Anda di halaman 1dari 86

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan pesatnya perkembangan Provinsi Papua dari segi
infrastruktur, Kabupaten Jayapura sebagai kabupaten pertama yang dibentuk di
Provinsi Papua pun mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan baik dari segi
pertumbuhan penduduk, aktivitas ekonomi dan transportasi yang berimbas pada
berbagai permasalahan penduduk, aktifitas ekonomi dan transportasi yang
berimbas pada berbagai permasalahan salah satunya adalah permasalahan sistem
drainase perkotaan. Pada umumnya penanganan masalah drainase di beberapa
daerah di Papua masih bersifat parsial, sehingga tidak menyelesaikan
permasalahan banjir dan genangan secara tuntas. Pengelolaan drainase perkotaan
harus dilaksanakan secara menyeluruh, dimulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan konstruksi dan pemeliharaan, serta ditunjang dengan peningkatan
kelembagaan serta partisipasi masyarakat. Pentingnya menanamkan pemahaman
mengenai drainase kepada pihak yang terlibat baik pelaksana maupun masyarakat
perlu dilakukan secara kontinu agar penanganan dapat dilakukan secara maksimal,
karna sistem drainase perkotaan merupakan salah satu elemen infrastruktur
perkotaan yang sangat penting. Maju dan tidaknya sebuah kota dapat dinilai dari
kondisi sistem drainasenya.

Drainase perkotaan sebagai salah satu prasarana sanitasi kota memiliki


keterkaitan dengan prasarana kota lainnya membutuhkan sinergi yang baik dari
instansi penanggung jawab yang berbeda-beda dengan sumber dana yang
beragam, maka apabila penanganannya tidak terpadu akan sulit untuk
mendapatkan suatu tingkat pelayanan yang maksimal dan efiktif. Salah satu
kondisi yang menunjukan kurangnya tingkat pelayanan prasarana perkotaan
khususnya prasarana drainase perkotaan adalah terjadinya genangan air (banjir).

Banjir merupakan fenomena alam yang biasa terjadi disuatu kawasan yang
banyak dilalui oleh aliran sungai. Secara sederhana banjir dapat didefinisikan

1
sebagai meluapnya air di suatu kawasan luas sehingga menutupi permukaaan
bumi di sekitar kawasan tersebut.

Secara geografis Distrik Sentani terletak pada 2,29° - 2,36° LS dan 140,26°
BT dengan cakupan luas wilayah administrasi 225,9 km² yang topografinya
sangat bervariasi mulai dari lembah, gunung, rawa, hingga perbukitan. Sebagai
kawasan terpadat di Kabupaten Jayapura dengan jumlah penduduk 72,443 jiwa
pada tahun 2021, Distrik Sentani tidak terlepas dari fenomena banjir dan
genangan air pada musim penghujan.

Mengacu pada Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura No.21 Tahun 2009


tentang RTRW Kabupaten Jayapura tahun 2008-2028 dimana Distrik Sentani
masuk dalam wilayah pembangunan 1 (WP1) yang mana lokasi tersebut
diprioritaskan pada Pusat Pemerintahan, Perdagangan dan Jasa, Bandar Udara,
Pariwisata, Indrustri kecil dan Rumah Tangga, Kehutanan serta Perikanan
Darat/Danau, maka dari itu kebutuhan akan infrastruktur sanitasi sangat penting
untuk mengimbangi permasalahan yang ditimbulkan oleh pesatnya pembangunan,
termasuk permasalahan banjir dan timbulnya genangan pada beberapa kawasan di
Distrik Sentani dimana hal ini merupakan peristriwa tahunan yang meresahkan
masyarakat.

Distrik Sentani dengan luas Catchment Area banjir 617 ha dengan tinggi
genangan 0,1-0,4 m dan lama genangan 2-8 jam/hari dipilih sebagai daerah
penelitian karena terdapat banyak genangan air di lokasi pusat penduduk,
perekonomian, akses jalan, dan tempat pelayanan public dan kawasan ini
merupakan daerah yang paling sering tergenang air hujan dan dilanda banjir.

Dampak dari genangan yang sangat sering terjadi sangat merugikan baik
secara langsung maupun tidak langsung ini harus ditangani, maka dari itu penulis
tertalik untuk melakukan penelitian secara mendalam dengan mengajukan judul
tugas akhir “Evaluasi Sistem Drainase Dalam Upaya Menganggulangi Banjir
di Distrik Sentani Kabupaten Jayapura” yang diharapkan dapat
mengidentifikasi permasalahan banjir dan genangan di Distrik Sentani dengan

2
meninjau kembali kinerja drainase yang ada dan menemukan alternatif
pengendalian banjir yang tepat.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian dari latar belakang penelitian tersebut, maka yang
permasalahan adalah sebagai berikut :

1. Apakah penyebab terjadinya banjir dan genangan pada Distrik Sentani ?


2. Bagaimana kondisi sistem drainase eksisting pada Distrik Sentani ?
3. Bagaimana perencanaan sistem drainase dalam hal ini intensitas hujan
rencana dan debit banjir rencana pada daerah penelitian ?
4. Bagaimana hasil evaluasi sistem drainase kondisi eksisting saluran di
Distrik Sentani ?
5. Apa alternatif penanggulangan banjir dan genangan berdasarkan
evaluasi sistem drainase yang ada ?

1.3 Batasan Masalah


Supaya penelitian ini lebih terarah, maka penulis membatasi masalah
masalah ini sebagai berikut :

1. Penelitian dilakukan pada saluran drainase di Kelurahan Sentani Kota,


Kelurahan Hinekombe, dan Kelurahan Dobonsolo, Distrik Sentani,
Kabupaten Jayapura.
2. Perencanaan drainase meliputi perhitungan intensitas hujan rencana dan
perhitungan debit banjir rencana pada drainase eksisting di daerah
penelitian meliputi drainase primer dan sekunder dan tidak menghitung
Rencana Anggaran Biaya (RAB)
3. Melalukan eveluasi pada kondisi eksisting sistem drainase dan tidak
melakukan perencanaan ulang.

3
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian diatas dalam permasalahan pasti mempunyai tujuan
yang ingin dicapai, sehingga akan mendapatkan hasil atau jawaban untuk
keberhasilan. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengindentifikasi penyebab terjadinya banjir di Distrik


Sentani.
2. Untuk mengidentifikasi sistem drainase eksisting yang ada di Distrik
Sentani.
3. Untuk merencanakan sistem drainase pada daerah penelitian agar
terbebas dari genangan dan banjir.
4. Untuk mengevaluasi sistem drainase dari kondisi sistem drainase
eksisting di Distrik Sentani.
5. Untuk mendapatkan alternatif penanggulangan banjir dan genangan
pada Distrik Sentani.

1.5 Manfaat Penelitian


Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai pemikiran secara ilmiah bagi pemerintah kabupaten untuk mengatasi
permasalahan drainase di kabupaten jayapura, khususnya di Distrik Sentani. Dari
hasil studi ini diharapkan dapat memberikan suatu evakuasi serta masukan bagi
pihak-pihak yang terkait atas konsis dari suatu kawasan agar dapat merencanakan
sistem drainase perkotaan terutama tentang keberadaan saluran drainase yang
baik, strategis, dan terpadu.

1.6 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan disusun agar pembahasan lebih terarah dan tetap
menjurus pada pokok permasalahan dan kerangka ini. Dalam tugas akhir ini
sebagai sitematika penulisan disusun dalam 3 Bab yang secara berurutan
menerangkan hal-hal sebagai berikut :

BAB 1 PENDAHULUAN

4
Bab ini berisi pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, dan
sistematika penulisan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini dijabarkan uraian teoritis tentang analisa sistem drainase, yang
meliputi penjelasan drainase, debit banjir rencana dan analisis hidrolika saluran
drainase.

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini dijelaskan metodologi mencakup konsep berpikir, pengambilan data,
analisa data, dan berbagai pendekatan yang dipakai dalam pelaksanaan pekerjaan.

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini membahas tentang kondisi lokasi studi dan hasil studi terdahulu yang
mencakup konsep-konsep pengendalian banjir yang sudah ada, sistem pengelolaan
drainase, dan hal lain yang berkaitan. Selain itu juga dipaparkan kondisi topografi
serta catchment area dan pola aliran drainase eksisting berdasarkan survey
lapangan terkait dan akan dilakukan analisis terhadap data yang diperoleh.
Analisis meliputi analisis hidrologi dan analisis hidraulika. Analisis hidrologi
mencakup: analisis terhadap curah hujan dengan tujuan untuk dapat melakukan
ramalan terhadap distribusi curah hujan; dan analisis debitbanjir untuk penentuan
debit banjir maksimum periode tertentu dan seterusnya. Analisis hidraulika
mencakup: analisis kapasitas saluran dan debit maksimum saluran.

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini membahas tentang kesimpulan dari butir–butir hasil analisa dan
pembahasan yang telah dilakukan. Kesimpulan juga disertai dengan rekomendasi
saran yang ditujukan untuk penelitian selanjutnya atau untuk penerapan hasil
penelitian di lapangan.

5
BAB II

LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Drainase
Drainase (drainage) yang berasal dari kata kerja ‘to drain ‘ yang berarti
mengeringkan atau mengalirkan air, adalah terminologi yang digunakan untuk
menyatakan sistem-sistem yang berkaitan dengan penanganan masalah kelebihan air,
baik di atas maupun di bawah permukaan tanah.

Menurut Halim Hasmar (2012;1) drainase secara umum didefiniskan sebagai


ilmu pengetahuan yang mempelajari usaha untuk mengalirkan air yang berlebihan
dalam suatu konteks pemanfaatan tertentu. Drainase perkotaan/terapan adalah ilmu
drainasi yang diterapkan mengkhususkan pengkajian pada kawasan perkotaan yang
erat kaitannya dengan kondisi lingkungan sosial budaya yang ada di kawasan kota.
Drainasi perkotaan/terapan merupakan system pengeringan dan pengairan air dair
wilayah perkotaan yang meliputi :

1. Pemukiman
2. Kawasan industry dan perdagangan
3. Kampus dan sekolah
4. Rumah sakit dan fasilitas umum
5. Lapangan olahraga
6. Lapangan parkir
7. Instalasi militer, listrik, telekomunikasi
8. Pelabuhan udara

Saat ini sistem drainase sudah menjadi salah satu infrastruktur perkotaan yang
sangat penting. Kualitas drainase perkotaan sangat berpengaruh dari sistem kota itu
sendiri. Beberapa pengertian drainase menurut beberapa sumber adalah sebagai
berikut :

6
a) Menurut Gunadarma (2007:3) dalam Drainase Perkotaan merupakan sistem
pengeringan dan pengaliran air dari wilayah perkotaan yang meliputi :
pemukiman, kawasan industri dan perdagangan, sekolah, rumah sakit, fasilitas
umum lainnya, lapangan olahraga, lapangan parkir, instalasi militer, instalasi
listrik dan telekomunikasi, pelabuhan udara, pelabuhan laut/sungai serta
tempat lainnya yang merupakan bagian dari sarana kota.
b) Menurut Halim Hasmar (2012:1) dalam Drainase Terapan drainase secara
umum didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari usaha untuk
mengalirkan air yang berlebihan dalam suatu konteks pemanfaatan tertentu.

2.1.1 Sejarah Perkembangan Drainase


Menurut Gunadarma (2007:1) Ilmu drainase perkotaan bermula tumbuh dari
kemampuan manusia mengenali lembah-lembah sungai yang mampu mendukung air
bagi keperluan rumah tangga, pertanian, peternakan, perikanan, transportasi, dan
kebutuhan sosial budaya.Dari siklus kemungkinan adanya gangguan air berlebih atau
air kotor.
Menurut Suripin (2004:8) Manusia sudah keberadaan air di suatu lokasi dimana
manusia bermukim, pada masa tertentu selalu terjadi keberadaan air secara berlebih
sehingga mengganggu kehidupan manusia itu sendiri. Selain daripada itu, kegiatan
manusia semakin bervariasi sehingga menghasilkan limbah kegiatan berupa air
buangan yang dapat mengganggu kualitas lingkungan hidupnya. Berangkat dari
kesadaran akan arti kenyamanan hidup sangat bergantung pada kondisi lingkungan,
maka orang mulai berusaha mengatur lingkungannya dengan cara melindungi daerah
pemukimannya dari mulai memikirkan tentang sistem pembuangan limpasan air
hujan sejak jaman Romawi kuno. Bangunan drainase perkotaan pertama kali dibuat di
Romawi berupa saluran bawah tanah yang cukup besar, yang digunakan untuk
menampung dan membuang limpasan air hujan. Sejalan dengan perkembangan kota-
kota di Eropa dan Amerika Utara, system drainse berkembang secara intensif. Pada
awalnya, system drainase dibangun hanya untuk menerima limpasan air hujan dan

7
membuangnya ke badan air hujan dan membuangnya ke badan air (receiving waters)
terdekat.
Desain dan pembangunannya belum dilakukan dengan baik. Saluran bawah
tanah yang terbuat dari batu dan bata mengalami rembesan yang cukup besar,
sehingga kapasitasnya jauh berkurang. Pada beberapa kasus, saluran tidak
mempunyai kemiringan yang cukup, sehingga air tidak lancar (stagnant) dan terjadi
genangan dalam saluran setelah terjadi hujan. Hingga saat ini pembangunan sistem
drainase semakin lama semakin banyak dengan dikarenakan kebutuhan masyarakat
yang semakin meningkat.
Oleh karena itu sampai saat ini pemerintah harus pandai-pandai membuat dan
mengatur agar sistem drainase yang dibangun tidak menimbulkan bahaya karena
bercampurnya air kotor/air limbah dengan air bersih yang akan dikonsumsi
masyarakat. Jika tidak cegah akan banyak muncul penyakit yang dapat menyerang
masyarakat sekitar. Maka dari itu sistem drainase harus dibuat terpisah karena dari
segi kesehatan juga dari segi keuntungan dan kegunaannya.
2.1.2 Fungsi Drainase
Menurut Mulyanto (2013) Dalam bukunya “Penataan Drainase Perkotaan”
fungsi drainase adalah sebagai berikut :

1. Membuang air lebih


Fungsi ini berjalan dengan mengalirkan air lebih ke tujuan akhirnya
yaitu perairan bebas yang dapat berupa sungai, danau maupun laut, ke
dalamnya air lebih ini dapat dialirkan. Ini merupakan fungsi utama untuk
mencegah menggenangnya air pada lahan perkotaan maupun di dalam
parit-parit (saluran-saluran) yang menjadi bagian dari sistem drainase.
2. Mengangkut limbah dan mencuci polusi dari daerah perkotaan
Di atas lahan perkotaan tertumpuk bahan polutan berupa debu dan
sampah organik yang berpotensi mencemari lingkungan hidup. Oleh air
hujan yang jatuh, polutan akan terbawa ke dalam sistem drainase dan

