkan para partisipan untuk berperan sebagai peneliti dan menjadi aktif
dalam mengubah keadaan mereka.
Photovoice sangat sesuai untuk digunakan dengan mahasiswa, karena mereka sering merasa
tidak berdaya untuk menjangkau pembuat keputusan universitas yang berpengaruh. Ini memberi
siswa kesempatan untuk mendengar suara mereka dan berpotensi mempengaruhi kebijakan
universitas.

Temuan
1. Putihnya UCT
Sebagian besar peserta tampaknya memiliki pandangan ambivalen tentang transformasi
di UCT. Mereka sepakat bahwa kebijakan transformasi sudah ada. Namun, banyak yang
merasa bahwa komitmen terhadap transformasi sebagian besar berada pada level
kebijakan. Berdasarkan wawancara bersama Kopano, ia menyoroti bagaimana
transformasi di UCT diimplementasikan sesuai dengan agenda tertentu (yaitu
meningkatkan jumlah siswa kulit hitam). Sempitnya agenda ini membuat realitas
transformasi bagi mahasiswa bisa berbeda dengan kebijakan resmi lembaga. Penggunaan
istilah "tabir asap" dan "gangguan" olehnya mengisyaratkan perasaannya terhadap
penipuan kebijakan.
2. Stereotip di kampus
Perhatian utama peserta adalah prevalensi stereotip negatif mahasiswa kulit hitam di
kampus. Stereotipe yang umum adalah persepsi siswa kulit hitam sebagai orang yang
tidak cerdas dan malas. Banyak stereotip yang dijelaskan oleh para peserta terkait dengan
kebijakan penerimaan UCT. Stereotip ini digunakan untuk menyerang kebijakan dan
melemahkan legitimasinya. Dengan menggambarkan siswa kulit hitam sebagai pemalas
dan tidak cerdas, ini menunjukkan bahwa mereka tidak pantas berada di UCT. Stereotip
ini digunakan untuk mempertahankan pandangan tindakan antiafirmatif dan menjauhkan
siswa kulit hitam.
3. Focus universitas berpusat pada eurosentris
Peserta juga menyoroti fokus Eurosentris universitas sebagai kegagalan transformasi.
Steyn dan Van Zyl (2001) mengemukakan bahwa ketika UCT menggambarkan dirinya
sebagai "internasional", itu sebenarnya berarti "putih" dan "Eurosentris". Pertama, para
peserta merasa terganggu oleh fokus kurikulum mereka yang kebarat-baratan: “Apa yang
UCT coba lakukan hanyalah menerima lebih banyak orang kulit berwarna alih-alih
benar-benar melakukan transformasi nyata dalam arti kurikulum kami masih dari
perspektif Barat”. Kedua, peserta prihatin dengan rendahnya jumlah staf akademik
berkulit hitam: “Saya adalah mahasiswa tahun ketiga di UCT dan saya tidak diajari oleh
seseorang yang berkulit hitam” kat salah seorang peserta.
Kurangnya representasi ini dapat memperkuat rasa eksklusi siswa kulit hitam, di tempat
yang sudah ada, ruang yang mengasingkan. Ini menandakan kurangnya kesempatan bagi
siswa kulit hitam untuk mendapatkan akses ke karir di dunia akademis.
4. Masalah simbolisme colonial di sekitar kampus
Kehadiran terus tokoh-tokoh dari masa kolonial universitas (seperti patung dan
nama gedung) dapat merusak kepercayaan mahasiswa kulit hitam terhadap posisi
mereka di dalam institusi ini. Contohnya seperti (gambar1) Bagi banyak mahasiswa,
patung ini merupakan symbol penindasan yang terletak di posisi sentral dan menonjol di
Kampus Atas. Bahkan, penghapusan patung ini adalah dorongan dan fokus awal dari
Gerakan RMF. Bagi mahasiswa dan staf yang terlibat dalam gerakan ini, patung Rhodes
merupakan simbol hak istimewa dan supremasi kulit putih di kampus. Pada Maret 2015,
manajemen universitas mengakui, dan patung itu disingkirkan.
5. Efek dari pengalaman kampus yang di realisasikan
Salah satu konsekuensi internalisasi yang paling berbahaya adalah siswa mulai
meragukan diri mereka sendiri. Ini terbukti di seluruh kumpulan data ketika beberapa
peserta mengungkapkan perasaan tidak aman dan kehilangan motivasi. Selain itu, banyak
siswa kulit hitam mengalami keterasingan di UCT. Beberapa peserta menjelaskan
bagaimana mereka sering merasa tidak cocok dengan lingkungan UCT. Begitu siswa
meragukan diri mereka sendiri dan mempertanyakan kepemilikan mereka dalam suatu
institusi, hal itu dapat berdampak buruk pada hasil pendidikan mereka. Hal ini dapat
menyebabkan beberapa siswa untuk diam diri dalam diskusi kelas. Misalnya, Kopano
menjelaskan bagaimana kecemasannya untuk mengajukan pertanyaan di kelas
memengaruhi prestasi akademiknya. Pengalaman serupa telah didokumentasikan oleh
peserta dalam penelitian lain Masalahnya, ketika siswa kulit hitam menahan diri untuk
tidak berkontribusi dalam diskusi kelas, mereka secara tidak sengaja menegaskan
stereotip bahwa mereka tidak memiliki kontribusi apa pun. Selanjutnya, kelas kehilangan
masukan dari siswa kulit hitam. Jelas bahwa pengalaman yang dialami banyak siswa kulit
hitam di UCT dapat berdampak negatif bagi mereka.
6. Mekanisme koping : reaksi siswa terhadap keputihan institusional dan wacana rasial
Peserta menggunakan mekanisme koping dan strategi perlawanan untuk menantang
stereotip dan memulihkan harga diri mereka. Ini dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
a. Mencoba membuktikan nilai mereka
Beberapa peserta merasa bahwa mereka perlu membuktikan diri untuk mengatasi
stereotip yang diasosiasikan dengan orang kulit hitam dan dianggap serius. Mereka
merasa bahwa prestasi akademik dan kerja keras akan membuktikan bahwa mereka
pantas mendapat tempat di universitas.
b. Perlawanan dan representasi
Alih-alih mencoba menyangkal stereotip, cara lain yang mungkin lebih efektif yang
ditanggapi oleh para peserta adalah melalui penolakan dan penolakan terhadap tipe
stereo dan representasi aktif dari diri mereka sendiri.
Contohnya : (gambar2) Sean telah mengedit foto ini sehingga ras para siswa di foto
tersebut tidak jelas (bahkan inversi warna membuat semua siswa tampak berkulit
gelap). Foto ini bukanlah pengalaman transformasi Sean saat ini, melainkan harapan
dan keinginannya untuk masa depan. Dalam cerita foto ini, Sean bertanggung jawab
atas bagaimana menurutnya transformasi harus direpresentasikan.

Anda mungkin juga menyukai