Ada persamaan diantara para ulama dalam hal ini, yaitu semua menyepakati
yang terpenting dari nifas itu bahwa darah ini keluar karena sebab kelahiran,
walaupun ada sedikit perbedaan dalam waktunya, sebelum lahiran, ketika
lahiran atau sesudah lahiran. Rasanya definis dari ulama Hanabilah lebih luas,
bahwa darah tersebut sudah dinilai nifas sebelum, saat, dan sesudah lahiran.
Maka perihal darah yang keluar karena sebab keguguran, para ulama fikih
menyepakati bahwa jika terjadi keguguran pada fase 40 hari pertama (0-5
minggu) maka darah yang keluar dihukumi sebagai darah istihadhah atau darah
yang rusak, ia bukan darah nifas, setidaknya ini adalah pendapat para ulama dari
empat madzhab yang ada.
Karenanya dalam kondisi seperti ini perempuan tetap wajib shalat dan puasa,
hanya saja khusus untuk shalat diharapkan untuk membersihkan darah terlebih
dahulu dan berwudhu pada setiap kali shalat. Jika ada shalat yang tertinggal
karena kondisi ini berarti shalatnya harus di qadha (ganti).
Alasannya sederhananya bahwa pada fase ini masih belum jelas seputar kodisi
calon bayi didalam rahim ibunya, dan struktur anatomi calon bayi juga belum
jelas, hanya masih berupa gumpalan darah (alaqah) yang masih penuh
kemungkinan lainnya. Biasanya perempuan juga belum berani memastikan bagi
dirinya apakah dia memang benar-benar hamil atau belum, dan terkadang
diminggu kelima ini perempuan juga baru menyadari kalau haidhnya telat,
bahkan bagi sebagian perempuan tes urin pun mereka belum mau. Hal ini mirip
dengan penjelasan medis bahwa memang benar ada proses perubahan pada
rentang waktu ini, namun sekali lagi proses ini sangat rumit dan bahkan hanya
diketahui dengan menggunakan tekhnologi, itupun terkadang hasilnya tidak
selalu benar.
Berikutnya jika darah yang keluar karena sebab keguguran pada kondisi dimana
sudah jelas bentuk calon bayi yang ada didalam rahim, maka para ulama juga
menyepakati bahwa jika terjadi keguguran dan ada darah yang keluar, maka
darah tersebut dihukumi sebagai darah nifas, sehingga perempuan yang
mengalami kondisi seperti ini tidak boleh shalat, puasa, dst, hingga darah
tersebut hilang dan kembali suci, tentunya dengan terlebih dahulu melakukan
ritual mandi wajib. Alasanya karena memang sudah ada kejelasan tentang janin
yang ada didalam rahim, dimana janin sudah menyerupai manusia sempurna,
karenanya darah yang membersamai janin itulah yang dinilai sebagai darah
haidh oleh seluruh ulama.
Namun jika keguguran terjadi pada 40 hari kedua (setelah minggu ke 5), dimana
kondisi bayi belum berbentuk apa-apa juga belum jelas struktur anatominya,
maka darah yang keluar karena sebab keguguran ini menjadi perdebatan
diantara para ulama, apakah yang demikian juga dihukumi darah nifas, atau
hanya ia hanya istihadhah.
Para ulama Hanafiyah [7] dan pendapat zhohir dari madzhab Syafii [8] juga salah
satu riwayat dari Imam Ahmad [9] menyakini bahwa jika yang keluar hanya
berupa alaqah (darah beku) atau berupa mudghah (daging) yang belum
berbentuk manusia, maka darah yang keluar karena sebab itu dihukumi sebagai
darah istihadhah. Bahkan sebagian ulama Hanabilah meyakini bahwa untuk
keguguran pada usia kandungan diatas 81 hari (11 minggu) saja yang darahnya
dihukumi darah nifas, sebelumnya tidak. Alasannya bahwa disebut hamil
sempurna jika memang sudah sampai pada fase dimana janin yang berada
dalam rahim sudah menyeruapi manusia, jika hanya sebatas gumpalan darah
atau daging yang belum berbentuk manusia maka itu belum apa-apa, dan yang
demikian belum bisa disebut melahirkan.
Namun para ulama Malikiyah [10] dan sebagian ulama Syafiiyah [11] menilai
bahwa jika terjadi keguguran pada fase alaqah (darah beku) maupun mudghah
(daging) maka darah yang keluar dari sebab keguguran itu tetap dihukumi
sebagai darah nifas, bukan darah istihadhah, baik belum berbentuk manusia
ataupun sudah berbentuk manusia.
“dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya”(QS. At-Thalaq: 4)
َ ِ ثُ َّم يَ ُكونُ ُمضْ َغةً ِم ْث َل َذل، َ ثُ َّم يَ ُكونُ َعلَقَةً ِم ْث َل َذلِك، ط ِن ُأ ِّم ِه َأرْ بَ ِعينَ يَوْ ًما
ُ ثُ َّم يَ ْب َع، ك
ث ْ َِإ َّن َأ َح َد ُك ْم يُجْ َم ُع خَ ْلقُهُ فِي ب
ت َويُقَا ُل لَهُ ا ْكتُبْ َع َملَهُ َو ِر ْزقَهُ َوَأ َجلَهُ َو َشقِ ٌّي َأوْ َس ِعي ٌد ثُ َّم يُ ْنفَ ُخ فِي ِه الرُّ وح
ٍ هَّللا ُ َملَ ًكا فَيُْؤ َم ُر بَِأرْ بَ ِع َكلِ َما
Menunjukkan bahwa pada dasarnya pada fase 40 hari pertama saja sudah ada
proses penciptaan dan secara perlahan terus mengalami perubahan hingga
masuk fase 40 ke dua dan ketiga, walaupun mungkin sebagian proses itu tidak
bisa diketahui secara pasti, tapi yang jelas perubahan itu pasti ada. Belakangan
hal ini dipertegas oleh ilmu kedokteran modern bahwa ternyata pada minggu ke
8 itu harusnya janin yang ada dalam kandungan sudah mulai menyerupai
manusia dengan mulai terlihat wajah, tangan dan kaki, walaupun ukurannya
masih sangat kecil.
كَ ِ ثُ َّم يَ ُكونُ ُمضْ َغةً ِم ْث َل َذل، ك َ ِ ثُ َّم يَ ُكونُ َعلَقَةً ِم ْث َل َذل، ط ِن ُأ ِّم ِه َأرْ بَ ِعينَ يَوْ ًما
ْ َِإ َّن َأ َح َد ُك ْم يُجْ َم ُع َخ ْلقُهُ فِي ب
ت َويُقَا ُل لَهُ ا ْكتُبْ َع َملَهُ َو ِر ْزقَهُ َوَأ َجلَهُ َو َش •قِ ٌّي َأوْ َس • ِعي ٌد ثُ َّم يُ ْنفَ ُخ ٍ ث هَّللا ُ َملَ ًكا فَيُْؤ َم ُر بَِأرْ بَ ِع َكلِ َما
ُ ثُ َّم يَ ْب َع،
فِي ِه الرُّوح
Maka perihal darah yang keluar karena sebab keguguran, para ulama fikih
menyepakati bahwa jika terjadi keguguran pada fase 40 hari pertama (0-5
minggu) maka darah yang keluar dihukumi sebagai darah istihadhah atau
darah yang rusak, ia bukan darah nifas, setidaknya ini adalah pendapat
para ulama dari empat madzhab yang ada.
Namun jika keguguran terjadi pada 40 hari kedua (setelah minggu ke 5),
dimana kondisi bayi belum berbentuk apa-apa juga belum jelas struktur
anatominya, maka darah yang keluar karena sebab keguguran ini menjadi
perdebatan diantara para ulama, apakah yang demikian juga dihukumi
darah nifas, atau hanya ia hanya istihadhah.
Para ulama Hanafiyah dan pendapat zhohir dari madzhab Syafii juga salah
satu riwayat dari Imam Ahmad menyakini bahwa jika yang keluar hanya
berupa alaqah (darah beku) atau berupa mudghah (daging) yang belum
berbentuk manusia, maka darah yang keluar karena sebab itu dihukumi
sebagai darah istihadhah. Bahkan sebagian ulama Hanabilah meyakini
bahwa untuk keguguran pada usia kandungan diatas 81 hari (11 minggu)
saja yang darahnya dihukumi darah nifas, sebelumnya tidak. Alasannya
bahwa disebut hamil sempurna jika memang sudah sampai pada fase
dimana janin yang berada dalam rahim sudah menyeruapi manusia, jika
hanya sebatas gumpalan darah atau daging yang belum berbentuk manusia
maka itu belum apa-apa, dan yang demikian belum bisa disebut
melahirkan.
