Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

“AHLU SUNNAH WAL JAMA'AH”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Ahmad Muzakkil Anam. M.Pd. I

Disusun oleh :

1. Alif Malino ( 203121086 )


2. Annisa Nur Khomsah ( 203121087 )
3. Hanna Khairul Mustasyarah ( 203121100 )

Kelas 1c
Pendidikan Bahasa Arab
Fakultas Ilmu Tarbiyah
Institut Agama Islam Negeri Surakarta
2020

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang masih memberikan
kita kesehatan, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini dengan judul
“Ahlusunnah (Salaf dan Khalaf)”.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Kalam. Dalam
makalah ini mengulas tentang Ahlusunnah (Salaf dan Khalaf), Sejarah perkembangan aliran baik
Ahlusunnah salaf maupun khalaf, tokoh-tokoh, serta ajaran pokok aliran Ahlusunnah Salaf
ataupun Khalaf.

Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam menyusun makalah ini. Penulis juga berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.

Dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan dari
para pembaca guna untuk meningkatkan dan memperbaiki pembuatan makalah pada tugas yang
lain dan pada waktu mendatang.

Surakarta, 01 Desember 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................................

1.1.Latar Belakang ..............................................................................................................

1.2Rumusan masalah ..........................................................................................................

1.3.Tujuan Penulis................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Ahlusunnah Salaf

2.1.Perkembangan Sejarah Aliran Ahlusunnah Salaf..........................................................

2.2. Tokoh-Tokoh Aliran Ahlusunnah Salaf......................................................................

a) Ibn Taimiyah..........................................................................................................
b) Imam Ahmad bin Hanbal.......................................................................................11

2.3.Ajaran Pokok Aliran Ahlusunnah Salaf.....................................................................11

B. Ahlusunnah Khalaf

2.4. Perkembangan Sejarah Aliran Ahlusunnah khalaf ....................................................12

2.5. Pemikir Aliran Ahlusunnah Khalaf............................................................................12

a) Al-Asy’ari.............................................................................................................12

b) Al-Maturidi ...........................................................................................................

2.6. Perkembangan dan Tokoh Aliran Ahlusunnah Khalaf..............................................

3
a) Perkembangan Al-Asy’ari .....................................................................................
b) Tokoh-Tokoh Al-Asy’ariyah.................................................................................
c) Perkembangan Al-Maturidiyah..............................................................................
d) Tokoh-Tokoh Al-Maturidiyah...............................................................................

2.7. Ajaran Pokok Aliran Ahlusunnah Khalaf.................................................................

a) Doktrin Al-Asy’ariyah.............................................................................................

b) Doktrin Al-Maturidiyah...........................................................................................

2.8 Dalil Landasan Masing-Masing ................................................................................

a) Landasan Al-Asy’ariyah.........................................................................................

b) Landasan Al-Maturidiyah.......................................................................................

BAB III PENUTUP

3.1.Kesimpulan..................................................................................................................

3.2.Saran.............................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1............................................................................................................LATAR BELAKANG

Pada masa Rasulullah SAW. masih hidup, istilah Aswaja sudah pernah ada tetapi tidak
menunjuk pada kelompok tertentu atau aliran tertentu. Yang dimaksud dengan Ahlus sunnah wal
Jama‟ah adalah orang-orang Islam secara keseluruhan.Ada sebuah hadits yang mungkin perlu
dikutipkan telebih dahulu, RasulullahSAW bersabda yang artinya: “Sesungguhnya bani Israil
akan terpecah menjadi 70 golongan dan ummatku terpecah menjadi 73 golongan dan semuanya
masuk neraka kecuali satugolongan. Para Shohabat bertanya : Siapa yang satu golongan itu?
Rasulullah SAW. menjawab : yaitu golongan dimana Aku dan Shahabatku berada.”.

Ahlus sunnah wal jama’ah adalah suatu golongan yang menganut syariat islam yang
berdasarkan pada al qur`an dan al hadis dan beri`tikad apabila tidak ada dasar hukum pada
alqur`an dan hadis, Inilah kemudian kita sampai pada pengertian Aswaja. Pertama kalau kita
melihat ijtihadnya para ulama-ulama merasionalkan dan memecahkan masalah jika didalam
alqur`an dan hadis tidak menerangkanya.

Definisi kedua adalah (melihat cara berpikir dari berbagai kelompok aliran yang
bertentangan); orang-orang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup aspek
kehidupan yang berlandaskan atas dasar moderasi menjaga keseimbangan dan toleransi.

Ahlus sunnah wal Jama‟ah ini tidak mengecam Jabariyah, Qodariyah maupun Mu‟tazilah
akan tetapi berada di tengah-tengah dengan mengembalikanpada ma anna alaihi wa ashabihi.
Nah itulah latar belakang sosial dan latarbelakang politik munculnya paham Aswaja. Jadi tidak
muncul tiba-tiba tetapikarena ada sebab, ada ekstrim mu’tazilah yang serba akal, ada ekstrim
jabariyah yang serba taqdir, aswaja ini di tengah-tengah.

5
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Aswaja sebagai sebuah paham keagamaan
(ajaran) maupun sebagai aliran pemikiran (manhajul fiqr) kemunculannya tidak bisa dilepaskan
dari pengaruh dinamika sosial politik pada waktu itu, lebih khusus sejak peristiwa Tahqim yang
melibatkan Sahabat Ali dan sahabat Muawiyyah sekitar akhir tahun 40 H.Ahlu sunnah wal
jamaah pemikiranya menggunakan pemikiran al asyari dan hukum fiqihnya menggunakan imam
madzhab sehingga golongan aswaja inilah golongan yang sifatnya luas. Dari uraian diatas maka
penulis tertarik mengangkat tema ASWAJA(Ahlus sunnah wal jama’ah).

1.2....................................................................................................... RUMUSAN MASALAH

Ahlusunnah (Salaf dan Khalaf)?


a) Bagaimana sejarah perkembangan aliran Ahlusunnah (Salaf dan Khalaf)?.
b) Siapa saja kah tokoh tokoh aliran Ahlusunnah (Salaf dan Khalaf)?.
c) Apa saja Ajaran pokok pada aliran Ahlusunnah (Salaf dan Khalaf)?.

