Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

Penyakit Ginjal Kronis (PGK)

DISUSUN OLEH:

Clara July Deby Sainuka


112021238

PEMBIMBING:

dr. Susanna Ndraha, Sp. PD, KGEH, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

PERIODE 21 NOVEMBER 2022 - 28 JANUARI 2023

1
Halaman judul ……………………………….………………………………………………..1
Daftar Isi ……………………………………..……………………………………………….2

Bab I Pendahuluan………………………..…………………………………………………3
Latar Belakang Masalah….……………….…………………………………………………..3
Bab II Tinjauan Pustaka……………….……………………………………………………4
Definisi …………………………………..…………………………………………………...5
Kriteria ………………………………….…………………………………………………….5
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis ….….…………………………………………………….7
Epidemiologi ……………..…….……………………………………………………………..8
Etiologi……………..……………………………………………………………....................9
Anatomi ……………………………………………………………………………..………10
Patofisiologi …………………………………………………………………………...…….11
Manifestasi Klinis …………………………………………………………………………...12
Pemeriksaan Fisik …………………………………………………………………...………13
Pemeriksaan Penunjang ………………………………...…………………………………...13
Tatalaksana ………….………………………………………………………………………14
Prognosis ……….…………………………………………………………………….……...19
Bab III Kesimpulan ………….…………………………………………………………….20
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………….……....21

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat
global dengan prevalens dan insiden gagal ginjal yang meningkat, prognosis yang
buruk serta biaya yang tinggi. Prevalens meningkat seiring dengan meningkatnya
jumlah pendudduk usia lanjut dan kejadian penyakit diabetes melitus serta hipertensi.
Sekitar 1 dari 10 populasi global mengalami PGK pada stadium tertentu.1
Di Indonesia perawatan penyakit ginjal merupakan ranking kedua dengan
pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah penyakit jantung. Pada tahun 2015,
beban ekonomi global terkait dengan diabetes mencapai US $ 1,31 Triliun dan ini
menjadi beban ekonomi global yang cukup besar.2
Kedua ginjal setiap hari menyaring sekitar 120-150 liter darah dan
menghasilkan sekitar 1 hingga 2 liter urin. Setiap ginjal tersusun dari sekitar satu juta
unit penyaring yang disebut nefron. Nefron ini terdiri dari glomerulus dan tubulus.
Glomerulus menyaring cairan dan limbah untuk nantinya dikeluarkan serta mencegah
keluarnya sel darah dan molekul besar yang sebagian besar berupa protein.
Selanjutnya melewati tubulus yang mengambil kembali mineral yang dibutuhkan
tubuh dan membuang limbahnya. Enzim renin dihasilkan oleh ginjal untuk menjaga
tekanan darah dan kadar garam. Hormon eritropoietin yang juga merangsang sumsum
tulang untuk memproduksi sel darah merah, serta menghasilkan bentuk aktif vitamin
D yang dibutuhkan untuk kesehatan tulang.1
Penyakit ginjal kronis ini merupakan penyakit ginjal dimana terdapat
penurunan fungsi ginjal yang selama periode bulanan dan tahunan yang ditandai
dengan penurunan glomerulus filtration rate (GFR) secara perlahan dalam periode
yang lama. Pada awal penyakit ginjal kronik ini tidak memberikan gejala , namun
seiring berjalannya waktu akan timbul gejala-gejala berat seperti bengkak pada kaki,
kelelahan, mual dan muntah, penurunan nafsu makan, dan kebingungan.3
Modifikasi faktor risiko penyakit ginjal kronik ini dapat dilakukan pada pasien
dengan hipertensi, obesitas morbid, sindroma metabolik, hiperkolesterolemia, anemia
dan merokok. Menurut Kidney disease improving global outcome (KDIGO), PGK
dengan tanda-tanda kegagalan ginjal seperti serositis, gangguan keseimbangan asam-
basa atau elektrolit, pruritus, maupun kegagalan pengontrolan volume dan tekanan