8
dialirkan pergi sambil dinetralisir secara alami. Secara alami suatu badan
air seperti sungai, saluran drainase mempunyai kemampuan untuk
menetralisasi cemaran yang memasuki/terbawa alirannya dalam jumlah
terbatas/batas-batas tertentu menjadi zat-zat anorganik yang tidak
berbahaya/ tidak mencemari lingkungan.
3. Mengatur arah & kecepatan aliran
Air buangan berupa air hujan dan limbah harus diatur alirannya
melewati sistem drainase dan diarahkan ke tempat penampungan akhir atau
perairan beban di mana sistem drainase bermuara. Arah aliran akan
ditentukan melewati sistem drainase sehingga tidak menimbulkan
kekumuhan. Disamping itu kecepatan alirannya dapat diatur sebaik
mungkin sehingga tidak akan terjadi penggerusan atau pengendapan pada
saluran-saluran drainase.
4. Mengatur elevasi muka air tanah
Pada kondisi muka air tanah dangkal, daya serap lahan terhadap hujan
kecil dan dapat menambah potensi banjir. Muka air tanah yang dalam akan
menyulitkan tetumbuhan penghijauan kota untuk menyerapnya khususnya
pada musim kemarau tetapi daya serap terhadap hujan tinggi. Disamping
itu kalau terjadi penurunan muka air tanah akan terjadi pemadatan atau
subsidensi yaitu menurunnya muka tanah di atas muka air tanah.
Pemadatan ini disebabkan ruang antar butir dalam tanah yang tadinya terisi
air akan menjadi kosong sehingga tanah memadat.
5. Menjadi sumber daya air alternatif
Makin bertambahnya kebutuhan akan air makin dibutuhkannya
sumberdaya air. Daur ulang air dari sistem drainase dapat menjadi
alternatif pemenuhan akan sumberdaya air dengan beberapa syarat.
6. Di daerah pebukitan sistem drainase menjadi salah satu prasarana
mencegah erosi dan gangguan stabilitas lereng. Run off permukaan
akibat hujan yang jatuh pada daerah pebukitan akan mengalir dengan

9
kecepatan tinggi kalau tidak mengalami hambatan cukup dan menimbulkan
erosi permukaan. Untuk mengendalikannya diperlukan pembuatan sistem
drainase teknis bagi menata aliran run off permukaan maupun aliran di
dalam saluran.

2.1.3 Sistem Drainase Perkotaan


Sistem drainase pokok mencakup sungai dan saluran alami, saluran
pembuangan, dataran penampung banjir dan jalan utama. Sistem drainase pokok
harus mempunyai kapasitas cukup untuk melayani banjir-banjir sungai dan saluran
dengan daerah lebih dari 100 Ha, dengan masa ulang 10 tahun. Seperti yang tertera
pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1: Kriteria desain hidrologi sistem drainase perkotaan (Suripin,


2004).

Luas DAS (ha) Periode Ulang (tahun) Metode Perhitungan


Debit Banjir
< 10 2 Rasional
10 – 100 2– 5 Rasional
101 – 500 5–20 Rasional
> 500 10 – 25 Hidrograf satuan

2.1.3.1 Sistem yang hanya melayani pembuangan bagi air hujan saja (storm
drainage)
Menurut Mulyanto (2012:10) dalam bukunya “Penataan Draianse Perkotaan”
System ini direncanakan dengan kapasitas cukup untuk mengevakuasi air hujan
dengan frekuensi yang direncanakan. Penentuan frekuensi di bawah ini tergantung
dari kondisi lokal setempat dan pada keyakinan perencanannya tetapi juga
dipertimbangkan biaya pembuatan sistem drainase

10
a) Daerah pemukiman curah hujan yang harus dievakuasi dari frekuensi
maksimum 5 tahunan
b) Bagi daerah komersial diambil frekuensi curah hujan maksimum 10
tahunan yang harus dapat dievakuasi
c) Untuk daerah industri diambil frekuensi curah hujan maksimum 10 tahunan
yang harus dapat dievakuasi

Pada daerah dengan dua musim yang sangat berbeda, musim hujan dan
kemarau keberadaan sistem drainase ini nampak seperti suatu pemborosan karena
akan kering pada musim kemarau. tetapi dengan system ini pencemaran ke dalam air

tanah dapat sangat dibatasi. Air tanah masih menjadi sumber daya air yang sangat
penting di daerah perkotaan dan pedesaan di lndonesia. Untuk memberikan nilai
lebih, system ini dapat diberi fungsi tambahan sebagai system pengisian ulang air
tanah apabila terdapat sumberdaya air yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan
tersebut misalnya dengan mengalirkan air sungai di dekat perkotaan ke daerah
perkotaan untuk mengisi air tanah.

Keuntungan sistem drainase air hujan ini mudah dibuat dan dibersihkan
Kerugiannya adalah memerlukan lahan dengan luasan yang cukup besar, mudah
kemasukan dan dimasuki limbah khususnya sampah perkotaan

2.1.3.2 Sistem Drainase Untuk Air Limbah


Sistem ini melayani penampungan dan pembuangan air limbah perkotaan
untuk kemudian dialirkan ke dalam sebuah instalasi pengolah air limbah (IPAL). Di
dalam IPAL air limbah akan diproses untuk diturunkan tingkat kandungan bahan
pencemarnya agar memenuhi ketentuan tentang baku mutu air agar kemudian dapat
dialirkan ke dalam perairan bebas. Sistem drainase untuk air limbah ini biasanya
dibuat tertutup/tertanam di bawah permukaan tanah.
Keuntungannya:
- tidak menimbulkan pencemaran

11
- tidak mengganggu estetika
- dibuat kedap air agar air di dalamnya tidak meresap ke luar dan
mencemari air tanah.
Kerugiannya :

- Lebih mahal biaya pembuatannya.


- Sukar dibersihkan dan dipelihara. Di dalam saluran tertutup lebih
banyak terjadi proses pembusukan anaerobik yang menimbulkan gas-
gas beracun yang berbahaya bagi para pemelihara saluran yang
memasukinya. Gas-gas ini bersifat mudah terbakar, sehingga bila
terjadi konsentrasi pekat di dalam saluran akan dapat menimbulkan
ledakan apabila terpercik api.
- Untuk memudahkannya, pada interval panjang tertentu (20-25m) dari
panjang saluran dibuat lubang masuk (man hole) bagi jalan akses
masuknya para pekerja pemelihara sistem drainase serta untuk secara
periodik dibuka untuk melepaskan gas-gas volatile (mudah terbakar)
seperti metan, yang terbentuk karena proses anaerobik agar tidak
menimbulkan bahaya peledakan maupun peracunan
- Saluran-saluran tertutup dapat menjadi sarang dan tempat berbiaknya
tikus yang membahayakan kesehatan dan dapat menimbulkan
kerusakan.

Pemisahan sistem drainase menjadi dua macam tersebut mempunyai


konsekuensi menjadi mahalnya pembuatan, operasi dan pemeliharaannya.
Keuntungannya adalah kota menjadi lebih sehat nampak lebih bersih dan rapi.

2.1.3.3 Sistem Gabungan


Optimalisasi dari keuntungan dan kerugian dua system terpisah, yaitu
membuat sistem drainase gabungan seperti yang ada di lndonesia. System ini dibuat
terbuka untuk memudahkan pembersihannya tetapi efek sampingnya malah

12
merangsang masyarakat memanfaatkannya sebagai tempat rnembuang limbah baik
cair maupun padat yang menimbulkan gangguan terhadap kinerjanya. Disamping itu
air buangan dari system gabungan ini ketika dibuang memasuki perairan bebas masih
mengandung limbah/pencemar dengan kadar yang tinggi dan membahayakan
keseimbangan lingkungan hidup.

2.1.4 Jenis Drainase


2.1.4.1 Menurut Sejarah Terbentuknya
a. Drainase Alamiah ( Natural Drainage)
Drainase yang terbentuk secara alami dan tidak terdapat bangunan-
bangunan penunjang seperti bangunan pelimpah,pasangan batu/beton,gorong-
gorong dan lain-lain. Saluran ini terbentuk oleh gravitasi yang lambat laun
membentuk jalan air yang permanen seperti sungai.

Gambar 2.1. Drainase Alamiah

Sumber : (diunduh dari Google 03 Maret 2021, 18.10 WIT)

b. Drainase Buatan (Artificial Drainage)


Drainase yang dibuat dengan maksud dan tujuan tertentu sehingga
memerlukan bangunan-bangunan khusus seperti selokan pasangan
batu/beton, gorong-gorong, pipa-pipa dan sebagainya.

13
Gambar 2.2. Drainase Buatan
Sumber : (digambar dengan autocad 02 Maret 2022 21.35 WIT)

2.1.4.2 Menurut Letak Bangunan


a. Drainase Permukaan Tanah (Surface Drainage)
Saluran drainase yang berada di atas permukaan tanah yang berfungsi
mengalirkan air limpasan permukaan. Analisa alirannya merupakan analisa
open channel flow
b. Drainase Bawah Permukaan Tanah (Subsurface Drainage)
Saluran drainase yang bertujuan mengalirkan air limpasan permukaan melalui
media di bawah permukaan tanah (pipa-pipa), dikarenakan alasan- alasan
tertentu. Alasan itu antara lain : tuntutan artistik , tuntutan fungsi permukaan
tanah yang tidak membolehkan adanya saluran di permukaan tanah seperti
lapangan sepak bola, lapangan terbang, taman,dan lain-lain.

2.1.4.3 Menurut Fungsinya


Fungsi drainase antara lain sebagai berikut :
a. Single Purpose yaitu saluran yang berfungsi mengalirkan satu jenis buangan,
misalnya air hujan saja atau jenis air buangan yang lainnya seperti limbah
domestik, air limbah industri dan lain-lain.
b. Multi Purpose yaitu saluran yang berfungsi mengalirkan bebrapa jenis air
buangan baik secara bercampur maupun bergantian

14
2.1.4.4 Menurut Konstruksi
a. Saluran Terbuka, yaitu saluran yang lebih cocok untuk drainase air hujan
yang terletak di daerah yang mempunyai luasan yang cukup, ataupun untuk
drainase air non-hujan yang tidak membahayakan kesehatan/mengganggu
lingkungan.
b. Saluran Tertutup, yaitu saluran yang pada umumnya sering dipakai untuk
saluran air kotor (air yang mengganggu kesehatan/lingkungan ) atau untuk
saluran yang terletak di tengah kota.

2.1.4.5 Drainase Perkotaan Berdasarkan Fungsi Layanan


a. Sistem Drainase Lokal
Yang termasuk sistem drainase lokal adalah saluran awal yang melayani suatu
kawasan kota tertentu seperti kompleks permukiman, area pasar, perkantoran,
areal industri dan komersial. Sistem ini melayani areal kurang dari 10 ha.
Pengelolaan sistem drainase lokal menjadi tanggung jawab masyarakat,
pengembang, atau instansi lainnya.
b. Sistem Drainase Utama
Yang termasuk dalam sistem drainase utama adalah saluran drainase primer,
sekunder, tersier, beserta bangunan pelengkapnya yang melayani kepentingan
sebagian besar warga masyarakat. Pengelolaan sistem drainase utama
merupakan tanggung jawab pemerintah kota.
c. Pengendalian Banjir (Flood Control)
Sungai yang melalui kota yang berfungsi mengendalikan air sungai, sehingga
tidak mengganggu dan dapat memberi manfaat bagi kehidupan masyarakat.
Pengelolaan pengendalian menjadi tanggung jawab Direktorat Jendral Sumber
Daya Air.

15
2.1.4.6 Pola Jaringan Drainase
1. Siku
Pola jaringan ini dibuat pada daerah yang mempunyai topografi sedikit
lebih tinggi dari sungai yang berada kota dijadikan sebagai saluran
pembuang akhir.

Gambar 2. 1 Salura siku (Sukarto, 1999).

2. Paralel
Pada jaringan paralel, saluran utama terletak sejajar dengan saluran
cabang. Apabila terjadi perkembangan kota, saluran-saluran akan dapat
menyesuaikan diri.

Gambar 2. 2 Saluran Parallel (Sukarto, 1999)

16
3. Grid Iron
Pola jaringan grid iron untuk daerah sungai terletak di pinggir kota,
sehingga saluran-saluran cabang dikumpulkan dahulu pada saluran
pengumpul.

Gambar 2. 3 Saluran grid iron (Sukarto, 1999).


4.
Alamiah
Pola jaringan ini dibuat pada daerah yang mempunyai topografi sedikit
lebih tinggi dan beban dari sungai pada pola jaringan alamiah lebih
besar. Sungai yang berada di tengah kota dijadikan sebagai saluran
pembuangan akhir.

Gambar 2. 4 Saluran alamiah (Sukarto, 1999).

17
5. Radial
Pola jaringan radial berada pada daerah yang berbukit, sehingga pola
saluran tersebut memencar ke segala arah.

Gambar 2. 5 Saluran radial (Sukarto, 1999)

6. Jaring-Jaring
Pola jaringan jaring-jaring mempunyai saluran-saluran pembuang yang
mengikuti arah jalan raya, sehingga cocok untuk daerah topografi datar.

Gambar 2. 6 Saluran jaring-jaring (Sukarto, 1999)

18
2.2 Banjir
Banjir merupakan suatu kondisi yang tidak dapat menampung air di saluran
Pemborosan (waktu) atau halangan aliran air di pipa pembuangan. ("Sistem Drainase
Perkotaan Berkelanjutan", 2004). banjir Ini adalah peristiwa alam yang dapat
menyebabkan kerusakan properti Populasi yang besar juga dapat menimbulkan
korban jiwa. Dikatakan banjir apabila terjadi luapan atau jebolan dan air banjir,
disebabkan oleh kurangnya kapasitas penampang saluran pembuang. Banjir di bagian
hulu biasanya arus banjirnya deras, daya gerusnya besar, tetapi durasinya pendek.
Sedangkan di bagian hilir arusnya tidak deras (karena landai), tetapi durasi banjirnya
panjang (Robert J. Kodoatie, Sugiyanto, 2001).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), banjir adalah berair banyak dan
deras, kadang-kadang meluap (tentang kali dan sebagainya). Banjir juga dapat
diartikan peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya kering) karena volume air
yang meningkat. Menurut Encyclopaedia Britannica, banjir adalah tahap air tinggi di
mana air meluap ke tepi alami atau buatan ke tanah yang biasanya kering. Dikutip
dari situs BNPB, banjir adalah peristiwa atau kejadian alami di mana sebidang tanah
atau area yang biasanya merupakan lahan kering, tiba-tiba terendam air karena
volume airBanjir dapat terjadi ketika pencairan salju atau limpasan hujan tidak dapat
disalurkan dengan tepat ke sistem drainase yang berakibat air mengalir ke daratan.
Penyumbatan drainase atau kurang tepatnya sistem drainase biasanya menjadi
penyebab banjir jenis ini. Daerah yang terjadi penyumbatan drainase akan tetap banjir
sampai sistem air hujan atau saluran air diperbaiki.