1.3 TUJUAN

a) Memberitahukan tentang bagaimanakah sejarah perkembangan aliran Ahlusunnah


(Salaf dan Khalaf).
b) Mengenalkan tokoh-tokoh aliran Ahlusunnah (Salaf dan Khalaf).
c) Menuraikan ajaran-ajaran pokok yang terdapat di dalam aliran Ahlusunnah (Salaf
dan Khalaf).

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. AHLUSUNNAH SALAF.

2.1. Sejarah Perkembangan Ahlusunnah Salaf.

Arti salaf secara bahasa adalah pendahulu bagi suatu generasi. Sedangkan dalam
istilah syariah Islamiyah as-salaf itu ialah orang-orang pertama yang memahami,
mengimami, memperjuangkan serta mengajarkan Islam yang diambil langsung dari
shahabat Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in (kaum mukminin yang
mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari para shahabat) dan para tabi’it tabi’in
(kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari tabi’in). istilah
yang lebih lengkap bagi mereka ini ialah as-salafus shalih. Selanjutnya pemahaman as-
salafus shalih terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits dinamakan as-salafiyah. Sedangkan
orang Islam yang ikut pemahaman ini dinamakan salafi. Demikian pula dakwah kepada
pemahaman ini dinamakan dakwah salafiyyah.

Definisi salaf menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu.
Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, Tabi’in, para pemuka
abad ketiga dan para pengikutnya pada abad ke 4 H yang terdiri atas para muhadisain
dan yang lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama shalih yang hidup pada tiga abad
pertama islam. Sedangkan Mahmud Al-Bisyi Bisyi dalam Al-Firoq Al-Islamiyah
mendefinisikan salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’in yang dapat diketahui dari
sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat Allah yang menyerupai
saegala sesuatu yang baru untuk menyucikan dan menggunakannya.

7
Ahlusunnah tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang mempengaruhi
proses kelahirannya dari rahim sejarah. Diantaranya yang cukup populer adalah
tingginya suhu konsetelasi politik yang terjadi pada masa pasca Nabi Wafat.

Kematian Utsman bin Affan, khalifah ketiga, menyulut berbagai reaksi. Utamanya,
karena ia terbunuh, tidak dalam perperangan. Hal ini memantik semangat banyak
kalangan untuk menuntut Imam Ali, penggantu Utsman untuk bertanggung jawab.
Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan darah dengan Ali, tiadak
segera mendapat hukuman setimpal.

Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, Aisyah, dan Abdullah bin Thalhah, serta Amr bin Ash
adalah beberapa di antara sekian banyak sahabat yang menuntut Ali. Bahkan, semuanya
harus menghadapi Ali dalam sejumlah peperangan yang kesemuanya dimenangkan
dipihak Ali.

Dan yang paling mengejutkan, adalah strategi Amr bin Ash dalam perang Shiffin di
tepi sungai Eufrat, akhir tahun 39 H, dengan mengangkat mushaf diatas tombak.
Tindakan ini dilakukan setelah pasukan Amr dan Mu’awiyyah terdesak, tujuannya,
hendak mengembalikan segala perselisihan kepada hukum Allah. Dan Ali setuju, meski
banyak dari pengikutnya yang tidak puas. Akhirnya tahkim di Daumatul Jandal, sebuah
desa ditepi laut merah beberapa puluh KM utara Makkah, menjadi akar perpecahan
pendukung Ali menjadi Khawarij dan Syi’ah. Kian lengkaplah perseteruan yang terjadi
antara kelompok Ali , kelompok Khawarij, kelompok Mu’awiyah, dan sisa-sisa
pengikut Aisyah dan Abdullah bin Thalhah.

....................................................................................................................................................

Beberapa kalangan yang menolak opini itu akhirnya membentuk second opinion (opini rivalis)
dengan mengelompokkan diri ke sekte Qadariyah. Jelasnya, paham ini menjadi anti tesis bagi
paham Jabariyah. Qadariyah menyatakan bahwa manusia punya free will (kemampuan) untuk
melakukan segalanya. Dan Tuhan hanya menjadi penonton dan hakim di akhirat kelak.
Karenanya, pembantaian itu adalah murni kesalahan manusia yang karenanya harus
dipertanggungjawabkan, di dunia dan akhirat. Melihat sedemikian kacaunya bahasan teologi dan
politik, ada kalangan umat Islam yang enggan dan jenuh dengan semuanya. Mereka ini tidak

8
sendiri, karena ternyata, mayoritas umat Islam mengalami hal yang sama. Karena tidak mau
terlarut dalam perdebatan yang tak berkesudahan, mereka menarik diri dari perdebatan. Mereka
memasrahkan semua urusan dan perilaku manusia pada Tuhan di akhirat kelak. Mereka
menamakan diri Murji’ah.
Lambat laun, kelompok ini mendapatkan sambutan yang luar biasa. Terlebih karena
pandangannya yang apriori terhadap dunia politik. Karenanya, pihak kerajaan membiarkan
ajaran semacam ini, hingga akhirnya menjadi sedemikian besar. Di antara para sahabat yang
turut dalam kelompok ini adalah Abu Hurayrah, Abu Bakrah, Abdullah Ibn Umar, dan
sebagainya. Mereka adalah sahabat yang punya banyak pengaruh di daerahnya masing-masing.