3
darah, gangguan status gizi yang refrakter, dan gangguan kognitif diperlukan terapi
hemodialisis. Pada penderita yang sudah mencapai PGK derajat IV yaitu eGFR 30
ml/menit /1,73 m2 juga harus dimulai terapi hemodialisis.4

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronis


2.1.1. Definisi
Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan gangguan pada ginjal yang
ditandai dengan abnormalitas struktur maupun fungsi ginjal yang sudah
berlangsung lebih dari 3 bulan. Penyakit ginjal kronik ini ditandai dengan satu
atau lebih tanda kerusakan ginjal yaitu albuminuria, abnormalitas sedimen
urin, elektrolit, histologi, struktur ginjal, maupun adanya riwayat transplantasi
ginjal, maupun disertai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus.4
Penyakit ginjal kronis merupakan suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif
dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal merupakan
suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang
tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindorm
klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ akibat penurunan fungsi
ginjal pada penyakit ginjal kronis.5

2.1.2. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik

Kriteria pertama yang digunakan KDIGO untuk menentukan urgensi


penyakit ginjal krinis adalah menggunakan GFR (Glomerulus Filtration Rate)
yang merupakan kemampuan glomerulus ginjal untuk memfiltrasi darah. GFR
dapat dihitung menggunakan jumlah serum kreatinin dengan rumus formuka
GFR MDRD sebagai berikut:6

GFR = 186 x Scr-0.380 x age0.230 x 1 (male) / 0.742 (female)

5
Tabel 1. Kategori GFR pada Pasien Ginjal Kronis

GFR Category GFR (ml/min/1.73m2 Terms


G1 ≥ 90 Normal or high
G2 60-89 Mildly decreased
G3a 45-59 Mildly to moderately
decreased
G3b 30-44 Moderately to severely
decreased
G4 15-29 Severely decreased
G5 <15 Kidney failure

Selanjutnya dilakukan pengukuran albuminuria dan serum kreatinin untuk


mengetahui kategori penyakit ginjal kronis berdasarkan rasio albuminuria dan serum
kreatinin. Kategori menurut KDIGO 2012 dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Kategori Albuminuria pada Pasien Ginjal Kronis

AER ACR (Approximately


equivalen)

Category (mg/24 hours) (mg/mmol) (mg/g) terms


A1 <30 <3 <30 Normal to
mildly
increased
A2 30-300 3-30 30-300 Moderately
inceased*
A3 >300 >30 >300 Severely
increased**

AER: Albumin Excretion Rate, ACR: Albumin to creatinin Ratio.

*Relative to young adult level.

**including nephrotic syndrome (albumin ecretion usually > 2200 mg/24 hours ).

6
Dengan mengkombinasikan kedua kriteria di atas maka dapat dimasukan ke
dalam cross table untuk mengetahui risiko referral untuk pasien ginjal krinis dan
urgensi penanganan penyakit ginjal kronis.

Gambar 1. Kategori Prognosis Penyakit Ginjal Kronis beradarkan GFR dan


Albuminuria
2.1.3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu: atas
dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi, yang
dijelaskan pada table-tabel di bawah ini. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit
dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-
Gault sebagai berikut:5

( 140−umur ) x berat badan


LFG (ml/menit/1,73m2) = ∗¿
72 x kreatinin plasma (mg/dl)

*) Pada perempuan dikalikan 0,85

7
Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis atas Dasar Derajat Penyakit

Tabel Penjelasan LFG


Derajat (ml/menit/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau   90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG  ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG  sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG  berat 15-29
5 Gagal ginjal  15 atau dialisis

Tabel 4. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kroni katas Dasar Diagnosis Etiologi

Penyakit Tipe Mayor (Contoh)


Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non - Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi
diabetes sistemik, obat, neoplasia)
- Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
- Penyakit tubulointerstisial (pielonefritis kronik,
batu, obstruksi, keracunan obat)
- Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada Rejeksi kronik
transplantasi Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplantasi glomerulopathy

2.1.4. Epidemiologi

Angka prevalensi penyakit ginjal kronis pada tahun 2018 cukup tinggi
yaitu mencapai 3,8 permil populasi Indonesia menderita penyakit ginjal kronis
yang terdiagnosis dokter. Angka ini lebih tinggi dibandingkan prevalensi
peyakit ginjal kronis pada tahun 2013 yaitu 2 permil di seluruh Indonesia.