Maka dari beberapa pendapat mengenai definisi banjir dapat ditarik kesimpulan
bahwa banjir adalah suatu bencana alam yang terjadi karena meluapnya sejumlah
debit air dari sungai yang dikarenakan tingginya intensitas 6

curah hujan pada suatu daerah sehingga penampang yang ada tidak mampu lagi
menampung sejumlah debit air yang datang dari saluran drainase yang bermuara pada

19
sungai tersebut. Kesalahan pada sistem drainase juga mengakibatkan banjir di
perkotaan tidak kunjung selesai meningkat.

2.2.1 Jenis-Jenis Banjir


Banjir dibedakan atas peristiwanya:

1. Peristiwa banjir atau genangan yang terjadi pada daerah yang biasanya terjadi
banjir.
2. Peristiwa banjir terjadi karena limpasan air dari sungai, karena debit air tidak
mampu dialirkan oleh aliran sungai atau debit air lebih besar dari kapasitas
pengaliran sungai yang ada.

Peristiwa banjir sendiri tidak terjadi permasalahan, apabila tidak


mengganggu terhadap aktivitas dan kepentingan manusia dan permasalahan itu
timbul setelah manusia melakukan kegiatan pada daerah dataran banjir, untuk
mengurangi kerugian akibat banjir.

2.2.2 Faktor Penyebab Banjir


Banyak faktor menjadi penyebab terjadinya banjir. Namun secara umum
penyebab terjadinya banjir dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu banjir yang
disebabkan oleh sebab-sebab alami dan banjir yang diakibatkan oleh tindakan
manusia. Yang termasuk sebab-sebab alami di antaranya adalah:

1. Curah hujan
Curah hujan dapat mengakibatkan banjir apabila turun dengan intensitas
tinggi, durasi lama, dan terjadi pada daerah yang luas.
2. Pengaruh Fisiografi
Fisiografi atau geografi fisik sungai seperti bentuk, fungsi dan kemiringan
daerah pengaliran sungai (DPS), kemiringan sungai, geometrik hidrolik
(bentuk penampang seperti lebar, kedalaman, potongan memanjang, material
dasar sungai), dan lokasi sungai merupakan hal-hal yang mempengaruhi
terjadinya banjir.

20
3. Erosi dan Sedimentasi
Erosi dan sedimentasi di DPS berpengaruh terhadap pengurangan kapasitas
penampang sungai. Erosi dan sedimentasi menjadi problem klasik sungai-
sungai di Indonesia. Besarnya sedimentasi akan mengurangi kapasitas saluran,
sehingga timbul genangan dan banjir di sungai.
4. Menurunnya Kapasitas Sungai
Pengurangan kapasitas aliran banjir pada sungai dapat disebabkan oleh
pengendapan yang berasal dari erosi DPS dan erosi tanggul sungai yang
berlebihan dan sedimentasi di sungai yang dikarenakan tidak adanya vegetasi
penutup dan penggunaan lahan yang tidak tepat.
5. Pengaruh Air Pasang
Air pasang laut memperlambat aliran sungai ke laut. Pada waktu banjir
bersamaan dengan air pasang yang tinggi maka tinggi genangan atau banjir
menjadi besar karena terjadi aliran balik (back water). Contoh ini terjadi di
Kota Semarang dan Jakarta. Genangan ini dapat terjadi sepanjang tahun baik
di musim hujan dan maupun di musim kemarau.
6. Kapasitas Drainase Yang Tidak Memadai
Hampir semua kota-kota di Indonesia mempunyai drainase daerah
genangan yang tidak memadai, sehingga kota-kota tersebut sering menjadi
langganan banjir di musim hujan.

2.3 Genangan
Genangan adalah peristiwa manakala kawasan dipenuhi air karena tidak ada
drainase yang mengalirkan air tersebut keluar kawasan (Sobirin, 2007). Genangan
berhubungan erat dengan resapan dan saluran drainase. Genangan didefinisikan
sebagai sekumpulan air yang berhenti mengalir di tempat yang bukan merupakan
badan air.

21
2.4 Analisa Hidrologi
Analisa Hidrologi merupakan bidang yang sangat rumit dan kompleks. Hal ini
disebabkan oleh ketidakpastian dalam hidrologi, keterbatasan teori, dan rekaman
data, dan keterbatasan ekonomi. Hujan adalah kejadian yang tidak dapat diprediksi.
Artinya, kita tidak dapat memprediksi secara pasti seberapa besar hujan yang akan
terjadi pada suatu periode waktu (Suripin, 2004).

2.4.1 Siklus Hidrologi


Siklus hidrologi dimulai dengan penguapan air dari laut. Uap yang dihasilkan
dibawa oleh udara yang bergerak. Dalam kondisi yang memungkinkan, uap air
tersebut terkondensasi membentuk awan, dan pada akhirnya dapat menghasilkan
presipitasi. Presipitasi yang jatuh ke bumi menyebar dengan arah yang berbeda-beda
dalam beberapa cara. Sebagian besar dari presipitasi tersebut untuk sementara
tertahan pada tanah di dekat tempat ia jatuh, dan akhirnya dikembalikan lagi ke
atmosfer oleh penguapan (evaporasi) dan pemeluhan (transpirasi) oleh tanaman
(Hisbulloh, 1995).

Gambar 2. 7 Siklus Hidrologi

22
(Sumber : Google 04 Maret 2022 19.02 WIT)

Sebagian air mencari jalannya sendiri melalui permukaan dan bagian atas tanah
menuju sungai, sementara lainnya menembus masuk lebih jauh ke dalam tanah
menjadi bagian dari air-tanah (groundwater). Dibawah pengaruh gaya gravitasi, baik
aliran air-permukaan (surface streamflow) maupun air dalam tanah bergerak menuju
tempat yang lebih rendah yang akhirnya dapat mengalir ke laut. Namun, sebagian
besar air permukaan dan air bawah tanah dikembalikan ke atmosfer oleh penguapan
dan pemeluhan (transpirasi) sebelum sampai ke laut (JR dan Paulhus, 1986).

2.4.2 Analisa Frekuensi Curah Hujan Harian Maksimum


Sistem hidrologi kadang-kadang dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang
luar biasa (ekstrim), seperti hujan lebat, banjir, dan kekeringan. Tujuan Analisis
Frekuensi Curah Hujan adalah berkaitan dengan besaran peristiwa-peristiwa ekstrim
yang berkaitan dengan frekuensi kejadiannya melalui penerapan distribusi
kemungkinan. Analisis Frekuensi diperlukan seri data hujan yang diperoleh dari pos
penakar hujan, baik yang manual maupun yang otomatis.
Frekuensi Hujan adalah besarnya kemungkinan suatu besaran hujan disamai
atau dilampaui. Sedangkan, kala ulang (return period) adalah waktu hipotetik dimana
hujan dengan suatu besaran tertentu akan disamai atau dilampaui. Dalam hal ini tidak
terkandung pengertian bahwa kejadian tersebut akan berulang secara teratur setiap
kala ulang tersebut (Suripin, 2004).
Untuk analisis diperlukan seri data hujan yang diperoleh dari pos penakaran
hujan, baik secara manual maupun otomatis. Analisis frekuensi ini didasarkan pada
sifat statistik data kejadian yang telah lalu untuk memperoleh probabilitas besaran
hujan dimasa yang akan datang. Dengan anggapan bahwa sifat statistik kejadian
hujan yang akan datang masih sama dengan sifat statistik kejadian hujan dimasa lalu.
Berdasarkan pengalaman yang ada, penggunaan periode ulang digunakan
untuk perencanaan (Wesli, 2008) :
• Saluran tersier : Periode ulang 2 tahun.

23
• Saluran sekunder : Periode ulang 5 tahun.
• Saluran primer : Periode ulang 10 tahun.
Berdasarkan prinsip dalam penyelesaian masalah drainase berdasarkan aspek
hidrologi, sebelum dilakukan analisis frekuensi untuk mendapatkan besaran hujan
rencana dengan kala ulang tertentu harus dipersiapkan data hujan berdasarkan pada
durasi harian, jam dan menit.
Dalam analisa curah hujan untuk menentukan debit banjir rencana, data curah
hujan yang dipergunakan adalah curah hujan maksimum tahunan. Hujan rata-rata
yang diperoleh dengan cara ini dianggap similar (mendekati) hujan-hujan terbesar
yang terjadi. Untuk perhitungan curah hujan rencana digunakan Distribusi Log
Normal, Distribusi Log Pearson III dan Distribusi Gumbel. Setelah didapat curah
hujan rencana dari ke empat metode tersebut, maka diambil yang paling ekstrim yang
digunakan nantinya pada debit rencana.

2.4.3 Analisa Hujan Rencana


Hujan merupakan komponen yang sangat penting dalam analisis hidologi.
Pengukuran hujan dilakukan selama 24 jam baik secara manual maupun otomatis,
dengan cara ini berarti hujan yang diketahui adalah hujan total yang terjadi selama
satu hari. Dalam analisa digunakan curah hujan rencana, hujan rencana yang
dimaksud adalah hujan harian maksimum yang akan digunakan untuk menghitung
intensitas hujan, kemudian intensitas ini digunakan untuk mengestimasi debit
rencana. Untuk berbagai kepentingan perancangan drainase tertentu data hujan yang
diperlukan tidak hanya data hujan harian, tetapi juga distribusi jam atau menit. Hal ini
akan membawa konsekuen dalam pemilihan data, dan dianjurkan untuk
menggunakan data hujan hasil pengukuran dengan alat ukur otomatis. Dalam
perencanaan saluran drainase periode ulang (return periode) yang dipergunakan
tergantung dari fungsi saluran serta daerah tangkapan hujan yang akan dikeringkan.
Dalam pemilihan suatu teknik analisis penentuan banjir rencana tergantung dari data-

24
data yang tersedia dan macam dari bangunan air yang akan dibangun (Soewarno,
1995).

a. Analisa Frekuansi Curah Hujan


Analisa frekuensi adalah prosedur memperkirakan frekuensi suatu
kejadian pada masa lalu ataupun masa yang akan datang. Prosedur tersebut
dapat digunakan menentukan hujan rancangan dalam berbagai kala ulang
berdasarkan distribusi hujan secara teoritis dengan distribusi hujan secara
empiris. Hujan rancangan ini digunakan untuk menentukan intensitas hujan
yang diperlukan dalam memperkirakan laju aliran puncak (debit banjir).
Langkah-langkah analisa frekuensi tersebut adalah:
1. Menentukan curah hujan harian maksimum merata untuk tiap-tiap tahun
data.
2. Menentukan parameter statistik dari data yang telah diurutkan dari besar
ke kecil, yaitu: Mean, Standart Deviation, Coeffisient of Variation,
Coeffisient of Skewness, Coeffisient of Kurtosis.
3. Menentukan jenis distribusi yang sesuai berdasarkan parameter yang
ada.

b. Analisa Frekuensi
Dari curah hujan rata-rata dari berbagai stasiun yang ada di daerah aliran
sungai selanjutnya dianalisis secara statistik untuk mendapatkan pola sebaran
dengan pola sebaran data curah hujan rata-rata (Soewarno, 1995).
1. Standar Deviasi (S)
Perhitungan standar deviasi digunakan rumus sebagai berikut:


n

∑ ( Xi−X )2 (2.1)
i=1
S=
n−1
Dimana:

25
S = Deviasi standar curah hujan
X = Nilai rata-rata curah hujan
Xi = Nilai pengukuran dari suatu curah hujan ke-i
n = Jumlah data curah hujan

2. Koefisien Variasi (Cv)


Koefisien variasi (variation coeffisient) adalah nilai perbandingan
antara deviasi standar dengan nilai rata-rata hitung dari suatu
distribusi. Perhitungan koefisien variasi digunakan rumus sebagai
berikut:
s
Cv= (2.2)
x
Dimana:
Cv = Koefisien varasi
S = Deviasi standar
X = Nilai rata-rata varian
Dari nilai-nilai diatas, kemudian dilakukan pemilihan jenis sebaran yaitu
dengan membandingkan koefisien distribusi dari metode yang akan
digunakan.

3. Koefisien Skewness (Cs)


Kemencengan (skewness) adalah suatu nilai yang menunjukkan
Derajat ketidaksimetrisan (assymetry) dari suatu bentuk distribusi.
Perhitungan koefisien skewness digunakan rumus sebagai berikut:
n
n ∑ (Xi−X )²
i=1 (2.3)
Cs=
( n−1 ) ( n−2 ) S ³
Dimana:
Cs = Kosfisien skewness

26
Xi = Nilai varian ke-i
X = Nilai rata-rata
N = Jumlah data
S = Deviasi standar

4. Pengukur Kurtosis
Pengukuran kurtosis dimaksudkan untuk mengukur keruncingan dari
bentukkurva disribusi, yang umumnya dibandingkan dengan distribusi
normal yang mempunyai Ck = 3 yang dinamakan mesokurtik, Ck < 3
berpuncak tajam yang dinamakan leptokurtic, sedangkan Ck > 3
berpuncak datar dimanakan platikurtik. Perhitungan kurtosis dilakukan
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
n
1
∑ (Xi− X)4
n i =1 (2.4)
Cs= 4
S
Dimana :
Ck = Koefisien kurtoris curah hujan
n = Jumlah data curah hujan
X = Nilai rata-rata dari sampel
Xi = Curah hujan ke – i
S = Standar Deviasi

2.4.4 Distribusi Frekuensi


Distribusi frekuensi digunakan untuk memperoleh probabilitas besaran curah
hujan rencana dalam berbagai periode ulang. Dasar perhitungan distribusi frekuensi
adalah parameter yang berkaitan dengan analisis data yang meliputi rata-rata,
simpangan baku, koefisien variasi, dan koefisien skewness (kocondongan atau
kemencengan).

