Anda di halaman 1dari 39

Sindrom Nefrotik (Konsensus Anak, AAFP)

Definisi
Merupakan kumpulan gejala akibat kerusakan glomerulonephritis (GN) yang ditandai dengan
classic tetrad
1. Proteinuria masif: ≥40 mg/m2 LPB/jam atau >50 mg/kgBB/24 jam atau dipstik ≥ 2+ atau
Protein/kreatinin rasio >3-3,5 atau pemeriksaan urin 24 jam >3-3,5 gr/hari
2. Hipoalbuminemia: <2,5-3 gr/dl
3. Edema perifer / anasarka (masif dan generalisata)

4. dengan/tanpa disertai hiperkolesterolemia >200-350 mg/dl atau lipiduria

Etiologi
• Primer (etiologinya berasal dari ginjal): idiopatik, kongenital
• Sekunder

30% penyebab SN dewasa dihubungkan dengan penyakit sistemik → DM, amiloidosis, SLE
Klasifikasi

Sindrom nefritik: onset <2 minggu


Rapidly proresive: onset <3 bulan
Berdasarkan histologi sindrom nefrotik
• Sindrom nefrotik kelainan minimal
Minimal Change Disease (MCD): adalah penyebab paling umum dari sindrom nefrotik pada
anak-anak, 10-15% pada dewasa (idiopatik, berhubungan dengan pemakaian obat antiinflamasi
non steroid, atau efek paraneoplastic dari suatu keganasan Limfoma Hodgkin). Histologi:
 Light Microscopy : no obvious glomerular lesion
 Immunofluorescent microscopy : negative for deposits & small amounts of IgM in the
mesangium
 Electron microscopy : effacement of the foot process supporting the epithelial podocytes
with weakening of slit-pore membranes

• Sindrom nefrotik kelainan nonminimal, seperti:


▫ Glumerulosklerosis fokal segmental
Focal Segmental Glomerulosclerosis (FSGS): adalah lesi tersering yang ditemukan pada sindrom
nefrotik pada orang dewasa yang idiopatik.  Hal ini ditandai dengan munculnya
jaringan parut pada glomerus. Istilah focal digunakan karena beberapa glomeruli memiliki bekas
luka, sementara yang lain tampak utuh; istilah segmental merujuk pada fakta bahwa hanya
sebagian glomerulus yang menderita kerusakan. Histologi:
 Light Microscopy : beberapa area segmental dari mesangial yang menghalami kolaps dan
sclerosis
 Electron microscopy : GBM thickening
▫ Glumerulonefritis proliferatif mesangial
Rapidly progressive glomerulonephritis (RPGN): (Biasanya timbul sebagai sindrom nefritik)
Glomeruli seseorang tampak dalam bentuk bulan sabit . Hal ini ditandai secara klinis oleh
penurunan cepat dalam laju filtrasi glomerulus (GFR) oleh setidaknya 50% dalam periode
singkat, biasanya dari beberapa hari menjadi 3 bulan.
▫ Glumerulonefritis membrano proliferatif
Membranoproliferative glomerulonephritis (MPGN): adalah peradangan glomeruli bersama
dengan deposit antibodi dalam membran mereka, yang membuat penyaringan menjadi sulit.
▫ Glomerulopati membranosa
Membranous Glomerulonephritis  (MGN): penyebab sindrom nefrotik terseing pada dewasa
dengan insiden tertinggi pada laki-laki umur 30-50 tahun. Peradangan pada membran glomerulus
menyebabkan peningkatan kebocoran di ginjal. Kerusakan struktur BM glomerulus terjadi akibat
endapan kompleks imun di sub-epitel. Kompleks C5b-9 yg terbentuk pd nefropati membranosa
akan meningkatkan permeabilitas BM glomerulus, walau mekanismenya blm diketahui.
Histologi:
 Light Microscopy : Capillary wall thickening, mesangial expansion
 Immunofluorescent microscopy : diffuse granular deposits of IgG and C3
 Electron microscopy : penebalan membran basal dengan sedikit atau tidak adanya
proliferasi atau infiltrasi selular, dan adanya deposit disepanjang membran basal
glomerulus.
Gejala Klinis pada Sindrom Nefrotik Idiopatik