Tarjih Muhammadiyah
Berangkat dari definisi fikih dan kedokteran tersebut, maka darah wanita
yang melahirkan, baik dalam kondisi normal ataupun karena abortus, tetap
dihukumi sebagai darah nifas. Memang ada sementara ulama yang baru
menghitung darah sebagai nifas jika usia janin telah lebih dari 80 hari (al-
Mughni: vol. I, 249, Mughni al-Muhtaj, vol. III, 389). Pendapat tersebut
mereka ambil karena mereka menganggap bahwa setelah hari ke-80 organ
tubuh bayi sudah mulai terbentuk. Menurut mereka, apabila janin
meninggal sebelum masa pembentukan organ tubuh maka darah yang
keluar dari rahim wanita tidaklah dianggap sebagai darah nifas. Pendapat
ini tidak kami pilih, karena menurut hemat kami, baik dalam kacamata
syari maupun kaca mata kedokteran, usia janin (bayi dalam perut) tidak
memiliki kaitan sama sekali dengan darah nifas. Hanya saja, janin yang
lahir di bawah usia kandungan 9 bulan secara otomatis akan
mengakibatkan sang ibu mengalami masa nifas lebih singkat dari wanita
yang melahirkan janin secara normal. Penjelasan kedokteran dari hal
tersebut adalah bahwa pada kelahiran normal, uterus (rahim) memiliki
bobot 900 gram, berdiameter 12, 5 cm dan berada pada posisi 33 cm di
atas kondisi ketika rahim tidak sedang mengalami kehamilan (Kebidanan
Postpartum, 2003: 7, Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam Kebidanan,
1996: 164). Kehamilan yang tidak mencapai usia tersebut akan
membentuk posisi dan kondisi uterus yang berbeda. Sebaliknya, dalam
kondisi kelahiran karena abortus, masa involusi atau pengerutan uterus
akan berlangsung lebih cepat, sehingga masa nifasnya pun akan
berlangsung lebih sebentar. Secara fikih hal tersebut dimungkinkan terjadi,
karena baik hadis maupun para ulama tidak pernah membuat batasan
tentang masa paling sebentar (aqallu muddah) dalam nifas (Fiqh al-
Sunnah, 2006: vol. I/84). Dalam fikih hanya diatur masa paling lama
(athwalu muddah) dari waktu nifas, yaitu empat puluh hari. Sehingga jika
lewat dari empat puluh hari, darah yang keluar dari sang ibu dihitung
darah istihadah. Pembatasan waktu maksimal dari masa nifas tersebut
didasarkan pada hadis:
َ تَ ْق ُع ُد بَ ْع َد نِفَا ِسهَا َأرْ بَ ِعين-صلى هللا عليه وسلم- ِ ت النُّفَ َسا ُء َعلَى َع ْه ِد َرسُو ِل هَّللا ْ َع َْن ُأ ِّم َسلَ َمةَ قَال
ِ َت َكان
ًيَوْ ًما َأوْ َأرْ بَ ِعينَ لَ ْيلَة
Nara Sumber,
FORM PENILAIAN
KAJIAN KLINIK KEISLAMAN
Mahasiswa, Penilai,
Pertanyaan:
1. Saya imelia Putri izin bertanya ke kelompok 3 ,pada usia 8 Minggu ,apakah masa
nifasnya tetap normal antara 4 - 8 minggu ataukah bisa jadi bertambah lama?
Jawaban:
Saya Tyas Sayekti Pratama B2020018 izin menjawab
Kehamilan yang tidak mencapai usia tersebut akan membentuk posisi dan kondisi uterus
yang berbeda. Sebuah kaedah bisa dibuat di sini bahwa semakin tua usia kandungan,
maka rahim akan semakin membuka, dan secara otomatis akan menyebabkan sang ibu
mengalami masa nifas lebih lama.
Sebaliknya, dalam kondisi kelahiran karena abortus, masa involusi atau pengerutan uterus
akan berlangsung lebih cepat, sehingga masa nifasnya pun akan berlangsung lebih
sebentar. Secara fikih hal tersebut dimungkinkan terjadi, karena baik hadis maupun para
ulama tidak pernah membuat batasan tentang masa paling sebentar (aqallu muddah)
dalam nifas (Fiqh al-Sunnah, 2006: vol. I/84). Dalam fikih hanya diatur masa paling lama
(athwalu muddah) dari waktu nifas, yaitu empat puluh hari.
2. Saya dhea kurnia sari dari kelompok 1 izin bertanya kepada kelompok 3, berapa lama
masa nifas setelah kuret menurut muhammadiyah?
Jawaban:
Saya Talita Khairunnisa B2020017, ijin menjawab pertanyaan Dhea Kurniasari:
Meski tidak sering, pada beberapa kasus, perdarahan yang cepat berhenti justru diikuti
dengan perdarahan berat sekitar satu sampai dua minggu kemudian. Kejadian ini sering
kali disalahartikan sebagai timbulnya suatu masalah lain, padahal kondisi ini masih
termasuk normal.Dengan catatan, perdarahan ini tidak berlangsung lebih dari dua
minggu.
