Anda di halaman 1dari 92

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU

TINDAK PIDANA TERORISME YANG MELIBATKAN ANAK


(Analisis Putusan Nomor 475/pid.sus/2020/PN.Jkt.Brt)

SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NURALISATU SHOLIHAH
Nim. 181010250120

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
TANGERANG SELATAN
2022
i

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI

Hari ini tanggal ……. Bulan …… Tahun ……. Telah dilakukan pemeriksaan
skripsi terhadap
NAMA : Nuralisatu Sholihah
NIM : 181010250120
PEMINATAN : HUKUM PIDANA
JUDUL : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP
PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME YANG
MELIBATKAN ANAK (Analisis Putusan Nomor
475/pid.sus/2020/PN.Jkt.Brt)

Memperhatikan semua isi dari skripsi baik dilihat dari sisi materi maupun dari sisi
teknis, maka skripsi tersebut sudah disejui untuk diujikan.
Tanggerang Selatan, …………….2022
Pembimbing

Dadang Sumarna, SH, MH


NIDN, 0404038504

Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Dr. Taufik Kurrohman, SHI., MH


NIDN. 0430128302
ii

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK


PIDANA TERORISME YANG MELIBATKAN ANAK
(Analisis Putusan Nomor 475/pid.sus/2020/PN.Jkt.Brt)

SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :
Nuralisatu Sholihah
Nim. 181010250120

Pembimbing

Dadang Sumarna, SH, MH


NIDN, 0404038504

Tim Penguji Skripsi:


Penguji I Penguji II

XXXXXXXXXXXXXXXX XXXXXXXXXXXXXXX
NIDN. NIDN.

Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum

Dr. Oksidelfa Yanto, S.H., M.H.


NIDN. 0423107002

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
TANGERANG SELATAN
2002
i

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini adalah
benar karya saya sendiri. Dalam skripsi ini tidak terdapat karya orang lain
yangpernah diajukan dan ditulis untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu.
Perguruan Tinggi, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini telah
disebutkan dalam daftar pustaka.
Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, apabila
dikemudian hari terdapat kebohongan dari pernyataan saya ini, saya bersedia
menanggung segala akibat yang ditimbulkan, termasuk pencabutan gelar
kesarjanaan yang sudah saya miliki.
Pamulang,… ........ 2022
Materai
10000

Nuralisatu Sholihah
Nim. 181010250120
ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK


KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Pamulang, saya yang bertanda tangan


dibawah ini :
NAMA : Nuralisatu Sholihah
NIM : 181010250120
PEMINATAN : HUKUM PIDANA
JUDUL : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP
PELAKU TINDAK PIDANA MELIBATKAN ANAK
(Analisis Putusan Nomor 475/pid.sus/2020/PN.Jkt.Brt)

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Pamulang Hak Bebas Royalti Nonekelusif (Non-Exclusive Royalty
Free Right) atas skripsi saya beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan
hak bebas Royalty Nonekslusif ini Universitas Pamulang berhak menyimpan,
menggalih media/formatkan mengelola dalam bentuk pangkalan data (Database)
merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian
pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Pamulang,… ........ 2022
Materai
10000

Nuralisatu Sholihah
Nim. 181010250120
iii

ABSTRAK

NURALISATU SHOLIHAH, NIM. 181010250120 PERTANGGUNG


JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
TERORISME YANG MELIBATKAN ANAK (Analisis Putusan Nomor
475/pid.sus/2020/PN.Jkt.Brt). Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,
Universitas Pamulang, Tangerang Selatan, Dosen Pembimbing Dadang
Sumarna, SH, MH. Terorisme merupakan salah satu ancaman serius terhadap
kedaulatan setiap negara karena menimbulkan bahaya terhadap keamanan,
perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyrakat. Negara Republik
Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 wajib
melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Oleh
karena itu Negara berkewajiban untuk melindungi seluruh warga negaranya dari
setiap ancaman terorisme baik yang bersifat nasional maupun internasional.
Di indonesia tindak pidana terorisme sudah teridentifikasi sejak era perjuangan
merebut kemerdekaan. Gaung terorisme semakin menguat di era reformasi pasca
terjadinya bom bali 1 tahun 2002.Terorisme di era ini sering juga disebut
‘terorisme baru’ karna adanya pergeseran target tindakan terorisme dari yang
awalnya menargetkan properti negara menjadi wargasipil, warga negara
indonesia,dan warga negara asing. Terorisme beserta upaya penanganan nya mulai
diperbincangkan secara serius di tataran nasional. Hal ini kemudian melahirkan
berbagai institusi dan kerangka regulasi mengenai terorisme.Adapun
permasalahan dalam skripsi ini adalah tindak pidana terorisme melibatkan anak
yang dihukum 12 tahun penjara pada putusan pengadilan nomor:
475/pid.sus/2020/PN.Jkt.Brt. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian
yuridis normatif dengan menggunakan data kepustakaan dari berbagai literasi
buku, jurnal, peraturan perundang-undangan dan lain sebagainnya. Analisa data
yang dilakukan dengan cara normatif kualitatif menguraikan data yang diteliti,
sehingga dari uraian tersebut dapat mengambil kesimpulan terhadap pokok
pembahasan yang diteliti. Hasil penelitian menjelaskan terdakwa dikenakan Pasal
15 jo. 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002
tentang Peraturan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini sebagai dasar
hukumnya untuk menjatuhkan sanksi pidana, sebab pelaku melakukan penyertaan
tindak pidana terorisme dalam membantu mempersiapkan aksi teror. Sehingga
terdakwa divonis hukuman kepada pelaku dengan hukuman penjara selama 12
tahun penjara.

Kata Kunci : Terorisme, Kekerasan, dan Tindak Pidana


iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Alhamdulillah Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT


yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya dan Sholawat serta salam
Penulis sampaikan kepada Rasulullah Muhammad SAW sebagai suri tauladan dan
pemberi Syafaat di hari akhir beserta keluarga, sahabat dan seluruh umatnya
termasuk Penulis.
Skripsi dengan judul: “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME YANG
MELIBATKAN ANAK (Analisis Putusan Nomor
475/pid.sus/2020/PN.Jkt.Brt)”, ini merupakan bagian dari Tugas Akhir dalam
meraih gelar Sarjana Hukum di Program Studi Ilmu Hukum, Bidang Peminatan
Hukum Perdata dalam Lingkungan Akademik Universitas Pamulang, Kota
Tangerang Selatan.
Pada kesempatan ini, Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada
semua Pihak yang telah membantu menyelesaikan Skripsi ini. Oleh karena itu,
sudah sepantasnya jika Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. (H.C.) Drs. H. Darsono selaku Ketua Yayasan Sasmita Jaya Group.
2. Bapak Dr. E. Nurzaman, AM., MM., M.Si., selaku Rektor Universitas
Pamulang – Kota Tangerang Selatan.
3. Bapak Dr. Oksidelfa Yanto, SH., MH., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Pamulang – Kota Tangerang Selatan.
4. Bapak Dr. Taufik Kurrohman, S.H.I., MH., selaku Ketua Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Pamulang – Kota Tangerang Selatan.
5. Para Sahabat Mahasiswa Seperjuangan Program Studi Ilmu Hukum Universitas
Pamulang – Kota Tangerang Selatan.
6. Kepada berbagai Pihak lainnya yang tidak bisa Penulis sebutkan satu per satu
yang sudah membantu dalam Penulisan Skripsi.
7. Ibu yang sudah memberikan motivasi untuk selalu semangat dalam menimba
ilmu
v

8. Suamiku tercinta yang sudah memberikan do’a,semangat serta kerjasama yan


yang baik selama penulis menjalani penulisan skripsi.
9. Anak-anaku yang sudah bekerjasama dengan baik agar penulis dapan
menyelesaikan skripsi dengan baik.
Akhir kata, Penulis menyampaikan Permohonan Maaf apabila masih
banyak terdapat Kekurangan dan/atau Kelemahan dari Penelitian yang telah
Penulis lakukan hingga sampai pada Penyusunan Skripsi ini. Segala Kritik, Saran
dan Masukkan yang Sifatnya Konstruktif akan Penulis terima sebagai bahan
Kesempurnaan Skripsi ini di kemudian waktu.

Penulis,

Nuralisatu Sholihah
NIM. 181010250120
vi

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI..............................................................i


LEMBAR PENGESAHAAN SKRIPSI ............................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN SKRIPSI................................................................iii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIS................................................................iv
ABSTRAK............................................................................................................v
DAFTAR ISI........................................................................................................ix
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1
A. Latar Belakang Penelitian............................................................1
B. Perumusan Masalah.....................................................................3
C. Tujuan Penelitian ........................................................................3
D. Manfaat Penelitian.......................................................................4
E. Kerangka Teori............................................................................4
F. Orisinalitas Penelitian..................................................................7
G. Sistematika Penulisan..................................................................9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................11
A. Tidak Pidana................................................................................11
B. Terorisme.....................................................................................22
C. Hukum Pidana.............................................................................31
D. Teori Penjatuhan Putusan............................................................36
BAB III METODE PENELITIAN..............................................................38
A. Jenis Penelitian............................................................................38
B. Spesifikasi Penelitian...................................................................38
C. Sumber dan Jenis Data................................................................39
D. Teknik Pengumpulan Data..........................................................40
E. Teknik Analisis Data...................................................................40
BAB IV Hasil dan Pembahasan Penelitin...................................................55
A. Kasus Posisi.................................................................................55
B. Unsur Tindak Pidana...................................................................59
C. Dakwaan Jaksa............................................................................60
vii

D. Hal yang meringankan dan memenuhi syarat.............................61


E. Faktor pidana...............................................................................62
F. Pertanggung jawaban pelaku.......................................................71
BAB V PENUTUP.......................................................................................77
A. Kesimpulan..................................................................................77
B. Saran............................................................................................78
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................79
LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Terorisme berkembang sejak berabad lampau, ditandai dengan bentuk

kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk

mencapai tujuan tertentu. Perkembangannya bermula dalam bentuk fanatisme

aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang

dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa.

Pembunuhan terhadap individu ini sudah dapat dikatakan sebagai bentuk murni

dari terorisme dengan mengacu pada sejarah terorisme modern.

Gerakan terorisme merupakan suatu macam gerakan yang menggunakan

agama. Teror dapat diartikan sebagai aksi yang dimana kelompok melakukan

sesuatu perbuatan namun kemudian berdiam diri seolah-olah tidak melakukan

sesuatu. Teror mengakibatkan keresahan bagi semua orang yang ada di

lingkungan tempat dijalankannya aksi teror tersebut

Berdasarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 yang telah disahkan menjadi

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003,1 tentang Pembrantasan tindak pidana

terorisme yang dijadikan sebagai dasar hukum bahwa yang dimaksud dengan

tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur

tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-Undang pasal 1 ayat (1).2

1
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, “Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme”.
2
Mardenis, “Pemberantasan Terorisme, Politik Internasional dan Politik Hukum
Nasional Indonesia”, Rajawali Pers, Jakarta, 2013. hlm . 93.
1
2

Sedangkan yang dimaksudkan unsur-unsur terorisme dalam pasal 1 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme di atas adalah

“Perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sistematis dengan


maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan Negara dengan
membahayakan kedaulatan bangsa dan Negara yang dilakukan dengan
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana
teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan
korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan
kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau
lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional”.3

Berdasarkan pengamatan penanganan kasus-kasus terorisme, diketahui

bahwa kelompok terorisme mengalami banyak perubahan, baik yang menyangkut

jaringgan maupun sasaran dan target teror. Namun hal yang paling dari perubahan

tersebut adalah

“Pergeseran paradigma, hal ini dapat dipahami mengingat bahwa

jaringan kelompok terorisme memiliki semacam keharusan untuk menyesuaikan

diri dengan perkembangan zaman. Perubahan ini terkait dengan pola gerakan

yang awalnya tradisional menjadi modern”.4

Berdasarkan kasus yang diambil mengenai tindakan terorisme mengingat

ketentuan Pasal 85 KUHAP dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor : 123 / KMA / SK / V / 2020 tanggal 15 Mei 2020,

tentang Penunjukan Pengadilan Negeri Jakarta Barat untuk memeriksa dan

memutus Perkara Pidana atas terdakwa SYAHRIYAL ALAMSYAH alias ABU

RARA alias ALAM sehingga dapat diperiksa dan disidangkan di Pengadilan


3
“Ibid”., hlm. 93.
4
Sb. Agus, “Deradikasi Dunia Maya, Mencegah Simbiosis Terorisme dan Media”,
Daulat Press, Jakarta, 2016. hlm. 35.
3

Negeri Jakarta Barat, setiap orang yang melakukan pemufakatan jahat, percobaan,

atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme dengan sengaja

menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan

suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan

korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya

nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau

kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau

fasilitas publik, atau fasilitas internasional.

“Anak merupakan salah satu dari bagian dari sumber daya manusia yang
memiliki kedudukan vital dalam perkembangan bangsa yang dimana
memerlukan pemeliharaan dan bantuan pengamanan yang cukup bagi
lahir dan tumbuhnya anak baik secara jasmani ataupun rohani. Anak
merupakan generasi penerus bangsa yang akan membawa negara untuk
kian berkembang dan mewujudkan negara menjadi kian membaik”.5

Saat ini perbuatan pidana tidak hanya dilaksanakan oleh orang dewasa

namun sudah banyak dilakukan oleh anak. Tindakan yang dilaksanakan oleh anak

itu dikatakan sebagai kenakalan yang terhitung tindak pidana yang tidak diberikan

permakluman lagi sehingga pada akhirnya anak harus berurusan dengan pihak

yang berwenang dan memberikan pertanggungjawaban atas apa yang sudah

diperbuat. Sudah menjadi hal yang lumrah bahwa setiap tahunnya terdapat ratusan

hingga ribuan anak melakukan kejahatan yang sudah tergolong kualifikasi sebagai

tindakan kriminal seperti tawuran, judi, pembunuhan, pencurian, perampokan

bahkan hingga tindak pidana terorisme.

Berlandaskan pemaparan latar belakang masalah diatas, oleh karenanya

permasalahan yang hendak diulas melalui penulisan ini adalah bagaimana


5
Nashriana, “Perlindungan Hukum Pidana bagi anak”, Rajawali press, Jakarta, 2019.
hlm. 21.
4

pengaturan hukum tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak dibawah

umur, serta bagaimana pertanggungjawaban pelaku tindak pidana terorisme yang

merupakan anak dibawah umur berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Sehingga tujuan dari

pengkajian ini adalah untuk mengetahui pengaturan hukum tindak pidana

terorisme yang dilakukan oleh anak dibawah umur serta untuk mengetahui

pertanggungjawaban terhadap tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak

dibawah umur. Berdasarkan uraian latar belakang, terdapat beberapa penelitian

yang relevan dengan permasalahan yang diangkat, berikut diuraikan.

Mengingat pentingnya tindakan tegas terhadap pelaku tindakan terorisme

sehingga dalam hal ini peneliti tertarik untuk membuat suatu penelitian dengan

judul: “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU

TINDAK PIDANA MELIBATKAN ANAK DALAM TINDAK PIDANA

TERORISME (Analisis Putusan Nomor: 475/Pid.Sus/2020/Pn.Jkt.Brt)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian latar belakang maka dapat dikemukakan

rumusan masalah antara lain:

1. Bagaimana Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menerapkan Sanksi Pidana

Terhadap Tindak Pidana Terorisme?

2. Bagaimanakah Pertanggungjawaban pidana terhadap Tindak Pidana Terorisme

Yang Melibatkan Anak Dalam Putusan Nomor: 475/pid.Sus/2020.PN.Jkt.Brt?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah maka dapat dikemukakan tujuan


5

penelitian antara lain:

1. Untuk mengetahui Pelaku Tindak Pidana Melibatkan Anak Dalam Tindak

Pidana Terorisme.

2. Untuk mengetahui Pertanggungjawaban pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana

Terorisme Yang Melibatkan Anak.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran terkait Tindak Pidana terorisme.

b. Sebagai pijakan dan referensi pada penelitian-penelitian selanjutnya yang

berhubungan dengan Tindak Pidana terorisme dari Perspektif Pembaharuan

Hukum Pidana

2. Secara Praktis

a. Bagi Mahasiswa

Sebagai salah satu persyataran untuk memperoleh gelar strata satu

padaFakultas Hukum Universitas Pamulang

b. Bagi Institusi

Sebagai pedoman bagi para Mahasiswa Fakultas Hukum Univeritas

Pamulang yang akan menyusun tugas akhir dengan topik yang terkait

c. Bagi Masyarakat

Sebagai acuan bagi masyarakat untuk menilai sejauh mana aturan mengenai

Tindak Pidana Terorisme.

E. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan dasar pemikiran dalam menyusun suatu


6

penelitian. Kerangka teori berguna untuk membantu penulis dalam menentukan

arah dan tujuan dari penelitian tersebut, serta sebagai dasar untuk penelitian agar

langkah penulisan selanjutnya dapat dijelaskan secara sistematik dan konsisten.

dalam penulisan skripsi ini akan menggunakan beberapa macam teori yang

berkaitan tentang masalah yang akan diangkat oleh penulis dalam penulisan

skripsi ini yang antara lain sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban Pidana

Menurut Roeslan Saleh yaitu sebagai berikut:

“Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan


yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif
memenuhi syarat untuk dapt dipidana karena perbuatannya itu. Apa
yang dimaksud dengan celaan objektif adalah perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang tersebut merupakan perbuatan yang
dilarang, perbuatan dilarang yang dimaksud disini adalah perbuatan
yang memang bertentangan atau dialarang oleh hukum baik hukum
formil maupun hukum materil. Sedangkan yang dimaksud dengan
celaan subjektif merujuk kepada sipembuat perbuatan terlarang
tersebut”.6

Menurut pendapat Moeljatno orang tidak dapat dimintakan

pertanggungjawaban pidana kecuali orang tersebut telah melakukan perbuatan

yang melanggar aturan pidana.7 Seorang yang melakukan suatu tindak pidana

belum tentu dapat dikatakan dapat dijatuhkan sanksi pidana tergantung kasus

yang menjerat pelaku tersebut apakah telah memenuhi unsur kesalahan.

