Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN

OSTEOPOROSIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk tugas mata kuliah Gerontik

Dosen Pengampu :

Fitra Handika Hutama, S.Kep.,Ns.,M.Kes.

Disusun Oleh :

Afida Febi Irawan 202114401001

Evi Puspitasari 202114401020

Nisa Nur Fadhilah 202114401040

Rizki Dwi Sasongko 202114401050

KELOMPOK 10
PROGRAM STUDI
DIPLOMA III KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI KESEHATAN SATRIA BHAKTI NGANJUK
2021/2022
LEMBAR PENGESAHAN

Lembar pengesahan laporan pendahuluan Asuhan Keperawatan Pada Klien


Dengan Gangguan Osteoporosis disusun oleh :

1. Afida Febi Irawan


2. Evi Puspitasari
3. Nisa Nur Fadhilah
4. Rizki Dwi Sasongko

Telah disetujui pada :

Hari/tanggal :

Mengetahui,

Dosen Pengampu

Fitra Handika Hutama, S.Kep.,Ns.,M.Kes

ii
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr Wb

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang mana berkat karunia-Nyalah
sehingga kami dapat menyelesaikan proposal mengenai Penyuluhan Gangguan
Keseimbangan “Resiko Jatuh” Pada Lansia, yang kami susun untuk mememnuhi
salah satu tugas mata kuliah keperawatan gerontik. Tak lupa pula shalawat dan
salam semoga selalu tercurah kepada Nabi akhir zaman Baginda Muhammad SAW,
keluarga, para sahabat, dan seluruh umatnya. Kami mengakui dalam proposal ini
masih banyak kekurangan sehingga hasilnya jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu kami sangat berharap kepada semua pihak kiranya memberikan kritik dan saran
yang sifatnya membangun.

Besar harapan kami dengan terselesaikan proposal ini dapat menjadi bahan
tambahan bagi penilaian dosen, semoga proposal ini dapat diambil manfaatnya oleh
semua pihak yang membaca proposal ini.

Wassalamualaikum Wr Wb

Nganjuk, 28 Oktober 2022

Tim Penyusun

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv

LAPORAN PENDAHULUAN ............................................................................ 5

A KONSEP MEDIS ...................................................................................... 5

B KONSEP LANSIA.................................................................................. 11

C KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN ................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 23

iv
LAPORAN PENDAHULUAN

A KONSEP MEDIS

1. Definisi
Menurut WHO Osteoporosis atau dikenal dengan keropos tulang adalah
penyakit skeletal sistemik dengan karakteristik massa tulang yang rendah dan
perubahan mikroarsitektur dari jaringan tulang dengan akibat meningkatnya
fragilitas tulang dan meningkatnya kerentanan terhadap patah tulang. (Lukman &
Ningsih, 2012)
Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi penurunan massa tulang total.
Terdapat perubahan pergantian tulang homeostasis normal, kecepatan resoprsi
tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang, mengakibatkan penurunan
massa tulang total. Tulang secara progresif menjadi porus, rapuh, dan mudah patah.
Tulang menjadi mudah fraktur dengan stress yang tidak akan menimbulkan pada
tulang normal. Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur konversi vertebra
torakalis dan lumbalis,fraktur daerah koulum femoris dan daerah tronkanter, dan
patah tulang tulang coles pada pergelangan tangan. Fraktur kompresi ganda fertebra
mengakibatkan deformitas skeletal. (Ode, 2012)

2. Klasifikasi

Klasifikasi osteoporosis dibagi ke dalam dua kelompok yaitu osteoporosis


primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer merupakan kehilangan
massa tulang yang terjadi sesuai dengan proses penuaan. Sedangakan osteoporosis
sekunder merupakan kehilangan massa tulang yang mungkin berhubungan dengan
kelainan patologis tertentu termasuk kelainan endokrin, efek samping obat obatan,
immobilitas.

