Anda di halaman 1dari 38

Skenario 1

Dharmapadmi Pradnya Kasilani


195160100111028
DK D/4
Skenario

Learning Issues
1. Trauma jaringan lunak
a. Macam dan definisi (luka tertutup dan luka terbuka)
b. Perawatan
2. Trauma dentoalveolar
a. Klasifikasi dan definisi (gigi dan tulang alveolar)
b. Penatalaksanaan
3. Fraktur rahang (mandibula, maksila)
a. Klasifikasi dan definisi
b. Etiologi
c. Gejala
d. Macam-macam fraktur maksilofasial
e. Perawatan
f. Proses penyembuhan fraktur tulang rahang
g. Komplikasi pasca perawatan fraktur tulang rahang
Trauma jaringan lunak
❖ Secara umum, Luka → gangguan pada hubungan anatomi normal jaringan sebagai
akibat dari cedera (Balaji, 2018).
❖ Dapat disertai dengan patah tulang wajah, cedera saraf, kelenjar ludah dan
salurannya, serta pembuluh darah. Hampir semua trauma wajah melibatkan cedera
jaringan lunak.
❖ Penyebab utama cidera → kekerasan dan kecelakaan kendaraan bermotor
❖ Jaringan lunak meliputi kulit, mukosa, otot, tendon, saraf, dan ligamen. Kerusakan
pada salah satu struktur ini dapat menyebabkan rasa sakit, pembengkakan dan
kurangnya mobilitas pada area tertentu (Singh, 2021).

I. Luka Tertutup (Closed wound)


Luka dalam tanpa jalur terbuka dari luar ke tempat luka (Singh, 2021)
Jenis luka ini tidak terkontaminasi dan, karenanya, sembuh dengan sendirinya
tanpa gejala sisa (Bonanthaya, 2021)

❖ Contusion (Memar)

(Hupp, 2019)

• sejumlah gangguan jaringan yang mengakibatkan perdarahan subkutan


atau submukosa tanpa merusak permukaan jaringan lunak diatasnya
(Balaji, 2018)
• Penyebab → benda tumpul tetapi juga sering ditemukan bersamaan
dengan cedera dentoalveolar atau patah tulang wajah (Singh, 2021)
• mengakibatkan edema dan pembentukan hematoma di jaringan
subkutan (Balaji, 2018)

• Perawatan
umumnya tidak memerlukan intervensi bedah. Perdarahan berhenti
setelah tekanan hidrostatik di dalam jaringan lunak sama dengan
tekanan di dalam pembuluh darah (biasanya kapiler). Jika memar
terlihat lebih awal, aplikasi es atau pressure dressing untuk membantu
menyempitkan pembuluh darah dan mengurangi jumlah hematoma
yang terbentuk. Jika memar tidak berhenti, kemungkinan ada arteri
yang mengalami pendarahan di dalam luka (Singh, 2021)

❖ Haematoma

(Singh, 2021)
• kumpulan darah di luar pembuluh darah
• Penyebab → cedera atau trauma pada pembuluh darah

• Perawatan
Jika tidak terkontrol, mungkin memerlukan eksplorasi bedah dan ligasi
pembuluh darah. (Singh, 2021)

II. Luka Terbuka (Open wound)

(Singh, 2021)
Ada robekan pada kulit, yang memperlihatkan struktur di bawahnya ke
lingkungan eksternal (Bonanthaya, 2021)
❖ Abrasion

(Singh, 2021)
• luka yang disebabkan oleh gesekan antara suatu benda dengan
permukaan jaringan lunak. Pendarahan biasanya kecil karena berasal
dari kapiler dan merespon dengan baik terhadap aplikasi tekanan lembut
(Singh, 2021)
• adalah hasil dari jenis trauma defleksi dan mengakibatkan hilangnya
lapisan epitel dan papiler kulit. Defek meninggalkan lapisan retikuler
yang kasar, berdarah, dan terbuka. Cedera semacam ini sangat
menyakitkan karena ujung saraf yang terbuka (Balaji, 2018)

• Perawatan
1. Bersihkan partikel kecil, kotoran dari lapisan kulit sesegera mungkin
untuk mencegah fiksasi di dalam jaringan dan pembentukan tato
traumatis
2. Anestesi lokal harus digunakan dan luka harus digosok bersih
dengan larutan sabun ringan, diikuti dengan irigasi berlebihan
dengan saline
3. Tutup dengan lapisan tipis salep antibiotik, seperti bacitracin, dan
dibalut dengan kasa kapas. Atau ditutup dengan kasa selulosa asetat
berlapis antibiotic (Fonseca, 2013)

❖ Laceration
• robekan pada jaringan epitel dan subepitel
• jenis cedera jaringan lunak yang paling umum dan sering disebabkan
oleh benda tajam seperti pisau. Dapat melibatkan pembuluh darah, otot
dan rongga dan struktur anatomi penting lainnya (Singh, 2021)
o Simple Lacerations → bersih, terkontaminasi, atau memar
(Balaji, 2018)
o Stellate Lacerations → laserasi tidak rata biasanya memiliki bagian
yang memar karena trauma tumpul

(Balaji, 2018)
o Flaplike Lacerations → laserasi seperti lipatan melibatkan
kerusakan signifikan pada jaringan lunak, biasanya pada jaringan
subkutan atau tingkat supraperiosteal, tanpa kehilangan jaringan
(Fonseca, 2013).
o Degloving laceration → gaya geser energi tinggi, di mana seluruh
tulang rahang terbuka (Balaji, 2018)

(Balaji, 2018)

• Perawatan
o Simpel lacerations
Debridement minimal (biasanya bersih). Laserasi yang
terkontaminasi dibersihkan → partikel asing dibersihkan → luka
ditutup
o Stellate lacerations → tepi yang tidak rata harus dipotong dengan
pisau bedah untuk memudahkan penutupan
o Flap-like kacerations
Debridement minimal → tepi luka dipangkas untuk penutupan →
pressure dressings membantu meminimalkan ruang mati dan
membatasi hematoma di bawah jaringan (Balaji, 2018)

❖ Avulsion

(Singh, 2021)
• hilangnya jaringan lunak, robekan paksa jaringan atau pemisahan atau
hilangnya struktur tubuh (Singh, 2021)
• hilangnya jaringan sepenuhnya, meninggalkan celah atau celah dalam
kontinuitas kulit (Balaji, 2018)