Pada tataran selanjutnya, dapatlah dikatakan bahwa Murjiah adalah cikal bakal Sunni
(proto sunni). Karena banyaknya umat Islam yang juga merasakan hal senada, maka mereka
mulai mengelompokkan diri ke dalam suatu kelompok tersendiri.
Lantas, melihat parahnya polarisasi yang ada di kalangan umat Islam, akhirnya ulama
mempopulerkan beberapa hadits yang mendorong umat Islam untuk bersatu. Tercatat ada 3
hadits-dua diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan satu oleh Imam Tabrani-. Dalam hadits ini
diceritakan bahwa umat Yahudi akan terpecah ke dalam 71 golongan, Nasrani menjadi 72
golongan, dan Islam dalam

73 golongan. Semua golongan umat Islam itu masuk neraka kecuali satu. "Siapa mereka itu,
Rasul?" tanya sahabat. "Ma ana ‘Alaihi wa Ashabi" jawab Rasul. Bahkan dalam hadist riwayat
Thabrani, secara eksplisit dinyatakan bahwa golongan itu adalah Ahlussunah wa al-jama’ah.
Ungkapan Nabi itu lantas menjadi aksioma umum. Sejak saat itulah kata aswaja atau Sunni
menjadi sedemikian populer di kalangan umat Islam. Bila sudah demikian, bisa dipastikan, tak
akan ada penganut Aswaja yang berani mempersoalkan sebutan serta hadits yang digunakan
justifikasi kendati banyak terdapat kerancuan di dalamnya. Karena jika diperhatikan lebih lanjut,
hadits itu bertentangan dengan beberapa ayat tentang kemanusiaan Muhammad, bukan peramal.

2.2. Tokoh-tokoh aliran Ahlusunnah Salaf.

1.Ibn Taymiyyah

9
Pemikir pertama Aliran Salaf adalah Ibn Taymiyyah. Nama lengkapnya adalah Ahmad Taqiyy
al-Din Ibn Taymiyyah al-Harrani al-Dimasyqi, lahir di Harran, Syiria tahun 661 H(1263 M),
wafat pada 782 H (1328 M). Ayahnya adalah seorang guru Hadis dan pamannya seorang ulama
dan penulis yang termasyhur di zamannya. Pada usia tujuh tahun, Harran diserang oleh Mongol,
ia dan orang tuanya mengungsi ke Damaskus. Disinilah Ibn Taymiyyah mengawali
penggambaran intelektualnya, ia belajar pada beberapa madrasah yang diselenggarakan oleh
penganut mazhab Hanbali, seperti madrasah Sakariyah, madrasah Jauziyah dan madrasah
Umayyah.
Ketekunan belajar dan ketajaman otaknya dalam berpikir mengantarkan Ibn Taymiyyah
sebagai seorang ulama, beliau sangat berani dan tidak takut apa yang yang dipandangnya benar.
Lidah dan penanya sangat tajam dalam menyerang berbagai agama baik dalam bidang teologi,
filsafat, tasawuf, dan fiqh yang dianggapnya bid’ah dan tidak berdasar pada nash-nash Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi yang shahih. Ibn Taymiyyah sebagai pengajar tradisi Hambali menekankan
kajian literasi terhadap nash-nash agama. Ibn Taymiyyah berseru untuk kembali kepada akidah
dan ibadah salaf.

2.     Imam Ahmad bin Hanbal


Nama beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Asy Syaibani. Beliau dilahirkan di
Baghdad tahun 164 H. Ayah beliau meninggal saat beliau berumur 3 tahun. Lalu beliau diasuh
oleh Ibunya. Saat masih belia, beliau menghadiri majelis qadhi Abu Yusuf. Kemudian beliau
fokus belajar hadits. Saat itu umur beliau sekitar 16 tahun. Kemudian beliau haji beberapa kali,
kemudian tinggal di Makah dua kali. Kemudian beliau safar menemui Abdurrozaq di Yaman dan
belajar darinya. Beliau telah berkelana ke negeri-negeri dan penjuru dunia. Beliau mendengar
hadits dari ulama-ulama besar saat itu. Mereka (para ulama) bangga dan memuliakan beliau.
Ibnu Jauzi berkata, “Ahmad (bin Hanbal) semoga Allah meridhoinya menuntut ilmu dari para
masyayikh di Baghdad. Lalu beliau pergi ke Kufah, Bashroh, Makah, Madinah, Yaman, Syam
dan Jazirah. Beliau menulis dari para ulama setiap negeri”

Imam Ahmad memiliki ilmu yang sangat luas. Berikut ini beberapa perkataan ulama
tentangnya. Ibrahim al Harbiy rahimahullah berkata, “Saya melihat Ahmad bin Hanbal seolah-
olah Allah mengumpulkan pada dirinya ilmu orang yang terdahulu dan yang terakhir pada

10
setiap bidang ilmu. Dia berkata sesuai yang dikehendakinya dan menahan yang
dikehendakinya.”.

2.3. Ajaran Pokok Aliran Ahlusunnah Salaf.

Aliran Salafiyah mempunyai tiga ciri utama dalam ajaran pokoknya yaitu
Pertama, mendahulukan syara’ dari akal. Yang terkandung di dalam Al-Quran dan Hadis
yang shahih adalah kebenaran. Seorang Muslim tidak boleh menyampingkan kandungan Al-
Quran dan Hadis walaupun bertentangan dengan akal dan ketentuan syara’ harus didahulukan
dari pendapat akal.
Kedua, meninggalkan takwil kalami. Dalam Aliran Salafiyah ayat-ayat Al-Quran sudah
sangat jelas tidak perlu diputar lagi maknanya kepada yang lain. Beberapa ayat Al-Quran
memberikan gambaran Allah mempunyai tangan, wajah dan kursi. Aliran Salaf menolak
penakwilan kalam seperti itu karena mencederai Al-Quran itu sendiri.
Ketiga, berpegang teguh pada nash Quran dan Hadis Nabi. Karena akal manusia tidak
mempunyai wewenang untuk menakwilkan nash agama dan tugas akal mencari argumentasi
serta membenarkan informasi yang dibawa oleh nash agama. Akal harus tunduk dibawah nash,
karena nash adalah firman Allah.

B. AHLUSUNNAH KHALAF.

2.4. Sejarah Perkembangan Aliran Ahlusunnah Khalaf.


Khalaf artinya Masa yang datang sesudah. Khalaf menurut istilah diartikan sebagai jalan
para ulama’ modern. Walaupun tidak dapat dikatakan bahwa semua ulama’ modern mengikuti
jalan ini. Adapun ungkapan Ahlussunnah (sering juga disebut sunni) dapat dibedakan menjadi
dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok
syi’ah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah sebagaimana juga Asy’ariyah masuk dalam barisan
sunni. Sunni dalam pengertian khusus adalah madzhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah
dan merupakan lawan Mu’tazilah.
Selanjutnya Ahlussunnah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan
Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.