5
Menurut Djuwantoro D, osteoporosis dibagi menjadi lima kelompok :

a. Osteoporosis postmenopouse (Tipe I) merupakan bentuk yang paling sering


ditemukan pada wanita kulit putih dan Asia. Bentuk osteoporosis ini
disebabkan oleh percepatan resorpsi tulang yang berlebihan dan lama setelah
penurunan sekresi hormon estrogen pada masa menopouse.
b. Osteoporosis involutional (Tipe II) terjadi pada usia di atas 75 tahun pada
perempuan maupun laki – laki. Tipe ini diakibatkan oleh ketidakseimbangan
yang samar dan lama antara kecepatan resorpsi tulang dengan kecepatan
pembentukan tulang.
c. Osteoporosis idiopatik adalah tipe osteoporosis primer yang jarang terjadi pada
wanita premenopouse dan pada laki – laki yang berusia di bawah 75 tahun.
Tipe ini tidak berkaitan dengan penyebab sekunder atau faktor risiko yang
mempermudah timbulnya penurunan densitas tulang.
d. Osteoporosis juvenil merupakan bentuk yang jarang terjadi dan bentuk
osteoporosis yang terjadi pada anak – anak prepubertas.
e. Osteoporosis sekunder penurunan densitas tulang yang cukup berat untuk
menyebabkan fraktur atraumatik akibat faktor ekstrinsik seperti kelebihan
kortikosteroid, artritis reumatoid, kelainan hati/ginjal kronis, sindrom
malabsorbsi, mastositosis sistemik, hiperparatiroidisme, hipertiroidisme,
varian status hipogonade, dan lain – lain.

3. Etiologi

Osteoporosis postmenopause terjadi karena kekurangan estrogen (hormon


utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam
tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia diantara 51-
75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua
wanita memiliki risiko yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopause,
pada wanita kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini
daripada wanita kulit hitam.

6
Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan
kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan di antara kecepatan
hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis yaitu keadaan
penurunan massa tulang yang hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya
terjadi pada usia di atas 70 tahun dan dua kali lebih sering menyerang wanita.
Wanita sering kali menderita osteoporosis senilis dan postmenopause.

Kurang dari lima persen penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis


sekunder, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan.
Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal
(terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal) dan obat - obatan (misalnya kortikosteroid,
barbiturat, anti-kejang, dan hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol
yang berlebihan dan kebiasaan merokok bisa memperburuk keadaan ini.

Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang


penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang
memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal dan
tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang.

4. Patofisiologi

Remodeling tulang normal pada orang dewasa akan meningkatkan masa


tulang sampai sekitar usia 35 tahun. Genetik, nutrisi, pilihan gaya hidup dan
aktifitas fisik mempengaruhi puncak masa tulang menghilangnya estrogen pada
saat menopause dan pada ooforektomi mengakibatkan percepatan resorsi tulang
dan berlangsung terus menerus selama bertahun tahun pascamenopouse. Pria
mempunyai massa tulang yang lebih besar dan tidak mengalami perubahan
hormonal mendadak. Akibatnya, insidensi osteoporosis lebih rendah pada pria.
Faktor nutrisi mempengaruhi pertumbuhan osteoporosis. Vitamin D penting untuk
absorpsi kalsium dan untuk mineralisasi tulang normal. Diet mengandung kalsium
dan vitamin D harus mencukupi untuk mempertahankan remodeling tulang dan
fungsi tubuh. Asupan kalsium dan vitamin D yang tidak mencukupi selama

