Makalah Pajak Bumi Dan Bangunan
Makalah Pajak Bumi Dan Bangunan
Dosen pengampuh : Bapak H. Baso R, S.E., M.M., Ak., CA., CSRS., CSRA.
Di susun oleh :
KELOMPOK 3
1. Hasria (202102098)
2. Herliana (202102093)
3. Sartika (202102097)
4. Salwana (202102099)
5. Sunarti (202102083)
6. Nur annisa (202102092)
7. Ratnawati (202102100)
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Sholawat serta salam tak lupa pula
kami panjatkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW serta para pengikutnya sampai
akhir zaman.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah perpajakan yang di ajarkan
oleh dosen pak H. Baso. Adapun tema yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah “paja
bumi dan bangunan”. Pemakalah menyadari bahwa makalah ini tidak akan terselesaikan
tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami selaku pemakalah ingin
mengucapkan terima kasih kepada yang telah membimbing dan mendididk kami, serta semua
pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu.
Kami selaku pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu kritik serta saran yang membangun sangat kami harapkan dari para
pembaca sekalian.
Semoga makalah yang kami buat dapat bermanfaat untuk para pembaca semua.
Sekian terima kasih.
17 December 2022
Kelompok 3
2
DAFTAR ISI
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………...5
1. Kesimpulan ......................................................................................................16
2. Saran .................................................................................................................16
3
BAB I
PENDAHULUAN
2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pajak bumi dan bangunan ?
2. Objek pajak apakah yang dikenakan pajak bumi dan bangunan ?
3. Apa saja subjek pajak dan wajib pajak bumi dan bangunan ?
4. Bagaimana cara penghitungan pajak bumi dan penelitian ?
3. Tujuan Penelitian
4.1 Mengetahui pengertian pajak bumi dan bangunan
4.2 Mengetahui objek pajak bumi dan bangunan
4.3 Mengetahui subjek paja bumi dan bangunan
4.4 Mengetahui cara perhitungan paja bumi dan bangunan
4
BAB II
PEMBAHASAN
a. Letak
b. Peruntukkan
c. Pemanfaatan
d. Kondisi lingkunan dan lain-lain
5
a. Bahan yang digunakan
b. Rekayasa
c. Letak
d. Kondisi lingkunan dan lain-lain
3. Pengecualian objek
Objek pajak yang tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan adalah objek pajak
yang:
a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak
untuk mencari keuntungan, antara lain:
1. Dibidang ibadah, contoh : Masjid, Gereja, Vihara
2. Dibidang kesehatan, contoh : Rumah sakit
3. Dibidang pendidikan, contoh : Madrasah, Pesantren
4. Dibidang sosial, contoh : panti asuhan
5. Dibidang kebudayaan nasional, contoh : museum, candi.
b. Digunakan untuk kuburan peninggalan purba kala, atau yang sejenis
dengan itu.
c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,
tahah pengembalaan dan dikuasai desa, dan tanah negara yang belum
dibebani suatu hak.
d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal-balik
e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi inter nasional yang di
tentukan oleh menteri keuangan.
4. Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan,
penentuaan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Yang dimaksud dengan objek pajak adalah objek pajak yang
dimiliki/dikuasai/digunakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan. Pajak bumi dan bangunan adalah pajak negara
yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah diantara lain
dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Oleh sebab itu wajar pemerintah pusat juga ikut
mebiayai penyediaan fasilitas tersebut melalui pembayaran pajak bumi dan
bangunan. Menegenai bumi dan atau bangunan milik perseorangan dan atau
6
bukan yang digunakan oleh negara, kewajiban perpajakannya tergantung pada
perjanjian yang diadakan.
5. Besar nilai jual objek pajak tidak kena pajak (NJOPTKP) ditetapkan untuk
masing-masing kabupaten/kota dengan besar setinggi-tingginya Rp 12.000.000
(12 juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Apabila seorang wajib pajak mempunyai
beberapa objek pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak
yang nilainya terbesar, sedangkan objek pajak lainnya tetap dikenakan secara
penuh tanpa dikurangi NJOPTKP.
Kepala kantor wilayah direktorat jendral pajak atas nama menteri keuangan
menetapkan besarnya NJOPTKP dengan mempertimbangkan pendapatan
gubernur/bupati/walikota (pemerintah daerah) setempat.
Untuk lebih jelasnya diberikan contoh berikut ini:
a. Seorang wajib pajak mempunyai objek pajak berupa bumi dengan nilai
4.000.000 dan besarnya NJOPTKP untuk objek pajak wilayah tersebut adalah
Rp. 6.000.000. karena NJOP berda di bawah batas NJOPTKP (Rp. 6.000.000),
maka objek pajak tersebut tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan.
b. Seorang wajib pajak mempunyai objek pajak berupa bumi dan bangunan di
Desa A dan Desa B dengan nilai sebagai berikut:
Desa A :
NJOP Bumi Rp.13.000.000,00
NJOP Bangunan Rp. 9.000.000,00
Desa B :
NJOP Bumi Rp. 8.000.000,00
NJOP Bangunan Rp. 10.000.000,00
Dan NJOPTKP untuk objek pajak wilayah tersebut adalah Rp.
100.000.000,00.
Dengan data tersebut diatas, maka NJOP untuk perhitungan PBB-nya sebagai
berikut:
Langkah pertama adalah mencari NJOP dari dua desa tersebut mempunyai
nilai paling besar, yaitu desa A. Maka NJOP untuk pertimbangan PBB adalah :
NJOP Bumi RP. 13.000.000,00
NJOP Bamgunan RP. 9.000.000,00
NJOP sebagai dasar pengenaan PBB Rp. 22.000.000,00
NJOPTKP Rp. 10.000.000,00
7
NJOP untuk perhitungan PBB Rp. 12.000.000,00
Kemudian untuk Desa B :
NJOP untuk perhitungan PBB:
NJOP Bumi Rp. 8.000.000,00
NJOP Bangunan Rp. 10.000.000,00
NJOP sebagai dasar pengenaan PBB Rp. 18.000.000,00
NJOPTKP 0,00
NJOP untuk perhitungan PBB Rp. 18.000.000,00
3. Subjek pajak
1. Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata
mempunyai suatu hakk atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi,
dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti
pemilikan hak.
2. Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no.1 yang dikenakan kewajiban
membayar pajak menjadi wajib pajak
3. Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya,
Direktur Jendral Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud
dalam no.1 sebagai wajib pajak.
Hal ini berarti memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk
menentukan subjek wajib pajak, apabila suatu objek pajak belum jelas wajib
pajaknya.
Untuk lebih jelas diberikan contoh berikut ini:
a. Subjek Pajak X memanfaatkan atau menggunakan bumi dan atau
bangunan milik Y bukan karena sesuatu hak berdasarkan undangundang
atau bukan karena perjanjian, maka X yang memanfaatkan /menggunakan
bumi dan atau bangunan ditetapkan sebagai wajib pajak.
b. Suatu Objek Pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan,
maka orang atau badan yang memanfaatkan / menggunakan Objek Pajak
tersebut ditetapkan sebagai Wajib Pajak.
c. Subjek Pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah letak Objek
Pajak, sedang untuk merawat Objek Pajak tersebut dikuasakan kepada
orang atau badan, maka orang atau badan yang diberi kuasa dapat
8
ditunjuk sebagai wajib pajak. Penunjukan sebagai Wajib Pajak oleh
Dirjen Pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak.
d. Subjek Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam point (c)
dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal
Pajak bahwa ia bukan Wajib Pajak terhadap Objek Pajak yang dimaksud
4. Bila keterangan yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam point (d) disetujui,
maka Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak
sebagaimana dalam no.3 dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya
surat keterangan yang dimaksud.
5. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jenderal
Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-
alasannya.
6. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya
keterangan sebagaimana dalam point (d) Direktur Jenderal Pajak tidak
memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap
disetujui. Apabila Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan
dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya keterangan dari Wajib
Pajak, maka ketetapan sebagai Wajib Pajak gugur dengan sendirinya dan
berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan sebagai Wajib Pajak.
9
d. Besarnya persentase ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan
memperhatikan kondisi ekonomi nasional
Pada dasarnya penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah 3(tiga) tahun
sekali. Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan
pembangunan mengakibatkan kenaikan NJOP cukup besar, maka penetapan nilai
jual ditetapkan setahun sekali.
Contoh:
10
b. Objek Pajak lainnya yang NJOP-nya kurang dari Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Penentuan besarnya NJOP adalah proses penting mengingat NJOP ini yang
akan menentukan besarnya pajak yang di bayar oleh masyarakat. Dalam Keputusan
Direktur Jenderal No. 16/PJ.6/1998 tanggal 30 Desember 1998 dijelaskan
bagaimana menentukan besarnya NJOP untuk setiap sektor PBB. Dalam Keputusan
tersebut diatur sebagai berikut :
11
5. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
1. Pelaksanaan perhitungan pengenaan pajak PBB
Ditentukan berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) setelah dikurangi
dengan NJOP Tidak Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan R I. Nomor : 201/KMK.04/2000 tentang Penyesuaian Besarnya Nilai
Jual Objek
2. Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan PBB.
Setiap Wajib Pajak diberikan 1 kali Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NJOPTKP). Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai lebih dari 1 objek pajak,
maka sesuai penjelasan UU PBB, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu
objek pajak yang nilainya terbesar.
3. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
Sebagaimana dimaksud dalam keputusan ini ditetapkan setinggi tingginya
Rp 12.000.000,00 untuk setiap Wajib Pajak. Batasan setinggitingginya Rp
12.000.000,00 mengandung maksud bahwa apabila ada Daerah Tingkat II atau
Kabupaten / Kota yang ingin menetapkan NJOPTKPnya disesuaikan dengan
kondisi, lingkungan ekonominya, kurang dari Rp 12.000.000,00, misalnya Daerah
Bekasi menetapkan Rp 8.000.000,00, Semarang Rp 6.000.000,00, dan sebagainya
hal ini masih diperkenankan.
4. Penetapan besarnya NJOPTKP
Sebagaimana dimaksud dalam Peraturan tersebut di atas untuk setiap daerah
Kabupaten / Kota, ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat
Pemerintah Daerah setempat. Sedangkan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009
Pasal 77 ayat (4) besarnya NJOPTKP ditentukan paling rendah adalah Rp.
10.000.000,00 dan penetapannya dilakukan oleh masing-masing Kepala Daerah.
12
7. Perhitungan pajak bumi dan bangunan
Besarnya pajak terutang dihitung dengan cara mengkalikan tarif
pajak dengan NJKP.
Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif Pajak x NJKP = 0,5% x NJKP x (NJOP-
NJOPTKP)
Contoh:
Wajib Pajak A mempunyai sebidang tanah dan bangunan yang NJOP-nya Rp
20.000.000,00 dan NJOPTKP untuk daerah tersebut Rp 12.000.000,00, maka
besarnya pajak yang terutang adalah:
PBB= 0,5% x 20% x (Rp 20.000.000,00 – Rp 12.000.000,00) = Rp 8.000,00
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Sebagai wajib pajak harus menaati Undang-Undang Pajak Bumi dan
Bangunan dengan melaporkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak dengan benar
dan tepat waktu, serta membayar pajak atas objek pajak tersebut guna untuk
pembangunan bangsa.
16
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/resource/work/11492160
17