Anda di halaman 1dari 11

MAKAN APA SAJA YANG DISEDIAKAN!

Sebagai sebuah rumah, Pondok Kristofel punya aturan tentang berdoa, makan, tidur, belajar, bekerja
dan sekolah. Berbicara tentang makan – makan pagi kami adalah segera setelah Misa Pagi. Menunya
adalah roti dan susu untuk anak-anak pondok. Sementara Pastor Kooyman minum teh manis. Porsi
beliau adalah dua gelas teh panas setiap pagi.

Roti yang kami makan pagi hari adalah roti dari toko Christine Bakery – sebuah toko roti terkemuka di
Jambi sampai saat ini. Bentuknya dan jenisnya beragam, sesuai kemurahan hati pemilik toko kue
memberikannya untuk Pondok Kristofel. Memang sebuah kemewahan untuk anak dari desa yang
biasanya makan singkong rebus dan pisang goreng. Tapi harus menyesuaikan diri juga karena kami
harus makan roti yang diletakkan di atas piring ceper, dan disantap menggunakan garpu dan pisau!

Kalau pagi itu tidak ada roti yang cukup, maka Pastor Kooyman akan cepat-cepat merebus air dengan
panci besar untuk merebus beberapa bungkus Sarimie sesuai kebutuhan. Dibantu dengan anak-anak
– utamanya mereka yang masuk siang – piring-piring disiapkan, kemasan bumbu-bumbu dibuka dan
tuangkan ke atas masing-masing piring. Lalu dengan satu sendok sayur yang besar, mie yang dari
panci besar itu akan dibagikan ke dalam piring-piring yang tersedia. Segera piring berpindah dari
dapur ke ruang makan. Kami sarapan mie, minum susu. Pastor Kooyman juga makan mie, minum teh
manis panas, dua gelas. Pisau roti menganggur dulu.

Makan siang kami lakukan setelah pulang sekolah, kecuali anak-anak yang sekolah siang. Mereka
makan duluan sebelum merekan berangkat sekolah. Sementara makan malam digelar setiap pukul
tujuh setiap malam.

Beda dengan saat makan pagi, biasanya kami mengobrol sebentar setelah selesai makan, lalu ditutup
dengan doa makan, mencuci alat-alat makan dengan ‘sponge’ dari serat buah gambas dan sabun
batangan cap salaman tangan. Setelah makan siang, harus tidur siang. Setelah makan malam, harus
belajar.

Menunya beragam sesuai masakan yang yang disediakan. Seingat saya tidak ada pantangan apa-apa.
Tempat duduk anak-anak seigat saya bisa saja berpindah, tapi Pastor Kooyman akan tetap duduk di
penghulu meja. Dia akan mengambil makanan pertama – nasi, sayur dan lauk secukupnya. Lalu
memperhatikan panci nasi, mangkuk sayur dan piring lauk akan beredar keliling meja. Setelah
semuanya mendapatkan bagian, barulah beliau mulai makan dengan sendok dan garpu gaya Eropa
yang besar itu. Porsi air putihnya tetap sama: dua gelas.

Tidak ada yang istimewa, kecuali: semua orang harus berada di meja makan untuk bisa mulai makan,
setiap orang harus mendapat bagian dan mengambil bagian dari makanan yang ada, tidak boleh ada
makanan yang tersisa. Tentang mengambil bagian: setiap sayur atau lauk yang disediakan harus
dimakan, tidak boleh ada makanan yang terhidang dan tidak dimakan. Sebab kata beliau: “Untuk
menjadi misionaris, kamu harus makan apa saja yang disediakan umat!” Dan saat di rumah, beliau
tidak pernah makan selain makan bersama kami di meja makan.

P. Th. Kooyman, SCJ


#2
TENTANG DOA-DOA
Begini diatur kehidupan doa kami para penghuni Pondok Kristofel pada masa itu: 1993 – 1995. Pagi-
pagi benar kami bangun Pkl. 05.00. Pastor Kooyman akan masuk ke kamar tidur anak-anak yang
berisikan empat ranjang bertingkat dua, menghidupkan lampu kamar, lalu bertepuk tangan sampai
kami terbangun. Kalau ada anak yang sangat lelap, dia akan masuk ke kamar mandi lalu mengambil
segayung air dan memercikkan air ke wajah anak tersebut sampai bangun.

