LAPORAN PENDAHULUAN
LANSIA DENGAN HIPERTENSI
BAB I
KONSEP LANSIA
A. Proses Menua
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemamuan
jaringan untuk memperbaiki diri / mengganti dengan mempertahankan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita
(Constantinides, 1994).
Proses menua merupakan proses yang terus menerus (berlanjut secara alamiah). Dimulai
sejak lahir dan umumnya pada semua makluk hidup. Sampai saat ini banyak sekali teori yang
menerangkan proses menua. Mulai dari teori degeneratif yang didasari oleh habisnya daya
cadangan vital, teori terjadinya atropi yaitu teori yang mengatakan bahwa proses menua
adalah proses evolusi dan teori imunologik yaitu teori adanya produk sampah dari tubuh yang
makin bertumpuk. Tetapi seperti diketahui lanjut usia akan selalu bergandengan dengan
perubahan fisiologis maupun psikologis, yang penting untuk diketahui bahwa aktivitas fisik
dapat menghambat / memperlambat kemunduran fungsi alat tubuh yang disebabkan
bertambahnya umur. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ketuan meliputi : hereditas,
nutrisi, status kesehatan, pengalaman hidup, lingkungan dan stress. Menurut UU No. 13
tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia yang berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang
yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Sebenarnya lansa merupakan suatu proses alami yang
tidak dapat ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semua orang akan mengalami proses
menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir, dimana pada masa
ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi sedikit sampai
tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi sehingga bagi kebanyakan orang, masa yang
merupakan masa yang kurang menyenangkan.
Lansia dapat dibedakan ke dalam beberapa tipe yang tergantung pada karakter, pengalaman
hidupnya, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya.
Tipe ini antara lain :
1. Tipe optimis
2. Tipe konstruktif
3. Tipe putus asa
4. Tipe defensif
5. Tipe militan / serius
6. Tipe ketergantungan
7. Tipe marah / frustasi
Menurut kemampuan dalam berdiri sendiri para lansia dapat digolongkan dalam kelompok
antara lain :
1. Lansia mandiri sepenuhnya
2. Lansia mandiri dengan bantuan langsung keluarganya
3. Lansia mandiri dengan bantuan tidak langsung
4. Lansia dibantu oleh badan sosial
5. Lansia panti sosal tresna werdha
6. Lansia yang dirawat di RS
7. Lansia yang menderita gangguan mental
BAB II
LANSIA DENGAN HIPERTENSI
140-159
160-179
180-209
> 210 < 85
85-89
90-99
100-109
110-119
> 120
C. Etiologi
Berdasar penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
1. Hipertensi primer / esensial
Yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya, tetapi ada beberapa faktor penunjang
antara lain :
- Herediter
- Lingkungan
- Hiperaktivitas
- Susunan syaraf simpatis
- Sistem rennin ongiotensin
- Defek dalam mensekresi Na
- Faktor-faktor yang meningkatkan resiko seperti : alcohol, merokok serta polistemia, stress
(Ignativicius, 1991 : 2197).
D. Patofisiologi
Tekanan darah yang meningkat pada penyakit hipertensi menyebabkan aliran darah
meningkat. Sehingga dalam pembuluh darah terjadi sclerosis yang kemudian aliran darah
tersebut menjadi statis (adanya retensi garam). Hal tersebut menyebabkan peningkatan kerja
jantung yang ditandai dengan peningkatan kontraksi otot jantung sehingga otot jantung
mengalami pembesaran dan mengakibatkan penurunan cardiac output.
Peningkatan TD dapat menyebabkan sclerosis yang menimbulkan pengecilan pembuluh
darah. Jika dalam serebral terjadi peningkatan vaskuler (aliran darah) karena adanya
peningkatan ini menyebabkan aliran darah turun, sehingga suplai darah ke otak kurang dan
dapat terjadi nyeri.
Karena suplai darah ke otak berkurang maka O2 yang diedarkan oleh darah ke otak menjadi
berkurang pula, sehingga terjadi gangguan perfusi jaringan. Dampak hipertensi pada ginjal
terjadi vaskontriksi pembuluh darah ginjal yang menyebabkan penurunan aliran darah. Hal
ini menyebabkan rennin (yang merupakan enzim yang disekresi oleh sel junkta glomerulus
ginjal) bekerja pada substratnya berupa pembentukan engiotensin peptida II yang
berpengaruh terhadap aldosteron untuk mengikat natrium dan air ke inter stisial, hal tersebut
mengakibatkan peningkatan volume cairan dalam tubuh.
Perubahan fisik pada lansia terkait dengan penyakit hipertensi :
• Perubahan sistem kardiovaskuler
- Elastisitas, dinding aorta menurun
- Katub jantung menebal dan menjadi kaku
- Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah umur 20 tahun,
hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.
- Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer
untuk oksigenasi, perubahan posisi dari tidur ke duduk (duduk ke berdiri) bisa menyebabkan
tekanan darah menurun menjadi 65 mmHg (mengakibatkan pusing mendadak)
- Tekanan darah meninggi diakibatkan oleh meningkatknya resistensi dari pembuluh darah
perifer, sistolis normal ± 170 mmHg. Distolis normal ± 90 mmHg.
Dengan adanya penurunan suplai O2 ke otak maka kebutuhan otak akan O2 berkurang. Hal
tersebut dapat menyebabkan pingsan pada akhirnya akan terjadi resiko injuri.
(Ganong, 2003)
(Price & Wilson, 1995)
(Smeltzer & Bare, 2001)
E. Manifestasi
1. Neurologi
- Pusing / migraine
- Penurunan kemampuan berbicara
- Disfungsi sistem syaraf
- Infeksi serebral
- Infark otak
- Perdarahan serebral
- Edema cerebral
- Stroke
- Hemiplegia
2. Gastro intestinal
- Mual
- Muntah
3. Urologi
- Poliuria
- Nokturia
- Hematuria mikroskopik
- Palidipsi
- Azotemia
- Gagal ginjal
- Proteinuria
4. Kardiovaskuler s
- Mycocardiac infark
5. Respiratorisus
- Sesak nafas
6. Psikologis
- Mudah marah
- Cemas
- Sulit tidur
7. Sensori
- Gangguan tajam pengelihatan
- Pandangan akbur
- Kebutaan
- Retinopati
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada penderita hipertensi terdiri dari penatalaksanaan non farmakologis dan
famarkologis.
Penatalaksanaan non farmakologis terdiri dari :
1. Penurunan berat badan
2. Pembatasan alcohol
3. Pembatasan konsumsi natrium
4. Pembatasan penggunaan tembakau
5. Latihan dan relaksasi
Penatalaksanaan farmakologis terdiri dari :
1. Diuretik (chlorthalidone chygraton)
2. Diuretika pengganti kalium
3. Diuretika loop (frerasemide (lasik)
4. Inhibitor asenergik (propanoloc (iinderal)
5. Vaskodilaton (hydrolazine hydrocholoride (apresoline)
6. Penghambat enzim pengubah angiotensin (captopril (capoten)
7. Antagonis kalsium (diltiazem hydrochloride (cardizem)
I. Komplikasi
Pada umumnya komplikasi terjadi pada hipertensi berat yaitu jika tekanan diastolic 130
mmHg atau pada kenaikan tekanan darah yang terjadi secara mendadak dan tinggi.
Beberapa negara mempunyai pola komplikasi yang berbeda-beda. Di Jepang gangguan
serebravaskuler lebih mencolok dibandingkan dengan kelainan organ yang lain, sedangkan di
Amerika dan Eropa komplikasi jantung ditemukan lebih banyak. Di Indonesia belum ada data
mengenai hal ini, akan tetapi komplikasi serebral vaskuler dan komplikasi jantung sering
ditemukan.
Pada hipertensi ringan dan sedang komplikasi yang terjadi adalah pada mata, ginjal, jantung
dan otak. Pada mata berupa perdarahan retina, gangguan pengelihatan sampai dengan
kebutaan. Gagal jantung merupakan kelainan yang sering ditemukan pada hipertensi berat
disamping kelainan koroner dan miokardio. Pada otak sering terjadi perdarahan yang
disebabkan oleh pecahnya mikroorganisme yang dapat mengakibatkan kematian. Kelainan
lain yang dapat terjadi adalah proses tromboembali dan serangan iskemia otak sementara
(transisent ischeemic attack). Gagal ginjal sering dijumpai sebagai komplikasi hipertensi
yang lama dan pada proses akut pada hipertensi maligna.
2. Nyeri (sakit kepala) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler cerebral
TUM : nyeri berkurang sampai dengan hilang
TUK :
a. Skala nyeri < 3
b. Ekpresi wajah rileks
c. Klien menyatakan nyeri berkurang / hilang
Intervensi :
a. Kaji status nyeri (skala, Durasi, irama, kualitasnya)
Rasional : aktivitas yang meningkatkan vasokontriksi menyebabkan sakit kepala karena
adanya peningkatan tekanan vaskulercerebral.
DAFTAR PUSTAKA
- Carpenito, Lynda Juall, 2000, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Alih Bahasa oleh
Monica Ester, (Ed. 8), EGC, Jakarta.
- Doengoes, Marilyn E, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien, Terjemahan oleh I Made Kassise (ed.I). EGC : Jakarta.
- Ganang, William, F, 2002, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, (Ed.20), Alih bahasa oleh
Brahm U Panit (et.al), EGC : Jakarta.
- Isselbacher, Kurt, 2000, Horison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, EGC : Jakarta.
- Price, Sylvia Anderson dan Wilson, Lorraine Mc. Carty, 1995, Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit, (ed.4, buku 2), Terjemahan oleh : Peter Anugrah, EGC :
Jakarta.
- Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah :
Brunner dan Suddarth (ed.8, vol.2), Terjemahan oleh Agung Waluyo, (et,all), EGC : Jakarta.
- Nugroho, Wahyudi SKM, 2000, Keperawatan Gerontik (edisi 2), penerit buku Kedokteran
EGC : Jakarta.
ASAM URAT
LAPORAN PENDAHULUAN
ASAM URAT
A. PENGERTIAN
Artritis gout adalah suatu sindrom klinis yang mempunyai gambaran khusus, yaitu
artritis akut. Artritis gout lebih banyak terdapat pada pria dari pada wanita. Pada pria sering
mengenai usia pertengahan, sedangkann pada wanita biasanya mendekati masa manopause.
(kapita selekta kedokteran edisi ketiga jilid pertama, 2001; 542)
Gout arthritis, atau lebih dikenal dengan nama penyakit asam urat, adalah salah satu
penyakit inflamasi yang menyerang persendian.
