Anda di halaman 1dari 3

MASA SILAMKU

MEMBAWAKU HIJRAH

Tetesan air mata yang tak mampu terbendung jatuh membasahi kertas putih
nan lembut selembut sutra di keheningan malam mengingat kisah ini.

Kisah ini dimulai saat aku mengerti tentang kehidupan, aku merasakan
kepahitan hidup dibawah garis kemiskinan berada dalam keluarga yang tak mampu,
namun aku tetap bahagia meskipun kepahitan sering melanda. Dan kepahitan ini
makin bertambah saat itu aku masih berada dibangku kelas 6 sekolah dasar, waktu
ibuku menikah lagi dengan pria pilihannya.

Saat aku merasa dewasa sulit rasanya hidup 1 atap bersama ayah tiri yang
memiliki hati yang begitu buruk. Setiap hari, setiap jam, setiap menit entah apa yang
membuatnya tak senang akan kehadiranku sebagai anak dari ibuku bahkan
kekerasaan pernah terjadi padaku inilah yang aku rasakan bahwa Allah itu tidak adil
padaku karena telah memberikan hidup yang begitu amat pahit.

Berawal dari kekecewaan ini hampir setiap hari aku tak menjalankan
kewajiban yang seharusnya aku lakukan, bahkan melawan ibuku dan parahnya
pernah membuat ibuku meneteskan air mata. Tetes air mata pun jatuh sat mengingat
betapa buruknya, betapa kotornya, betapa murkanya aku. Dulu aku tak pernah
berpikir akan azab Allah, akan dosa anak terhadap orang tuanya saat diajak sholat
selalu ada alasan. Bahkan pernah mengatakan “NIKMATI AJA DULU MASA
MUDA, TAUBATNYA NANTI KALAU SUDAH TUA”. Astaghfirullah hal’azim,
padahal kematian itu tak pernah memandang usia dan status kita.
Awal hijrah ini pun dimulai saat aku merantau ke kota, dikota aku bekerja
yang turun lapangan dan itu sangat membutuhkan banyak tenaga ditambah aku tak
memiki kenderaan pribadi dan memilih untuk berjalan kaki, rasa putus asa pun
selalu datang rasa tak bersyukur pun selalu ada. Suatu ketika aku pernah diusir dari
tempat tinggal tanpa alasan yang jelas. Dan dikota ini aku melihat ternyata banyak
orang yang lebih menderita, susah dan betapa pahitnya hidup mereka, dari sinilah
aku belajar akan kesabaran.

Waktu berlalu, aku pun memberanikan diri untuk merantau yang lebih jauh
lagi. Dan disinilah aku melaksanakan sholat masih dalam keadaan terpaksa. Hari
demi hari menjalankan kewajiban dengan terpaksa itu sangat berat, berselang
beberapa bulan rasanya sholat yang dilakukan dengan terpaksa sekarang berubah
menjadi keterbiasaan dan semakin kesini muncullah rasa nyaman, aku mulai
mencari pengetahuan tentang islam lebih banyak lagi.

Dari kisah ini aku mengambil kesimpulan bahwa Allah itu sangat adil
terhadap hamba-Nya diawal Allah memperlihatkan kehidupan yang begitu pahit
agar aku siap akan kehidupan di masa depan.

“HIDAYAH ITU BUKAN DI TUNGGU TETAPI DI CARI, DARI


KETERPAKSAAN AKAN MENJADI KETERBIASAAN DARI ITULAH AKAN
ADA RASA NYAMAN DAN TENANG YANG TIADA TARA”.
Hasil Turnitin Naskah:

Anda mungkin juga menyukai