11
Ulama Khalaf menggunakan pendekatan akal dan logika. Ulama khalaf memperkenalkan
konsep ta’wil dalam ayat mutasyabihat. Kholaf (ulama zaman akhir) berdasarkan perhitungsn
tahun masa akhir hidup dari Imam madzhab 4 yang terakhir ( Imam Ahmad bin Hanbal) yang
wafat pada tahun 241H atau 855M maka masa ulama salaf berakhir sekitar tahun 241H-855M
dan selebihnya termasuk ulama khalaf.
Adapun pendapat yang lain mengatakan bahwasannya masa perubahan atau batas antara
abad ulama salaf dan khalaf dibatasi dengan masa atau kurun tertentu sebagaimana beberapa
pendapat yang berbeda-beda dibawah ini:
1.      Ulama salaf ialah ulama yang hidup sebelum tahun 300 H dan ulama khalaf ialah ulama yang
hidup setelah tahun 300 H.
2.      Ulama salaf ialah ulama yang hidup sebelum tahun 00 H dan ulama khalaf ialah ulama yang
hidup setelah tahun 400 H.
3.      Ulama salaf ialah ulama yang hidup sebelum tahun 500 H dan ulama khalaf ialah ulama yang
hidup setelah tahun 500 H.

2.5. Pemikir Aliran Ahlusunnah Khalaf.


1. Al-Asy’ari.
Namanya Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah
bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa al-asy’ari bin Qais bin Hadhar. adalah salah
seorang keturunan dari sahabat Raulullah shalallahu ‘alaihi wasalam,Abu Musa Al-Asy’ari.
Beliau lahir di Bashrah pada tahun 260H/873M dan wafat di Bagdad. pada tahun 324H/935M.
Sebagian besar hidupnya berada di Bagdad.
keturunan Abu Musa al-Asy’ari seorang sahabat dan perantara dalam sengketa Ali dan
Muawiyah dalam peristiwa tafkhim. Pada usia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad.
Ayahnya adalah seorang yang berfaham ahlussunnah dan ahli hadist. Ayahnya wafat ketika ia
masih kecil. Sebelum wafat ayahnya berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama
Zakaria bin Yahya as-Saji agar mendidik al-Asy’ari. Ibu Asy’ari sepeninggal ayahnya menikah lagi
dengan tokoh Mu’tazilah yang bernama al-Juba’i. Berkat didikan ayah tirinya, Asy’ari kemudian
menjadi tokoh Mu’tazilah. Ia sering menggantikan al-Juba’i dalam perdebatan menentang

12
lawan-lawan Mu’tazilah dan ia juga banyak menulis buku yang membela aliran Mu’tazilah.
Tetapi, karena sebab yang tidak begitu jelas Asy’ari akhirnya meninggalkan aliran mu’tazilah.
Beliau keluar dari madzhab Muktazilah dan mengumumkan taubatnya pada hari Jum'at di
masjid Jami di daerah Basrah.Di depan banyak orang beliau menyatakan bahwa; saya mula-mula
mengatakan bahwa Al Qur'an adalah makhluk; Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak dapat dilihat
dengan mata kepala; perbuatan buruk adalah manusia sendiri yang memperbuatnya (semua
pendapat aliran Muktazilah).
Kemudian beliau mengatakan: "saya tidak lagi memegangi pendapat-pendapat tersebut;
saya harus menolak paham-paham orang Muktazilah dan menunjukkan keburukan-keburukan dan
kelemahan-kelemahanya". Setelah keluar dari madzhab Muktazilah Abu al-Hasan al-Asy’ari
mendekati kepada para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dan Ahli Hadits, namun belum
berpemahaman Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Beliau lebih terpengaruh dengan kelompok Kullabiyah
yaitu kelompok pengikut Abdullah bin Sa’id bin Kullab al-Bashri yang saat itu juga tergolong
gencar dalam membantah kelompok Muktazilah. Beliau membantah kelompok Muktazilah diatas
faham Kullabiyah, semua keburukan Muktazilah beliau bongkar. Karena Abu al-Hasan al-Asy'ari
pernah mengikuti jalan Muktazilah dan beliau tahu betul kesesatan-kesesatan nya.
Ketidakpuasan Al-Asy’ari terhadap aliran mu’tazilah diantaranya adalah :
 Karna adanya keragu-raguan dalam diri Al-Asy’ari yang mendorongnya untuk keluar dari
paham mu’tazilah. Menurut Ahmad Mahmud Subhi, Keraguan itu timbul karena ia
menganut madzhab Syafi’I yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran Mu’tazilah,
misal nya Syafi’I berpendapat bahwa Al-Qur’an itu itu tidak diciptakan, tetapi bersifat
qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat diakhirat nanti. Sedangkan menurut paham
Mu’tazilah, bahwa Al-Qur’an itu bukan qadim akan tetapi hadits dalam arti baru dan
diciptakan Tuhan dan Tuhan bersifat rohani dan tidak dapat dilihat dengan mata.
 Menurut Hammudah Ghurabah, ajaran-ajaran yang diperoleh dari Al-Juba;I
menimbulkan persoalan-persoalan yang tidak mendapat penyelesaian yang memuaskan,
misalnya tentang mukmin, kafir dan anak kecil.
Adapun sebab terpenting Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah adalah karena adanya perpecahan
yang dialami kaum Muslimin yang bisa menghancuirkan mereka sendiri, kalau seandainya tidak
diakhiri. Dia mendambakan kesatuan umat, dia sangat khawatir kalau Al-Qur’an dan Hadits