• Perawatan
o Area jaringan hilang kecil → penutupan primer tanpa ketegangan
pada tepi luka.
o Kehilangan jaringan yang nyata dan luka tidak dapat ditutup
bebas dari ketegangan → permukaan yang kasar harus ditutup
dengan skin graft, flap lokal, atau aposisi tepi kulit pada membran
mukosa. Luka pada wajah tidak boleh dibiarkan sembuh oleh
jaringan granulasi sekunder karena pembentukan bekas luka yang
berlebihan (Fonseca, 2013)

❖ Puncture wound (Luka tusuk/luka penetrasi)


• disebabkan oleh penetrasi langsung suatu benda melalui skin barrier
(Balaji, 2018)
• benda tajam seperti pisau, paku dan pemecah es
• biasanya dalam dan mungkin melibatkan struktur sekitarnya seperti
rongga mulut, hidung atau sinus maksilaris (Singh, 2021)

• Perawatan
o Debridement secara menyeluruh dan luka ditutup berlapis-lapis
o Terapi suportif
➢ Kontrol rasa sakit → Hindari analgetik kuat yang menekan
tingkat kesadaran dan pernafasan. Hindari morfin yang menekan
refleks batuk dan menyebabkan aspirasi. Jika sedasi diperlukan
(diazepam 5 atau 10 mg atau Pentazocine 15-30 mg)
➢ Profilaksi Tetanus → Tetanus toksoid untuk profilaksis terhadap
Clostridium tetani.
o Pengendalian infeksi
Antibiotik (kombinasi penisilin dan metronidazole) → biasanya
diberikan untuk patah tulang yang terkena air liur atau lingkungan
eksternal
➢ Pembalut bedah antibiotic → mencegah kontaminasi
➢ Drain → mengeluarkan nanah/eksudat. Dilepas setelah 48 jam
(Balaji, 2018)

❖ Amputation
Pengangkatan ekstremitas karena trauma, penyempitan berkepanjangan,
penyakit medis atau cedera. Dapat dilakukan sebagai tindakan pencegahan
(Singh, 2021)

❖ Gunshot/ballistic wound

(Singh, 2021)
• Terdiri dari tiga jenis: penetrasi, perforasi, dan avulsif.
• Luka yang disebabkan oleh partikel karbon menyerang jauh di bawah
dermis yang menyebabkan luka bakar dan edema
• Peluru berkecepatan tinggi biasanya menyebabkan luka kecil saat
masuk dan luka besar saat keluar ketika mengenai tulang atau gigi yang
menyebabkan fragmentasi struktur (Singh, 2021)

❖ Crush injury
cedera oleh benda yang menyebabkan kompresi tubuh dan biasanya terjadi
pada saat bencana alam. Merupakan hasil dari tubuh yang dihancurkan
oleh suatu benda (Singh, 2021)

❖ Animal bite/human bite


• berupa luka superfisial atau dalam dan selalu terkontaminasi (Singh,
2021)

• Perawatan
Pembersihan yang memadai → debridement konservatif dan observasi →
imunisasi (Singh, 2021)

❖ Burn/Luka bakar
disebabkan oleh kontak jaringan lunak wajah dengan api, uap, asam, alkali,
listrik, sinar matahari, sinar ultraviolet dan gas iritan (Singh, 2021)
Klasifikasi Trauma Jaringan Lunak

(Bonanthaya, 2021)

❖ Legal Classification
• Simple → cedera jaringan lunak tanpa banyak kehilangan jaringan dan dapat
ditangani secara konservatif. Sembuh cepat tanpa cacat permanen
• Grievous → cedera yang membahayakan nyawa dan menyebabkan cacat parah
atau cacat bentuk seperti kehilangan pendengaran permanen, kehilangan
penglihatan, dan cedera kepala parah. Sembuh perlahan dan tidak lengkap.
• Dangerous → cedera parah yang membahayakan nyawa segera setelah
tumbukan (Bonanthaya, 2021)

Perawatan Trauma Jaringan Lunak


1. Control of bleeding
• Tekanan lokal menggunakan tangan dan pressure dressings. Jika tekanan
lokal gagal untuk mencapai hemostasis, gunakan agen hemostatik local
• Anestesi lokal dengan adrenalin membantu mengendalikan rasa sakit serta
pendarahan melalui vasokonstriksi

2. Copious irrigation (irigasi berlebih)


Saline steril / Povidone iodine 10% / Cetrimide 15% dalam kombinasi dengan
klorheksidin glukonat 1,5% → untuk mengencerkan dan membersihkan
kontaminasi yang ada pada luka

3. Profilaksis antibiotik spektrum luas


luka yang sangat terkontaminasi dan luka gigitan dan dalampasien
immunocompromised

4. Vaksinasi tetanus
pada luka remuk, luka terkontaminasi, dan luka gigitan

(Miloro, 2011)

5. Eksisi luka (Debridemen luka)


menghilangkan semua jaringan nekrotik seperti otot, tendon, dan fasia yang rusak,
serta fragmen tulang kominutif yang telah kehilangan jaringan lunak penutup
periosteum dan tergantung di dalam luka, untuk membantu penyembuhan yang
lancar dan optimal. Tepi kulit yang memar tumpul juga dieksisi

6. Penutupan
• Penutupan primer luka harus diselesaikan dalam waktu 8 jam setelah cedera
bila memungkinkan → mengurangi risiko infeksi serta mengoptimalkan hasil
fungsional dan kosmetik
• Operasi revisi untuk meningkatkan estetika dan fungsi dilakukan setelah
minimal 9 bulan

