TINJAUAN PUSTAKA
B. Konsep Nyeri
1. Definisi nyeri
Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan
maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya
(Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP),
nyeri adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan
akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan.
Menurut Engel (1970) menyatakan nyeri sebagai suatu dasar sensasi
ketidaknyamanan yang berhubungan dengan tubuh dimanifestasikan sebagai
penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman atau
fantasi luka. Nyeri adalah apa yang dikatakan oleh orang yang mengalami
nyeri dan bila yang mengalaminya mengatakan bahwa rasa itu ada. Definisi
ini tidak berarti bahwa anak harus mengatakan bila sakit. Nyeri dapat
diekspresikan melalui menangis, pengutaraan, atau isyarat perilaku (Mc
Caffrey & Beebe, 1989 dikutip dari Betz & Sowden, 2002). Universitas
Sumatera Utara
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi
pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang perawat harus
mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam menghadapi klien yang
mengalami nyeri. Hal ini sangat penting dalam pengkajian nyeri yang akurat
dan memilih terapi nyeri yang baik.
a. Usia
Menurut Potter & Perry (1993) usia adalah variabel penting yang
mempengaruhi nyeri terutama pada anak dan orang dewasa. Perbedaan
perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat
mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri.
Anakanak kesulitan untuk memahami nyeri dan beranggapan kalau apa
yang dilakukan perawat dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak yang belum
mempunyai kosakata yang banyak, mempunyai kesulitan mendeskripsikan
secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau perawat.
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji
respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika
sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi (Tamsuri, 2007).Seorang
perawat harus menggunakan teknik komunikasi yang sederhana dan tepat
untuk membantu anak dalam membantu anak dalam memahami dan
mendeskripsikan nyeri. Sebagai contoh, pertanyaan kepada anak, “
Beritahu saya Universitas Sumatera Utaradimana sakitnya?” atau “apa
yang dapat saya lakukan untuk menghilangkan sakit kamu?”. Hal-hal diatas
dapat membantu mengkaji nyeri dengan tepat. Perawat dapat menunjukkan
serangkaian gambar yang melukiskan deskripsi wajah yang berbeda,
seperti tersenyum, mengerutkan dahi atau menangis. Anak-anak dapat
menunjukkan gambar yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan
mereka.
b. Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak mempunyai
perbedaan secara signifikan mengenai respon mereka terhadap nyeri.
Masih diragukan bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang berdiri
sendiri dalam ekspresi nyeri. Misalnya anak laki-laki harus berani dan tidak
boleh menangis dimana seorang wanita dapat menangis dalam waktu yang
sama. Penelitian yang dilakukan Burn, dkk. (1989) dikutip dari Potter &
Perry, 1993 mempelajari kebutuhan narkotik post operative pada wanita
lebih banyak dibandingkan dengan pria.
c. Budaya
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu
mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang
diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi
terhadap nyeri (Calvillo & Flaskerud, 1991). Universitas Sumatera
UtaraNyeri memiliki makna tersendiri pada individu dipengaruhi oleh latar
belakang budayanya (Davidhizar et all, 1997, Marrie, 2002) nyeri biasanya
menghasilkan respon efektif yang diekspresikan berdasarkan latar belakang
budaya yang berbeda. Ekspresi nyeri dapat dibagi kedalam dua kategori
yaitu tenang dan emosi (Davidhizar et all, 1997, Marrie, 2002) pasien
tenang umumnya akan diam berkenaan dengan nyeri, mereka memiliki
sikap dapat menahan nyeri. Sedangkan pasien yang emosional akan
berekspresi secara verbal dan akan menunjukkan tingkah laku nyeri dengan
merintih dan menangis (Marrie, 2002).Nilai-nilai budaya perawat dapat
berbeda dengan nilai-nilai budaya pasien dari budaya lain. Harapan dan
nilai-nilai budaya perawat dapat mencakup menghindari ekspresi nyeri
yang berlebihan, seperti menangis atau meringis yang berlebihan. Pasien
dengan latar belakang budaya yang lain bisa berekspresi secara berbeda,
seperti diam seribu bahasa ketimbang mengekspresikan nyeri klien dan
bukan perilaku nyeri karena perilaku berbeda dari satu pasien ke pasien
lain.Mengenali nilai-nilai budaya yang memiliki seseorang dan memahami
mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya
membantu untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan
harapan dan nilai budaya seseorang. Perawat yang mengetahui perbedaan
budaya akan mempunyai pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien
dan akan lebih akurat dalam mengkaji nyeri dan respon-respon perilaku
terhadap nyeri juga efektif dalam menghilangkan nyeri pasien (Smeltzer&
Bare, 2003).
