TINJAUAN PUSTAKA
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi persisten akibat kelainan dasar
kedua selain hipertensi esensial. Hipertensi ini penyebabnya diketahui dan
menyangkut ±10% dari kasus hipertensi. Hipertensi sekunder diderita
sekitar 5% pasien hipertensi. Hipertensi sekunder disebabkan oleh adanya
penyakit komorbid atau penggunaan obat-obat tertentu yang dapat
meningkatkan tekanan darah. Obat-obat tertentu, baik secara langsung
ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi.
Pengertian penggunaan obat tersebut atau mengobati kondisi komorbid
yang menyertainya merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi
sekunder (Shep, 2005).
11
2. Etiologi
Pada umumnya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik.
Hipertensi terjadi sebagai respons peningkatan curah jantung atau
peningkatan tekanan perifer. Akan tetapi, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya hipertensi, yaitu :
a. Genetik, respons neurologi terhadap stress atau kelainan ekskresi atau
transport Na.
b. Obesitas, terkait dengan tingkat insulin yang tinggi yang mengakibatkan
tekanan darah meningkat.
c. Stress karena lingkungan.
d. Merokok
e. Hilangnya elastisitas jaringan dan arterosklerosis pada orang tua serta
pelebaran pembuluh darah (Aspiani, 2016).
3. Patofisiologi
Mekanisme yang mengatur atau mengontrol kontriksi dan relaksasi
pembuluh darah terletak di pusat vasonator. Pada medula otak, dari pusat
vasomotor inilah bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke
korda spinalis dan keluar dari kolumna, medula spinalis ganglia simpatis di
toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam
bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui sistem saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron pre ganglion melepaskan asetilkolin,
yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah.
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi
respon pembuluh darah terhadap rangsangan vasokontriksi. Individu dengan
hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meski tidak diketahui
dengan jelas mengapa bisa terjadi hal tersebut. Pada saat yang bersamaan,
sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang
emosi, kelenjar adrenal juga terangsang. Hal ini mengakibatkan tambahan
aktifitas vasokontriksi, medula adrenal mensekresi epinefrin yang
menyebabkan vasokontriksi (Brunner & Suddart, 2001).
Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya untuk
12
6. Komplikasi
Tekanan darah tinggi apabila tidak diobati dan ditanggulangi, maka
dalam jangka panjang akan menyebabkan kerusakan arteri di dalam tubuh
sampai organ yang mendapat suplai darah dari arteri tersebut. Komplikasi
hipertensi dapat terjadi pada organ-organ sebagai berikut :
a. Jantung
Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung dan
penyakit jantung coroner. Pada penderita hipertensi, beban jantung akan
meningkat, otot jantung akan mengendor dan berkurang elastisitasnya,
yang disebut dekompensasi. Akibatnya, jantung tidak mampu lagi
memompa sehingga banyak cairan tertahan di paru maupun jaringan
tubuh lain yang dapat menyebabkan sesak napas atau edema, kondisi ini
disebut gagal jantung.
b. Otak
Komplikasi hipertensi pada otak, menimbulkan resiko stroke, apabila
tidak diobati resiko terkena stroke 7 kali lebih besar.
c. Ginjal
Tekanan darah tinggi juga menyebabkan kerusakan ginjal, tekanan darah
tinggi dapat menyebabkan kerusakan sistem penyaringan di dalam ginjal
akibatnya lambat laun ginjal tidak mampu membuang zat-zat yang tidak
dibutuhkan tubuh yang masuk melalui aliran darah dan terjadi
penumpukan di dalam tubuh.
d. Mata
Pada mata hipertensi dapat mengakibatkan terjadinya retinopati hipertensi
dan dapat menimbulkan kebutaan (Wijaya, 2016).
7. Pemeriksaan Diagnostik hipertensi :
a. Hemoglobin / hematocrit
Bukan diagnostic tetapi mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap
volume cairan (viskositas) dan dapat mengindikasikan faktor-faktor
15
itu dengan irama lembut yang ditimbulkan oleh musik yang didengarkan
melalui telinga akan langsung masuk ke otak dan langsung diolah sehingga
menghasilkan efek yang sangat baik terhadap kesehatan seseorang (Jasmariza,
2011).
Semua jenis musik dapat digunakan sebagai terapi musik seperti lagu-
lagu relaksasi, lagu populer maupun musik klasik. Namun ajarannya lagu
yang bersifat rileks adalah lagu dengan tempo sekitar 60 ketukan/menit.