Kami lalu bangun dengan senyap, tidak boleh bersuara berisik. Silentium istilahnya. Mandi,
berpakaian lalu misa yang dipimpin oleh P. Kooyman SCJ. Beberapa anak yang sudah terlatih, akan
membantu menyiapkan peralatan misa di sakristri yang terletak di belakang kursi umat. Sekarang
sakristi itu dibongkar untuk memperbesar volume kapel dan sakristi berpindah ke ruang yang dulu
adalah gudang alat-alat di sebelah dapur. Begitu setiap hari, kecuali hari Minggu dan Hari Raya. Di
misa harian, kadang-kadang sejumlah suster FMM ikut serta. Juga beberapa umat. Tapi kebanyakan,
hanya kami para penghuni Pondok Kristofel saja.

Pada Minggu, kami bangun pagi seperti biasa, lalu mencuci baju di kamar mandi atau di dekat sumur.
Sabunnya tetap sama: sabun batangan cap tangan salaman. Jadi baju kotor jadwalnya dicuci
seminggu sekali. Kalau ada yang sudah duluan selesai mencuci, dia akan menuju depan Kamar Tidur
Pastor Kooyman untuk menyikat sepatu-sepatu beliau beliau. Sepatunya merk bata, ada beberapa
pasang, ukurannya tentunya ukuran jumbo. Setelah kinclong sepatunya, setelah selesai urusan cuci
baju dan mandi, kami bersiap-siap Misa Kudus. Kalau tidak salah mulainya Pkl. 08.00. Ada sejumlah
umat ikut, harus disediakan tambahan kursi.

Saat doa makan, ada dua buku yang disediakan: satu buku doa makan dan satu kitab suci perjanjian
baru. Kalau sarapan, doa sebelum dan sesudah makan diambil dari buku doa itu. Kalau makan siang
dan makan malam, doa sebelum makan diawali dengan membaca satu perikopa kitab perjanjian baru
secara berurutan dari Injil Matius sampai Kitab Wahyu dan doa Bapa Kami. Doa sesudah makannya
dari buku doa. Anak-anak membaca bergantian.

Malam hari sesudah makan malam, kami berdoa Completorium dengan mendaraskan dari buku teks
kecil yang disediakan di kapel. Setiap Kamis malam, Pastor Kooyman memimpin Adorasi.

P. Th. Kooyman, SCJ


#3 ANAK PONDOK

Anak Pondok begitu kebanyakan orang menjuluki para anak asuh Pastor Theodorus Kooyman, SCJ
yang tinggal di Pondok Kristofel. Di sekolah, penampilan yang kami akan gampang dibedakan dari
kebanyakan murid-murid SMP Xaverius 1 Jambi: ndeso, berkulit lebih gelap, menggunakan bahasa
Indonesia dialek Jambi dengan logat Jawa yang medok, dan biasanya tidak terlalu menonjol dalam
hal akademik. Dalam sistem peringkat siswa di kelas yang masih digunakan saat itu – umumnya kami
berada dalam peringkat terakhir sampai setinggi-tingginya peringkat dua puluhan saja. Guru-guru
pun biasanya sudah mahfum, “Oh … Anak Pondok, ya”
Hanya saja umumnya kami diandalkan kalau ada pertandingan sepak bola antar kelas. Mungkin
karena perawakan kami cukup menakutkan kalau di lapangan sepakbola. Jangan tanya tentang
pelajaran Matematika atau Bahasa Inggris, pasti momok buat kebanyakan kami. Pernah ada
beberapa guru SMP Xaverius meluangkan waktunya untuk memberi les tambahan dengan kami
datang ke rumahnya atau mereka yang datang ke Pondok Kristofel.

Saya ingat dua nama di periode 1992 – 1995: Pak Paulus Purmedi dan Ibu Dewi – keduanya guru
Bahasa Inggris. Suatu malam mereka mengajar kami Bahasa Inggris. Pak Purmedi memberi materi
tentang: Some dan Any. Setelah diterangkan, kami diberi latihan. “Bisa?” tanya beliau? “Bisa, pak!”
Esok harinya ada ulangan Bahasa Inggris, materinya sama. Ehhh, tidak ada satupun dari kami yang
mendapat nilai memuaskan: paling tinggi 50! Dan … tidak ada les tambahan lagi buat kami. Mungkin,
diajari atau tidak, ga ada bedanya.

Ya, kami bersekolah di SMP Xaverius 1 Jambi yang dicapai dengan berjalan kaki kira-kira 20 menit dari
Pondok Kristofel. Jadi setelah tamat SD di desa masing-masing, kami yang tinggal di Pondok Kristofel
akan dapat wild card untuk bisa bersekolah di SMP Xaverius 1 Jambi. Asal anak Pondok, anak Pastor
Kooyman – pasti bersekolah di sekolah itu. Dari beragam tempat kami datang, tapi pastinya dari
stasi-stasi. Rantau Rasau, Rantau Makmur, Lagan, Tugumulyo adalah nama-nama daerah asal kami.
Oh ya, saya ingat tentang Pastor Stanislaus Roosman yang pernah dikisahkan Pastor Hadrianus
Wardjito, SCJ. Sejumlah anak pondok dari daerah Tugumulyo diantarkan untuk menjadi Anak
Pondok.