7. Rekonstruksi
Dilakukan dalam kasus-kasus ekstensif cedera degloving. (Bonanthaya, 2021)
Trauma dentoalveolar
❖ cedera yang berhubungan dengan gigi atau struktur pendukung gigi (gingiva,
ligamen periodontal (PDL), tulang alveolar). Dapat muncul terpisah atau
berhubungan dengan fraktur lain (Singh, 2021)
❖ Umumnya terjadi pada populasi anak, remaja, dan dewasa. Setiap kelompok
memiliki etiologi spesifik yang berkaitan dengan usia, jenis kelamin, dan
demografi.
• Pediatrik → jatuh
• Anak-anak dan remaja → olahraga dan aktivitas bermain, pelecehan anak
• Dewasa → tabrakan kendaraan bermotor, olahraga, pertengkaran atau
penyerangan, kecelakaan industri, dan kecelakaan medis atau gigi iatrogenic
• Sebagian besar diakibatkan oleh kekerasan yang disengaja, dan para korban
utamanya adalah kelompok-kelompok yang kurang beruntung secara sosial
dan ekonomi dalam populasi minoritas
• Penyalahgunaan obat khususnya alkohol dan “street drugs” lebih besar secara
signifikan memiliki riwayat cedera orofasial.
• Seizure disorders, mental disorders, and congenital maxillofacial abnormalities
→ resiko metrauma dentoalveolar meningkat (Miloro, 2011)

I. Klasifikasi Andreasen/WHO
❖ Cedera Jaringan Keras Gigi dan Pulpa

(Fonseca, 2013)
• Crown Infraction
➢ fraktur mahkota pada enamel yang tidak lengkap tanpa kehilangan
substansi gigi
➢ Perawatan:
Biasanya tidak ada perawatan yang diindikasikan untuk fraktur
mahkota atau retakan pada lapisan email. Sealing multiple pada
infraction lines menggunakan unfilled resin dan acid etch technique
dapat mencegah noda

• Uncomplicated Crown Fracture


➢ fraktur mahkota terbatas pada enamel dan dentin tanpa
memperlihatkan pulpa
➢ Perawatan
✓ melibatkan email saja → menghaluskan tepi tajam atau restorasi
dengan etsa asam komposit
✓ dentin yang terpapar:
o menutup tubulus dentin dari iritasi mikroba untuk mencegah
masuknya bakteri
o mempromosikan deposisi dentin sekunder oleh jaringan
pulpa → memberi calcium hydroxide liner atau glass ionomer
cement (liner) diatas dentin yang terekspos dan direstorasi
dengan restorasi komposit

• Complicated Crown Fracture


➢ fraktur mahkota melibatkan enamel dan dentin dengan pulpa
terbuka
➢ Perawatan
tindakan diambil dengan cepat untuk mempertahankan vitalitas
jaringan neurovaskular karena biasanya terdapat perdarahan dari
pulpa yang terbuka. Gigi dengan pulpa terbuka memerlukan pulp
capping (24 jam setelah cedera), pulpotomi parsial, atau terapi
endodontik. Tujuan utamanya adalah untuk mengawetkan pulpa
vital yang tidak mengalami inflamasi
(Singh, 2021)

• Uncomplicated Crown-Root Fracture


➢ fraktur mahkota-akar melibatkan enamel, dentin, dan sementum
tanpa terbukanya pulpa
➢ Perawatan
✓ Pilihan perawatan tergantung pada jumlah akar yang tersisa.
Tujuan perawatan adalah untuk mempertahankan fragmen akar
yang tersisa untuk mendukung protesa pasak dan mahkota, yang
memerlukan prosedur periodontal tambahan
✓ Lokasi segmen yang retak menentukan jenis dan luas
pengobatan:
o Garis fraktur di atas atau sedikit di bawah margin serviks →
direstorasi, seperti fraktur mahkota
o Fraktur berlanjut terlalu apikal → ekstraksi gigi

• Complicated Crown-Root Fracture


➢ fraktur akar mahkota melibatkan enamel, dentin, dan sementum
dengan terbukanya pulpa
➢ Perawatan
Tingkat fraktur akar menentukan perawatan
✓ segmen koronal mencakup lebih dari sepertiga akar klinis atau
dalam kasus fraktur akar vertical → ekstraksi atau endodontik dan
direstorasi.
✓ fragmen koronal sepertiga atau kurang dari akar klinis dan garis
fraktur meluas di bawah tulang marginal → diperlukan akses yang
memadai
✓ gigi sudah matur dan pembentukan akar selesai → endodontik
✓ apeks terbuka → puplotomi

• Root Fracture
➢ fraktur akar melibatkan dentin, sementum, dan pulpa
➢ Perawatan
✓ Sulung
o tanpa mobilitas → dipertahankan dan harus terlepas secara
normal
o ada mobilitas atau dislokasi segmen koronal → harus dicabut
tanpa upaya untuk menghilangkan fragmen apikal, yang
mungkin dapat merusak gigi permanen
o Fraktur vertical → pencabutan
✓ Permanen
o Fraktur sepertiga apical → prognosis baik → minimal
pengobatan
o Fraktur sepertiga tengah akar → prognosis baik
o Fraktur dekat margin serviks dan mobilitas → baik fragmen
koronal dan apikal diekstraksi, atau hanya koronal yang
diekstraksi dan endodontik lengkap bagian apikal dan
restorasi dengan mahkota pasak dan inti
o Fraktur vertical → pencabutan
o Prinsip perawatan:
▪ pengurangan fragmen koronal yang bergeser dan
imobilisasi yang kuat
▪ harus dilakukan sesegera mungkin untuk memungkinkan
konsolidasi dan perbaikan yang optimal
▪ Fiksasi yang stabil pada gigi → dengan acid etch resin
splint selama 2-3 bulan (Fonseca, 2013)
(Singh, 2021)

❖ Cedera Jaringan Periodontal

(Fonseca, 2013)
• Concussion
➢ cedera pada struktur pendukung gigi tanpa kelonggaran atau
perpindahan gigi yang abnormal tetapi dengan reaksi yang nyata
terhadap perkusi.
➢ Perawatan
✓ Tidak ada perawatan yang direkomendasikan
✓ occlusal grinding → mengurangi kekuatan pengunyahan yang
berlebihan

• Subluxation (Loosening)
➢ cedera pada struktur pendukung gigi dengan kelonggaran abnormal
tetapi tanpa perpindahan gigi.
➢ Perawatan
Perawatan simtomatik → diet lunak atau tanpa mengunyah dan, jika
perlu, occlusal adjustments untuk menghilangkan efek traumatis
oklusi. Kadang, splinting nonrigid pada gigi yang berdekatan selama
7-10 hari

• Intrusive Luxation (Central Dislocation)