Menurut pendapat Simons kesalahan adalah keadaan psikis seseorang yang

melakukan tindak pidana dan memiliki hubungan dengan tindakan yang telah

dilakukan oleh pelaku tersebut. Seseorang apabila dikatakan tidak dapat

6
Roeslan saleh, “Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggung Jawaban Pidana, Cetakan
Pertama”, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983. hlm. 33.
7
Ayu Efrita Dewi, “Model Hukum Pidana”, Umrah Press, Tanjung Pinang, 2020. hlm.
1.
7

diminta pertanggungjawaban pidana apabila perbuatan tersebut tidak dapat

dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum. Merujuk pada Pasal 44

KUHP yang berbunyi apabila seseorang tidak dapat mempertanggungjawabkan

pidana yang disebabkan akibat adanya cacat fisik atau adanya gangguan

penyakit serta jiwanya yang dimana orang tersebut tidak dapat disanksi.

2. Pemidanaan

“Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Pengertian


tersebut telah diperjelas oleh Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad
yang mengatakan bahwa hukum pidana substantif/materiel adalah
hukum mengenai delik yang diancam dengan hukum pidana. Kata
hukum pidana pertama-tama digunakan untuk merujuk pada
keseluruhan ketentuan yang menetapkan syarat-syarat apa saja yang
mengikat negara, bila negara tersebut berkehendak untuk
memunculkan hukum mengenai pidana, serta aturan-aturan yang
merumuskan pidana seperti apa yang dapat diperkenankan. Hukum
pidana dalam artian ini adalah hukum pidana yang berlaku atau
hukum pidana positif yang juga sering disebut jus poenale”.8

3. Terorisme

“Dalam penjelasan umum dari Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003


disebutkan bahwa terorisme adalah merupakan kejahatan yang bersifat
Internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan,
perdamaian dunia serta merugikan masyarakat, sehingga dilakukan
pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan”.9

Sebagai contoh sulitnya untuk mendapatkan kesepakatan atau

keseragaman yang dapat diterima secara universal tentang pengertian terorisme

adalah

“Terjadinya perdebatan antara Amerika Serikat dan Israel di satu


pihakdengan Syria dan Kuba di pihak lain dalam pertemuan panitia Ad
Hoc mengenai terorisme dari majelis umum PBB (General Assembly’s
Ad Hoc Committee on Terrorism) awal tahun 2003. Oleh karna itu

8
Ayu Efrita Dewi, “Model Hukum Pidana”, Umrah Press, Tanjung pinang, 2020. hlm.
25.
9
Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2003, “Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme”.
8

belum ada kesepakatan atau keseragaman yang dapat diterima secara


universal tentang pengertian terorisme, dapat dimengerti jika
kemudian beberapa pakar atau negara memberikan pengertian
terorisme sesuai dengan sudut pandangnya”.10

“Kata terorisme berasal dari kata teror dalam bahasa Inggris, atau
terrere dalam bahasa Latin, artinya membuat gemetar atau
menggetarkan. Ada pula yang memaknainya sebagai kegiatan atau
tindakan yang dapat membuat pihak lain ketakutan. Kata terrere
adalah kata kerja dari kata terrorem yang berarti rasa takut yang luar
biasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memaknai kata teror
sebagai usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh
seseorang atau golongan.11

“Pengertian yang tidak jauh berbeda diungkap dalam Webster’s New


School and Office Dictionary, yaitu membuat ketakutan atau
kengerian, mengintimidasi dengan menakut-nakuti atau ancaman
untuk menakut-nakuti. Definisi terorisme, baik menurut para ahli
maupun peraturan perundangundangan, memiliki kesamaan. Intinya
adalah perbuatan menakut-nakuti yang menyebabkan timbulnya
ketakutan atau kengerian. Singkatnya, semua definisi yang ada selalu
mengandung unsur ketakutan atau kengerian. Berikut beberapa
definisi terorisme menurut para ahli, hukum internasional, dan
ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia”.12

F. Orisinalitas Penelitian

Berikut adalah penelitian terdahulu yang peneliti gunakan sebagai

orisinalitas penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti:

1. Fandy Ardiansyah Tahun 2019 dengan judul Pertanggungjawaban Pidana

Pelaku Pebuatan Persiapan dalam Tindak Pidana Terorisme. Penelitian ini

mengangkat masalah kualifikasi perbuatan persiapan dalam tindak pidana

terorisme yang diatur di undang-undang yang telah direvisi yakni Undang-

Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Nomor 5 tahun 2018 tentang


10
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003, “Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme”.
11
Suharso dan Ana Retnoningsih, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Edisi Lux, Widya
Karya, Semarang, 2017. hlm. 55.
12
Damayanti, Angel dan Hemay, Idris dan Muchtadlirin, adan Aziz, Sholehudin A.
danPranawati, Rita, “Perkembangan Terorisme di Indonesia”, Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) Republik Indonesia”, Jakarta, 2013. hlm. 5.
9

Perubahan atas Undang Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang nomor 1 tahun 2002

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang – Undang

yang dahulu undangundang yang lama bersifat reaktif yang dalam hal ini

menunggu datangnya kejadian baru aparat yang berwajib bertindak. Oleh

karena itu di undang-undang yang baru tersebut sudah mengatur perbuatan

persiapan dan juga pertanggungjawaban bagi pelaku tindak pidana terorisme

2. I Dewa Gede Pradnya Dwiditya tahun 2020 dengan judul Pertanggungjawaban

Pidana Organisasi Yang Melakukan Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia.

hasil dari tulisan ini adalah ditemukannya kekaburan norma terkait pengertian

korporasi dalam undang-undang terorisme. Organisasi yang melakukan tindak

pidana terorisme di Indonesia dapat disamakan dengan korporasi sebagaimana

yang dimaksud dalam undang-undang terorisme dikarenakan organisasi

tersebut merupakan kumpulan orang yang memiliki pengurus dan kekayaan

yang dimilikinya digunakan untuk melakukan tindak pidana terorisme.

Organisasi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dengan

melihat 3 (tiga) bentuk pertanggung jawaban yaitu teori pertanggungjawaban

mutlak, teori pertanggungjawaban pengganti, dan teori pertanggungjawaban

korporasi secara langsung. Oleh karena dapat dimintakan pertanggungjawaban

pidana, organisasi tersebut dapat dijatuhkan sanksi pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Terorisme.

3. Edy Renta Sembiring dkk pada tahun 2021 dengan judul Analisis Yuridis

Terhadap Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh anak. Penelitian ini
10

menggunakan studi dokumen.

“Analisis bahan hukum merupakan kegiatan dalam penelitian yang


berupaya melakukan kajian telaah terhadap hasil pengolahannya data
yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapat sebelumnya
Tanggung jawab pelaku tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh
anak adalah tindak pidana terorisme, dan pidana minimum khusus
yang dijelaskan dalam UU No. 6 tidak berlaku, Terkait pemberantasan
tindak pidana terorisme, pada tanggal 15 tanggal 15 tahun 2003, anak
yang menjadi korban tindak pidana terorisme berhak atas santunan
atau santunan berdasarkan Pasal 36 UU No.3. 15th, 2003.
UndangUndang Peradilan Anak, jika seorang anak usia 12-18 tahun
terlibat kejahatan yang diancam pidana mati atau seumur hidup,
maksimal hukuman yang dapat dijatuhkan adalah 10 tahun. Beberapa
anak yang terlibat dalam kasus terorisme ditempatkan di Lapas /
Rutan (LP). Secara struktural bangunan fisik mereka tinggal dalam
satu bangunan fisik serupa berada dalam satu bangunan fisik yang
sama, Kompleks Lapas dewasa. Masih terkait proses penahanan,
anak-anak yang terlibat kasus terorisme biasanya dijauhkan dari orang
tua atau anggota keluarganya yang biasanya bukan berasal dari
Jabodetabek. Hal ini tentu menyulitkan orang tua untuk menjenguk
anaknya”.13

4. I Wayan Bayu suryawan pada tahun 2022 dengan judul penelitian Tindak

Pidana Terorisme Yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah Umur. Penelitian ini

bertujuan untuk membahas pengaturan hukum tindak pidana terorisme oleh

anak dibawah umur dan Bagaimana pertanggungjawaban pelaku tindak pidana

terorisme oleh anak dibawah umur berdasarkan Undang-undang No.15 Tahun

2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme Penelitian menggunakan

tipe penelitian hukum normatif. Anak adalah sumber daya manusia yang

berkedudukan vital dalam perkembangan bangsa namun fenomena terjadi

banyak anak yang terlibat dan dipengaruhi melakukan Kejahatan terorisme,

dimana anak ikut terlibat dalam tindak pidana terorisme. Hasil penelitian

13
Edy Renta Sembiring. ”Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Terorisme yang
dilakukan oleh anak”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Hukum (JIM FH) E-ISSN 2798-8457
Volume IV Nomor 3, Oktober 2021. hlm. 74.
11

pengaturan hukum tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak belum

diatur ketentuan pidana tidak dapat dikenakan pidana mati atau seumur hidup.

Tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana karena terdapat syarat

dalam unsur kesalahan yang tidak terpenuhi yaitu syarat tentang di atas usia

tertentu dapat bertanggungjawab. Anak itu belum mampu memutuskan

keinginan secara mental dikatakan belum dewasa, tidak dapat menentukan

keputusan dengan benar, hingga sekalipun anak berbtuat tindak pidana atas

kesadarannya sendiri. Dengan tidak bisanya anak di adili secara hukum maka

diperlukannya perlindungan hukum untuk anak secara khusus.

5. Ekky Rachmawati Agustin tahun 2019 dengan judul penelitian yaitu

Pengaturan Lembaga Negara Dalam Menangani Kasus Teroris Dalam Tindak

Pidana Terorisme Di Indonesia. Dalam upaya menanggulangi kejahatan

terorisme, pemerintah membentuk beberapa lembaga negara dalam menangani

Tindak Pidana Terorisme, tetapi pada pelaksanaannya lembaga-lembaga yang

terbentuk sebagai penanganan terorisme dalam menjalankan tugasnya tidak

efektif karena terbatas pada wewenang dan kedudukan, hal ini menarik untuk

diteliti sebab sering terjadi nya kekeliruan dalam suatu lembaga negara dalam

menjalankan tugasnya. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk

memaparkan pengaturan dan kewenangan masing-masing lembaga negara

dalam menjalankan tugas menangani Tindak Pidana Terorisme. Metode

penelitian yang digunakan adalah yuridis normative. Adapun pendekatan yang

dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan

perbandingan. Hasil penelitian ini menunjukan, bahwa pengaturan dan


12

kewenangan lembaga-lembaga negara yang menangani kasus Tindak Pidana

Terorisme di Indonesia jika ditinjau dalam sistem hierarki perudang-undangan

yang memiliki pengaturan lebih tinggi adalah BNPT, sedangkan dalam

kewenangan penyelidikan ialah Densus AT 88, dikarenakan tugas dan Fungsi

Densus AT 88 sebagai penindakan dalam kasus Tindak Pidana Terorisme,

sementara BNPT berperan sebagai deradikalisasi dalam Tindak Pidana

Terorisme.

Adapun yang menjadi pembeda penelitian yang dilakukan oleh penulis

adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak pada kasus terorisme yang terjadi

di Indonesia.

G. Sistematika Penulisan

Berikut adalah penjelasan dari sistematika penelitian yang dilakukan oleh

peneliti:

BAB I PENDAHULUAN

Pada Pendahuluan ini peneliti akan menjelaskan tentang latar

belakang penelitian, rumusan masalah yang terdapat dalam

penelitian, tujuan serta manfaat penelitian, kerangka teori dan

orisinalitas penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada Kajian Pustaka ini peneliti akan menjelaskan tentang teori

terkait variabel yang diambil dalam penelitian termasuk kerangka

konseptual.

BAB III METODE PENELITIAN


13

Pada Metode Penelitian ini peneliti akan menjelaskan tentang jenis

penelitian, spesifikasi penelitian, sumber dan jenis data, lokasi

pnelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada Hasil dan Pembahasan ini peneliti akan menganalisis seluruh

data yang sudah diperoleh, untuk mengetahui bagaimana hasil dari

penelitian yang telah dilakukan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada Kesimpulan dan Saran ini peneliti akan menyimpulkan serta

memberi saran dari setiap pembahasan yang telah didapat pada bab

sebelumnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

“Larangan dalam hukum pidana secara khusus disebut sebagai tindak


pidana (strafbaar feit). Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mengenai tujuan hukum pidana dikenal dua aliran, yaitu: Untuk
menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan
yang tidak baik (aliran klasik); Untuk mendidik orang yang telah
pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat
diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya (aliran modern).”14

Menurut aliran klasik tujuan hukum pidana untuk melindungi individu

dari kekuasaan penguasa atau negara. Sebaliknya menurut aliran modern

mengajarkan tujuan hukum pidana untuk melindungi masyarakat terhadap

kejahatan, dengan demikian hukum pidana harus memperhatikan kejahatan dan

keadaan penjahat, maka alira ini mendapat pengaruh dari perkembangan

kriminologi.15 Tiga masalah sentral/pokok dalam hukum pidana berpusat

kepada apa yang disebut dengan tindak pidana (criminal act, strafbaarfeit,

delik, perbuatan pidana), pertanggung jawaban pidana (criminal responsibility)

dan masalah pidana dan pemidanaan. Istilah tindak pidana merupakan masalah

yang berhubungan erat dengan masalah kriminalisasi (criminal policy)

yangdiartikan sebagai proses penetapan perbuatan orang yang semula bukan

merupakan tindak pidana menjadi tindak pidana, proses penetapan ini

merupakan masalah perumusan perbuatan- perbuatan yang berada di luar diri


14
Suyanto, “Pengantar Hukum Pidana”, Deepublisher, Yogyakarta, 2018. hlm. 32.
15
“Ibid”., hlm. 33.
14
15

seseorang. Istilah tindak pidana dipakai sebagai terjemah dari istilah strafbaar

feit atau delict. Strafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar, dan feit,

secara literlijk, kata “straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat atau boleh

dan “feit” adalah perbuatan.

Dalam kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh, ternyata

straf diterjemahkan juga dengan kata hukum. Dan sudah lazim hukum itu

adalah terjemahan dari kata recht, seolah-olah arti straf sama dengan recht.

Untuk kata “baar”, ada dua istilah yang digunakan yakni boleh dan

dapat.Sedangkan kata “feit” digunakan empat istilah yakni, tindak, peristiwa,

pelanggaran, dan perbuatan. Para pakar asing hukum pidana menggunakan

istilah “Tindak Pidana”, “Perbuatan Pidana”, atau “Peristiwa Pidana” dengan

istilah:

a. Strafbaar Feit adalah peristiwa pidana


b. Strafbare Handlung diterjamahkan dengan “Perbuatan Pidana”,
yang digunakan oleh para Sarjana Hukum Pidana Jerman
c. Criminal Act diterjemahkan dengan istilah Perbuatan Kriminal”
Jadi, istilah strafbaar feit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau
perbuatan yang dapat dipidana.16

Sedangkan menurut beberapa ahli hukum tindak pidana

(strafbaarfeit) adalah:

a. Menurut Pompe, “strafbaar feit” secara teoritis dapat merumuskan


sebagai suatu pelanggaran norma gangguan terhadap tertib hukum
yang dengansengaja ataupun dengan tidak disengaja telah
dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan terhadap pelaku
tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan
terjaminnya kepentingan hukum.
b. Menurut Van Hamel bahwa strafbaar feit itu adalah kekuatan
orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan
hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
c. Menurut Indiyanto Seno Adji tindak pidana adalah perbuatan
16
“Ibid”., hlm. 55.
16

seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan


hukum, terdapat suatu kesalahan yang bagi pelakunya dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
d. Menurut E. Utrecht “strafbaar feit” dengan istilah peristiwa
pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwaitu suatu
perbuatan handelen atau doen positif atau suatu melalaikan natalen-
negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena
perbuatan atau melakukan itu).
e. Menurut Moeljatno tindak pidana adalah suatu perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar
hukum.
f. Menurut Vos adalah salah satu diantara para ahli yang merumuskan
tindak pidana secara singkat, yaitu suatu kelakuan manusia yang
oleh peraturan perundang-undangan pidana diberi pidana.17

Di antara definisi itu yang paling lengkap ialah definisi dari Simons

yang merumuskan tindak pidana sebagai berikut: “Tindak pidana adalah suatu

perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum, diancam dengan pidana

oleh Undang-undang perbuatan mana dilakukan oleh orang yang dapat

dipertanggungjawabkan dan dapat dipersalahkan pada si pembuat”.

Suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh seseorang dan dalam hal-hal

tertentu dapat juga dilakukan oleh beberapa orang secara bersama-sama.

Keterlibatan dari beberapa orang di dalam suatu tindak pidana merupakan

bentuk kerja sama yang berlainan sifat dan bentuknya sesuai dengan perannya

masing-masing. Dalam sistematika KUHP, penyertaan diatur dalam Buku I

ketentuan umum Bab V Pasal 55 sampai 63 KUHP yang berjudul Turut Serta

Melakukan Perbuatan yang Dapat Dihukum (KUHP terjemahan R. Soesilo).

Suatu pernyataan awal yng paling mendasar adalah apakah yang dimaksud

dengan penyertaan. Dalam doktrin beberapa pakar hukum pidana memberikan

penafsiran berikut. Moeljatno merumuskan, ada penyertaan apabila bukan satu

17
Suyanto, “Pengantar Hukum Pidan”, Deepublisher, Yogyakarta, 2018. hlm. 33.
17

orang saja yang tersangkut dalam terjadinya perbuatan pidana, akan tetapi

beberapa orang.