27
Dalam ilmu statistik dikenl beberapa macam distribusi frekuensi yang banyak
digunakan dalam bidang hidrologi. Berikut ini beberapa jenis distribusi frekuensi
yang digunakan dalam penelitian ini:

• Distribusi Gumbel.
• Distribusi Log Pearson Type III.
1. Distribusi Gumbel
Gumbel merupakan harga ekstrim untuk menunjukkan bahwa dalam deret
harga-harga ekstrim X1, X2, X3,...., Xn mempunyai fungsi distribusi
eksponensial ganda. Apabila jumlah populasi yang terbatas (sampel),
maka dapat didekati dengan (pers 2.5).
XT = X + S x K (2.5)
Dimana:
XT = Hujan tencana atau debit dengan periode ulang T
X = Harga rata-rata sampel dari data hujan
S = Standar deviasi (simpangan baku) sampel
K = Faktor frekuensi Gumbel

Faktor probabilitas K untuk harga-harga ekstrim Gumbel dapat dinyatakan


dalam (pers 2.6).
Y Tr −Yn
K= (2.6)
Sn
Dimana :
K = Faktor frekuensi Gumbel
Yn = Reduced mean yang tergantung jumlah sampel/data ke-n
Sn = Reduced standard deviation, yang juga tergantung pada jumlah
sampel/data ke-n
Y Tr = Reduced variated, yang dapat dihitung dengan persamaan berikut ini

28
Y Tr =−¿
{ −¿ T R −1
TR } (2.7)

Tabel 2.1: Reduced mean, Yn ( Suripin, 2004).

N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0.49 0.49 0.50 0.50 0.51 0.51 0.51 0.51 0.52 0.52
20 0.52 0.52 0.52 0.52 0.52 0.53 0.53 0.53 0.53 0.53
30 0.53 0.53 0.53 0.53 0.53 0.54 0.54 0.54 0.54 0.53
40 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54
50 0.54 0.54 0.54 0.54 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55
60 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55
70 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55
80 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55
90 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55
100 0.56 0.56 0.56 0.56 0.56 0.56 0.56 0.56 0.55 0.56

Tabel 2.2: Reduced standard deviation, Sn ( Suripin, 2004).

N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0.94 0.96 0.99 0.99 1.00 1.02 1.03 1.04 1.04 1.05
20 1.06 1.06 1.07 1.08 1.08 1.09 1.09 1.10 1.10 1.10
30 1.11 1.11 1.11 1.12 1.12 1.12 1.13 1.13 1.13 1.13
40 1.14 1.14 1.14 1.14 1.14 1.15 1.15 1.15 1.15 1.15
50 1.10 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.17 1.17 1.17
60 1.17 1.17 1.17 1.17 1.17 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18
70 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.19 1.19 1.19 1.19
80 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.20
90 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20

29
100 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20

Tabel 2.3: Reduced variate (Y Tr ) sebagai fungsi periode ulang Gumbel


(Suripin,2004).
Periode Ulang, Reduced Variate, Periode Ulang, Reduced Variate,
Tr Tr

2 0.3668 100 4.6012


5 1.5004 200 5.2969
10 2.251 250 5.5206
20 2.9709 500 6.2149
25 3.1993 1000 6.9087
50 3.9028 5000 8.5188
75 4.3117 10000 9.2121

Substitusikan pers. (2.8) ke dalam pers. (2.9), maka akan didapat


persamaan berikut:

Y Tr +Y n
X Tr =X + S (2.8)
Sn
Y n S Y Tr S
¿ X− + (2.9)
Sn Sn
Atau :
1
X Tr =b+ Y Tr (2.10)
a
Dimana :
Sn Y S
a= dan b=X − n (2.11)
s Sn

2. Distribusi Log Pearson Type III

30
Salah satu distribusi dari serangkaian distribusi yang dikembangkan
Pearson yang menjadi perhatian ahli sumber daya air adalah Log Pearson
III. Ada tiga parameter penting dalam Log Pearson Type III, yaitu:

a. Harga rata-rata.
b. Simpangan baku.
c. Koefisien Kemencengan.

Yang menarik, jika koefisien kemencengan sama dengan nol, distribusi


kembali ke distribusi Log Normal. Berikut ini langkah-langkah
penggunaan distribusi Log Pearson Type III, yaitu:
Ubah data kedalam bentuk logiritmis, X = log X
- Hitung harga rata-rata
n

∑ log Xi (2.12)
i=1
log X =
n
- Hitung harga simpangan baku
S=¿ ¿ (2.13)
- Hitungan Koefisien Kemencengan
n

∑ ( x¿¿ i¿3−x)3 (2.14)


G=n i=1 ¿¿
( n−1 ) ( n−2 ) s3
- Hitung logaritma hujan atau banjir dengan periode ulang T dengan
rumus :
log X T =log X+ K . S (2.15)
K adalah variabel standar (standardized variable) untuk X yang
besarnya tergantung koefesien kemencengan G ( lihat Tabel 2.4).
Tabel 2.4: Nilai K untuk distribusi Log Pearson Type III (Suripin,
2004).

31
Interval Kejadian (Recurrence Interval), Tahun (Periode Ulang)
10,101 12,500 2 5 10 25 50 100
K oef
Persentase Peluang Terlampaui (Percent Chance Of Being Exceeded)
.G
99 80 50 20 10 4 2 1
3 .0 -0 .6 6 7 -0 .6 3 6 -0 .3 9 6 0 .4 2 0 1 ,1 8 0 2 ,2 7 8 3 ,1 5 2 4 ,0 5 1
2 .8 -0 .7 1 4 -0 .6 6 6 -0 .3 8 4 0 .4 6 0 1 ,2 1 0 2 ,2 7 5 3 ,1 4 4 3 ,9 7 3
2 .6 -0 .7 6 9 -0 .6 9 6 -0 .3 6 8 0 .4 9 9 1 ,2 3 8 2 ,2 6 7 3 ,0 7 1 2 ,8 8 9
2 .4 -0 .8 3 2 -0 .7 2 5 -0 .3 5 1 0 .5 3 7 1 ,2 6 2 2 ,2 5 6 3 ,0 2 3 3 ,8 0 0
2 .2 -0 .9 0 5 -0 .7 5 2 -0 .3 3 0 0 .5 7 4 1 ,2 8 4 2 ,2 4 0 2 ,9 7 0 3 ,7 0 5
2 .0 -0 .9 9 0 -0 .7 7 7 -0 .3 0 7 0 .6 0 9 1 ,3 0 2 2 ,2 1 9 2 ,1 9 2 3 ,6 0 5
1 .8 -1 .0 8 7 -0 .7 9 9 -0 .2 8 2 0 .6 4 3 1 ,3 1 8 2 ,1 9 3 2 ,8 4 8 3 ,4 9 9

32
Tabel 2.4: Lanjutan
Interval Kejadian (Recurrence Interval), Tahun (Periode Ulang)
1 0 ,1 0 1 1 2 ,5 0 0 2 5 10 25 50 100
Koef
Persentase Peluang Terlampaui (Percent Chance Of Being Exceeded)
.G
99 80 50 20 10 4 2 1
1 .6 -1 .1 9 7 -0 .8 1 7 -0 .2 5 4 0 .6 7 5 1 ,3 2 9 2 ,1 6 3 2 ,7 8 0 3 ,3 8 8
1 .4 -1 .3 1 8 -0 .8 3 2 -0 .2 2 5 0 .7 0 5 1 ,3 3 7 2 ,1 2 8 2 ,0 7 6 3 ,2 7 1
1 .2 -1 .4 4 9 -0 .8 4 4 -0 .1 9 5 0 .7 3 2 1 ,3 4 0 2 ,0 8 7 2 ,6 2 6 3 ,1 4 9
1 .0 -1 .5 8 8 -0 .8 5 2 -0 .1 6 4 0 .7 5 8 1 ,3 4 0 2 ,0 4 3 2 ,5 4 2 3 ,0 2 2
0 .8 -1 .7 3 3 -0 .8 5 6 -0 .1 3 2 0 .7 8 0 1 ,3 3 6 1 ,9 9 3 2 ,4 5 3 2 ,8 9 1
0 .6 -1 .8 8 0 -0 .8 5 7 -0 .0 9 9 0 .8 0 0 1 ,3 2 8 1 ,9 3 9 2 ,3 5 9 2 ,7 5 5
0 .4 -2 .0 2 9 -0 .8 5 5 -0 .0 6 6 0 .8 1 6 1 ,3 1 7 1 ,8 8 0 2 ,2 6 1 2 ,6 1 5
0 .2 -2 .1 7 8 -0 .8 5 0 -0 .0 3 3 0 .8 3 0 1 ,3 0 1 1 ,8 1 8 2 ,1 5 9 2 ,4 7 2
0 .0 -2 .3 2 6 -0 .8 4 2 0 .0 0 0 0 .8 4 2 1 ,2 8 2 1 ,7 1 5 2 ,0 5 1 2 ,3 2 6
-0 .2 -2 .4 7 2 -0 .8 3 0 0 .0 3 3 0 .8 5 0 1 ,2 5 8 1 ,6 8 0 1 ,9 4 5 2 ,1 7 8
-0 .4 -2 .6 1 5 -0 .8 1 6 0 .0 6 6 0 .8 5 5 1 ,2 3 1 1 ,6 0 6 1 ,8 3 4 2 ,0 2 9
-0 .6 -2 .7 5 5 -0 .8 0 0 0 .0 9 9 0 .8 5 7 1 ,2 0 0 1 ,5 2 8 1 ,7 2 0 1 ,8 8 0
-0 .8 -2 .8 9 1 -0 .7 8 0 0 .1 3 2 0 .8 5 6 1 ,1 6 6 1 ,4 4 8 1 ,6 0 6 1 ,7 3 3
-1 .0 -3 .0 2 2 -0 .7 5 8 0 .1 6 4 0 .8 5 2 1 ,0 8 6 1 ,3 6 6 1 ,4 9 2 1 ,5 8 8
-1 .2 -2 .1 4 9 -0 .7 3 2 0 .1 9 5 0 .8 4 4 1 ,0 8 6 1 ,2 8 2 1 ,3 7 9 1 ,4 4 9
-1 .4 -2 .2 7 1 -0 .7 0 5 0 .2 2 5 0 .8 3 2 1 ,0 4 1 1 ,1 9 8 1 ,2 7 0 1 ,3 1 8
-1 .6 -2 .2 3 8 -0 .6 7 5 0 .2 5 4 0 .8 1 7 0 .9 9 4 1 ,1 1 6 1 ,1 6 6 1 ,1 9 7
-1 .8 -3 .4 9 9 -0 .6 4 3 0 .2 8 2 0 .7 9 9 0 .9 4 5 1 ,0 3 5 1 ,0 6 9 1 ,0 8 7
-2 .0 -3 .6 0 5 -0 .6 0 9 0 .3 0 7 0 .7 7 7 0 .8 9 5 0 .9 5 9 0 .9 8 0 0 .9 9 0
-2 .2 -3 .7 0 5 -0 .5 7 4 0 .3 3 0 0 .7 5 2 0 .8 4 4 0 .8 8 8 0 .9 0 0 0 .9 0 5
-2 .4 -3 .8 0 0 -0 .5 3 2 0 .3 5 1 0 .7 2 5 0 .7 9 5 0 .8 2 3 0 .8 2 3 0 .8 3 2
-2 .6 -3 .8 8 9 -0 .4 9 0 0 .3 6 8 0 .6 9 6 0 .7 4 7 0 .7 6 4 0 .7 6 8 0 .7 9 6
-2 .8 -3 .9 7 3 -0 .4 6 9 0 .3 8 4 0 .6 6 6 0 .7 0 2 0 .7 1 2 0 .7 1 4 0 .7 1 4
-0 .4 -2 .6 1 5 -0 .8 1 6 0 .0 6 6 0 .8 5 5 1 ,2 3 1 1 ,6 0 6 1 ,8 3 4 2 ,0 2 9
-0 .6 -2 .7 5 5 -0 .8 0 0 0 .0 9 9 0 .8 5 7 1 ,2 0 0 1 ,5 2 8 1 ,7 2 0 1 ,8 8 0

2.4.5 Uji Kecocokan


Uji kecocokan distribusi adalah untuk menentukan kococokan (the goodness
of fit test) distribusi frekuensi dari sampel data terhadap fungsi distribusi peluang
yang diperkirakan dapat menggambarkan atau mewakili distribusi frekuensi tersebut

33
diperlukan pengujian parameter. Untuk pengujian parameter dapat dilakukan dengan
Uji Chi-kuadrat (Chi-square) atau Uji Smirnov-Kolmogorov.
• Uji Smirnov-Kolmogorov
Uji kecocokan Smirnov-Kolmogorov sering juga disebut uji kecocokan
nonparametrik (non parametric test), karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi
distribusi tertentu. Hal itu dikarenakan nilai uji yang terdapat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5: Nilai kritis untuk uji Smirnov-Kolmogorov (Suripin, 2004).
Level Of Significance α (%)
Ukuran Sampel (n)
20 10 5 1
5 0,45 0,51 0,56 0,67
10 0,332 0,37 0,41 0,49
15 0,27 0,30 0,34 0,40
20 0,23 0,26 0,29 0,36
25 0,21 0,24 0,27 0,32
30 0,19 0,22 0,24 0,29
35 0,18 0,20 0,23 0,27
40 0,17 0,19 0,21 0,25
45 0,16 0,18 0,20 0,24
50 0,15 0,17 0,19 0,23

Prosedur dasarnya mencakup perbandingan antara probabilitas kumulatif


lapangan dan distribusi kumulatif fungsi yang ditinjau. Sampel yang berukuran n,
diatur dengan urutan yang meningkat. Dari data yang diatur untuk membentuksuatu
fungsi frekuensi kumulatif tangga.Prosedur pengujian ini adalah sebagai berikut:
- Urutan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan besarnya
peluang dari masing-masing data tersebut:

34
- Tentukan nilai masing-masing peluang teoritis dari hasil penggambaran
data

- Dari kedua nilai ini peluang tersebut tentukan selisih terbesar antara
peluang pengamatan dengan peluang teoritis
D = Maksimum [P (Xm) – P’(Xm)]
Berdasarkan Tabel 2.5 nilai kritis (Smirnov-Kolmogorov) tentukan nilai kritis
(Do). Apabila nilai D lebih kecil dari nilai Do maka distribusi teoritis yang
digunakan untuk mentukan persamaan distribusi dapat diterima, tetapi apabila nilai
D lebih besar dari nilai Do maka distribusi teoritis yang digunakan untuk
menentukan distribusi tidak dapat diterima.

