Anda di halaman 1dari 17

“MAKALAH PAJAK BUMI DAN BANGUNAN”

(Disusun untuk memenuhi mata kuliah perpajakan)

Dosen pengampuh : Bapak H. Baso R, S.E., M.M., Ak., CA., CSRS., CSRA.

Di susun oleh :

KELOMPOK 3

1. Hasria (202102098)
2. Herliana (202102093)
3. Sartika (202102097)
4. Salwana (202102099)
5. Sunarti (202102083)
6. Nur annisa (202102092)
7. Ratnawati (202102100)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI WIRA BHAKTI
MAKASSAR
TAHUN AJARAN 2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Sholawat serta salam tak lupa pula
kami panjatkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW serta para pengikutnya sampai
akhir zaman.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah perpajakan yang di ajarkan
oleh dosen pak H. Baso. Adapun tema yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah “paja
bumi dan bangunan”. Pemakalah menyadari bahwa makalah ini tidak akan terselesaikan
tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami selaku pemakalah ingin
mengucapkan terima kasih kepada yang telah membimbing dan mendididk kami, serta semua
pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu.
Kami selaku pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu kritik serta saran yang membangun sangat kami harapkan dari para
pembaca sekalian.
Semoga makalah yang kami buat dapat bermanfaat untuk para pembaca semua.
Sekian terima kasih.

17 December 2022

Kelompok 3

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .......................................................................................................2


Daftar isi ................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………..4
1. Latar Belakang Masalah ..................................................................................4
2. Rumusan Masalah ...........................................................................................4
3. Tujuan Permasalahan ......................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………...5

1. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan.............................................................5


2. Objek Pajak Bumi dan Bangunan ..................................................................5
3. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan .................................................................8
4. Nilai Jual Objek Pajak .....................................................................................9
5. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ......................................................12
6. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan ...................................................................12
7. Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan .........................................................13
8. Tata Cara Pembayaran dan Penagihan ...........................................................13

BAB III PENUTUP………………………………………………………………16

1. Kesimpulan ......................................................................................................16
2. Saran .................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................17

3
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Makalah


Pajak merupakan suatu iuran wajib bagi pajak yang dipungut oleh pemerintah
berdasarkan undang-undang. Adanya paja dapat diharapkan mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Paja ini sifatnya tidak dapat dirasakan langsung oleh
masyarakat. Dalam hubungan dengan adanya suatu wilayah dipermukaan bumi dan
segalah sesuatu yang bernilai diatasnya, dalam pelaksanaan pemungutan pajak harus
memiliki aturan yang jelas. Peraturan yang berkaitan dengan pajak ini diatur undang-
undang no. 12 tahun 1985 yang telah diubah dengan adanya undang-undang no 12
tahun 1994. Dengan adanya peraturan ini diharapkan adanya pemungutan pajak yang
berkaitan dengan bumi dan bangunan dapat dilakukansesuai dengan asas-asas yang
ada.

2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pajak bumi dan bangunan ?
2. Objek pajak apakah yang dikenakan pajak bumi dan bangunan ?
3. Apa saja subjek pajak dan wajib pajak bumi dan bangunan ?
4. Bagaimana cara penghitungan pajak bumi dan penelitian ?

3. Tujuan Penelitian
4.1 Mengetahui pengertian pajak bumi dan bangunan
4.2 Mengetahui objek pajak bumi dan bangunan
4.3 Mengetahui subjek paja bumi dan bangunan
4.4 Mengetahui cara perhitungan paja bumi dan bangunan

4
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan


Pajak bumi dan bangunan (PBB), adalah pajak yang dipungut atas tanah dan
bangunan karena adanya keuntungan dan-atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih
baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh
manfaat dari padanya
PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang
ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi atau tanah dan atau bangunan. Sementara
itu keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
Asas pajak bumi dan bangunan:
1. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan
2. Adanya kepastian hukum
3. Mudah dimengerti dan adil
4. Menghindari pajak berganda

2. Objek pajak bumi dan bangunan


1. Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan atau bangunan
2. Klasifikasi bumi dan bangunan, Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan
bangunan adalah pengelompokkan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan
digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang
terutang.

Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor sebagai


berikut:

a. Letak
b. Peruntukkan
c. Pemanfaatan
d. Kondisi lingkunan dan lain-lain

Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai


berikut:

5
a. Bahan yang digunakan
b. Rekayasa
c. Letak
d. Kondisi lingkunan dan lain-lain
3. Pengecualian objek
Objek pajak yang tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan adalah objek pajak
yang:
a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak
untuk mencari keuntungan, antara lain:
1. Dibidang ibadah, contoh : Masjid, Gereja, Vihara
2. Dibidang kesehatan, contoh : Rumah sakit
3. Dibidang pendidikan, contoh : Madrasah, Pesantren
4. Dibidang sosial, contoh : panti asuhan
5. Dibidang kebudayaan nasional, contoh : museum, candi.
b. Digunakan untuk kuburan peninggalan purba kala, atau yang sejenis
dengan itu.
c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,
tahah pengembalaan dan dikuasai desa, dan tanah negara yang belum
dibebani suatu hak.
d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal-balik
e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi inter nasional yang di
tentukan oleh menteri keuangan.
4. Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan,
penentuaan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Yang dimaksud dengan objek pajak adalah objek pajak yang
dimiliki/dikuasai/digunakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan. Pajak bumi dan bangunan adalah pajak negara
yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah diantara lain
dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Oleh sebab itu wajar pemerintah pusat juga ikut
mebiayai penyediaan fasilitas tersebut melalui pembayaran pajak bumi dan
bangunan. Menegenai bumi dan atau bangunan milik perseorangan dan atau

6
bukan yang digunakan oleh negara, kewajiban perpajakannya tergantung pada
perjanjian yang diadakan.
5. Besar nilai jual objek pajak tidak kena pajak (NJOPTKP) ditetapkan untuk
masing-masing kabupaten/kota dengan besar setinggi-tingginya Rp 12.000.000
(12 juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Apabila seorang wajib pajak mempunyai
beberapa objek pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak
yang nilainya terbesar, sedangkan objek pajak lainnya tetap dikenakan secara
penuh tanpa dikurangi NJOPTKP.
Kepala kantor wilayah direktorat jendral pajak atas nama menteri keuangan
menetapkan besarnya NJOPTKP dengan mempertimbangkan pendapatan
gubernur/bupati/walikota (pemerintah daerah) setempat.
Untuk lebih jelasnya diberikan contoh berikut ini:
a. Seorang wajib pajak mempunyai objek pajak berupa bumi dengan nilai
4.000.000 dan besarnya NJOPTKP untuk objek pajak wilayah tersebut adalah
Rp. 6.000.000. karena NJOP berda di bawah batas NJOPTKP (Rp. 6.000.000),
maka objek pajak tersebut tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan.
b. Seorang wajib pajak mempunyai objek pajak berupa bumi dan bangunan di
Desa A dan Desa B dengan nilai sebagai berikut:
Desa A :
NJOP Bumi Rp.13.000.000,00
NJOP Bangunan Rp. 9.000.000,00
Desa B :
NJOP Bumi Rp. 8.000.000,00
NJOP Bangunan Rp. 10.000.000,00
Dan NJOPTKP untuk objek pajak wilayah tersebut adalah Rp.
100.000.000,00.
Dengan data tersebut diatas, maka NJOP untuk perhitungan PBB-nya sebagai
berikut:
Langkah pertama adalah mencari NJOP dari dua desa tersebut mempunyai
nilai paling besar, yaitu desa A. Maka NJOP untuk pertimbangan PBB adalah :
NJOP Bumi RP. 13.000.000,00
NJOP Bamgunan RP. 9.000.000,00
NJOP sebagai dasar pengenaan PBB Rp. 22.000.000,00
NJOPTKP Rp. 10.000.000,00
7
NJOP untuk perhitungan PBB Rp. 12.000.000,00
Kemudian untuk Desa B :
NJOP untuk perhitungan PBB:
NJOP Bumi Rp. 8.000.000,00
NJOP Bangunan Rp. 10.000.000,00
NJOP sebagai dasar pengenaan PBB Rp. 18.000.000,00
NJOPTKP 0,00
NJOP untuk perhitungan PBB Rp. 18.000.000,00