P. Th. Kooyman, SCJ


#4 KERJA DAN BELAJAR

Seminari Mini, itu istilah beberapa orang untuk Pondok Kristofel. Kalau Seminari Menengah Santo
Paulus adalah tempat belajar untuk para calon imam tingkat dasar setara SMA, maka Pondok
Kristofel adalah pra-dasar Seminari. Mulai diresmikan pada 1986 – sesuai plakat peresmiannya yang
ditandatangani oleh Provinsial SCJ kala itu Pastor Hendra Aswardani SCJ, sebagian besar Anak
Pondok melanjutkan pendidikan ke Seminari Menengah Santo Paulus Palembang. Dari sekian
banyak, hanya satu saja yang menjadi imam: Pastor Thomas Suko Tri Raharjo, SSCC. Hanya itu yang
saya tahu, karena beliau mempersembahkan misa perdana di Pondok Kristofel setelah ditahbiskan.
Pastor Kooyman sangat bangga saat misa itu.

Secara verbal Pastor Kooyman tidak pernah mengatakan tentang Seminari Mini dalam percakapan
setelah makan siang di meja makan. Tapi pola hidup Anak Pondok memang seperti pola hidup di
Seminari Menengah. Setelah belajar di sekolah, kami makan siang dan wajib tidur siang. Pukul 15.00
bangun dan bekerja. Macam-macam pekerjaan yang kami lakukan: mencangkul, berkebun,
membersihkan kebun anggrek, mengecat, menyikat dinding rumah, dll. Pkl. 17.00 sampai Pkl. 18.00
adalah waktunya bermain: main bola dengan bola plastik atau balon, main ping pong, atau sekedar
main kejar-kejaran.

Pkl. 18.00 WIB sudah ada di ruang belajar, duduk di meja masing-masing. Pkl. 19.00 makan malam
bersama, lalu doa malam dilanjutkan belajar lagi. Pkl. 21.00 adalah waktunya rekreasi. Kami pergi ke
ruang TV di lantai dua, menonton program Dunia Dalam Berita dari TVRI. Kalau tertarik dengan
program itu, kami boleh bermain catur, halma atau menyusun puzzle gambar perang laut abad
pertengahan. Setelah program berita berakhir, dengan berat hati kami turun ke ruang belajar untuk
meneruskan belajar sampai Pkl. 22.00. Kegiatan selanjutnya adalah tidur sampai esok pagi
dibangunkan oleh tepuk tangan Pastor Kooyman.

P. Th. Kooyman SCJ


#5 LANJARAN KACANG PANJANG DAN TONGKAT PRAMUKA

*Lanjaran adalah istilah dalam bahasa Jawa untuk menamai batang atau ranting yang digunakan
sebagai tempat menjalarnya tanaman. Maka, lanjaran kacang panjang artinya: batang untuk
menjalarnya kacang panjang.

Pada saat itu, Pastor Kooyman menanam kacang panjang di beberapa petak kebunnya. Seperti
diceritakan oleh Romo Hadrianus Wardjito SCJ, lahan Pondok Kristofel memang rendah, rawa dan
tempat berkumpulnya air. Pada lahan itu dibuat kolom-kolom lahan tanam yang dipisahkan dengan
parit kecil, dari ujung tembok ke ujung tembok, diarahkan ke saluran air yang sedikit lebih besar di
tepi jalan. Lalu pada kolom-kolom itu ditimbun pasir. Barulah diolah untuk ditanami tanaman yang
sesuai.

Yang pasirnya banyak, ditanami kacang tanah. Yang banyak tanah aslinya, ditanami kacang panjang,
pepaya, jagung, terung dan ubi kayu. Ada juga beberapa pohon kelapa yang berbuah cukup di tiap-
tiap kolom lahan tanam itu. Nah, berbicara tentang lanjaran kacang panjang, beliau selalu
menyiapkan lanjaran yang terbaik dari batang pohon kecil kurang lebih sebesar ibu jari orang
dewasa. Lanjaran itu dibeli secara khusus di daerah Mendalo, dekat Simpang Tungkal.