8
Prevalensi teringgi yaitu di provinsi Kalimantan Utara yaitu sebanyak 6,4
permil sedangkan prevalensi terendah di Indonesia terdapat di Propinsi
Sulawesi Barat dengan angka 1,8 permil. Penderita penyakit ginjal kronis
tersring pada umur 65-74 tahun, laki-laki yang lebih banyak daripada
perempuan. Persentase penderita penyakit ginjal kronis yang sedang menjalani
hemodialisa di Indonesia cukup rendah hanya 19,3% penderita penyakit ginjal
kronis yang menjadi terapi hemodialisa.7

Di dunia terdapat sebanyak 1 dari 10 orang mempunyai penyakit ginjal


kronis. Daerah-daerah seperti Afrika, Amerika, Asia Selatan, dan Asia
Tenggara merupakan daerah yang paling sering ditemukannya penyakit ginjal
kronis. Penyakit ginjal kronis merupakan penyebab dari 956.000 kematian di
seluruh dunia pada tahun 2013. Pada tahun 2016, penyakit ginjal kronis
berjumlah sekitar 753 juta orang di seluruh dunia yang meliputi 336 juta pada
pasien laki-laki dan 417 juta pada pasien perempuan. Di seluruh dunia terdapat
1,2 juta kematian per tahun akibat penyakit ginjal kronis. Penyebab tersering
penyakit ginjal kronis ini adalah Hipertensi pada 550 ribu pasien, diabetes
melitus pada 418 ribu pasien, dan glomerulonephritis pada 238 ribu pasien.8

2.1.5. Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara
dengan negara lain. Penyebab utama dan insiden penyakit gagal ginjal kronik
di Amerika Serikat dan penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di
Indonesia seperti dalam tabel-tabel berikut.5

Tabel 5. Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronik di Amerika Serikat (1995 –


1999)

Penyebab Insiden
Diabetes melitus 44%
Tipe 1 (7%)
Tipe 2 (37%)
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27%
Glomerulonefritis 10%
Nefritis interstisialis 4%
Kista dan penyakit bawaan lain 3%

9
Penyakit sistemik (missal: lupus dan vaskulitis) 2%
Neoplasma 2%
Tidak diketahui 4%
Penyakit lain 4%

Tabel 6. Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalankan Hemodialisis di Indonesia


Tahun 2000

Penyebab Insiden
Glomeruloneritis 46,39%
Diabetes Melitus 18,65%
Obstruksi dan Infeksi 12,85%
Hipertensi 8,46%
Penyebab lain 13,65%

Dikelompokkan pada penyebab lain di antaranya nefritis lupus,


nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan
penyebab yang tidak diketahui.

2.1.6. Anatomi Ginjal

Ginjal merupakan organ yang berada di rongga abdomen, berada di


belakang peritoneum, dan terletak di kanan dan kiri kolumna vertebralis
sekitar vertebra T12 hingga L3. Ginjal pada orang dewasa berukuran panjang
11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm, berbentuk seperti biji kacang dengan
lekukan menghadap ke dalam, dan berukuran kira-kira sebesar kepalan tangan
orang dewasa. Berat kedua ginjal <1% berat seluruh tubuh atau sekitar 120-
150 gram.9

1. Struktur ginjal
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput titpis yang disebut kapsula fibrosa.
Bagian paling luar dari ginjal disebut korteks, bagian lebih dalam lagi
disebut medulla. Bagian paling dalam disebut pelvis. Pada bagian
medulla ginjal manusia dapat pula dilihat adanya piramida yang