d. Ansietas
Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan
nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaaan. Riset tidak
memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten antara ansietas dan nyeri
juga tidak memperlihatkan bahwa pelatihan pengurangan stres praoperatif
menurunkan nyeri saat pascaoperatif. Namun, ansietas yang relevan atau
berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap
nyeri. Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi
pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri. Secara umum,
cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan
pengobatan nyeri ketimbang ansietas (Smeltzer & Bare, 2002).
e. Pengalaman masa lalu dengan nyeri
Seringkali individu yang lebih berpengalaman dengan nyeri yang
dialaminya, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan
yang akan diakibatkan. Individu ini mungkin akan lebih sedikit
mentoleransi nyeri, akibatnya ia ingin nyerinya segera reda sebelum nyeri
tersebut menjadi lebih parah. Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu
tersebut mengetahui ketakutan dapat meningkatkan nyeri dan pengobatan
yang tidak adekuat. Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat
dari banyak kejadian nyeri selama rentang kehidupannya. Bagi beberapa
orang, nyeri masa lalu dapat Universitas Sumatera Utarasaja menetap dan
tidak terselesaikan, seperti padda nyeri berkepanjangan atau kronis dan
persisten.
f. Efek yang tidak diinginkan yang diakibatkan dari pengalaman sebelumnya
menunjukkan pentingnya perawat untuk waspada terhadap pengalaman
masa lalu pasien dengan nyeri. Jika nyerinya teratasi dengan tepat dan
adekuat, individu mungkin lebih sedikit ketakutan terhadap nyeri dimasa
mendatang dan mampu mentoleransi nyeri dengan baik (Smeltzer & Bare,
2002).
g. Efek placebo
Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap pengobatan
atau tindakan lain karena sesuatu harapan bahwa pengobatan tersebut
benar benar bekerja. Menerima pengobatan atau tindakan saja sudah
merupakan efek positif. Harapan positif pasien tentang pengobatan dapat
meningkatkan keefektifan medikasi atau intervensi lainnya. Seringkali
makin banyak petunjuk yang diterima pasien tentang keefektifan
intervensi, makin efektif intervensi tersebut nantinya. Individu yang
diberitahu bahwa suatu medikasi diperkirakan dapat meredakan nyeri
hampir pasti akan mengalami peredaan nyeri dibanding dengan pasien
yang diberitahu bahwa medikasi yang didapatnya tidak mempunyai efek
apapun. Hubungan pasien –perawat yang positif dapat juga menjadi peran
yang amat penting dalam meningkatkan efek plasebo (Smeltzer & Bare,
2002). Universitas Sumatera Utarag. Keluarga dan Support Sosial. Faktor
lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah kehadiran dari
orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri sering
bergantung pada keluarga untuk mensupport, membantu atau melindungi.
Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri
semakin bertambah. Kehadiran orangtua merupakan hal khusus yang
penting untuk anak-anak dalam menghadapi nyeri (Potter & Perry, 1993).
h. Pola koping
Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di rumah
sakit adalah hal yang sangat tak tertahankan. Secara terus-menerus klien
kehilangan kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol lingkungan
termasuk nyeri. Klien sering menemukan jalan untuk mengatasi efek nyeri
baik fisik maupun psikologis. Penting untuk mengerti sumber koping
individu selama nyeri. Sumber-sumber koping ini seperti berkomunikasi
dengan keluarga, latihan dan bernyanyi dapat digunakan sebagai rencana
untuk mensupport klien dan menurunkan nyeri klien.Sumber koping lebih
dari sekitar metode teknik. Seorang klien mungkin tergantung pada support
emosional dari anak-anak, keluarga atau teman. Meskipun nyeri masih ada
tetapi dapat meminimalkan kesendirian. Kepercayaan pada agama dapat
memberi kenyamanan untuk berdo’a, memberikan banyak kekuatan untuk
mengatasi ketidaknyamanan yang datang (Potter & Perry, 1993).
3. Klasifikasi Nyeri
Nyeri dikelompokkan sebagai nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut
biasanya datang tiba-tiba, umumnya berkaitan dengan cidera spesifik, jika
kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri akut
biasanya menurun sejalan dengan penyembuhan. Nyeri akut didefinisikan
sebagai nyeri yang berlangsung beberapa detik hingga enam bulan (Brunner
& Suddarth, 1996).
Berger (1992) menyatakan bahwa nyeri akut merupakan mekanisme
pertahanan yang berlangsung kurang dari enam bulan. Secara fisiologis terjadi
perubahan denyut jantung, frekuensi nafas, tekanan darah, aliran darah perifer,
tegangan otot, keringat pada telapak tangan, dan perubahan ukuran
pupil.Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang satu periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan
yang ditetapkan dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak
memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya.
Nyeri kronis sering didefenisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama
enam bulan atau lebih (Brunner & Suddarth, 1996 dikutip dari Smeltzer
2001).
Menurut Taylor (1993) nyeri ini bersifat dalam, tumpul, diikuti berbagai
macam gangguan, terjadi lambat dan meningkat secara perlahan setelahnya,
dimulai setelah detik pertama dan meningkat perlahan sampai beberapa detik
atau menit. Nyeri ini berhubungan dengan kerusakan jaringan, ini bersifat
terusmenerus atau intermitten.
4. Fisiologi Nyeri
Menurut Torrance & Serginson (1997), ada tiga jenis sel saraf dalam
proses penghantaran nyeri yaitu sel syaraf aferen atau neuron sensori, serabut
konektor atau interneuron dan sel saraf eferen atau neuron motorik. Sel-sel
syaraf ini mempunyai reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls
nyeri dihantarkan ke sum-sum tulang belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini
sangat khusus dan memulai impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia
tubuh. Reseptor-reseptor yang berespon terhadap stimulus nyeri disebut
nosiseptor. Stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor melepaskan
zat-zat kimia, yang terdiri dari prostaglandin, histamin, bradikinin, leukotrien,
substansi p, dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia ini akan mensensitasi ujung
syaraf dan menyampaikan impuls ke otak (Torrance & Serginson, 1997).
Menurut Smeltzer & Bare (2002) kornu dorsalis dari medula spinalis
dapat dianggap sebagai tempat memproses sensori. Serabut perifer berakhir
disini dan serabut traktus sensori asenden berawal disini. Juga terdapat
interkoneksi antara sistem neural desenden dan traktus sensori asenden.
Traktus asenden berakhir pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan
impuls-impuls dipancarkan ke korteks serebri. Agar nyeri dapat diserap secara
sadar, neuron pada sistem asenden harus diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai
akibat input dari reseptor nyeri yang terletak dalam kulit dan organ internal.
Terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis Universitas Sumatera
Utarayang ketika diaktifkan, menghambat atau memutuskan taransmisi
informasi yang menyakitkan atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras
asenden.
