ada 11 kasus.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga
Berencana (DP3AP2KB) Kota Salatiga Henni Mulyani mengatakan, kekerasan terhadap perempuan di
tahun 2019 ada dua kasus, 2020 ada sembilan kasus, dan hingga Juli 2021 tercatat empat kasus.
"Sementara untuk kekerasan anak tahun 2019 ada sembilan kasus, 2020 sembilan kasus, serta sampai
Juli 2021 terjadi tujuh kasus," jelasnya saat dihubungi, Jumat (27/8/2021).
"Pelaku memang kebanyakan adalah suami atau ayah. Ini tentu menjadi keprihatinan kita, karena
mereka yang seharusnya melindungi dan mengasihi, malah menjadi pelaku kekerasan," terangnya.
Selain suami atau ayah, ada juga ibu yang melakukan kekerasan.
"Kecenderungannya memang orang yang lebih dewasa yang menjadi pelaku," terang Henni.
Dia menjelaskan, bentuk kekerasan yang dialami perempuan di antaranya adalah kekerasan fisik, psikis,
seksual, perebutan hak asuh anak, serta kekerasan verbal.
"Jika ini yang terjadi, tentu sangat tidak baik untuk proses tumbuh kembang anak. Mereka harus
tumbuh dalam lingkungan yang baik," tegas Henni.
Menurutnya, penyebab utama terjadinya kekerasan adalah perceraian. Selain itu juga perselisihan,
perselingkuhan, ekonomi, penelantaran, dan pemerkosaan.
Untuk para korban, kata Henni, DP3AP2KB melakukan pendampingan untuk pemulihan kondisinya.
Di Salatiga, lanjutnya, juga telah layanan ada Pusaka (Pusat Sahabat Keluarga).
"Informasi tetap harus terbuka tetapi privasi korban harus dijaga, khususnya anak-anak yang harus kita
lindungi masa depannya. Pusat pelayanan Pusaka ini harus diwujudkan sebagai sarana untuk
mempermudah masyarakat dalam menyampaikan pengaduan," jelasnya.
Menurutnya, penyebab utama terjadinya kekerasan adalah perceraian. Selain itu juga perselisihan,
perselingkuhan, ekonomi, penelantaran, dan pemerkosaan.
Dia menjelaskan, bentuk kekerasan yang dialami perempuan di antaranya adalah kekerasan fisik, psikis,
seksual, perebutan hak asuh anak, serta kekerasan verbal.
"Jika ini yang terjadi, tentu sangat tidak baik untuk proses tumbuh kembang anak. Mereka harus
tumbuh dalam lingkungan yang baik," tegas Henni.
Untuk para korban, kata Henni, DP3AP2KB melakukan pendampingan untuk pemulihan kondisinya.
Undang-undang dasar 1945 Amandemen ke-4 sebagai landasan konstitusional secara tegas telah
mengatur tentang pentingnya perlindungan terhadap hak asasi manusia, termasuk didalamnya hak-
hak perempuan dan anak-anak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 B ayat (2), yang menyebutkan:
“Setiap anak berhak atas kelangsungan, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
Bagaimana cara memanimalisir trauma
Oleh karena itu, cara pertama yang sebaiknya Anda lakukan untuk menghilangkan rasa trauma pada anak adalah
dengan sebisa mungkin menciptakan suasana aman.
Selain itu, yakinkan si kecil bahwa kejadian tersebut sudah berlalu dan saat ini ia sudah berada dalam situasi yang
aman.
Ambil contohnya dengan mengajaknya melakukan aktivitas yang ia sukai seperti bermain bersama teman atau
menonton film kartun kesayangan.
Dengan begitu, pikiran si kecil dapat segera teralihkan dari kejadian buruk yang sudah ia alami.
Kita semua tahu bahwa anak sering mudah terpengaruh dengan lingkungan di sekitar. Jika lingkungan
penuh dengan kekerasan atau anak berada di area yang membuatnya tak nyaman, mereka tak bisa
berpikir karena tidak ada yang mengarahkan untuk bersikap. Hal itu tentu dapat memunculkan trauma.
Maka dari itu, perlu mengajarinya tentang bagaimana bisa percaya pada diri sendiri. Mulainya berdiskusi
tentang bagaimana perasaan mereka tentang pengalaman tertentu.