Apabila lagu terlalu cepat, maka secara tidak sadar stimulus yang masuk akan
membuat kita mengikuti irama tersebut, sehingga keadaan istirahat yang
optimal tidak tecapai. Dengan mendengarkan musik, sistem limbik akan
teraktivasi dan menjadikan individu menjadi rileks yang dapat menurunkan
tekanan darah. Selain itu alunan musik dapat menstimulasi tubuh untuk
memproduksi molekul yang disebut nitric oxide (NO). Molekul ini akan
bekerja pada tonus pembuluh darah sehingga dapat mengurangi tekanan darah
(Nafilasari, 2013).
Terdapat penelitian lain yang dilakukan oleh Jasmarizal (2011)
didapatkan hasil bahwa terapi musik klasik (mozart) dapat menurunkan darah
tinggi. Penelitian diberlakukan kepada 11 penderita yang sudah dilakukan
pengukuran terlebih dahulu, 100% mengalami hipertensi. Terapi musik klasik
diberikan sampai 3 buah musik klasik (mozart) didengarkan kepada
responden, dari penelitian tersebut didapatkan hasil rata-rata tekanan darah
sistolik sebelum perlakuan adalah 145,4 mmHg dengan sistolik tertinggi 159
mmHg dan sistolik terendah 140 mmHg dan setelah di beri perlakuan rata-
rata tekanan darah sistolik menjadi 139,2 mmHg dengan sistolik tertinggi
adalah 149 mmHg dan sistolik terendah adalah 120 mmHg (Jasmarizal,
2011).
Dalam penelitian yang berjenis one group pre-post design oleh Mike
Yevie Nafilasari tahun 2013 melaporkan bahwa terapi musik klasik dapat
menurunkan tekanan darah. Peneliti mempunyai 30 responden dengan rentan
umur 60-90 tahun. Dari hasil penelitiannya rata-rata tekanan darah sistolik
sebelum perlakuan adalah 92,03 mmHg dengan sistolik tertinggi 180 mmHg
21
dan sistolik terendah 130 mmHg dan setelah di beri perlakuan rata-rata
tekanan darah sistolik menjadi 142,72 mmHg dengan sistolik tertinggi adalah
178 mmHg dan sistolik terendah adalah 120 mmHg. Sedangkan rata-rata
tekanan darah diastolik sebelum diberi perlakuan adalah 92,03 mmHg dengan
tekanan diastolik tertinggi adalah 110 mmHg dan diastolik terendah adalah 70
mmHg, dan setelah diberi perlakuan tekanan darah diastolik menjadi 79,83
mmHg dengan tekanan diastolik tertinggi adalah 110 mmHg dan diastolik
terendah adalah 70 mmHg (Nafilasari, 2013).
4. Teknik prosedur terapi musik klasik
1. Prosedur tindakan
a. Fase Pra interaksi
1) Perawat melakukan persiapan terlebih dahulu sebelum bertemu
pasien seperti membaca status dan data klien.
2) Mempersiapkan alat-alat (Headphone, Ponsel, tensimeter, dan
stetoskop).
3) Mencuci tangan.
b. Fase orientasi
1) Salam terapeutik
Mengidentifikasi pasien, mengucapkan salam dan memperkenalkan
diri.
2) Evaluasi dan validasi
Menanyakan kabar klien dan keluhan yang dirasakan
3) Informed consent
a) Menjelaskan tindakan penerapan terapi musik klasik, tujuan,
manfaat, waktu dan persetujuan klien
b) Memberikan kesempatan untuk bertanya
c) Meminta persetujuan pasien
c. Fase interaksi
1) Persiapan alat
a) Headphone
b) Ponsel yang berisi musik klasik
22
c) Tensimeter
d) Stetoskop
2) Persiapan pasien
Mengatur posisi pasien senyaman mungkin bagi pasien
3) Persiapan lingkungan
Mengatur lingkungan cukup cahaya, suhu dan terjaga privacy
4) Persiapan perawat
Perawat cuci tangan dan jika diperlukan menggunakan handscoon
5) Prosedur tindakan
a) Mengukur tekanan darah klien sebelum diberikan terapi musik
klasik
b) Memberikan terapi musik klasik selama 15 menit
c) Mengukur kembali tekanan darah klien.
d. Fase terminasi
a) Evaluasi subjektif dan objektif
Menanyakan bagaimana perasaan pasien setelah terapi musik klasik
yang didengarkan
b) Rencana tindakan lanjut
Akan dilakukan terapi musik klasik lagi di hari berikutya
c) Kontrak yang akan dating
Mengkontrak waktu kapan akan diberikan terapi musik klasik.