“Menurut Moeljatno tidak semua orang yang terlibat dalam terjadinya


tindak pidana dapat dinamakan peserta dalam makna Pasal 55 dan 56
KUHP. Mereka harus memenuhi syarat-syarat untuk masing-masing
jenis penyertaan tersebut, diluar jenis atau bentuk-bentuk penyertaan
yang diatur dalam KUHP tidak ada peserta lain yang dapat
dipidana”.18

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari

tindak pidana itu sendiri, maka di dalam tindak pidana tersebut terdapat unsur-

unsur tindak pidana. Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus dari

unsur- unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat

yang ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam alam

lahir (dunia). Unsur-unsur tindak pidana yaitu:

a. Unsur Objektif Unsur yang terdapatdi luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada

hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan di mana tindakan-

tindakan si pelaku itu hanya dilakukan terdiri dari:

1) Sifat melanggar hukum

2) Kualitas dari si pelaku

3) Kausalitas

b. Unsur Subjektif Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau

yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk didalamnya segala

sesuatu yang tetkandung di dalam hatinya. Unsur ini terdiri dari:

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

18
“Ibid”., hlm. 59.
18

2) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukandalam pasal 53 ayat (1)

KUHP

3) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan kejahatan

pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya,

4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tecantum dakam pasal 340 KUHP,

yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.19

5) Perasaan takut seperti terdapat di dalam pasal 308 KUHP.

Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) adalah:

1) Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuatatau

membiarkan)

2) Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)

3) Melawan hukum (onrechmatig)

4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband stand)20

Menurut Pompe, untuk terjadinya perbuatan tindak pidana harus

dipenuhi unsur sebagai berikut:

1) Adanya perbuatan manusia

2) Memenuhi rumusan dalam syarat formal

3) Bersifat melawan hukum.


21

Menurut Jonkers unsur- unsur tindak pidana adalah:

1) Perbuatan (yang)

2) Melawan hukum (yang berhubungan dengan)

19
Chazawi, Adam, “Pelajaran Hukum Pidana 2”, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
2002. hlm. 41.
20
“Ibid”., hlm. 42.
21
“Ibid”., hlm. 43.
19

3) Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat)

4) Dipertanggungjawabkan22

3. Sanksi Pidana

a. Pengertian Sanksi Pidana

Istilah pidana diartikan sebagai sanksi pidana, selain itu juga

diartikan dengan istilah-istilah lain yaitu hukuman, penghukuman,

pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana dan hukuman pidana.

Sanksi pidana adalah suatu hukuman sebab akibat, sebab adalah kasusnya

dan akibat adalah hukumnya, orang yang terkena akibat akan mempeoleh

sanksi baik masuk penjara ataupun terkena hukuman lain dari pihak

berwajib.Sanksi pidana merupakan suatu jenis sanksi yang bersifat nestapa

yang diancamkan atau dikenakan terhadap perbuatan atau pelaku perbuatan

pidana atau tindak pidana yang dapat mengganggu atau membahayakan

kepentingan hukum. Sanksi pidana pada dasarnya merupakan suatu

penjamin untuk merehabilitasi perilaku dari pelaku kejahatan tersebut,

namun tidak jarang bahwa sanksi pidana diciptakan sebagai suatu ancaman

dari kebebasan manusia itu sendiri

“Sanksi pidana merupakan sanksi yang paling banyak digunakan di


dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan
bersalah melakukan perbuatan pidana.Sanksi tindakan merupakan
jenis yang lebih banyak tersebar di luar KUHP,walaupun dalam
KUHP sendiri mengatur juga bentuk bentuknya,yaitu berupa
perawatan di rumah sakit dan dikembalikan pada orang tuanya atau
walinya bagi orang yang tidak mampu bertanggung jawab dan anak
yang masih di bawah umur.24

“Dalam Black‟s Law Dictionary23, Henry Campbell Black

22
“Ibid”., hal 44
20

memberikan pengertian sanksi pidana sebagai punishment attached to

conviction at crimes such fines, probation and sentences (suatu pidana yang

dijatuhkan untuk menghukum suatu penjahat (kejahatan) seperti dengan

pidana denda, pidana pengawasan dan pidana penjara).

Berdasarkan deskripsi pengertian sanksi pidana di atas dapat

disimpulkan bahwa

“pada dasarnya sanksi pidana merupakan suatu pengenaan suatu


derita kepada seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan suatu
kejahatan (perbuatan pidana) melalui suatu rangkaian proses
peradilan oleh kekuasaan (hukum) yang secara khusus diberikan
untuk hal itu, yang dengan pengenaan sanksi pidana tersebut
diharapkan orang tidak melakukan tindak pidana lagi.”24

b. Macam-Macam Sanksi Pidana

“Berkaitan dengan macam-macam sanksi dalam hukum pidana itu

dapat dilihat didalam pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal

10 KUHP menentukan, bahwa pidana terdiri dari:”

1) Pidana Mati

Hukum pidana tidak pernah melarang orang mati, akan tetapi

akan melarang orang yang menimbulkan kematian, karena perbuatannya.

Keberadaan pidana mati (death penalty) dalam hukum pidana

(KUHP),merupakan sanksi yang paling tertinggi apabila dibandingkan

dengan sanksi pidana lainnya. Dilihat dari rumusan-rumusan perbuatan di

dalam KUHP, memperlihatkan bahwa ancaman pidana mati ditujukan

atau dimaksudkan hanya terhadap perbuatan-perbuatan yang sangat


23
Black, Campbell Henry, “Black's Law Dictionary Revised Fourth Edition”, West
Publishing Co, St. Paul Minnesota, I986.
24
Abintoro Prakoso, “Kriminologi dan Hukum Pidana”, Laksbang Grafika,
Yogyakarta. 2013. hlm. 78-79.
21

serius dan berat.

Dukungan hukuman mati didasari argumen diantaranya bahwa

hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang

untuk membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika

pada hukuman penjara penjahat bisa jera dan bisa juga membunuh lagi

jika tidak jera,pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa

membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya

memelihara kehidupan yang lebih luas. Dalam berbagai kasus banyak

pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali

melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Seringkali penolakan

hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku

tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri, keluarga, kerabat

ataupun masyarakat yang tergantung pada korban.Lain halnya bila

memang keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa

diubah dengan prasyarat yang jelas. Praktek hukuman mati di juga kerap

dianggap bersifat bias, terutama bias kelas dan bias ras.

Di Amerika Serikat, sekitar 80% terpidana mati adalah orang

non kulit putih dan berasal dari kelas bawah. Sementara di berbagai

negara banyak terpidana mati yang merupakan warga negara asing tetapi

tidak diberikan penerjemah selama proses persidangan.25

Dalam hal ini hukuman mati merupakan suatu penghilangan

nyawa seseorang dikarenakan orang yang bersangkutan melakukan

25
Abdul Khaliq .M., “Kontroversi Hukuman Mati dan Kebijakan Regulasinya Dalam
RUU KUHP (Studi Komparatif Menurut Hukum Islam),” Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 2, 2007.
22

kesalahan ataupun yang sering disebut melakukan suatu tindak pidana.

2) Pidana Penjara (Gevangemisstraf/Improsonment)

Pidana penjara merupakan pidana pokok yang berwujud

pengurungan atau perampasam kemerdekaan seseorang. Namun

demikian, tujuan pidana penjara itu tidak hanya memberikan pembalasan

terhadap perbuatan yang dilakukan dengan memberikan penderitaan

kepada terpidana karena telah dirampas atau dihilangkan kemerdekaan

bergeraknya, disamping itu juga mempunyai tujuan lain yaitu ungtuk

membina dan membimbing terpidana agar dapat kembali menjadi

anggota masyarakat yang baik dan berguna bagi masyarakat, bangsa dan

Negara. Dalam pidana penjara terdapat 3 sistem pemenjaraan, yaitu:

a) Sistem Pensylvania/Cellulaire System, dalam system Pensylvania

terpidana dimasukkan dalam sel-sel tersendiri. Ia sama sekali tidak

diizinkan menerima tamu. Dia juga tidak boleh bekerja di luar sel

tersebut. Satu-satunya pekerjaannya ialah untuk membaca Buku Suci

yang diberikan kepadanya. Sistem ini pertama kali digunakan di

Pensylvania, karena itu disebut Sistem Pensylvania.

b) System Auburn, dalam sistem Auburn yang disebut juga system

Silent, karena pada malam hari terpidana dimasukkan dalam sel

sendiri tetapipada siang hari diwajibkan bekerja sama dengan

narapidana lain tetapidiarang berbicara antarsesama narapidana atau

kepada orang lain.

c) System English/Progresif, sistem progresif dilakukan secara bertahap


23

Pada tahap pertama selama tiga bulan, terpidana menggunakan

cellular system, setelah ada kemajuan, si terpidana diperbolehkan

menerima tamu, berbincang-bincang dengan sesama narapidana,

bekerja sama dan lain sebagainya. Tahap selanjutnya lebih ringan

lagi,bahkan pada tahap akhir ia boleh menjalani pidananya di luar

tembok penjara.

Selanjutnya, orang-orang yang menjalani pidana penjara

digolongkan dalam kelas-kelas, yaitu:

a) Kelas satu yaitu untuk mereka yang dijatuhi pidana penjara seumur

hidup dan mereka yang telah dijatuhi pidana penjara

b) Kelas dua yaitu mereka yang telah dijatuhi pidana penjara selama

lebih dari tiga bulan yakni apabila mereka dipandang tidak perlu

untukdimasukkan ke dalam golongan terpidana kelas satu atau mereka

yangdipidahkan ke dalam golongan kelas dua dari golongan kelas 1

dan 3, mereka yang dipindahkan ke golongan kelas 2 dari golongan

kelas 3.

c) Kelas tiga adalah mereka yang semula termasuk ke dalam golongan

kelas 2, yang karena selama enam bulan berturut-turut telah

menunjukkan kelakuan yang baik, hingga perlu dipindahkan ke

golongan kelas tiga.

d) Kelas empat adalah mereka yang telah dijatuhi pidana penjara kurang

dari tiga bulan.


24

3) Pidana Kurungan (Hechtenis)26

Pidana kurungan adalah bentuk-bentuk dari hukuman

perampasan kemerdekaan bagi si terhukum yaitu pemisahan si terhukum

dari pergaulan hidup masyarakat ramai dalam waktu tertentu dimana

sifatnya sama dengan hukuman penjara yaitu perampasan kemerdekaan

orang.

Terhadap pidana kurungan ini yang dianggap oleh pembentuk

undang-undang lebih ringan dari pidana penjara dan ini seklaigus

merupakan perbedaan antara kedua pidana itu, ialah:

a) Menurut pasal 12 ayat 2 KUHP lamanya hukuman penjara adalah

sekurang-kurangnya (minimum) satu hari dan selamalamanya lima

belasa tahun berturut-turut. Maksimum 1tahun dilampaui dalam

gabungan tindak pidana, recidive, atau dalam hal berlakunya pasal 52

KUHP (ayat 3 dari Pasal 12).

b) Menurut pasal 19 ayat 2 KUHP, kepada seseorang hukuman kurangan

diberi pekerjaan lebih ringan dari orang yang dijatuhi pidana penjara.

c) Menurut pasal 21 KUHP, hukuman kurungan harus dijalani dalam

daerah Provinsi tempat si tehukum berdiam.

d) Menurut pasal 23 KUHP, orang yang dihukum dengan kurungan

boleh memperbaiki nasibnya dengan biaya sendiri menurut peraturan

yang ditetapkan dalam undang-undang.

4) Pidana Denda

26
Ayub Torry Satriyo, “Hukuman Mati Ditinjau Dari Perspektif Hukum dan Hak Asasi
Manusia International”, Penerbit buku kompas, Jakarta, 2015. hlm. 4.
25

Pidana denda adalah jenis pidana yang dikenal secara luas di

dunia, dan bahkan di Indonesia. Pidana ini diketahui sejak zaman

Majapahit dikenal sebagai pidana ganti kerugian. Menurut Andi

Hamzah, pidana dendam merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua

daripada pidana penjara, mungkin setua pidana mati.

Menurut pasal 30 ayat 2 KUHP apabila denda tidak dibayar

harus diganti dengan pidana kurungan, yang menurut ayat (3) lamanya

adalah minimal satu hari dan maksimal enam bulan, menurut pasal 30

ayat (4) KUHP, pengganti denda itu diperhitungkan sebagai berikut:

a) Putusan denda setengah rupiah atau kurang lamanya ditetapkan satu

hari.

b) Putusan denda yang lebih dari setengah rupiah ditetapkan kurungan

bagi tiap-tiap setengah rupiah dan kelebihannya tidak lebih dari satu

hari lamanya.

5) Pidana Tutupan

Dasar hukum diformulasikannya pidana tutupan ini dalam

KUHP terdapat di dalam Undang-Undang RI 1946 No.20, berita

Republik Indonesia Tahun II No.24.27 Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1)

dinyatakan bahwa: “Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan

yang diancam pidana penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut

dihormati, Hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan. Pidana ini tidak

boleh dijatuhkan bila perbuatan itu atau akibatnya sedemikian rupa,

sehingga Hakim menimbang pidana penjara lebih padatempatnya.Tempat


27
Undang-Undang RI 1946 No.20, Berita Republik Indonesia Tahun II No. 24.
26

dan cara menjalankan pidana ini diatur tersendiri dalam PP 1948 No. 8.

Dalam peraturan ini narapidana diperlukan jauh lebih baik dari pada

pidana penjara, antara lain: uang pokok, pakaian sendiri, dan sebagainya.

B. Pengertian Terorisme

“Dalam penjelasan umum dari Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003


disebutkan bahwa terorisme adalah merupakan kejahatan yang bersifat
Internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian
dunia serta merugikan kesehjateraan masyarakat, sehingga perlu
dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan.”28

“Sebagai contoh sulitnya untuk mendapatkan kesepakatan atau


keseragaman yang dapat diterima secara universal tentang pengertian
terorisme adalah terjadinya perdebatan antara Amerika Serikat dan Israel
di satu pihakdengan Syria dan Kuba di pihak lain dalam pertemuan
panitia Ad Hoc mengenai terorisme dari majelis umum PBB (general
Assembly’s Ad Hoc Committee on Terrorism) awal tahun 2003. Oleh
karna itu belum ada kesepakatan atau keseragaman yang dapat diterima
secara universal tentang pengertian terorisme, dapat dimengerti jika
kemudian beberapa pakar atau negara memberikan pengertian terorisme
sesuai dengan sudut pandangnya.Terorisme adalah sesuatu strategi
kekerasan yang dirancang untuk meningkatkan hasil-hasil yang
diinginkan, dengan menanamkan ketakutan di kalangan masyarakat
umum.”29

“Pendapat lain mengatakan bahwa terorisme adalah penggunaan atau


ancaman kekerasan fisik oleh individu-individu atau kelompok untuk
tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk melawan
kekuasaan yang ada, apabila tindakan-tindakan terorisme itu
dimaksudkan untuk mengejutkan, melumpuhkan atau mengintimidasi
kelompok-kelompok yang berusaha untuk menumbangkan rezim-rezim
tertentu, untuk mengkoreksi keluhan kelompok atau nasional atau untuk
menggerogoti tata politik Internasional yang ada.”30

Poul Johnson memberikan arti terorisme adalah

“sebagai pembunuhan dengan sengaja yang direncanakan secara


sistematik, sehingga mengakibatkan cacat dan merenggut atau
28
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003
29
A.M. Hendropriyono, “Terorisme”, Penerbit buku kompas, Jakarta, 2009. hlm. 26.
30
Potak Pantogi Nainggolan, “Terorisme dan Tata Dunia Baru”, Penerbit Pusat
Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretaris Jendral Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, 2006.
hlm. 10.
27

mengancam jiwa orang tidak bersalah, sehingga menimbulkan ketakutan


umum, semata-mata demi mencapai tujuan politik, terorisme adalah
suatu kejahatan politik, yang dari segi apa pun tetap merupakan kejahatan
dan dalam artian secara keseluruhan adalah merupakan kejahatan.”31

“Dari sebuah forum curahan pendapat (brain Storming) antara para


akademis, profesional, pakar pengamat politik, dan diplomatik terkemuka
yang diadakan di kantor Menteri Koordinator Politik dan Keamanan
(Menko Polkam) tanggal 15 September 2001, dapat dicatat beberapa
pendapat atau pandangan mereka mengenai terorisme, yaitu tindakan
kekerasan yang dilakukan sekelompok orang (ekstrimis, separatis dan
suku bangsa) sebagai jalan terakhir untuk memperoleh keadilan yang
tidak tercapai melalui saluran resmi atau jalur hukum.”32

Dengan mengacu pada beberapa pengertian terorisme seperti yang

disebutkan dalam bukunya, Petrus Reinhard Golose berpendapat bahwa:

“Terorisme adalah setiap tindakan yang melawan hukum dengan cara


menebarkan teror secarameluas kepada masyarakat, dengan ancaman
ataucara kekerasan, baik yang diorganisir maupun tidak, serta
menimbulkan akibat berupa penderitaan fisik dan/ atau psikologis dalam
waktu berkepanjangan, sehingga dikategorikan sebagai tindak kejahatan
yang luar biasa (extra ordinary crime) dan kejahatan terhadap
kemanusiaan”.33

Di indonesia apa yang dimaksud dengan pengertian tindak pidana

terorisme terdapat dalam pasal 1 angka 1 UU No. 15 Tahun 2003 jo. Peraturan

Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2002 yang menentukan bahwa tindak

pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pidana

sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 15 tahun 2003 jo. Peraturan Pemerintah

pengganti UU No. 11 tahun 2002.

Untuk selanjutnya lihat pembahasan terhadap Pasal 1 angka 1.

Berhubungan baik di dalam naskah maupun di dalam penjelasan UU Nomor 15


31
“Ibid”., hlm. 11.
32
“Ibid”., hlm. 12.
33
Petrus Reinhard Golose, “Deradikalisasi Terorisme human soul approach dan
menyentuh akar rumput,Yayasan pengembangan kajian ilmu kepolisian”, Penerbit buku kompas,
Jakarta, 2010. hlm. 2.
28

tahun 2003 jo. Peraturan Pemerintah pengganti UU No. 1 tahun 2002 tidak

disebutkan bahwa tindak pidana terorisme harus ada latar belakang politiknya,

maka dapat ditentukan bahwa menurutu hukum positif yang berlaku di Indonesia

suatu tindak pidana terorisme tidak harus ada latar belakang politiknya. Bahwa

dalam kenyataan tindak pidana terorisme yang telah dilakukan di indonesia ada

latar belakang politiknya, sama sekali tidak mengurangi berlakunya UU No. 15

Tahun 2003 jo. Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2002.