➢ perpindahan gigi ke dalam tulang alveolar dengan kominusi atau
fraktur soket alveolar.
➢ Perawatan:
✓ Gigi dapat dibiarkan erupsi kembali jika gigi tersebut belum
matang
✓ Reposisi gigi ke tempat yang tepat di lengkung
✓ Splint ke gigi yang berdekatan.
✓ Reposisi ortodontik kekuatan rendah pada gigi immature dan
matur selama 3-4 minggu untuk memungkinkan remodeling
tulang dan serat periodontal, terapi endodontik dilakukan 2-3
minggu untuk menghentikan nekrosis pulpa dan resorpsi akar
eksternal

• Extrusive Luxation (Peripheral Dislocation, Partial


Avulsion)
➢ perpindahan sebagian gigi keluar dari soket alveolar.
➢ Perawatan
✓ Dilakukan sesegera mungkin dalam beberapa jam pertama
setelah cedera (tidak lebih dari 33jam)
✓ Splint menggunakan monofilament nylon atau thin (28-gauge)
Wire selama 1-2 minggu
• Lateral Luxation
➢ perpindahan gigi ke arah selain aksial, disertai dengan kominusi atau
fraktur soket alveolar.
➢ Perawatan
Manipulasi (digital) ke posisi yang tepat, dengan kompresi bersamaan
pada pelat tulang labial dan palatal, dan splint ke gigi stabil yang
berdekatan selama 2-8 minggu

• Retained Root Fracture


➢ fraktur dengan retensi segmen akar tetapi hilangnya segmen
mahkota keluar dari soket.

• Exarticulation (Complete Avulsion)


➢ perpindahan total gigi keluar dari soket alveolar
➢ Perawatan
Reimplantasi gigi setelah avulsi traumatis → untuk mempertahankan
viabilitas sel-sel pulpa dan ligamen periodontal → idealnya 20 menit
setelah cedera (Fonseca, 2013)
(Singh, 2021)

❖ Cedera Tulang Pendukung

(Fonseca, 2013)

• Comminution of the Alveolar Socket/Pecahnya


Soket Alveolar
➢ Crushing dan kominusi soket alveolar dapat terjadi bersamaan
dengan luksasi intrusif dan lateral
➢ Perawatan
umumnya dikurangi dengan manipulasi digital dan cedera luksasi
diobati

• Fracture of the Alveolar Socket Wall


➢ terbatas pada dinding soket fasial atau lingual.
➢ Perawatan
✓ Reduksi fraktur → tekanan digital simultan dari aspek koronal
mahkota dan apeks di sepanjang lokasi fraktur.
✓ Oklusi diperiksa dan gigi yang terlibat dicabut dari kekuatan
oklusi traumatis.
✓ Laserasi jaringan lunak harus dijahit dan gigi yang terlibat harus
rigid splint selama 4 minggu untuk memungkinkan
penyembuhan tulang.

• Fracture of the Alveolar Process


➢ fraktur prosesus alveolar dapat melibatkan soket alveolar atau tidak.
➢ Perawatan
Reduksi tertutup alveolar fraktur (digital manipulation) dan
imobilisasi segmen yang terlibat dan stabilisasi (rigid acid etch resin
splint atau lingual splint) selama 4 minggu untuk memungkinkan
penyembuhan tulang

• Fractures of the Mandible or Maxilla


melibatkan dasar mandibula atau maksila, dan seringkali prosesus
alveolaris, mungkin melibatkan soket alveolar atau tidak (Fonseca, 2013)

(Singh, 2021)

❖ Cedera Gingiva atau Mukosa Oral


• Laserasi Gingiva atau Mukosa Mulut
Luka dangkal atau dalam pada mukosa terjadi akibat robekan dan
biasanya diakibatkan oleh benda tajam.
• Kontusio Gingiva atau Mukosa
Memar biasanya diakibatkan oleh benturan benda tumpul dan
mengakibatkan perdarahan submukosa tanpa kerusakan pada mukosa.

• Abrasi Gingiva atau Mukosa Mulut


Luka superfisial yang dihasilkan oleh gesekan atau gesekan mukosa,
meninggalkan permukaan yang kasar dan berdarah, merupakan abrasi
pada gingiva atau mukosa mulut (Fonseca, 2013)

II. Klasifikasi Ellis and Davey (1960)


❖ Kelas 1 → Fraktur email dengan keterlibatan sedikit atau tanpa dentin

(Balaji, 2018)

❖ Kelas 2 → Fraktur email dan dentin, tetapi tidak mengenai pulpa

(Balaji, 2018)

❖ Kelas 3 → Fraktur email dan dentin dengan keterlibatan pulpa

(Balaji, 2018)

❖ Kelas 4 → Gigi non vital dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota
(Balaji, 2018)

❖ Kelas 5 → Kehilangan gigi karena trauma

(Balaji, 2018)

❖ Kelas 6 → Fraktur akar dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota

(Balaji, 2018)

❖ Kelas 7 → Pergeseran gigi tanpa fraktur mahkota atau akar

(Balaji, 2018)

❖ Kelas 8 → Fraktur mahkota en masse (secara massal)


(Balaji, 2018)

❖ Kelas 9 → Cedera pada gigi sulung (Singh, 2021)

(Balaji, 2018)
Fraktur Rahang
Fraktur didefinisikan sebagai “Pelanggaran kontinuitas tulang.” (Bonanthaya, 2021)

I. Fraktur Maksila
❖ Definisi
hilangnya kontinuitas dari tulang maksila

❖ Etiologi
➢ Kecelakaan kendaraan bermotor → penyebab paling umum.
➢ Cedera tumpul karena serangan (Balaji, 2018)
➢ Pola fraktur Le Fort tipe II → dari kekuatan yang diberikan pada tingkat
hidung tulang, mengakibatkan mobilitas wajah tengah melalui orbit dan
daerah midfacial
➢ Pola fraktur Le Fort tipe III → dari gaya yang diarahkan pada tingkat
orbital, menghasilkan disfungsi kraniofasial atau pemisahan seluruh
sepertiga tengah kerangka craniomaxillofacial dari dasar tengkorak
(Fonseca, 2013)

❖ Klasifikasi Le Fort (Rene Le Fort, 1901)

(Singh, 2021)

(Balaji, 2018)
(Bonanthaya, 2021)

• Le Fort I (Low level or guerin fractures/floating


maxilla)