Setelah masa tanam selesai, sesudah panen, lanjaran itu akan dicabut dan diikat menjadi beberapa
ikatan besar diletakkan di dekat garasi supaya menghindari lapuk karena hujan dan panas. Kelak akan
dipakai lagi jika kacang panjang ditanam lagi.

Lain halnya dengan tongkat pramuka. Suatu ketika, kami menghadap beliau, menyampaikan bahwa
kami butuh tongkat pramuka untuk mengikuti latihan pramuka. Kami menjelaskan bahwa tongkat
pramuka itu dibeli di Kobes atau di Era, bentuknya kayu bulat hasil bubutan yang rapi bentuknya.

Demi mendengar bahwa tongkat pramuka yang digunakan untuk mendirikan tenda, membuat tandu
dan itu berupa kayu bubut yang bagus dan harus dibeli, beliau tertawa. Katanya, “Tongkat untuk
pramuka itu bukan yang bagus dan dibeli seperti itu. Tongkat pramuka itu harus dari batang yang ada
di hutan. Besok minggu kita ke hutan, kalian cari sendiri di hutan.”

Kami terdiam tidak bisa membantah, sambil membayangkan betapa malunya kami harus membawa
batang kayu yang tidak lazim dibawa saat latihan pramuka di sekolah. Benar saja, hari Minggu setelah
tidur siang, beliau membawa kami ke Mendalo, di seberang UNJA Mendalo. Lalu kami disuruh
memilih sendiri batang yang cocok untuk tongkat pramuka. Tentunya tidak ada batang yang betul-
betul lurus seperti stok pramuka.
Kami tebang batang pohon kecil yang kami pilih, satu orang satu batang, lalu dibersihkan dari
rantingnya dan pulang. Sampai di pondok, kayu itu kami coba rapikan meski dengan trenyuh. Tidak
mungkin kamu membawa tongkat seperti ini ke sekolah untuk berlatih pramuka. Batang-batang itu
tak ubahnya kayu bulat yang digunakan sebagai penyangga cor. Lalu kami letakkan berdekatan
dengan lanjaran kacang panjang, dan kami tinggal bermain.

Tongkat pramuka itu akhirnya jadi bagian dari lanjaran kacang panjang.

P. Th. Kooyman SCJ


#6 BAHASA JAWA, BAHASA INGGRIS, BAHASA BELANDA dan BAHASA JERMAN

Pastor Kooyman tidak suka kalau anak asuhnya berbahasa Jawa di sekitarnya. Harus berbahasa
Indonesia yang dia mengerti. “Berbicara Bahasa Indoensia, ya!” sergah beliau jika kami berbicara
dengan bahasa ibu kami masing-masing. Tapi kadang beliau menguji kemampuan bahasa Jawa kami.
Suatu ketika, saat bermobil dengan beliau, melintaslah Bus Giri Indah. Lalu dia bertanya, “apa arti:
‘giri’?” Dan kami tidak bisa menjawab beliau. “Ah, kalian orang Jawa, tapi tidak tahu!” ujarnya sambil
tersenyum.

Namun ada kalanya beliau bertanya karena memang tidak mengerti. Suatu malam minggu, beliau
mempersiapkan diri untuk misa esok pagi. Lalu membawa buku – seperti buku TPE atau sejenisnya –
kepada kami yang sedang latihan menyanyi. “Apa artinya: pengejawantahan?” tanya beliau. Wah,
kami juga tidak tahu padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia yang tepat.

Tentang bahasa Inggris, kami beberapa kali mencoba pamer kosa kata bahasa Inggris kami. Pas mau
menyiapkan makan siang, salah seorang dari kami menuangkan air minum minum ke gelas beliau
dengan berkata: “Water, Pastor?” Dia mengucapkan kata ‘water’ dengan cara baca bahasa
Indonesia. Beliau mengerenyitkan dahinya. “Apa itu?” tanyanya. Teman kami itu mengucapkan lagi
kata ‘water’ tetap dengan pengucapan yang sama. “Air, pastor,” akhirnya teman saya menyerah dan
menggunakan bahasa Indonesia. Pastor Kooyman dengan raut ketus berkata: “Bukan water (dengan
cara baca Indonesia) tapi water (dengan pronounciation Bahasa Inggris yang seharusnya)!”. Lalu
kami terdiam malu karena salah ucap. Makan siang pun lalu dimulai.