Menurut Romli Atmasasmita, adalah

Kesulitan penyusunan Undang-undang tentang terorisme adalah


pembahasan mengenai definisi terorisme yang cocok dengan aspek
kultur, etnis dan geografis Indonesia. Atas dasar pertimbangan
tersebut, maka menurut Romli Atmasasmita UU No. 1 Tahun 2003 jo.
PeraturanPemerintah pengganti UU No. 1 Tahun 2002 tidak memuat
definisi tentang terorisme, kecuali hanya memasukan definisi
terorisme sebagai suatu tindak pidana yang steril dari pengaruh
politik. Tujuan sterilisasi politik sebagai suatu tindak pidana adalah
mencegah terjadinya konflik etnis dan konflik yang beraspek SARA
diantara anak bangsa Indonesia.34

Sejarah tentang terorisme berkembang sejak berabad lampau. Hal ini

ditandai dengan bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman yang

bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Perkembangannya bermula dan bentuk

fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik

yang dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap

penguasa yang dianggap sebagai tiran.

Definisi terorisme, baik menurut para ahli maupun peraturan perundang

undangan, memiliki kesamaan. Intinya adalah perbuatan ‘menakut-nakuti’ yang

menyebabkan timbulnya ‘ketakutan’ atau ‘kengerian.’ Singkatnya, semua definisi


34
Romli Atmasasmita, “Kapita Selekta Kejahatan Bisnis dan Hukum Pidana Buku 2”,
Penerbit PT Fikahati Aneska, Jakarta, 2013. hlm. 101.
29

yang ada selalu mengandung unsur ‘ketakutan’ atau ‘kengerian.’ Berikut beberapa

definisi terorisme menurut para ahli, hukum internasional, dan ketentuan hukum

yang berlaku di Indonesia.”35

Dalam penjelasan umum dari Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003

disebutkan bahwa terorisme adalah merupakan kejahatan yang bersifat

Internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia

serta merugikan kesehjateraan masyarakat, sehingga perlu dilakukan

pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan.

Sebagai contoh sulitnya untuk mendapatkan kesepakatan atau

keseragaman yang dapat diterima secara universal tentang pengertian terorisme

adalah terjadinya perdebatan antara Amerika Serikat dan Israel di satu pihak

dengan Syria dan Kuba di pihak lain dalam pertemuan panitia Ad Hoc mengenai

terorisme dari majelis umum PBB (general Assembly’s Ad Hoc Committee on

Terrorism) awal tahun 2003. Oleh karna itu belum ada kesepakatan atau

keseragaman yang dapat diterima secara universal tentang pengertian terorisme,

dapat dimengerti jika kemudian beberapa pakar atau negara memberikan

pengertian terorisme sesuai dengan sudut pandangnya.

Terorisme adalah sesuatu strategi kekerasan yang dirancang untuk

meningkatkan hasil-hasil yang diinginkan, dengan menanamkan ketakutan di

kalangan masyarakat umum.36 Pendapat lain mengatakan bahwa terorisme adalah

penggunaan atau ancaman kekerasan fisik oleh individu-individu atau kelompok

untuk tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk melawan


35
Pasal 1 angka 2 perpu 1/2002 jo Definisi Terorisme.
36
A.M. Hendropriyono. “Terorisme” Penerbit buku kompas, Jakarta, 2009. hlm. 26.
30

kekuasaan yang ada, apabila tindakan-tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk

mengejutkan, melumpuhkan atau mengintimidasi kelompok-kelompok yang

berusaha untuk menumbangkan rezim-rezim tertentu, untuk mengkoreksi

keluhan kelompok atau nasional atau untuk menggerogoti tata politik

Internasional yang ada.

Poul Johnson memberikan arti terorisme adalah sebagai pembunuhan

dengan sengaja yang direncanakan secara sistematik, sehingga mengakibatkan

cacat dan merenggut atau mengancam jiwa orang tidak bersalah, sehingga

menimbulkan ketakutan umum, semata-mata demi mencapai tujuan politik,

terorisme adalah suatu kejahatan politik, yang dari segi apa pun tetap merupakan

kejahatan dan dalam artian secara keseluruhan adalah merupakan kejahatan.

Dari sebuah forum curahan pendapat (brain Storming) antara para

akademis, profesional, pakar pengamat politik, dan diplomatik terkemuka yang

diadakan di kantor Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam)

tanggal 15 September 2001, dapat dicatat beberapa pendapat atau pandangan

mereka mengenai terorisme, yaitu tindakan kekerasan yang dilakukan

sekelompok orang (ekstrimis, separatis dan suku bangsa) sebagai jalan terakhir

untuk memperoleh keadilan yang tidak tercapai melalui saluran resmi atau jalur

hokum. Dengan mengacu pada beberapa pengertian terorisme seperti yang

disebutkan dalam bukunya, Petrus Reinhard Golose berpendapat bahwa

terorisme adalah setiap tindakan yang melawan hukum dengan cara menebarkan

teror secara meluas kepada masyarakat, dengan ancaman ataucara kekerasan,

baik yang diorganisir maupun tidak, serta menimbulkan akibat berupa


31

penderitaan fisik dan/ atau psikologis dalam waktu berkepanjangan, sehingga

dikategorikan sebagai tindak kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime)

dan kejahatan terhadap kemanusiaan.37

Di indonesia apa yang dimaksud dengan pengertian tindak pidana

terorisme terdapat dalam pasal 1 angka 1 UU No. 15 Tahun 2003 jo. Peraturan

Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2002 yang menentukan bahwa tindak

pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur

pidana sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 15 tahun 2003 jo. Peraturan

Pemerintah pengganti UU No. 11 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak

pidana terorisme.

Untuk selanjutnya lihat pembahasan terhadap Pasal 1 angka 1.

Berhubungan baik di dalam naskah maupun di dalam penjelasan UU No. 15

tahun 2003 jo. Peraturan Pemerintah pengganti UU No. 1 tahun 2002 tidak

disebutkan bahwa tindak pidana terorisme harus ada latar belakang politiknya,

maka dapat ditentukan bahwa menurutu hukum positif yang berlaku di Indonesia

suatu tindak pidana terorisme tidak harus ada latar belakang politiknya. Bahwa

dalam kenyataan tindak pidana terorisme yang telah dilakukan di indonesia ada

latar belakang politiknya, sama sekali tidak mengurangi berlakunya UU No. 15

Tahun 2003 jo. Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2002.

“Menurut Romli Atmasasmita, kesulitan penyusunan Undang-undang


tentang terorisme adalah pembahasan mengenai definisi terorisme yang
cocok dengan aspek kultur, etnis dan geografis Indonesia. Atas dasar
pertimbangan tersebut, maka menurut Romli Atmasasmita UU No. 1
Tahun 2003 jo. Peraturan Pemerintah pengganti UU No. 1 Tahun 2002
tidak memuat definisi tentang terorisme, kecuali hanya memasukan
37
Petrus reinhard golose. Dedrakalisasi Terorisme. Yayasan pengembangan kajian ilmu
kepolisian,” jakarta,2009. hlm. 15
32

definisi terorisme sebagai suatu tindak pidana yang steril dari pengaruh
politik. Tujuan sterilisasi politik sebagai suatu tindak pidana adalah
mencegah terjadinya konflik etnis dan konflik yang beraspek SARA
diantara anak bangsa Indonesia.”38

1. Sejarah Terorisme

Sejarah tentang terorisme berkembang sejak berabad lampau.hal ini


ditandai dengan bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan dan
aSejarah tentang terorisme berkembang sejak berabad lampau. Hal
ini ncaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu.
Perkembangannya bermula dan bentuk fanatisme aliran kepercayaan
yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan
secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa
yang dianggap sebagai tiran.

“Pembunuhan terhadap individu ini sudah dapat dikatakan sebagai


bentuk murni dari terorisme dengan mengacu. Di era modern,
ideology terorisme menurut Harun Yahya pada umumnya
dinisbatkan kepada teori evolusi Darwin “stuggle for survival
between the races” (pertarungan untuk bertahan hidup antar ras) dan
teori “natural selection” (seleksi ilmiah).15 Menurut teori Darwin,
kehidupan akan selalu diwarnai dengan persaingan dan konflik,
karenanya orang-orang yang memiliki kekuatan akan dapat bertahan
dan mendominasi, sedangkan orang-orang yang lemah akan
tereleminasi dan disepelekan. Ide ini menegaskan bahwa agar
masyarakat tumbuh menjadi kuat, maka pertarungan dan
pertumbahan darah adalah sebuah keharusan.”39

“Pada sejarah terorisme modern. Terorisme muncul pada akhir abad


19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia I dan terjadi hampir di
seluruh permukaan bumi. Sejarah mencatat pada tahun 1890-an aksi
terorisme Armenia melawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan
bencana pembunuhan massal terhadap warga Armenia pada PD I.
Pada dekade PD I, aksi terorisme diidentikkan sebagai bagian dari
gerakan sayap kiri yang berbasiskan ideologi. Pasca Perang Dunia II,
dunia tidak pernah mengenal damai”.40

38
Romli Atmasasmita, “Kapita Selekta Kejahatan Bisnis dan Hukum Pidana”, Penerbit
PT Fikahati Aneska, Jakarta, 2013. hlm. 101.
39
Azyumardi Azra, “Jihad dan Terorisme. dalam Tabrani Sabirin, (ed),
Menggugat Terorisme”, CV. Karsa Rezek, Jakarta, 2006. hlm. 72-73.
40
Sukasta, “Aspek Hukum Tindak Pidana Terorisme, Menurut Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Terorisme”, Openjournal, Fakultas Hukum , Universitas
Pamulang, Tangerang Selatan, 2022.
33

Berbagai pergolakan berkembang dan berlangsung secara

berkelanjutan. Konfrontasi negara adikuasa yang meluas menjadi konflik

Timur - Barat dan menyeret beberapa negara Dunia Ketiga ke dalamnya

menyebabkan timbulnya konflik Utara - Selatan. Perjuangan melawan

penjajah, pergolakan rasial, konflik regional yang menarik campur tangan

pihak ketiga, pergolakan dalam negeri di sekian banyak negara Dunia Ketiga,

membuat dunia labil dan bergejolak. Ketidakstabilan dunia dan rasa frustasi

dari banyak Negara Berkembang dalam perjuangan menuntut hak-hak yang

dianggap fundamental dan sah, membuka peluang muncul dan meluasnya

terorisme.

Fenomena terorisme itu sendiri merupakan gejala yang relatif baru,

yaitu sesudah Perang Dunia II dan meningkat sejak permulaan dasawarsa 70-

an. Terorisme dan teror telah berkembang dalam sengketa ideologi, fanatisme

agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, gerilya, bahkan juga oleh

pemerintah sebagai cara dan sarana menegakkan kekuasaannya

Pemberantasan tindak pidana

terorisme di Indonesia tidak semata-mata merupakan masalah hukum

dan penegakan hukum melainkan juga merupakan masalah sosial, budaya,

ekonomi yang berkaitan erat dengan masalah ketahanan bangsa sehingga

kebijakan dan langkah pencegahan dan pemberantasannya ditujukan untuk

memelihara keseimbangan dalam kewajiban melindungi kedaulatan Negara,

hak asasi korban dan saksi serta hak asasi tersangka atau terdakwa.

2. Bentuk-Bentuk Terorisme
34

Ada beberapa bentuk terorisme yang dikenal, yang perlu kita bahas

dari bentuk itu antara lain teror kriminal dan teror politik. Kalau mengenai

teror kriminal biasanya hanya untuk kepentingan pribadi atau memperkaya

diri sendiri. Teroris kriminal bisa menggunakan cara pemerasan dan

intimidasi. Mereka menggunakan kata-kata yang dapat menimbulkan

ketakutan atau teror psikis.

Lain halnya dengan teror politik bahwasanya teror politik tidak

memilih- milih korban. Teroris politik selalu siap melakukan pembunuhan

terhadap orang- orang sipil: laki-laki, perempuan, dewasa atau anak-anak

dengan tanpa mempertimbangkan penilaian politik atau moral, teror politik

adalah suatu fenomena sosial yang penting. Sedangkan terorisme politik

memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Merupakan intimidasi kohersif.

b. Memakai pembunuhan dan destruktif secara sistematis sebagai sarana

untuk tujuan tertentu.

c. Korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat

syaraf.

d. Target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia, namun tujuannya adalah

publisitas.

e. Pesan aksi itu cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri

secara personal

f. Para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealisme yang cukup keras,

misalnya “berjuang demi agama dan kemanusiaan”, maka hard-core


35

kelompok teror adalah fanatik yang siap mati

Terorisme terbagi dalam tiga bentuk yaitu terorisme revolusioner,

terorisme sub-revolusioner dan terorisme represif. Dalam pandangan

Wilkinson, terorisme revolusioner dan terorisme sub revolusioner dilakukan

oleh warga sipil, sedangkan terorisme represif dilakukan oleh Negara.

Perbedaan dari terorisme revolusioner dan subrevolusioner adalah dari segi

tujuannya. Terorisme revolusioner bertujuan untuk merubah secara total

tatanan sosial dan politik yang sudah ada, tetapi terorisme sub-revolusioner

bertujuan untuk mengubah kebijakan atau balas dendam atau menghukum

pejabat pemerintahan yang tidak sejalan. Sedangkan terorisme Negara adalah

aksi teror yang dilakukan pemerintah, mengatasnamakan atas dasar hukum,

ditujukan baik terhadap kelompok oposisi yang ada dibawah

pemerintahannya maupun terhadap kelompok di wilayah lainnya.41

“Di era modern ini state terrorism bisa dikembangkan lebih luas
dengan mencakup tindakan non militer yang dilancarkan pada
Negara lain seperti embargo pendistribusian kebutuhan pokok,
menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Negara sekutu, dan
menetapkan persyaratan yang ketat sebelum dikucurkan dana
bantuan dan aktifitas ekonomi lainnya”.42

Mengenai tipologi terorisme, terdapat sejumlah versi penjelasan, di

antaranya tipologi yang dirumuskan oleh “National Advisory Committee”

(komisi kejahatan nasional Amerika) dalam The Report of the Task Force of

the on Disorders and Terrorism, yang mengemukakan sebagai berikut, ada

beberapa bentuk terorisme yaitu:


41
Kasjim salendra. Terorisme dan jihad pada hukum Islam. Badan Litbang Depag RI.
Jakarta. 2009. hlm. 91.
42
“Kementerian Pertahanan Republik Indonesia”, Buku Putih Pertahanan Republik
Indonesia, 2015.hlm.21.
36

a. Terdiri atas pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah itu


terjadi sebelum perang dunia II.
b. Terorisme dimulai di Al-jazair ditahun 50an, dilakukan oleh FLN
yang mempopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap
masyarakat sipil yang tidak berdosa;
c. Terorisme muncul pada tahun 60an dan terkenal dengan istilah
“terorisme media”, berupa serangan acak atau random terhadap
siapa saja dengan tujuan publisitas.43

Mengenai tipologi terorisme, terdapat sejumlah versi penjelasan, di

antaranya tipologi yang dirumuskan oleh “National Advisory Committee”

(komisi kejahatan nasional Amerika) dalam The Report of the Task Force of

the on Disorders and Terrorism, yang mengemukakan sebagai berikut, ada

beberapa bentuk terorisme yaitu:

a. Terorisme Politik yaitu perilaku kekerasan kriminal yang dirancang guna


menumbuhkan rasa ketakutan di kalangan masyarakat demi kepentingan
politik
b. Terorisme nonpolitis yakni mencoba menumbuhkan rasa ketakutan dengan
cara kekerasan, demi kepentingan pribadi, misalnya kejahatan terorganisasi
c. Quasi terorisme, digambarkan dengan “dilakukan secara incidental”,
namun tidak memiliki muatan ideologi tertentu, lebih untuk tujuan
pembayaran contohnya dalam kasus pembajakan pesawat udara atau
penyanderaan dimana para pelaku lebih tertarik kepada uang tebusan
daripada motivasi politik.
d. Terorisme politik terbatas, diartikan sebagai teroris, yang memiliki motif
politik dan ideologi, namun lebih ditujukan dalam mengendalikan keadaan
(Negara). Contohnya adalah perbuatan teroris yang bersifat pembunuhan
balas dendam.
e. Terorisme Negara atau pemerintahan yakni suatu Negara atau
pemerintahan, yang mendasarkan kekuasaannya dengan ketakutan dan
penindasan dalam mengendalikan masyarakatnya.44

Terorisme yang dilakukan oleh Negara merupakan salah satu bentuk

kejahatan yang tergolong sangat istimewa. Sebab Negara adalah suatu

43
Hendro Mardianysah, Tinjauan Kriminologis Terhadap kejahatan terorisme,
Universitas Muhammadiyah Mataram Fakultas Hukum, Mataram.hlm. 34.
44
Simson Kristianto (2021) Pemenuhan Hak Narapidana Anak di lembaga pembinaan
yang bukan khusus anak Jurnal HAM Vol 12 No 1.
37

organisasi besar yang dipilari oleh kekuatan rakyat, namun disisi lain punya

kewajiban mengatur, melindungi, dan menyejahterakan kehidupan rakyat

secara material maupun non material. Tatkala Negara itu, melalui pejabat

pemerintahannya terlibat dalam tindakan criminal secara vertikal, horizontal,

regional, nasional maupun Internasional, maka otomatis rakyatlah yang

dikorbankan.

C. Hukum Pidana

1. Pengertian Hukum Pidana

“Pidana berasal dari kata straf (Belanda) yang sering di definisikan


dalam istilah “Hukuman” atau dengan definisi lain sebagai suatu
penderita yang sengaja dijatuhkan atau diberikan oleh negara-negara
pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi)
baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum
pidana. Larangan dalam hukum pidana secara khusus disebut sebagai
tindak pidana (strafbaar feit)“.45

Moeljatno mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah

“Bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang


mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk Menentukan
perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,
dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi
barang siapa melanggar larangan tersebut”.46

Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana

sebagaimana yang telah di ancamkan. Menentukan dengan cara bagaimana

pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah

melanggar larangan tersebut.