(Bonanthaya, 2021)
➢ Fraktur terjadi pada tingkat aperture piriformis dan melibatkan
anterior dan dinding lateral sinus maksilaris, dinding lateral hidung
dan, menurut definisi, pelat pterigoid
➢ Etiologi → gaya horizontal tepat di atas apeks gigi rahang atas.
Fraktur Le Fort I, menghasilkan floating palate.
➢ Gejala:
✓ Pembengkakan pada bibir atas dan pipi
✓ Ekimosis di sulkus bukal rahang atas akibat robekan jaringan
lunak atau robekan periosteal
✓ Hidung tersumbat → Robekan mukosa pada sinus
maksilaris/ethmoid dapat menyebabkan perdarahan yang
menyebabkan sumbatan hidung sehingga pernapasan oral
✓ Tanda-tanda mata atau okular biasanya tidak ada.
✓ Tanda Guerin → Ekimosis pada palatum di daerah foramen
palatina mayor bilateral
✓ Oklusi → Fraktur LeFort I inkomplit yang tidak tergeser biasanya
tidak menyebabkan gangguan oklusal. Tetapi fraktur Le Fort I
lengkap secara klasik menunjukkan berbagai derajat gigitan
terbuka anterior. Ini berasal dari distraksi ke belakang dan ke
bawah maksila posterior akibat traksi inferior otot pterigoid
medial menuju fragmen maksila yang bergerak. Sumbatan oklusi
posterior ini merupakan ancaman potensial terhadap jalan napas
✓ Fraktur gigi → Akibat impaksi gigi mandibula terhadap rekan
rahang atas, kerusakan pada puncak gigi rahang atas individu
dapat dilihat
✓ Fraktur palatal → Biasanya perpecahan palatum tengah
berhubungan dengan Le Fort I yang terlihat sebagai robekan
mukosa linier pada palatum tengah. Gigi dan rahang atas akan
bergerak, tetapi hidung dan wajah bagian atas akan tetap.
✓ Suara pecah-pecah → Perkusi gigi rahang atas menghasilkan
'suara retak-retak' yang khas
✓ Floating maxilla: Mobilitas segmen dentulous maxilla
✓ Palpasi → nyeri tekan dan deformitas step di sepanjang apertura
piriformis, sulkus bukal, dan daerah tuberositas (Balaji, 2018)
➢ Penatalaksanaan

(Fonseca, 2013)
✓ ORIF dengan restorasi kontur wajah → metode pengobatan yang
disukai.
✓ MMF juga merupakan metode pengobatan yang dapat diterima,
meskipun kurang optimal. Masa pengobatan kurang lebih 6
minggu, tergantung pada tingkat kominusi.
✓ Sayatan reduksi terbuka di vestibulum bukal dengan cara
sirkumvestibular, dari premolar pertama ke premolar pertama di
sisi yang berlawanan.
✓ Pedikel bukal lebar dari sayatan berbentuk U dipertahankan
untuk pemeliharaan suplai vaskular. Memungkinkan visualisasi
dinding antral lateral dan penopang zygomatic. Lalu jika
diperlukan, A Rowe atau Hayton-Williams forsep digunakan
untuk menyelesaikan reduksi
✓ Fiksasi pelat dan sekrup untuk perbaikan fraktur
kraniomaksilofasial dari MMF jangka panjang wajib dan suspensi
kraniofasial menjadi stabilisasi kaku. Stabilisasi kaku
memberikan kesempatan untuk penyembuhan tulang primer dan
memungkinkan fungsi dan nutrisi yang dioptimalkan (Fonseca,
2013)

• Le Fort II (Fraktur piramida)

(Bonanthaya, 2021)
➢ disebut sebagai fraktur pyramidal (puncak piramida adalah jahitan
nasofrontal). Pola fraktur ini melibatkan jahitan nasofrontal, tulang
hidung dan lakrimal, tepi infraorbital di daerah zygomaticomaxillary
jahitan, rahang atas, dan pelat pterygoid
➢ Etiologi → hasil dari kekuatan yang diberikan pada tingkat hidung
tulang, mengakibatkan mobilitas wajah tengah melalui orbit dan
daerah midfacial (Fonseca, 2013)
➢ Gejala
✓ Pembengkakan → Edema besar pada sepertiga tengah wajah
memberikan gambaran 'fasies bulan' pada pasien
✓ Emfisema subkutan kadang terlihat dengan adanya krepitasi saat
palpasi. Hal ini disebabkan komunikasi langsung antara rongga
sinus dan jaringan lunak wajah.
✓ Telecanthus → Biasanya pembengkakan di atas jembatan hidung
dapat memberikan ilusi telecanthus (pseudotelecanthus) dan
telecanthus sejati bila dikaitkan dengan fraktur naso-orbito-
ethmoid.
✓ Epistaksis, epifora sering terjadi terutama pada fraktur tergeser
rahang atas yang melibatkan atau mengenai kantung lakrimal
atau duktus nasolakrimalis
✓ Edema sirkumorbita atau periorbital bilateral, ekimosis yang
tampak seperti ‘raccoon eyes’ terlihat pada fraktur Le Fort II dan
Le Fort III
✓ Perdarahan subkonjungtiva berkembang dengan cepat dan
terbatas pada aspek medial bola mata meskipun tidak selalu.
Faktor pembedanya adalah perdarahan subkonjungtiva pada
fraktur rahang atas Le Fort II, yang batas posteriornya dibatasi
secara lateral; sedangkan demarkasi ini hilang pada fraktur
kompleks zygomaticomaxillary Le Fort III.
✓ Kemosis atau edema konjungtiva sering ditemukan.
✓ Rhinorrhea CSF mungkin ada tetapi tidak selalu seperti pada
fraktur Le Fort III.
✓ Enophthalmos → keterbatasan mobilitas okular dari jebakan otot
dan diplopia mungkin ada karena garis fraktur melibatkan
dinding medial dan dasar medial orbit.
✓ Anestesi atau parestesia pipi akibat cedera nervus infraorbitalis
akibat fraktur rim orbitalis inferior.
✓ Deformitas step pada tepi infraorbital atau nasofrontal junction
terlihat. Zygoma dan arkus utuh, tidak ada kehilangan
penonjolan malar kecuali jika berhubungan dengan fraktur
kompleks zygomaticomaxillary.
✓ Ekimosis atau hematoma terlihat pada sulkus bukal yang
berlawanan dengan gigi molar pertama dan kedua rahang atas
akibat fraktur pada penyangga zigomatikus atau pada langit-
langit yang berhubungan dengan kerusakan arteri palatina yang
lebih besar
✓ Kadang perdarahan hidung atau faring yang masif yang
menyebabkan obstruksi jalan napas bagian atas. Pengepakan
hidung atau cara intervensi bedah lainnya dilakukan segera.
✓ Split garis tengah atau paramedian palatum sering terjadi pada
Le Fort II yang terlihat sebagai robekan mukosa dengan
hubungan oronasal
✓ Retroposisi seluruh maksila dan sumbatan pada oklusi terlihat
menyebabkan open bite anterior. Maloklusi kelas III dapat terlihat
pada gaya anterior yang berdampak pada maksila yang
menyebabkan deformitas dish face. Pemanjangan wajah terjadi
karena pemisahan sepertiga tengah dari dasar tengkorak
✓ Ketika alveolus maksila terjepit di anterior, kerangka midfasial
bergerak seperti piramida dan gerakan tersebut dapat dideteksi
pada margin infraorbital dan jembatan hidung.
✓ Palpasi vestibulum menunjukkan nyeri tekan dengan deformitas
step pada regio penopang zygomaticomaxillary (Balaji, 2018)
➢ Penatalaksanaan
✓ ORIF
✓ Insisi infraorbital
✓ Insisi subcirliary atau lower blepharoplasty
✓ Subtarsal atau mid-lower lid incision
✓ Transcojunctival incision (Fonseca, 2013)