Standar Operasional Prosedur (SOP) Terapi Musik Klasik terlampir
pada lampiran.
5. Peneliti yang terkait
Penelitian yang dilakukan oleh Mahartidanar (2017) dengan nilai
(p=0,000) disimpulkan bahwa musik klasik dapat menurunkan tekanan darah
pada lansia dengan rata-rata penurunan tekanan sistolik sebesar 4,3 mmHg
dan diastolik sebesar 4,4 mmHg. penelitian yang dilakukan oleh Herawati
(2018) dengan nilai p-value=0,001(<0,05), angka ini menunjukkan bahwa ada
pengaruh antara tekanan darah sistolik sebelum dan setelah terapi musik
klasik. Rata-rata tekanan darah sistolik dengan rara-rata rank 3,50 mmHg
23
dengan Z hitung 21,00 pada lansia dengan hipertensi sedang, didapatkan nilai
pvalue=0,023(<0,05).
Penelitian yang dilakukan oleh Asmaravan (2017) dengan nilai hasil
analisis Wilcoxon signifikan sebesar 0.000 < 0.05, maka Ho ditolak dan Ha
diterima berarti ada pengaruh terapi musik klasik terhadap penurunan tekanan
darah pada penderita hipertensi. penelitian yang dilakukan oleh Hidayah
(2017) klien diberikan intervensi selama 15 menit setelah pemberian
intervensi lakukan pengukuran (posttest), hasil uji statistik pada kelompok
terapi musik klasik menunjukkan hasil yang sangat signifikan terdapat
perubahan tekanan darah sistol fan diastol sebelum dan sesudah diberikan
terapi musik klasik dengan nilai (p value=0,000). Kemudian Penelitian yang
dilakukan oleh Nur (2016) didapatkan kesimpulan adanya pengaruh terapi
musik klasik terhadap penurunan tekanan darah pada lansia dengan nilai p
value=0,000 (0,05).
dimalam hari dan durasinya, serta (e) bangun tidur dipagi hari.
Kemudian, perawat dapat mengembangkan data tersebut menjadi
bagan atau grafik yang berguna untuk mengidentifikasi masalah tidur
yang klien alami.
Pemeriksaan fisik, meliputi observasi penampilan, perilaku, dan
tingkat energy klien. Penampilan yang menandakan klien mengalami
masalah tidur antara lain adanya lingkaran hitam di sekitar mata,
konjungtiva kemerahan, kelopak mata bengkak, dll. Sedangkan indikasi
perilaku dapat meliputi iritabilitas, gelisah, tidak perhatian, bicara
lambat, menguap, dll. Disamping itu, klien yang mengalami masalah
tidur juga terlihat lemah, letargi, atau lelah akibat kekurangan energy
(Ambarwati, 2014)
d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
Klien dengan hipertensi biasanya memiliki berat badan yang normal atau
melebihi indeks masa tubuh, berat badan normal, tekanan darah > 140/90
mmHg, nadi > 100 x/menit, frekuensi nafas 16-24 x/menit pada
hipertensi berat terjadi pernafasan takipnea, ortopnea, dyspnea nocturnal
paroksimal, suhu tubuh 36,5-37,5°C pada hipertensi berat suhu tubuh
dapat menurun dan mengakibatkan pasien hipotermi, keadaan umum
pasien compos mentis pada kasus hipertensi berat dengan komplikasi
dapat mengakibatkan pasien mengalami gangguan kesadaran dan sampai
pada koma, contohnya stroke.
2) Kepala dan leher
Klien dengan hipertensi memiliki sistem penglihatan yang baik tidak
mengalami gangguan pada fungsi pendengaran dan keseimbangan, pada
kasus hipertensi berat pasien mengalami nyeri kepala, penglihatan
kabur, terdapat pernafasan cuping hidung, terjadi distensi vena jugularis,
terdapat pernafasan pursed lips dan dapat terjadinya anemis konjungtiva.