7
bertahun tahun mengakibatkan pengurangan massa tulang dan pertumbuhan
osteoporosis. Asupan harian yang dianjurkan (RDA = Recomment daily
allowence) kalsium meningkat pada adoleasens dan dewasa muda (11 24 thn)
sampai 1200 mg untuk memaksimalkan puncak massa tulang. RDA untuk orang
dewasa tetap 800 mg, tapi 1000-1500 mg/hari untuk wanita pascamenopouse
biasanya dianjurkan, lansia menyerap kalsium diet kurang efisien dan
mensekresikannya lebih cepat melalui ginjal maka wanita pascamenopouse dan
lansia perlu mengkonsumsi kalsium dalam jumlah talk terbatas. Bahan katabolic
endogen (diproduksi oleh tubuh) dan eksogen (dari sumber luar) dapat
menyebabkan osteoporosis. Kortikosteroid berlebih, syndrome chusing,
hipertiroidsme dan hiperparatiroidesme menyebabkan kehilangan tulang. Derajat
osteoporosis berhubungan dengan durasi terapi kortikosteroid. Ketika terapi
dihentikan atau masalah metabolisme telah diatasi, perkembangan osteoporosis
akan berhenti namun restorasi kehilangan massa tulang biasanya tidak terjadi.
Keadaan medis menyerta (misalnya sindrom malabsorpsi intoleransi laktosa,
penyalahgunaan alcohol, gagal gnjal, gagal hepar dan gangguan endokrin)
mempengaruhi pertumbuhan osteoporosis. Obat obatan misalnya isoniasit,
heparin, tetrasiklin, antasida yang mengandung alumunium, kortikosteroid)
mempengaruhi tubuh dan metabolism kalsium.

Imobilitas menyumbang perkembangan osteoporosis. Pembentukan tulang


dipercepat dengan adanya stress berat badan dan aktifitas otot. Ketika diimobilisasi
dengan gips, paralisis atau inalktifitas umum, tulang akan diresorpsilebh cepat dari
pembentukannya dan terjadilah osteoporosis.

5. Manifestasi

Pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala pada beberapa


penderita. Jika kepadatan tulang sangat berkurang yang menyebabkan tulang
menjadi kolaps atau hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk.
Tulang – tulang yang terutama terpengaruh pada osteoporosis adalah radius distal,
korpus vertebrata terutama mengenai T8-L4, dan kollum femoris. Kolaps tulang

8
belakang yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau karena cedera
ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba – tiba dan dirasakan di daerah tertentu
dari punggung, yang akan bertambah nyeri jika penderita berdiri atau berjalan. Jika
disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit, tetapi biasanya rasa sakit ini akan
menghilang secara bertahap setelah beberapa minggu atau beberapa bulan.

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologis
Gejala radiologis yang khas adalah densitas atau masa tulang yang menurun
yang dapat dilihat pada vertebra spinalis. Dinding dekat korpus vertebra
biasanya merupakan lokasi yang paling berat. Penipisa korteks dan
hilangnya trabekula transfersal merupakan kelainan yang sering ditemukan.
Lemahnya korpus vertebra menyebabkan penonjolan yang menggelembung
dari nukleus pulposus ke dalam ruang intervertebral dan menyebabkan
deformitas bikonkaf.
b. CT-Scan
CT-Scan dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif yang
mempunyao nilai penting dalam diagnostik dan terapi follow up. Mineral
vertebra di atas 110 mg/cm³ baisanya tidak menimbulkan fraktur vetebra
atau penonjolan, sedangkan mineral vertebra dibawah 65 mg/cm³ ada pada
hampir semua klien yang mengalami fraktur.
c. Pemeriksaan Laboratorium
 Kadar Ca, P, Fosfatase alkali tidak menunjukkan kelainan yang nyata.
 Kadar HPT (pada pascamenoupouse kadar HPT meningkat) dan Ct (terapi
ekstrogen merangsang pembentukkan Ct)
 Kadar 1,25-(OH),-D3 absorbsi Ca menurun.
 Eksresi fosfat dan hidroksipolin terganggu sehingga meningkat kadarnya.

9
7. Penatalaksanaan

Diet kaya kalsium dan vitamin D yang mencangkupi dan seimbang sepanjang
hidup, dengan peningkatan asupan kalsium pada permulaan umur pertengahan
dapat melindungi terhadap demineralisasi skeletal. Terdiri dari 3 gelas vitamin D
susu skim atau susu penuh atau makanan lain yang tinggi kalsium (mis. Keju swis,
brokoli kukus, salmon kalengdengan tulangnya) setiap hari. Untuk meyakinkan
asupan kalsium yang mencukupi perlu diresepkan preparat kalsium (kalsium
karbonat).