13
menjadi korban dari paham-paham Mu’tazilah yang dianggapnya semakin menyimpang dan
menyesatkan masyarakat karena Mu’tazilah lebih mementingkan akal fikiran.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf
dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pda fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian
barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, Ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada Madzhab Ahmad bin
Hambal. A bul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikiran Mu’tazilah, Qadariyah,
Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murji’ah. Dalam beragama ia berpegang teguh pada Al-
Qur’an , Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para sahabat, Tabi’in, serta Imam ahli
hadits.
Karya Al-Asy’ari sangatlah banyak, kurang lebih 90 buah dalam berbagai lapangan ilmu
keislaman. Karangan yang terkenal dan samppai kepada kita ada tiga, yaitu:
a Mawalatul Islamiyah : (Pendapat golongan-golongan islam), yang merupakan buku
pertama, dikarang dalam soal-soal kepercayaan islam dan menjadi sumber yang penting
pula, karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya. Buku ini, terdiri dari tiga bagian :
 Tinjaun tentang golomgan-golongan dalam Islam
 Aqidah aliran “Ashabul Hadits dan Ahlusunnah”dan
 Beberapa persoalan ilmu kalam

b Al-Ibanah ‘an Usulid Diyanah (Penjelasan tentang dasar-dasar agama) yang berisi uraian
tentang kepercayaan (aqidah) Ahlu Sunnah dan dimulainya dengan menguji Imam
Ahmad bin Hanbal, kemudian menyebutkan kebaikan-kebaikan dan memerangi
pendapat-pendapatnya. Uraian buku ini tidak tersusun rapi, meskipun berisis persoalan-
persoalan yang banyak dan penting. Dlam buku ini, Ia dengan pedas menyerang aliran
Mu’tazilah.
c Al-Luma’ (sorotan) yang dimaksudkan untuk membantah lawannya dalam beberapa
persoalan ilmu kalam.

Pemikiran Al-Asy’ari dapat diketahui lewat karyanya seperti Maqalat al-Islamiyyin Wa Ikhtilaf al-
Mushallin, Kitab al-Luma’ fi al-Radd ‘ala Ahl al-Ziyagh wa al-Bida’ dan Al-Ibanah ‘an al-Ushul al-Diyanah.
Lewat buku-buku tersebut dilanjutkan oleh murid-muridnya seperti al-Baqillani dan al-Juwaini, tesis-
tesis baru yang dikembangkan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari berkembang menjadi alian baru yang

14
dikenal dengan nama Asy’ariyah. Dalam kupasan tentang pandangan orang-orang sesat serta ahli bid’ah
yang dimaksudkan oleh Asy’ari adalah kaum Mu’tazilah dan Qadariyah.

2. Al-Maturidi
Namanya abu Mansur al-Maturidi dilahirkan di Maturid, Kota kecil di daerah Samarand,
wilayah Transoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Ia wafat pada
tahun 333 H/944 M. gurunya dalam bidang fiqh dan teologi bernama Nasyr bin Yahya al-
Balakhi. Al-Maturidi hidup masa khalifah al-Mutawakkil yang memerintah tahun 232H/847-
861M.
Al-Maturidi mengikuti Madzhab Hanafi dan dalam teologi Islam menganut pula aliran Fuqoha
dan Muhadisin. Perbandingan antara Abu Hanifah dan al-Maturidi dapat diperoleh informasi
bahwa ternyata pemikiran al-Maturidi sebenarnya berintikan pemikiran Abu Hanifah dan
merupakan penguraiannya yang lebih luas. Hubungan antara kedua tokoh tersebut dikuatkan
oleh pengakuan al-Maturidi sendiri bahwa ia mempelajari buku-buku Abu Hanifah.
Pemikiran teologi al-Maturidi mendasar pada Al-Qur’an dan akal. Dalam hal ini, ia sama
dengan al-asy’ari namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar daripada yang
diberikan oleh al-Asy’ari. Ini dikarenakan sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai
rasio dalam pandangan keagamaannya, al-Maturidi banyak juga memakai akal dalam system
teologisnya.

2.6. Perkembangan dan Tokoh Al-Asy’ari dan AL-Maturidi.


1. Perkembangan aliran Al-asy’ari
Mendapat kedudukan yang tinggi, mempunyai banyak pengikut dan mendapat bantuan dari
para penguasa pemerintahan. Pendapat-pendapatnya disebut “pendapat Ahlusunnah Wal
Jama’ah”atau “Ahlussunnah” (tanpa wal Jama’ah) dan sebutan ini banyak dipakai atau sebutan
“Madzahibus Salaf Wa Ahlussunnah”.
Penyebutan Ahlussunnah sudah dipakai sejak jaman dahulu, terhadap mereka yang apabila
menghadapi sesuatu peristiwa, maka dicari hukumnya dari bunyi Al-Qur’an dan Hadist. Apabila
tidak didapatinya maka mereka akan diam saja, karena tidak berani melampauinya. Mereka lebih
dikenal dengan sebutan Ahlul Hadist yang sudah dimulai sejak zaman sahabat, kemudian
dilanjutkan sampai masa tabi’in.

15
Kebalikan dari mereka ialah “Ahlul Ra’yi” yang apabila menghadapi keadaan yang sama,
maka tidak berhenti, melainkan berusaha dengan akal pikirannya untuk menemukan hukum
peristiwa yang dihadapinya dengan jalan qiyas atau istihsan sebagainya. Munculah aliran tengah-
tengah yang dicetuskan oleh Imam Syafi’i. Meskipun sudah ada orang yang merasa terikat
dengan Hadits dalam bidang fiqh, namun mereka tidak dikenal dengan sebutan Ahlussunnah.
Mu’tazilah tidak segan-segan menolak hadits yang berlawanan dengan ketetentuan akal pikiran,
maka timbulah aliran lain yang tetap memegangi dan mempertahankan hadits-hadits yang ditolak
oleh Mu’tazilah, terkenal dengan nama “Ahlussunnah” dan ingin mengikuti jejak ulama salaf
dalam menghadapi nash-nash mutasyabihat. Penyebutan Ahlussunnah wal Jama’ah oleh
pengikut-pengikut Al-Asy’ari karena pemikiran-pemikirannya.