10
merupakan bukan saluran pengumpul. Ginjal dibungkus oleh lapisan
jaringan ikat longgar (kapsula). Hilus adalah batas bagian dalam ginjal
yang cekung sebagai pintu masuk pembuluh darah, limfatik, ureter, dan
saraf. Pelvis renalis berbentuk corong, menerima urine yang diproduksi
ginjal.9
2. Pembungkus ginjal
Ginjal dilapisi oleh kapsula adipose yang merupakan masaa jaringan
lemak yang tertutup oleh suatu lamina khusus dari fasia subserosa (fascia
renalis) yang terdapat diantara lapisan dalam dari fasia profunda dan
stratum fasia subserosa internus yang terpecah menjadi dua bagian yaitu
lamella anterior dan posterior.9
3. Struktur miskroskopis ginjal
Nefron merupakan satuan fungsisonal ginjal, berjumlah sekitar 1,3 juta
yang selama 24 jam menyaring 170 liter darah dari arteri renalis. Lubang-
lubang yang terdapat pada piramida ginjal masing-masing membentuk
suatu simpul satu badan malphigi yang disebut glomerulus. Setiap nefron
berasal dari berkas kapiler yang terdiri dari.9
a) Glomerulus
Glomerulus adalah tempat terjadinya penyaringan yang
merupakan tahapan awal dalam proses pembentukan urine.
Gulungan kapiler yang dikelilingi kapsul epitel berdinding ganda
disebut kapsula bowman.
b) Tubulus proksimal
Panjangnya mencapai 15 mm dan sangat berliku. Pada permukaan
yang menghadap lumen tubulus ini terdapat sel-sel epitelium
kuboid yang kaya akan mikrovilus dan memperluas area
permukaan lumen.
c) Ansa henle
Bentuknya lurus dan tebal, diteruskan ke segmen tipis lalu ke
segmen tebal, panjangnya 2-14mm. klorida secara aktif diserap
kembali kecabang asendens ansa henle dan natrium bergerak
secara pasif untuk mempertahankan kenetralan fisik.
d) Tubulus distal

11
Panjangnya sekitar 5 mm dan membentuk segmen terakhir nefron,
bersentuhan dengan dinding arteriol aferen yang mengandung sel-
sel yang termodifikasi disebut macula densa yang berfungsi
sebagai suatu kemoreseptor dan distimulasi oleh penurunan ion
natrium.
e) Duktus koligen medulla
memiliki kemampuan mereabsorbsi dan menyekresi kalium.
Pengaturan secara halus ekskresi natrium urine terjadidisini
dengan aldosterone yang paling bereperan terhadap reabsorbsi
natrium.
4. Peredaraan darah ginjal
Arteri renalis adalah percabangan aorta abdomen yang mensuplai
masing-masing ginjal dan masuk ke hilus melalui cabang anterior dan
posterior yang membentuk areteri-arteri interlobaris yang mengalir
diantara piramida ginjal. Arteri arkuata berasal dari arteri interlobaris
pada area pertemuan antara korteks dan medulla. Arteri interlobularis
merupakan percabangan aretri arkuata disudut kanan dan melewati
korteks. Arteriol aferen berasal dari arteri interlobularis. Satu arteriol
aferen membentuk glomerulus. Arteriol eferen meninggalkan setiap
glomerulus dan membentuk jarring-jaring kapiler lain. Kapiler
peritubular yang mengelilingi tubulus proksimal dan distal untuk
memberi nutrient pada tubulus tersebut dan mengeluarkan zat-zat yang
direabsorpsi. Arteriol eferen dari glomerulus pada nefron
jukstaglommerular memiliki perpanjangan pembuluh kapiler panjang
yang lurus disebut vasa recta yang masuk kedalam vena koretks yang
kemudian menyatu dan membentuk vena interlobularis. Vena arkuata
menerima darah dari vena interlobularis yang bergabung untuk bermuara
ke dalam vena renalis.9
5. Persarafan ginjal
Saraf ginjal lebih kurang 15 ganglion. Ganglion ini membentuk pleksus
renalis yang berasal dari cabang yang terbawah dan diluar ganglion
pleksus seliaka, pleksus akustikus dan bagian bawah splenikus. Pleksus
renalis bergabung dengan pleksus spermatikus dengan cara memberikan
beberapa serabut yang dapat menimbulkan nyeri pada testis pada
kelainan ginjal.9

12
Gambar 2. Anatomi Ginjal

2.1.7. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya bergantung pada
penyakit yang mendasarinya, namun dalam perkembangan selanjutnya proses
yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal menyebabkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving
nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh
proses maladaptasi berupa sclerosis nefron yang mash tersisa. Proses ini
akhirnya diikuti dengan fungsi nefron yang progresif meskipun penyakit
dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-
angiotensin-aldosteron intrarenal ikut memberikan kontribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sclerosis dan progesifitas tersebut. Aktivasi jangka
panjang axis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth
factor seperti transforming growth factor  (TGF-). Beberapa hal yang juga
dianggap berperan terhadap terjadinya progestifitas penyakit ginjal kronis
adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Adanya

13
variabilitas interindividual untuk terjadinya sclerosis dan fibrosis glomerulus
maupun tubulointerstisial.5
Pada stadium paling dini PGK, terjadi kehilangan daya cadang ginjal
(renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara perlahan namun pasti, akan terjadi penurunan
fungsi nefron yang progresif yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum
merasakan keluhan (asimptomatik) tetapi sudah terjadi kenaikan kadar urea
dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan
pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan berkurang dan
penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30% pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia seperti anemia, peningkatan tekanan
darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan
lainnya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperi infeksi saluran kemih,
infeksi saluran nafas dan infeksi saluran cerna. Terjadi juga gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hypervolemia, gangguan keseimbangan
elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi
gejala dan komplikasi serius, dan pasien memerlukan terapi pengganti ginjal
(renal replacement therapy) yaitu dialisis atau transplantasi ginjal. Pada
keadaan ini pasien dikatakan gagal ginjal.5

2.1.8. Manifestasi Klinis

Penyakit ginjal kronis secara umum pada stadium awal tidak


ditemukan gejala yang khas namun penyakit ginjal kronis stadium awal
dideteksi dengan peningkatan serum kreatinin dan proteinuria. Namun bila
fungsi ginjal terus menerus mengalami penurunan akan menimbulkan gejala-
gejala, antara lain:10,11

- Peningkatan tekanan darah akibat kelebihan cairan dan produksi dari


hormon vasoaktif yang diekskresikan oleh ginjal melalui sistem Renin-
Angiotensin-Aldosterone-System (RAAS) yang menyebabkan risiko
penderita penyakit ginjal kronis menderita hipertensi atau penyakit jantung
kongestif.

14
- Uremia akibat akumulasi urea pada darah dapat menimbulkan gejala
berupa pericarditis, ensefalopati, gastropati. Akibat jumlah urea yang tingi
di dalam darah maka urea dapat diekskresikan melalui keringat dalam
konsentrasi tinggi dan dapat menjadi kristal di kulit yang disebut “uremic
frost”.
- Hiperkalemi akibat kalium yang terakumulasi dalam darah yang memiliki
gejala seperti malaise hingga aritmia jantung. Hiperkalemi dapat terjadi
jika GFR dari ginjal mencapao <25 ml/min/1,73m 2 saat kemampuan ginjal
mengekskresikan kalium mulai berkurang.
- Anemia disebabkna karena penurunan produksi eritropoietin yang
akhirnya menyebabkan penurunan produksi sel darah merah karena
eritropoietin dibentuk di jaringan interstitial ginjal. Pada penyakit ginjal
kronik terjadi nekrosis sehingga produksi ertiropoietin ini berkurang.
- Overload volume cairan yang disebabkan oleh retensi natrium dan cairan
pada ginjal sehingga dapat menyebabkan edema ringan hingga edema yang
mengancam nyawa seperti edema paru.
- Hiperfofatemia disebabkan karena berkurangnya ekskresi fosfat oleh
ginjal. Hiperfosfatemia meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular yang
mana fosfat merupakan stimulus dari kalsifikasi vaskular.
- Hipokalsemia disebabkan oleh stimulasi pembentukan FGF-23 oleh
osteosit bersama dengan penurunan massa ginjal. FGF-23 merupakan
inhibitor dari enzim pembentukan vitamin D yang secara kronis akan
menyebabkan hipertropi kelenjar paratiroid, kelainan tulang akibat
penyakit ginjal dan kalsifikasi vaskular.
- Asidosis metabolik disebabkan oleh akumulasi dari fosfat dan urea.
Asidosis juga dapat disebabkan oleh penurunan kemampuan produksi
ammonia pada sel-sel ginjal.
- Anemia defisiensi besi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu peningkatan
inflamasi yang disebabkan oleh akumulasi urea, penurunan ertiropoietin
dan penurunan fungsi sumsum tulang.

2.1.9. Pemeriksaan Fisik

15
Pada PGK derajat ringan umumnya tidak menimbulkan gejala klinis
yang didasari. Pada sebagian besar kasus, gejala baru muncul saat fungsi
ginjal tersisa 10%. Gejala yang dapat ditemui seperti:12
- Sindrom uremia yaitu nyeri dada (pericarditis), perdarahan abnormal
seperti ekimosis atau perdarahan saluran cerna dan penurunan kesadaran
(ensefalopati uremikum).
- Malaise, pruritus, mual, muntah
- Anemia : pucat, mudah lelah
- Kelebihan cairan: sesak, edema pada ekstremitas
- Palpitasi (aritmia)

2.1.10. Pemeriksaan Penunjang


- Darah lengkap : Anemia normositik normokrom
- Fungsi ginjal : Kadar ureum dan kreatinin meningkat.
- Pemeriksaan elektrolit : Hiperkalemia, hipokalsemia, hiperfosfatemia,
hipermagnesemia. Pemeriksaan kalsium, fosfat, hormon paratiroid, alkalin
fosfatase dari serum perlu dilakukan bila pasien dewasa dengan LFG <45
ml/menit/7,3m2.
- Pemeriksaan kadar glukosa darah dan profil lipid.
- Analisis gas darah : Gambaran asidosis metabolic (pH menurun dan
HCO3- menurun).
- Pemeriksaan urin: carik celup dapat ditemukan gambaran glucosuria,
protein uria. Pada urinalisis dapat ditemukan adanya
proteinuria/albuminuria, sedimen eritrosit dan sedimen leukosit. Dapat
dilakukan juga pemeriksaan protein urin kuantitatif 24 jam atau
pemeriksaan rasio albumin:kreatinin sewaktu.
- Pencitraan dengan foto polos abdomen dapat menunjukan apabila
terdapat batu saluran kemih. Pemeriksaan USG dapat menemukan ukuran
ginjal yang mengecil, batas antara medulla dan korteks yang tidak jelas,
hidronefrosis, batu ginjal, massa, maupun kalsifikasi.
- Biopsi dan pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan bila diagnosis
noninvasif tidak dapat ditegakkan. Pemeriksaan ini tidak boleh dilakukan

16
saat ukuran ginjal sudah mengecil, penyakit ginjal polikistik, hipertensi
tidak terkendali, gangguan pembekuan darah, gagal nafas dan obesitas.
- Pemeriksaan lainnya terkait komplikasi seperti EKG, foto polos toraks,
ekokardiografi, dan densitas tulang.5,12

2.1.11. Tatalaksana
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:5
 Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

Sebelum terjadinya penurunan LFG merupakan waktu yang tepat


untuk terapi penyakit dasarnya sehingga tidak terjadi perburukan fungsi
ginjal. Pada ukuran ginjal normal secara ultrasonografi, biopsi dan
pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik. Berbeda halnya bila LFG sudah menurun sampai
20-30% dari normal maka terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak
banyak bermanfaat.

 Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan


LFG pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi
komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan
pasien. Faktor-faktor komorbid antara lain: gangguan keseimabangan
cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-
obatan nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan penyakit
dasarnya.

 Memperlambat perburukan (progression) fungsi ginjal

Faktor utama terjadinya perburukan fungsi ginjal ini karena


terjadinya hipefiltrasi glomerulus. Terdapat 2 hal penting dalam
mengurangi hiperfiltrasi glomerulus yaitu: Pembatasan asupan protein
yang dilakukan pada LFG 60 ml/mnt/1,73m2, sedangkan diatas nilai itu
pembatasan asupan protein tidak terlalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-

17
0,8 gr/kgBB/hari, yang 0,35-0,50 gram diantaranya merupakan protein
nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35
kkal/kgBB/hari. Bila terjadi malnutrisi maka asupan kalori dan protein
dapat ditingkatkan. Kelebihan protein ini tidak dapat disimpan di dalam
tubuh seperti lemak dan karbohidrat namun dipecah menjadi urea dan
substansi nitrogen lain yang terutama diekskresikan di ginjal. Selain itu
makanan yang tinggi protein memiliki kandungan ion hydrogen, fosfat,
sulfat dan ion unorganik lain yang diekskresikan melalui ginjal.
Penimbunan substansi nitrogen dan ion unorganik lain dan mengakibatkan
gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Asupan protein yang
berlebih juga akan mengakibatkan gangguan hemodinamik ginjal berupa
peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang akan
meningkatkan progesifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan
protein juga mengakibatkan pembatasan asupan fosfat karena berasal dari
sumber yang sama sehingga mencegah juga terjadinya hiperfosatemia.

Kedua yaitu terapi farmakologis dengan pemakaian obat


antihipertensi yang bermanfaat untuk memperkecil risiko hipertensi dan
juga penting untuk memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan
mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus.
Beberapa obat antihipertensi terutama yaitu ACE Inhibitor yang terbukti
dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal karena mekanisme
kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.

 Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi kardiovaskular


adalah pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia,
hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi
terhadap komplikasi PGK secara keseluruhan.

 Pencegahan dan Terapi terhadap Komplikasi

PGK mengakibatkan berbagai komplikasi yang menifestasinya


sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi, antara lain:

18
- Anemia

Anemia terjadi pada 80-90% pasien dengan penyakit ginjal


kronik. Anemia pada pasien PGK terutama karena defisiensi
eritropoietin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia
adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misalnya pada perdarahan
saluran cerna atau hematuria), masa hidup eritrosit pendek akibat
terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang
oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik.

Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya


disamping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian ertorpoietin
(EPO) merupakan hal yang dianjurkan namun dalam pemberiannya
memerlukan harus memperhatikan status besi karena dalam mekanisme
kerjanya EPO memerlukan besi. Pemberian trasnfusi harus hati-hati
dan berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauannya yang cermat.
Transfusi darah yang tidak dilakukan secara cermat dapat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan pemburukan
fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah
11-12 g/dl.

- Osteodistrofi Renal

Osteodistrofi renal merupakan komplikasi ginjal yang sering


terjadi. Penatalaksanaan untuk osteodistrofi renal dilaksanakan dengan
cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol
(1,25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia dengan pembatasan
asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat
absorbs fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan berperan dalam
mengatasi hiperfosfatemia.

Pemberian diet rendah fosfat sama dengan diet pada pasien


penyakit ginjal kronis secara umum yaitu tinggi kalori, rendah protein
dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung di dalam
daging dan produk hewan seperti telur dan susu. Asupan fosfat dibatasi

19
600-800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat secara ketat tidak
dianjurkan karena akan mengakibatkan malnutrisi. Dapat pula
diberikan pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam kalsium,
aluminium hidroksida, dan garam magnesium. Garam-garam ini
diberikan secara oral untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal
dari makanan. Garam kalsium yang banyak digunakan adalah kalsiun
bikarbonar (CaCO3) dan kalsium asetat. Dalam perkembanganyya
ditemukan obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar
paratiroid dengan nama sevelamer hidroksida. Obat ini disebut juga
calcium nimetic agent dan dilaporkan memiliki efektivitas yang sangat
baik serta efek samping yang minimal.

Pemberian kalsitriol ini pemakaiannya tidak begitu luas karena


dapat meningkatkan absorbs fosfat dan kalsium di saluran cerna
sehingga dihawatirkan akan terjadi penumpukan garam kalsium
karbonat di jaringan yang disebut kalsifikasi metastastik dan
mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar
paratiroid.

- Pembatasan Cairan dan Elektrolit

Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edema dan


komplikasi kardiovaskular. Air di dalam tubuh dibuat seimbang dengan
cairan yang keluar, baik melalui urin maupun insensible water loss.
Dengan asumsi bahwa air yang keluar melalui insensible water loss
antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh) maka air
yang masuk dianjurkan 500-800 ml/hari ditambah jumlah urin.

Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan


natrium. Pembatasan kaliym dilakukan karena dapat mengakibatkan
aritmia jantung yang fatal. Makanan (buah dan sayur) dan obat-obatan
yang mengandung tinggi kalium harus dibatasi. Kadar kalium darah
yang dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium ini untuk
mengendalikan hipertensi dan edema.

 Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

20
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronis stadium 5,
yaitu pada LFG <15 ml/menit/1,73m2. Terapi pengganti tersebut berupa
hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

Perencanaan tatalaksana penyakit ginjal kronis sesuai dengan


derajatnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 7. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronis sesuai dengan


Derajatnya5

Derajat LFG (ml/mnt/1,73m2) Rencana Tatalaksana


1 90 Terapi penyakit dasar, kondisi
komorbid, evaluasi perburukan
(progression) fungsi ginjal,
memperkecil risiko
kardiovaskular
2 60-89 Menghambat perburukan fungsi
ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti
ginjal
5 <15 Terapi pengganti ginjal

2.1.12. Prognosis

Penyakit ginjal kronis dapat meningkatkan angka hospitalisasi dan


menyebabkan kematian. Rujukan yang tepat dan dini menurunkan mortalitas
dalam 3 bulan hingga 50% dengan lama rawat 8,8 hari lebih singkat.12

21
BAB III

KESIMPULAN

Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologis dengan etiologi
yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. PGK ini ditandai dengan keruskan ginjal (renal damage) yang
terjadi lebih dari 3 bulan dengan kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), serta laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60
ml/menit/1.73m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Beragam gejala klinis yang ditemukan sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
Dapat ditemukan nyeri dada (pericarditis,) penurunan kesadaran (ensefalopati uremikum),
perdarahan saluran cerna, malaise, mual, muntah, sesak, edema pada ekstremitas, dan
palpitasi (aritmia). Penatalaksaan yang diberikan pada pasien denga penyakit ginjal kronik
ini mulai dari pencegahan dengan mengatur pola asupan makanan, obat antihipertensi, hingga
bila terapi pengganti ginjal pada stage 5.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan InfoDATIN Pusat Data dan Informasi Kementerian


Kesehatan RI: Situasi Penyakit Ginjal Kronis, pp. 1–10. 2017.
2. Hill, N. R. et al. Global Prevalence of Chronic Kidney Disease – A Systematic
Review and Meta-Analysis. 2016; 1–18.

3. "What is renal failure?". Johns Hopkins Medicine. Retrieved 18 December 2017.


4. KDIGO. Clinical practice guideline for the evaluation and management of chronic
kidney disease. 2012
5. Setiati S, Alwi I, Sudoyo A, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna
publishing;2017.

6. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of
Chronic Kidney Disease. Kidney International Supplements. 2013;3(1).
7. Kementrian kesehatan RI. Hasil utama Riskesdas. 2018.
8. Bikbov B, Perico N, Remuzzi G.Disparities in Chronic Kidney Disease Prevalence
among Males and Females in 195 Countries: Analysis of the Global Burden of
Disease 2016 Study.Nephron. 139 (4): 313–318.
9. Drake R, Vogl W, Mitchell A. Gray’s basic anatomy. h. 194-5.

10. Hruska KA, Mathew S, Lund R, Qiu P, Pratt R. Hyperphosphatemia of chronic


kidney disease. Kidney Int. 2008; 74 (2): 148–57.

23
11. Faul C, Amaral AP, Oskouei B, et al. FGF23 induces left ventricular hypertrophy. J
Clin Invest. 2011;121 (11): 4393–408.
12. Liwang F, Yuswar P, Wijaya E, et al. Kapita selekta kedokteran jilid I ed. 5. Depok:
Media Aesculapius;2020.

24

Anda mungkin juga menyukai