Pada menopause, terapi pergantian hormone (HRT = hormone replacemenet


therapy) dengan estrogen dan progesteron dapat diresepkan untuk memperlambat
kehilangan tulang dan mencegah terjadinya patah tulang yang diakibatkannya.
Wanita yang telah mengalami pengangkatan ovarium atau telah menjalani
menopause prematur dapat mengalami osteoporosis pada usia yang cukup muda,
penggantian hormon perlu dipikirkan pada pasien ini estrogen menurunkan resorpsi
tulang tapi tidak meningkatkan massa tulang

10
B KONSEP LANSIA

1. Definisi

Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menua
bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur
mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan
tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh, seperti didalam
Undang-Undang No 13 tahun 1998 yang isinya menyatakan bahwa pelaksanaan
pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, telah menghasilkan
kondisi sosial masyarakat yang makin membaik dan usia harapan hidup makin
meningkat, sehingga jumlah lanjut usia makin bertambah. Banyak diantara lanjut
usia yang masih produktif dan mampu berperan aktif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial
lanjut usia pada hakikatnya merupakan pelestarian nilai-nilai keagamaan dan
budaya bangsa. Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaaan yang terjadi di
dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak
hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan.
Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga
tahap kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua (Nugroho, 2006).

2. Batasan Lansia

WHO (1999) menjelaskan batasan lansia adalah sebagai berikut :

a. Usia lanjut (elderly) antara usia 60-74 tahun,


b. Usia tua (old) :75-90 tahun, dan
c. Usia sangat tua (very old) adalah usia > 90 tahun.

Depkes RI (2005) menjelaskan bahwa batasan lansia dibagi menjadi tiga katagori,
yaitu:

a. Usia lanjut presenilis yaitu antara usia 45-59 tahun,


b. Usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas,

11
c. Usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60 tahun ke atas

dengan masalah kesehatan.

3. Ciri – Ciri Lansia

Ciri-ciri lansia adalah sebagai berikut :

a. Lansia merupakan periode kemunduran.

Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor
psikologis.Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada lansia.
Misalnya lansia yang memiliki motivasi yang rendah dalam melakukan kegiatan,
maka akan mempercepat proses kemunduran fisik, akan tetapi ada juga lansia yang
memiliki motivasi yang tinggi, maka kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama
terjadi.

b. Lansia memiliki status kelompok minoritas.

Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan
terhadap lansia dan diperkuat oleh pendapat yang kurang baik, misalnya lansia yang
lebih senang mempertahankan pendapatnya maka sikap sosial di masyarakat
menjadi negatif, tetapi ada juga lansia yang mempunyai tenggang rasa kepada orang
lain sehingga sikap sosial masyarakat menjadi positif.

c. Menua membutuhkan perubahan peran.

Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami


kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan
atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari lingkungan. Misalnya
lansia menduduki jabatan sosial di masyarakat sebagai Ketua RW, sebaiknya
masyarakat tidak memberhentikan lansia sebagai ketua RW karena usianya.

d. Penyesuaian yang buruk pada lansia.

Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka cenderung


mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga dapat memperlihatkan bentuk

12
perilaku yang buruk. Akibat dari perlakuan yang buruk itu membuat penyesuaian
diri lansia menjadi buruk pula. Contoh : lansia yang tinggal bersama keluarga sering
tidak dilibatkan untuk pengambilan keputusan karena dianggap pola pikirnya kuno,
kondisi inilah yang menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan, cepat
tersinggung dan bahkan memiliki harga diri yang rendah.

4. Perkembangan Lansia

Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan manusia
di dunia. Tahap ini dimulai dari 60 tahun sampai akhir kehidupan. Lansia
merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Semua orang akan mengalami
proses menjadi tua (tahap penuaan). Masa tua merupakan masa hidup manusia yang
terakhir, dimana pada masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan
sosial sedikit demi sedikit sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi
(tahap penurunan).

Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk


tubuh, jaringan dan sel, yang mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada
manusia, penuaan dihubungkan dengan perubahan degeneratif pada kulit, tulang,
jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh lainnya. Dengan
kemampuan regeneratif yang terbatas, mereka lebih rentan terhadap berbagai
penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan orang dewasa lain. Untuk
menjelaskan penurunan pada tahap ini, terdapat berbagai perbedaan teori, namun
para ahli pada umumnya sepakat bahwa proses ini lebih banyak ditemukan pada
faktor genetik.

5. Permasalahan Lansia di Indonesia

Kesadaran setiap lansia untuk menjaga kesehatan dan menyiapkan hari tua
dengan sebaik dan sedini mungkin merupakan hal yang sangat penting. Semua
pelayanan kesehatan harus didasarkan pada konsep pendekatan siklus hidup dengan
tujuan jangka panjang, yaitu sehat sampai memasuki lanjut usia. Pendapat lain
menjelaskan bahwa lansia mengalami perubahan dalam kehidupannya sehingga
menimbulkan beberapa masalah. Permasalahan tersebut diantaranya yaitu :

13
a. Masalah fisik
Masalah yang hadapi oleh lansia adalah fisik yang mulai melemah, sering
terjadi radang persendian ketika melakukan aktivitas yang cukup berat, indra
pengelihatan yang mulai kabur, indra pendengaran yang mulai berkurang serta
daya tahan tubuh yang menurun, sehingga seringsakit.
b. Masalah kognitif ( intelektual )
Masalah yang hadapi lansia terkait dengan perkembangan kognitif, adalah
melemahnya daya ingat terhadap sesuatu hal (pikun), dan sulit untuk
bersosialisasi dengan masyarakat di sekitar.
c. Masalah emosional
Masalah yang hadapi terkait dengan perkembangan emosional, adalah rasa
ingin berkumpul dengan keluarga sangat kuat, sehingga tingkat perhatian
lansia kepada keluarga menjadi sangat besar. Selain itu, lansia sering marah
apabila ada sesuatu yang kurang sesuai dengan kehendak pribadi dan sering
stres akibat masalah ekonomi yang kurang terpenuhi.
d. Masalah spiritual
Masalah yang dihadapi terkait dengan perkembangan spiritual, adalah
kesulitan untuk menghafal kitab suci karena daya ingat yang mulai menurun,
merasa kurang tenang ketika mengetahui anggota keluarganya belum
mengerjakan ibadah, dan merasa gelisah ketika menemui permasalahan hidup
yang cukup serius.

6. Tujuan Pelayanan Kesehatan Pada Lansia

Pelayanan pada umumnya selalu memberikan arah dalam memudahkan


petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan sosial, kesehatan, perawatan dan
meningkatkan mutu pelayanan bagi lansia. Tujuan pelayanan kesehatan pada lansia
terdiri dari :
a. Mempertahankan derajat kesehatan para lansia pada taraf yang setinggi -
tingginya, sehingga terhindar dari penyakit atau gangguan.
b. Memelihara kondisi kesehatan dengan aktifitas-aktifitas fisik dan mental

14
c. Mencari upaya semaksimal mungkin agar para lansia yang menderita suatu
penyakit atau gangguan, masih dapat mempertahankan kemandirian yang
optimal.
d. Mendampingi dan memberikan bantuan moril dan perhatian pada lansia yang
berada dalam fase terminal sehingga lansia dapat mengadapi kematian dengan
tenang dan bermartabat. Fungsi pelayanan dapat dilaksanakan pada pusat
pelayanan sosial lansia, pusat informasi pelayanan sosial lansia, dan pusat
pengembangan pelayanan sosial lansia dan pusat pemberdayaan lansia.