2 Tokoh-Tokoh Al-Asy’ariah
Dalam aliran Al-Asy’ariyah ini mempunyai tokoh-tokoh kenamaan, antara lain: Al-Baqilani,
Al-juwaimi, Al-Iji, As-Sanusi, Al-Ghazali, dan Al-Baghdadi. Diantara tokoh-tokoh diatas yang
paling berpengaruh ialah al-Ghazali yang diberi gelar Hujjatul Islam. Nama lengkapnya adalah
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid al-Ghazali. Ia lahir di
Thus, suatu kota di Khurasan pada tahun 450 M. ayahnya seorang pekerja pembuat pakaian dari
bulu (wol) dan menjualnya di pasar. Setelah ayahnya meninggal, ia diasuh oleh ahli tasawuf. Di
waktu kecil ia belajar fiqh pada Syekh Ahmad bin Muhammad ar-Rasikani dan di Nishabur
belajar pada Imam al-Haromain, di sini lah ia mulai kelihatan tanda-tanda ketajaman otaknya
dengan menguasai ilmu mantiq (logika), filsafat dan fiqh madzhab Syafi’i. setelah imam
Haromain wafat, ia pergi ke Al-Azhar berkunjung ke menteri Nizam al Mulk pemerintahan
dinasti Saljuk. Setelah bertemu dengan ulama-ulama besar, akhirnya al-Ghazali diberi
kehormatan guru besar (professor) dan mengajar di Perguruan Tinggi Nizamiyah Baghdad.
Tahun 488 H beliau pergi ke Mekkah untuk menunaikan haji, sepulang dari mekah beliau pergi
ke Syiria (Syam) dilanjutkan perjalanannyake Damaskus dan menetap cukup lama. Saat itu
beliau sedang mengarang kitab Ihya’ Ulumuddin. Sepulangnya beliau dari Damaskus ia kembali
ke Baghdad dan kembali mengajar di Perguruan Tinggi Nizamiyah. Tidak berlangsung lama,
beliau kembali ke Thus, kampung halamannya. Di sebelah rumah beliau medirikan sekolah
untuk para fuqoha dan mutashawwifin. Beliau meninggal pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505
H/1111 M. Sesaat sebelum beliau meninggal sempat mengucapkan kata yang juga diucapkan

16
oleh Francis Bacon (Filosof Inggris), yaitu: “kuletakkan arwahku di hadapan Allah dan
tanamkanlah jasadku di lipat bumi yang senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan
dan buah bibir umat manusia di masa mendatang.
Karya al-Ghazali berjumlah lebih dari 100 buah. Beberapa kitabnya seperti berikut:
Maqhasidul falasifah (tujuan para ahli filsafat), Tahafut al-Falasifah (keberantakan para filosof),
a-Munqidz min Dhalal (penyelamat dan kesesatan) dan Ihya’ Ulumuddin (menghidupkan ilmu-
ilmu agama). Disamping itu ada pemahaman yang sama dengan beliau dan ada juga yang
menentang beliau. Tokoh Barat yang sepaham seperti Renan Cassanova dan Carro de Vaux.
Sedangkan yang menentang seperti Ibnu Rusyd (dengan kitab Tahafut at-Tahafutut), Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Qayyim.
Adanya penyerangan dari Ibnu Rusyd karena al-Ghazali menentang para filoSof Islam,
bahkan ia sampai mengkafirkan dalam 3 hal, yaitu:
a.       Pengingkaran tentang kebangkitan jasmani
b.      Membatasi pengetahuan Allah kepada yang hal-hal yang besar saja.
c.       Adanya kepercayaan tentang qadimnya alam dan keasliannya.

3 Perkembangan Al-Maturidi
Maturidiyah mengambil posisi ditengah-tengah antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Aliran
al-Maturidiyah terbagi dalam dua aliran yaitu al-Maturidiyah Samarkand yang didirikan oleh
Abu Mansur al-Maturidi sendiri, dan al-Maturidiyah Bukhara yang dibangun oleh pengikut Abu
Yusr Muhammad al-Bazdawi. Al-Maturidiyah Samarkand lebih rasional dan cenderung ke
paham al-Mu’tazilah sedangkan al-Maturidiyah Bukhara cenderung ke paham Asy’ariyah. Aliran
al-Maturidiyah sebagai aliran yang rasional namun tetap berpijak pada al-Qur’an dan Sunnah
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pengembangan pemikiran dunia islam. Hal ini
sangat berpotensi untuk dikaji dan dikembangkan.

4 Tokoh-Tokoh Al-Maturidiyah
Yang sangat penting dari aliran Al-Maturidiyah ini adalah Abu al- Yusr Muhammad al-
Badzawi  yang lahir pada tahun 421 Hijriyah dan meninggal pada tahun 493 Hijriyah. Ajaran-
ajaran Al-Maturidi yang  dikuasainya adalah karena neneknya adalah murid dari Al-
Maturidi. Al-Badzawi sendiri mempunyai   beberapa   orang   murid, yang  salah  satunya adalah

17
Najm al-Din Muhammad al-Nasafi  (460-537   H),  pengarang buku al-‘Aqa’idal Nasafiah.
Seperti Al-Baqillani dan Al-Juwaini, Al-Badzawi tidak pula selamanya  sepaham dengan Al-
Maturidi. Antara kedua pemuka aliran Maturidiyah  ini, terdapat perbedaan paham sehingga
boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yaitu golongan
Samarkand yang mengikuti paham-paham  Al-Maturidi dan golongan  Bukhara  yang mengikuti
paham-paham Al-Badzawi.