Artritis pirai (Gout) adalah suatu proses inflamasi yang terjadi karena deposisi kristal
asam urat pada jaringan sekitar sendi. gout terjadi sebagai akibat dari hyperuricemia yang
berlangsung lama (asam urat serum meningkat) disebabkn karena penumpukan purin atau
ekresi asam urat yang kurang dari ginjal. Gout mungkin primer atau sekunder.
1. Gout primer Merupkan akibat langsung pembentukan asam urat tubuh yang berlebih atau
akibat penurunan ekresi asam urat
2. Gout sekunder Disebabkan karena pembentukan asam urat yang berlebih atau ekresi asam urat
yang bekurang akibat proses penyakit lain atau pemakaian obat tertentu.
B. ETIOLOGI
Gout disebabkan oleh adanya kelainan metabolik dalam pembentukan purin atau ekresi
asam urat yang kurang dari ginjal yang menyebakan hyperuricemia. Hyperuricemia pada
penyakit ini disebabakan oleh :
(1) Pembentukan asam urat yang berlebih.
• Gout primer metabolik disebabkan sistensi langsung yang bertambah.
• Gout sekunder metabolik disebabkan pembentukan asam urat berlebih karana penyakit lain,
seperti leukimia.
(2) Kurang asam urat melalui ginjal.
• Gout primer renal terjadi karena ekresi asam urat di tubulus distal ginjal yang sehat.
Penyabab tidak diketahui
• Gout sekunder renal disebabkan oleh karena kerusakan ginjal, misalnya glumeronefritis
kronik atau gagal ginjal kronik.
C. PATIFISIOLOGI
Banyak faktor yng berperan dalam mekanisme serangan gout. Salah satunya yang telah
diketahui peranannya adalah kosentrasi asam urat dalam darah. Mekanisme serangan gout
akut berlangsung melalui beberapa fase secara berurutan.
1. Presipitasi kristal monosodium urat.
Presipitasi monosodium urat dapat terjadi di jaringan bila kosentrasi dalam plasma lebih dari
9 mg/dl. Presipitasi ini terjadi di rawan, sonovium, jaringan para- artikuler misalnya bursa,
tendon, dan selaputnya. Kristal urat yang bermuatan negatif akan dibungkus (coate) oleh
berbagai macam protein. Pembungkusan dengan IgG akan merangsang netrofil untuk
berespon terhadap pembentukan kristal.
2. Respon leukosit polimorfonukuler (PMN)
Pembentukan kristal menghasilkan faktor kemotaksis yang menimbulkan respon leukosit
PMN dan selanjutnya akan terjadi fagositosis kristal oleh leukosit.
3. Fagositosis
Kristal difagositosis olah leukosit membentuk fagolisosom dan akhirnya membram vakuala
disekeliling kristal bersatu dan membram leukositik lisosom.
4. Kerusakan lisosom
Terjadi kerusakn lisosom, sesudah selaput protein dirusak, terjadi ikatan hidrogen antara
permukan kristal membram lisosom, peristiwa ini menyebabkan robekan membram dan
pelepasan enzim-enzim dan oksidase radikal kedalam sitoplasma.
5. Kerusakan sel
6. Setelah terjadi kerusakan sel, enzim-enzim lisosom dilepaskan kedalam cairan sinovial, yang
menyebabkan kenaikan intensitas inflamasi dan kerusakan jaringan.
E. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan non medik.
G. KOMPLIKASI
1. Nodulus reumatoid ekstrasinovialdapat terbentuk pada katup jantung atau pada paru, mata,
atau limpa. Funngsi pernapasan dan jantung dapat terganggu. Glukoma dapat terjadi apabila
nodulus yang menyumbat aliran keluar cairan okular terbentuk pada mata.
2. Vasulitis (inflamasi sistem vaskuler) dapat menyebabkan trombosist dan infark.
3. Penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari, depresi dan stres
keluarga dapat menyertai eksaserbasi penyakit.
Intervensi :
1. Pantau kadar asam urat serum.
2. Berikan istirahat dengan kaki ditnggikan.
3. Berikan kantung es atau panas basah.
4. Berikan analgesik yang diprogramkan.
5. Berikan obat anti gout yang diresepkan dan evaluasi keefektifannya
6. Instruksikan pasien untuk minim2-3 liter cairan setiap hari dan meningkatkan masukn
makanan pembuat alkalis seperti susu, buah sitrun dan daging.
Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri.
Ditandai dengan :
1. Klien juga mengatakan tadi malam tidurnya hanya ± 5 jam.
2. Klien tampak lemah.
3. tampak lingkaran hitam di bawah mata klien.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Jakarta: EGC, 2009.
Fakultas Kedokteran UI. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius,
2001.
http://1.bp.blogspot.com/-b-653wxYZU/Tth4Cdd-PvI/AAAAAAAAABA/IVlFfn1JUOk/s1600/
sendi.gif
http://id.wikipedia.org/wiki/Artritis
http://id.wikipedia.org/wiki/Artritis_reumatoid
Patofisiologi gout arthritis | rod-tobing weblog™ sectiocadaveris.wordpress.com
http://sectiocadaveris.wordpress.com/artikel-kedokteran/patofisiologi-gout-arthritis/
http://edhiejowo.blogspot.com/2012/02/anatomi-fisiologi-sendi.html
BAB I
KONSEP DASAR
Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti sendi. Kedua,
itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang sendi. Sedangkan
Reumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi
tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan
seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi (Gordon, 2002). Engram
(1998) mengatakan bahwa, Reumatoid arthritis adalah penyakit jaringan penyambung
sistemik dan kronis dikarakteristikkan oleh inflamasi dari membran sinovial dari sendi
diartroidial.
Reumatoid Artritis merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang manifestasi
utamanya adalah poliartritis yang progresif, akan tetapi penyakit ini juga melibatkan seluruh
organ tubuh.(Hidayat, 2006)
Artritis Reumatoid adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan
dan kaki) secara simetris mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan
seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi.(www.medicastore.com)
Penyakit reumatik adalah penyakit inflamasi non- bakterial yang bersifat sistemik, progesif,
cenderung kronik dan mengenai sendi serta jaringan ikat sendi secara simetris. ( Rasjad
Chairuddin, Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi, hal. 165 )
Artritis Reumatoid adalah suatu penyakit inflamasi kronik dengan manifestasi utama
poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh. (Arif Mansjour. 2005 )
Reumatik adalah gangguan berupa kekakuan, pembengkakan, nyeri dan kemerahan pada
daerah persendian dan jaringan sekitarnya (Adellia, 2011).
pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus
menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus
menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
3. Probable Reumatoid arthritis
pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus
menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
4. Possible Reumatoid arthritis
pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus
menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan.
Hingga kini penyebab Remotoid Artritis (RA) tidak diketahui, tetapi beberapa hipotesa
menunjukan bahwa RA dipengaruhi oleh faktor-faktor :
Penyebab penyakit Reumatoid arthritis belum diketahui secara pasti, namun faktor
predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi), faktor metabolik, dan infeksi
virus (Suratun, Heryati, Manurung & Raenah, 2008).
Adapun Faktor risiko yang akan meningkatkan risiko terkena nya artritis reumatoid adalah;
Jenis Kelamin.
Artritis reumatoid biasanya timbul antara umur 40 sampai 60 tahun. Namun penyakit ini juga
dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak (artritis reumatoid juvenil)
Riwayat Keluarga.
Apabila anggota keluarga anda ada yang menderita penyakit artritis Reumatoid maka anda
kemungkinan besar akan terkena juga.
Pada Reumatoid arthritis, reaksi autoimun (yang dijelaskan sebelumnya) terutama terjadi
dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-
enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial
dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan
menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan
mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami
perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot
(Smeltzer & Bare, 2002).
Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi sinovial seperti edema, kongesti vaskular, eksudat
febrin dan infiltrasi selular. Peradangan yang berkelanjutan, sinovial menjadi menebal,
terutama pada sendi artikular kartilago dari sendi. Pada persendian ini granulasi membentuk
pannus, atau penutup yang menutupi kartilago. Pannus masuk ke tulang sub chondria.
Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan gangguan pada nutrisi kartilago
artikuer. Kartilago menjadi nekrosis.
Tingkat erosi dari kartilago menentukan tingkat ketidakmampuan sendi. Bila kerusakan
kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara permukaan sendi, karena jaringan fibrosa
atau tulang bersatu (ankilosis). Kerusakan kartilago dan tulang menyebabkan tendon dan
ligamen jadi lemah dan bisa menimbulkan subluksasi atau dislokasi dari persendian. Invasi
dari tulang sub chondrial bisa menyebkan osteoporosis setempat.
Lamanya Reumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan adanya masa
serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari serangan
pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Namun pada sebagian kecil individu terjadi
progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan sendi yang terus menerus dan terjadi
vaskulitis yang difus (Long, 1996).
Nyeri persendian
Bengkak (Reumatoid nodule)
Kekakuan pada sendi terutama setelah bangun tidur pada pagi hari
Terbatasnya pergerakan
Sendi-sendi terasa panas
Demam (pireksia)
Anemia
Berat badan menurun
Kekuatan berkurang
Tampak warna kemerahan di sekitar sendi
Perubahan ukuran pada sendi dari ukuran normal
Pasien tampak anemik
Pada tahap yang lanjut akan ditemukan tanda dan gejala seperti :
Gejala Extraartikular :
Adabeberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita artritis reumatoid.
Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena
penyakit ini memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi.
Gejala umum Reumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada tingkat peradangan
jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit ini aktif. Ketika jaringan berhenti
meradang, penyakit ini tidak aktif. Remisi dapat terjadi secara spontan atau dengan
pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa bulan atau tahun. Selama remisi, gejala
penyakit hilang dan orang-orang pada umumnya merasa sehat ketika penyakit ini aktif lagi
(kambuh) ataupun gejala kembali (Reeves, Roux & Lockhart, 2001).
Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan energi, kurangnya nafsu
makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi dan kekakuan. Otot dan kekauan sendi
biasanya paling sering di pagi hari. Disamping itu juga manifestasi klinis Reumatoid arthritis
sangat bervariasi dan biasanya mencerminkan stadium serta beratnya penyakit. Rasa nyeri,
pembengkakan, panas, eritema dan gangguan fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik
untuk Reumatoid arthritis (Smeltzer & Bare, 2002). Gejala sistemik dari Reumatoid arthritis
adalah mudah capek, lemah, lesu, takikardi, berat badan menurun, anemia (Long, 1996).
Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah : mulai pada persendian kecil di
tangan, pergelangan, dan kaki. Secara progresif mengenai persendian, lutut, bahu, pinggul,
siku, pergelangan kaki, tulang belakang serviks, dan temporomandibular. Awitan biasanya
akut, bilateral dan simetris. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi hari
berlangsung selama lebih dari 30 menit. Deformitas tangan dan kaki adalah hal yang umum.