3. Subjek pajak
1. Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata
mempunyai suatu hakk atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi,
dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti
pemilikan hak.
2. Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no.1 yang dikenakan kewajiban
membayar pajak menjadi wajib pajak
3. Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya,
Direktur Jendral Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud
dalam no.1 sebagai wajib pajak.
Hal ini berarti memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk
menentukan subjek wajib pajak, apabila suatu objek pajak belum jelas wajib
pajaknya.
Untuk lebih jelas diberikan contoh berikut ini:
a. Subjek Pajak X memanfaatkan atau menggunakan bumi dan atau
bangunan milik Y bukan karena sesuatu hak berdasarkan undangundang
atau bukan karena perjanjian, maka X yang memanfaatkan /menggunakan
bumi dan atau bangunan ditetapkan sebagai wajib pajak.
b. Suatu Objek Pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan,
maka orang atau badan yang memanfaatkan / menggunakan Objek Pajak
tersebut ditetapkan sebagai Wajib Pajak.
c. Subjek Pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah letak Objek
Pajak, sedang untuk merawat Objek Pajak tersebut dikuasakan kepada
orang atau badan, maka orang atau badan yang diberi kuasa dapat
8
ditunjuk sebagai wajib pajak. Penunjukan sebagai Wajib Pajak oleh
Dirjen Pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak.
d. Subjek Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam point (c)
dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal
Pajak bahwa ia bukan Wajib Pajak terhadap Objek Pajak yang dimaksud
4. Bila keterangan yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam point (d) disetujui,
maka Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak
sebagaimana dalam no.3 dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya
surat keterangan yang dimaksud.
5. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jenderal
Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-
alasannya.
6. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya
keterangan sebagaimana dalam point (d) Direktur Jenderal Pajak tidak
memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap
disetujui. Apabila Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan
dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya keterangan dari Wajib
Pajak, maka ketetapan sebagai Wajib Pajak gugur dengan sendirinya dan
berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan sebagai Wajib Pajak.

4. Nilai jual objek pajak (NJOP)


Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari
transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar, dan bila mana tidak terdapat transaksi
jual beli, Nilai Jual Objek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan
objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak
pengganti.
a. Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
b. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditetapkan setiap tiga tahun
oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama
Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur /
Bupati / Walikota (Pemerintah Daerah) setempat.
c. Dasar penghitungan pajak adalah yang ditetapkan serendah-rendahnya
20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)

9
d. Besarnya persentase ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan
memperhatikan kondisi ekonomi nasional

Pada dasarnya penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah 3(tiga) tahun
sekali. Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan
pembangunan mengakibatkan kenaikan NJOP cukup besar, maka penetapan nilai
jual ditetapkan setahun sekali.

Dalam menetapkan nilai jual, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal


Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur
/Bupati /Walikota (Pemerintah Daerah) setempat serta memperhatikan asas self
assessment. Yang dimaksud (assessment value) adalah nilai jual yang dipergunakan
sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual
sebenarnya.

Contoh:

a. Nilai Jual suatu objek pajak sebesar Rp 2.000.000,00. Persentase misalnya


20%, maka besarnya = 20% x Rp 2.000.000,00 = Rp 400.000,00.
b. Nilai Jual suatu objek pajak sebesar Rp 2.000.000.000,00. Persentase
misalnya 40%, maka besarnya 40% x Rp 2.000.000.000,00 = Rp
800.000.000,00.

Untuk perekonomian sekarang ini, terutama untuk tidak terlalu membebani


Wajib Pajak didaerah pedesaan, tetapi dengan tetap memperhatikan penerimaan,
khususnya bagi pemerintah daerah, maka telah ditetapkan besarnya persentase
untuk menentukan besarnya NJKP, yaitu:

1. Sebesar 40% (empat puluh persen) dari NJOP untuk:


a. Objek Pajak Perkebunan
b. Objek Pajak Kehutana
c. Objek Pajak lainnya, yang wajib pajaknya perorangan dengan NJOP atas
bumi dan bangunan sama atau lebih besar dari Rp 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
2. Sebesar 20% (dua puluh persen) dari NJOP untuk:
a. Objek Pajak Pertambangan

10
b. Objek Pajak lainnya yang NJOP-nya kurang dari Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).

Penentuan besarnya NJOP adalah proses penting mengingat NJOP ini yang
akan menentukan besarnya pajak yang di bayar oleh masyarakat. Dalam Keputusan
Direktur Jenderal No. 16/PJ.6/1998 tanggal 30 Desember 1998 dijelaskan
bagaimana menentukan besarnya NJOP untuk setiap sektor PBB. Dalam Keputusan
tersebut diatur sebagai berikut :