Seringkali area ini disebut “gerbang”. Kecendrungan alamiah gerbang
adalah membiarkan semua input yang menyakitkan dari perifer untuk
mengaktifkan jaras asenden dan mengaktifkan nyeri. Namun demikian, jika
kecendrungan ini berlalu tanpa perlawanan, akibatnya sistem yang ada akan
menutup gerbang. Stimulasi dari neuron inhibitor sistem asenden menutup
gerbang untuk input nyeri dan mencegah transmisi sensasi nyeri (Smeltzer &
Bare, 2002).
Teori gerbang kendali nyeri merupakan proses dimana terjadi interaksi
antara stimulus nyeri dan sensasi lain dan stimulasi serabut yang mengirim
sensasi tidak nyeri memblok transmisi impuls nyeri melalui sirkuit gerbang
penghambat. Sel-sel inhibitor dalam kornu dorsalis medula spinalis
mengandung eukafalin yang menghambat transmisi nyeri (Wall, 1978 dikutip
dari Smeltzer & Bare, 2002).
Keterangan :
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai,
dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya,
dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan,
dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi
nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi, memukul.
Menurut Wong-Bakers :
a. Kompres hangat/dingin
b. Latihan nafas dalam
c. Musik
d. Aromatherapi
e. Reiki
f. Imajinasi terbimbing
g. Hipnosis
h. Relaksasi
C. Konsep Osteoarthritis (OA)
1. Definisi Osteoarthritis (OA)
Definisi Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit degeneratif pada kartilago
sendi yang banyak ditemukan. OA lutut lebih sering menyebabkan disabilitas
dibandingkan OA pada sendi lain. Penderita OA mengeluh nyeri pada waktu
melakukan aktivitas atau jika ada pembebanan pada sendi yang terkena. Pada
derajat yang lebih berat nyeri dapat dirasakan terus menerus sehingga sangat
mengganggu mobilitas penderita.
Prevalensi OA pada sendi meningkat secara progresif dengan meningkatnya
usia yang merupakan faktor resiko yang kuat untuk terjadinya OA. Wanita 2
kali lebih banyak menderita OA dibandingkan pria, dimana wanita kulit hitam
dengan OA lebih banyak 2 kali dibandingkan wanita kulit putih.
Pada usia lebih dari 65 tahun, baik secara klinik maupun radiologi didapatkan
peningkatan jumlah kasus OA lutut. Menurut The Framingham Osteoarthritis
Study gambaran radiologik OA lutut yang berat (grade III dan IV menurut
kriteria Kellgreen-Lawrence) makin meningkat dengan bertambahnya umur,
yaitu 11,5% pada usia kurang dari 70 tahun, 17,8% pada umur 70-79 tahun
dan 19,4% pada usia lebih dari 80 tahun. Wanita yang mempunyai gambaran
radiologik osteoarthritis berat adalah 10,6% pada umur kurang dari 70 tahun,
17,6% pada umur 70-79 tahun dan 21,1% pada umur lebih dari 80 tahun;
sedangkan pada laki-laki 12,8% pada umur kurang dari 70 tahun, 18,2% pada
umur 70-79 tahun dan 17,9% pada umur lebih dari 80 tahun. Prevalensi
radiologik OA akan meningkat sesuai dengan umur. Pada umur di bawah 45
tahun jarang didapatkan gambaran radiologik yang berat. Pada usia tua
gambaran radiologik OA lutut yang berat mencapai 20%.
Dari aspek rehabilitasi medik, penyakit sendi degeneratif, dapat menimbulkan
kecacatan fisik dalam beberapa tingkat, yaitu, tingkat impairmen (kerusakan
sendi, terutama yang menyebabkan keluhan nyeri), tingkat disabilitas (adanya
kecacatan fisik, sehingga terganggunyaactivity of daily living), dan handikap
(tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan, akibat hambatan psikologis,
sosial, dan vokasional oleh karena kecacatan fisik yang dideritanya).