7. Pendekatan Perawatan Lansia


a. Pendekatan Fisik
Perawatan pada lansia juga dapat dilakukan dengan pendekatan fisik melalui
perhatian terhadap kesehatan, kebutuhan, kejadian yang dialami klien lansia
semasa hidupnya, perubahan fisik pada organ tubuh, tingkat kesehatan yang
masih dapat dicapai dan dikembangkan, dan penyakit yang dapat dicegah atau
progresifitas penyakitnya. Pendekatan fisik secara umum bagi klien lanjut usia
dapat dibagi 2 bagian:
1. Klien lansia yang masih aktif dan memiliki keadaan fisik yang masih
mampu bergerak tanpa bantuan orang lain sehingga dalam kebutuhannya
sehari-hari ia masih mampu melakukannya sendiri.
2. Klien lansia yang pasif, keadaan fisiknya mengalami kelumpuhan atau sakit.
Perawat harus mengetahui dasar perawatan klien lansia ini, terutama yang
berkaitan dengan kebersihan perseorangan untuk mempertahankan
kesehatan.
b. Pendekatan Psikologis
Perawat memiliki peranan penting untuk mengadakan pendekatan edukatif
pada klien lansia. Bila ingin mengubah tingkah laku dan pandangan mereka
terhadap kesehatan, perawat bisa melakukannya secara perlahan dan bertahap,
Perawat harus selalu memegang prinsip triple S yaitu sabar, simpatik dan
service

15
c. Pendekatan Sosial
Berdiskusi serta bertukar pikiran dan cerita merupakan salah satu upaya
perawat dalam pendekatan sosial. Memberi kesempatan untuk berkumpul
bersama dengan sesama klien lansia menciptakan sosialisasi.

8. Prinsip Etika Pada Pelayanan Kesehatan Lansia

Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada lansia
adalah (Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) :

a. Empati : istilah empati menyangkut pengertian “simpati atas dasar pengertian


yang dalam” artinya upaya pelayanan pada lansia harus memandang seorang
lansia yang sakit dengan pengertian, kasih sayang dan memahami rasa
penderitaan yang dialam oleh penderita tersebut. Tindakan empati harus
dilaksanakan dengan wajar, tidak berlebihan, sehingga tidak memberi kesan
over protective dan belas-kasihan. Oleh karena itu semua petugas geriatrik
harus memahami peroses fisiologis dan patologik dari penderita lansia.
b. Non maleficence dan beneficence. Pelayanan pada lansia selalu didasarkan
pada keharusan untuk mengerjakan yang baik dan harus menghindari tindakan
yang menambah penderitaan (harm). Sebagai contoh, upaya pemberian posisi
baring yang tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik (kalau
perlu dengan derivat morfina) yang cukup, pengucapan kata-kata hiburan
merupakan contoh berbagai hal yang mungkin mudah dan praktis untuk
dikerjakan.
c. Otonomi yaitu suatu prinsip bahwa seorang individu mempunyai hak untuk
menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu saja
hak tersebut mempunyai batasan, akan tetapi di bidang geriatri hal tersebut
berdasar pada keadaan, apakah lansia dapat membuat keputusan secara
mandiri dan bebas. Dalam etika ketimuran, seringakali hal ini dibantu (atau
menjadi semakin rumit ?) oleh pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki,
prinsip otonomi berupaya untuk melindungi penderita yang fungsional masih
kapabel (sedangkan non-maleficence dan beneficence lebih bersifat

16
melindungi penderita yang inkapabel). Dalam berbagai hal aspek etik ini
seolah-olah memakai prinsip paternalisme, dimana seseorang menjadi wakil
dari orang lain untuk membuat suatu keputusan (misalnya seorang ayah
membuat keputusan bagi anaknya yang belum dewasa).
d. Keadilan: yaitu prinsip pelayanan pada lansia harus memberikan perlakuan
yang sama bagi semua. Kewajiban untuk memperlakukan seorang penderita
secara wajar dan tidak mengadakan pembedaan atas dasar karakteristik yang
tidak relevan.
e. Kesungguhan hati: Suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji yang
diberikan pada seorang lansia.