1. Stadium sinovitis
Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai hiperemi, edema
karena kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun istirahat, bengkak dan kekakuan.
2. Stadium destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada jaringan
sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.
3. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan
gangguan fungsi secara menetap. Keterbatasan fungsi sendi dapat terjadi sekalipun stadium
pada penyakit yang dini sebelum terjadi perubahan tulang dan ketika terdapat reaksi inflamasi
yang akut pada sendi-sendi tersebut. Persendian yang teraba panas, membengkak, tidak
mudah digerakkan dan pasien cendrung menjaga atau melinddungi sendi tersebut dengan
imobilisasi. Imobilisasi dalam waktu yang lama dapat menimbulkan kontraktur sehingga
terjadi deformitas jaringan lunak. Deformitas dapat disebabkan oleh ketidaksejajajran sendi
yang terjadi ketika sebuah tulang tergeser terhadap lainnya dan menghilangkan rongga sendi
(Smeltzer & Bare, 2002).
Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi pada lanjut usia
menurut Buffer (2010), yaitu: sendi terasa kaku pada pagi hari, bermula sakit dan kekakuan
pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari, mulai terlihat
bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat, terjadi kemerahan dan terasa
sakit/nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat menyebabkan demam, dapat terjadi berulang
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik yang
merupakan komlikasi utama penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat
pengubah perjalanan penyakit ( disease modifying antirhematoid drugs, DMARD ) yang
menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada arthritis reumatoid.
Komlikasi saraf yang terjadi memberikan gambaran jelas , sehingga sukar dibedakan antara
akibat lesi artikuler dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat
ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.
No Kriteria Definisi
Kekakuan pada pagi hari pada persendian dan disekitarnya,
1 Kaku pagi hari
sekurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal
Pembengkakan jaringan lunak atau persendian atau lebih
efusi (bukan pertumbuhan tulang) pada sekurang-kurangnya
3 sendi secara bersamaan yang diobservasi oleh seorang
2 Artritis pada 3 daerah
dokter. Dalam kriteria ini terdapat 14 persendian yang
memenuhi kriteria yaitu PIP, MCP, pergelangan tangan, siku
pergelangan kaki dan MTP kiri dan kanan.
Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian
3 Artritis pada persendian tangan
tangan seperti yang tertera diatas.
Keterlibatan sendi yang sama (seperti yang tertera pada
kriteria 2 pada kedua belah sisi, keterlibatan PIP, MCP atau
4 Artritis simetris
MTP bilateral dapat diterima walaupun tidak mutlak bersifat
simetris.
5 Nodul Reumatoid Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan
ekstensor atau daerah juksta-artrikular yang diobservasi oleh
seorang dokter.
Terdapatnya titer abnormal faktor reumatoid serum yang
6 Faktor Reumatoid serum diperiksa dengan cara yang memberikan hasil positif kurang
dari 5% kelompok kontrol yang diperiksa.
Perubahan gambaran radiologis yang radiologis khas bagi
arthritis reumotoid pada periksaan sinar X tangan
posteroanterior atau pergelangan tangan yang harus
7 Perubahan gambaran menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang
berlokalisasi pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan
sendi (perubahan akibat osteoartritis saja tidak memenuhi
persyaratan).
Kriteria diagnostik Artritis Reumatoid adalah terdapat poli- arthritis yang simetris yang
mengenai sendi-sendi proksimal jari tangan dan kaki serta menetap sekurang-kurangnya 6
minggu atau lebih bila ditemukan nodul subkutan atau gambaran erosi peri-artikuler pada
foto rontgen
Beberapa faktor yang turut dalam memeberikan kontribusi pada penegakan diagnosis
Reumatoid arthritis, yaitu nodul Reumatoid, inflamasi sendi yang ditemukan pada saat
palpasi dan hasil-hasil pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaaan laboratorium menunjukkan
peninggian laju endap darah dan factor Reumatoid yang positif sekitar 70%; pada awal
penyakit faktor ini negatif. Jumlah sel darah merah dan komplemen C4 menurun.
Pemeriksaan C- reaktifprotein (CRP) dan antibody antinukleus (ANA) dapat menunjukan
hasil yang positif. Artrosentesis akan memperlihatkan cairan sinovial yang keruh, berwarna
mirip susu atau kuning gelap dan mengandung banyak sel inflamasi, seperti leukosit dan
komplemen (Smeltzer & Bare, 2002). Pemeriksaan sinar-X dilakukan untuk membantu
penegakan diagnosis dan memantau perjalanan penyakitnya. Foto rongen akan
memperlihatkan erosi tulang yang khas dan penyempitan rongga sendi yang terjadi dalam
perjalanan penyakit tersebut (Smeltzer & Bare, 2002).
Program terapi dasar terdiri dari lima komponen dibawah ini yang merupakan sarana
pembantu untuk mecapai tujuan-tujuan tersebut yaitu:
1. Istirahat
2. Latihan fisik
3. Panas
4. Pengobatan
5. Aspirin (anti nyeri)dosis antara 8 s.d 25 tablet perhari, kadar salisilat serum yang
diharapakan adalah 20-25 mg per 100 ml
6. Natrium kolin dan asetamenofen à meningkatkan toleransi saluran cerna terhadap
terapi obat
7. Obat anti malaria (hidroksiklorokuin, klorokuin) dosis 200 – 600 mg/hari à mengatasi
keluhan sendi, memiliki efek steroid sparing sehingga menurunkan kebutuhan steroid
yang diperlukan.
8. Garam emas
9. Kortikosteroid
10. Nutrisi à diet untuk penurunan berat badan yang berlebih
Bila Reumatoid artritis progresif dan, menyebabkan kerusakan sendi, pembedahan dilakukan
untuk mengurangi rasa nyeri dan memperbaiki fungsi. Pembedahan dan indikasinya sebagai
berikut:
Penanganan medik pemberian salsilat atau NSAID dalam dosis terapeutik. Kalau diberikan
dalam dosis terapeutik yang penuh, obat-obat ini akan memberikan efek anti inflamasi
maupun analgesik. Namun pasien perlu diberitahukan untuk menggunakan obat menurut
resep dokter agar kadar obat yang konsisten dalam darah bisa dipertahankan sehingga
keefektifan obat anti-inflamasi tersebut dapat mencapai tingkat yang optimal (Smeltzer &
Bare, 2002).
Menjaga supaya rematik tidak terlalu mengganggu aktivitas sehari-hari, sebaiknya digunakan
air hangat bila mandi pada pagi hari. Dengan air hangat pergerakan sendi menjadi lebih
mudah bergerak. Selain mengobati, kita juga bisa mencegah datangnya penyakit ini, seperti:
tidak melakukan olahraga secara berlebihan, menjaga berat badan tetap stabil, menjaga
asupan makanan selalu seimbang sesuai dengan kebutuhan tubuh, terutama banyak memakan
ikan laut. Mengkonsumsi suplemen bisa menjadi pilihan, terutama yang mengandung Omega
3. Didalam omega 3 terdapat zat yang sangat efektif untuk memelihara persendian agar tetap
lentur.
BAB II
Pasien dengan RA mungkin merasakan adanya kecemasan yang cukup tinggi apalagi pad
pasien yang mengalami deformitas pada sendi-sendi karean ia merasakan adanya kelemahan-
kelemahan pada dirinya dan merasakan kegiatan sehari-hari menjadi berubah. Perawat dapat
melakukan pengkajian terhadap konsep diri klien khususnya aspek body image dan harga diri
klien.
Data dasar pengkajian pasien tergantung pada keparahan dan keterlibatan organ-organ
lainnya ( misalnya mata, jantung, paru-paru, ginjal ), tahapan misalnya eksaserbasi akut atau
remisi dan keberadaaan bersama bentuk-bentuk arthritis lainnya. Pengkajian 11 Pola Gordon
4. Pola Eliminasi
5. Adakah gangguan pada saat BAB dan BAK?
DIAGNOSA
TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN
1.Nyeri Setelah dilakukan · Kaji keluhan · Membantu dalam menentukan
berhubungan tindakan keperawatan nyeri, catat lokasi kebutuhan manajemen nyeri dan
dengan agen selama 3×24 jam dan intensitas (skala keefektifan program
pencedera, distensi diharapkan tidak ada 0-10). Catat faktor-
jaringan oleh Keluhan nyeri, dengan faktor yang · Matras yang lembut/ empuk,
akumulasi cairan/ kriteria : mempercepat dan bantal yang besar akan mencegah
proses inflamasi, tanda-tanda rasa pemeliharaan kesejajaran tubuh
destruksi sendi. ü Menunjukkan nyeri sakit non verbal yang tepat, menempatkan stress
hilang/ terkontrol pada sendi yang sakit. Peninggian
· Berikan matras/ linen tempat tidur menurunkan
ü Terlihat rileks, kasur keras, bantal tekanan pada sendi yang
dapat tidur/beristirahat kecil,. Tinggikan terinflamasi/nyeri
dan berpartisipasi linen tempat tidur
dalam aktivitas sesuai sesuai kebutuhan · Mengistirahatkan sendi-sendi
kemampuan. yang sakit dan mempertahankan
· Tempatkan/ posisi netral. Penggunaan brace
ü Mengikuti program pantau penggunaan dapat menurunkan nyeri dan dapat
farmakologis yang bantl, karung pasir, mengurangi kerusakan pada sendi
diresepkan gulungan trokhanter,
bebat, brace. · Mencegah terjadinya
ü Menggabungkan kelelahan umum dan kekakuan
keterampilan relaksasi · Dorong untuk sendi. Menstabilkan sendi,
sering mengubah
posisi,. Bantu untuk
bergerak di tempat
tidur, sokong sendi
yang sakit di atas
dan bawah, hindari
gerakan yang
menyentak.
· Anjurkan pasien
untuk mandi air mengurangi gerakan/ rasa sakit
hangat atau mandi pada sendi
pancuran pada waktu
bangun dan/atau · Panas meningkatkan relaksasi
pada waktu tidur. otot, dan mobilitas, menurunkan
Sediakan waslap rasa sakit dan melepaskan
hangat untuk kekakuan di pagi hari. Sensitivitas
mengompres sendi- pada panas dapat dihilangkan dan
sendi yang sakit luka dermal dapat disembuhkan
beberapa kali sehari.
Pantau suhu air · Meningkatkan relaksasi/
kompres, air mandi, mengurangi nyeri
dan aktivitas hiburan
dan sebagainya.
ke dalam program
· Meningkatkan realaksasi,
kontrol nyeri.
· Berikan masase mengurangi tegangan otot/
yang lembut spasme, memudahkan untuk ikut
serta dalam terapi
· Ajarkan teknik
non farmakologi · Sebagai anti inflamasi dan
(relaksasi, distraksi, efek analgesik ringan dalam
relaksasi progresif) mengurangi kekakuan dan
meningkatkan mobilitas.