Kalau bahasa Belanda, jarang kami mendengar beliau berbicara dalam bahasanya, kecuali … saat
menghitung atau berbicara dengan anjing-anjing yang ada di pondok saat memberi mereka makan!
Bahasa Jerman apalagi, toh kami tidak bisa membedakan mana yang Bahasa Jerman, mana yang
Bahasa Inggris. Tapi ada beberapa majalah atau surat kabar berbahasa Jerman dan Belanda yang
biasa beliau terima dan baca.
Suatu ketika, ada yang bertanya apakah bahasa Belanda mirip bahasa Jerman. Dengan bangga beliau
berkata, “Induk bahasa Jerman dan bahasa Inggris adalah bahasa Belanda!” sambil tersenyum lebar.
Dan kami tahu, sepertinya beliau berbohong pada kami. Lalu kami tertawa bersama.

P. Th. Kooyman SCJ


#7 BALON

Lagu ‘Balonku Ada Lima’ sedang diperbincangkan. Tapi ini bukan tentang lagu balon, ini adalah
tentang balon warna-warni di kantung celana Pastor Kooyman. Ya, Pastor Kooyman senang
membawa balon di sakunya. Setiap ada anak-anak, balon itu akan dikeluarkannya, ditiupnya dan
diberikan kepada mereka. Di era pra-gadget, balon akan menjadi hal yang menggembirakan hati.

Balon adalah trademark-nya Pastor Kooyman, bahkan sejak sebelum era Anak Pondok. Kalau beliau
ke stasi, balon-balon dari sakunya adalah hal yang ditunggu-tunggu. Hebatnya, beliau akan meniup
sendiri balon itu sebelum memberikannya pada anak-anak. Beliau akan tertawa dan ikut bermain
dengan balon itu sejenak. Kalau akhirnya balon itu pecah, dia akan tertawa dan bertepuk tangan
bersama mereka.

Sampai sekarang saya masih belum tahu, balon-balon itu merek apa, dibeli di mana. Asal tahu saja,
balon itu kualitasnya kelas wahid, tebal dan tidak gampang pecah. Tapi yang lebih wahid adalah yang
meniupnya, yang sanggup meniup dengan sempurna bahkan saat 2 balon disatukan sekali tiup demi
lebih tahan lama dimainkan anak-anak yang bukan lagi terhitung dalam bilangan pencinta balon.

P. Th. Kooyman SCJ


#8 GARASI PONDOK KRISTOFEL

Garasi Pondok Kristofel adalah bangunan terpisah dari bangunan utama. Saat era 1992 – 1995, isinya
ada tiga kendaraan: satu buah mobil landrover abu-abu dengan kap terpal di bagian belakang (saya
tidak tahu jenis dan serie-nya), satu buah sepeda motor 2 tak warna merah – mungkin merk Honda
dan satu buah sepeda jengki yang kinclong.

Landrover itu adalah kendaraan harian Pastor Kooyman kemana saja, termasuk pergi menjual kelapa,
menjual kacang panjang ke Pasar Angso Duo, ambil pupuk kandang (ayam) dan lain-lain. Anak
Pondok naik mobil itu kalau sekolah? Tidak! Anak Pondok pergi ke sekolah jalan kaki. Hanya kalau
hujan pagi-pagi, Anak Pondok akan menikmati kemewahan naik mobil perang itu, diantar pergi
sekolah.

Pastor Kooyman punya jadwal pergi tetap pada pagi hari, sekitar pukul 09.00 WIB – ke Gereja Santa
Teresia di dekat Rumah Sakit DKT. Ambil Koran Kompas hari sebelumnya atau ambil Majalah Hidup
adalah runitas beliau setiap hari – kecuali hari Minggu atau hari libur. Lalu beliau akan berjalan ke
pasar untuk pelbagai keperluan, termasuk belanja susu, sarimie dan semprotan nyamuk. Semua
dilakukannya sendirian. Nanti sekitar pukul 12.00 WIB beliau pulang, menunggu anak-anak makan
siang.
Kalau mobilnya sedang rusak – beliau akan tetap pergi juga, minimal ke Pastoran dan ke Toko Roti
Christine – naik motor lengkap dengan helm dan kaca mata besar. Tapi itu jarang terjadi. Pernah juga
sekali, saat mobilnya rusak – beliau memilih naik angkot ke pasar, pulang pergi: berjalan kaki dulu
sekitar 15 sampai 20 menit ke jalan raya, baru naik angkot merah jurusan terminal rawasari.

Sepedanya tidak pernah saya lihat dipakai. Tapi tetap bersih di bagian belakang garasi, di dalam
ruang antara area untuk mobil dan motor dan ruang mesin diesel solar. Tapi pernah mendengar
cerita dari Ibu Hendrik yang saat itu bekerja di Pondok Kristofel – sepeda itu adalah kendaraan Pastor
Kooyman saat masih tinggal di Pastoran Gereja Santa Teresia awal tahun 80an. Dia kerap
mengendarainya sambil mengenakan jubah, ujar ibu itu.