2.6. Ajaran Pokok Aliran Al-Asy’ariah dan Al-Maturidiyah

1)      Dokrin-dokrin teologi al-Asy’ari yang terpenting ialah sebagai berikut:


1.      Allah dan sifat-sifatNya
Sebagai penentang Mu’tazilah, sudah tentu al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah mempunyai
sifat. Mustahil kata al-Asy’ari Allah mengetahui dengan ZatNya, karena dengan demikian
zatNya adalah pengetahuan dan Allah sendiri adalah pengetahuan. Menurut al-Asy’ari, Allah
bukan pengetahuan (‘ilm) tetapi yang mengetahui (‘alim). Allah mengetahui denagn
pengetahuan dan pengetahuanNya bukanlah zatNya. Demikian pula dengan sifat-sifat seperti
hidup, berkuasa, mendengar, dan melihat.
2.      Kebebasan dalam berkehendak
Al-Asy’ari memakai istilah kasb (acquisition, perolehan) untuk menggambarkan hubungan
perbuatan manusia dengan kemauan dan kekuasaan Allah. Arti kasb menurutnya adalah bahwa
sesuatu itu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan yang dengan dayanya perbuatan itu
terjadi. Dengan kata lain, seuatu itu timbul dari al-muktasib (manusia yang menciptakan atau
mengupayakan) dengan perantara daya yang diciptakan. Pendapat ini berdasarkan QS.
Ash-Shaaffat : 96.

َ ُ‫َوٱهَّلل ُ َخلَقَ ُكمۡ َو َما تَ ۡع َمل‬


٩٦ ‫ون‬
96. Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu"
Al-Asy’ari menjelaskan soal kehendak Allah bahwa Allah menghendaki segala apa yang
dikehendaki, artinya manusia tidak dapat menghendaki sesuatu itu terjadi. Kehendak Maka bila
Allah tidak menciptakan daya dalam diri manusia, dia tidak akan dapat berbuat apa-apa. karena
itu daya untuk berbuat, sebenarnya bukanlah daya manusia tetapi daya Allah. Jadi perbuatan

18
manusia itu memerlukan dua daya, yaitu daya Allah dan daya manusia dan yang paling
berpengaruh dan efektif adalah daya Allah.

َ ‫ون ِإٓاَّل َأن يَ َشٓا َء ٱهَّلل ۚ ُ ِإ َّن ٱهَّلل َ َك‬


٣٠ ‫ان َعلِي ًما َح ِك ٗيما‬ َ ‫َو َما تَ َشٓا ُء‬
30. Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
3.      Qadimnya al-Quran
Pendapat al-Asy’ari tentang qadimnya Al-Qura’an berlainan pula dengan pendapat kaum
Mu’tazilah. Bagi al-Asy’ari al-Quran tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan maka sesuai
dengan ayat:

َ ُ‫ِإنَّ َما قَ ۡولُنَا لِ َش ۡي ٍء ِإ َذٓا َأ َر ۡد ٰنَهُ َأن نَّق‬


ُ ‫ول لَهۥُ ُكن فَيَ ُك‬
٤٠ ‫ون‬
40. Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami
hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", maka jadilah ia.
Untuk penciptaan itu perlu kata kun, dan untuk terciptanya kun itu perlu pula kata kun yang lain,
begitulah seterusnya sehingga terdapat rentetan kata-kata kun yang sudah berkesudahan. Dan ini
tak mungkin, oleh karena itu al-Quran tidak mungkin diciptakan.
4.      Akal dan Wahyu serta Kriteria Baik dan Buruk
Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara kaum mu’tazilah mengutamakan akal. Sementara
dalam menentukan baik-buruk terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al-Asy’ari
berpendapat bahwa baik-buruk harus didasarkan oleh pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah
mendasarkannya pada akal.
5.      Melihat Allah
Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak bisa digambarkan.
Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau
bilamana Allah sendiri menciptakan kemampuan penglihatan untuk melihatNya.
6.      Keadilan
Antara al-Asy’ari dan Mu’tazilah pada dasarnya semua setuju bahwa Allah itu adil. Mereka
berbeda dalam memandang keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang
mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan member
pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun
karena ia adalah Penguasa Mutlak.

19
7.      Kedudukan orang yang berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang di anut oleh Mu’tazilah. Mengingat kenyataan
bahwa iman merupakan lawan dari kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya.
Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang
berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa
selain kufr.
2)      Doktrin Teologi Maturidiyah
1.      Akal dan wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an dan akal dalam bab ini ia
sama dengan Al-asy’ari. Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui
Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai
dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha
memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran
yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan
memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk
melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan
pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut.
Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu
itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti
ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh
untuk dijadikan sebagai pembimbing. Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga
macam, yaitu:
a.       Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
b.      Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu.
c.       Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah.
Pada konteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mu’tazilah dan Al-Asy’ari.

2.      Perbuatan manusia


Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam
wujud ini adalah ciptaannya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai

20
perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Dengan demikian
tidak ada pertentangan antara qudrat tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar
yang ada pada manusia. Kemudian karena daya di ciptakan dalam diri manusia dan perbuatan
yang di lakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya
itu juga daya manusia.

3.      Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.


Menurut Al-Maturidi qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan
kehendaknya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkannya
sendiri.

4.      Sifat Tuhan


Dalam hal ini faham Al-Maturidi cenderung mendekati faham mu’tzilah. Perbedaan keduanya
terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mu’tazilah
menolak adanya sifat-sifat Tuhan.

5.      Melihat Tuhan


Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitahukan oleh Al-
Qur'an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23. Namun melihat Tuhan,
kelak di akherat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di akherat tidak sama dengan keadaan di
dunia.

6.      Kalam Tuhan


Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam
nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah,
sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist). Kalam nafsi tidak
dapat kita ketahui hakikatnya bagaimana Allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak di ketahui,
kecuali dengan suatu perantara.

7.      Perbuatan manusia


Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas
kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan kecuali karena
ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena itu, tuhan
tidak wajib berbuat ash-shalah wa-al ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia). Setiap
perbuatan tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepada

21
manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang di kehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban
tersebut adalah :

a.       Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya
karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga di beri kemerdekaan oleh
tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya.
b.      Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntunan keadilan yang sudah di
tetapkan-Nya.
8.      Pelaku dosa besar
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam
neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena tuhan sudah menjanjikan akan
memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah
balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik
tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar
(selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad.

9.      Pengutusan Rasul


Pandangan Al-Maturidi tidak jauh beda dengan pandangan mu’tazilah yang berpendapat bahwa
pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat
berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya. Pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber
informasi. Tanpa mengikuti ajarannya wahyu yang di sampaikan rasul berarti manusia telah
membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.