• Le Fort III (fraktur suprazigomatik atau disjungsi


kraniofasial)

(Bonanthaya, 2021)
➢ Karena sifat kompleks dari cedera wajah bagian tengah, klasifikasi
seringkali sulit; patah tulang diklasifikasikan sebagai Le Fort III
mungkin sebenarnya kombinasi dari Le Fort I dan II dan fraktur
kompleks zygomatic. Namun, Fraktur Le Fort III murni menyumbang
sekitar 9% dari fraktur midfacial.
➢ Etiologi → gaya yang diarahkan pada tingkat orbital, menghasilkan
disjungsi kraniofasial atau pemisahan seluruh sepertiga tengah
kerangka craniomaxillofacial dari dasar tengkorak (Fonseca, 2013)
➢ Gejala
Semua temuan klinis Le Fort II, dan:
✓ Karakteristik raccoon eyes, deformitas 'dish face/wajah piring'
(profil cekung) dengan pemanjangan wajah
✓ 'Hooding of eyes/Tudung mata' dapat terlihat karena pemisahan
jahitan frontozygomatic yang menyebabkan hilangnya dukungan
pada ligamen suspensorium Lockwood dan semua perlekatan
pada tuberkulum Whitnall
✓ Enophthalmos, hipoglobus, diplopia dengan perubahan posisi
canthal (miring).
✓ Perdarahan subkonjungtiva yang melibatkan seluruh mata tanpa
terlihat batas posterior.
✓ Deformitas saddle nose biasanya berhubungan dengan fraktur
naso-orbito-etmoid.
✓ Rhinorrhea CSF.
✓ Otore CSF pada fraktur dasar tengkorak yang terkait.
✓ Hilangnya proyeksi wajah lateral akibat fraktur arkus
zigomatikus.
✓ Penurunan pembukaan mulut akibat zigoma yang mengenai
prosesus koronoideus dan sumbatan gigi posterior yang parah
akibat distraksi inferior midface dari tarikan otot (pterigoid
medial/lateral, masseter).
✓ Oklusi terganggu → gigitan terbuka anterior yang parah,
maloklusi kelas III, umumnya terkait dengan fraktur gigi atau
dentoalveolar. Ketika perpindahan lateral telah terjadi, bidang
oklusal miring dan terlihat tersedak pada satu sisi.
✓ Perdarahan hidung posterior atau perdarahan faring akibat
robekan nasofaring biasanya memerlukan intervensi untuk
menghentikan perdarahan.
✓ Mobilitas seluruh kerangka wajah bagian tengah sebagai satu
kesatuan mobilitas rahang atas dengan mobilitas simultan yang
dirasakan pada kedua daerah frontozigomatik dan jembatan
hidung.
✓ Nyeri tekan dan deformitas step akan teraba pada tepi orbital
lateral bilateral, deformitas lengkung zygomatic dan jembatan
hidung (Balaji, 2018)
➢ Penatalaksanaan

(Fonseca, 2013)
✓ Prinsip umum→ pengobatan dimulai setelah edema dari
serangan awal sudah mulai mereda tapi jangan ditunda lagi
dari 10-14 hari.
✓ Perbaikan dimulai dengan fiksasi kaku pada fraktur
mandibula. Di kasus fraktur kondilus mandibula bilateral,
pada setidaknya satu kondilus (idealnya keduanya) harus
dirawat dengan ORIF.
✓ Setelah itu tercapai, rahang atas dapat mengasumsikan
memperbaiki posisi superior dan lokasi anteroposterior.
✓ Kerangka luar yang stabil dari midface telah terbentuk dengan
reduksi dan fiksasi zygomaticofrontal, zygomaticotemporal,
dan jahitan nasofrontal dan reduksi yang tepat dari rahang
atas ke bagian tengah wajah secara inferior. Pada gilirannya,
oklusi yang tepat harus ditetapkan (Fonseca, 2013)

(Bonanthaya, 2021)
II. Fraktur Mandibula
❖ Definisi
putusnya kontinuitas tulang mandibular

❖ Etiologi
➢ kecelakaan kendaraan bermotor (MVA)
➢ kekerasan interpersonal (IPV)
➢ jatuh
➢ cedera terkait olahraga (Fonseca, 2013)

❖ Gejala
➢ Perubahan oklusi: apakah ada perubahan gigitan.
✓ Kontak gigi posterior premature/ anterior open bite
✓ Posterior open bite
✓ Oklusi retrognatik
➢ Anesthesia, paresthesia, dysesthesia bibir bawah
➢ Pergerakan abnormal mandibular
➢ Perubahan kontur fasial dan bentuk lengkung mandibula
➢ Laserasi, hematoma, ecchymosis
➢ Kehilangan gigi dan krepitasi pada palpasi
➢ Dolor, tumor, rubor, dan color (Fonseca, 2013)

❖ Klasifikasi
• FLOSID
Shetty et al menggabungkan enam kriteria cedera yang signifikan untuk
membuat akronim FLOSID, yang pada dasarnya untuk kemudahan
penilaian dan karakteristik fraktur yang ditentukan. Mereka menilai
fraktur mandibula menggunakan taksonomi yang dijelaskan dan
menambahkan faktor bobot untuk keparahan (skor keparahan cedera
mandibula):
1. Fracture type (F)
a. Incomplete
b. Simple
c. Comminuted
d. Bone defect
2. Location of fracture (L)
a. Left from midline (L1) to condylar head (L8)
b. Right from midline (R1) to condylar head (R8)
3. Nature of occlusion (O)
a. Normal
b. Malocclusion
c. Edentulous
4. Extent of soft tissue damage (S)
a. Closed
b. Open intraorally
c. Open extraorally
d. Open intra and extraorally
e. Soft tissue defect
5. Presence of infection (I)
a. Yes
b. No
6. Radiographic analysis of interfragmentary displacement (D)
a. Mild
b. Moderate
c. Severe (Fonseca, 2013)
• Berdasarkan Perpindahan Fragmen Fraktur karena
Tarikan Otot

(Fonseca, 2013)
➢ Aspek superior
✓ Vertically favorable → garis fraktur melewati dari pelat kortikal
bukal ke pelat kortikal lingual dengan ujung bukal terletak mesial
dan ujung lingual dari garis terletak distal.
✓ Vertically unfavorable → fraktur melewati bukolingual dengan
ujung bukal terletak di mesial
➢ Aspek bukal
✓ Horizontally favorable → Garis fraktur berjalan superoinferior
dengan ujung superiornya terletak di posterior dari ujung
inferiornya
✓ Horizontally unfavorable → Garis fraktur berjalan superoinferior
dengan ujung superiornya terletak di anterior dan ujung
inferiornya terletak di posterior (Bonanthaya, 2021)

❖ Perawatan
Terbagi dalam preoperative, operative, dan postoperative (Fonseca, 2013)
➢ Status fisik umum pasien harus dievaluasi dan dipantau secara hati-hati
sebelum mempertimbangkan perawatan fraktur mandibula
➢ Diagnosis dan pengobatan fraktur mandibula harus didekati secara
metodis, bukan dengan mentalitas tipe darurat
➢ Cedera gigi harus dievaluasi dan dirawat bersamaan dengan perawatan
fraktur mandibula.
➢ Pembentukan kembali oklusi adalah tujuan utama dalam pengobatan
fraktur mandibula.
➢ Dengan beberapa fraktur wajah, fraktur mandibula harus dirawat dulu
➢ Waktu fiksasi intermaxillary harus bervariasi sesuai dengan: jenis,
lokasi, jumlah, dan tingkat keparahan fraktur mandibula, usia dan
kesehatan pasien, dan metode yang digunakan untuk reduksi dan
imobilisasi.
➢ Antibiotik profilaksis harus digunakan untuk senyawa patah tulang
➢ Kebutuhan nutrisi harus dipantau secara ketat pasca operasi
➢ Fraktur mandibula dapat diobati dengan cara closed reduction (Fonseca,
2013)

III. Prinsip Perawatan Fraktur


❖ Reduction
➢ Closed technique
mengacu pada pengurangan segmen fraktur ke posisi anatomis dan
fungsional sebelumnya dengan manipulasi tanpa visualisasi langsung
dari fraktur. Reduksi tertutup sering diikuti dengan fiksasi tertutup.
Penyembuhan tulang terjadi secara sekunder dengan pembentukan
kalus.
➢ Open technique
intervensi bedah untuk pengurangan segmen yang retak. Penyembuhan
terjadi dengan tidak ada pembentukan kalus selama penyembuhan.
Biasanya diikuti dengan fiksasi langsung fragmen fraktur dengan
fiksator internal.

❖ Fixation
fiksasi fragmen fraktur yang tereduksi pada posisi yang diinginkan
➢ Indirect fixation (Closed Reduction)
✓ Intermaxillary fixation or maxillomandibular fixation (IMF or MMF).
✓ Craniomaxillary or craniomandibular suspension
✓ External fixation.
✓ Bone Clamps
✓ Kirshner wires
✓ Haloframes
✓ Plaster of Paris head cap
✓ Box frame
➢ Direct fixation (internal fixation)
metode bedah fiksasi segmen fraktur dengan visualisasi langsung
menggunakan perangkat keras seperti kawat baja tahan karat atau pelat
dan sekrup dengan bantalan beban atau pembagian beban osteosintesis
tergantung pada tingkat atau tingkat keparahan fraktur.
✓ Semirigid fixation
mengacu pada fiksasi fragmen fraktur dengan kawat atau pelat mini
nonkompresi yang memberikan beberapa derajat kekakuan
meskipun tidak cukup untuk tulang rahang untuk mulai menahan
gaya pengunyahan. Biasanya membutuhkan MMF suportif untuk
immobilisasi
• Transosseous wiring
• Noncompression miniplates
✓ Rigid fixation tanpa IMF (melalui lempeng tulang)
metode langsung fiksasi fraktur di mana perangkat keras atau implan
yang digunakan untuk fiksasi memberikan kekakuan yang cukup
bagi tulang rahang untuk menahan tekanan pengunyahan. Biasanya
fiksasi kaku menghindari kebutuhan imobilisasi dengan MMF atau
cara lain. Teknik ini tidak memungkinkan micromotion segmen
fraktur selama fungsi normal.
• Compression plates
• Lag screws
• Reconstruction plate

❖ Immobilisation
❖ Early return of function (Balaji, 2018)

IV. Proses penyembuhan fraktur tulang


rahang (Penyembuhan Sekunder)
❖ Pembentukan hematoma
➢ Hari 1-5
➢ Tahap ini dimulai segera setelah fraktur.
➢ Pembuluh darah yang mensuplai tulang dan periosteum pecah selama
fraktur, menyebabkan hematoma terbentuk di sekitar lokasi fraktur.
Hematoma menggumpal dan membentuk kerangka sementara untuk
penyembuhan selanjutnya. Cedera pada tulang menghasilkan sekresi
sitokin pro-inflamasi seperti tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), Bone
mophogenetic proteins (BMPs), dan interleukin (IL-1, IL-6, IL-11, IL-23).
Sitokin ini bertindak untuk merangsang biologi seluler penting di situs,
menarik makrofag, monosit, dan limfosit. Sel-sel ini bertindak bersama-
sama untuk menghilangkan jaringan nekrotik yang rusak dan
mengeluarkan sitokin seperti faktor pertumbuhan endotel vaskular atau
vascular endothelial growth factor (VEGF) untuk merangsang
penyembuhan di tempat tersebut.

