JIKA DUNIA INI MEMANG BUSUK MAKA AKU ADALAH CACING PALING
MENJIJIKKAN YANG AKAN MEMAKAN HABIS DUNIA INI
“Hiduplah semampumu karena bukan orang lain yang memegang kemudi, tetapi kamu sendiri.” BAGIAN TIGA Hidup itu tidak adil. Itu adalah fakta dunia ini yang kupelajari saat menginjak umur enam tahun. Setiap hari minggu aku mendengarkan ceramah yang mengatakan bahwa setiap kejahatan akan dibalas dengan kejahatan yang setimpal atau malah lebih. Begitu pula dengan kebaikan. Setiap hari aku berdoa kepada Tuhan, bersikap baik kepada sesama mahluk hidup. Tidak pernah membantah orang dewasa, dan aku tidak pilih-pilih makanan. Aku selalu mengakui dosa-dosaku kepada Tuhan setiap seminggu sekali. Di setiap doa yang kupanjatkan hati kecilku selalu berbisik lirih. Meminta agar kelak kedua pangurupi jahat itu mendapatkan balasannya. Namun bahkan setelah dua tahun lamanya semenjak kedua pangurupi itu mengambil perhiasan Mama, tidak ada yang terjadi kepada mereka. Aku beranggapan bahwa jika Tuhan mahatahu, maka Dia akan membalas kejahatan mereka bahkan jika aku tidak menyebarkan kejadiaan pencurian waktu itu. Tapi harus berapa lama lagi aku harus menahan rasa sakit ini, rasa sakit hidup didalam kebohongan. Aku telah berbohong kepada diriku sendiri selama dua tahun ini, mengatakan bahwa aku kuat menanggung ini sendiri. Dan kenyataannya adalah aku tidak sekuat itu. Sekarang aku mulai ragu bahwa Tuhan akan benar-benar mengabulkan doaku. Aku mulai bingung membedakan hal-hal yang harus kulakukan. Apakah ini benar? Apakah ini salah? Haruskah aku melakukan ini? Tapi sudahlah, berhenti memikirkan hal yang tidak penting. Jam berdentum lima kali, langit diluar jendela juga sudah berganti warna menjadi kemerahan. Ini saatnya pulang, atau kedua pangurupi itu akan memotong jatah makan malam lagi. Aku berpamitan kepada sister Sara dan teman-teman lain di gereja. Rumahku kurang lebih berjarak setengah jam dari gereja. Melewati jalan raya yang diapit oleh kebun cengkeh yang berjejer sejauh mata memandang. Dibawah langit sore hari itu, aku berjalan diatas aspal dengan sandal jepit di kedua kakiku, wajahku celingak-celinguk ke segala arah untuk mengusir rasa bosan. Tapi ada satu hal yang berbeda di sore itu. Setengah jalan menuju rumahku, tiba-tiba terdengar suara deru dari kendaraan bermotor dari arah belakang. Saat berbalik aku dapat melihat mobil putih dengan atap tertutup sedangkan jendela bagian belakang tampak terbuka. Di daerah ini mobil dengan atap tertutup jarang bisa dilihat, karena para tuan tanah lebih suka membeli mobil pick up karena fungsinya lebih banyak. Berbanding terbalik dengan mobil itu, mobil putih yang kulihat ini hanya digunakan oleh para warga kota yang lebih mementingkan desain. Aneh sekali, natal seharusnya datang tiga bulan lagi. Mengapa ada orang kota datang jauh- jauh ke tempat ini jika bukan untuk merayakan natal? Begitulah kira-kira yang kupikirkan kala itu. Mobil itu terus melaju hingga akhirnya berpapasan denganku. Dalam momen yang sekejap itu, aku melihat dari luar jendela mobil yang terbuka. Seorang wanita dengan kerudung merah.