2.7. Dalil Al-Qur’an Yang Menjadi Landasan Masing-masing

1.      Dalil al-Qur’an yang menjadi landasan aliran Asy’ariyah

َ ُ‫َوٱهَّلل ُ َخلَقَ ُكمۡ َو َما تَ ۡع َمل‬


٩٦ ‫ون‬
96. Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu"

َ ‫ون ِإٓاَّل َأن يَ َشٓا َء ٱهَّلل ۚ ُ ِإ َّن ٱهَّلل َ َك‬


٣٠ ‫ان َعلِي ًما َح ِك ٗيما‬ َ ‫َو َما تَ َشٓا ُء‬
30. Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana

َ ُ‫ِإنَّ َما قَ ۡولُنَا لِ َش ۡي ٍء ِإ َذٓا َأ َر ۡد ٰنَهُ َأن نَّق‬


ُ ‫ول لَهۥُ ُكن فَيَ ُك‬
٤٠ ‫ون‬
22
40. Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami
hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", maka jadilah ia.
2.      Dalil al-Quran yang menjadi landasan al-Maturidiah

٢٣ ‫ة‬ٞ ‫اظ َر‬


ِ َ‫ ِإلَ ٰى َربِّهَا ن‬٢٢ ٌ‫اض َرة‬
ِ َّ‫ُوه يَ ۡو َمِئ ٖذ ن‬
ٞ ‫ُوج‬
22. Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri
23. Kepada Tuhannyalah mereka melihat

23
BAB III

PENUTUP

Dalam sejarah agama Islam , telah tercatat adanya firqah-firqah (golongan) di lingkungan
umat Islam, yang antara satu sama lain bertentangan pahamnya dan sampai saat ini perbedaan
tersebut masih tumbuh dengan suburnya. Kenyataan ini sudah dijelaskan oleh

Rosulullah SAW dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Auf bin Malik

"Yahudi telah berpecah menjadi 71 golongan, satu golongan di surga dan 70 golongan di
neraka. Dan Nashara telah berpecah belah menjadi 72 golongan, 71 golongan di neraka dan satu
di surga. Dan demi Allah yang jiwa Muhammad ada dalam tangan-Nya umatku ini pasti akan
berpecah belah menjadi 73 golongan, satu golongan di surga dan 72 golongan di neraka." Lalu
beliau ditanya: "Wahai Rasulullah siapakah mereka ?" Beliau menjawab: "Al Jamaah." (HR.
Sunan Ibnu Majah).

Islam sebagai agama islam yang diturunkan untuk manusia, yang didalamnya terdapat
pedoman serta aturan yang menuntun manusia membawa kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Serta dalam agama islam terdapat tiga sendi utama dalam agama islam dilihat dari tataran sisi
keilmuan, yaitu iman, islam dan ihsan.

“Ahlu Sunnah Wal Jamaah” adalah golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup
Rasulallah Saw. dan jalan hidup para sahabatnya. Atau, golongan yang berpegang teguh pada
sunnah Rasul dan Sunnah para sahabat, lebih khusus lagi, sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar
As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin „Affan, dan Ali bin Abi Thalib

3.1. KESIMPULAN

Masa Salaf adalah masa Nabi, Sahabat dan Tabi’in disebut Al-Tsalatsah Al-Ula atau yang
dikenal sebagai Al-Sabiqun Al-Awwalun. Tokoh aliran ahlussunnah salaf ialah Imam Ahmad bin

24
Hanbal dan Ibnu Taymiyyah. Ajaran pokok aliran ahlussunnah salaf adalah mendahulukan syara’
dari akal, meninggalkan takwil kalami, dan berpegang teguh pada nash Quran dan Hadis Nabi.
Ahlussunnah khalaf ialah suatu golongan dari umat islam yang meninggalkan jalannya salaf
dalam memahami al-Quran dan hadist.Ulama Khalaf menggunakan pendekatan akal dan logika.
Ulama khalaf memperkenalkan konsep ta’wil dalam ayat mutasyabihat. Tokoh aliran
ahlussunnah khalaf adalah Al-Asy’ari dan Al-Maturidi.
Doktrin-doktrin aliran asy’ariyah :
a)      Allah dan sifat-sifatNya
b)      Kebebasan dalam berkehendak
c)      Qadimnya al-Quran
d)     Akal dan Wahyu serta Kriteria Baik dan Buruk
e)      Melihat Allah
f)       Keadilan
g)      Kedudukan orang yang berdosa
Doktrin-doktrin al-maturidiyah :
a)      Akal dan wahyu
b)      Perbuatan manusia
c)      Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
d)     Sifat Tuhan
e)      Melihat Tuhan
f)       Kalam Tuhan
g)      Perbuatan manusia
h)      Pelaku dosa besar
i)        Pengutusan Rasul.

3.2. SARAN
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan
dalam makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan
kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh hubungannya dengan makalah ini. Kami
sebagai penulis banyak berharap kepada para pembaca yang budiman untuk memberikan kritik

25
saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis maupun para pembaca. Aamiin.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mahmud Subhi, Ahmad, 1964, Fi ilm al-Kalam, Kairo: Daral-Kutub al-Jami’ah.


2. M Thalhah Hasan. 2005, Ahlussunnah wal jamaah dalam persepsi dan tradisi NU.
Jakarta.
3. A Mustofa. 1997, filsafat islam. Bandung.
4. Siradjuddin Abbas. 2010, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah, Jakarta.
5. Muhammad abdul hadi al misri, 1992. Manhaj Dan Aqidah Ahlu Sunnah Wal
Jama’ah,
6. Atieq Fauziati. 2016. Makalah Ahlussunnah wal jamaah.
http://atieqfauziati.blogspot.com/2016/01/makalah-ahlussunnah-wal-jamaah-
tugas.html?m=1
7. M. Yunan Yusuf. 2014, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam,jakarta
8. Novan Ardy Wiyani.2013, Ilmu Kalam, Teras

26
27
28

Anda mungkin juga menyukai