Sebagian besar manajemen OA bertujuan untuk mengurangi nyeri secara
farmakologis. Pemberian latihan juga sudah umum diberikan pada pasien OA,
tetapi masih banyak difokuskan hanya pada impairmen lokal di sekitar sendi
yang terkena seperti kelemahan otot, keterbatasan luas gerak sendi, dan nyeri.
Padahal manajemen yang efektif seharusnya juga memperhatikan
keterbatasan fungsional dan disabilitas sekunder yang timbul karena
impairmen lokal pada OA. Oleh karena itu pada tinjauan kepustakaan ini akan
dibahas latihan secara holistik untuk pasien OA lutut.
Definisi osteoarthritis menurut American Rheumatism Association
(ARA) adalah ‘sekelompok kondisi heterogen yang menyebabkan timbulnya
gejala dan tanda pada lutut yang berhubungan dengan defek integritas
kartilgo, dan perubahan pada tulang di bawahnya dan pada batas
sendi.5 Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif pada
kartilago sendi dengan perubahan reaktif pada batas-batas sendi, seperti
pembentukan osteofit, perubahan tulang subkondral, perubahan sumsum
tulang, reaksi fibrous pada sinovium, dan penebalan kapsul sendi.Sendi yang
bisa terkena OA adalah sendi-sendi benar (‘true joint’ atau diarthrosis), yaitu
sendi-sendi yang mempunyai kapsul sendi, membran sinovialis, cairan
sinovialis, dan kartilago sendi.
2. Anatomi
Sendi lutut terdiri dari sendi tibiofemoral dan patelofemoral yang
disusun oleh tulang tibia, femur dan patella. Permukaan distal kondilus
medialis dan lateralis femur tidak kongruen dengan permukaan proksimal
tibia. Hal ini dikompensasi oleh meniskus medialis dan lateralis yang
merupakan jaringan kartilago berbentuk semilunar. Sendi lutut diperkuat
ligamentum kolateral medialis, ligamentum kolateral lateralis, ligamentum
krusiatum anterior, ligamentum krusiatum posterior, dan otot – otot sekitar
lutut.
3. Patogenesis
OA dapat terjadi berdasarkan 2 mekanisme berikut, yaitu (1) Beban yang
berlebihan pada komponen material kartilago sendi dan tulang subkondral
yang normal, sehingga terjadi kerusakan/kegagalan jaringan, dan (2) kualitas
komponen material kartilago yang jelek sehingga dengan beban yang normal
pun tetap terjadi kerusakan.
Perubahan yang terjadi pada OA adalah ketidakrataan rawan sendi disusul
ulserasi dan hilangnya rawan sendi sehingga terjadi kontak tulang dengan
tulang dalam sendi disusul dengan terbentuknya kista subkondral, osteofit
pada tepi tulang, dan reaksi radang pada membrane sinovial. Pembengkakan
sendi, penebalan membran sinovial dan kapsul sendi, serta teregangnya
ligament menyebabkan ketidakstabilan dan deformitas.
Otot di sekitar sendi menjadi lemah karena efusi sinovial dan disuse
atrophy pada satu sisi dan spasme otot pada sisi lain. Perubahan biomekanik
ini disertai dengan perubahan biokimia dimana terjadi gangguan metabolisme
kondrosit, gangguan biokimia matrik akibat terbentuknya enzim
metalloproteinase yang memecah proteoglikan dan kolagen.
4. Diagnosis
Diagnosis OA lutut dibuat berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Nyeri merupakan keluhan yang paling sering terjadi
pada penderita penyakit sendi degeneratif yang menyebabkan penderita
datang berobat. Nyeri dipicu oleh pergerakan, dan berkurang dengan istirahat,
kecuali pada tahap lanjut, rasa nyeri tetap terasa pada saat tidur. Tahap dini
pada umumnya tidak terasa nyeri, oleh karena rawan sendi adalah aneural.