Oh, sebenarnya ada satu lagi kendaraan yang tidak pernah dipakainya namun pernah diceritakannya
saat sesi rekreasi pada suatu malam: sebuah kapal motor! Dia menunjukkannya foto kapal itu
menggunakan proyektor slide miliknya. Sebuah kapal yang direncanakannya untuk melayani stasi-
stasi di Tanjung Jabung dengan menyusuri Sungai Batanghari. Kapal itu diberinya nama Santa Lucia –
kalau tidak salah. Namun karena ternyata tidak dibuat sesuai spesifikasi yang dirancangnya, kapal itu
tidak laik pakai, dan akhirnya dijual ke pihak lain. Kisah kapal itu selesai sebelum digunakan.

P. Th. Kooyman SCJ


#9 MENGHABISKAN DAYA GUNA BARANG ALA PASTOR KOOYMAN

Pastor Kooyman adalah orang yang selalu ingin agar daya guna suatu barang habis, sehabis-habisnya.
Kalau ada Anak Pondok kehabisan buku tulis, beliau akan meminta buku lama yang sudah habis
dipakai sebagai bukti. Buku yang akan diberikan kepada kami adalah buku tulis hadiah Kopi AAA yang
sangat legendaris dimasanya. Kalau pena kami habis, beliau akan minta pena lama sebagai bukti, lalu
diberikan kepada kami pena yang tidak pernah sama – karena pena itu adalah pena yang
dikumpulkan dari kebaikan orang-orang baik, atau dari hotel atau dari maskapai penerbangan.

Pernah tas saya rusak, lalu saya diberi tas hadiah kopi AAA. Tas itu rusak lagi, dia periksa benar-benar,
apakah sudah rusak benar atau belum. Lalu, beliau beri lagi tas lain yang sama, harus dipakai sampai
rusak. Beliau suka menisik sendiri kaus kakinya yang bolong di sela-sela waktu senggangnya. Koran-
koran bekas dikumpulkannya, lalu dikilokan kemudian. Tanpa malu dan segan, beliau menerima
sumbangan koran bekas dari sejumlah umat, disortir, dilipat rapi, diikat lalu dijualnya.

Kalau datang kiriman benda-benda rohani dalam kotak kayu dari Jawa, beliau akan menyortir papan-
papan kotak itu, menyimpan papan yang baik untuk dipakai kemudian. Anak-anak akan diminta
mencabut dan meluruskan paku-paku untuk dipakai kelak. Limbah kertas yang digunakan untuk
mengemas supaya patung dan atau salib tidak pecah dalam kotak itu akan dipilah juga. Kertas yang
terlalu halus potongannya akan dibakar, tetapi jika ada potongan kertas yang agak lebar, akan
disatukan, lalu diberikan kepada kami. “Untuk coret-coret hitung-hitungan,” ujarnya.
Kantong-kantong plastik yang didapatnya dari belanja akan dilipatnya rapi, untuk digunakan kembali
dan untuk dijadikan tali. “Tahukah kamu, ini bisa jadi tali yang kuat?” tanya beliau. Dan dengan tali
dari sangkek-sangkek asoy itu diikat kacang panjang untuk diantar ke pasar.

P. Th. Kooyman, SCJ


#1o: BANYAK MARIA

Toko benda-benda rohani Pondok Kristofel ditempatkan di lantai satu, di ruang paling kanan kalau
kita masuk dari pintu depan. Ada banyak benda rohani: gambar, medali, kalung, rosario, patung, salib
dan lain-lain. Tapi yang menarik adalah berbagai versi patung Bunda Maria. Mulanya saya tidak terlalu
peduli pada varian-variannya: saya pikir itu adalah perwakilan iman dari masing-masing pembuatnya.