Perdarahan berat ini biasanya disebabkan tubuh yang masih dalam proses ‘bersih-bersih’,
yaitu menghilangkan sebagian plasenta yang tertinggal saat keguguran. Namun, jika
darah masih keluar dan rasa sakit berlanjut melebihi waktu normalnya, yakni 10-14 hari.
3. Saya Ika izin bertanya ke kelompok 3 , apakah hamil anggur juga akan dianggap darah
nifas ?
Jawaban :
Nur Injiyah NIM B2020013 ijin menjawab
Tindakan yang umum disebut kuret ini, diindikasikan semisal pada jaringan yang tersisa
akibat abortus (keluarnya jaringan embrio/janin secara spontan sebelum mampu bertahan
hidup) atau hamil anggur (mola hidatidosa). Keluhan yang dialami pasien biasanya
adalah perdarahan yang banyak dari jalan lahir.
Apakah tindakan kuret yang “hasilnya” belum mewujud manusia ini dihukumi
sebagaimana wiladah, sehingga darah pasca-kuret dapat dihukumi nifas? Berikut
keterangan fiqih yang bisa Anda rujuk: ط ُر الصَّاِئ َم ِة بِهَا ْ ُِت لِ ْل َعلَقَ ِة ِم ْن َأحْ َك ِام ْال ِواَل َد ِة ُوجُوبُ ْال ُغ ْس ِل َوف
ُ يَ ْثب
َُت لِ ْل ُمضْ َغ ِة َذلِك
ُ ‘“ َوتَ ْس ِميَةُ ال َّد ِم َعقِبَهَا نِفَاسًا َويَ ْثبAlaqah (gumpalan darah yang keluar dari jalan lahir)
ditetapkan memiliki hukum sebagaimana melahirkan, sehingga diwajibkan mandi, boleh
tidak berpuasa, dan darah yang keluar setelah itu dianggap sebagai nifas. Dan demikian
juga mudigah (gumpalan jaringan yang padat).” (Syekh Sulaiman al-Ujaili, Hasyiyatul
Jumal, Beirut-Darul Fikr, juz 1, hal. 234)
4. Saya Anisa Nur Hamidah ijin bertanya ke kelompok 3, bagaimana hukum darah yang
terjeda jeda keluarnya pada masa nifas? terimakasih
Jawab :
Siti Nurfay Waluyo izin menjawab..
Para ulama fiqih pada umumnya bersepakat darah yang terjeda-jeda pada masa nifas
selama tidak dijeda dengan batasan minimal suci 15 hari, maka darah tersebut dihukumi
sebagai darah nifas semuanya. Tetapi jika sampai terjedanya sudah 15 hari atau lebih
maka mereka berbeda pendapat. Darah yang keluar setelah 15 hari adalah darah haidh ini
merupakan pendapat dari madzhab Maliki dan pendapat Imam Asy-Syafi’I dalam qaul
jadidnya. Sedangkan madzhab Hanafi dan Hambali berpendapat selama terjedanya masih
dalam kurun waktu 40 hari, maka sebentar atau lama jeda tersebut semuanya terhitung
nifas.
5. Saya Anida nur ngarofah dari kelompok 1 izin bertanya kepada kelompok 3,jika menurut
imam Syafi'i darah kuret termasuk juga dengan nifas apakah menurut pandangan
Muhammadiyah darah kuret itu juga termasuk nifas atau bukan?. terimakasih
Jawab :
Saya Siti Nurfay Waluyo izin menjawab..
Majelis Tarjih dan Tajdid pernah mengeluarkan Putusan berkenaan dengan hukum
abortus, yaitu ketika Muktamar Tarjih XXII di Malang. Para ulama Islam sepakat
mendefinisikan nifas sebagai darah yang keluar dari alat vital wanita sesaat setelah ia
melahirkan. Darah wanita yang melahirkan, baik dalam kondisi normal ataupun karena
abortus, tetap dihukumi sebagai darah nifas. Jadi, wanita yang mengalami abortus dalam
usia kehamilan 8 minggu, tetap dikenai hukum nifas dengan jangka waktu sampai darah
tersebut berhenti keluar. Karena si ibu mengalami hukum nifas, maka berlaku pula
baginya hukum-hukum yang berkaitan dengan nifas, yaitu dilarang berhubungan suami
istri, berpuasa, salat dan tawaf.