· Beri obat
sebelum aktivitas/ · Rasa dingin dapat
latihan yang menghilangkan nyeri dan bengkak
direncanakan sesuai selama periode akut
petunjuk.
· Kolaborasi:
Berikan obat-obatan
sesuai petunjuk
(mis:asetil salisilat)
· Berikan kompres
dingin jika
dibutuhkan
2.Gangguan Setelah dilakukan · Evaluasi/ · Tingkat aktivitas/ latihan
mobilitas fisik tindakan keperawatan lanjutkan tergantung dari perkembangan/
berhubungan selama 3×24 jam pemantauan tingkat resolusi dari peoses inflamasi
dengan deformitas diharapkan mobilitas inflamasi/ rasa sakit
skeletal, nyeri, fisik baik dengan pada sendi · Istirahat sistemik dianjurkan
penurunan, kriteria : selama eksaserbasi akut dan
kekuatan otot. · Pertahankan seluruh fase penyakit yang penting
ü Mempertahankan istirahat tirah baring/ untuk mencegah kelelahan
fungsi posisi dengan duduk jika mempertahankan kekuatan
tidak hadirnya/ diperlukan jadwal
pembatasan aktivitas untuk · Mempertahankan/
kontraktur. memberikan periode meningkatkan fungsi sendi,
istirahat yang terus kekuatan otot dan stamina umum.
ü Mempertahankan menerus dan tidur Catatan : latihan tidak adekuat
ataupun meningkatkan malam hari yang menimbulkan kekakuan sendi,
kekuatan dan fungsi tidak terganmggu. karenanya aktivitas yang
dari dan/ atau berlebihan dapat merusak sendi
kompensasi bagian · Bantu dengan
tubuh rentang gerak · Menghilangkan tekanan pada
aktif/pasif, jaringan dan meningkatkan
ü Mendemonstrasikan demikiqan juga sirkulasi.
tehnik/ perilaku yang latihan resistif dan
memungkinkan isometris jika · Mempermudah perawatan diri
melakukan aktivitas memungkinkan dan kemandirian pasien. Tehnik
pemindahan yang tepat dapat
· Ubah posisi mencegah robekan abrasi kulit
dengan sering
dengan jumlah · Meningkatkan stabilitas
personel cukup. ( mengurangi resiko cidera ) dan
Demonstrasikan/ memerptahankan posisi sendi yang
bantu tehnik diperlukan dan kesejajaran tubuh,
pemindahan dan mengurangi kontraktor
penggunaan bantuan
mobilitas, mis, · Mencegah fleksi leher
trapeze
· Memaksimalkan fungsi sendi
· Posisikan dan mempertahankan mobilitas
dengan bantal,
kantung pasir, · Menghindari cidera akibat
gulungan trokanter, kecelakaan/ jatuh
bebat, brace
· Berguna dalam
· Gunakan bantal memformulasikan program
kecil/tipis di bawah latihan/ aktivitas yang berdasarkan
leher. pada kebutuhan individual dan
dalam mengidentifikasikan alat
· Dorong pasien
mempertahankan · Menurunkan tekanan pada
postur tegak dan jaringan yang mudah pecah untuk
duduk tinggi, berdiri, mengurangi risiko imobilitas
dan berjalan
· Mungkin dibutuhkan untuk
· Berikan menekan sistem inflamasi akut
lingkungan yang
aman, misalnya
menaikkan kursi,
menggunakan
pegangan tangga
pada toilet,
penggunaan kursi
roda.
· Kolaborasi:
konsul dengan
fisoterapi.
· Kolaborasi:
Berikan matras busa/
pengubah tekanan.
· Kolaborasi:
berikan obat-obatan
sesuai indikasi
(steroid).
3.Gangguan Citra Setelah dilakukan · Dorong · Berikan kesempatan untuk
Tubuh / Perubahan tindakan keperawatan pengungkapan mengidentifikasi rasa takut/
Penampilan Peran selama 3×24 jam mengenai masalah kesalahan konsep dan
berhubungan diharapkan gangguan tentang proses menghadapinya secara langsung
dengan perubahan citra tubuh berkurang penyakit, harapan
kemampuan untuk dengan criteria: masa depan. · Mengidentifikasi bagaimana
melaksanakan penyakit mempengaruhi persepsi
tugas-tugas umum, ü Mengungkapkan · Diskusikan arti diri dan interaksi dengan orang
peningkatan peningkatan rasa dari kehilangan/ lain akan menentukan kebutuhan
penggunaan energi, percaya diri dalam perubahan pada terhadap intervensi/ konseling
ketidakseimbangan kemampuan untuk pasien/orang lebih lanjut
mobilitas. menghadapi penyakit, terdekat.
perubahan pada gaya Memastikan · Isyarat verbal/non verbal
hidup, dan bagaimana orang terdekat dapat mempunyai
kemungkinan pandangaqn pribadi pengaruh mayor pada bagaimana
keterbatasan pasien dalam pasien memandang dirinya sendiri
memfungsikan gaya
ü Menyusun rencana hidup sehari-hari, · Nyeri konstan akan
realistis untuk masa termasuk aspek- melelahkan, dan perasaan marah
depan. aspek seksual. dan bermusuhan umum terjadi
· Bantu dalam
kebutuhan
perawatan yang
diperlukan
· Berikan bantuan
positif bila perlu.
· Kolaborasi:
Rujuk pada
konseling psikiatri,
mis: perawat
spesialis psikiatri,
psikolog.
· Kolaborasi:
Berikan obat-obatan
sesuai petunjuk, mis;
anti ansietas dan
obat-obatan
peningkat alam
perasaan.
· Diskusikan
tingkat fungsi umum
(0-4) sebelum timbul
awitan/ eksaserbasi
penyakit dan
potensial perubahan
· Mungkin dapat melanjutkan
Setelah dilakukan yang sekarang
aktivitas umum dengan melakukan
tindakan keperawatan diantisipasi.
adaptasi yang diperlukan pada
selama 3×24 jam
keterbatasan saat ini
diharapkan klien dapat · Pertahankan
mengatur kegiatan mobilitas, kontrol
· Mendukung kemandirian
sehari-hari, dengan terhadap nyeri dan
fisik/emosional
criteria hasil: program latihan.
· Menyiapkan untuk
ü Melaksanakan · Kaji hambatan
4.Defisit perawatan meningkatkan kemandirian, yang
aktivitas perawatan terhadap partisipasi
diri berhubungan akan meningkatkan harga diri
diri pada tingkat yang dalam perawatan
dengan kerusakan
konsisten dengan diri. Identifikasi
musculoskeletal, · Berguna untuk menentukan
kemampuan individual /rencana untuk
penurunan alat bantu untuk memenuhi
modifikasi
kekuatan, daya kebutuhan individual. Mis;
ü Mendemonstrasikan lingkungan
tahan, nyeri pada memasang kancing, menggunakan
perubahan teknik/
waktu bergerak, alat bantu memakai sepatu,
gaya hidup untuk · Kolaborasi:
depresi. menggantungkan pegangan untuk
memenuhi kebutuhan Konsul dengan ahli
mandi pancuran
perawatan diri. terapi okupasi.
· Mengidentifikasi masalah-
ü Mengidentifikasi · Kolaborasi: Atur
masalah yang mungkin dihadapi
sumber-sumber evaluasi kesehatan di
karena tingkat kemampuan actual
pribadi/ komunitas rumah sebelum
yang dapat memenuhi pemulangan dengan
· Mungkin membutuhkan
kebutuhan perawatan evaluasi setelahnya.
berbagai bantuan tambahan untuk
diri.
persiapan situasi di rumah
· Kolaborasi : atur
konsul dengan
lembaga lainnya,
mis: pelayanan
perawatan rumah,
ahli nutrisi.
DAFTAR PUSTAKA
Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2007. BUKU AJAR FISIOLOGI KEDOKTERAN Edisi
11. Alih bahasa : Irawati, et al. Jakarta : EGC
Harris ED Jr., 1993, Etiology and Pathogenesis of Reumatoid Arthritis. Dalam: Textbook of
Rheumatology.Philadhelpia:Saunders Co
Hollmann DB. Arthritis & musculoskeletal disorders. In: Tierney LM, McPhee, Papadakis
MA (Eds): Current Medical Diagnosis & Treatment, 34 th ed., Appleton & Lange,
International Edition, Connecticut 2005, 729-32.
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC. 2002.
Kumar, V., Cotran, R. S., Robbins, S. L., 2007. BUKU AJAR PATOLOGI Edisi 7. Jakarta :
EGC
Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, Wahyu I., Setiowulan, W., 2000. KAPITA SELEKTA
KEDOKTERAN Edisi Ketiga Jilid Kedua. Jakarta : Media Aesculapius
Nasution..1996.Aspek Genetik Penyakit Reumatik dalam Noer S (Editor) Buku Ajar Penyakit
Dalam Jilid I. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Meningkatnya usia harapan hidup (UHH) memberikan dampak yang kompleks terhadap
kesejahteraan lansia. Di satu sisi peningkatan UHH mengindikasikan peningkatan taraf
kesehatan warga negara. Namun di sisi lain menimbulkan masalah masalah karena dengan
meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut akan berakibat semakin besarnya beban yang
ditanggung oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah, terutama dalam menyediakan
pelayanan dan fasislitas lainnya bagi kesejahteraan lansia. Hal ini karena pada usia lanjut
individu akan mengalami perubahan fisik, mental, sosial ekonomi dan spiritual yang
mempengaruhi kemampuan fungsional dalam aktivitas kehidupan sehari-hari sehingga
menjadikan lansia menjadi lebih rentan menderita gangguan kesehatan baik fisik maupun
mental. Walaupun tidak semua perubahan struktur dan fisiologis, namun diperkirakan
setengah dari populasi penduduk lansia mengalami keterbatasan dalam aktivitas kehidupan
sehari-hari, dan 18% diantaranya sama sekali tidak mampu beraktivitas. Berkaitan dengan
kategori fisik, diperkirakan 85% dari kelompok umur 65 tahun atau lebih mempunyai paling
tidak satu masalah kesehatan(HealthyPeople,1997).
Dari berbagai masalah kesehatan itu ternyata gangguan muskuloskeletal menempati
urutan kedua 14,5% setelah penyakit kardiovaskuler dalam pola penyakit masyarakat usia
>55 tahun (Household Survey on Health, Dept. Of Health, 1996). Dan berdasarkan survey
WHO di Jawa ditemukan bahwa artritis/reumatisme menempati urutan pertama (49%) dari
pola penyakit lansia (Boedhi Darmojo et. al, 1991).
Seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup, jumlah populasi usia lanjut (lansia) juga
meningkat. Tahun 1999, jumlah penduduk lansia di Indonesia lebih kurang 16 juta jiwa.
Badan Kesehatan Dunia, WHO, memperkirakan tahun 2025 jumlah lansia di Indonesia 60
juta jiwa, mungkin salah satu terbesar di dunia.
Dibandingkan dengan jantung dan kanker, rematik boleh jadi tidak terlampau
menakutkan. Namun, jumlah penduduk lansia yang tinggi kemungkinan membuat rematik
jadi keluhan favorit. Penyakit otot dan persendian ini sering menyerang lansia, melebihi
hipertensi dan jantung, gangguan pendengaran dan penglihatan, serta diabetes (Health-
News,2007).
B. TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sbb:
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran umum tentang rheumatoid arthritis yang terjadi pada lansia.
1. Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengertian, etiologi, patofisiologi, serta tanda dan gejala yang
terjadi pada lansia penderita rheumatoid artritis.
2. Mengetahui penatalaksanaan asuhan keperawatan gerontik yang sesuai
diberikan pada lansia dengan rheumatoid arthritis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.DEFINISI
Reumatoid arthritis adalah gangguan autoimun kronik yang menyebabkan proses
inflamasi pada sendi (Lemone & Burke, 2001 : 1248). Reumatik dapat terjadi pada semua
jenjang umur dari kanak-kanak sampai usia lanjut. Namun resiko akan meningkat dengan
meningkatnya umur (Felson dalam Budi Darmojo, 1999).
Rematoid Artritis merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang manifestasi
utamanya adalah poliartritis yang progresif, akan tetapi penyakit ini juga melibatkan seluruh
organ tubuh (Hidayat, 2006).
Artritis Rematoid adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi
tangan dan kaki) secara simetris mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan,
nyeri dan sering kali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi.
Arthritis adalah istilah medis untuk penyakit dan kelainan yang menyebabkan
pembengkakan/radang atau kerusakan pada sendi. Arthritis sendiri merupakan keluarga besar
inflammatory degenerative disease, di mana bentuknya sangat beragam, lebih dari 100 jenis
arthritis. Istilah arthritis sendiri berasal dari bahasa Yunani /Greek: Arthon /sendi dan it
is/radang (www. wrm-Indonesia.org).
Rhematoid artritis adalah peradangan yang kronis sistemik, progresif dan lebih
banyak terjadi pada wanita, pada usia 25-35 tahun (Brunner, 2002).
B.ETIOLOGI
Penyebab dari artritis rhematoid belum dapat ditentukan secara pasti, tetapi dapat
dibagi dalam 3 bagian, yaitu:
1). Mekanisme imunitas (antigen antibodi) seperti interaksi IgG dari imunoglobulin
dengan rhematoid faktor
2). Faktor metabolik
3). Infeksi dengan kecenderungan virus
C.PATOFISIOLOGI
Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi sinovial seperti edema, kongesti vaskular,
eksudat febrin dan infiltrasi selular. Peradangan yang berkelanjutan, sinovial menjadi
menebal, terutama pada sendi artikular kartilago dari sendi. Pada persendian ini granulasi
membentuk pannus, atau penutup yang menutupi kartilago. Pannus masuk ke tulang sub
chondria. Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan gangguan pada nutrisi
kartilago artikuer. Kartilago menjadi nekrosis.
Tingkat erosi dari kartilago menentukan tingkat ketidakmampuan sendi. Bila
kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara permukaan sendi, karena
jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis). Kerusakan kartilago dan tulang
menyebabkan tendon dan ligamen jadi lemah dan bisa menimbulkan subluksasi atau dislokasi
dari persendian. Invasi dari tulang sub chondrial bisa menyebkan osteoporosis setempat.
Lamanya arthritis rhematoid berbeda dari tiap orang. Ditandai dengan masa adanya
serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari serangan
pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Yang lain. terutama yang mempunyai faktor
rhematoid (seropositif gangguan rhematoid) gangguan akan menjadi kronis yang progresif.
1. Stadium sinovitis
Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai adanya
hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat istirahat maupun saat bergerak, bengkak,
dan kekakuan.
1. Stadium destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada jaringan
sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon. Selain tanda dan gejala tersebut
diatasterjadi pula perubahan bentuk pada tangan yaitu bentuk jari swan-neck.
1. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan
ganggguan fungsi secara menetap. Perubahan pada sendi diawali adanya sinovitis, berlanjut
pada pembentukan pannus, ankilosis fibrosa, dan terakhir ankilosis tulang
E.PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Tes serologi
· Sedimentasi eritrosit meningkat
· Darah, bisa terjadi anemia dan leukositosis
· Rhematoid faktor, terjadi 50-90% penderita
2. Pemerikasaan radiologi
· Periartricular osteoporosis, permulaan persendian erosi
· Kelanjutan penyakit: ruang sendi menyempit, sub luksasi dan ankilosis
3. Aspirasi sendi
· Cairan sinovial menunjukkan adanya proses radang aseptik, cairan dari sendi dikultur
dan bisa diperiksa secara makroskopik.
F.PENATALAKSANAAN
Tujuan utama terapi adalah:
Program terapi dasar terdiri dari lima komponen dibawah ini yang merupakan sarana
pembantu untuk mecapai tujuan-tujuan tersebut yaitu:
1. Istirahat
2. Latihan fisik
3. Panas
4. Pengobatan
1. Aspirin (anti nyeri)dosis antara 8 s.d 25 tablet perhari, kadar salisilat serum
yang diharapakan adalah 20-25 mg per 100 ml
2. Natrium kolin dan asetamenofen à meningkatkan toleransi saluran cerna
terhadap terapi obat
3. Obat anti malaria (hidroksiklorokuin, klorokuin) dosis 200 – 600 mg/hari à
mengatasi keluhan sendi, memiliki efek steroid sparing sehingga menurunkan
kebutuhan steroid yang diperlukan.
4. Garam emas
5. Kortikosteroid
6. Nutrisi à diet untuk penurunan berat badan yang berlebih
BAB III
PROSES KEPERAWATAN
A.PENGKAJIAN
1. Riwayat Kesehatan
Adanya keluhan sakit dan kekakuan pada tangan, atau pada tungkai.
Perasaan tidak nyaman dalam beberapa periode/waktu sebelum pasien mengetahui
dan merasakan adanya perubahan pada sendi.
2. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi dan palpasi persendian untuk masing-masing sisi (bilateral), amati warna
kulit, ukuran, lembut tidaknya kulit, dan pembengkakan.
Lakukan pengukuran passive range of mation pada sendi-sendi sinovial
o Catat bila ada deviasi (keterbatasan gerak sendi)
o Catat bila ada krepitasi
o Catat bila terjadi nyeri saat sendi digerakkan
o Lakukan inspeksi dan palpasi otot-otot skelet secara bilateral
Catat bia ada atrofi, tonus yang berkurang
Ukur kekuatan otot
Kaji tingkat nyeri, derajat dan mulainya
Kaji aktivitas/kegiatan sehari-hari
3. Riwayat Psiko Sosial
Pasien dengan RA mungkin merasakan adanya kecemasan yang cukup tinggi apalagi
pad pasien yang mengalami deformitas pada sendi-sendi karean ia merasakan adanya
kelemahan-kelemahan pada dirinya dan merasakan kegiatan sehari-hari menjadi berubah.
Perawat dapat melakukan pengkajian terhadap konsep diri klien khususnya aspek body image
dan harga diri klien.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berdasarkan tanda dan gejala yang dialami oleh pasien dengan artritis ditambah
dengan adanya data dari pemeriksaan diagnostik, maka diagnosa keperawatan yang sering
muncul yaitu:
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan asuhan keperawatan ini adalah mahasiswa mampu
melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan katarak.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan asuhan keperawatan ini yaitu agar mahasiswa mampu:
1. menjelaskan karakteristik pasien yang mengalami penurunan persepsi sensori: penglihatan;
2. menjelaskan diagnose keperawatan yang muncul pada pasien dengan katarak;
3. merencanakan intervensi keperawatan untuk mengatasi masalah penurunan persepsi sensori:
penglihatan;
4. menjelaskan evaluasi yang didapat setelah dilakukan tindakan keperawatan pada pasien dengan
masalah penurunan persepsi sensori: penglihatan.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1.3 Patofisiologi
Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih, transparan, berbentuk
seperti kancing baju dan mempunyai kekuatan refraksi yang besar. Lensa mengandung tiga
komponen anatomis. Pada zona sentral terdapat nukleus, di perifer ada korteks, dan yang
mengelilingi keduanya adalah kapsul anterior dan posterior. Dengan bertambahnya usia,
nucleus mengalami perubahan warna menjadi coklat kekuningan. Disekitar opasitas terdapat
densitas seperti duri di anterior dan posterior nukleus. Opasitas pada kapsul posterior
merupakan bentuk katarak yang paling bermakna, nampak seperti kristal salju pada jendela.
Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparansi.
Perubahan pada serabut halus multipel (zunula) yang memanjang dari badan silier ke sekitar
daerah diluar lensa, misalnya dapat menyebabkan penglihatan mengalamui distorsi.
Perubahan kimia dalam protein lensa dapat menyebabkan koagulasi, sehingga mengabutkan
pandangan dengan menghambat jalannya cahaya ke retina. Salah satu teori menyebutkan
terputusnya protein lensa normal terjadi disertai influks air ke dalam lensa. Proses ini
mematahkan serabut lensa yang tegang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain
mengatakan bahwa suatu enzim mempunyai peran dalam melindungi lensa dari degenerasi.
Jumlah enzim akan menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan
pasien yang menderita katarak.
Katarak biasanya terjadi bilateral, namun memiliki kecepatan yang berbeda. Dapat
disebabkan oleh kejadian trauma maupun sistemik, seperti diabetes. Namun kebanyakan
merupakan konsekuensi dari proses penuaan yang normal. Kebanyakan katarak berkembang
secara kronik ketika seseorang memasuki dekade ketujuh. Katarak dapat bersifat kongenital
dan harus diidentifikasi awal, karena bila tidak terdiagnosa dapat menyebabkan ambliopia
dan kehilangan penglihatan permanen. Faktor yang paling sering berperan dalam terjadinya
katarak meliputi radiasi sinar ultraviolet B, obatobatan, alkohol, merokok, diabetes, dan
asupan vitamin antioksidan yang kurang dalam jangka waktu lama (Smeltzer, 2002).