Nyeri timbul dari mikrofraktur tulang subkhondral dan inflamasi pada
membran sinovium. Struktur artikuler yang sensitif terhadap nyeri adalah
kapsul sendi, bantalan lemak sendi, dan tulang subkhondral, sedangkan dari
struktur ekstra artikuler adalah ligamen, tendon, dan bursa. Pada tahap lanjut,
pada umumnya nyeri disebabkan oleh karena fibrosis kapsuler, kontraktur
sendi, dan kelelahan otot.
Kekakuan sendi (“stiffness”), sering timbul pagi hari, dan keluhan dapat
hilang dalam 15 menit. Kekakuan dapat berubah permanen, yang diduga
disebabkan oleh karena terjadinya kerusakan permukaan sendi dan fibrosis
kapsul. Edema persendian dapat berasal dari efusi cairan sinovial serta dapat
disertai dengan eritema ringan. Pemeriksaan penunjang rutin yang dilakukan
untuk evaluasi OA lutut adalah pemeriksaan rontgen konvensional. Gambaran
khas pada OA lutut adalah adanya osteofit dan penyempitan celah sendi.
Berdasarkan pemeriksaan radiologi, Kellgren & Lawrence menyusun gradasi
OA lutut menjadi :
1) Grade 0 : tidak ada OA
2) Grade 1 : sendi dalam batas normal dengan osteofit meragukan
3) Grade 2 : terdapat osteofit yang jelas tetapi tepi celah sendi baik dan tak
nampak deformitas tulang.
4) Grade 3 : terdapat osteofit dan deformitas ujung tulang dan penyempitan
celah sendi.
5) Grade 4 : terdapat osteofit dan deformitas ujung tulang dan disertai
hilangnya celah sendi.
The American College of Rheumatology menyusun kriteria diagnosis OA
lutut idiopatik berdasarkan pemeriksaan klinis dan radiologi sebagai berikut :
Klinis dan laboratorium Klinis dan radiologis Klinis
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan OA lutut terdiri dari terapi farmakologik dan non
farmakologik. Terapi farmakologik dapat berupa analgesik baik dari golongan
non steroid (NSAID) maupun golongan steroid, dapat diberikan oral maupun
injeksi intraartikular. Suplemen glukosamin sulfat dan kondroitin sulfat
sebagai bahan dasar tulang rawan sendi juga sering digunakan sebagai terapi
OA. Mekanisme kerjanya belum diketahui secara pasti, tetapi dikatakan
bermanfaat dalam metabolisme kartilago sendi dan mempunyai efek anti
inflamasi. Injeksi intraartikular dengan asam hyaluronat sebagai
viscosuplement dikatakan juga dapat memperbaiki kekentalan dan elastisitas
cairan sinovial, efek anti inflamasi dan anti nosiseptif, menghambat degradasi
enzim kartilago sendi, spons mekanik (absorbsi mediator inflamasi), umpan
balik positif untuk sintesis asam hyaluronat endogen, dan merangsang sintesis
matriks tulang sendi.
non farmakologis terdiri dari edukasi pada penderita, terapi modalitas,
latihan, dan pemberian alat bantu/ortesa. Terapi modalitas bisa berupa terapi
panas (Short wave diathermy, micro wave diathermy, ultrasound
diathermy), terapi dingin, TENS, dan terapi laser. Pemakaian terapi panas
bertujuan mengurangi nyeri, mengurangi spasme otot, mengurangi kekakuan
sendi, menambah ekstensibilitas tendon. Kompres dingin pada sendi OA akan
menghambat aktivitas kolagenase di dalam sinovium. Kompres dingin juga
mengurangi spasme otot. Terapi listrik TENS (Transcutaneous Electrical
Nerve Stimulation) digunakan untuk mengurangi nyeri melalui kerjanya
menaikkan ambang rangsang nyeri. Terapi laser pada dekade terakhir ini
mulai populer digunakan pada OA untuk mengurangi nyeri.