1. NJOP atas Sektor Pedesaan/Perkotaan


Adalah objek PBB yang meliputi kawasan pertanian, perumahan,
perkantoran, pertokohan, industri serta objek khusus perkotaan.
2. NJOP atas sektor perkebunan
Adalah objek PBB yang meliputi areal pengusahaan beni, penanaman
baru, perluasan, perubahan jenis tanaman, keragaman jenis tanaman
termasuk sarana penunjangannya.
3. NJOP atas sektor kehutanan
Adalah objek PBB yang meliputi areal pengusahaan hutan dan budidaya
hutan.
4. NJOP atas sektor pertambangan
Adalah objek PBB yang meliputi areal usaha penambangan bahan-bahan
galian dari semua golongan yaitu bahan galian strategis, bahan galian vital
dan bahan galian lainnya.
5. NJOP atas sektor perikanan
Usaha bidang perikanan adalah suatu usaha perorangan atau badan yang
memiliki ijin usaha untuk menangkap atau membudidayakan sumber daya
ikan, termasuk semua jenis ikan dan biota perairan lainnya serta kegiatan
menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan
komersial.
6. NJOP atas ojek pajak yang bersifat khusus
Adalah objek pajak yang memiliki jenis kontruksi khusus baik ditinjau dari
segi bentuk, material bentuk maupun keberadaannya memiliki arti khusus
seperti: lapangan golf, pelabuhan laut, pelabuhan udara, jalan tol, pompa
bensin, dan lain-lain

11
5. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
1. Pelaksanaan perhitungan pengenaan pajak PBB
Ditentukan berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) setelah dikurangi
dengan NJOP Tidak Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan R I. Nomor : 201/KMK.04/2000 tentang Penyesuaian Besarnya Nilai
Jual Objek
2. Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan PBB.
Setiap Wajib Pajak diberikan 1 kali Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NJOPTKP). Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai lebih dari 1 objek pajak,
maka sesuai penjelasan UU PBB, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu
objek pajak yang nilainya terbesar.
3. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
Sebagaimana dimaksud dalam keputusan ini ditetapkan setinggi tingginya
Rp 12.000.000,00 untuk setiap Wajib Pajak. Batasan setinggitingginya Rp
12.000.000,00 mengandung maksud bahwa apabila ada Daerah Tingkat II atau
Kabupaten / Kota yang ingin menetapkan NJOPTKPnya disesuaikan dengan
kondisi, lingkungan ekonominya, kurang dari Rp 12.000.000,00, misalnya Daerah
Bekasi menetapkan Rp 8.000.000,00, Semarang Rp 6.000.000,00, dan sebagainya
hal ini masih diperkenankan.
4. Penetapan besarnya NJOPTKP
Sebagaimana dimaksud dalam Peraturan tersebut di atas untuk setiap daerah
Kabupaten / Kota, ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat
Pemerintah Daerah setempat. Sedangkan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009
Pasal 77 ayat (4) besarnya NJOPTKP ditentukan paling rendah adalah Rp.
10.000.000,00 dan penetapannya dilakukan oleh masing-masing Kepala Daerah.

6. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan


Tarif PBB berdasarkan Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi
dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undangundang No.12 tahun
1994 adalah tetap sebesar 0.5%, sedangkan menurut UU Nomor 28 Tahun 2009
Pasal 80 ayat (1) dan (2) adalah paling tinggi 0.3% yang ditetapkan dengan
Peraturan Daerah.

12
7. Perhitungan pajak bumi dan bangunan
Besarnya pajak terutang dihitung dengan cara mengkalikan tarif
pajak dengan NJKP.
Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif Pajak x NJKP = 0,5% x NJKP x (NJOP-
NJOPTKP)
Contoh:
Wajib Pajak A mempunyai sebidang tanah dan bangunan yang NJOP-nya Rp
20.000.000,00 dan NJOPTKP untuk daerah tersebut Rp 12.000.000,00, maka
besarnya pajak yang terutang adalah:
PBB= 0,5% x 20% x (Rp 20.000.000,00 – Rp 12.000.000,00) = Rp 8.000,00