2.1.7 Penatalaksanaan
Pembedahan dilakukan bila tajam penglihatan sudah menurun sedemikian rupa
sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari atau bila telah menimbulkan penyulit seperti
glaukoma dan uveitis (Mansjoer, 2000). Dalam bedah katarak, lensa diangkat dari mata
(ekstraksi lensa) dengan prosedur intrakapsular atau ekstrakapsular. Ekstraksi intrakapsular
yang jarang lagi dilakukan saat ini adalah mengangkat lensa in toto, yakni didalam kapsulnya
melaui insisi limbus superior 140-1600. pada ekstraksi ekstrakapsular juga dilakukan insisi
limbus superior, bagian anterior kapsul dipotong dan diangkat, nukleus diekstraksi dan
korteks lensa dibuang dari mata dengan irigasi dan aspirasi atau tanpa aspirasi sehingga
menyisakan kapsul posterior.
Fakofragmentasi dan fakoemulsifikasi dengan irigasi atau aspirasi (atau keduanya)
adalah teknik ekstrakapsular yang menggunakan getaran- getaran ultrasonik untuk
mengangkat nukleus dan korteks melalui insisi lumbus yang kecil (2-5 mm), sehingga
mempermudah penyembuhan luka pasca operasi. Teknik ini kurang bermanfaat pada katarak
senilis yang padat dan keuntungan insisi lumbus yang kecil agak berkurang jika dimasukkan
lensa intraokuler.
Pada beberapa tahun silam, operasi katarak ekstrakapsular telah menggantikan
prosedur intrakapsular sebagai jenis bedah katarak yang paling sering. Alasan utamanya
adalah bahwa apabila kapsul posterior utuh, ahli bedah dapat memasukkan lensa intra okuler
ke dalam kamera posterior. Insiden komplikasi pasca operasi seperti abasio retina dan edema
makula lebih kecil bila kapsul posteriornya utuh.
Jika digunakan teknik insisi kecil, masa penyembuhan pasca operasi biasanya lebih
pendek. Pasien dapat bebas rawat jalan pada hari operasi itu juga, tetapi dianjurkan untuk
bergerak dengan hati- hati dan menghindari peregangan atau mengangkat benda berat selama
sekitar satu bulan. Matanya dapat dibalut selama beberapa hari, tetapi kalau matanya terasa
nyaman, balutan dapat dibuang pada hari pertama pasca operasi dan matanya dilindungi
dengan kacamata. Perlindungan pada malam hari dengan pelindung logam diperlukan selama
beberapa minggu. Kacamata sementara dapat digunakan beberapa hari setelah operasi, tetapi
biasanya pasien melihat dengan cukup baik melalui lensa intraokuler sambil menantikan
kacamata permanen.(Vaughan, 2000)
2.1.8 Komplikasi
Bila katarak dibiarkan maka akan terjadi komplikasi berupa glaucoma dan uveitis.
Glaukoma adalah peningkatan abnormal tekanan intraokuler yang menyebabkan atrofi saraf
optik dan kebutaan bila tidak teratasi (Doenges, 2000). Uveitis adalah inflamasi salah satu
struktur traktus uvea (Smeltzer, 2002).
Sedangkan komplikasi yang dapat timbul jika dilakukan tindakan operasi adalah
sebagai berikut.
1. Hilangnya vitreous
Hal ini dapat terjadi apabila kapsul posterior mengalami kerusakan selama operasi, yang
mengakibatkan gel vitreous dapat masuk ke dalam bilik anterior.
2. Prolaps iris
Iris dapat mengalami protrusi melalui insisi bedah pada periode pasca operasi dini. Terlihat
sebagai daerah berwarna gelap pada lokasi insisi, dan pupil mengalami distorsi. Keadaan ini
membutuhkan perbaikan segera dengan pembedahan.
3. Endoftalmitis
Komplikasi infektif ekstraksi katarak yang serius namun jarang terjadi (kurang dari 0,3%).
Pasien datang dengan keluhan mata merah yang terasa nyeri, penurunan tajam pengelihatan
(biasanya dalam beberapa hari setelah pembedahan), pengumpalan sel darah putih di bilik
anterior.
4. Astigmatisme pascaoperasi
Mungkin diperlukan pengangkatan jahitan kornea untuk mengurangi astigatisme kornea.
5. Edema makular sistoid
Makula menjadi edema setelah pembedahan, terutama bila disertai hilangnya vitreous. Dapat
sembuh seiring waktu namun dapat menyebabkan penurunan tajam penglihatan yang berat.
6. Ablasio retina
Teknik-teknik modern dalam ekstraksi katarak dihubungkan dengan rendahya tingkat
komplikasi ini. Tingkat komplikasi ini bertambah bila terdapat kehilangan vitreous.
7. Opasifikasi kapsul posterior
Pada sekitar 20% pasien, kejernihan kapsul posterior berkurang pada beberapa bulan setelah
pembedahan ketika sel epitel residu bermigrasi melalui permukaannya. Pengelihatan menjadi
kabur dan mungkin didapatkan rasa silau.
8. Resiko iritasi dan infeksi
Jika jahitan nilon halus tidak diangkat setelah pembedahan maka jahitan dapat lepas dalam
beberapa bulan atau tahun setelah pembedahan dan mengakibatkan iritasi atau infeksi. Gejala
hilang dengan pengangkatan jahitan.
2.2.3 Intervensi
1. Ansietas
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat ansietas, derajat
1. Faktor ini mempengaruhi persepsi
pengalaman nyeri timbulnya gejala pasien terhadap ancaman diri potensial
tiba-tiba dan pengetahuan kondisi ini. siklus ansietas, dan dapat
2. Berikan informasi yang akurat jujur. mempengaruhi upaya medik untuk
Diskusikan kemungkinan bahwa mengontrol TIO.
pengawasan dan pengobatan dapat
2. Menurunkan ansietas sehubungan
mencegah kehilangan penglihatan dengan ketidaktahuan harapan yang
tambahan. akan datang dan memberikan fakta
3. Dorong pasien untuk mengkui masalah untuk membuat pilihan informasi
dan mengekspresikan perasaan. tentang pengobatan.
4. Identifikasi sumber/orang yang
3. Memberikan kesempatan untuk pasien
menolong. menerima situasi nyata mengklarifikasi
salah konsepsi dan pemecahan masalah
4. Memberikan keyakinan bahwa pasien
tidak sendiri dalam menghadapi
masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Doengoes, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapis
FKUI.
Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC. Edisi Revisi Jilid 2. Yogyakarta: Mediaction Publishing.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarthi. Edisi 8.
Alih Bahasa Oleh Agung Waluyo. Jakarta: EGC.
Vaughan, Dale. 2000. Oftalmologi Umum. Alih Bahasa Jan Tambajong. Jakarta: Widya Medika.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kebutaan di Indonesia merupakan bencana Nasional. Sebab kebutaan menyebabkan
kualitas sumber daya manusia rendah. Hal ini berdampak pada kehilangan produktifitas serta
membutuhkan biaya untuk rehabilitasi dan pendidikan orang buta. Salah satu penyebab
kebutaan adalah katarak. Pandangan mata yang kabur atau berkabut bagaikan melihat melalui
kaca mata berembun, ukuran lensa kacamata yang sering berubah, penglihatan ganda ketika
mengemudi di malam hari , merupakan gejala katarak. Tetapi di siang hari penderita justru
merasa silau karena cahaya yang masuk ke mata terasa berlebih.
Begitu besarnya resiko masyarakat Indonesia untuk menderita katarak memicu kita
dalam upaya pencegahan. Dengan memperhatikan gaya hidup, lingkungan yang sehat dan
menghindari pemakaian bahan-bahan kimia yang dapat merusak akan membuat kita terhindar
dari berbagai jenis penyakit dalam stadium yang lebih berat yang akan menyulitkan upaya
penyembuhan.
Sehingga kami sebagai mahasiswa keperawatan memiliki solusi dalam mencegah dan
menanggulangi masalah katarak yakni dengan memberikan sebuah rangkuman makalah
tentang katarak sebagai bahan belajar dan pendidikan bagi mahasiswa keperawatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Katarak berasal dari bahasa Yunani Katarrhakies, bahasa Inggris Cataract, dan Latin
Cataracta yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular dimana penglihatan
seperti tertutup air terjun akibat lensa yang keruh.
Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi
(penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau akibat kedua-duanya.
Katarak adalah setiap kekeruhan pada lensa. (Vaughan,2009)
Katarak adalah opasitas lensa kristalina yang normalnya jernih. (Brunner & Suddart,2001)
Katarak adalah suatu keadaan dimana lensa mata yang biasanya jernih dan bening menjadi
keruh. (Sidarta Ilyas,2004)
Katarak adalah proses terjadinya opasitas secara progresif pada lensa atau kapsul lensa,
umumnya akibat dari proses penuaan yang terjadi pada semua orang lebih dari 65 tahun
(Marilynn Doengoes, dkk. 2000).
Biasanya kekeruhan mengenai kedua mata dan berjalan progresif ataupun dapat tidak
mengalami perubahan dalam waktu yang lama.
2.2 KLASIFIKASI
1. Berdasarkan Penyebabnya
1.1. Katarak traumatik
Katarak traumatik paling sering disebabkan oleh trauma benda asing pada lensa atau trauma
tumpul pada bola mata. Peluru senapan angin dan petasan merupakan penyebab yang sering.
Lensa menjadi putih segera setelah masuknya benda asing karena lubang pada kapsul lensa
menyebabkan humor aqueus dan kadang-kadang vitreus masuk ke dalam struktur lensa.
1.2. Katarak toksika
Kortikosteroid yang diberikan dalam waktu lama baik secara sistemik maupun dalam bentuk
obat tetes mata dapat meneyebabkan kekeruhan lensa. Obat-obat lain yang diduga
menyebabkan katarak antara lain : phenotiazine, chlorpromazine, obat tetes miotik kuat
seperti phospholine iodine.
1.3. Katarak komplikata
Katarak dapat terbentuk akibat efek langsung penyakit intraocular yang mempengaruhi
fisiologis lensa. Katarak biasanya berawal dari daerah subkapsular posterior dan akhirnya
mengenai seluruh struktur lensa. Penyakit intraokuler yang sering berkaitan antara lain uveitis
kronik atau rekuren, glaucoma, retinitis pigmentosa dan ablation retinae. Katarak ini biasanya
unilateral. Katarak komplikata juga dapat disebabkan akibat gangguan sistemik seperti
diabetes mellitus, distrofi miotonik, dermatitis atopic, hipoparatiroidisme, galaktosemia dan
sindrom Lowe, Werner dan down.
2. Berdasarkan Usia
2.1. Katarak kongenital
Katarak yang sudah terlihat pada usia kurang dari 1 tahun
2.2. Katarak juvenile
Katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun
2.3. Katarak senile
Katarak setelah usia 50 tahun (Ilyas,1999)
JENIS-JENIS KATARAK
1. Katarak kongenital
- Katarak kongenital adalah katarak yang mulai terjadi sebelum atau segera setelah lahir dan
bayi berusia kurang dari 1 tahun. Sewaktu dalam kandungan, terbentuknya lensa adalah
minggu ke lima sampai ke delapan usia kehamilan. Pada masa ini belum terbentuk kapsul
pelindung, sehingga virus bisa masuk ke dalam jaringan lensa. Seluruh lensa buram, tampak
abu-abu putih.