Ortosis atau alat bantu pada OA lutut diberikan untuk mengurangi
beban sendi, menstabilkan sendi, mengurangi gerakan sendi, memelihara
sendi pada posisi fungsi maksimal, dan mencegah deformitas. Terapi bedah
(arthroscopy, osteotomy, atrhroplasty) diindikasikan pada pasien yang tidak
responsif dengan terapi konservatif.
6. Terapi Latihan Pada Penderita OA Lutut
Latihan merupakan bagian penting dalam manajemen pasien dengan OA lutut.
Menurut Minor, tujuan program latihan pada pasien OA adalah:
a. Mengurangi impairmen dan memperbaiki fungsi. Misalnya mengurangi
nyeri sendi, meningkatkan kekuatan otot, meningkatkan luas gerak sendi,
menormalkan pola jalan, dan memperbaiki kemampuan melakukan
aktivitas sehari-hari.
b. Melindungi sendi dari kerusakan lebih lanjut dengan cara mengurangi
stress pada sendi, mengurangi joint forces, dan memperbaiki biomekanik
sendi
c. Mencegah disabilitas dan menurunnya kesehatan yang terjadi sekunder
karena inaktivitas dengan meningkatkan level aktifitas fisik sehari-hari
dan memperbaiki daya tahan fisik.
Program latihan pada pasien OA harus disusun secara individual sesuai
keadaan pasien. Pada pasien dengan kelemahan otot yang signifikan dan
berkurangnya gerakan sendi, tujuan awal dari latihan adalah mengurangi
impairmen, memperbaiki fungsi, dan persiapan untuk aktivitas fisik.Pada
pasien OA dengan kekuatan otot dan luas gerak sendi (LGS) yang baik
maka program latihan difokuskan pada perlindungan sendi dan general
conditioning.
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam menyusun program
latihan untuk penderita OA lutut, yaitu :
a. Derajat penyakit dan alignment sendi
Derajat OA bisa mempengaruhi respon penderitanya terhadap latihan.
Penelitian Fransen dkk menunjukkan bahwa pasien dengan celah sendi
lutut sisi medial yang lebih sempit berespon kurang baik dibandingkan
dengan pasien yang celah sendinya lebih lebar. Pada pasien OA dengan
genu varus maka akan terjadi peningkatan beban di sisi medial lutut saat
jalan cepat. Oleh karena itu perlu dgunakan ortosis misalnya
dengan lateral wedge, atau knee brace. Selain itu pada kondisi inflamasi
akut atau udema sendi yang signifikan, latihan harus ditunda sampai
inflamasi berkurang.
b. Nyeri
Nyeri merupakan gejala utama pada pasien OA yang sering
menyebabkan pasien membatasi aktivitasnya. Latihan penguatan dapat
mengurangi keluhan nyeri pada pasien OA. Pada tahap awal digunakan
latihan penguatan otot isometrik karena gerak sendi yang terbatas
sehingga tidak menimbulkan nyeri.4 Selain itu sebelum melakukan
latihan aerobik harus dilakukan latihan pemanasan muskuloskletal dan
kardiovaskular serta latihan fleksibilitas. Latihan dilakukan sebatas
gerakan bebas nyeri serta harus menghindari postur dan gerakan
yang meningkatkan nyeri dan menibulkan udema. Pasien juga diajari
untuk memonitor sendiri latihannya untuk menghindari nyeri
dan delayed onset muscle soreness.
c. Usia
Usia bukan merupakan kontraindikasi melakukan
latihan. Guideline latihan sama bisa diterapkan pada penderita usia
lanjut dengan memperhatikan adanya resiko fraktur dan ganguan
keseimbangan.
d. Obesitas
Obesitas merupakan faktor resiko terjadinya OA. Menurunkan berat
badan diketahui menurunkan gejala OA dan resiko terjadinya OA.