Apeldoorn, menyatakan bahwa Hukum Pidana diberikan arti:


45
Suyanto, “Pengantar Hukum Pidana”, Deepublisher, Yogyakarta, 2018. hlm. 1.
46
Romli Asmasasmit, “Kapita Selekta Kejahatan Bisnis dan Hukum Pidana Buku 2”,
Penerbit PT Fikahati Aneska, Jakarta, 2013. hlm. 103.
38

“Hukum Pidana materiil yang menunjuk pada perbuatan pidana dan


yang oleh sebab perbuatan itu dapat dipidana, dimana perbuatan
pidana itu mempunyai dua bagian, yaitu: Bagian objektif merupakan
suatu perbuatan atau sikap yang bertentangan dengan hukum pidana
positif, sehingga bersifat melawan hukum yang menyebabkan tuntutan
hukum dengan ancaman pidana atas pelanggarannya. Bagian
subjektif merupakan kesalahan yang menunjuk kepada pelaku untuk
dipertanggungjawabkan menurut hukum”. 47

Hukum Pidana formal yang mengatur cara bagaimana hukum pidana

materiil dapat di tegakkan. Dalam konteks hukum pidana modern reaksi atas

tindakan dan saknsi dari kejahatan tersebut tidak hanya berupa hukum pidana,

melainkan lebih luas dari itu yakni tindakan yang bertujuan sebagai upaya

melindungi masyarakat dari perbuatan yang merugikan. Sementara itu ius

puniendi, atau pengertian hukum pidana subjektif menurut Sudarto memiliki

dua pengertian yaitu:

a. Pengertian luas, yaitu hubungan dengan hak Negara alat-alat


perlengkapannya untuk mengenakan atau menentukan ancaman
pidana terhadap suatu perbuatan.
b. Pengertian sempit, yaituhak negara untuk menuntut perkara-
perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana terhadap
orang yang melakukan tindak pidana. 48

Menurut Simons, hukum pidana itu dapat dibagi menjadi

“Hukum pidana dalam arti objektif atau strafrecht in objective zin dan
hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in subjective zin.
Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku,
atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale. Hukum
Pidana dalam arti subjektif tersebut, oleh Professor Simons telah yakni
Keseluruhan dari larangan-larangan dan keharusan-keharusan, yang
atas pelanggarannya oleh Negara atau oleh suatu masyarakat hukum
umum lainnya telah dikaitkan dengan suatupenderitaan yang bersifat
khusus berupa suatu hukuman, dan keseluruhan dari peraturan-
peraturan di mana syarat-syarat mengenai akibat hukum itu telah
diatur serta keseluruhan dari peraturan- peraturan yang mengatur
masalah penjatuhan dan pelaksanaan dari hukumannya itu sendiri.
47
“Ibid”., hlm. 104.
48
“Ibid”., hlm. 105., “Op.Cit”., hlm. 105.
39

Dalam arti subjektif itu mempunyai dua pengertian, yakni :


a. Hak dari negara dan alat-alat kekuasaanya untuk menghukum,
yakni hak yang telah mereka perolehdari peraturan-peraturan yang
telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objektif; Hukum
Pidana Materil & Formil
b. Hak dari negara untuk mengaitkan pelanggaran terhadap
peraturanperaturannya dengan hukum. Hukum pidana dalam arti
subjektif di dalam pengertian seperti yang disebut terakhir di atas,
juga disebut sebagai ius puniendi. Pelaksanaan fungsi-fungsi
tersebut di atas merupakan kewenangan dari lembaga legislatif
untuk merumuskan perbuatan pidana sekaligus ancaman
pidananya, untuk selanjutnya tugas dan fungsi memeriksa dan
menurut suatu perkara pidana ada dalam kewenangan lembaga
yudikatif.”49

4. Sifat-Sifat Hukum Pidana

Hukum publik adalah hukum yang mengatur kepentingan publik

(masyarakat umum), apabila diperinci sifat hukum publik tersebut dalam

hubungannya dengan hukum pidana maka akan ditemukan ciri - ciri hukum

publiksebagai berikut :

a. Mengatur hubungan antara kepentingan negara atau masyarakat


dengan orang perorang;
b. Kedudukan penguasa negara adalah lebih tinggi dari orang
perorang;
c. Penuntutan seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana
tidak bergantung kepada perorangan (yang dirugikan) melainkan
pada umumnya negara/penguasa wajib menuntut berdasarkan
kewenangannya.50

E. Tinjauan Umum Tentang Pertanggung Jawaban Pidana

Apabila seseorang melakukan tindak pidana, baik tindak pidana dengan

cara berbuat atau melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh atau tindak pidana

dengan tidak melakukan atau berbuat sesuatu, maka seseorang itu telah melanggar

kewajibannya berdasarkan ketentuan pidana dan dianggap telah melakukan

49
Suyanto, ”Pengantar Hukum Pidana”, Deepublisher, Yogyakarta, 2018. hlm. 4.
50
“Ibid”., hlm. 6.
40

kesalahan dalam hokum pidana. Oleh karena itu, ia harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya itu, dan dapat dipidana.

Menurut Roeslan Shaleh pertanggungjawaban pidana adalah

Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang obyektif

yang dipidana karena perbuatan itu. Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas

legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan.

Sebagai contoh tindak pidana berbuat sesuatu : Seseorang yang telah

melakukan tindak pidana pencurian , diancam dengan pidana penjara paling lama

5 tahun, perbuatan tersebut telah melanggar ketentuan pidana yang dirumuskan

dalam Pasal 362 KUHP. Pasal 362 KUHP berbunyi :

“Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian

kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,

diancam karena pencurian, dengan pidana pencurian paling lama 5 tahun atau

pidana denda paling banyak Rp. 900,-“.

Sebagai contoh tindak pidana tidak berbuat sesuatu : Seseorang yang

dipanggil sebagai seorang saksi dengan sengaja tidak datang/tidak memenuhi

kewajibannya, dapat dipidana , hal ini melanggar Pasal 224 KUHP. Pasal 224

KUHP berbunyi : “Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli, atau juru bahasa

menurut Undang-Undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan

Undang-Undang yang harus dipenuhinya, diancam :

1. Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan;

2. Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.

“Dengan demikian apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan


hukum pidana, maka orang yang melanggar tersebut harus
41

mempertanggungjawabkan perbuatan itu. Oleh karena itu, pada


prinsipnya apabila terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh siapa
saja, maka ia harus bertanggungjawab atas tindakannya. Namun,
dalam hal-hal tertntu orang yang dianggap telah melakukan tindak
pidana tidak dipidana. Hal ini merupakan pengecualian, dan diatur
tersendiri dalam ketentuan KUHP, seperti keadaan terpaksa,
pembelaan, menjalankan perintah jabatan, menjalankan perintah
Undang-Undang Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang
menentukan isi dan kekuatan aturan-aturan dari hukum positif dalam
konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusan”.51

“Kekuasaan kehakiman ini diilhami oleh adanya teori pemisahan


kekuasaan yang dikemukakan oleh Montesqueiu yang digunakan
agar dalam penjatuhan putusan harus adil, tidak adanya keberpihakan,
danmenjunjung tinggi nilai kejujuran. Jika kekuasaan kehakiman
tersebut tidak memiliki kebebasan maka akan timbul sikap ketidak
adilan. Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan
pada suatu perkara yang diberikan kepadanya, dimana pada perkara
pidana hakim memeriksa dan memutuskan perkara menggunakan
sistem pembuktian negative”.52

Prinsip dari sistem pembuktian negatif ini adalah pembuktian yang

menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah

terbukti, disamping dengan adanyaalat bukti menurut undang- undang juga

ditentukan daripada keyakinan yang dimiliki seorang hakim yang berlandaskan

dengan integritas moral yang tepat, maka intinya ialah dalam menjatuhkan

putusan, hakim bukan hanya meninjau dari segi yuridis saja tetapi juga harus

meninjau dari segi non yuridis yang berdasarkan dari hati nurani daripada

hakim tersebut.53

F. Tinjauan Umum Penjatuhan Putusan

Menurut Mackenzie terdapat beberapa teori pendekatan yang digunakan

oleh hakim dalam memperimbangkan penjatuhan putusan suatur perkara,


51
Ayu Efritadewi, “Modul Hukum Pidana”, Umrah Press, Tanjungpinang, 2020. hlm.
14.
52
“Ibid”., hlm. 15.
53
42

diantaranya:54

1. Teori Keseimbangan

“Keseimbangan dalam hal ini adalah keseimbangan terkait syarat-


syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang dan kepentingan
pihak- pihak yang terkait dengan perkara. Misalnya
keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat,
kepentingan terdakwa, kepentingan korban, dan kepentingan
pihak tergugat dan tergugat”

2. Teori Pendekatan Seni dan Instuisi

“Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau


kewenangan hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan
hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang
berlaku bagi setiap pelaku tindak pidana atau dalam perkara
perdata. Dalam menjatuhkan putusan, hakim akan melihat
keadaan pihak yang berperkara, baik penggugat maupun tergugat
dalam perkara perdata, baik terdakwa atau penuntut umum dalam
perkara pidana. Pendekatan seni digunakan oleh penentuan
instink atau instuisi daripada pengetahuan dari hakim”.

3. Teori Pendekatan Ilmuan

“Penentuan dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses


penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh
kehati-hatian yang dikaitkan dengan putusan terdahulu dalam
rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan
Keilmuan ini dijadikan sebagai peringatan bahwa dalam memutus
perkara hakim tidak boleh semata- mata atas dasar instuisi atau
instink semata, namun harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan
hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam perkara yang
harus diputuskannya”.55

4. Teori Pendekatan Pengalaman

“Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat


membantu dalam menghadapi perkara yang dihadapi sehari-hari,
karena dengan pengalaman yang dihadapi, seorang hakim dapat
mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan
dalam suatu perkaea pidana atau dampak yang ditimbulkan dalam

54
Ahmad Rifa’I, ”Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum
Progresif”, Sinar Grafik, Jakarta, 2011. hlm. 105-113.
55
“ibid”., hlm. 114.
43

putusa perkara perdata yang berkaitan dengan pelaku, korban dan


masyarakat”.56

5. Teori Ratio Decindendi

“Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar


dengan mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan
pokok perkara yang disengketakan yang kemudian mencari
perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang
disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan.
Dalam pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi
yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan
keadilan bagi para pihak yang berperkara”.57

6. Teori Kebijaksanaan

“Teori kebijaksanaan merupakan teori yang berkaitan dengan


putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak. Landasan dari
teori kebijaksanaan menekankan rasa cinta terhadap tanah, air,
nusa dan bangsa Indonesia serta kekeluargaan harus ditanam,
dipupuk dan dibina. Selanjutnya, aspek teori menekankan bahwa
pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua, ikut
bertanggungjawab dalam membimbing, membina, mendidik dan
melindungi anak agar kelak menjadi manusia yang berguna bagi
keluarga, masyarakat dan bagi bangsanya”.58

G. Pertimbangan Hakim

“Pertimbangan hakim merupakan aspek terpenting dalam mewujudkan


nilai dari suatu putusan gakim yang mengandung keadilan (ex aequo et
bono) dan mengandung kepastian hukum serta mengandung manfaat
bagi para pihak yang bersangkutan.59 Pertimbangan merupakan dasar
dari suatu putusan atau biasa disebut dengan considerans. Pertimbangan
dalam perkara perdata dibagi menjadi dua, yaitu (1) pertimbangan
tentang duduknya perkara atau peristiwanya (feitlijke gronden), dan (2)
pertimbangan tentang hukumnya (rechtsgronden)”.60

Pertimbangan tentang duduk perkara sebenarnya bukanlah

pertimbangan arti yang sebenarnya, oleh karena itu pertimbangan duduk


56
“ibid”., hlm. 115.
57
“ibid”,. hlm. 116.
58
“ibid”., hlm. 117.
59
Mukti Arto, “Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama”, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2004. hlm. 140.
60
“Ibid”., hlm. 141.
44

perkara hanya menyebutkan apa yang terjadi di depan Pengadilan. Hakim

biasanya memberikan pertimbangan tentang duduk perkara dengan mengutip

secara lengkap gugatan Penggugat dan jawaban Tergugat. Pertimbangan atau

alasan dalam arti sebenarnya adalah pertimbangan tentang hukumnya.

“Pada putusan hakim dalam ranah perdata, pertimbangan tentang duduk


perkara dan pertimbangan tentang hukumnya dipisahkan. Sedangkan
dalam hukum pidana, pertimbangan mengenai duduk perkara dan
hukumnya tidak dipisahkan. Hal ini disebabkan karena dalam beracara
perdata, para pihak adalah sama-sama mengajkan peristiwa yang
disengketakan dan mengajukan bukti untuk dalil dalam menguatkan
peristiwa yang dikemukakan. Sedangkan dalam perkara pidana,
peristiwa yang menyangkut pertimbangan atas fakta- fakta serta
pertimbangan atas bukti-bukti selama terjadi dipersidangan dijadikan
dasar bagi hakim dalam menentukan kesalahan terdakwa.”61

Adapun pertimbangan hakim hendaknya memuat tentang hal-hal

sebagai berikut :

1. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil yang tidak disangkal;

2. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek

menyangkut semua fakta/ hal-hal yang terbukti dalam persidangan;

3. Adanya bagian dari petitum Penggugat harus dipertimbangkan/diadili secara

satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang

terbukti/tidaknya dan dapat dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam amar

putusan.

“Dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan pengadilan


didasarkan pada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan. Salah
satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, dimana hakim
merupakan aparat penegak hukum kehakiman, sehingga melalui

61
Elisabeth Nurhaini Butarbutar, “Penerapan Dan Pengaturannya Dalam Hukum
Acara Perdata” Medan, Jurnal Dinamika Hukum. Vol.11 No.3. Fakultas Hukum Universitas
Katolik Santo Thomas, Sumatra Utara, 2011. hlm. 470-479.
45

putusannya dapar menjadi tolak ukur tercapainya suatu kepastian


hukum”.62

H. Tinjauan Umum Putusan Hakim

Pengertian putusan hakim menurut Laden Marpaung menyatakan

bahwa, “.Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari suatu perkara yang telah

dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk

tulisan maupun lisan.”63

Sudikno Mertokusumo mengartikan Putusan hakim sebagai “suatu

pernyataan hakim yang memiliki kewenangan dari statusnya sebagai pejabat

Negara untuk mengucapkan dalam persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri

atau menyelesaikan perkara antara para pihak.”64Menurut hemat penulis putusan

hakim dapat diartikan sebagai bentuk akhir dari persidangan yang diucapkan

oleh Majelis Hakim yang memiliki kewenangan dalam sidang pengadilan yang

terbuka untuk umum.Asas penting yang harus ditegakkan dalam memutus

perkara oleh hakim adalah Putusan harus memuat dasar alasan yang jelas dan

rinci, Dalam putusan semua dalil gugatan wajib diperiksa, dipertimbangkan,

diadili dan diputus; Putusan tidak boleh mengabulkan lebih dari yang dituntut

atau yang tidak dituntut, Putusan harus diucapkan dimuka siding terbuka untuk

umum.

1. Tujuan Putusan Hakim

Tujuan adanya putusan pada peradilan merupakan langkah dalam

menyelesaikan perkara yang telah berlangsung, dan bertujuan memberikan


62
“Ibid”., hlm. 142.
63
Andi Hamzah, “Hukum Acara Perdata”, Liberty, Yogyakarta, 2011. hlm. 206.
64
Setiawan Widagdo, “Kamus Hukum”, PT Prestasi Pustaka Raya, Jakarta, 2012. hlm.
483.
46

pertanggungjawaban kepada para pencari keadilan, ilmu pengetahun dan

Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga, dalam suatu putusan harus memuat tiga

aspek tujuan yaitu : a) Keadilan, b) kepastian; dan c) Kemanfaatan.

Asas prioritas yang diungkapkan oleh Gustav Radbruch bahwa


dalam menerapkan hukum secara tepat dan adil untuk memenuhi
tujuan hukum maka diutamakan keadilan, kemudian kemanfaatan
setelah itu kepastian hukum.
Persoalan mengenai tujuan hukum ditinjau dari 3 (tiga) sudut pandang
yaitu.65
a. Dari sudut pandang ilmu hukum positif normative atau yuridis
dogmaris, tujuan hukum dititik beratkan pada segu kepastian
hukum;
b. Dari sudut pandang filsafat hukum, tujuan hukum dititikberatkan
pada segi keadilan;
c. Dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum dititikberatkan
pada segi kemanfaatan.
“Putusan hakim hendaknya mengandung beberapa aspek yang
meliputi. Pertama, menggambarkan proses kehidupan sosial sebagai
bagian dari proses kontrol social; kedua, putusan hakim merupakan
penjelamaan dari hukum yang berlaku dan diwujudkan guna untuk
setiap orang maupun kelompok dalam Negara; ketiga,
menggambarkan keseimbangan antara ketentuan aturan hukum
dengan kenyataan di lapangan; kelima, bermanfaat bagi setiap orang
yang berperkara, keenam, tidak menimbulkan konflik baru bagi para
pihak yang berperkara di masyarakat.”66

Hemat penulis, putusan hakim sebagai bagian dari hasil proses

persidangan harus dapat memenuhi apa yang menjadi tuntutan dari para

pencari keadilan.Pengadilan sebagai tempat terakhir bagi para pencari

keadilan harus mampu memutuskan suatu perkara yang bertitik tolak pada

kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.

2. Tinjauan Umum Kepastian Hukum

65
Muhammad Erwin, “Filsafat Hukum”, Raja Grafindo. Jakarta, 2012, hlm. 123.
66
Fence M. Wantu, “Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan
Dalam Putusan Hakim Di Peradilan Perdata”, Jurnal Dinamika Hukum Vol.12 No.2. Universitas
Negeri Gorontalo, Gorontalo, 2012. hlm. 482.
47

Idealnya, hakim dalam melahirkan putusan harus mencerminkan

kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.12 Menurut Gustav Radbruch

keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan adalah tiga terminologi yang

sering dilantunkan dalam perkuliahan dan kamar-kamar peradilan, namun

pada hakikatnya belum tentu disepakati maknanya. Kata keadilan menjadi

tema analog, sehingga tersaji istilah keadilan procedural, keadilan legalis,

keadilan komutatif, keadilan distributive, keadilan vindikatif, keadilan kreatif,

keadilan subtantif, dan sebagainya. Pada konteks ini, keadilan dan kepastian

hukum tidak bersebrangan melainkan justru bersandingan.

“Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kepastian berasal dari kata


pasti yang berarti tentu, sudah tetap, tidak boleh tidak, sehingga
kepastian berarti ketentuan, ketetapan. Kepastian Hukum diartikan
sebagai pelaksanaan dati tuntutan yang pasti dipenuhi atas tuntutan
seseorang, dan setiap pelanggaran hukum akan ditindak dan
dikenakan sanksi hukum juga.”67

Kepastian hukum menjamin seseorang melakukan perilaku sesuai

dengan ketentuan hukum yang berlaku, sebaliknya tanpa adanya kepastian

hukum maka seseorang tidak memiliki ketentuan baku dalam menjalankan

peri laku. Kepastian hukum merujuk pada pelaksanaan tata kehidupan yang

dalam pelaksanaanya jelas, teratur, konsisten dan konsekuen serta tidak

mempengaruhi keadaan-keadaan yang sifatnya subyektif dalam kehidupan

masyarakat.

“Ciri dari suatu hukum yang tidak dapat dipisahkan adalah mengenai
Kepastian Hukum, terutama mengenai norma tertulis. Tanpa
kepastian hukum maka suatu hukum akan kehilangan makna dan
tidak lagi dijadikan pedoman berperilaku. Sesuai dengan kata Ubi jus

67
Suseno dan Franz Magnis, “Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern”, Gramedia, Jakarta, 2012. hlm. 79.
48

incertum, ibi jus nullum yang memiliki arti dimana tiada kepastian
hukum, disitu tidak ada hukum”.68
Jan Michiel Otto memberikan gambaran mengenai batasan

kepastian hukum sebagai kemungkinan dalam situasi tertentu :

1. Tersedia aturan hukum yang jelas (jernih), konsisten dan mudah


diperoleh (accessible), diterbitkan oleh dan diakui karena
(kekuasaan negara);
2. Instasi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan hukum secara
konsisten dan juga tunduk dan taat padanya;
3. Warga secara principal menyesuaikan perilaku mereka terhadap
aturan tersebut;
4. Hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan
aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka
menyelesaikan sengketa hukum, dan;
5. Keputusan peradilan secara konkret dilaksanakan.69

68
“ibid”., hlm. 80.
69
Soeroso, “Pengantar Ilmu Hukum”, PT Sinar Grafika, Jakarta, 2011. hlm. 55.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

“Jenis penelitian yang nantinya akan digunakan dalam penyusunan


skripsi yaitu menggunakan penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara
mengumpulkan bahan- bahan yang berasal buku kepustakaan dan
sumber bahan yang lainnya yang memiliki hubungan dalam membahas
tindak pidana terorisme dan serta seluruh peraturan perundang-
undangan untuk mejadi pelengkap bahan yang telah dikumpulkan”.70

B. Spesifikasi Penelitian

“Spesifikasi penelitian ini yaitu dengan pendekatan Undang-

Undang yang merupakan pendekatan yang dilakukan dengan cara

mempelajari semua Undang-Undang dan segala aturan yang memiliki

hubungan dengan isu hukum yang menjadi objek kajian penelitian.”71

Selain itu pendekatan terhadap studi putusan hakim merupakan

pendekatan yang dilakukan dengan cara mempelajari kasus-kasus yang

telah diputus oleh hakim yang sifatnya inkracht atau yang telah

berkekuatan hukum tetap yang memiliki hubungan dengan isu hukum

yang sedang dilakukan penelitian. Hal yang menjadi bahan kajian dalam

pendekatan ini adalah meninjau pertimbangan hakim dalam penjatuhan

putusan dan keputusan yang telah ditetapkan hakim.

C. Sumber dan Jenis Data

1. Sumber Data
70
Ali Zainudin, “Metode Penelitian Hukum”, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 24.
71
Soerjono dan Abdurahman, “Metode Penelitian Hukum”, Rineka Cipta, Jakarta,
2003. hlm. 56.
49
50

Sumber bahan hukum didapatkan dengan menggunakan penelitian

kepustakaan yang dimana penelitian menggunakan teknik pengumpulan data

yang didapatkan dari bahan hukum yang tertulis. Data sekunder dapat

dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang

berisikan suatu gagasan (ide), yang berupa Kitab Undang - Undang

Hukum Pidana, Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme serta peraturan perundang-

undangan yang lainnya.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang tidak mengikat yang

memberikanpenjelasan terhadap bahan hukum primer yang didapat dari

pendapat para ahli. Bahan hukum sekunder contohnya jurnal-jurnal hukum,

buku, dan lain sebagainya.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang sebagai pendukung bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder contohnya seperti Kamus-

kamus baik itu Kamus Besar Bahasa Indonesia maupun Kamus hukum.72

2. Jenis Data

“Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

bahan hukum sekunder, bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum

yang didapatkan dari studi literatur contohnya seperti buku-buku, dokumen-

dokumen, dan lain sebagainya”.73

72
Soerjono Soekanto, “Penelitian Hukum Normatif”, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2014. hlm. 29.
73
Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2008. hlm. 93.
51

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah menggunakan teknik meneliti kepustakaan atau yang sering

disebut dengan studi literatur. Studi literatur adalah pengumpulan bahan-

bahan hukum yang tertulis dilakukan dengan cara menganalisi konten

mengambil dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan

hukum tersier. Penelitian ini akan menggunakan teknik kualitatif yang

dimana penelitian diuraikan secara deskriptif yang menggunakan bahan

dari buku-buku, media cetak maupun media elektronik atau bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan.

E. Teknik Analisis Data

Bahan dan informsi yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis

dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif yang dimaksudkan

peneliti memaparkan serta menjelaskan secara keseluruhan bahan hukum

yang telah didapat dari studi literatur yang berkaitan dengan skripsi yang

diangkat secara jelas dan terperinci yang pada akhirnya akan dilakukan

analisis untuk memecahkan permasalahan yang sedang dilakukan

penelitian tersebut.
BAB IV

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK

PIDANA TERORISME YANG MELIBATKAN ANAK

(Analisis Putusan Nomor : 475/pid.sus/2020/PN.Jkt.Brt)

A. Kasus Posisi

Putusan Nomor 475/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Brt demi keadilan berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang memeriksa dan

mengadili perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa pada tingkat pertama,

telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara para terdakwa.

Nama : SYAHRIYAL ALAMSYAH, SH alias ABU

RARA alias Alam alias RIAL AL MEDANY

alias ABI bin AHMAD TAIBI (alm)

Tempat lahir : Medan

Umur/Tanggal Lahir : 51 Tahun, 24 Agustus 1968

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Kewarganegaraan : Indonesia

Pekerjaan : Swasta (Jualan Pulsa)

Pendidikan : S.1 (Fakultas Hukum)

Alamat (KTP) : Jalan Alfaka Tanjung Mulya Hilir Medan Deli,

52
53

Sumatera Utara (KTP) dan Gang Kenari

Kampung Sawah RT 004/001 Desa Menes Kec.

Menes Kab. Pandeglang Prop. Banten (Kontrakan)

Terdakwa ditahan berdasarkan surat perintah / penetapan penahanan

sebagai berikut:

1. Penyidik sejak tanggal 22 Oktober 2019 sampai dengan tanggal 18 Februari

2020 ;

2. Penyidik Perpanjangan oleh Penuntut Umum sejak tanggal 19 Februari 2020

sampai dengan tanggal 18 April 2020 ;

3. Penuntut Umum sejak tanggal 16 Maret 2020 sampai dengan tanggal 14 Mei

2020 ;

4. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat sejak tanggal 20 Maret 2020 sampai

dengan tanggal 18 April 2020

5. Perpanjangan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat sejak tanggal 19 April

2020 sampai dengan tanggal 17 Juni 2020 ;

6. Perpanjangan I Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sejak tanggal 18 Juni

2020 s/d 17 Juli 2020. Terdakwa didepan persidangan didampingi oleh

Penasehat Hukumnya :

a. Asludin Hatjani, SH

b. Drs Arman Remi, MS, SH., MH., MM

c. Tri Saupa Angka Wijaya, SH

d. Denny Letnanto Tubo, SH

e. Ahyar SH., MKn


54

f. Nurlan HN, SH

g. Mustofa, SH

h. Kamsi, SH

i. Faris, SH., MH

Adalah Tim Penasihat Hukum dari Tim Pengacara Muslim SULTENG

berkantor di Jalan Masjid Al Anwar No. 48 RT.001 RW.009 Kelurahan Sukabumi

Utara, Kecamatan Kebon Jeruk Jakarta Barat, Telp 021-53662699 dan Jalan Bali

No. 1 Palu Sulteng, Telp 0451 426503, yang bertindak berdasarkan Surat Kuasa

berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 18 Maret 2020;

Pengadilan Negeri tersebut; Setelah membaca :

1. Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 475 / Pid.Sus / 2020 /

PN.Jkt.Brt tanggal 20 Maret 2020 tentang penunjukan Majelis Hakim;

2. Penetapan Majelis Hakim Nomor 475/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Brt tanggal 23

Maret 2020 tentang penetapan hari sidang;

3. Berkas perkara dan surat-surat lain yang bersangkutan;

Setelah mendengar keterangan Saksi-saksi, Ahli dan Terdakwa serta

memperhatikan bukti surat dan barang bukti yang diajukan di persidangan;

Setelah mendengar pembacaan tuntutan pidana yang diajukan oleh Penuntut

Umum yang pada pokoknya sebagai berikut:

1. Menyatakan SYAHRIAL ALAMSYAH, SH alias ABU RARA alias ALAM

alias RIAL AL MEDANY alias ABI bin AHMAD TAIBI (Alm) telah terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Terorisme

sebagaimana dalam Dakwaan Kesatu melanggar Pasal 15 jo. Pasal 6 jo. Pasl 16
55

A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang Dan Dakwaan Kedua Pasal

15 Jo. Pasal 7 UndangUndang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.

2. Menjatuhkan pidana terhadap SYAHRIAL ALAMSYAH, SH alias ABU

RARA alias ALAM alias RIAL AL MEDANY alias ABI bin AHMAD TAIBI

(Alm) dengan pidana penjara selama 16 (enam belas) tahun dikurangi selama

terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah terdakwa tetap ditahan.

3. Meneruskan Permohonan para korban, Agar Majelis Hakim dalam putusannya

Membebankan kepada Negara melalui Menteri Keuangan RI., untuk

memberikan Hak Kompensasi bagi para korban yang perhitungan dan

pengajuannya disampaikan melalui LPSK dengan perhitungan sebagai berikut :

a. Perhitungan Kompensasi (LPSK) untuk korban atas nama

Dr.H.WIRANTO,S.H., S.I.P, M.M sebesar Rp.37.000.000,- (tiga puluh

tujuh juta rupiah) ;

b. Perhitungan Kompensasi (LPSK) untuk korban atas nama H. FUAD

SYAUQI sebesar Rp.28.232.157,- (dua puluh delapan juta dua ratus tiga

puluh dua ribu seratus lima puluh tujuh rupiah);


56

B. DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM

Bahwa Terdakwa merasa tidak melakukan permufakatan jahat, Setelah

mendengar pembelaan dari Penasehat Hukum Terdakwa, yang pada pokoknya :

1. Menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan

tindak pidana terorisme dengan melanggar Pasal 15 jo 6 Perpu no 1 Tahun

2002 yang ditetapkan menjadi UU no 15 Tahun 2003 tentang penetapan

Perpu no 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

menjadi UU;

2. Menyatakan Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana Terorisme

sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP;

3. Menetapkan biaya perkara ditanggung oleh Negara; Atau apabila majelis

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat berpendapat lain, maka mohon

putusan yang seadil adilnya (ex aequo et bono) dan hukuman yang seringan-

ringannya; Setelah mendengar tanggapan Penuntut Umum terhadap

pembelaan Terdakwa dan Penasehat Hukumnya yang pada pokoknya tetap

dengan tuntutannya; Setelah mendengar Tanggapan Terdakwa dan Penasehat

Hukumnya terhadap tanggapan Penuntut Umum yang pada pokoknya tetap

dengan pembelaannya;

Menimbang, bahwa Terdakwa diajukan ke persidangan oleh Penuntut

Umum didakwa berdasarkan surat dakwaan sebagai berikut: KESATU :

1. Bahwa Terdakwa SYAHRIAL ALAMSYAH, SH alias ABU RARA alias

ALAM alias RIAL AL MEDANY alias ABI bin AHMAD TAIBI (Alm)

bersama-sama dengan saksi FITRIA DIANA Alias FITRIA ADRIANA Alias


57

SHAFIYYAH Alias PIPIT Bin SUNARTO (masing-masing dilakukan

penuntutan secara terpisah) pada hari Kamis tanggal 10 Oktober 2019 sekitar

jam 12.00 wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu pada bulan Oktober

2019 bertempat di Gapura Alun Alun Menes Desa Purwaraja Kecamatan

Menes Kabupaten Pandeglang Propinsi Banten, atau setidaktidaknya pada

suatu tempat lain yang masih termasuk di dalam daerah hukum Pengadilan

Negeri Pandeglang, namun berdasarkan ketentuan Pasal 85 KUHAP dan

Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor :

255/KMA/SK/XII/2019 tanggal 13 Desember 2019, tentang Penunjukan

Pengadilan Negeri Jakarta Barat untuk memeriksa dan memutus Perkara

Pidana atas nama Terdakwa SYAHRIAL ALAMSYAH, SH alias ABU

RARA alias ALAM alias RIAL AL MEDANY alias ABI bin AHMAD

TAIBI (Alm) sehingga dapat diperiksa dan disidangkan di Pengadilan Negeri

Jakarta Barat, melakukan permufakatan jahat, persiapan, percobaan atau

pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme dengan sengaja

menggunakan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan yang menimbulkan

suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan

korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau

hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan

atau kehancuran terhadap Objek Vital yang Strategis, lingkungan hidup atau

Fasilitas Publik atau fasilitas internasional dengan melibatkan anak,

Perbuatan tersebut dilakukan Terdakwa dengan cara-cara sebagai berikut :


58

2. Bahwa sekitar bulan Oktober 2018 bertempat di Jalan Asparaga No.10B

Tegal Sari Desa Tulung Rejo Kecamatan Pare Kabupaten Kediri, Jawa Timur

Terdakwa SYAHRIAL ALAMSYAH, SH alias ABU RARA alias ALAM

alias RIAL AL MEDANY alias ABI bin AHMAD TAIBI (Alm) telah

melakukan Baiat bersama-sama dengan para pendukung Daulah lainnya yang

tinggal di Rumah Singgah Manzil Ahlam untuk patuh, taat, setia kepada ABU

BAKAR AL BAGDADI yang merupakan pimpinan ISIS di Suriah dan

melaksanakan semua perintah dan seruannya dalam rangka menegakkan

Syariah Islam;

3. Bahwa Baiat tersebut menurut terdakwa merupakan kewajiban bagi umat

muslim karena jika selama hidupnya tidak melakukan baiat maka akan

meninggal dalam keadaan jahiliyah dan menurut Terdakwa Negara Republik

Indonesia merupakan negara Kafir karena berhukum pada hukum buatan

manusia (Pancasila dan UUD 1945) dan tidak berhukum pada Hukum Allah

(Al-Quran dan Hadist);

4. Bahwa setelah melakukan Baiat Terdakwa dengan sendirinya memiliki

tanggung jawab dan kewajiban untuk melaksanakan Jihad dalam rangka

menegakkan Syariah Islam di Dunia khususnya di Indonesia;

5. Bahwa tekad Terdakwa untuk amaliyah Jihad memerangi Thogut maupun

Anshor Thogut baik menggunanakan bahan peledak (Bom), senjata api

maupun senjata tajam kapanpun dan dimanapun selama ada kesempatan,

telah tertanam dihati Terdakwa sejak mengikuti kajiankajian lewat Grup

Medsos serta Video dan foto perjuangan Kaum Muslimin di Suriah dalam
59

rangka menegakkan Syariah Islam maupun ceramah-ceramah dari ABU

BAKAR BAASYIR dan AMAN ABDURRAHMAN;

6. Bahwa dalam rangka melakukan amaliyah Jihad tersebut Terdakwa telah

melakukan Idad berupa pelatihan phisik dan memanah bertempat di Rumah

Singgah Manzil Ahlam Kediri dan telah mempersiapkan peralatan berupa

pembelian senjata tajam berupa pisau kunai dan pisau kartu secara online,

Setelah Terdakwa memiliki kemampuan fisik dan pisau tersebut maka mulai

melakukan latihan berupa tusukan tusukan dari berbagai arah;

7. Bahwa pasca terjadinya penangkapan kelompok JAD di Bekasi antara lain

ABU ZEE pada sekitar bulan September 2019, Terdakwa ketakutan dan

merasa dirinya sudah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh

Aparat Kepolisian maka tidak lama lagi Terdakwa juga akan tertangkap dan

Terdakwa akan dianggap hidup sia-sia jika tidak melakukan perlawanan

maupun melakukan amaliyah Jihad berupa penyerangan maupun perlawanan

terhadap Thogut maupun Anshor Thogut;

8. Bahwa pada hari Rabu tanggal 9 Oktober 2019 sekitar jam 15.00 Wib ketika

Terdakwa dan saksi FITRIA DIANA Alias FITRIA ADRIANA Alias

SHAFIYYAH Alias PIPIT (Istri Terdakwa) sedang berada di kontrakan

Terdakwa di Gang Kenari Kampung Sawah RT 004/001 Desa Menes

Kecamatan Menes Kabupaten Pandeglang, mendengar suara pesawat

Helikopter melintas di atas Kontrakan, dimana Helikopter tersebut di anggap

adalah Polisi yang akan menangkap Terdakwa, sehingga Terdakwa menyuruh


60

saksi FITRIA DIANA Alias FITRIA ADRIANA Alias SHAFIYYAH Alias

PIPIT yang saat itu bermain Handphone (HP) untuk segera mematikan HP;

9. Selanjutnya Terdakwa, saksi FITRIA DIANA Alias FITRIA ADRIANA

Alias SHAFIYYAH Alias PIPIT dan anak RATU AYU LESTARI yang

berumur sekitar 12 tahun (anak Terdakwa) keluar rumah menuju Alun-Alun

Menes untuk memastikan maksud dan tujuan Helikopter yang mendarat di

AlunAlun Menesdan sesampainya di Alun-Alun Menes ternyata Helikopter

sudah terbang lagi dan tidak ada orang yang turun dari Helikopter, kemudian

Terdakwa bertanya kepada tukang ojek yang berada disekitar Alun-alun

Menes yang memberitahukan bahwa besok ada kunjungan Menteri

Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam);