- Penyebab katarak kongenital :
b. Mungkin herediter dengan atau tanpa penyakit mata atau penyakit sistemik lain.
c. Infeksi teratogenik yang diderita ibu saat kehamilan seperti campak jerman, cacar air,
penyakit gondong, hepatitis dan poliomyelitis.
d. Infeksi maternal selama masa kehamilan seperti pada infeksi toksoplasmosis
e. Ibu hamil penderita diabetes melitus
f. Kelainan genetik seperti Trisomi 21, galaktosemia dan sindrom Lowe
- Katarak kongenital digolongkan menjadi 2 macam katarak :
a. Kapsulolentikuler dimana pada golongan ini termasuk katarak kapsuler dan katarak Polaris
b. Katarak lentikuler termasuk dalam golongan ini katarak yang mengenai korteks atau nucleus
lensa.
2.3 EtTIOLOGI
Katarak dapat terjadi akibat :
1. Kelainan bawaan/ kongenital
2. Proses penuaan
Prevalensi katarak pada individu berusia 65 – 74 tahun adalah sebanyak 50%, prevalensi ini
meningkat hingga 70% pada individu di atas 75 tahun.
3. Kelainan sistemik atau metabolik seperti diabetes mellitus, galaktosemi dan distrofi
miotonik.
4. Genetik dan gangguan perkembangan
5. Infeksi virus di masa pertumbuhan janin
6. Bahan toksik : kimia dan fisik
7. Bermacam-macam penyakit mata seperti glaucoma, ablasi retina, uveitis dan retinitis
pigmentosa
8. Keracunan beberapa jenis obat seperti eserin 0.25 – 0.5%, kortikosteroid ergot,
antikolinesterase topical
9. Kelainan kaca mata minus yang dalam
2.4 PATOFISIOLOGI
Lensa mengandung tiga komponen anatomis. Pada zona central terdapat nucleus, di
perifer ada korteks dan yang mengelilingi keduanya adalah kapsul anterior dan posterior.
Pada lensa katarak secara karakteristik terdapat agregat-agregat protein yang
menghamburkan berkas cahaya dan mengurangi transparansinya. Perubahan protein pada
lensa mengakibatkan perubahan warna lensa menjadi coklat kekuningan. Di sekitar opasitas
terdapat densitas seperti duri di anterior dan posterior nucleus. Opasitas pada kapsul posterior
merupakan bentuk katarak yang paling bermakna nampak seperti kristal salju pada jendela.
Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparansi. Perubahan
pada serabut halus multiple, memanjang dari badan silier ke sekitar daerah lensa
mengakibatkan penglihatan distorsi. Perubahan kimia dalam protein lensa dapat
menyebabkan koagolasi, sehingga mengakibatkan pandangan berkabut.Salah satu teori
menyebutkan terputusnya protein lensa normal disertai influks air ke dalam lensa yang
mengakibatkan patahnya serabut lensa yang tegang sehingga mengganggu transmisi sinar.
Teori lain mengatakan bahwa suatu enzim tertentu mempunyai peran dalam melindungi lensa
dari degenerasi, jumlah enzim ini akan menurun dengan bertambahnya usia.
Sejumlah faktor yang diduga turut berperan dalam terbentuknya katarak antara lain kerusakan
oksidatif (dari proses radikal bebas), sinar ultraviolet dan malnutrisi.
2.6 Komplikasi
2.7 Pemeriksaan
1. Pemeriksaan visus dengan kartu snellen atau chart projector dengan koreksi terbaik serta
menggunakan pinhole
2. Pemeriksaan dengan slit lamp untuk melihat segmen anterior
3. Tekanan intraocular (TIO) diukur dengan tonometer non contact, aplanasi atau Schiotz
4. Jika TIO dalam batas normal (< 21 mmHg) dilakukan dilatasi pupil dengan tetes mata
Tropicanamide 0.5%. setelah pupil cukup lebar dilakukan pemeriksaan dengan slit lamp
untuk melihat serajat kekeruhan lensa apakah sesuai dengan visus pasien.
a. Derajat 1 : nukleus lunak, biasanya visus masih lebih baik dari 6/12, tampak sedikit
kekeruhan dengan warna agak keputihan. Refluks fundus masih mudah diperoleh. Usia
penderitanya biasanya kurang dari 50 tahun.
b. Derajat 2 : Nukleus dengan kekerasan ringan, biasanya visus antara 6/12 – 6/30, tampak
nucleus mulai sedikit berawarna kekuningan. Refleks fundus masih mudah diperoleh dan
paling sering memberikan gambaran seperti katarak subkapsularis posterior.
c. Derajat 3 : nukleus dengan kekerasan medium, biasanya visus antara 6/30 – 3/60, tampak
nukleus berwarna kuning disertai kekeruhan korteks yang berwarna keabu-abuan
d. Derajat 4: nukleus keras, biasanya visus antara 3/60 – 1/60, tampak nukleus berwarna kuning
kecoklatan. Reflex fundus sulit dinilai
e. Derajat 5 ; nukleus sangat keras, biasanya visus hanya 1/60 atau lebih jelek. Usia penderita
sudah di atas 65 tahun. Tampak nucleus berawarna kecoklatan bahkan sampai kehitaman,
katarak ini sangat keras dan disebut juga sebagai Brunescence cataract atau black cataract.
5. Pemeriksaan funduskopi jika masih memungkinkan
6. Pemeriksaan penunjang : USG untuk menyingkirkan adanya kelainan lain pada mata selain
katarak
7. Pemeriksaan tambahan : biometri untuk mengukur power IOL jika pasien akan dioperasi
katarak dan retinometri untuk mengetahui prognosis tajam penglihatan setelah operasi.
2.8 Penatalaksanaan
1. Pembedahan dengan membersihkan lensa mata yang keruh
2. Katarak tidak dapat dibedah dengan sinar
3. Hasil bedah katarak sangat baik, 90% pasien pasca bedah dapat mempergunakan matanya
seperti sedia kala
4. Ada dua jenis operasi katarak yakni Ekstraksi Katarak Intrakapsuler (EKIK) dan Ekstraksi
Katarak Ekstrakapsuler (EKEK).
5. EKIK adalah pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsul. Dapat
dilakukan pada zonula zinn telah rapuh atau berdegenerasi dan mudah diputus. Pada EKIK
tidak akan terjasi katarak sekunder.kontraindikasi EKIK adalah pada pasien < 40 tahun yang
masih mepunyai ligament hialoidea kapsuler. Penyulit yang sering terjadi: astigmat,
glaucoma, uveitis, endoftalmus dan perdarahan.EKIK sekarang jarang dilakukan karena
tersedianya teknik bedah yang lebih canggih.
6. EKEK adalah tindakan pembedahan pada lensa katarak dimana dilakukan pengeluaran isi
lensa dengan memecah atau merobek kapsul lensa anterior sehingga masa lensa dan korteks
lensa dapat keluar melalui robekan tersebut. Termasuk ke dalam golongan ini ekstraksi linier,
aspirasi dan irigasi. Penyulit yang dapat timbul pada pembedahan ini yaitu dapat terjadinya
katark sekunder, yakni terbentuknya jaringan fibrosis pada sisa lensa yang tertinggal, paling
cepat keadaan ini terlihat sesudah 2 hari EKEK.
7. Salah satu penemuan terbaru pada EKEK adalah Fakoemulsi. Cara ini memungkinkan
pengambilan lensa melalui insisi yang lebih kecil dengan menggunakan alat ultrasound
frekwensi tinggi untuk memecah nucleus dan korteks lensa menjadi partikel kecil yang
kemudian diaspirasi melalui alat yang sama yang juga memberikan irigasi kontinu. Dengan
teknik ini waktu penyembuhan menjadi lebih pendek dan penurunan insiden astigmatisme
pasca operasi.
8. Pada mata yang telah dikeluarkan lensanya akibat katarak, pasien akan menggalami
penglihatan yang tidak jelas dan perlu lensa pengganti dan mata tidak dapat melihat dekat
atau berakomodasi. Karena itu pasien memerlukan sebuah lensa pengganti / koreksi. Koreksi
ini dapat dilakukan dengan metode : kaca mata apakia, lensa kontak atau implant lensa
intraokuler (IOL)
9. Kaca mata apakia
Keuntungan : dapat mengambil alih fungsi lensa mata yang dikeluarkan, kaca mata
merupakan alat penglihatan yang aman dan harga yang tidak terlalu mahal.
Kerugian : adanya perasaan asing sewaktu memakainya, kaca mata terlalu tebal dan berat,
benda akan terlihat melengkungg, terlihat benda lebih besar 30% dari ukuran sesungguhnya,
pada waktu melihat harus selalu menggerakkan kepala karena melihat dengan bagian tengah
lensa, akibatnya terjadi penyempitan lapang pandangan, serta terdapat bagian yang tidak
terlihat pada lapang pandangan 40-60%.
10. Lensa kontak jauh lebih nyaman dari kaca mata apakia, dengan pembesaran 5% - 10%, tidak
menimbulkan aberasi sferis, tak ada penurunan lapang pandang dan tak ada kesalahan
orientasi spasial.
Kelemahan tenik ini adalah penyimpanan yang selamanya harus bersih dan kalau bisa steril,
pemakaian sukar pada usia lanjut dan diperlukannya ketrampilan pasien dalam hal
memasang, melepaskan dan merawat lensa kontak secara bersih.
11. IOL adalah lensa permanen plastic yang secara bedah diimplantasi ke dalam mata. Mampu
menghasilkan bayangan dengan bentuk dan ukuran normal, menghilangkan efekoptikal lensa
afakia yang menjengkelkan dan ketidakpraktisan lensa kontak .
Ada beberapa bentuk IOL :
g. Lensa bilik mata yang ditempatkan di depan iris dengan kaki penyokongnya bersandar pada
sudut bilik mata
h. Lensa dijepit pada iris yang kakinya tidak terletak pada sudut bilik mata
i. Lensa bilik mata belakang yang diletakkan pada kedudukan lensa normal di belakang iris.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Riwayat
a. Riwayat penyakit trauma : trauma mata, penggunaan obat kortikosteroid, penyakit diabetes
mellitus, hipotiroid, uveitis, glaucoma.
b. Riwayat keluhan gangguan : stadium katarak.
c. Psikososial : kemampuan aktivitas, gangguan membaca, resiko jatuh, berkendaraan.