❖ Pembentukan kalus fibrokartilaginosa


➢ Hari ke 5-11
➢ Pelepasan VEGF menyebabkan angiogenesis di lokasi tersebut, dan di
dalam hematoma, jaringan granulasi yang kaya akan fibrin mulai
berkembang. Sel punca mesenkim lebih lanjut direkrut ke area tersebut
dan mulai berdiferensiasi (didorong oleh BMP) menjadi fibroblas,
kondroblas, dan osteoblas. Akibatnya, kondrogenesis mulai terjadi,
meletakkan jaringan fibrokartilaginosa kaya kolagen yang membentang
di ujung fraktur, dengan lengan tulang rawan hialin di sekitarnya. Pada
saat yang sama, berdekatan dengan lapisan periosteal, lapisan anyaman
tulang diletakkan oleh sel-sel osteoprogenitor.

❖ Pembentukan kalus bertulang


➢ Hari ke 11-28
➢ Kalus tulang rawan mulai mengalami osifikasi endokondral. RANK-L
diekspresikan, merangsang diferensiasi lebih lanjut dari kondroblas,
kondroklas, osteoblas, dan osteoklas. Akibatnya, kalus tulang rawan
diserap dan mulai mengapur. Secara subperiosteal, anyaman tulang
terus diletakkan. Pembuluh darah yang baru terbentuk terus
berproliferasi, memungkinkan migrasi sel punca mesenkim lebih lanjut.
Pada akhir fase ini, kalus yang keras dan terkalsifikasi dari tulang yang
belum matang terbentuk.

❖ Remodeling tulang
➢ Hari ke 18 dan seterusnya
➢ Berlangsung berbulan-bulan hingga bertahun-tahun
➢ Dengan berlanjutnya migrasi osteoblas dan osteoklas, kalus keras
mengalami remodeling berulang ('remodeling berpasangan.')
'Remodelling berpasangan' ini adalah keseimbangan resorpsi oleh
osteoklas dan pembentukan tulang baru oleh osteoblas. Bagian tengah
kalus akhirnya digantikan oleh tulang kompak, sedangkan tepi kalus
digantikan oleh tulang pipih. Remodeling substansial dari pembuluh
darah terjadi bersamaan dengan perubahan ini. Proses remodeling
tulang berlangsung selama berbulan-bulan, yang pada akhirnya
menghasilkan regenerasi struktur tulang yang normal.
➢ Osifikasi endokondral, proses konversi tulang rawan menjadi tulang.
Seperti dijelaskan di atas, ini terjadi selama pembentukan kalus tulang,
di mana kalus tulang rawan yang kaya kolagen yang baru terbentuk
digantikan oleh tulang yang belum matang. Proses ini juga merupakan
kunci pembentukan tulang panjang pada janin, di mana kerangka tulang
menggantikan model tulang rawan hialin. Jenis pengerasan kedua juga
terjadi pada janin; ini adalah osifikasi intramembran; ini adalah proses
di mana jaringan mesenkim (jaringan ikat primitif) diubah langsung
menjadi tulang, tanpa perantara tulang rawan. Proses ini terjadi di
tulang pipih tengkorak (Sheen, 2022)

V. Komplikasi pasca perawatan fraktur


tulang rahang
❖ Malunion
fraktur sembuh pada saatnya, tetapi terdapat deformitas (perubahan bentuk
tulang) yang dapat berbentuk varus, angulasi, pemendekan, dan
penyilangan.

❖ Delayed union
kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan
tulang untuk sembuh atau tersambung dengan baik. Ini disebabkan karena
penurunan suplai darah ke tulang. Delayed union adalah yang tidak dapat
sembuh setelah selang waktu 3-5 bulan.

❖ Nonunion
fraktur tidak sembuh dalam waktu antara 6-8 bulan dan tidak terjadi
konsolidasi sehingga dapat terjadi pseudoartrosis (sendi palsu). Dapat juga
terjadi bersama-sama infeksi yang disebut infected pseudoarthosis.

❖ Infeksi
✓ Biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka tetapi dapat terjadi juga
pada penggunaan bahan lain dalam pembedahan, seperti pin (ORIF dan
OREF) dan plat yang tepasang didalam tulang. Sehingga pada kasus
fraktur resiko infeksi yang terjadi lebih besar baik karena penggunaan
alat bantu maupun prosedur invasif.
✓ Osteomyelitis nantinya dapat menyebabkan komplikasi yang lain (Helmi,
2012)
Daftar Pustaka
• Balaji, S.M. & Balaji, P.P. 2018. Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery 3rd
Edition. Elsevier.
• Hupp, J.R., Ellis, E., & Tucker, M.R. 2019. Contemporary Oral and Maxillofacial
Surgery 7th Edition. Elsevier.
• Singh, A.K. & Sharma, N.K. 2021. Maxillofacial Trauma A Clinical Guide.
Springer (https://doi.org/10.1007/978-981-33-6338-0).
• Bonanthaya, K., Panneerselvam, E., Manuel, S., Kumar, Vinay V. Rai, A. 2021.
Oral and Maxillofacial Surgery for the Clinician. Springer.
• Hupp, J.R., Ellis, E., & Tucker, M.R. 2019. Contemporary Oral and Maxillofacial
Surgery 7th Edition. Elsevier.
• Fonseca, Raymond J., Walker, Robert V., Barber, H. Dexter, Powers, Michael P.,
Frost, David, E. 2013. Oral and Maxillofacial Trauma Fourth Edition. Elsevie
• Miloro, M., Ghali, G.E., Larsen, P. & Waite, P. 2011. Peterson's Principles of Oral
and Maxillofacial Surgery 3rd Edition. People’s Medical Publishing.
• Helmi, Zairin N. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba
medika. Sjamsuhidajat & de jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC.
• Sheen, Jonathon R., dan Garla, Vishnu V. 2022. Fracture Healing Overview.
StatPearls Publishing LLC.

Anda mungkin juga menyukai