Saat saya membantu beliau di toko itu, beliau lalu menjelaskan: ini Maria Laurdes, ini Maria Fatima, ini
Maria Medjugorje, ini Maria Bunda Allah, ini Maria Bunda Segala Bangsa, ini Maria Ratu Rosario, dst.
Alamaaak … banyaknya variannya. Untung saya membantunya di toko , sehingga saya tahu …

P. Th. Kooyman, SCJ


#11: PATER LEO DEHON

Kalau sekarang kita masuk Pondok Kristofel, ada torso Pater Leo Dehon menyambut kita di dekat
ruang tamu. Dulu hanya ada foto Pater Leo Dehon di bawah salib di atas plakat peresmian Pondok
Kristofel di ruang tamu itu. Dan Pastor Kooyman tidak pernah bercerita tentang foto siapa itu kepada
kami. Lalu seorang dari kami menyeletuk: “Oh, mungkin itu foto Bapaknya Pastor Kooyman. Lihat,
hidungnya sama kan?” dengan gaya sangat meyakinkan. Dan untuk beberapa lama, kami
mempercayai itu. Kami lupa, hidung Eropa memang begitu …

P. Th. Kooyman, SCJ


12#LAND ROVER

Lagi-lagi tentang Land Lover abu-abu yang dipakai sebagai mobil dinas Pastor Kooyman. Romo
Antonius Dwi Putranto SCJ menuturkan keceriaan masa kecilnya diajak naik mobil itu saat doa
rosario dari rumah ke rumah umat. Romo YG Marwoto SCJ pernah mengendarainya pada 1986 untuk
melayani umat di Tembesi. Dan karena mobil itu, Pastor Kooyman dijuluki Raja Besi oleh kelompok
Anak Dalam di sekitar Tembesi – tutur Pak Harihandoko. Anak-anak Pondok merasakan mengendarai
mobil itu untuk ikut menjual kacang panjang, kelapa, mengangkut air dalam jerigen, membawa
pupuk, menarik mobil yang macet, dan banyak lagi.

Suatu saat di meja makan setelah makan siang, Pastor Kooyman bercerita bahwa pimpinannya ingin
mengganti kendaraannya itu dengan mobil yang lain, yang lebih ‘modern’ tentunya. Tapi beliau tidak
mau. “Nanti mobil baru itu setirnya terlalu ringan. Saya sudah terbiasa dengan sertir mobil ini, berat,
tapi cocok untuk saya.” Kami hanya mengangguk-angguk, tidak paham juga. Yang kami tahu, itu
adalah mobil yang keren – sebab, di tempat asal sebagian dari kami, melihat mobil atau naik mobil
tetaplah kemewahan yang luar biasa. Meski saat berkendara dalam hujan deras, yang duduk di depan
harus sibuk mengelap kaca dalam yang berembun supaya Pastor Kooyman tetap bisa melihat jalan.

Suatu ketika, ban belakang mobil itu bocor. Lalu kami memberanikan diri: “Kita ganti pakai ban
cadangan, Pastor!” Beliau bertanya: “Kalian bisa menggantinya?” Dengan pede, kami menjawab:
Bisa, Pastor! Beliau kemudian memasang dongkrak, kami mulai mendongkrak, menurunkan ban
cadangan dari dalam bak penumpang, membuka ban yang bocor, lalu menggantinya dengan ban
cadangan itu. Well done! Goed gedaan! Mobilnya bisa dipakai Pastor Kooyman untuk ke pasar hari
itu.

Beberapa hari kemudian, saat setelah makan siang – sebelum doa penutup, Pastor Kooyman
bercerita: “Saya tadi ke bengkel. Mobil ini jalannya tidak enak, saya pikir ada yang rusak. Sampai
bengkel, pemilik bengkel pergi periksa. Ternyata tidak ada yang rusak.” Saya bertanya penuh rasa
ingin tahu: “Lalu, kenapa Pastor?” Jawab beliau sambil mengerdipkan mata: “Ban belakang
pasangnya tidak pas, jadi mobil terasa miring-miring jalannya”

P. Th. Kooyman, SCJ


#13: LILIN PASKAH

Dalam Perayaan Malam Paskah, selalu dibutuhkan Lilin Paskah untuk perayaan Ekaristi. Lilin Paskah
yang dimaksud bukan lilin kecil, tapi lilin putih besar dengan gambar salib di salah satu sisinya,
lengkap dengan angka tahun perayaan, beberapa simbol-simbol lainnya. Sebelum Lilin Paskah itu
dinyalakan gambar salib, angka tahun, simbol alfa dan omega dalam alfabeth Yunani akan digores
dengan paku. Salibnya akan ditancapi lima paku yang melambangkan lima luka Kristus di salib.

Beberapa hari menjelang paskah tahun itu, Pastor Kooyman mengeluarkan lilin paskah tahun
sebelumnya yang lumayan masih panjang. Beliau sudah merapikan bagian atasnya sehingga tampak
baru, lalu meletakkannya di meja beralaskan koran di ruang rekreasi lantai dua Pondok Kristofel.
Beliau memanggil saya, lalu katanya: “Bisa menggambar bukan? Kamu tidak usah kerja di kebun sore
ini, kamu kerja di ruang rekreasi saja”

Lalu beliau membekali saya dengan satu kaleng kecil cat minyak, kuas, dan scrap tipis untuk
pekerjaan itu. Lalu kami berdua menuju ke ruang rekreasi. “Kita pakai lilin ini saja untuk malam
paskah. Kamu ubah angka tahunnya, lalu kamu cat angkanya ya.” Begitu instruksi kerjanya. Lalu
beliau turun.