8. Tata cara pembayaran dan penagihan


b. Pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi selambat lambatnya 6
(enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak. Contoh:
Apabila SPPT diterima oleh wajib pajak tanggal 1 April 2010, maka jatuh
tempo pembayarannya adalah tanggal 30 September 2010.
c. Pajak yang terutang berdasarkan SKP harus dilunasi selambat lambatnya 1
(satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh wajib pajak. Contoh: Apabila
SKP diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 2010, maka jatuh tempo
pengembaliannya adalah tanggal 31 Maret 2010.
d. Pajak yang terutang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau
kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan,
yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk
jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
e. Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam no.3 diatas, ditambah dengan
utang pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak
(STP) yang harus dilunasi selambatlambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal
diterimanya STP oleh wajib pajak. Menurut ketentuan ini denda administrasi
dan pokok pajak seperti dalam no.3 di atas, ditagih dengan menggunakan STP
yang harus dilunasi dalm waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya STP
tersebut.
f. Pajak yang terutang dapat dibayar di Bank, Kantor Pos dan Giro, dan tempat
lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
g. Tata cara pembayaran dan penagihan diatur oleh Menteri keuangan.
13
h. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), surat ketetapan pajak, dan Surat
Tagihan Pajak (STP) merupakan dasar penagihan pajak.
i. Jumlah pajak yang terutang berdasarkan STP yang tidak dibayarkan pada
waktunya dapat ditagih dengan surat paksa.
Dalam hal tagihan pajak yang terutang dibayar setelah jatuh tempo yang telah
ditentukan, penagihannya dilakukan dengan surat paksa yang saat ini berdasarkan
UU No.19 tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No.19 tahun 2000
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
Dasar penagihan PBB terdiri dari tiga macam yaitu:
1. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) SPPT adalah surat yang
digunakan oleh pemerintah untuk memberitahukan besarnya pajak yang
terhutang kepada Wajib Pajak. Surat pemberitahuan ini diterbitkan
berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). Pajak yang terhutang
harus dilunasi selambatlambatnya 6 bulan sejak tanggal diterimanya SPPT
oleh Wajib Pajak.
2. Surat Tagihan Pajak (STP). STP dapat diterbitkan karena memenuhi beberapa
kriteria sebagai berikut apabila:
a) Wajib Pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti tercantum dalam
SPPT, yaitu melampaui batas waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal
diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
b) Wajib Pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti tercantum dalam
skp, yaitu melampaui batas waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya
surat keputusan oleh Wajib Pajak.
c) Wajib Pajak melunasi pajak yang terutang setelah lewat saat jatuh tempo
pembayaran PBB, tetapi denda administrasi tidak dilunasi.Saat jatuh
tempo STP adalah satu bulan sejak diterimanya STP oleh Wajib Pajak.
Konsekuensi jika saat jatuh tempo STP terlampaui adalah adanya denda
administrasi dalam STP. Besarnya denda administrasi karena Wajib Pajak
terlambat membayar pajaknya, melampaui batas waktu jatuh tempo SPPT
adalah sebesar 2% sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai
dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan.
3. Surat Ketetapan Pajak (SKP). SKP dapat diterbitkan karena memenuhi
beberapa kriteria ebagai berikut apabila:
14
a. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang disampaikan melewati 30
(tiga puluh) hari setelah diterimanya SPOP oleh Wajib Pajak dan setelah
ditegur secara tertulis ternyata tidak dikembalikan oleh Wajib Pajak
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.
.

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

1. PBB merupakan pajak yang bersifat kebendaan artinya besarnya pajak


terutang ditentukan oleh keadaan objek,
2. Objek PBB terdiri dari dua hal yaitu bumi yang merupakan permukaan bumi
dan tubuh bumi yang ada dibawahnya dan bangunan adalah konstruksi teknik
yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan,
3. Subjek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak
atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki,
menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan,
4. Sebelum objek pajak dikenakan PBB terlebih dahulu harus didaftarkan
menggunakan sarana berupa Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) untuk
objek berupa tanah dan Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak (LSPOP)
jika ada bangunannya,
5. Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP),
6. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan
setinggi-tingginya Rp. 12.000.000,- untuk setiap wajib pajak, sedangkan
berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009.
7. Dasar perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Besarnya NJKP
adalah 40% dari NJOP untuk objek P3 serta objek PBB lainnya apabila NJOP
≥ 1 milyar rupiah dan sebesar 20% dari NJOP untuk objek PBB Lainnya
apabila NJOP < 1 Milyar rupiah.
8. Tarif PBB Undang-undang No.12 tahun 1994 adalah flat sebesar 0.5%,
Perbandingan penerapan PBB antara UU No.12 Tahun 1994 dengan UU No.
28 Tahun 2009

B. Saran
Sebagai wajib pajak harus menaati Undang-Undang Pajak Bumi dan
Bangunan dengan melaporkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak dengan benar
dan tepat waktu, serta membayar pajak atas objek pajak tersebut guna untuk
pembangunan bangsa.

16
DAFTAR PUSTAKA

Mardiasmo. 2011. Perpajakan Edisi Revisi. Yogyakarta: Andi

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang


“Perubahan Atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi
dan Bangunan

https://www.academia.edu/resource/work/11492160

17

Anda mungkin juga menyukai