10. Bahwa setelah mengetahui akan ada kunjungan Menkopolhukam (Dr. H.

WIRANTO, S.H., S.I.P, M.M), kemudian Terdakwa menyampaikan kepada

saksi FITRIA DIANA Alias FITRIA ADRIANA Alias SHAFIYYAH Alias

PIPIT tentang rencana untuk melakukan penyerangan/perlawanan terhadap

saksi WIRANTO, selain itu sekitar jam 16.30 Wib Terdakwa juga membuat

status pamitan di whatsapp serta menghubungi saksi UMMU FARUQ

melalui Medsos telegram dan memberitahukan bahwa Terdakwa akan

melakukan amaliyah penyerangan terhadap Menkopolhukam (WIRANTO);

11. Bahwa mendengar Terdakwa akan melakukan Amaliyah maka saksi FITRIA

DIANA Alias FITRIA ADRIANA Alias SHAFIYYAH Alias PIPIT juga

bersedia dengan mengajak anak RATU AYU LESTARI untuk bersama-sama

melakukan amaliyah penusukan, dimana Terdakwa menargetkan WIRANTO


61

(Menkopolhukam) sedangkan saksi FITRIA DIANA Alias FITRIA

ADRIANA Alias SHAFIYYAH Alias PIPIT dan anak RATU AYU

LESTARI menargetkan aparat TNI/Polri maupun pengawal yang

berseragam/masyarakat yang berada di sekitar tempat tersebut, Terdakwa

juga mengasah pisau Kunai yang akan di gunakan untuk melakukan

Amaliyah;

12. Bahwa pada hari Kamis tanggal 10 Oktober 2019 sekitar jam 05.00 wib

Terdakwa, saksi FITRIA DIANA Alias FITRIA ADRIANA Alias

SHAFIYYAH Alias PIPIT dan Anak RATU AYU LESTARI melaksanakan

Baiah yang di pimpin oleh Terdakwa dalam rangka persiapan pelaksanaan

amaliyah dengan cara duduk melingkar di dalam kamar sambil

menumpukkan tangan, selesai melakukan melakukan baiah saksi FITRIA

DIANA Alias FITRIA ADRIANA Alias SHAFIYYAH Alias PIPIT dan anak

RATU AYU LESTARI tidur kembali.;

13. Bahwa sekitar pukul 09.00 Wib Terdakwa membangunkan saksi FITRIA

DIANA Alias FITRIA ADRIANA Alias SHAFIYYAH Alias PIPIT dan anak

RATU AYU LESTARI untuk melakukan persiapan pergi ke alun-alun Menes

lalu Terdakwa memberikan 2 (dua) bilah pisau Kunai kepada saksi FITRIA

DIANA Alias FITRIA ADRIANA Alias SHAFIYYAH Alias PIPIT setelah

itu saksi FITRIA DIANA Alias FITRIA ADRIANA Alias SHAFIYYAH

Alias PIPIT memberikan 1 (satu) bilah pisau Kunai kepada anak RATU AYU

LESTARI, selanjutnya Terdakwa latihan cara memegang pisau Kunai dan

latihan cara-cara penusukan menggunakan pisau Kunai dengan diikuti oleh


62

saksi FITRIA DIANA Alias FITRIA ADRIANA Alias SHAFIYYAH Alias

PIPIT dan anak RATU AYU LESTARI;

14. Bahwa saat mendengar suara pesawat helikopter sudah datang maka

Terdakwa dan saksi FITRIA DIANA Alias FITRIA ADRIANA Alias

SHAFIYYAH Alias PIPIT mengajak anak RATU AYU LESTARI segera

bergegas menuju alun-alun Menes untuk melakukan amaliyah, Terdakwa

menyiimpan pisau Kunai kedalam manset tangan kiri Terdakwa, sedangkan

saksi FITRIA DIANA Alias FITRIA ADRIANA Alias SHAFIYYAH Alias

PIPIT menyimpan pisau Kunai didalam manset tangan kiri dan anak RATU

AYU LESTARI menyimpan pisau Kunai dengan dijepitkan pada gelang

tangan kiri, sebelum berangkat Terdakwa berpesan kepada saksi FITRIA

DIANA Alias FITRIA ADRIANA Alias SHAFIYYAH Alias PIPIT dan anak

RATU AYU LESTARI “agar nanti di Alun Alun supaya tidak saling bertegur

sapa seola-olah tidak saling kenal, jangan dekat tapi jangan jauh-jauh juga”,

setelah itu mereka bertiga keluar dari Kontrakan menuju alun-alun Menes; -

Bahwa sesampainya Terdakwa di alun-alun Menes desa Purwaraja kecamatan

Menes Kabupaten Pandeglang ternyata rombongan Menkopolhukam sudah

tidak ada sehingga Terdakwa menunggu di sekitaran alun alun Menes dan

Terdakwa sempat mendekat ke pesawat hellikopter serta tidak melakukan

komunikasi dengan istri dan anaknya seolah-olah tidak saling kenal;

15. Bahwa setelah mendengar masyarakat disuruh menjauh dari lapangan alun

alun Menes karena rombongan Menkopolhukam akan datang maka Terdakwa

bersama saksi FITRIA DIANA Alias FITRIA ADRIANA Alias


63

SHAFIYYAH Alias PIPIT dan anak RATU AYU LESTARI menempati

posisi di Timur Gapura masuk alun alun Menes;

16. Bahwa pada saat mobil warna hitam berhenti di depan Gapura alun alun

Menes dan saksi Dr.H.WIRANTO, S.H., S.I.P, M.M (Menkopolhukam) turun

dari mobil kemudian saksi H. A. FUAD SYAUQI dan saksi Kompol

DARIYANTO, S.H, MH (Kapolsek Menes) mengambil posisi untuk

melakukan penyambutan kepada saksi Dr.H.WIRANTO, S.H., S.I.P, M.M,

dan saat saksi Kompol DARIYANTO, S.H, MH menyalami saksi

Dr.H.WIRANTO, S.H., S.I.P, M.M maka Terdakwa mulai bergerak

mendekati saksi Dr.H.WIRANTO, S.H., S.I.P, M.M sambil

mengambil/menarik pisau Kunai dari dalam manset tangan kirinya dengan

menggunakan tangan kanan;

17. Bahwa saat saksi Dr.H.WIRANTO, S.H., S.I.P, M.M bersalaman dengan

saksi Kompol DARIYANTO, S.H, MH tiba tiba Terdakwa menyerang

menusuk pada bagian perut saksi Dr.H.WIRANTO, S.H., S.I.P, M.M dengan

menggunakan pisau Kunai; - Bahwa akibat tusukan tersebut saksi

Dr.H.WIRANTO, S.H., S.I.P, M.M jatuh ke tanah selanjutnya Terdakwa

langsung diamankan oleh aparat namun Terdakwa tidak menyerah dan tetap

melakukan perlawanan menggunakan pisau Kunai dengan cara membabi buta

sehingga mengenai dan melukai saksi H. A. FUAD SYAUQI pada bagian

dada;

18. Bahwa melihat Terdakwa sudah melakukan penyerangan maka saksi FITRIA

DIANA Alias FITRIA ADRIANA Alias SHAFIYYAH Alias PIPIT langsung


64

mengeluarkan pisau Kunai dari dalam manset dan langsung melakukan

penyerangan/penusukan terhadap saksi Kompol DARIYANTO, S.H, MH dari

arah belakang menggunakan pisau Kunai sehingga mengakibatkan saksi

Kompol DARIYANTO, S.H, MH mengalami luka dibagian punggung;

19. Bahwa setelah melakukan penusukan terhadap saksi Kompol DARIYANTO,

S.H, MH kemudian saksi FITRIA DIANA Alias FITRIA ADRIANA Alias

SHAFIYYAH Alias PIPIT melakukan penyerangan terhadap warga maupun

aparat keamanan yang berseragam di tempat tersebut namun tersangka dapat

diamankan;

20. Bahwa melihat kedua orang tuanya ditangkap oleh aparat keamanan maka

anak RATU AYU LESTARI lari ke kontrakan lalu menyerahkan 1 (satu)

bilah pisau kunai kepada saksi ELA RAUDATUL JANAH;

21. Bahwa akibat perbuatan Terdakwa bersama saksi FITRIA DIANA Alias

FITRIA ADRIANA Alias SHAFIYYAH Alias PIPIT tersebut telah

menimbulkan korban luka terhadap saksi-saksi yaitu : 1. Dr. H. WIRANTO,

S.H., S.I.P, M.M yang mengalami luka terbuka di perut sebelah kiri bawah

dan lengan kiri bawah akibat kekerasan tajam sesuai dengan Visum Et

Repertum No:027/UM118/RSUD/X/2019 tanggal 25 Oktober 2019. 2.

Kompol DARIYANTO, S.H, MH mengalami luka terbuka di punggung, di

bahu kiri dan siku tangan kiri akibat kekerasan tajam sesuai dengan Visum Et

Repertum No:028/UM-118/RSUD/X/2019 tanggal 25 Oktober 2019. 3. H. A.

FUAD SYAUQI mengalami luka terbuka di dada bagian kanan dan kiri
65

akibat kekerasan tajam sesuai dengan Visum Et Repertum

No:029/UM-118/RSUD/X/2019 tanggal 25 Oktober 2019.

22. Bahwa perbuatan Terdakwa bersama saksi FITRIA DIANA Alias FITRIA

ADRIANA Alias SHAFIYYAH Alias PIPIT Bin SUNARTO dapat

menciptakan suasana ketakutan, dan trauma serta keresahan bagi warga

masyarakat Pandeglang pada khususnya serta masyarakat Indonesia pada

umumnya;

23. Bahwa berdasarkan pemeriksaan dan penilaian terkait dengan kerugian yang

di derita oleh para korban terkait dengan surat permohonan kompensasi

korban atas nama Dr.H.WIRANTO,S.H., S.I.P, M.M dan H. FUAD

SYAUQI, Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK) mengajukan

permohonan Kompensasi bagi korban atas nama Dr.H.WIRANTO,S.H.,

S.I.P, M.M dan H. FUAD SYAUQI sebesar Rp. 65.232.157,- (enam puluh

lima juta dua ratus tiga puluh dua ribu seratus lima puluh tujuh rupiah);

Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut

pasal 15 jo. pasal 6 Jo Pasal 16 A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun

2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-

Undang.

C. UNSUR-UNSUR TINDAK TERORISME

Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan

komulatif, maka Majelis Hakim terlebih dahulu mempertimbangkan dakwaan


66

kesatu sebagaimana diatur dalam Pasal 15 jo. pasal 6 Jo Pasal 16 A Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2003 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi

Undang-Undang, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:

1. Setiap orang

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan unsur setiap orang adalah

menunjuk pada subyek hukum yang dapat mempertanggungjawabkan

perbuatan yang dilakukannya. maka setiap orang ini juga disebut sebagai

subjek hukum dalam perkara ini adalah SYAHRIAL ALAMSYAH, SH alias

ABU RARA alias ALAM alias RIAL AL MEDANY alias ABI bin AHMAD

TAIBI (Alm) yang identitasnya sesuai dengan dakwaan Penuntut Umum.

Terdakwa selama pemeriksaan di persidangan dalam keadaan sehat jasmani

dan rohani serta telah dapat menerangkan dengan jelas dan terang segala

sesuatu yang berhubungan dengan dakwaan yang diajukan kepadanya serta

dapat menjawab dengan baik pertanyaan yang diajukan oleh Majelis Hakim

maupun Penuntut Umum, dengan demikian terdakwa SYAHRIAL

ALAMSYAH, SH alias ABU RARA alias ALAM alias RIAL AL MEDANY

alias ABI bin AHMAD TAIBI (Alm) adalah sebagai subyek hukum yang

mampu bertanggung jawab, oleh

karenanya unsur ini telah terpenuhi.

2. Melakukan permufakatan jahat, percobaan atau pembantuan untuk melakukan

tindak pidana terorisme


67

Menimbang, bahwa oleh karena unsur “ Melakukan permufakatan

jahat, percobaan atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme”

terletak diawal unsur perbuatan dalam rumusan delik dimaksud, maka unsur ini

meliputi dan mempengaruhi unsur perbuatan di belakangnya dari rumusan

delik, sehingga Majelis Hakim akan mempertimbangkan pembuktian unsur

perbuatannya terlebih dahulu, setelah itu barulah unsur ” Melakukan

permufakatan jahat, percobaan atau pembantuan untuk melakukan tindak

pidana terorisme” akan dipertimbangkan apakah perbuatan yang terbukti itu

dilakukan merupakan permufakatan jahat, percobaan atau pembantuan untuk

melakukan tindak pidana terorisme

3. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang

menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas,

menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas

kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau

mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek vital yang strategis

atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas internasional;

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap diatas

jelas bahwa perbuatan Terdakwa SYAHRIAL ALAMSYAH, SH alias ABU

RARA alias ALAM alias RIAL AL MEDANY alias ABI bin AHMAD TAIBI

(Alm) bersama-sama dengan Fitria Diana alias Fitria Adriana alias Shaffiyah

alias Pipit bin Sunarto adanya suatu permufakatan jahat dalam tindak pidana

terrorisme yang mengakibatkan rasa ketakutan dimasyarakat dengan maksud

untuk melaksanakan ideologinya sesuai dengan ISIS karena


68

Terdakwa bersama saksi Fitria telah melakukan penusukkan terhadap

seorang pejabat Negara in casu saksi Dr.H.WIRANTO, S.H., S.I.P, M.M

yaitu Menkopolhukam yang menurut Terdakwa adalah seorang Thogut,

dengan demikian maka unsur Melakukan permufakatan jahat, percobaan

atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme telah terbukti

secara sah menurut hokum

4. Dengan melibatkan anak;

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap diatas

jelas bahwa perbuatan Terdakwa SYAHRIAL ALAMSYAH, SH alias ABU

RARA alias ALAM alias RIAL AL MEDANY alias ABI bin AHMAD TAIBI

(Alm) bersama-sama dengan Fitria Diana alias Fitria Adriana alias Shaffiyah

alias Pipit bin Sunarto telah mengajak Anak RATU AYU LESTARI (yang

masih berusia 12 tahun) dalam perbuatan dan tindakan teroris tersebut, dengan

demikian unsur ke empat ini pun telah terbukti pada perbuatan terdakwa.

D. TUNTUTAN JAKSA PENUNTUT UMUM

Setelah mendengar pembacaan tuntutan pidana yang diajukan oleh

Penuntut Umum yang pada pokoknya sebagai berikut:

1. Menyatakan SYAHRIAL ALAMSYAH, SH alias ABU RARA alias ALAM

alias RIAL AL MEDANY alias ABI bin AHMAD TAIBI (Alm) telah

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana

Terorisme sebagaimana dalam Dakwaan Kesatu melanggar Pasal 15 jo. Pasal

6 jo. Pasl 16 A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang penetapan Peraturan


69

Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang Dan

Dakwaan Kedua Pasal 15 Jo. Pasal 7 UndangUndang Nomor 5 Tahun 2018

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1

Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi

Undang-Undang.

2. Menjatuhkan pidana terhadap SYAHRIAL ALAMSYAH, SH alias ABU

RARA alias ALAM alias RIAL AL MEDANY alias ABI bin AHMAD

TAIBI (Alm) dengan pidana penjara selama 16 (enam belas) tahun dikurangi

selama terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah terdakwa tetap

ditahan.