Malam paskah tahun itu, lilin paskahnya berukir angka tahun yang tidak begitu rapi. Terpasang sisi
meja altar kapel Pondok Kristofel sampai beberapa minggu ke depan.
P. Th. Kooyman, SCJ
#14: MENGAPA NAMANYA PONDOK KRISTOFEL?

Pada lahan tanam yang dikelilingi bangunan Pondok Kristofel, dahulu ada landmark yang dengan
inisial Pondok Kristofel, berupa gabungan huruf P dan K. Kurang lebih sama dengan ‘kristogram’ chi
rho dari alfabet Yunani ‘XPIΣTOΣ’ yang melambangkan Kristus. Pastor Kooyman juga membubuhkan
tulisan tangan dua huruf: PK disudut kiri atas buku atau benda milik Pondok Kristofel. Sementara
untuk benda-benda miliknya, beliau membubuhkan paraf kecil inisial namanya: huruf K.

Maka, beberapa dari kami setuju bahwa landmark itu sebenarnya mewakili inisial Pondok Kristofel,
sekaligus mewakili inisial beliau: Pastor Kooyman. Baik Pondok Kristofel maupun Pastor Kooyman
bisa diwakili dengan inisial PK. Hmmm, itu hanya teori-teori kebetulan yang tidak sengaja kami buat
untuk menjawab ketidaktahuan kami. Sama halnya saat kami menebak-nebak foto di ruang tamu
Pondok Kristofel: foto Pater Leo Dehon yang kami sangkakan sebagai foto ayah Pastor Kooyman
hanya karena kemiripan hidung Eropa mereka.

Tentang Kristofel, saat setelah makan siang sebelum doa penutup pada suatu hari, Pastor Kooyman
pernah mengisahkannya kepada kami. Kristofel adalah sosok orang yang berbadan besar yang
memikul Yesus Kecil di pundaknya. Sosok Kristofel bukanlah sosok orang kudus yang terkenal karena
kecerdasan akal budinya, atau kekudusan laku doanya. Kristofel adalah orang sederhana yang
mencari Yang Paling Berkuasa di dunia sepanjang hidupnya. Kristofel yang bertubuh besar bak
raksasa itu melakukannya dengan membantu orang-orang menyeberang sungai yang deras, sampai
dia menemukan Yang Paling Berkuasa itu dipikulnya di atas bahunya.

Anak laki-laki kecil yang meminta diantarkan ke seberang sungai itu dipikulnya di atas bahunya itu tak
lain adalah Yesus yang menampakkan diri kepada Kristofel. Kepada Yesus itulah kemudian Kristofel
mengabdikan hidupnya. Pak FX Sumardi menggambarkan Kristofel dengan sempurna melalui patung
besar di balkon depan Pondok Kristofel.

Saat saya menuliskan tentang Santo Kristofel ini, lalu mengingat semua yang dikisahkannya secara
sepenggal-sepenggal tentang pekerjaannya sebagai misionaris, saya kemudian sadar: Kristofel
menggambarkan Pastor Kooyman sendiri: sederhana, tidak pintar, patuh, tapi memikul Yesus di
pundaknya.

Dia tidak pernah mengerjakan karya yang monumental. Tapi dia secara setia dan sederhana
mengunjungi kawanan-kawanan kecil di pelosok timur Provinsi Jambi, memelihara mereka untuk
tetap berada dalam dalam penggembalaan Sang Gembala Utama. Dia tidak pernah mengurus hal
besar, kecuali menjadi pengurus asrama di Baturaja, bertugas membeli sayur dan buah di pasar
ampera saat di Seminari St. Paulus Palembang, dan mengurusi anak-anak dusun di Pondok Kristofel.
Dia hanya membawa balon dan permen di sakunya untuk membawa keceriaan pada anak-anak,
bukan pengkotbah yang ulung, bukan penyanyi dengan suara merdu dan piawai dengan alat musik,
bukan pengajar yang penuh karisma. Dia sederhana saja: seperti Kristoforus.

Tapi alasan sesungguhnya tentang pemilihan nama Pondok dan nama Kristofel saya tidak pernah
tahu.

Anda mungkin juga menyukai