17
C KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

a. PENGKAJIAN
1. Identitas meliputi, osteoporosis lebih banyak menyerang lansia wanita, lansia
laki – laki juga bisa terkena osteoporosis namun bedanya kalau laki – laki
tidak mengalami menopause sehingga osteoporosis datang lebih lambat. Dan
kebanyakan osteoporosis banyak diderita oleh orang yang memiliki
kebiasaan merokok.
2. Riwayat Kesehatan
Riwayat dalam kesehatan dalam pengkajian riwayat kesehatan,perawat
perlu mengidentifikasi adanya:
a. Rasa nyeri atau sakit tulang punggung bagian bawah,leher dan pinggang
b. Berat badan menurun
c. Biasanya diatas 45 tahun
d. Pola latihan dan aktivitas
3. Pola Aktivitas Sehari Hari
Pola aktivitas dan latihan biasanya berhubungan dengan olahraga,
pengisian waktu luang dan rekreasi, berpakaian, makan, mandi dan toilet.
Olahraga dapat membentuk pribadi yang baik dan individu akan merasa lebih
baik. Selain itu olahraga dapat mempertahankan tonus otot dan gerakan sendi
lansia memerlukan aktivitas yang adekuat untuk mempertahankan fungsi
tubuh. Aktivitas tubuh memerlukan interaksi yang kompleks antara saraf dan
mukuloskeletal.
Beberapa perubahan yang terjadi sehubungan dengan menurunnya
gerak persendian adalah agility kemampuan gerak cepat san lancar
menurun,dan stamina menurun.
4. Aspek Penunjang
a. Radiologi
Gejala radiologi yang khas adalah densitas atau massa tulang yang
menurun yang dapat dilihat pada vertebra spinalis dindin dekat korpus
vertebra biasanya merupakan lokasi yang paling berat. Penipisan korteks

18
dan hilangnya trabekula tranversal merupakan kelainan yang sering
ditemukan. Lemahnya korpus vertebrae menyebabkan penonjolan yang
menggelembung dari nucleus pulposus kedalam ruang intervertebral dan
menyebabkan deformitas bikonkaf.
b. CT-Scan
Dapat mengukur densitas tulang secara kuntutatif yang mempunyai
nilai penting dalam diagnostik dan terapi folow up .Mineral vertebra diatas
110mg/cm biasanya tidak menimbulkan fraktur vertebra tatau
penonjolan,sedangkan mineral vertebra dibawah 65mg/cm ada pada hampir
semua pada klien yang menalmi fraktur.
5. Pemeriksaan fisik
a. B1 (BREATHING)
Inspeksi : Ditemukan ketidaksimetrisan rongga dada dan tulang belakang.
Palpasi : Taktil fremitus seimbang kanan dan kiri
Perkusi : cuaca resonan pada seluruh lapang paru.
Auskultasi : pada kasus lansia,biasanya didapatkan suara ronchi.
b. B2 (BLOOD)
Pengisian kapiler kurang dari 1 detik.sering terjadi keringat dingin dan
pusing. Adanya pulsus perifer memberi makna terjadi gangguan pembuluh
darah atau edema yang berkaitan dengan efek obat
c. B3(BRAIN)
Kesadaran biasanya composmentis, pada kasus yang lebih parah klien dapat
mengeluh pusing dan gelisah.
1) Kepala dan wajah : ada sianosis
2) Mata : sklera biasanya tidak ikterik,konjungtiva tidak anemis.
3) Leher : biasanya JVP dalam normal
nyeri punggung yang disertai pembatasan spinal yang disadari dan halus
merupakan indikasi adanya satu fraktur atau lebih’fraktur kompresi vertebra
d. B4 (BLADDDER)
Produksi urine dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada sistem
perkemihan

19
e. B5 (BOWL)
Biasanya tidak ada gangguan eliminasi namun perlu dikaji frekuensi,
konsistensi warna serta bau feses.
f. B6 (BONE)
Klien osteoporosis sering menunjukkan kifosis dan gibbus dan penurunan
tinggi badan dan berat badan.ada perubahan gaya berjalan.
6. Riwayat Psikososial
Penyakit ini sering terjadi pada wanita. Biasanya sering timbul kecemasan,
takut melakukan aktivitas dan perubahan konsep diri perawat perlu
mengkaji masalah - masalah psikologis yang timbul akibat proses ketuaan
dan efek penyakit yang menyertainya.

b. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan dampak sekunder dari fraktur vertebra.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengandisfungsi sekunder akibat
perubahan skeletal (kifosis), nyeri sekunder atau fraktur baru.
3. Risiko cedera berhubungan dengan dampak sekunder perubahan skeletal
dan ketidakseimbangan tubuh.

c. INTERVENSI
1. Nyeri berhubungan dengan dampak sekunder dari fraktur, spasme otot,
deformitas tulang.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri
berkurang.
Kriteria hasil : kemampuan menuntaskan aktivitas meningkat, keluhan nyeri
menurun, kesulitan tidur menurun.
INTERVENSI RASIONAL
Observasi 1. Suatu hal penting untuk
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, memilih inervensi yang cocok
durasi, frekuensi, kualitas, dan untuk mengevaluasi
intensitas nyeri

20
2. Identifikasi skala nyeri keefektifan dari terapi yang
Terapeutik diberikan
1. Berikan teknik nonfarmakologis 2. Untuk mengetahui tingkat
(mis. Kompres dengan air nyeri pasien
hangat/dingin, terapi pijat) 3. Mengatasi nyeri
Edukasi menggunakan teknik
1. Jelaskan strategi meredakan nyeri nonfarmakologi dengan
Kolaborasi mendistrkasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik, 4. Untuk mempermudah cara
jika perlu meredakan nyeri
5. Untuk meredakan rasa nyeri
pasien

2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengandisfungsi sekunder akibat


perubahan skeletal (kifosis), nyeri sekunder atau fraktur baru.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan klien mampu
melakukan mobilitas fisik
Kriteria hasil : pergerakan ekstremitas meningkat, rentang gerak meningkat,
nyeri menurun, kelemahan fisik menurun
INTERVENSI RASIONAL
Observasi 1. Menentukan adanya nyeri atau
1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan lain yang
keluhan fisik lainnya menyebabkan imobilisasi
2. Identifikasi toleransi fisik 2. Menentukan batas gerakan
melakukan pergerakan yang akan dilakukan
Terapeutik 3. Agar pasien beserta keluarga
1. Libatkan keluarga untuk dapat memahami dan
membantu pasien dalam mengetahui alasan pemberian
meningkatkan pergerakan latihan
Edukasi 4. Agar rentang gerak meningkat

21
1. Ajarkan mobilisasi sederhana
yang harus dilakukan

3. Risiko cedera berhubungan dengan dampak sekunder perubahan skeletal dan


ketidakseimbangan tubuh

Tujuan : cedera tidak terjadi

Kriteria hasil : toleransi aktivitas meningkat, ketegangan oto menurun, fraktur


menurun, gangguan mobilitas menurun

INTERVENSI RASIONAL
Observasi 1. Untuk mengetahui
1. Identifikasi kebutuhan intervensi apa yang
keselamatan dibutuhkan
2. Monitor perubahan status 2. Untuk mengetahui
keselamatan lingkungan perkembangan pasien
Terapeutik 3. Meningkatkan keamanan
1. Modifikasi lingkungan untuk 4. Mengurangi risiko cedera
meminimalkan bahaya dan risiko yang terjadi pada pasien
Edukasi
1. Ajarkan individu, keluarga dan
kelompok risiko tinggi bahaya
lingkungan

22
DAFTAR PUSTAKA

Dimyati, F. (2017). Pengaruh Aktivitas Fisik, Kebiasaan Merokok dan Sikap


Lansia Terhadap Kejadian Osteoporosis. Berkala Epidemiologi, 5(1). 113
dan 116.

Kholifah, N. (2016). Keperawatan Gerontik. Jakarta Selatan : Pusdik SDM


Kesehatan.

Lukman. Ningsih, N. (2012). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan


Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika.

Ode, L. (2012). Asuhan Keperawatan Gerontik Berstandarkan Nanda, NIC, dan


NOC Dilengkapi Teori dan Contoh Kasus Askep. Yogjakarta : Nuha
Medika.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta : Dewan Pengurus PPNI.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2017). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Defnisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2017). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
Defnisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat
PPNI.

23

Anda mungkin juga menyukai