3) Dada
Secara umum baik dengan frekuensi nafas 16-24x/menit dengan irama
teratur, pada kasus hipertensi tertentu seperti hipertensi berat pasien
mengalami gangguan sistem pernafasan seperti takipnea, dyspnea dan
ortopnea, adanya distress pernafasan/penggunaan otot-otot pernafasan
pada hipertensi berat, frekuensi pernafasan >24 x/menit dengan irama
pernafasan tidak teratur, kedalaman nafas cepat dan dangkal, adanya
batuk dan terdapat sputum pada batuk pasien sehungga mengakibatkan
sumbatan jalan nafas dan terdapat bunyi mengi, pada jantung pada kasus
hipertensi ringan, sirkulasi jantung dalam keadaan normal dengan
kecepatan denyut jantung apical teratur dan terdapat bunyi jantung
tambahan (S3), adanya nyeri dada pada kasus hipertensi sekunder dengan
komplikasi kelainan jantung, pada pasien dengan hipertensi ringan dalam
keadaan normal dengan frekuensi nadi 60-100x/menit, irama teratur. Pada
29
menggosok gigi)
5 Keluar masuk toilet 10
(Mencuci pakaian, menyeka
tubuh)
6 Mandi 15 Frekuensi :
7 Jalan dipermukaan datar 5
8 Naik turun tangga 10
9 Mengenakan pakaian 10
10 Kontrol bowel (BAB) 10 Frekuensi :
Konsistensi :
11 Kontrol bladder (BAK) 10 Frekuensi :
Jumlah :
Warna :
12 Olah raga /latihan 10 Frekuensi :
Jenis :
13 Reaksi pemanfaatan waktu 10 Frekuensi :
luang Jenis :
Total score
Keterangan :
a. 130 : Mandiri
b. 65 – 125 : Ketergantungan sebagian
c. 60 : Ketergantungan total
Kesimpulan :
2. MMSE (Mini Mental Status Exam)
Identifikasi aspek kognitif dari fungsi mental lansia.
Tabel 2.3 MMSE (Mini Mental Status Exam)
ASPEK NILAI NILAI KRITERIA KET
KOGNITIF MAKSIMAL KLIEN
Orientasi 5 Menyebut dengan benar :
waktu Tahun
Musim
Tanggal
Hari
Bulan
Orientasi 5 Dimana sekarang kita berada :
ruang Negara Indonesia
Propinsi Jawa Barat
Kota Bandung
Desa
Rumah
Registrasi 3 Sebutkan nama objek yang
telah disebut oleh pemeriksa :
(Contoh)
31
Gelas
Sendok
Piring
Perhatian dan 5 Minta klien meyebutkan
kalkulasi angka
100 – 15 sampai 5 kali :
85
70
55
40
25
Mengingat 3 Minta klien untuk mengulangi
kembali 3 obyek pada no. 2 (Pada
registrasi diatas)
Gelas
Sendok
Piring
Bahasa 9 Tunjukan klien benda,
tanyakanapa namanya :
(Contoh)
1) Jam tangan
2) Pensil
Minta klien untuk mengulangi
kata– kata ”tidak ada, jika
dan atau tetapi.
Bila benar, 1 point
Minta klien untuk mengikuti
perintah berikut terdiri dari 3
langkah :
1) Ambil kertas ditangan anda
2) Lipat dua
3) Taruh di lantai
Perintahkan klien dengan
menutup mata klien, untuk
point seperti no.1 , Jam tangan
/Pensil
Perintahkan pada klien :
Menulis 1 kalimat
Menyalin 1 gambar
Keterangan :
24 – 30 : Tidak ada gangguan kognitif
18 – 23 : Gangguan kognitif sedang
0 – 17 : Gangguan kognitif berat
Kesimpulan :
3. SPMSQ (Short Portable Mental Status Questioner)
Identifikasi tingkat kerusakan intelektual
32
Data mayor objektif : Waktu pengisian kapiler >3 detik, nadi perifer
menurun/tidak teraba, akral terba dingin, warna kulit pucat, turgor kulit
menurun, edema, dan peneyembuhan luka lambat.
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
Data mayor subjektif : Mengeluh nyeri.
Data mayor objektif : Tampak meringis, bersikap protektif, gelisah,
frekuensi nadi meningkat, sulit tidur.
Data minor Objektif : Tekanan darah meningkat, pola nafas berubah,
nafsu makan berubah, proses berfikir terganggu, menarik diri, berfokus
pada diri sendiri, diaforesis.
d. Gangguan Pola Tidur berhubungan dengan kurang kontrol tidur
Data Mayor Subjektif : Mengeluh sulit tidur, mengeluh sering terjaga,
mengeluh tidak puas tidur, mengeluh pola tidur berubah, mengeluh
istirahat tidak cukup
Data Minor Subjektif : Mengeluh kemampuan beraktivitas menurun
e. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen
Data Mayor Subjektif : Mengeluh lelah
Data Mayor Objektif : Frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi
istirahat (SDKI, 2016) .
4. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan terdapat pada tabel 2.5