Program penurunan berat badan harus termasuk dalam program latihan
pasien OA dengan obesitas. Berjalan dengan kecepatan sedang,
bersepeda, dan latihan di air merupakan latihan yang aman dan
bermanfaat untuk pasien OA lutut dan hip, termasuk pasien yang
obesitas/overweight.
7. Latihan untuk pasien OA lutut
Belum ada formula latihan yang pasti untuk pasien OA lutut. Walaupun
demikian prinsip yang umum digunakan dalam program rehabilitasi medik
untuk pasien OA terdiri dari beberapa komponen.
a. Latihan luas gerak sendi (LGS)/fleksibilitas dan peregangan/stretching
Pada saat gerakan sendi terjadi kompresi dan dekompresi kartilago sendi
yang penting untuk nutrisi adekuat dan keseimbangan aktivitas anabolik
dan katabolik di kartilago sendi. Imobilisasi dan joint loading yang tidak
adekuat menyebabkan atrophy kartilago. Inaktivitas juga menyebabkan
berkurangnya fleksibilitas dan berkurangnya compliance kapsul sendi,
ligamen, dan sinovium
Prinsip umum latihan LGS adalah bahwa sendi terutama sendi lutut
digerakkan pada luas gerak sendi penuh untuk mencegah motion loss yang
sering terjadi pada sendi OA. Latihan LGS aktif diberikan apabila pasien
mempunyai LGS penuh dan kekuatan otot yang cukup untuk dapat
menggerakkan ototnya sendiri. Latihan LGS aktif assistif diberikan jika
kekuatan otot pasien tidak cukup kuat untuk dapat menggerakkan
sendinya sendiri. Latihan LGS dilakukan pada sendi lutut dan sendi lain
yang berdekatan serta sendi-sendi kontralateral.
Berkurangnya LGS merupakan sekuele yang sering terjadi pada penderita
OA. Pada OA lutut umumnya terjadi berkurangnya ekstensi (lag
extension), tetapi fleksi lutut pun sering berkurang. Ada beberapa faktor
yang bisa menyebabkan berkurangnya LGS pada OA, antara lain
perubahan pada sendi, pemendekan struktur myotendinosus di sekitar
sendi karena nyeri dan kelemahan. Otot yang lebih pendek dari panjang
idealnya menyebabkan kerugian secara biomekanik saat ia bekerja. Oleh
karena itu latihan peregangan harus diberikan sejak awal
Latihan fleksibilitas dimulai dengan pasien menggerakkan sendinya pada
seluruh luas gerak sendi yang ada untuk mencegah berkurangnya luas
gerak sendi. Selanjutnya ditambahkan latihan peregangan yang dilakukan
dengan pelan, gentle, dan sustained stretching.
Sustained stretching adalah menahan peregangan selama 20-40 detik, atau
lebih, kemudian relaks, dan mengulangi peregangan lagi. Peregangan yang
tiba-tiba, kasar, atau ballistic stretching harus dihindari karena bisa
menimbulkan eksaserbasi OA. Untuk pasien OA hip dan lutut otot yang
penting untuk diregangkan adalah otot quadrisep dan hamstring.
Luas gerak sendi yang cukup, kekuatan otot, dan daya tahan sangat
penting untuk aktivitas berjalan, keseimbangan, naik-turun tangga, dan
bangkit dari kursi. Tabel berikut menunjukkan LGS ekstremitas bawah
yang diperlukan untuk beberapa aktivitas
Tabel 3.2. LGS fungsional untuk ekstremitas bawah
Sendi Gerakan Luas gerak sendi (o)
Berjalan di Naik tangga Bangkit dari kursi
tempat datar
Panggul Ekstensi 15 7 0
Fleksi 37 67 112
Abduksi 7 8 20
Adduksi 5 - -
Rotasi interna 4 - -
Rotasi eksterna 9 10 17
Lutut Ekstensi 0 0 0
Fleksi 70 83 93
Pergelangan Dorsofleksi 10 15 15
kaki Plantarfleksi 15 10 -