• Uji Chi-Square
Uji Chi-Square adalah salah satu uji statistik paramatik yang cukup
sering digunakan dalam penelitian. Uji Chi-Square ini biasa diterapkan untuk
pengujian kenormalan data, pengujian data yang berlevel nominal atau untuk
menguji perbedaan dua atau lebih proposi sampel. Uji Chi-Square diterapkan
pada kasus dimana akan uji diamati (data observasi) berbeda secara nyata
ataukah tidak dengan frekuensi yang diterapkan. Uji Chi-Square adalah teknik
analisis yang digunakan untuk menentukan perbedaan frekuensi (Oj) dengan
frekuensi espektasi atau frekuensi harapan (EJ) suatu kategori tertentu. Uji ini
dapat dilakukan pada data diskrit atau frekuensi.
Uji Chi-Square digunakan untuk menguji distribusi pengamatan, apakah
sampel memenuhi syarat distribusi yang di uji atau tidak. Adapun prosedur
perhitungan Uji Chi-Square adalah sebagai berikut:
1. Menghitung jumlah kelas dengan rumus:
K = 1 + 3,22 log n (2.16)
Dimana:
K= Jumlah kelas

35
N= Banyaknya data
2. Membuat kelompok-kelompok kelas sesuai dengan jumlah kelas.
3. Menghitung frekuensi pengamatan Oj = n/jumlah kelas.
4. Mencari besarnya curah hujan yang masuk dalam batas kelas (Ej).
5. Menghitung:
k
(Oj−Ej)2
X =∑
h
2
(2.17)
j −1 Ej

6. Menentukan µ²cr dari tabel dengan menentukan taraf signifikan (α) dan
derajat kebebasan (v).
Menyimpulkan hasil dari tabel perhitungan µ² hitung < µ² cr maka
distribusi terpenuhi dan apabila nilai µ² hitung > µ²cr maka distribusi tidak
terpenuhi. Untuk melihat nilai distribusi yang tertera pada Tabel 2.6

Tabel 2.6: Nilai kritis untuk distribusi Chi-Square (Montarcih, 2009).


α derajat kepercayaan

dk t0,995 t0,99 t0,975 t0,95 t0,05 t0, 025 t0, 01 t0, 005

1 0,39 0,16 0, 098 0,393 3,841 5, 024 6,635 7,879


2 0,100 0,201 0,506 0,103 5,991 6,783 9,210 10,597
9,348
3 0,717 0,115 0,216 0,352 7,815 11,345 12,838
4 0,207 0,297 0,484 0,711 9,488 11,143 13,277 14,860
5 0,412 0,554 0,831 1,145 11, 070 12,832 15, 086 16,750
6 0,676 0,872 1,237 1,635 12,592 14,449 16,812 18,548
7 0,989 1,239 1,690 2,167 14, 067 16, 013 18,475 20,278
8 1,344 1,646 2,180 2,733 15,507 17,535 20, 090 24,995

36
9 1,735 2, 088 2,700 3,325 16,919 19, 023 21,666 23,598
10 2,156 2,558 3,247 3,940 18,307 20,483 23,209 25,188
11 2,603 3, 053 3,816 4,575 19,675 21,920 24,725 26,757
12 3, 074 3,571 4,404 5,226 21, 026 23,337 26,217 28,300

α derajat kepercayaan
k
d
t0,995 t0,99 t0,975 t0,95 t0,05 t0, 025 t0, 01 t0, 005
1 0,39 0,16 0, 098 0,393 3,841 5, 024 6,635 7,879
2 0,100 0,201 0,506 0,103 5,991 6,783 9,210 10,597
3 0,717 0,115 0,216 0,352 7,815 9,348 11,345 12,838
4 0,207 0,297 0,484 0,711 9,488 11,143 13,277 14,860
5 0,412 0,554 0,831 1,145 11, 070 12,832 15, 086 16,750
6 0,676 0,872 1,237 1,635 12,592 14,449 16,812 18,548
7 0,989 1,239 1,690 2,167 14, 067 16, 013 18,475 20,278
8 1,344 1,646 2,180 2,733 15,507 17,535 20, 090 24,995
9 1,735 2, 088 2,700 3,325 16,919 19, 023 21,666 23,598
10 2,156 2,558 3,247 3,940 18,307 20,483 23,209 25,188
11 2,603 3, 053 3,816 4,575 19,675 21,920 24,725 26,757
12 3, 074 3,571 4,404 5,226 21, 026 23,337 26,217 28,300

2.4.6 Waktu Konsentrasi


Waktu Konsentrasi untuk saluran air hujan daerah perkotaan terdiri dari waktu
yang diperlukan oleh limpasan untuk mengalir di permukaan tanah untuk mencapai
saluran terdekat (t0) dan waktu pengaliran dalam saluran ke titik yang dimaksud (td).
Dalam penelitian ini drainase yang akan di tinjau sepanjang 1330 m di bagi menjadi 4
titik tinjauan dan drainase yang di teliti sebelah kanan & kiri badan jalan. Maka untuk
menghitung waktu konsentrasinya adalah sebagai berikut:

Waktu konsentrasi

37
[ ]
0,167
2 n
: T o= × 3,28 × L× (2.18)
3 √s
Ls
T d= (2.19)
60 ×V

Tc=¿+Td (2.20)

Dalam hal ini nilai S (Kemiringan Lahan) yang digunakan dalam


perhitungan berdasarkan:

Tabel 2.7: Kemiringan melintang normal perkerasan jalan (BNKT, 1990).

No. Jenis Lapis Permukaan Jalan Kemiringan Melintang Normal (i)


(%)
1 Beraspal, Beton 2%-3%
2 Japat 4%-6%
3 Kerikil 3%-6%
4 Tanah 4%-6%
Dan harga n (Angka Kekasaran Manning) yang digunakan dalam perhitungan
berdasarkan Tabel 2.8.

Tabel 2.8: Harga n untuk rumus Manning (BNKT, 1990).

No. Tipe Saluran Baik Baik Sedang Jelek


Sekali
1 Saluran Tanah, Lurus Teratur 0,017 0,020 0,023 0,025

38
2 Saluran Tanah yang dibuat 0,023 0,028 0,030 0,040
dengan Excavator
3 Saluran pada dinding batuan, 0,023 0,030 0,033 0,035
lurus, teratur
4 Saluran pada dinding batuan, 0,035 0,040 0,045 0,045
tidak lurus, tidak teratur

Tabel 2.8: Lanjutan.

No. Tipe Saluran Baik Baik Sedang Jelek


Sekali
5 Saluran batuan yang 0,025 0,030 0,035 0,040
dibedakan ada tumbuh-
tumbuhan
6 Dasar saluran dari tanah, 0,028 0,030 0,033 0,035
sisi saluran berbatu
7 Saluran lengkung, dengan 0,020 0,025 0,028 0,030
kecepatan aliran rendah
8 Bersih lurus, tidak berpasir, 0,025 0,028 0,030 0,033
tidak berlubang
9 Banyak tumbuh-tumbuhan 0,075 0,100 0,125 0,150
10 Melengkung, bersih, 0,033 0,035 0,040 0,045
berlubang dan berdinding
pasir
11 Seperti no 9 tapi ada 0,030 0,033 0,035 0,040
tumbuhan atau kerikil
12 Seperti no 10, dangkal tidak 0,040 0,045 0,050 0,055
teratur

39
13 Seperti no 10 berbatu dan ada 0,035 0,040 0,045 0,050
tumbuh-tumbuhan
14 Seperti no 12, sebagian 0,045 0,050 0,055 0,060
berbatu
15 Aliran pelan banyak tumbuhan 0,050 0,060 0,070 0,080
dan berlubang
16 Saluran pasangan batu tanpa 0,025 0,030 0,033 0,035
finishing

17 Seperti no 16 tapi dengan 0,017 0,020 0,025 0,030


finishing
18 Saluran Beton 0,014 0,016 0,019 0,021

Lanjutan Tabel 2.8

No. Tipe Saluran Baik Baik Sedang Jelek


Sekali
19 Saluran Beton, Halus dan Rata 0,010 0,011 0,012 0,013
20 Saluran beton pracetak dengan 0,013 0,014 0,014 0,015
acuan baja
21 Saluran beton pracetak dengan 0,015 0,016 0,016 0,018
acuan kayu

2.4.7 Analisis Intensitas Curah Hujan


Intensitas Curah Hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan per satuan
waktu. Sifat umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung intesitasnya
cenderung makin tinggi dan makin besar periode ulang nya makin tinggi pula
intesitasnya (Suripin, 2004).

40
Metode yang dipakai dalam perhitungan intensitas curah hujan adalah Metode
Mononobe yaitu apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia yang ada hanya data
hujan harian. Persamaan umum yang dipergunakan untuk menghitung hubungan
antara intensitas hujan T jam dengan curah hujan maksimum harian sebagai berikut:

(2.21)

Dimana:

I = Intensitas hujan (mm/jam) t = Lamanya hujan (jam)

t = Lamanya hujan (jam)

R24 = Curah hujan maksimum harian (selama 24 jam) (mm)

2.4.8 Koefisien Pengaliran (C)


Koefisien pengaliran (C) adalah perbandingan antara jumlah aliran (run off)
dengan jumlah curah hujan. Sehingga dapat dirumuskan dengan (Pers 2.22).

Jumlah aliran
C= (2.22)
Jumlah curah hujan

Persentase angka pengaliran berangsur-angsur bertambah selama hujan


berlangsung, juga harga koefisien pengaliran tersebut berbeda-beda, yang mana hal
ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Faktor meteorologi, yang mencakup:


• Curah hujan
• Intersepsi
• Evaporasi
• Transpirasi

41
2. Faktor daerah, yang mencakup:
• Karakteristik daerah pengaliran
• Faktor fisik, yaitu antara lain:
-Penggunaan lahan (land use)
-Jenis tanah
-Kondisi topografi

Dapat dimengerti betapa sukar untuk menentukan besarnya pengaruh dari


setiap faktor itu sendiri-sendiri. Berhubung dengan itu mungkin diperhitungkan
semua faktor secara sendiri-sendiri. Pemilihan koefisien pengaliran harus
memperhitungkan kemungkinan adanya perubahan tata guna lahan dikemudian hari
karena dalam hal ini pengaruh koefisien pengaliran sangat besar dalam menentukan
besarnya aliran disuatu tempat daerah tertentu berdasarkan jenis daerah aliran
tersebut, koefisien pengaliran secara umum diperlihatkan pada Tabel 2.9.

Tabel 2.9: Koefisien aliran (C) secara umum (Wesli, 2008).

Tipe Daerah Aliran Kondisi Koefisien


aliran
(C)
Rerimputan Tanah pasir, datar, 2% 0, 05 – 0,10
Tanah pasir, rata-rata, 2-7% 0,10 – 0,15
Tanah pasir, curam, 7% 0,15 – 0,20
Tanah gemuk, datar, 2% 0,13 – 0, 17
Tanah gemuk, rata-rata, 2-7% 0,18 – 0,22
Tanah gemuk, curam, 7% 0,25 – 0,35
Business Daerah kota lama 0,75 – 0,95
Daerah pinggiran 0,50 – 0,70
Perumahan Daerah”Single family” 0,30 – 0,50
“Multi units” terpisah-pisah 0,40 – 0,60
“Multi units “ tertutup 0,60 – 0,75

42
“Suburan” 0,25 – 0,40
Daerah rumah apartemen 0,50 – 0,70
Industri Daerah ringan 0,50 – 0,80
Daerah berat 0,60 – 0,90
Pertamanan, Kuburan 0,10 – 0,25
Tempat bermain 0,20 – 0,35
Halaman kereta api 0,20 – 0,40
Daerah yang tidak layak 0,10 – 0,30
Jalan Beraspal 0,70 – 0,95
Beton 0,80 – 0,95
Batu 0,70 – 0,85
Untuk berjalan dan naik 0,70 – 0,85
Atap 0,70 – 0,95

Pada perencanaan drainase di kawasan Tembung, digunakan koefisien


pengalian pada Tabel 2.9: Koefisien aliran (C) secara umum (Wesli, 2008) dengan
alasan-alasan sebagai berikut:

1. Harga-harga koefisien run off (koefisien pengaliran pada Tabel 2.9)


merupakan hasil yang di survei (diselidiki) pada sebagian daerah di
Amerika Serikat.
2. Harga-harga koefisien pada Tabel 2.9 tidak tergantung pada lamanya
hujan.
3. Harga-harga koefisien pengaliran pada Tabel 2.9 sangat sesuai untuk
penelitian kasus ini, karena persentase daerah kedap dapat disurvei di
lapangan.

Koefisien pengaliran dapat di persentasekan berdasarkan permukaan yang


kedap dengan melihat waktu konsentrasinya seperti yang terlihat pada Tabel 2.10.

43
Tabel 2.10: Koefisien pengaliran berdasarkan persentase permukaan yang
kedap dengan waktu konsentrasi (Wesli, 2008).

Persentase permukaan yang kedap


tc 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
10 0,149 0,189 0,229 0,269 0,309 0.350 0,390 0,430 0,470 0,510 0,550
20 0,236 0,277 0,318 0,360 0,400 0,442 0,483 0,524 0,566 0,607 0,648
30 0,287 0,329 0,372 0,414 0,457 0,499 0,541 0,584 0,626 0,669 0,711
45 0,334 0,377 0,421 0,464 0,508 0,551 0,594 0,638 0,681 0,730 0,768
60 0,371 0,415 0,458 0,502 0,546 0,590 0,633 0,677 0,721 0,764 0,808
75 0,398 0,442 0,486 0,530 0,574 0,618 0,661 0,705 0,749 0,793 0,837
90 0,422 0,465 0,509 0,552 0,596 0,639 0,682 0,736 0,769 0,813 0,856
105 0,445 0,487 0,530 0,572 0,615 0,657 0,699 0,742 0,784 0,827 0,869
120 0463 0,505 0,546 0,588 0,629 0,671 0,713 0,754 0,796 0,837 0,879
2.4.9 Kecepatan Aliran

Daerah yang memiliki cekungan untuk menampung air hujan relatif


mengalirkan lebih sedikit air hujan dibandingkan dengan daerah yang tidak memiliki
cekungan sama sekali. Efek tempungan oleh cekungan ini terhadap debit rencana
diperkirakan dengan koefisien tampungan yang diperoleh dengan rumus (Pers 2.23).

(2.23)

Dimana:
CS = Koefisien tampungan
TC = Waktu konsentrasi (jam)
Td = Waktu aliran air mengalir di dalam saluran dari hulu hingga ke
tempat pengukuran (jam)

2.4.10 Koefisien Tampungan


Daerah yang memiliki cekungan untuk menampung air hujan relatif
mengalirkan lebih sedikit air hujan dibandingkan dengan daerah yang tidak memiliki

44
cekungan sama sekali. Efek tempungan oleh cekungan ini terhadap debit rencana
diperkirakan dengan koefisien tampungan yang diperoleh dengan rumus (Pers 2.24)

2Tc
Cs= (2.24)
2 Tc+Td

Dimana:
CS = Koefisien tampungan
TC = Waktu konsentrasi (jam)
Td = Waktu aliran air mengalir di dalam saluran dari hulu hingga ke tempat
pengukuran(jam)

2.4.11 Koefisien Limpasan (Runfoof)


Dalam perencanaan drainase, bagian air hujan yang menjadi perhatian adalah
aliran permukaan (surface runoff), sedangkan untuk pengendalian banjir tidak hanya
aliran permukaan, tetapi limpasan (runoff). Limpasan adalah gabungan anatar aliran
permukaan, aliran-aliran yang tertunda pada cekungan-cekungan, dan aliran bawah
permukaan (subsurface flow).

Aliran pada saluran atau sungai tergantung dari berbagai dari berbagai faktor
secara bersamaan. Faktor –faktor yang mempengaruhi limpasan aliran pada saluran
atau sungai tergantung dari berbagai macam faktor secara bersamaan. Faktor yang
berpengaruh secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu:

• Faktor meteorologi yaitu karateristik hujan seperti intensitas hujan, durasi


hujan dan distribusi hujan.
• Karateristik DAS meliputi luas dan bentuk DAS, topografi dan tata guna
lahan.

45
Ketetapan dalam menentukan besarnya debit air sangatlah penting dalam
penentuan dimensi saluran. Disamping penentuan luas daerah pelayanan drainase dan
curah hujan rencana, juga dibutuhkan besaran harga koefisien pengaliran (C).

Pengambilan harga C harus disesuaikan dengan rencana perubahan tata guna


lahan yang terjadi pada waktu yang akan datang. Berikut ini koefisien C untuk
metode rasional, sebagai berikut:

Tabel 2.11: Koefisien pengaliran (C) (Dirjen Bina Marga, 1986).

No. Kondisi Permukaan Tanah Koefisin Pengaliran (C)


1 Daerah Perkotaan 0,70-0,95
2 Daerah Pinggiran Kota 0,60-0,70
3 Daerah Industri 0,60-0,90
4 Permukiman Padat 0,60-0,80
5 Permukiman Tidak Padat 0,40-0,60
6 Jalan Beton dan Jalan Aspal 0,70-0,95
7 Jalan Kerikil dan Jalan Tanah 0,40-0,70
8 Bahu Jalan:
 Tanah Berbutir Halus 0,40-0,65
 Tanah Berbutir Kasar 0,10-0,20
 Batuan Masif Keras
 Batuan Masif Lunak 0,70-0,85
0,60-0,75
9 Taman dan Kebun 0,20-0,40
10 Persawahan 0,45-0,60
11 Perbukitan 0,70-0,80
12 Pegunungan 0,75-0,90

46
2.4.12 Luas Daerah Pengaliran
Batas-batas daerah pengaliran ditetapkan berdasarkan peta topografi, pada
umumnya dalam skala 1 : 50.000 – 1 : 25.000. jika luas daerah pengaliran reltif kecil
diperlukan peta dalam skala yang lebih besar. Dalam praktek sehari-hari, sering
terjadi tidak tersedia peta topographi ataupun peta pengukuran lainnya yang memadai
sehingga menetapkan batas daerah pengaliran merupakan suatupekerjaan yang sulit.
Jika tidak memungkinkan memperoleh peta topographi yang memadai, asumsi
berikut dapat dipakai sebagai bahan pembanding.

2.5 Analisa Debit Rencana


Debit rencana adalah debit maksimum yang akan dialirkan oleh saluran
drainase untuk mencegah terjadinya genangan. Untuk drainase perkotaan dan jalan
raya, sebagai debit rencana debit banjir maksimum periode ulang 5 tahun, yang
mempunyai makna kemugkinan banjir maksimum tersebut disamai atau dilampaui 1
kali dalam 5 tahun atau 2 kali dalam 10 tahun atau 20 kali dalam 100 tahun.
Penetapan debit banjir maksimum periode 5 tahun ini berdasarkan pertimbangan:

• Resiko akibat genangan yang ditimbulkan oleh hujan relatif kecil


dibandingkan dengan banjir yang ditimbulkan meluapnya sebuah
sungai.
• Luas lahan diperkotaan relatif terbatas apabila ingin direncanakan
saluran yang melayani debit banjir maksimum periode ulang lebih besar
dari 5 tahun.
• Daerah perkotaan mengalami perubahan dalam periode tertentu
sehingga mengakibatkan perubahan pada saluran drainase.

Perencanaan debit rencana untuk drainase perkotaan dan jalan raya dihadapi
dengan persoalan tidak tersedianya data aliran. Umumnya untuk menentukan debit
aliran akibat air hujan diperoleh dari hubungan rasional antara air hujan dengan

47
limpasannya (Metode Rasional). Adapun rumusan perhitungan debit rencana Metode
Rasional adalah sebagai berikut:

Q =0,000278CIA (2.25)

Dimana:

C = Koefisien limpasan air hujan

I = Intensitas curah hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam)

A = Luas daerah pengaliran (Ha)

Q = Debit maksimum (m3/det)

Luas daerah pengeringan pada umumnya diwilayah perkotaan terdiri dari


beberapa daerah yang mempunyai karateristik permukaan tanah yang berbeda(sub
area) sehingga koefisien pengaliran untuk masing-masing sub area nilainya berbeda
dan untuk menentukan koefisien pengaliran pada wilayah tersebut dilakukan
penggabungan masing-masing sub area.

Untuk penentuan koefisien limpasan harus dipilih dari pengetahuan akan daerah
yang ditinjau terhadap pengalaman, dan harus dipilih dengan jenis pembangunan
yang ditetapkan oleh rencana kota. Daerah yang memiliki cekungan untuk
menampung air hujan relatif mengalirkan lebih sedikit air hujan dibandingkan dengan
daerah yang tidak memiliki cekungan sama sekali. Efek tampungan oleh cekungan ini
terhadap debit rencana diperkirakan dengan koefisien tampungan yang diperoleh
dengan rumus berikut ini:

2Tc
Cs= (2.26)
2 Tc+Td

Di mana:
Cs = Koefisien tampungan oleh cekungan terhadap debit rencana

Tc = Waktu konsentrasi (jam)

48
Td = Waktu aliran air mengalir di dalam saluran dari hulu hingga ke
tempat Pengukuran (jam)

2.5.1 Analisa Hidrolika


Zat cair dapat diangkut dari suatu tempat ke tempat lain melalui bangunan
pembawa alamiah ataupun buatan manusia. Bangunan pembawa ini dapat terbuka
maupun tertutup bagian atasnya. Saluran yang tertutup bagian atasnya disebut
saluran tertutup (closed conduits), sedangkan yang terbuka bagian atasnya disebut
saluran terbuka (open channels). Sungai, saluran irigasi, selokan merupakan saluran
terbuka, sedangkan terowongan, pipa, aquaduct, gorong-gorong merupakan saluran
tertutup (Suripin, 2004).

Analisa Hidrolika bertujuan untuk menentukan acuan yang digunakan dalam


menentukan dimensi hidrolis dari saluran drainase maupun bangunan pelengkap
lainnya dimana aliran air dalam suatu saluran dapat berupa aliran saluran terbuka
maupun saluran tertutup.

2.5.2 Analisa Debit Banjir Rencana

Untuk menentukan kapasitas saluran drainase harus dihitung dahulu


jumlah air hujan dan jumlah air buangan rumah tangga yang akan melewati
saluran drainase utama di dalam daerah studi. Debit banjir rancangan (Qr) adalah
debit air hujan (Qah) ditambah dengan debit air kotor (Qak). Bentuk perumusan
dari debit banjir rancangan tersebut sebagai berikut :

Qr = Qah + Qak (2.27)


dengan :
Qr = debit banjir rancangan (m3/detik)
Qah = debit air hujan (m3/detik)

Qak = debit air kotor (m3/detik)

49
2.5.3 Perencanaan Debit Banjir

Perencana debit banjir tidak boleh kita tetapkan terlalu kecil agar jangan
terlalu sering terjadi ancaman pengrusakan bangunan atau daerah di sekitarnya.
Tetapi juga tidak boleh terlalu besar sehingga ukuran bangunan tidak ekonomis.
Jatuhnya hujan terjadi menurut suatu pola dan suatu siklus tertentu.

Ada dua macam metode yang umum dipakai dalam menghitung debit banjir:
a. Metode Rasional

Metode ini digunakan untuk memperkirakan laju aliran permukaan


puncak. Metode ini sering dipakai untuk perencanaan, cuman
penggunaanya terbatas untuk DAS – DAS dengan ukuran yang kecil.
Persamaan matematik metode Rasional ini dinyatakan dalam bentuk:

Q = 0,278 . C . I . A (2.28)
Dengan ;
Q = debit banjir maksimum (m3/det)

C = koefisien pengaliran

I = intensitas hujan rerata selama waktu tiba banjir (mm/jam)

A = luas daerah pengaliran (Km2)

b. Metode Hidrograf

Hidrogaf dapat didefenisikan sebagai hubungan antara salah satu


unsur aliran terhadap waktu. Berdasarkan defenisi tersebut dikenal ada dua
macam hidrogaf, yaitu hidrogaf muka air dan hidrogaf debit. Hidrogaf
muka air tidak lain adalah data atau grafik hasil rekaman AWLR
(Automatic Water Level Recorder). Sedangkan hidrogaf debit, yang dalam
pengertian sehari-hari disebut hidrogaf, diperoleh dari hidrogaf muka air
dan lengkung debit.

50
2.5.4 Analisa Sistem Drainase

Analisis sistem drainase dilakukan untuk mengetahui apakah secara


teknis sistem drainase direncanakan sesuai dengan persyaratan teknis. Analisis
sistem drainase diantaranya adalah perhitungan kapasitas saluran, penentuan
tinggi jagaan, penentuan daerah sempadan, perhitungan kepadatan drainase,
dan bagunan-bangunan yang dibutuhkan dalam sistem drainase. Dalam
kaitannya dengan pekerjaan pengendalian banjir, analisis sistem drainase
digunakan untuk mengetahui profil muka air, baik kondisi yang ada (eksisting)
maupun kondisi perencanaan. Untuk mendukung analisa hitungan guna
memperoleh parameterisasi desain yang handal, dibutuhkan validasi data dan
metode hitungan yang representatif. Analisis untuk drainase dapat dijelaskan
sebagai berikut:

2.5.5 Saluran Terbuka


Pada saluran terbuka terdapat permukaan air yang bebas, permukaan bebas
ini dapat dipengaruhi oleh tekanan udara luar secara langsung. Kekentalan dan
gravitasi mempengaruhi sifat aliran pada saluran terbuka. Saluran terbuka umumnya
digunakan pada daerah yang:

• Lahan yang masih memungkinkan (luas).


• Lalu lintas pejalan kakinya relatif jarang.
• Beban di kiri dan kanan saluran relatif ringan.
1. Debit aliran bila menggunakan rumus Manning:
Q=A.V (2.29)
Kondisi debit aliran berfluktuasi sehingga perlu memperhatikan kecepatan
aliran. Diupayakan agar pada saat debit pembuangan kecil masih dapat
mengangkut sedimen, dan pada keadaan debit besar terhindar dari bahaya
erosi.
2. Penampang Saluran

51
Penampang saluran yang paling ekonomis adalah saluran yang dapat
melewatkan debit meksimum untuk luas penampang basah, kekasaran dan
kemiringan dasar tertentu. Berdasarkan persamaan kontinuitas, tampak
jelas bahwa untuk luas penampang melintang tetap, debit maksimum
dicapai jika kecepatan aliran meksimum. Dari rumus Manning maupun
Chezy dapat dilihat bahwa untuk kemiringan dasar dan kekasaran tetap,
kecepatan maksimum dicapai jika jari-jari hidraulik R maksimum.

Selanjutnya untuk penampang tetap, jari-jari hadraulik maksimum keliling


basah, P minimum. Kondisi seperti yang telah kita pahami tersebut
memberi jalan untuk menentukan dimensi penampang melintang saluran
yang ekonomis untuk berbagai macam bentuk seperti tampang persegi dan
tampang trapesium.

Kapasitas rencana dari setiap komponen sistem drainase dihitung berdasarkan rumus
Manning:

Q sal = Vsal x Asal (2.27)

1 2 /3 1/ 2
V sal = R S (2.28)
n

1 2 /3 1/ 2
Q sal = R S . Asal (2.29)
n

Dimana:
Vsal = kecepatan aliran rata-rata dalam saluran (m/det),
Q sal = debit aliran dalam saluran (m3/det),
n = koefisien kekasaran Manning,
R = jari jari hidraulik (m), R = A/P dimana
Asal = luas penampang saluran (m²)
P= keliling basah (m)

52
 Penampang Saluran Persegi Paling Ekomis
Pada penampang melintang saluran berbentuk persegi dengan lebar dasar B
dan kedalaman air h, luas penampang basah A = B x h dan keliling basah P.
Maka bentuk penampang persegi paling ekonomis adalah jika kedalaman
setengah dari lebar dasar saluran atau jari-jari hidrauliknya setengah dari
kedalaman air.

Gambar 2. 8 Penampang persegi panjang (Suripin, 2004)

Untuk penampang persegi paling ekonomis:

A = B.h (2.30)

P = B + 2h (2.31)

B
B = 2h atau h= (2.32)
2

Jari-Jari Hidrolik R :

A B.h
R= = (2.33)
P B+2 h

 Penampang Saluran Trapesium Paling Ekonomis :

53
Luas penampang melintang A dan Keliling basah P, saluran dengan
penampang melintang bentuk trapesium dengan lebar dasar b, kedalaman h
dan kemiringan dinding 1 m (Gambar 2.9) dapat dirumuskan sebagai berikut:

Gambar 2. 9 Penampang saluran trapesium (Suripin, 2004)

A= (B+mh)h (2.34)

P=B+2 h √ m 2+1 (2.35)

B=P−2 h √m2 +1 (2.36)

X Penampang trapesium paling ekonomis adalah jika kemiringan dindingnya


m = 1/√3 atau Ө = 60°. Dapat dirumuskan sebagai berikut:

2
B= h √3 (2.37)
3

B=h 2 √ 3 (2.38)

• Kemiringan dinding saluran m (berdasarkan kriteria)


• Luas penampang (A) = (b+mh)h (m²)
• Keliling basah (P) = b+ 2h √ m 2+ 1 (m)
A
• Jari-jari hidrolis R= (m)
P

54
1 2 /3 1 /2
• Kecepatan aliran (V)= R I (m³/det)
n

2.5.6 Saluran Tertutup


Aliran dalam saluran terbuka digerakkan oleh gaya penggerak yang dilakukan
oleh jumlah berat aliran yang mengalir menuruni lereng, sedang pada saluran tertutup
gaya penggerak tersebut dilakukan oleh gradient tekanan. Ketentuan-ketentuan
mengenai aliran bagi saluran tertutup yang penuh adalah tidak berlaku pada saluran
terbuka. Pendekatan yang digunakan di Indonesia dalam merancang drainase
perkotaan masih menggunakan cara konvensional, yaitu dengan menggunakan
saluaran terbuka. Bila digunakan saluran yang ditanam dalam tanah biasanya
berbentuk bulat atau persegi, maka diasumsikan saluran tersebut tidak terisi penuh
(dalam arti tidak tertekan), sehingga masih dapat dipergunakan persamaan saluran
terbuka. Saluran tertutup umumnya digunakan pada:

• Daerah yang lahannya terbatas (pasar, pertokoan).


• Daerah yang lalu lintas pejalan kakinya padat.
• Lahan yang dipaki untuk lapangan parkir.

2.5.7 Dimensi Saluran


Perhitungan dimensi saluran didasarkan pada debit harus ditampung oleh saluran (Qs
dalam m3/det) lebih besar atau sama dengan debit rencana yang diakibatkan oleh
hujan rencana (Qr dalam m3/det). Kondisi demikian dapat dirumuskan dengan
persamaan berikut:

Qs ≥ Qr (2.39)

Debit yang mampu ditampung oleh saluran (Qs) dapat diperoleh dengan

rumus seperti di bawah ini:

Qs = As.V (2.39)

55
Dimana:

As = Luas penampang saluran (m2)

V = Kecepatan rata-rata aliran didalam saluran (m/det)

Kecepatan rata-rata aliran di dalam saluran dapat dihitung dengan

menggunakan rumus Manning sebagai berikut:

1 2 /3 1/ 2
V= R S (2.40)
n

As
R= (2.41)
P

Dimana:

V = Kecepatan rata-rata aliran di dalam saluran (m/det)

n = Koefisien kekasaran Manning

R = Jari-jari hidrolis (m)

S = Kemiringan dasar saluran

As = Luas penampang saluran (m²)

P = Keliling basah saluran (m)

Nilai koefisien kekasaran Manning n, untuk gorong-gorong dan saluran pasangan


dapat dilihat pada Tabel 2.14.

Tabel 2.14: Koefisien kekasaran Manning (Triadmodjo, 1993).


No. Tipe Saluran Koefisien Manning (n)

1 Besi tuang lapis 0,014

2 Kaca 0,010

56
3 Saluran beton 0,013

4 Bata dilapis mortar 0,015

5 Pasangan batu disemen 0,025

6 Saluran tanah bersih 0,022

7 Saluran tanah 0,030

8 Saluran dengan dasar baru dan tebing rumput 0,040

9 Saluran pada galian batu padas 0,040

Tabel 2.15: Nilai kemiringan dinding saluran sesuai bahan (ISBN: 979 –
8382 – 49 – 8, 1994).

No. Bahan Saluran Kemiringan Dinding (m)

1 Batuan/ cadas 0

2 Tanah lumpur 0,25

3 Lempung keras/ tanah 0,5–1

4 Tanah dengan pasangan batuan 1

Tabel 2.15: Lanjutan.

57
No. Bahan Saluran Kemiringan Dinding (m)
5 Lempung 1,5
6 Tanah berpasir lepas 2
7 Lumpur berpasir 3

2.6 Air Limbah Rumah Tangga


Perkiraan jumlah air limbah rumah tangga suatu daerah biasanya sekitar 60-
75% dari air yang disalurkan ke daerah itu. Jadi, bila air yang dipergunakan untuk
suatu daerah pemukiman diketahui jumlahnya, maka kemungkinan output air limbah
rumah tangga dari daerah itu dapat diperkirakan.

Aliran air limbah rumah tangga bervariasi sepanjang hari maupun sepanjang
tahun. Puncak harian dari suatu daerah perumahan yang kecil biasanya terjadi di
pertengahan pagi hari, variasi antara 200 hingga lebih dari 500 persen dari laju aliran
rata-rata, tergantung yang turut memakai. Karena variasi aliran air limbah akan
berubah sesuai dengan ukuran kota dan kondisi-kondisi lokal yang lain, maka harga-
harga umum yang dikutip di atas hanya patokan saja.

Tabel 2.16: Penggunaan air di kota dan jumlah yang dipakai (Subarkah Imam, 1980).
Jumlah Kisaran Jumlah Umum
Penggunaan G alo n /k ap ita/ Liter/kapita/ G alo n /k ap ita / L ite r/k a p ita /
hari h a ri hari hari
Jumlah 8 0 -2 5 0 3 1 0 -8 0 0 145 550

58
Jumlah Kisaran Jumlah Umum
P en g g u n aan G a lo n /k ap ita/ Liter/kapita/ G a lo n /k ap ita / L ite r/k a p ita/
hari h a ri hari h a ri
Rumah Tangga 4 0 -8 0 1 5 0 -3 0 0 65 250

K o m e rsial 1 0 -7 5 4 0 -3 0 0 40 150

P u b lic u se s 1 5 -2 5 6 0 -1 0 0 20 75

Kehilangan &
1 5 -2 5 6 0 -1 0 0 20 75
Pemborosan

2.7 Parameter Penentuan Prioritas Penanganan Genangan


Parameter penentuan prioritas penanganan menurut Permen PUPR No.12
Tahun 2014 meliputi hal sebagai berikut:

1) Parameter genangan, meliputi tinggi genangan, luas genangan, frekuensi


genangan dalam satu tahun dan lama genangan terjadi. Kriteria parameter
genangan seperti dalam Tabel 2.17.
2) Parameter ekonomi, dihitung perkiraan kerugian atas fasilitas ekonomi
yang ada, seperti: kawasan industri, fasum, fasos, perkantoran,
perumahan, daerah pertanian dan pertamanan. Kriteria kerugian/kerusakan
ekonomi seperti dalam Tabel 2.18.
3) Parameter gangguan sosial dan fasilitas pemerintah, seperti: kesehatan
masyarakat, keresahan sosial dan kerusakan lingkungan dan kerusakan
fasilitas pemerintah. Kriteria gangguan sosial dan fasilitas pemerintah
seperti dalam Tabel 2.19.
4) Parameter kerugian dan gangguan transportasi. Kriteria kerugian dan
gangguan transportasi seperti dalam Tabel 2.20.
5) Parameter kerugian pada daerah perumahan, kriterianya seperti dalam
Tabel 2.21.

59
Parameter kerugian hak milik pribadi/rumah tangga, kriterianya seperti dalam Tabel
2.17

60
No. Parameter Genangan Nilai Persentase
1 Tinggi genangan : 35
>0,50 m 100
- 0,30 m – 0,50 m 75
- 0,20 m - < 0,30 m 50
- 0,10 m - < 0,20 m 25

- 4 – 8 ha 75
- 2 - < 4 ha 50
- 1 - < 2 ha 25
- < 1 ha 0
3 Lamanya genangan 20
> 8 jam 100
4 - 8 jam 75
2 - < 4 jam 50
1 – 2 jam 25
< 1 jam 0
4 Frekuensi genangan 20
Sangat sering (10 kali /tahun) 100
Sering (6 kali/tahun) 75

61
Tabel 2.18 Kriteria Kerugian Ekonomi

No Parameter Pengaruh / Kerugian


1 jika genangan air/ banjir terjadi Tinggi
pada daerah industri, daerah
komersial dan daerah perkantoran
padat
2 jika genangan air / banjir terjadi Sedang
di daerah industri dan daerah
komersial yang kurang padat
3 jika genangan air/ banjir Kecil
mempengaruhi atau terjadi di
daerah perumahan dan/ atau
daerah pertanian (dalam daerah

Tabel 2.19 Kriteria Gangguan Sosial dan Gangguan Transportasi

No. Parameter Pengaruh/Kerugian


1 jika genangan air/banjir terjadi Tinggi
pada daerah yang jaringan
transportasinya padat
2 jika genangan air/banjir terjadi di Sedang
daerah yang jaringan
transportasinya kurang padat
3 jika genangan air/ banjir Kecil

62
Tabel 2.20 Kriteria Kerugian Pada Daerah Perumahan

No. Parameter Pengaruh/Kerugian


1 jika genangan air / banjir terjadi Tinggi
pada
perumahan padat sekali
2 jika genangan air/ banjir terjadi Sedang
pada
perumahan yang kurang padat
3 jika genangan air/ banjir Kecil
mempengaruhi atau
terjadi di daerah yang hanya pada
beberapa
bangunan perumahan

Tabel 2.21 Kriteria Kerugian Pada Milik Pribadi

No. Parameter Pengaruh/Kerugian


1 jika kerugian lebih dari 80% nilai Tinggi
milik
pribadi
2 jika kerugian 80% dari nilai milik Sedang
pribadi

63
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3
3.1 Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengevaluasi sistem drainase, diperlukan data-data untuk mendukung
penelitian.Pada penulisan tugas akhir ini, teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah :

a. Metode observasi
Metode observasi adalah pengamatan dan pencatatan sesuatu objek dengan
sistematika fenomena yang diselidiki.
b. Metode dokumentasi
Metode dokumentasi adalah pengumpulan data dengan cara meminta data
yang telah ada sebelumnya.
c. Metode literature atau kepustakaan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi literature
(kepustakaan). Literature yang dimaksud yaitu dari buku yang diperoleh, dari
perpustakaan pribadi dan dari internet. Data-data dan teori-teori atau temuan-
temuan sebelumnya.
1
2
3
3.1
3.1.1 Data Primer
Adapun data yang diperlukan dalam penyusunan hasil penelitian ini dibedakan
atas dua jenis yaitu:

a) Data primer

64
Data primer atau data pokok ini merupakan data yang diperoleh penulis
dengan meninjau langsung ke objek penelitian dalam hal ini melakukan
wawancara dan juga pengambilan data-data yang berhubungan dengan
penulisan penelitian.
Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Lebar penampang drainase
2. Kedalaman penampang drainase
3. Arah aliran air drianase
4. Kecepatan air di penampang drainase dengan elevasi yang ada
dilapangan.

3.1.2 Data sekunder


Data sekunder atau data pendukung ini adalah semua data yang diperoleh dari
studi pustaka untuk beberapa teori yang berkaitan dengan permasalahan. Data
sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Data curah hujan bulanan dan harian maksimum tahun 2012 hingga
2021 yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi Kelas I Sentani.
2. Data Peta Topografi Distrik Sentani
3. Data Jumlah Penduduk dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Jayapura
4. Demografi Distrik Sentani

3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian


3.2.1 Waktu
Waktu pengambilan data dan pengolahan data selama penelitian selama tiga bulan
yaitu pada bulan

65
Waktu Pelaksanaan Ujian
No. Uraian Pengujian Maret Apr Mei Sep Okt Nov Des Jan Feb
III IV I II III IV I II III IV I-IV I-IV I-IV I-IV I-IV I-IV
1 Persiapan

2 Pengumpulan Data
Pembimbingan
3 Proposal

4 Ujian Proposal

Revisi Proposal
5
Pembimbingan Tugas
6 Akhir

7 Ujian Tugas Akhir

Revisi Tugas Akhir


8

9 Selesai

3.2.2 Lokasi Penelitian


Dalam penelitian pada tugas akhir ini, lokasi wilayah studi diperlukan untuk
mengumpulkan sejumlah informasi mengenai daerah serta lingkungan tempat atau
lokasi penelitian. Untuk itu dilakukan pengambilan data baik secara langsung maupun
tidak langsung. Penelitian di lakukan pada sistem drainase pada Distrik Sentani,
Kabupaten Jayapura. Lokasi penelitian dijelaskan pada gambar 3.1

3
3.1
3.2
3.3 Deskripsi Umum Wilayah
Distrik Sentani merupakan salah satu dari 19 distrik di Kabupaten Jayapura,
dengan luas 78,9 km² Distrik Sentani menjadi distrik terpadat dengan kepadatan
penduduk 772 jiwa/km.

Kelurahan Sentani Kota merupakan daerah terluas yaitu 20,56 Km² atau
sebesar 25,76 persen dari total luas Distrik Sentani. Sedangkan Kampung Dobonsolo
dan Yahim merupakan daerah terkecil dengan masing-masing kampung memiliki luas
yang sama yaitu 3,27 Km² atau sebesar 4,10 persen dari total luas Distrik Sentani.

66
Tahun 2019 Distrik Sentani memiliki 3 Kelurahan, 7 Kampung, 60 RW, 217
RT. Dari seluruh Kampung tersebut Kelurahan Sentani Kota memiliki RT dan RW
terbanyak yaitu 12 RW dan 53 RT.

67
Gambar 3. 1 Lokasi Penelitian

Sumber : (Digitasi Peneliti, 2022)

68
3.3.1 Batasan Umum Wilayah
Secara admistrasi Distrik Sentani memiliki batasan wilayah sebagai
berikut:

a. Bagian Utara : Distrik Ravenirara


b. Bagian Barat : Distrik Waibu
c. Bagian Selatan : Distrik Ebungfau
d. Bagian Timur : Distrik Sentani Timur

3.3.2 Kondisi Geografis


Secara umum Distrik Sentani mempunyai kondisi geografis sebagai
berikut:

a. Ketinggian : 104 m dpl ( Dari Permukaan Laut )


b. Rata Curah Hujan : 135 mm / bulan
c. Topografi : Dataran Rendah ( 5 – 8 % )
d. Rata Suhu Udara : 32,8° C ( max ) dan 22,9° C ( min )
e. Kelembaban : 83 % ( max) dan 81 % ( min

3.3.3 Topografi Daerah Penelitian


Distrik Sentani memiliki topografi yang bervariasi mulai dari lereng yang
relatif terjal hingga dataran rendah yang bergelombang. Ketinggian wilayah di
Distrik Sentani sebagian besar di bawah 500 m dpl, yakni mencapai 70 ha,
kemudian wilayahnya dengan ketinggian 500 – 1000 m dpl dan ketinggian 1000 –
2.000 m dpl mencapai 17,50 ha. Jenis tanah yang terdapat di Distrik Sentani
memiliki struktur kimiawi yang berbeda – beda yang meliputi jenis tanah podsolik
merah kuning, mediteran, organosol / alluvial, latosol dan podsolik coklat kelabu
tetapi lebih di dominasi oleh tanah podsolik merah kuning. Peta topografi dan

kontur Distrik Sentani dijelaskan pada Gambar 3.2.

69
3.3.4 Iklim
Kondisi iklim di kabupaten jayapura tergolong dalam iklim basah dengan
curah hujan yang cukup tinggi. Letak geografis Jayapura yang terletak di derah
katulistiwa menyebabkan daerah ini beriklim tropis / akibat letak jayapura berada
diantara dua benua yaitu asia dan Australia maka iklimnya dipengaruhi oleh angin
Muson Tenggara yang bertiup secara bergantian 6 (enam) bulan sekali.

Musim hujan terjadi antara bulan Maret – Desember, musim kemarau terjadi
pada bulan Mei – Oktober. Curah hujan berkisar antara 1600 – 2400 mm tiap
tahun dengan kelembaban udara mencapai 83 %, kecepatan angin rata – rata
dibawah 18 km/jam.

3.3.5 Tata Guna Lahan


Pengelompokan lahan berdasarkan pemanfaatannya di Distrik Sentani dapat
tertera pada gambar 3.3 dibawah ini. Hutan kering menjadi daerah paling dominan
dengan fungsi ekologisnya sebagai produsen oksigen dan air baku. Kawasan
pemukiman, pertokoan, dan lahan terbangun berkembang di tepi ruas jalan utama
penghubung kabupaten dan Kotamdya Jayapura.Tata guna lahan Distrik Sentani
selanjutnya dijelaskan pada gambar 3.3.

70
Sumber : (Digitasi Peneliti, 2022)

Gambar 3. 2 Peta Topografi dan Kontur Distrik Sentani

72
Sumber : (Digitasi Peneliti, 2022)
Gambar 3. 3 Peta Tata Guna Lahan Distrik Sentani
73
3.2.3 Banjir Bandang Sentani
Distrik Sentani merupakan wilahyah terdampak pada peristiwa tanah longsor
dan banjir bandang pada tanggal 16 Maret 2019 terjadi di wilayah Daerah Aliran Sungai
(DAS) Sentani Tami. Berdasarkan data dan fakta yang dihimpun oleh KLHK
(Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), faktor utama penyebab bencana banjir
bandang di Sentani adalah curah hujan yang tinggi. Curah hujan yang sangat tinggi
mulai pukul 19.00 sampai dengan 23.30 WIT. Data menunjukkan bahwa debit air di
wilayah Sentani pada malam tersebut melebihi kondisi normal mencapai 193,21
m3/detik yang menyebabkan debit aliran tinggi. Sementara itu, mulut sungai terhitung
kecil dengan kapasitas tampung yang rendah yaitu hanya 91,38 m3/detik.

Sementara itu, faktor lain yang menyebabkan bencana banjir bandang Sentani
adalah kondisi hulu DAS yang tidak stabil. Hulu DAS tersebut memiliki kontur batuan
yang kedap air sehingga membentuk bendung alami yang mudah jebol pada saat hujan
tinggi. Adanya perluasan kota dan permukiman di bagian hilir (daerah terdampak) turut
memberikan dampak yang cukup signifikan. Kawasan pegunungan cycloop memiliki
kemiringan lereng yang tajam, sehingga walaupun kawasan hutannya tidak rusak, curah
hujan sangat ekstrim sehingga berdampak besar pada daerah pengembangan yang ada di
bawah. Jumlah korban jiwa sejauh ini mencapai 83 orang, 75 orang luka ringan dan 84
orang luka berat. Korban terbanyak berasal dari Distrik Sentani. Sebelumnya banjir
bandang pernah melanda Sentani pada tahun 2003 dan 2007 meski tidak memakan
korban jiwa namun merusak fasilitas umum dan pemukiman warga.

3.4 Metode Penelitian


Pada penelitian ini, metodologi yang digunakan untuk mengolah data adalah
Metode Kuantitatif Deskriptif, yaitu metode perhitungan dan penjabaran hasil
pengolahan data lapangan dari tiap lokasi yang di tinjau (data primer). Kemudian
mengumpulkan data curah hujan dan peta lokasi penelitian yang diperoleh dari beberapa
instansi terkait (data sekunder). Penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan analisis

74
hidrologi dan hidrolika. Analisis hidrologi dan hidrolika dilakukan untuk menentukan
nilai debit rencana dan debit kapasitas. Analisis hidrologi meliputi analisis curah hujan
rata-rata dan analisis debit rencana. Analisis data curah hujan bertujuan untuk
menentukan data curah hujan yang akan digunakan untuk perhitungan.

3.5 Tahapan Penelitian


Tahapan dalam penelitian ini terbagi atas 4 tahap, yaitu : tahap pendahuluan,
pengumpulan data primer dan sekunder, analisa data, dan tahap penyusunan laporan.
Adapun rincian kegiatan penelitian yang dilakukan dengan beberapa tahap tersebut
yaitu ::

1. Tahap Pendahuluan
Tahap ini merupakan tahapan studi pustaka, yaitu dengan cara
mengumpulkan dan mempelajari literatur buku, jurnal, catatan kuliah
maupun internet serta melakukan survey ke lokasi. Hasil dari tahap ini
berupa sketsa dan penafsiran sementara keadaan penelitian yang akan
digunakan pada tahap pengambilan data.
2. Tahap Pengumpulan Data
Tahap melakukan pengumpulan identifikasi masalah drainase
perkotaan, pengambilan data pola aliran, skema saluran drainase serta data
lain yang berkaitan untuk penyelesaian tugas akhir ini.
3. Tahap Analisa dan Perhitungan Data
Tahap ini melakukan pengolahan data sehinggga di dapat solusi
untuk mengoptimalkan fungsi saluran drainase. Adapun langkah - langkah
sebagai berikut :
a. Menganalisis Pola Aliran Drainase
b. Menghitung Debit Banjir
c. Menganalisis Dimensi Drainase.

75
4. Tahap Penyusunan Laporan
Merupakan tahap akhir dari tahap penelitian di mana tahap ini
menyusun data-data dari awal hingga akhir yang selanjutnya dirangkum
menjadi sebuah laporan penelitian

76
3.6 Bagan Alur Penelitian
Mulai

Identifikasi Masalah

Studi pustaka

Teknik pengumpulan data

Data Primer Data Sekunder


1. Kondisi eksisting sistem drainase 1. Data curah hujan
dan detail dimensi penampang 2. Data Peta topografi, kontur,
saluran tataguna lahan di Distrik
Sentani
2. Gambar keadaan daerah lokasi 3. Data Jumlah Penduduk dari
genangan di kawasan Distrik Sentani Badan Pusat Statistik
3. Peta Denah Saluran dan Pola Kabupaten Jayapura
Aliran Air

Pengolahan data

Analisa hidrologi Analisa hidrolika

Analisa dan evaluasi saluran


drainase pada Distrik Sentani
kawasaTembung

Kesimpulan Dan Saran

Selesai

77
BAB IV

ANALISA DAN PEMBAHASAN


4
4.1 Analisa Penyebab Genangan
Berdasarkan hasil observasi langsung di lokasi penelitian yaitu Distrik Sentani
terdapat 11 titik banjir dan dikelompokan menjadi 6 titik genangan yang tersebar di
Distrik Sentani dengan berbagai macam permasalahan. Persebaran titik genangan lebih
lanjut dijelaskan pada , dengan lokasi sebagai berikut :

a. Genangan 1 (Jl. Raya Kemiri, Depan Saga Fresh Rokim Sentani)


Lokasi ini selalu tergenang walaupun curah hujan yang turun dapat
dikatakan normal, hal ini disebabkan karna kondisi drainase yang
tersumbat sampah dan sedimen. Kontur daerah ini cukup landai dengan
elevasi dasar saluran (persegi, tertutup) tidak memadai air hujan tidak
dapat dialirkan ke outfal drain terdekat.

Gambar 4. 1 Genangan di Jl. Raya Kemiri, Depan Saga Fresh Rokim

78
b. Genangan 2 ( Jl. Raya Kemiri, Depan Gedung Tabita – Yonif 751
Sentani)
Wilayah genangan kedua ini, merupakan ruas jalan yang paling
sering terendam pada saat intensitas curah hujan tinggi, penyebab
utamanya adalah aliran air dari anak kali sosial tidak mampu ditampung
oleh saluran primer yang ada, karena dimensinya yang semakin
menyempit akibat pembangunan kawasan pertokoan (perubahan
tataguna lahan).

Gambar 4. 2 Genangan di depan Gedung Tabita – Yonif 751 Sentani

c. Genangan 3 ( BTN Permata Hijau Sentani)


Btn Permata Hijau terletak tepat 20 meter dari pertemuan kali
kemiri dan kali doyo lama, bagian ini membentuk cekungan dan ketika
curah hujan tinggi debit aliran kali meningkat dan meluap hingga
merendam pemukiman warga. Btn Permata Hijau memiliki 9 blok
dengan 524 rumah tidak memilik saluran drainase pemukiman.

79
Gambar 4. 3 Genangan di BTN Permata Hijau

d. Genangan 4 (BTN Gajah Mada Yahim)


BTN Gajah Mada yang berjarak ± 10 m dari kali matoa dan
berjarak ±70 m dari aliran kali doyo lama, dibangunya perumahan ini
pada daerah aliran air sungai membuat tidak terlepas dari bencana
banjir yang terjadi minimal 2 kali setahun akibat luapan kali-kali
tersebut, BTN ini tidak memliki saluran drainase pemukiman yang
mamadai semakin memperburuk keadaannya. Setengah perumahan
warga sudah tidak dapat digunakan lagi karna rusak parah akibat banjir
yang sering terjadi sejak tahun 2019.

Gambar 4. 4 Genangan di BTN Gajah Mada Yahim

80
Gambar 4. 5 Peta Titik Genangan Banjir di Distrik Sentani

81
e. Genangan 4 (BTN Gajah Mada Yahim)
BTN Gajah Mada yang berjarak ± 10 m dari kali matoa dan
berjarak ±70 m dari aliran kali doyo lama, dibangunya perumahan ini
pada daerah aliran air sungai membuat tidak terlepas dari bencana
banjir yang terjadi minimal 2 kali setahun akibat luapan kali-kali
tersebut, BTN ini tidak memliki saluran drainase pemukiman yang
mamadai semakin memperburuk keadaannya. Setengah perumahan
warga sudah tidak dapat digunakan lagi karna rusak parah akibat banjir
yang sering terjadi sejak tahun 2019.

Gambar 4. 6 Genangan di BTN Gajah Mada Yahim

f. Genangan 5 ( Jl. Pasar Lama Sentani)


Genangan di lokasi ini memiliki masalah yang cukup kompleks
saluran sekunder pasar lama yang rusak total dan tidak dapat berfungsi
untuk mengalirkan air hujan. Pada beberapa titik saluran tidak memilik
drain inlet sehingga air hujan dari badan jalan tidak dapat dialirkan
kedalam saluran drainase. Sedimen, sampah dan limbah (grey water)
dari pertokoan sepanjang pasar langsung ke saluran yang sudah rusak
memperburuk keadaan sanitasi lokasi ini. Saluran (tertutup) sekunder

82
kanan dan kiri pasar lama juga tidak memilik Outfall yang jelas (tidak
terhubung ke saluran primer/ drainase natural terdekat).

Gambar 4. 7 Genangan di Jl. Pasar Lama Sentani

g. Genangan 6 ( Jl. Raya Bandara Sentani, Depan SMP 1 Sentani –


Pomba Bensin Sentani)

83
Pada lokasi genangan ini, penyebab terjadinya genangan adalah
kurangnya dimensi saluran drainase dan posisi inlet tidak tepat untuk
menyerap sehingga air hujan menggenangi badan jalan, serta kontur
wilayah yang landai lalu elevasi dasar saluran yang tidak memadai
membuat air hujan tidak dapat menuju outfall dan menggenangi
daerah tersebut.

Gambar 4. 8 Genangan 6 di Jl. Raya Bandara Sentani, Depan SMP 1 Sentani-


Pompa Bensi

84
Tabel 4. 1 Parameter Genangan berdasarkan Permen PUPR No.12 Tahun 2014 tentang penyelenggaraan
sistem drainase perkotaan

Dimensi saluran drainase


2 Genangan 2 kurang&semakin menyempit DAS Abeale 0.9 17 1.4 4-5 kali
akibat pembangunan

Luapan kali kemiri, terlalu


dekat dengan daerah aliran
3 Genangan 3 DAS Kemiri 12 45 4 2 kali
sungai

Luapan kali matoa, terlalu


4 Genangan 4 dekan dengan daerah aliran DAS Kemiri 9.41 50 6 2 kali
sungai

Saluran drainase rusak,


5 Genangan 5 tersumbat sampah dan DAS Abeale 0.85 8 2 4-5 kali
sedimen

Drain intlet tidak tersedia/


6 Genangan 6 tidak tepat posisinya, elevasi DAS Belo 1.3 6 1.4 3-4 kali
dasar saluran tidak memadai

Setelah dilakukan identifikasi secara mendetai, dapat disimpulkan bahwa


penyebab terjadinya banjir dan genangan di Distrik Sentani yaitu tidak tersedianya
saluran drainase, saluran drainase tersumbat akibat sedimen dan sampah, saluran
drainase yang rusak parah, dimensi dan elevasi dasar saluran yang tidak memadai,
tidak tersedianya inlet dan outfall pada sebagian besar jaringan saluran, pola aliran
drainase yang tidak terintergrasi dan perubahan tata guna lahan yang masif akibat
pesatnya pembangunan.

85
4.2 Identifikasi Kondisi Drainase Eksisting
Identifikasi kondisi drainase dilakukan jalan utama dan jalan pendukung di
Distrik Sentani dengan melakukan pengukuran profil melintang pada jalur lurus
setiap 50 m untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai kondisi eksisting
jaringan saluran. Namun untuk kondisi khusus seperti adanya perubahan dimensi
saluran, adanya tikungan dan lain-lain dilakukan sesuai kebutuhan.

Nama Jalan STA

86

Anda mungkin juga menyukai