2. Pengkajian umum
a. Usia.
b. Gejala penyakit sistemik : diabetes mellitus, hipotiroid.
3. Pengkajian khusus mata
a. Dengan pelebaran pupil, ditemukan gambaran kekeruhan lensa (berkas putih) pada lensa.
b. Keluhan terdapat diplopia, pandangan berkabut.
c. Penurunan tajam penglihatan (miopia).
d. Bilik mata depan menyempit.
e. Tanda glaucoma (akibat komplikasi).
Intervensi :
Rencana tindakan yang mungkin dapat diterapkan pada klien dengan katarak meliputi :
Dx. 1
Penurunan persepsi sensori : penglihatan yang berhubungan dengan penurunan tajam
penglihatan dan kejelasan penglihatan.
ujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien melaporkan atau
memeragakan kemampuan yang lebih baik untuk proses rangsang penglihatan dan
mengkomunikasikan perubahan visual.
iteria hasil Klien mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi penglihatan.
Klien mengidentifikasi dan menunjukan pola-pola alternative untuk meningkatkan
penerimaan rangsang penglihatan.
tervensi :
1. Kaji ketajaman penglihatan klien.
R/ Mengidentifikasi kemampuan visual klien.
2. Identifikasi alternative untuk optimalisasi sumber rangsangan.
R/ Memberikan keakuratan penglihatan dan perawatanya.
3. Sesuaikan lingkungan untuk optimalisasi penglihatan :
- Orientasikan klien terhadap ruang rawat.
- Letakan alat yang sering digunakan di dekat klien atau pada sisi mata yang lebih sehat.
- Berikan pencahayaan cukup.
- Letakan alat di tempat yang tepat.
- Hindari cahaya menyilaukan.
- Anjurkan penggunaan alternative rangsang lingkungan yang dapat diterima: auditorik, taktil.
R/ Meningkatkan kemampuan persepsi sensori.
Dx. 2
Ansietas yang berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kejadian operasi.
ujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam tidak terjadi
kecemasan.
iteria hasil : - Klien mengungkapkan kecemasan hilang atau minimal.
- Klien berpartisipasi dalam persiapan operasi.
Intervensi :
1. Jelaskan gambaran kejadian pre dan paska operasi, manfaat operasi, dan sikap yang harus
dilakukan klien selama masa operasi.
R/ Meningkatkan pemahaman tentang gambaran operasi untuk menurunkan ansietas.
2. Jawab pertanyaan khusus tentang pembedahan.
R/ Meningkatkan kepercayaan dan kerjasama.
3. Berikan waktu untuk mengekspresikan perasaan.
R/ Berbagi perasaan membantu menurunkan tegangan.
4. Informasikan bahwa perbaikan penglihatan tidak terjadi secara langsung, tetapi bertahap
sesuai penurunan bengkak pada mata dan perbaikan kornea.
R/ Informasi tentang perbaikan penglihatan bertahap diperlukan untuk mengantisipasi depresi
atau kekecewaan setelah fase operasi dan memberikan harapan akan hasil operasi.
Dx. 3
Resiko cedera yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intraocular (TIO), perdarahan,
kehilangan vitreous.
uan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam tidak terjadi cedera mata pasca
operasi.
eria hasil : - Klien dapat menyebutkan faktor yang menyebabkan cedera.
- Klien tidak melakukan aktivitas yang meningkatkan resiko cedera.
Intervensi :
1. Diskusikan tentang rasa sakit, pembatasan aktifitas dan pembalutan mata.
R/ Meningkatkan kerjasama dan pembatasan yang diperlukan.
2. Tempatkan klien pada tempat tidur yang rendah dan ajurkan untuk membatasi pergerakan
mendadak atau tiba-tiba serta menggerakan kepala berlebih.
R/ Istirahat mutlak diberikan hanya beberapa menit hingga satu atau dua jam paska operasi
atau satu malam jika ada komplikasi.
3. Bantu aktifitas selama fase istirahat.
R/ Mencegah atau menurunkan resiko komplikasi cedera.
4. Ajarkan klien untuk menghindari tindakan yang dapat menyebabkan cedera.
R/ Tindakan yang dapat meningkatkan TIO dan menimbulkan kerusakan struktur mata paska
operasi:
- Mengejan (valsalva maneuver)
- Menggerakan kepala mendadak
- Membungkuk terlalu lama
- Batuk
5. Amati kondisi mata : luka menonjol, bilik mata depan menonjol, nyeri mendadak setiap 6
jam pada awal operasi atau seperlunya.
R/ Berbagai kondisi seperti luka menonjol, bilik mata menonjol, nyeri mendadak, hyperemia
serta hipopion mungkin menunjukan cedera mata paska operasi.Apabila pandangan melihat
benda mengapung (floater) atau tempat gelap mungkin menujukan ablasio retina.
Dx. 4
Nyeri yang berhubungan dengan luka pasca operasi.
uan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam nyeri berkurang, hilang dan
terkontrol.
eria hasil : - Klien mendemonstrasikan tehnik penurunan nyeri.
- Klien melaporkan nyeri berkurang atau hilang.
Intervensi :
1. Kaji derajat nyeri setiap hari.
R/ Normalnya nyeri terjadi dalam waktu kurang dari lima hari setelah operasi dan berangsur
menghilang. Nyeri dapat meningkat karena peningkatan TIO 2-3 hari paska operasi.Nyeri
mendadak menunjukan peningkatan TIO massif.
2. Anjurkan untuk melaporkan perkembangan nyeri setiap hari atau segera saat terjadi
peningkatan nyeri mendadak.
R/ Meningkatkan kolaborasi ; memberikan rasa aman untuk peningkatan dukungan
psikologis.
3. Anjurkan klien untuk tidak melakukan gerakan tiba-tiba yang dapat memprovokasi nyeri.
R/ Beberapa kegiatan klien dapat meningkatkan nyeri seperti gerakan tiba-tiba,
membungkuk, mengucek mata, batuk, mengejan.
4. Ajarkan tehnik distraksi dan relaksasi.
R/ Menurunkan ketegangan, mengurangi nyeri.
5. Lakukan tindakan kolaboratif untuk pemberian analgesic topical atau sistemik.
R/ Mengurangi nyeri dengan meningkatkan ambang nyeri.
Dx. 5
Gangguan perawatan diri yang berhubungan dengan penurunan penglihatan, pembatasan
aktivitas pasca operasi.
uan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kebutuhan perawatan diri klien
terpenuhi.
eria hasil : - Klien mendapatkan bantuan parsial dalam pemenuhan kebutuhan diri.
- Klien memeragakan perilaku perawatan diri secara bertahap.
Intervensi :
1. Terangkan pentingnya perawatan diri dan pembatasan aktivitas selama fase paska operasi.
R/ Klien dianjurkan untuk istirahat di tempat tidur pada 2-3 jam pertama paska operasi atau
12 jam jika ada komplikasi. Selama fase ini, bantuan total diperlukan bagi klien.
2. Bantu klien untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
R/ Memenuhi kebutuhan perawatan diri.
3. Secara bertahap, libatkan klien dalam memenuhi kebutuhan diri.
R/ Upaya melibatkan klien dalam aktivitas perawatan dirinya dilakukan bertahap dengan
berpedoman pada prinsip bahwa aktivitas tidak memicu peningkatan TIO dan menyebabkan
cedera mata. Kontrol klinis dilakukan dengan menggunakan indicator nyeri mata pada saat
melakukan aktivitas.Umumnya 24 jam paska operasi, individu boleh melakukan aktivitas
perawatan diri.
Dx. 6
Resiko ketidakefektifan penatalaksanaan regimen terapeutik yang berhubungan dengan
kurang pengetahuan, kurang sumber pendukung.
uan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam perawatan rumah berjalan efektif.
eria hasil : - Klien mampu mengidentifikasi kegiatan keperawatan rumah (lanjutan) yang diperlukan.
- Keluarga menyatakan siap untuk mendampingi klien dalam melakukan perawatan.
Intervensi :
1. Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang perawatan paska hospitalisasi.
R/ Sebagai modalitas dalam pemberian pendidikan kesehatan tentang perawatan di rumah.
2. Terangkan aktivitas yang diperbolehkan dan dihindari (minimal untuk 1 minggu) untuk
mencegah komplikasi post operasi.
R/ Aktivitas yang diperbolehkan :
- Menonton televise, membaca tetapi jangan terlalu lama.
- Mengerjakan aktivitas biasa (ringan dan sedang).
- Mandi waslap, selanjutnya dengan bak mandi atau pancuran (dengan bantuan).
- Tidak boleh membungkuk pada wastafel atau bak mandi, condongkan kepala sedikit
kebelakang saat mencuci rambut.
- Tidur dengan perisai atau pelindung mata logam pada malam hari, mengenakan kacamata
pada siang hari.
- Aktivitas dengan duduk.
- Mengenakan kaca mata hitam untuk kenyamanan.
- Berlutut atau jongkok saat mengambil sesuatu dari lantai.
R/ Aktivitas yang dihindari :
- Tidur pada sisi yang sakit.
- Menggosok mata, menekan kelopak mata.
- Mengejan saat defekasi.
- Memakai sabun mendekati mata.
- Mengangkat benda lebih dari 7 kg.
- Melakukan hubungan seks.
- Mengendarai kendaraan.
- Batuk, bersin, muntah.
- Menundukan kepala sampai bawah pinggang.
3. Terangkan berbagai kondisi yang perlu dikonsultasikan.
R/ Kondisi yang harus segera dilaporkan :
- Nyeri pada dan disekitar mata, sakit kepala menetap.
- Setiap nyeri yang tidak berkurang dengan obat pengurang nyeri.
- Nyeri disertai mata merah, bengkak, atau keluar cairan : inflamasi dan cairan dari mata.
- Nyeri dahi mendadak.
- Perubahan ketajaman penglihatan, kabur, pandangan ganda, selaput pada lapang penglihatan,
kilatan cahaya, percikan atau bintik didepan mata, kalau di sekitar sumber cahaya.
4. Terangkan cara penggunaan obat-obatan.
R/ Klien mungkin mendapatkan obat tetes atau salep(topical).
5. Berikan kesempatan bertanya.
R/ Meningkatkan rasa percaya, rasa aman, dan mengeksplorasi pemahaman serta hal-hal
yang mungkin belum dipahami.
6. Tanyakan kesiapan klien paska hospitalisasi.
R/ Respon verbal untuk meyakinkan kesiapan klien dalam perawatan hospitalisasi.
7. Identifikasi kesiapan keluarga dala perawatan diri klien paska hospitalisasi.
R/ Kesiapan keluarga meliputi orang yang bertanggung jawab dalam perawatan, pembagian
peran dan tugas serta penghubung klien dan institusi pelayanan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA