Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Proses Menua


1. Pengertian Lansia
Menurut World Health Organisation (WHO), lansia adalah seseorang
yang telah memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan kelompok umur
pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya.
Batasan umur pada usia lanjut dari waktu ke waktu berbeda. Menurut World
Health Organitation (WHO) lansia meliputi :
a. Usia pertengahan (middle age) antara usia 45 sampai 59 tahun
b. Lanjut usia (elderly) antara usia 60 sampai 74 tahun
c. Lanjut usia tua (old) antara usia 75 sampai 90 tahun
d. Usia sangat tua (veryold) diatas usia 90 tahun.
2. Proses Menua
Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan tahapan-
tahapan menurunnya berbagai fungsi organ tubuh, yang ditandai dengan
semakin rentannya tubuh terhadap berbagai serangan penyakit yang dapat
menyebabkan kematian misalnya pada sistem kardiovaskuler dan pembuluh
darah, pernafasan, pencernaan, endokrin dan lain sebagainya. Hal tersebut
disebabkan seiring meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan dalam
struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Perubahan tersebut pada
umumnya mengaruh pada kemunduran kesehatan fisik dan psikis yang pada
akhirnya akan berpengaruh pada ekonomi dan sosial lansia. Sehingga secara
umum akan berpengaruh pada activity of daily living (Fatmah, 2010).
3. Perubahan Akibat Proses Menua
a. Penurunan fungsi fisik
Penurunan fungsi fisik tersebut yang ditandai dengan ketidakmampuan
lansia untuk beraktivitas atau melakukan
7 kegiatan yang tergolong berat.
Perubahan fisik yang cenderung mengalami penurunan tersebut akan
menyebabkan berbagai gangguan secara fisik sehingga mempengaruhi
8

kesehatan serta akan berdampak pada kualitas hidup lansia (Ermawati,


2011).
a. Perubahan mental
Dalam bidang mental atau psikis pada lanjut usia, dapat berupa sikap
yang semakin egosentrik, mudah curiga, bertambah pelit atau tamak jika
memiliki sesuatu. Yang perlu dimengerti adalah sikap umum yang
ditemukan pada hampir setiap lanjut usia, yaitu keinginan berumur
panjang dengan sedapat mungkin tenaganya dihemat, mengharapkan tetap
diberikan peranan dalam masyarakat, ingin tetap berwibawa dengan
mempertahankan hak dan hartanya, ingin meninggal secara terhormat
(Nugroho, 2008).
b. Perubahan psikososial
Nilai seseorang sering diukur melalui produktivitasnya dan
identitasnya dengan peranan dalam pekerjaan. Ketika seseorang
mengalami pensiun (purna tugas), maka yang dirasakan adalah
pendapatan berkurang (kehilangan finansial); kehilangan status (dulu
mempunyai jabatan/posisi yang cukup tinggi, lengkap dengan semua
fasilitas); kehilangan relasi; kehilangan kegiatan, akibatnya timbul
kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial serta perubahan cara
hidup (Nugroho, 2008).
c. Perubahan spiritual
Pada lansia ditandai dengan semakin matangnya lansia dalam
kehidupan keagamaan dan kepercayaan terintegrasi dalam kehidupan dan
terlihat dalam pola berfikir dan bertindak sehari-hari. Perkembangan
spiritual yang matang akan membantu lansia untuk menghadapi
kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan, maupun merumuskan arti dan
tujuan keberadaanya dalam kehidupan (Ermawati, 2011).
9

B. Konsep Gangguan Penyakit Hipertensi Pada Lansia


1. Definisi
Hipertensi dicirikan dengan peningkatan tekanan darah diastolik dan
sistolik yang intermiten atau menetap. Pengukuran tekanan darah serial
150/95 mmHg atau lebih tinggi pada orang yang berusia diatas 50 tahun
memastikan hipertensi (Wahyudi, 2008).
Hipertensi atau darah tinggi adalah penyakit kelainan jantung dan
pembuluh darah yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah. WHO
(World Health Organization) memberikan batasan tekanan darah normal
adalah 140/90 mmHg, dan tekanan darah sama atau diatas 160/95 mmHg
dinyatakan sebagai hipertensi. Batasan ini tidak membedakan antara usia dan
jenis kelamin (Marliani, 2007). Hipertensi dapat di definisikan sebagai
tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan
diastolik di atas 90 mmHg. Pada populasi lansia, hipertensi di definisikan
sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg
(Rohaendi, 2008).
WHO (Word Health Organization) dan ISH (International Hypertension)
mengelompokkan hipertensi sebagai berikut :
Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi
Kategori Tekanan Tekanan
darah sistol darah diastol
(mmHg) (mmHg)
Optimal <120 <80
Normal <130 <85
Normal tinggi 130-139 85-89
Grade 1 (hipertensi ringan) 140-149 90-99
Sub group (perbatasan) 150-159 90-94
Grade 2 (hipertensi sedang) 160-179 100-109
Grade 3 (hipertensi berat) >180 >110
Hipertensi sistolik terisolasi >140 <90
Sub-group (perbatasan) 140-149 <90
10

Klasifikasi hipertensi menurut Shep (2005) terbagi menjadi dua berdasarkan


penyebabnya, yaitu :
a. Hipertensi primer
Lebih sekitar 95% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi
esensial (primer). Penyebab hipertensi esensial ini masih belum diketahui,
tetapi faktor genetik dan lingkungan diyakini memegang peranan dalam
menyebabkan hipertensi esensial faktor genetik dapat menyebabkan
kenaikan aktivitas dari sistem renin angiotensin-aldosteron dan sistem saraf
simpatik serta sensitivitas garam terhadap tekanan darah. Selain faktor
genetik, faktor lingkungan yang mempengaruhi antara lain yaitu konsumsi
garam, obesitas dan gaya hidup yang tidak sehat serta konsumsi alkohol dan
merokok. Penurunan ekskresi natrium pada keadaan tekanan arteri normal
merupakan peristiwa awal dalam hipertensi esensial. Penurunan ekskresi
natrium dapat menyebabkan meningkatnya volume cairan, curah jantung,
dan vasokonstriksi perifer sehingga tekanan darah meningkat. Faktor
lingkungan dapat memodifikasi ekspresi gen pada peningkatan tekanan.
Stres, garam dalam jumlah besar dianggap sebagai faktor eksogen dalam
kegemukan, merokok, aktivitas fisik yang kurang, dan konsumsi hipertensi
(Shep, 2005).
Hipertensi primer merupakan yang terbanyak dari semua kasus
hipertensi. Lebih dari 90% pasien hipertensi masuk ke dalamnya.
Beberapa faktor yang berperan dalam kasus hipertensi, yaitu : (1) Faktor
Keturunan, beberapa peneliti meyakini bahwa 30-60% kasus hipertensi
diturunkan secara genetik. Hal ini sering dihubungkan dengan
kemampuan seseorang untuk mengeluarkan natrium dari tubuhnya (salt
sensitivity). (2) Usia, hipertensi umumnya berkembang pada usia 35-65
tahun. Hal ini terutama akibat elastisitas pembuluh darah yang berkurang.
(3) Jenis Kelamin, hipertensi terjadi umumnya lebih tinggi pada laki-laki.
(4) Ras, kejadian hipertensi pada orang kulit hitam lebih tinggi
dibandingkan orang kulit putih. (5) Kelebihan berat badan, sebesar 75%
kasus hipertensi di Amerika berhubungan dengan obesitas. Hal ini
11

dipengaruhi oleh peningkatan curah jantung dan aktivitas saraf simpatis


pada orang dengan berat badan berlebih. (6) Resistensi Insulin.
Peningkatan gula darah pada penderita resistensi insulin akan
menyebabkan kerusakan organ, sehingga dapat terjadi aterosklerosis dan
penyakit ginjal yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah. (7)
Merokok, akibat zat-zat kimia yang terkandung dalam tembakau, dapat
terjadi kerusakan pembuluh darah. (8) Asupan Natrium-Kalium,
peningkatan kadar natrium dan penurunan kadar kalium dapat
meningkatkan cairan darah yang nantinya akan menyebabkan
peningkatan tekanan darah. 6 Tiap rokok mengandung kurang lebih 4000
bahan kimia, dan hampir 200 diantaranya beracun dan 43 jenis yang
dapat menyebabkan kanker bagi tubuh (A.Sani, 2005).

b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi persisten akibat kelainan dasar
kedua selain hipertensi esensial. Hipertensi ini penyebabnya diketahui dan
menyangkut ±10% dari kasus hipertensi. Hipertensi sekunder diderita
sekitar 5% pasien hipertensi. Hipertensi sekunder disebabkan oleh adanya
penyakit komorbid atau penggunaan obat-obat tertentu yang dapat
meningkatkan tekanan darah. Obat-obat tertentu, baik secara langsung
ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi.
Pengertian penggunaan obat tersebut atau mengobati kondisi komorbid
yang menyertainya merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi
sekunder (Shep, 2005).
11

2. Etiologi
Pada umumnya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik.
Hipertensi terjadi sebagai respons peningkatan curah jantung atau
peningkatan tekanan perifer. Akan tetapi, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya hipertensi, yaitu :
a. Genetik, respons neurologi terhadap stress atau kelainan ekskresi atau
transport Na.
b. Obesitas, terkait dengan tingkat insulin yang tinggi yang mengakibatkan
tekanan darah meningkat.
c. Stress karena lingkungan.
d. Merokok
e. Hilangnya elastisitas jaringan dan arterosklerosis pada orang tua serta
pelebaran pembuluh darah (Aspiani, 2016).
3. Patofisiologi
Mekanisme yang mengatur atau mengontrol kontriksi dan relaksasi
pembuluh darah terletak di pusat vasonator. Pada medula otak, dari pusat
vasomotor inilah bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke
korda spinalis dan keluar dari kolumna, medula spinalis ganglia simpatis di
toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam
bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui sistem saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron pre ganglion melepaskan asetilkolin,
yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah.
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi
respon pembuluh darah terhadap rangsangan vasokontriksi. Individu dengan
hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meski tidak diketahui
dengan jelas mengapa bisa terjadi hal tersebut. Pada saat yang bersamaan,
sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang
emosi, kelenjar adrenal juga terangsang. Hal ini mengakibatkan tambahan
aktifitas vasokontriksi, medula adrenal mensekresi epinefrin yang
menyebabkan vasokontriksi (Brunner & Suddart, 2001).
Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya untuk
12

memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi


mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal dan memicu pelepasan renin.
Pelepasan renin inilah yang merangsang pembentukan angiotensin I yang
akan diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokontriktor kuat yang
nantinya akan merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon
aldosteron ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal,
sehingga terjadi peningkatan volume intra vaskular. Semua faktor ini dapat
mencetus terjadinya hipertensi. Pada keadaan gerontologis dengan
perubahan struktural dan fungsional sistem pembuluh perifer bertanggung
jawab terhadap perubahan tekanan darah usia lanjut. Perubahan itu antara
lain aterosklerosis hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam
relaksasi otot polos pembuluh darah. Akibatnya akan mengurangi
kemampuan aorta dan arteri besar dalam mengakomodasi volume darah
yang dipompa oleh jantung (volume secukupnya) dan curah jantung pun
ikut menurun, sedangkan tahanan perifer meningkat (Hadimartono, 2011).
4. WOC (Web Of Causation)
WOC pada hipertensi terdapat di bagan 2.1
5. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis gejala umum yang ditimbulkan akibat menderita
hipertensi tidak sama pada setiap orang, bahkan terkadang timbul tanpa
gejala. Secara umum gejala yang dikeluhkan oleh penderita hipertensi
sebagai berikut :
a. Sakit kepala
b. Rasa pegal dan tidak nyaman pada tengkuk
c. Perasaan berputar seperti tujuh keliling serasa jatuh
d. Jantung berdebar atau detak jantung terasa cepat
e. Telinga berdenging
Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi, yaitu pusing,
muka merah, sakit kepala, keluar darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk
terasa pegal dan lain-lain (Aspiani, 2016).
13

Sumber : Carperito,1995 : 234


14

Bagan 2.1 WOC (Web Of Causation) Penyakit hipertensi

6. Komplikasi
Tekanan darah tinggi apabila tidak diobati dan ditanggulangi, maka
dalam jangka panjang akan menyebabkan kerusakan arteri di dalam tubuh
sampai organ yang mendapat suplai darah dari arteri tersebut. Komplikasi
hipertensi dapat terjadi pada organ-organ sebagai berikut :
a. Jantung
Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung dan
penyakit jantung coroner. Pada penderita hipertensi, beban jantung akan
meningkat, otot jantung akan mengendor dan berkurang elastisitasnya,
yang disebut dekompensasi. Akibatnya, jantung tidak mampu lagi
memompa sehingga banyak cairan tertahan di paru maupun jaringan
tubuh lain yang dapat menyebabkan sesak napas atau edema, kondisi ini
disebut gagal jantung.
b. Otak
Komplikasi hipertensi pada otak, menimbulkan resiko stroke, apabila
tidak diobati resiko terkena stroke 7 kali lebih besar.
c. Ginjal
Tekanan darah tinggi juga menyebabkan kerusakan ginjal, tekanan darah
tinggi dapat menyebabkan kerusakan sistem penyaringan di dalam ginjal
akibatnya lambat laun ginjal tidak mampu membuang zat-zat yang tidak
dibutuhkan tubuh yang masuk melalui aliran darah dan terjadi
penumpukan di dalam tubuh.
d. Mata
Pada mata hipertensi dapat mengakibatkan terjadinya retinopati hipertensi
dan dapat menimbulkan kebutaan (Wijaya, 2016).
7. Pemeriksaan Diagnostik hipertensi :
a. Hemoglobin / hematocrit
Bukan diagnostic tetapi mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap
volume cairan (viskositas) dan dapat mengindikasikan faktor-faktor
15

resiko seperti hiperkoagulabilitas dan anemia.


b. BUN / kreatinin
Memberikan informasi tentang perufsi / fungsi ginjal.
c. Glukosa
Hiperglikemia (diabetes melitus adalah pencetus hipertensi) dapat di
akibatkan oleh peningkatan kadar katekolamin (meningkatkan
hipertensi).
d. Kalium serum
Peningkatan kadar kalsium serum dapat meningkatkan hipertensi.
e. Kolestrol dan trigeliserida serum
Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk/adanya
pembentuk plak ateromatosa (efek kardiovaskuler).
f. Pemeriksaan tiroid
Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokontriksi dan hipertensi.
g. Kadar aldosterone urine / serum
Untuk mengkaji aldosteronisme primer (penyebab).
h. Urinalisa
Darah, protein, glukosa mengisyaratkan difungsi ginjal dan atau adanya
penyebab diabetes.
i. VMA urine (metabolit katekolamin)
Kenaikan dapat mengindikasikan adanya feokromositoma (penyebab).
VMA urine 24 jam dapat dilakukan untuk pengkajian feokromositoma
bila hipertensi hilang timbul.
j. Asam urat
Hiperurisemia telah menjadi implikasi sebagai faktor resiko terjadinya
hipertensi.
k. Steroid urine
Kenaikan dapat mengindikasikan hiperadrenalisme, feokromositoma
atau disfungsi ptuitary, sindrom Cushing’s dan kadar renin dapat juga
meningkat.
l. IVP
16

Dapat mengidentifikasi penyebab hipertensi, seperti penyakit parenkim


ginjal, batu ginjal / ureter.
m. Foto dada
Dapat menunjukkan obstruksi klasifikasi pada area katup, deposit pada
dan atau taktik aorta, perbesaran jantung.
n. CT scan
Mengkaji tumor serebral, CSV, ensefalopati, atau feokromositoma.
o. EKG
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan
konduksi. Catatan : luas, peninggian gelombang P adalah salah satu
tanda dini penyakit jantung hipertensi (Doengoes, 2010).
8. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang hipertensi menurut Aspiani, (2016) adalah :
a. Laboratorium
1) Albuminaria pada hipertensi karena kelainan parenkim ginjal
2) Kreatinin serum dan BUN meningkat pada hipertensi karena parenkim
ginjal dengan gagal ginjal akut
3) Darah perifer lengkap
4) Kimia darah (kalium, natrium, kreatinin, gula darah puasa).
b. EKG
1) Hipertropi ventrikel kiri
2) Iskemia atau infark miokard
3) Peninggi gelombang p
4) Gangguan konduksi
c. Foto Rontgen
1) Bentuk dan besar jantung
2) Perbandingan lebarnya paru
3) Hipertrofi parenkim ginjal
4) Hipertrofi vaskuler ginjal
9. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan farmakologis yang diterapkan pada penderita
17

hipertensi adalah sebagai berikut :


1) Terapi oksigen
2) Pemantauan hemodinamik
3) Pemantauan jantung
4) Obat-obatan
a) Diuretik, bekerja melalui berbagai mekanisme untuk mengurangi
curah jantung dengan mendorong ginjal meningkatkan ekskresi
garam dan airnya, juga dapat menurunkan TPR.
b) Penyekat saluran kalsium menurunkan kontraksi otot polos jantung
atau enzim dengan mengintevensi influx kalsium yang dibutuhkan
untuk kontraksi.
c) Penghambat enzim mengubah angiotensin II atau inhibitor ACE
berfungsi untuk menurunkan angiotensin II dengan menghambat
enzim yang diperlukan untuk mengubah angiotensin I menjadi
angiotensin II.
d) Antagonis (penyekat) respektor beta (β-blocker), terutama
penyekat selektif, bekerja pada reseptor beta di jantung untuk
menurunkan kecepatan denyut dan curah jantung.
e) Vasodilator arteriol digunakan untuk menurunkan TPR, misalnya :
natrium, nitroprusida, nikardipin, hidralazin, nitrogliserin dll.
f) Antagonis reseptor alfa (α-blocker) menghambat reseptor alfa
b. Penanganan secara non-farmakologi sebagai berikut :
1) Pemijatan untuk pelepasan ketegangan otot, memberikan relaksasi
dengan terapi musik klasik, meningkatkan sirkulasi darah,dan
inisiasi respon relaksasi. Pelepasan otot tegang akan meningkatkan
keseimbangan dan koodinasi sehingga tidur bisa lebih nyenyak dan
sebagai pengobat nyeri secara non-farmakologi.
2) Menurunkan berat badan apabila terjadi gizi berlebih (obesitas).
3) Meningkatkan kegiatan atau aktifitas fisik.
4) Mengurangi asupan natrium
5) Mengurangi konsumsi kafein dan alkohol (Widyastuti, 2015).
18

C. Konsep Terapi Musik Klasik


1. Definisi
Terapi musik terdiri dari dua kata, yaitu “terapi” dan “musik”. Kata
“terapi” berkaitan dengan serangkaian upaya yang dirancang untuk membantu
atau menolong orang. Biasanya kata tersebut digunakan dalam konteks
masalah fisik atau mental. Terapi musik adalah suatu profesi di bidang
kesehatan yang menggunakan musik dan aktivitas musik untuk mengatasi
berbagai masalah dalam aspek fisik, psikologis, kognitif dan kebutuhan sosial
individu yang mengalami cacat fisik (Amta, 2005). Terapi musik adalah
penggunaan musik dalam lingkup klinis, pendidikan, dan sosial bagia klien
atau pasien yang membutuhkan pengobatan, pendidikan atau intervensi pada
aspek sosial dan psikologis (Wigram, 2000).
Terapi musik adalah metode penyembuhan dengan musik melalui
energi yang dihasilkan dari musik itu sendiri (Natalina, 2013). Jenis musik
yang seringkali menjadi acuan adalah musik klasik karena memiliki rentang
nada yang luas dan tempo yang dinamis. Tidak hanya musik klasik, semua
jenis musik sebenarnya dapat digunakan sebagai terapi musik seperti lagu-
lagu relaksasi ataupun lagu popular. Namun yang perlu diperhatikan adalah
memilih lagu dengan tempo sekitar 60 ketukan/menit yang bersifat rileks,
karena apabila terlalu cepat stimulus yang masuk akan membuat kita
mengikuti irama tersebut sehingga keadaan istirahat yang optimal tidak
tercapai. Dengan mendengarkan musik, sistem limbic teraktivasi dan individu
menjadi rileks sehingga tekanan darah menurun. Selain itu alunan musik
dapat menstimulasi tubuh memproduksi molekul Nitrat Oksida (NO), molekul
ini bekerja pada tonus pembuluh darah sehingga dapat mengurangi tekanan
darah (Nurrahmani, 2012).
Musik klasik diartikan sebagai suatu cipta, rasa, dan karsa manusia yang
indah dan dituangkan dalam bentuk bunyi-bunyian, suara melodi, ritme dan
harmoni yang dapat membangkitkan emosi, dan bisa membuat mood menjadi
bahagia, menghilangkan stress, pengiring selama proses pembelajaran dan
19

bisa untuk mengurangi nyeri (Mahatidanar, 2017).


Terapi musik klasik adalah sebuah musik yang dibuat dan ditampilkan
oleh orang yang profesional melalui pendidikan musik. Musik untuk
penyembuhan tidak asal sembarang musik, hanya lagu yang tepat yang bisa
menyembuhkan. Pilih jenis musik yang bersifat rileks dengan tempo 60
ketukan permenit seperti musik klasik karya mozart. Terapi musik klasik
mozart adalah musik yang muncul sejak 250 tahun yang lalu, diciptakan oleh
Wolgang Amadeus Mozart. Musik klasik mozart memberikan ketenangan,
memperbaiki persepsi sosial, dan memungkinkan pasien untuk berkomunikasi
baik dengan hati maupun pikiran. Musik klasik Mozart memiliki kekuatan
yang membebaskan, mengobati dan menyembuhkan (Musbikin, 2013).
2. Jenis terapi musik
a. Terapi Musik Aktif.
Dalam terapi musik aktif pasien diajak bernyanyi, belajar main
menggunakan alatmusik, menirukan nada-nada, bahkan membuat lagu
singkat. Dengan kata lain pasien berinteraksi aktif dengan dunia musik.
Untuk melakukan terapi musik aktif tentu saja dibutuhkan bimbingan
seorang pakar terapi musik yang kompeten.
b. Terapi Musik Pasif.
Terapi musik pasif adalah dimana pasien mendengarkan atau
didengarkan musik dengan alunan nada, ritme dan juga bertempo rendah,
yang memiliki ketukan 60x /menit (Djohan, 2006).
3. Kerja musik klasik
Terapi musik bersifat nonverbal, dimana dengan bantuan musik,
pikiran klien dibiarkan mengembara, baik untuk mengenang hal-hal yang
bahagia, membayangkan ketakutan yang dirasakan, mengangankan hal-hal
yang dicita-citakan dan sesuatu yang diimpikan (Djohan, 2006).
Terapi musik di rancang untuk pengenalan yang mendalam terhadap
keadaan dan permasalahan klien sehingga setiap orang akan memberi makna
yang berbeda terhadap terapi musik yang diberikan. Musik dapat
mempengaruhi denyut jantung sehingga menimbulkan efek tenang, disamping
20

itu dengan irama lembut yang ditimbulkan oleh musik yang didengarkan
melalui telinga akan langsung masuk ke otak dan langsung diolah sehingga
menghasilkan efek yang sangat baik terhadap kesehatan seseorang (Jasmariza,
2011).
Semua jenis musik dapat digunakan sebagai terapi musik seperti lagu-
lagu relaksasi, lagu populer maupun musik klasik. Namun ajarannya lagu
yang bersifat rileks adalah lagu dengan tempo sekitar 60 ketukan/menit.
Apabila lagu terlalu cepat, maka secara tidak sadar stimulus yang masuk akan
membuat kita mengikuti irama tersebut, sehingga keadaan istirahat yang
optimal tidak tecapai. Dengan mendengarkan musik, sistem limbik akan
teraktivasi dan menjadikan individu menjadi rileks yang dapat menurunkan
tekanan darah. Selain itu alunan musik dapat menstimulasi tubuh untuk
memproduksi molekul yang disebut nitric oxide (NO). Molekul ini akan
bekerja pada tonus pembuluh darah sehingga dapat mengurangi tekanan darah
(Nafilasari, 2013).
Terdapat penelitian lain yang dilakukan oleh Jasmarizal (2011)
didapatkan hasil bahwa terapi musik klasik (mozart) dapat menurunkan darah
tinggi. Penelitian diberlakukan kepada 11 penderita yang sudah dilakukan
pengukuran terlebih dahulu, 100% mengalami hipertensi. Terapi musik klasik
diberikan sampai 3 buah musik klasik (mozart) didengarkan kepada
responden, dari penelitian tersebut didapatkan hasil rata-rata tekanan darah
sistolik sebelum perlakuan adalah 145,4 mmHg dengan sistolik tertinggi 159
mmHg dan sistolik terendah 140 mmHg dan setelah di beri perlakuan rata-
rata tekanan darah sistolik menjadi 139,2 mmHg dengan sistolik tertinggi
adalah 149 mmHg dan sistolik terendah adalah 120 mmHg (Jasmarizal,
2011).
Dalam penelitian yang berjenis one group pre-post design oleh Mike
Yevie Nafilasari tahun 2013 melaporkan bahwa terapi musik klasik dapat
menurunkan tekanan darah. Peneliti mempunyai 30 responden dengan rentan
umur 60-90 tahun. Dari hasil penelitiannya rata-rata tekanan darah sistolik
sebelum perlakuan adalah 92,03 mmHg dengan sistolik tertinggi 180 mmHg
21

dan sistolik terendah 130 mmHg dan setelah di beri perlakuan rata-rata
tekanan darah sistolik menjadi 142,72 mmHg dengan sistolik tertinggi adalah
178 mmHg dan sistolik terendah adalah 120 mmHg. Sedangkan rata-rata
tekanan darah diastolik sebelum diberi perlakuan adalah 92,03 mmHg dengan
tekanan diastolik tertinggi adalah 110 mmHg dan diastolik terendah adalah 70
mmHg, dan setelah diberi perlakuan tekanan darah diastolik menjadi 79,83
mmHg dengan tekanan diastolik tertinggi adalah 110 mmHg dan diastolik
terendah adalah 70 mmHg (Nafilasari, 2013).
4. Teknik prosedur terapi musik klasik
1. Prosedur tindakan
a. Fase Pra interaksi
1) Perawat melakukan persiapan terlebih dahulu sebelum bertemu
pasien seperti membaca status dan data klien.
2) Mempersiapkan alat-alat (Headphone, Ponsel, tensimeter, dan
stetoskop).
3) Mencuci tangan.
b. Fase orientasi
1) Salam terapeutik
Mengidentifikasi pasien, mengucapkan salam dan memperkenalkan
diri.
2) Evaluasi dan validasi
Menanyakan kabar klien dan keluhan yang dirasakan
3) Informed consent
a) Menjelaskan tindakan penerapan terapi musik klasik, tujuan,
manfaat, waktu dan persetujuan klien
b) Memberikan kesempatan untuk bertanya
c) Meminta persetujuan pasien
c. Fase interaksi
1) Persiapan alat
a) Headphone
b) Ponsel yang berisi musik klasik
22

c) Tensimeter
d) Stetoskop
2) Persiapan pasien
Mengatur posisi pasien senyaman mungkin bagi pasien
3) Persiapan lingkungan
Mengatur lingkungan cukup cahaya, suhu dan terjaga privacy
4) Persiapan perawat
Perawat cuci tangan dan jika diperlukan menggunakan handscoon
5) Prosedur tindakan
a) Mengukur tekanan darah klien sebelum diberikan terapi musik
klasik
b) Memberikan terapi musik klasik selama 15 menit
c) Mengukur kembali tekanan darah klien.
d. Fase terminasi
a) Evaluasi subjektif dan objektif
Menanyakan bagaimana perasaan pasien setelah terapi musik klasik
yang didengarkan
b) Rencana tindakan lanjut
Akan dilakukan terapi musik klasik lagi di hari berikutya
c) Kontrak yang akan dating
Mengkontrak waktu kapan akan diberikan terapi musik klasik.
Standar Operasional Prosedur (SOP) Terapi Musik Klasik terlampir
pada lampiran.
5. Peneliti yang terkait
Penelitian yang dilakukan oleh Mahartidanar (2017) dengan nilai
(p=0,000) disimpulkan bahwa musik klasik dapat menurunkan tekanan darah
pada lansia dengan rata-rata penurunan tekanan sistolik sebesar 4,3 mmHg
dan diastolik sebesar 4,4 mmHg. penelitian yang dilakukan oleh Herawati
(2018) dengan nilai p-value=0,001(<0,05), angka ini menunjukkan bahwa ada
pengaruh antara tekanan darah sistolik sebelum dan setelah terapi musik
klasik. Rata-rata tekanan darah sistolik dengan rara-rata rank 3,50 mmHg
23

dengan Z hitung 21,00 pada lansia dengan hipertensi sedang, didapatkan nilai
pvalue=0,023(<0,05).
Penelitian yang dilakukan oleh Asmaravan (2017) dengan nilai hasil
analisis Wilcoxon signifikan sebesar 0.000 < 0.05, maka Ho ditolak dan Ha
diterima berarti ada pengaruh terapi musik klasik terhadap penurunan tekanan
darah pada penderita hipertensi. penelitian yang dilakukan oleh Hidayah
(2017) klien diberikan intervensi selama 15 menit setelah pemberian
intervensi lakukan pengukuran (posttest), hasil uji statistik pada kelompok
terapi musik klasik menunjukkan hasil yang sangat signifikan terdapat
perubahan tekanan darah sistol fan diastol sebelum dan sesudah diberikan
terapi musik klasik dengan nilai (p value=0,000). Kemudian Penelitian yang
dilakukan oleh Nur (2016) didapatkan kesimpulan adanya pengaruh terapi
musik klasik terhadap penurunan tekanan darah pada lansia dengan nilai p
value=0,000 (0,05).

D. Konsep Pemenuhan Kebutuhan Aktivitas dan Istirahat


a. Definisi
Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang mutlak harus
dipenuhi oleh semua orang. Dengan istirahat dan tidur yang cukup, tubuh
baru dapat berfungsi secara optimal. Istirahat dan tidur sendiri memiliki
makna yang berbeda pada setiap individu. Secara umum, istirahat berarti
suatu keadaan tenang, relaks, tanpa tekanan emosional, dan bebas dari
perasaan gelisah. Jadi, beristirahat bukan berarti tidak melakukan aktivitas
sama sekali. Terkadang berjalan-jalan ditaman juga bisa dikatakan sebagai
suatu bentuk istirahat.
Sedangkan tidur adalah status perubahan kesadaran ketika persepsi dan
reaksi individu terhadap lingkungan menurun. Tidur di karakteristikkan
dengan aktivitas fisik yang minimal, tingkat kesadaran yang bervariasi,
perubahan proses fisiologis tubuh, dan penurunan respons terhadap
stimulus eksternal. Hampir sepertiga dari waktu kita, kita gunakan untuk
tidur. Hal tersebut didasarkan pada keyakinan bahwa tidur dapat
24

memulihkan atau mengistirahatkan fisik setelah seharian beraktivitas,


mengurangi stress dan kecemasan, serta dapat meningkatkan kemampuan
dan konsentrasi saat hendak melakukan aktivitas sehari-hari.
Selama tidur, dalam tubuh seseorang terjadi perubahan proses fisiologis,
yaitu:
- Penurunan tekanan darah dan denyut nadi
- Dilatasi pembuluh darah perifer
- Kadang-kadang terjadi peningkatan aktivitas traktus gastrointestinal
- Relaksasi otot-otot rangka
- Basal matabolsme rate menurun 10-30%
b. Faktor yang mempengaruhi
1) Status kesehatan
Seseorang yang kondisi tubuhnya sehat memungkinkan dapat tidur
dengan nyenyak. Tetapi pada orang yang sakit dan rasa nyeri, maka
kebutuhan istirahat dan tidurnya tidak dapat dipenuhi
dengan baik sehingga tidak dapat tidur dengan nyenyak. Banyak penyak
it yang dapat memperbesar kebutuhan tidur, seperti penyakit yang
disebabkan oleh infeksi terutama infeksi limpa. Infeksi
limpa berkaitan dengan keletihan sehingga penderitanya membutuhkan
banyak tidur untuk mengatasinya. Banyak juga keadaan sakit yang
membuat penderitanya kesulitan tidur atau bahkan tidak bisa tidur.
Misalnya pada klien dengan gangguan pada system pernapasan. Dalam
kondisinya yang sesak napas, maka seseorang tidak mungkin dapat
istirahat dan tidur.
2) Lingkungan
Keadaan lingkungan yang nyaman dan aman bagi seseorang dapat
mempercepat proses terjadinya tidur. Sebaliknya, lingkungan yang
tidak aman dan nyaman bagi seseorang dapat menyebabkan hilangnya
ketenangan sehingga mempengaruhi proses tidur.
3) Stress psikologis
Kecemasan merupakan perasaan yang tidak jelas, keprihatinan dan
25

kekhawatiran karena ancaman pada sistem nilai atau pola keamanan


seseorang. Cemas dan depresi akan menyebabkan gangguan pada
frekuensi tidur. Hal ini disebabkan karena pada kondisi cemas akan
meningkatkan norepinefrin darah melalui sistem saraf simpatis
(Carpenito, 2000).
c. Pengkajian
Pengkajian tentang pola tidur klien meliputi riwayat tidur, catatan
tidur, pemeriksaan fisik, dan tinjauan pemeriksaan diagnostik.
Riwayat tidur : pengkajian riwayat tidur secara umum dilakukan segera
setelah klien memasuki fasilitas perawatan. Ini memungkinkan perawat
menggabungkan kebutuhan klien dan hal-hal yang ia sukai ke dalam
rencana perawatan.
Riwayat tidur ini meliputi :
- Pola tidur yang biasa
- Ritual sebelum tidur
- Penggunaan obat tidur atau obat-obatan lainnya
- Lingkungan tidur
- Perubahan terkini pada pola tidur
Selain itu, riwayat ini juga harus mencakup berbagai masalah yang
ditemui pada pola tidur, penyebabnya, kapan pertama kali masalah
tersebut muncul, frekuensinya, pengaruhnya terhadap keseharian klien,
dan bagaimana klien berkoping dengan masalah tersebut. Catatan tidur
sangatlah bermanfaat, khususnya untuk klien yang memiliki masalah
tidur sebab catatan ini berisi berbagai informasi penting terkait pola tidur
klien. Catatan tidur dapat mencakup keseluruhan atau sebagian dari
informasi berikut.
- Jumlah jam tidur total per hari
- Aktivitas yang dilakukan 2-3 jam sebelum tidur (jenis, durasi, dan
waktu)
- Ritual sebelum tidur (mis., minum air, obat tidur)
- Waktu (a) pergi tidur, (b) mencoba tidur, (c) tertidur,(d) terjaga
26

dimalam hari dan durasinya, serta (e) bangun tidur dipagi hari.
Kemudian, perawat dapat mengembangkan data tersebut menjadi
bagan atau grafik yang berguna untuk mengidentifikasi masalah tidur
yang klien alami.
Pemeriksaan fisik, meliputi observasi penampilan, perilaku, dan
tingkat energy klien. Penampilan yang menandakan klien mengalami
masalah tidur antara lain adanya lingkaran hitam di sekitar mata,
konjungtiva kemerahan, kelopak mata bengkak, dll. Sedangkan indikasi
perilaku dapat meliputi iritabilitas, gelisah, tidak perhatian, bicara
lambat, menguap, dll. Disamping itu, klien yang mengalami masalah
tidur juga terlihat lemah, letargi, atau lelah akibat kekurangan energy
(Ambarwati, 2014)

E. Konsep Asuhan Keperawatan Hipertensi


1. Pengkajian
a. Data biografi :
Nama, alamat, umur, jenis kelamin, status perkwaninan, suku, diagnosa
medis, penanggung jawab, catatan kedatangan.
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama :
Klien dengan keluhan sakit kepala dan bagian kuduk terasa berat, tidak
bisa tidur, kepala terasa pusing.
2) Riwayat kesehatan sekarang :
Pada saat dilakukan pengkajian klien masih mengeluh sakit kepala yang
berat, penglihatan berkunang-kunang, tidak bisa tidur.
3) Riwayat kesehatan dahulu :
Penyakit hipertensi ini adalah penyakit dari genetik yang menahun dan
sudah lama dialami oleh klien atau anggota keluarga lainnya.
4) Riwayat kesehatan keluarga :
adalah penyakit yang diderita anggota keluarga lainnya.
5) Riwayat psikososial-spiritual
27

a) Psikologis : perasaan yang dirasakan oleh klien, apakah


cemas/sedih/gelisah?
b) Sosial : bagaimana hubungan klien dengan orang lain maupun orang
terdekat klien dengan lingkungan?
c) Spiritual : apakah klien tetap menjalankan ibadah selama perawatan
di rumah sakit?
c. Data dasar pengkajian pada pasien hipertensi, meliputi :
1) Nutrisi
Makanan yang biasa dikonsumsi mencakup makanan tinggi natrium
seperti makanan awitan, tinggi lemak, tinggi kolestrol, perubahan berat
badan (meningkat).
2) Eliminasi
Biasanya pada klien dengan hipertensi tidak mengalami gangguan pada
pola eliminasi kecuali hipertensi yang diderita sudah menyerang target
organ seperti ginjal dan akan mengakibatkan gangguan pada proses
eliminasi urine.
3) Personal hygiene
Pada klien dengan hipertensi ringan tidak mengalami gangguan pada
proses personal hygienenya, dalam beberapa kasus pada pasien dengan
hipertensi berat dengn komplikasi mengakibatkan pasien mengalami
gangguan dalam pemenuhan personal hygienenya, contohnya pada pasien
dengan stroke yang menyerang organ otak mengakibatkan pasien
mengalami kelumpuhan sehingga pasien tidak dapat melakukan pola
aktivitas personal hygiene dengan mandiri.
4) Istirahat tidur
Aktivitas istirahat pada pasien hipertensi terjadi gangguan pola tidur,
seperti : susah tidur, sering terbangun pada saat malam hari, gelisah
karena pusing, akibatnya aktivitas pasien terganggu, pada kasus hipertensi
berat terjadinya kelelahan fisik, lemah, letih, resiko jatuh, nafas pendek,
gaya hidup monoton dengan frekuensi jantung meningkat, perubahan
trauma jantung dan takipnea (Aspiani, 2016).
28

d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
Klien dengan hipertensi biasanya memiliki berat badan yang normal atau
melebihi indeks masa tubuh, berat badan normal, tekanan darah > 140/90
mmHg, nadi > 100 x/menit, frekuensi nafas 16-24 x/menit pada
hipertensi berat terjadi pernafasan takipnea, ortopnea, dyspnea nocturnal
paroksimal, suhu tubuh 36,5-37,5°C pada hipertensi berat suhu tubuh
dapat menurun dan mengakibatkan pasien hipotermi, keadaan umum
pasien compos mentis pada kasus hipertensi berat dengan komplikasi
dapat mengakibatkan pasien mengalami gangguan kesadaran dan sampai
pada koma, contohnya stroke.
2) Kepala dan leher
Klien dengan hipertensi memiliki sistem penglihatan yang baik tidak
mengalami gangguan pada fungsi pendengaran dan keseimbangan, pada
kasus hipertensi berat pasien mengalami nyeri kepala, penglihatan
kabur, terdapat pernafasan cuping hidung, terjadi distensi vena jugularis,
terdapat pernafasan pursed lips dan dapat terjadinya anemis konjungtiva.
3) Dada
Secara umum baik dengan frekuensi nafas 16-24x/menit dengan irama
teratur, pada kasus hipertensi tertentu seperti hipertensi berat pasien
mengalami gangguan sistem pernafasan seperti takipnea, dyspnea dan
ortopnea, adanya distress pernafasan/penggunaan otot-otot pernafasan
pada hipertensi berat, frekuensi pernafasan >24 x/menit dengan irama
pernafasan tidak teratur, kedalaman nafas cepat dan dangkal, adanya
batuk dan terdapat sputum pada batuk pasien sehungga mengakibatkan
sumbatan jalan nafas dan terdapat bunyi mengi, pada jantung pada kasus
hipertensi ringan, sirkulasi jantung dalam keadaan normal dengan
kecepatan denyut jantung apical teratur dan terdapat bunyi jantung
tambahan (S3), adanya nyeri dada pada kasus hipertensi sekunder dengan
komplikasi kelainan jantung, pada pasien dengan hipertensi ringan dalam
keadaan normal dengan frekuensi nadi 60-100x/menit, irama teratur. Pada
29

kasus hipertensi berat frekuensi nadi pasien dapat mencapai >100


x/menit, irama tidak teratur dan lemah, TD > 140/90 mmHg.
4) Abdomen
Klien hipertensi dalam keadaan baik, pada kasus hipertensi berat dengan
komplikasi menyerang organ pada abdomen mengakibatkan klien
mengalami nyeri pada daerah abdomen.
5) Genitouria
Terjadinya perubahan pola kemih pada hipertensi sekunder yang
menyerang organ ginjal sehingga menyababkan terjadinya gangguan pola
berkemih yang sering pada malam hari.
6) Ekstremitas
Pada hipertensi ringan klien tidak mengalami gangguan pada sistem
musculoskeletal, tetapi pada hipertensi berat pasien mengalami kesulitan
dalam bergerak, refleks fisiologi meliputi refleks biceps fleksi dan triceps
ekstensi, serta refleks patologis negative, dan kelemahan otot.
7) Integumen
Pada hipertensi berat yang ditandai dengan keadaan umum pucat, turgor
kulit buruk, dan adanya edema pada hipertensi sekunder didaerah
ekstremitas (Doengoes, 2010).
2. Konsep pengkajian fungsional gerontik
1. Ketergantungan/Kemandirian Lansia menggunakan Modifikasi Indeks
Bartel
Tabel 2.2 Modifikasi dari Indeks Barthel
NO KRITERIA DENGAN MANDIRI KETERANGAN
BANTUAN
1 Makan 10 Frekuensi :
Jumlah :
Jenis :
2 Minum 10 Frekuensi :
Jumlah :
Jenis :
3 Berpindah dari kursi ke 15
tempat tidur, sebaliknya
4 Personal toilet (Cuci muka, 5 Frekuensi :
menyisir rambut,
30

menggosok gigi)
5 Keluar masuk toilet 10
(Mencuci pakaian, menyeka
tubuh)
6 Mandi 15 Frekuensi :
7 Jalan dipermukaan datar 5
8 Naik turun tangga 10
9 Mengenakan pakaian 10
10 Kontrol bowel (BAB) 10 Frekuensi :
Konsistensi :
11 Kontrol bladder (BAK) 10 Frekuensi :
Jumlah :
Warna :
12 Olah raga /latihan 10 Frekuensi :
Jenis :
13 Reaksi pemanfaatan waktu 10 Frekuensi :
luang Jenis :
Total score
Keterangan :
a. 130 : Mandiri
b. 65 – 125 : Ketergantungan sebagian
c. 60 : Ketergantungan total
Kesimpulan :
2. MMSE (Mini Mental Status Exam)
Identifikasi aspek kognitif dari fungsi mental lansia.
Tabel 2.3 MMSE (Mini Mental Status Exam)
ASPEK NILAI NILAI KRITERIA KET
KOGNITIF MAKSIMAL KLIEN
Orientasi 5 Menyebut dengan benar :
waktu  Tahun
 Musim
 Tanggal
 Hari
 Bulan
Orientasi 5 Dimana sekarang kita berada :
ruang  Negara Indonesia
 Propinsi Jawa Barat
 Kota Bandung
 Desa
 Rumah
Registrasi 3 Sebutkan nama objek yang
telah disebut oleh pemeriksa :
(Contoh)
31

 Gelas
 Sendok
 Piring
Perhatian dan 5 Minta klien meyebutkan
kalkulasi angka
100 – 15 sampai 5 kali :
 85
 70
 55
 40
 25
Mengingat 3 Minta klien untuk mengulangi
kembali 3 obyek pada no. 2 (Pada
registrasi diatas)
 Gelas
 Sendok
 Piring
Bahasa 9 Tunjukan klien benda,
tanyakanapa namanya :
(Contoh)
1) Jam tangan
2) Pensil
Minta klien untuk mengulangi
kata– kata ”tidak ada, jika
dan atau tetapi.
Bila benar, 1 point
Minta klien untuk mengikuti
perintah berikut terdiri dari 3
langkah :
1) Ambil kertas ditangan anda
2) Lipat dua
3) Taruh di lantai
Perintahkan klien dengan
menutup mata klien, untuk
point seperti no.1 , Jam tangan
/Pensil
Perintahkan pada klien :
Menulis 1 kalimat
Menyalin 1 gambar
Keterangan :
24 – 30 : Tidak ada gangguan kognitif
18 – 23 : Gangguan kognitif sedang
0 – 17 : Gangguan kognitif berat
Kesimpulan :
3. SPMSQ (Short Portable Mental Status Questioner)
Identifikasi tingkat kerusakan intelektual
32

Tabel 2.4 SPMSQ (Short Portable Mental Status Questioner)


NO PERTANYAAN BENAR SALAH KET
1 Tanggal berapa hari ini ?
2 Hari apa sekarang ini ?
3 Apa nama tempat ini ?
4 Dimana alamat anda ?
5 Berapa umur anda ?
6 Kapan anda lahir (Minimal tahun lahir) ?
7 Siapa presiden Indonesia sekarang ?
8 Siapa presiden Indonesia sebelumnya ?
9 Siapa nama ibu anda
10 Kurangi 3 dari 20 dan tetap lakukan
pengurangan 3 dari setiap angka baru (20 –
3,17 – 3, 14 – 3,11 – 3)
Total score
Interprestasi hasil :
a. Salah 0 – 3 Fungsi intelektual utuh
b. Salah 4 – 5 Kerusakan intelektual ringan
c.  Salah 6 – 8 Kerusakan intelektual sedang
d.  Salah 9 – 10 Kerusakan intelektual berat
Kesimpulan :
3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang ditemukan pada klien hipertensi yang
disesuaikan dengan Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI)
yaitu :
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan afterload
vasokontraksi, iskemia miokard.
Data mayor subjektif : Mengeluh lelah, mengeluh cemas, mengeluh
sesak, dan mengeluh gelisah.
Data mayor objektif : Takikardi, distensi vena jugularis, tekanan darah
menigkat, nadi perifer teraba lemah, capillary refill time >3 detik, warna
kulit pucat atau sianosis, dan turgor kulit menurun.
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan suplai
otak menurun.
Data mayor subjektif : Mengeluh nyeri dibagian ekstremitas dan
mengeluh parastesia (kesemutan)
33

Data mayor objektif : Waktu pengisian kapiler >3 detik, nadi perifer
menurun/tidak teraba, akral terba dingin, warna kulit pucat, turgor kulit
menurun, edema, dan peneyembuhan luka lambat.
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
Data mayor subjektif : Mengeluh nyeri.
Data mayor objektif : Tampak meringis, bersikap protektif, gelisah,
frekuensi nadi meningkat, sulit tidur.
Data minor Objektif : Tekanan darah meningkat, pola nafas berubah,
nafsu makan berubah, proses berfikir terganggu, menarik diri, berfokus
pada diri sendiri, diaforesis.
d. Gangguan Pola Tidur berhubungan dengan kurang kontrol tidur
Data Mayor Subjektif : Mengeluh sulit tidur, mengeluh sering terjaga,
mengeluh tidak puas tidur, mengeluh pola tidur berubah, mengeluh
istirahat tidak cukup
Data Minor Subjektif : Mengeluh kemampuan beraktivitas menurun
e. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen
Data Mayor Subjektif : Mengeluh lelah
Data Mayor Objektif : Frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi
istirahat (SDKI, 2016) .
4. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan terdapat pada tabel 2.5

Anda mungkin juga menyukai