3. Meneruskan Permohonan para korban, Agar Majelis Hakim dalam

putusannya Membebankan kepada Negara melalui Menteri Keuangan RI.,

untuk memberikan Hak Kompensasi bagi para korban yang perhitungan

dan pengajuannya disampaikan melalui LPSK dengan perhitungan sebagai

berikut :

a. Perhitungan Kompensasi (LPSK) untuk korban atas nama


Dr.H.WIRANTO,S.H., S.I.P, M.M sebesar Rp.37.000.000,- (tiga
puluh tujuh juta rupiah) ;
b. Perhitungan Kompensasi (LPSK) untuk korban atas nama H.
FUAD SYAUQI sebesar Rp.28.232.157,- (dua puluh delapan juta
dua ratus tiga puluh dua ribu seratus lima puluh tujuh rupiah).
4. Barang bukti terlampir
5. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).74

74
Putusan Nomor 475/Pid.Sus/2020/Pn.Jkt.Brt, hlm. 2-7.
70

E. DASAR PERTIMBANGAN DALAM MENERAPKAN SANSKI PIDANA

TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME YANG

MELIBATKAN ANAK DALAM PUTUSAN Nomor :

475/Pid.Sus/2020/Pn.Jkt.Brt

Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa maka perlu dipertimbangkan

terlebih dahulu keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa:

1. Keadaan yang memberatkan

a. Perbuatan Terdakwa tidak mendukung program pemerintah untuk

memberantas Terorisme di Indonesia

b. Terdakwa tidak menyesali perbuatannya

2. Keadaan yang meringankan terdakwa

a. Terdakwa belum pernah dihukum

b. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya sehingga tidak

mempersulit jalannya persidangan75

F. PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK

PIDANA TERORISME YANG MELIBATKAN ANAK DALAM PUTUSAN

Nomor : 475/Pid.Sus/2020/Pn.Jkt.Brt

Setelah menimbang berdasarkan beberapa pertimbangan, majelis hakim

12 akhirnya memutus perkara pelaku tindak penyertaan tindak pidana terorisme,

yaitu; Setelah menimbang dan memperhatikan Pasal 15 jo. Pasal 6 Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Peraturan

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan menjadi Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2003, Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)


75
Putusan Nomor 475/Pid.Sus/2020/Pn.Jkt.Brt, hlm. 82-83.
71

dan ketentuan lain yang bersangkutan, Majelis Hakim kemudian mengeluarkan

putusan, yaitu:

1. Menyatakan Terdakwa SYAHRIAL ALAMSYAH, SH alias ABU RARA alias

ALAM alias RIAL AL MEDANY alias ABI bin AHMAD TAIBI (Alm)

tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana Terorisme dengan mengajak anak dan tindak Pidana Terorisme”,

sebagaimana dakwaan Kesatu dan dakwaan Kedua;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa SYAHRIAL ALAMSYAH, SH alias

ABU RARA alias ALAM alias RIAL AL MEDANY alias ABI bin AHMAD

TAIBI (Alm) oleh karena itu dengan pidana penjara selama 12 (dua belas)

tahun;

3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani

Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Menyatakan Terdakwa tetap berada dalam tahanan;

5. Membebankan kepada Negara melalui Menteri Keuangan RI., untuk

memberikan Hak Kompensasi bagi para korban yang perhitungan dan

pengajuannya disampaikan melalui LPSK dengan perhitungan sebagai berikut:

a. Perhitungan Kompensasi (LPSK) untuk korban atas nama

Dr.H.WIRANTO,S.H., S.I.P, M.M sebesar Rp.37.000.000,- (tigapuluh tujuh

juta rupiah);

b. Perhitungan Kompensasi (LPSK) untuk korban atas nama H. FUAD

SYAUQI sebesar Rp.28.232.157,- (dua puluh delapan juta dua ratus tiga

puluh dua ribu seratus lima puluh tujuh rupiah);


72

6. Menetapkan barang bukti yang disita (terlampir) Membebankan kepada

Terdakwa untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. 5.000,- (lima ribu

rupiah);

Demikian diputuskan dalam sidang permusyawaratan Majelis Hakim

Mahkamah Agung Republik Indonesia Pengadilan Negeri Jakarta Barat, pada

hari Kamis, tanggal 18 Juni 2020, oleh MASRIZAL, S.H., M.H, sebagai Hakim

Ketua, PURWANTO, S.H., dan EKO ARYANTO, SH.,MH, masing-masing

sebagai Hakim Anggota, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum

pada hari KAMIS, tanggal 25 JUNI 2020, oleh Hakim Ketua dengan didampingi

PURWANTO, S.H., dan EKO ARYANTO, SH.,MH sebagai Hakim Anggota,

dibantu oleh AGUSTIAWAN, S.H., MH. Panitera Pengganti pada Pengadilan

Negeri Jakarta Barat serta dihadiri oleh JUWITA KAYANA, SH. MH, Penuntut

Umum dan Terdakwa dengan didampingi Penasehat hukumnya;76

G. ANALISIS PENULIS

Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri ini berpijak pada hukum

formal sekaligus materil. Dalam artian, aturan berupa Undang-Undang tersebut

merupakan produk dari badan legislatif bersama eksekutif, dan isi darn undang-

undang tersebut mengikat bagi pelaku tindak pidana apabila unsur-unsurnya

terpenuhi. Pijakan Mejelis Hakim dalam Putusan Nomor:

475/pid.sus/2020/PN.Jkt.Brt, adalah Pasal 15 jo. Pasal 6 Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Peraturan Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor

15 Tahun 2003. Bunyi lengkap Pasal tersebut yaitu; Pasal 15 “Setiap orang yang
76
Putusan Nomor 475/Pid.Sus/2020/Pn.Jkt.Brt, hlm. 78-88.
73

melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan

tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,

Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama

sebagai pelaku tindak pidananya”, bunyi Pasal 6 “Setiap orang yang dengan

sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana

teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang

bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan

harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap

obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau

fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup

atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)

tahun.”

Pasal 15 jo. Pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

No.1 Tahun 2002 tentang Peraturan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang

telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ini pada

dasarnya mengandung unsur penyertaan yang terdapat dalam pasal 55 dan 56

KUHP, dan menjadi penjelas tentang penyertaan dalam melakukan tindak pidana

terorisme. Berdasarkan penjelasan Pasal 15 jo. 6 Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Peraturan Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme, bentuk penyertaan yang masuk kedalam pasal ini adalah bentuk

penyertaan dalam jenis pembantuan (medeplichtigheid),77 bentuk penyertaan

dalam jenis pembantuan diatur dalam Pasal 56 KUHP. Selain itu dalam Pasal ini

77
Ramelan, “Ajaran Turut Serta (MEDEPLEGEN) dalam Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme”, hlm. 221.
74

juga mengandung unsur percobaan melakukan tindak pidana yang terdapat dalam

Pasal 53 ayat (1) KUHP, dan menjadi penjelas tentang percobaan melakukan

tindak pidana terorisme. Karena itutalah Majelis Hakim memilih Pasal 15 jo. 6

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang

Peraturan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini sebagai dasar hukumnya

untuk menjatuhkan sanksi pidana, sebab pelaku melakukan penyertaan tindak

idana terorisme dalam membantu mempersiapkan aksi teror. Sehingga Majelis

Hakim memvonis hukuman kepada pelaku dengan hukuman penjara selama 12

tahun penjara.

Namun dalam hal ini penulis tidaklah sependapat dengan putusan Majelis

Hakim, pasalnya dalam fakta yang ditemukan, ada beberapa hal yang seharusnya

dapat memberatkan hukuman bagi SYAHRIYAL ALAMSYAH alias ABU RARA

alias ALAM, diantaranya;

1. SYAHRIYAL ALAMSYAH alias ABU RARA alias ALAM merupakan kader

dari organisasi ISIS (Islamic State of Iraq Syria) atau yang saat ini berubah

nama menjadi IS (Islamic State), hal ini terbukti atas pengakuan SYAHRIYAL

ALAMSYAH alias ABU RARA alias ALAM yang telah melakukan bai‟at

Mahkamah Agung Republik Indonesia melakukan Baiat bersama–sama

dengan para pendukung Daulah lainnya yang tinggal di Rumah Singgah

Manzil Ahlam untuk patuh, taat, setia kepada ABU BAKAR AL BAGDADI

yang merupakan pimpinan ISIS di Suriah dan melaksanakan semua perintah

dan seruannya dalam rangka menegakkan Syariah Islam.

2. SYAHRIYAL ALAMSYAH alias ABU RARA alias ALAM dalam rangka


75

melakukan amaliyah Jihad tersebut Terdakwa telah melakukan Idad berupa

pelatihan phisik dan memanah bertempat di Rumah Singgah Manzil

Ahlam Kediri dan telah mempersiapkan peralatan berupa pembelian senjata

tajam berupa pisau kunai dan pisau kartu secara online. SYAHRIYAL

ALAMSYAH alias ABU RARA alias ALAM tahu akibat yang akan

ditimbulkan dari aksinya tersebut.

3. SYAHRIYAL ALAMSYAH alias ABU RARA alias ALAM melakukan

penyerangan kepada Wiranto

4. Memerintah FITRIA DIANA Alias FITRIA ADRIANA Alias SHAFIYYAH

Alias PIPIT melakukan penusukan setelah terdakwa beraksi.

5. Melibatkan anak dibawah umur

Teori penyertaan tindak pidana kejahatan dalam bentuk pembantuan

diancam dengan hukuman maksimal dengan dikurangi sepertiga dari hukuman

kejahatannya, sebagaimana penjelasan pasal 57 ayat (1), dan jika hukumannya

berupa hukuman mati atau penjara seumur hidup, maka hukumannya adalah

lima belas tahun pejara78. Jika dilihat dari hukuman tindak pidana terorisme

yang dipaparkan dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Terorisme yang

selanjutnya disahkan menjadi Undang-Undang dalam Undang-Undang Nomor

15 Tahun 2003 dijelaskan bahwa ancaman pidana maksimal terhadap pelaku

tindak pidana terorisme adalah hukuman mati, dan hukuman minimalnya

adalah empat tahun penjara. Namun selain itu dalam teori penyertaan tindak

pidana yang dijelaskan dalam pasal 57 ayat (3), dijelaskan mengenai tambahan
78
Andi Hamzah, “KUHP dan KUHAP”, Rineka Cipta, Jakarta, 2011. hlm. 27.
76

bagi pelaku penyertaan tindak pidana dalam bentuk pembantuan, yaitu

hukumannya adalah sama dengan pelaku tindak pidananya, dengan syarat yang

diperhitungkan adalah perbuatan yang sengaja dipermudah dan diperlancar

olehnya, beserta akibatnya.79

Memadukan antara fakta hukum dengan teori hukum ini, maka penulis

menilai adanya ketidak tepatan dalam vonis hakim yang dijatuhkan kepada

SYAHRIYAL ALAMSYAH alias ABU RARA alias ALAM. Seharusnya

putusan hakim terhadap SYAHRIYAL ALAMSYAH alias ABU RARA alias

ALAM dapat dijatuhkan lebih dari 15 tahun penjara, hal ini dikarenakan

adanya beberapa pertimbangan penulis, diantaranya:

a. Aspek Yuridis.

Sebagaimana penjabaran tentang teori penyertaan yang telah

dibahas, bahwa hukuman pidana bagi pelaku penyertaan tindak Pidana

adalah maksimal lima belas tahun jikalau hukuman pelaku tindak pidananya

adalah hukuman mati. Penulis merasa aksi SYAHRIYAL ALAMSYAH alias

ABU RARA alias ALAM harus dimaksimalkan, hal ini melihat telah

terpenuhinya dua unsur melakukan penyertaan tindak pidana terorisme,

yaitu yang terkandung dalam asal 15 jo pasal 15 Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2003 jo. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2002 Tentang Peraturan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

b. Aspek sosiologis dan filosofis.

Jika hukuman terhadap SYAHRIYAL ALAMSYAH alias ABU

RARA alias ALAM hanya divonis dengan hukuman dibawah hukuman


79
“Ibid”., hlm. 27.
77

maksimal penyertaan tindak pidana, maka usaha prefentif dalam

menanggulangi Terorisme terlebih dalam aksi penyertaan tindak pidana

terorisme ini akan tidak terwujud, karena aksi-aksi terorisme akan selalu

didukung oleh beberapa orang yang membantunya, dan untuk membuat jera

dan sebagai pelajaran bagi masyarakat luas agar memiliki kehati-hatian

dalam bertindak membantu paham-paham radikal yang berujung pada

tindakan aksi teror.

c. Melibatkan anak dibawah umur

Berdasarkan Pasal 16 A UU Nomor 5 Tahun 2018, disebutkan

bahwa Setiap orang yang melakukan Tindak Pidana Terorisme dengan

melibatkan anak, ancaman pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga).80

d. Melibatkan anak dibawah umur

Berdasarkan Pasal 16 A UU Nomor 5 Tahun 2018, disebutkan

bahwa Setiap orang yang melakukan Tindak Pidana Terorisme dengan

melibatkan anak, ancaman pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga).81

80
Putusan Nomor 475/Pid.Sus/2020/Pn.Jkt.Brt. hlm. 55.
81
“Ibid”., hlm. 55.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dan analisis yang telah dilakukan oleh peneliti

pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai jawaban dari

rumusan masalah sebagai berikut :

Kejahatan terorisme yang dilakukan oleh SYAHRIYAL ALAMSYAH

alias ABU RARA alias ALAM dalam melibatkan anaknya telah meresahkan

dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, yang akan berakibat saling mencurigai

antar anak bangsa dan Perbuatan terdakwa menularkan rasa radikalisme pada

generasi berikutnya. SYAHRIYAL ALAMSYAH alias ABU RARA alias ALAM

melakukan penyerangan kepada Wiranto sedangkan FITRIA ADRIANA Alias

SHAFIYYAH Alias PIPIT melakukan penusukan setelah terdakwa beraksi.

Putusan pengadilan nomor : 475/Pid.Sus/2020/Pn.Jkt.Brt memberikan hukuman

kepada SYAHRIYAL ALAMSYAH alias ABU RARA alias ALAM 12 tahun

pencara. Ringannya hukuman yang diberikan hakim kepada terdakwa membuat

khawatir akan timbulnya kasus-kasus terorisme yang baru. Menurut fakta hukum

dengan teori hukum ini, maka penulis menilai adanya ketidak tepatan dalam vonis

hakim yang dijatuhkan kepada SYAHRIYAL ALAMSYAH alias ABU RARA

alias ALAM. Seharusnya putusan hakim terhadap SYAHRIYAL ALAMSYAH

alias ABU RARA alias ALAM dapat dijatuhkan lebih dari 15 tahun penjara.

78
79

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan diatas hal yang menjadi

saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Diperlukannya penanganan dan pencegahan kasus terorisme yang melibatkan

anak sampai dengan tingkat dasar elemen masyarakat dan lingkungan

pendidikan oleh pemerintah melalui sosialisasi dampak hukuman terorisme

yang melibatkan anak secara masif kepada masyarakat agar banyak yang

mengetahuinya sehingga tidak tercipta ruang bagi pelaku tindak pidana

terorisme yang melibatkan anak, untuk melakukan perbuatannya.

2. Untuk para hakim dan/atau Pengadilan agar selalu bersikap hati-hati dan

memberikan rasa keadilan bagi pihak yang berperkara sesuai dengan fakta

yang terungkap, terutama dalam memutuskan perkara tindak pidana terorisme

yang melibatkan anak, dengan memberatkan terdakwa melalui pidana pokok

serta pidana tambahan sesuai peraturan perundang-undangan. Sebab, anak

merupakan simbol kemajuan peradaban yang senantiasa harus selalu dilindungi

oleh bangsa dan negara sebagai bukti serius penanganan terorisme yang

melibatkan anak.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

A.M. Hendropriyono, Terorisme, Penerbit buku kompas, Jakarta, 2009.

Abintoro Prakoso, Kriminologi dan Hukum Pidana, Laksbang Grafika,


Yogyakarta. 2013.

Ahmad Rifa’I, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum


Progresif, Sinar Grafik, Jakarta, 2011.

Ali Zainudin, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

Andi Hamzah, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta, 2011.

Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, Rineka Cipta, Jakarta, 2011.

Ayu Efrita Dewi, Model Hukum Pidana, Umrah Press, Tanjung pinang, 2020.

Ayub Torry Satriyo, Hukuman Mati Ditinjau Dari Perspektif Hukum dan Hak
Asasi Manusia International, Penerbit buku kompas, Jakarta, 2015.

Azyumardi Azra, Jihad dan Terorisme. dalam Tabrani Sabirin, (ed),


Menggugat Terorisme, CV. Karsa Rezek, Jakarta, 2006.

Black, Campbell Henry, Black's Law Dictionary Revised Fourth Edition, West
Publishing Co, St. Paul Minnesota, I986.

Chazawi, Adam, Pelajaran Hukum Pidana 2, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta


2002.

Damayanti, Angel dan Hemay, Idris dan Muchtadlirin, adan Aziz, Sholehudin A.
dan Pranawati, Rita, Perkembangan Terorisme di Indonesia, Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Republik Indonesia”,
Jakarta, 2013.

Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, Buku Putih Pertahanan Republik


Indonesia, 2015.

Mardenis, Pemberantasan Terorisme, Politik Internasional dan Politik Hukum


Nasional Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2013.

Muhammad Erwin, Filsafat Hukum, Raja Grafindo. Jakarta, 2012.

80
81

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2004.

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi anak, Rajawali press, Jakarta, 2019.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,


Jakarta, 2008.

Petrus Reinhard Golose, Deradikalisasi Terorisme human soul approach dan


menyentuh akar rumput,Yayasan pengembangan kajian ilmu kepolisian,
Penerbit buku kompas, Jakarta, 2010.

Potak Pantogi Nainggolan, Terorisme dan Tata Dunia Baru, Penerbit Pusat
Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretaris Jendral Dewan
Perwakilan Rakyat, Jakarta, 2006.

Ramelan, Ajaran Turut Serta (MEDEPLEGEN) dalam Pemberantasan Tindak


Pidana Terorisme, 2015.

Roeslan saleh, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggung Jawaban Pidana, Cetakan


Pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.

Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Kejahatan Bisnis dan Hukum Pidana Buku 2,
Penerbit PT Fikahati Aneska, Jakarta, 2013.

Sb. Agus, Deradikasi Dunia Maya, Mencegah Simbiosis Terorisme dan Media,
Daulat Press, Jakarta, 2016.

Setiawan Widagdo, Kamus Hukum, PT Prestasi Pustaka Raya, Jakarta, 2012.

Soerjono dan Abdurahman, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta,


2003.

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, PT Raja Grafindo Persada, 2012.

Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, PT Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Lux,
Widya Karya, Semarang, 2017.

Suseno dan Franz Magnis, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar


Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta, 2012.

Suyanto, Pengantar Hukum Pidan, Deepublisher, Yogyakarta, 2018.


82

C. Jurnal

Abdul Khaliq .M., Kontroversi Hukuman Mati dan Kebijakan Regulasinya Dalam
RUU KUHP (Studi Komparatif Menurut Hukum Islam), Jurnal Hukum,
Vol. 14, No. 2, 2007.

Edy Renta Sembiring. Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Terorisme yang
dilakukan oleh anak, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Hukum (JIM
FH) E-ISSN 2798-8457 Volume IV Nomor 3, Oktober 2021.

Edy Renta Sembiring. Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Terorisme yang
dilakukan oleh anak, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Hukum (JIM
FH) E-ISSN 2798-8457 Volume IV Nomor 3, Oktober 2021.

Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Penerapan Dan Pengaturannya Dalam Hukum


Acara Perdata, Medan, Jurnal Dinamika Hukum. Vol.11 No.3. Fakultas
Hukum Universitas Katolik Santo Thomas, Sumatra Utara, 2011.

Fence M. Wantu, Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan


Dalam Putusan Hakim Di Peradilan Perdata, Jurnal Dinamika Hukum
Vol.12 No.2. Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo, 2012.

Hendro Mardianysah, Tinjauan Kriminologis Terhadap kejahatan terorisme,


Universitas Muhammadiyah Mataram Fakultas Hukum, Mataram.

Simson Kristianto (2021) Pemenuhan Hak Narapidana Anak di lembaga


pembinaan yang bukan khusus anak Jurnal HAM Vol 12 No 1.

Sukasta, Aspek Hukum Tindak Pidana Terorisme, Menurut Undang-Undang


Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Terorisme, Openjournal,
Fakultas Hukum , Universitas Pamulang, Tangerang Selatan, 2022.

B. Peraturan Perundang-undangan

Pasal 1 angka 2 perpu 1/2002 jo Definisi Terorisme.

Putusan Nomor 475/Pid.Sus/2020/Pn.Jkt.Brt

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

Undang-Undang RI 1946 No.20, Berita Republik Indonesia Tahun II No. 24.

Anda mungkin juga menyukai