Minimal Focal Segmental Membrano Membranoproliverative


Change Glomeruloscleros us Glomerulonephritis
Disease is Nephropath
y
Manifestasi klinis Tipe I Tipe II
Proteinuria 0 10% 20% 40% 40%
asimtomati
k
Hematuria 10-20% 60-80% 60% 80% 80%
Hipertensi 10% 20% jarang 35% 35%
Laju Tidak 10 tahun 50% dalam 35% dalam 35% dalam
progresi berprogres 10-20 tahun 10-20 tahun 5-15 tahun
menjadi i
gagal ginjal
Kondisi Biasanya HIV, heroin, Trombosis Biasanya Partial
yang tidak ada sickle cell vena renal, tidak ada lipodystroph
berkaitan disease, reflux medikasi; y
nephropathy SLE;
hepatitides
B, C;
limfoma;
tumor
Temuan laboratorium
Manifestas Manifestasi Manifestasi Level Level
i sindrom sindrom nefrotik sindrom komplemen komplemen
nefrotik ↑ BUN pada 20- nefrotik rendah – C1, normal – C1,
↑ BUN 40% Level C4, C3-C9 C3. Rendah
pada 15- Level komplemen komplemen C3-C9
30% normal normal
Level
kompleme
n normal
Patologi pada Ginjal
Mikroskop Normal Lesi fokal Penebalan GBM Lobulasi
cahaya sklerotik glomerular menebal,
basement proliferasi
membrane,
spikes
Mikroskop Fusi foot Fusi foot process Deposit Deposit Hanya C3
elektron process subepitel granular dan deposit
IgG, C3, padat
mesangial,
dan sel
subendoteli
al
Lesi minimal
 Onset usia 2-6 tahun
 Laki-laki
 Tidak ada hipertensi
 Tidak ditemukan hematuria
 Pemeriksaan komplemen C3 >90 mg/dl
 Indeks selektivitas yang tinggi
 Serum kreatinin rendah
Lesi non minimal
 Onset usia >8 tahun
 Perempuan
 Ada hipertensi
 Ditemukan hematuria
 Pemeriksaan komplemen C3 <90 mg/dl
Patogenesis
 Proteinuria
Terdapat 3 jenis proteinuria: glomerular, tubular dan overflow
Kehilangan protein pada SN termasuk proteinuria glomerular → diakibatkan oleh meningkatnya
filtrasi makromolekul melewati dinding kapiler glomerulus. Hal ini sering diakibatkan oleh
kelainan pada podosit glomerular (retraksi dari foot process dan/atau reorganisasi dari slit
diaphragm). Perbedaan potensial listrik yg dihasilkan oleh arus transglomerular akan
memproduksi flux makromolekul melewati dinding kapiler glomerulus.
Sistem filtrasi glomerulus terdiri 3 lapisan:
- lapisan sel endotel
- membran basal glomerulus dan
- lapisan sel epitel (podosit) → lapisan barier terluar
Perubahan struktur podosit : foot process effacement (paling dominan), pseudocyst formation,
hipertrofi, terlepas dari membran basal glomerulus (detachment) dan apoptosis
Mekanisme penghalang pertama pd membran basal glomerulus:
- Ukuran molekul (size barrier) → selektif (yg keluar adalah ukuran kecil: albumin) dan
nonselektif (yg keluar adalah ukuran besar: imunoglobulin). *Selektivitas dipengaruhi
oleh keutuhan struktur membran basal glomerulus
- Muatan listrik (charge barrier)
*Pada SN, kedua mekanisme penghalang ikut terganggu
GN lesi minimal → proteinuria selektif
- Mikroskop: fusi foot process sel epitel viseral glomerulus dan terlepasnya sel dari
struktur membran basal glomerulus
- Berkurangnya kandungan heparan sulfat proteoglikan → muatan negatif membran basal
glomerulus menurun & albumin dapat lolos dalam urin.
GSFS: kerusakan dan kehilangan podosit
Mekanisme injuri podosit: perubahan komponen slit diaphragm atau strukturnya, disregulasi
sitoskeleton aktin, perubahan pada membran basal glomerulus atau interaksinya dg podosit atau
perubahan muatan negatif pd permukaan podosit.
Rusaknya podosit → apoptosis & terlepasnya podosit → sklerosis dan scar
Nefropati membranosa: kerusakan struktur membran basal glomerulus → akibat endapan
kompleks imun di sub-epitel.
Kompleks C5b-9 → meningkatkan permeabilitas membran basal glomerulus.
 Hipoalbuminemia: disebabkan oleh proteinuria masif akibat penurunan tekanan onkotik
plasma, peningkatan reabsorpsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.
Konsentrasi albumin tubuh ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati dan
kehilangan protein melalui urin
 Edema

* Pada kondisi ini ginjal relatif resisten thd


ANP  efek ANP thd retensi natrium
kecil.
 Teori underfill (hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN)
- Hipoalbuminemia → penurunan tekanan onkotik plasma → cairan bergeser dari
intravaskular ke jaringan interstitium (Hukum Starling) → hipovolemia → kompensasi
ginjal (merangsang sistem renin-angiotensin) → retensi natrium dan air di tubulus distal
- *Mekanisme kompensasi ini memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan
mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia → edema berlanjut
 Teori overfill (retensi natrium adalah defek utama renal)
- Defek primer pada kemampuan nefron distal untuk mengekskresikan natrium disebabkan
oleh aktivasi kanal natrium epitel (ENaC) oleh enzim proteolitik yg memasuki lumen
tubulus pd keadaan proteinuria masif → peningkatan volume darah, penekanan renin-
angiotensin dan vasopressin → terjadinya hipertensi
- Ginjal relatif resisten terhadap efek natriuretic peptide
- Meningkatnya volume darah akibat tekanan onkotik yg rendah → memicu transudasi
cairan ke ruang ekstraseluler dan edema.
- Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi
natrium dan edema
- Faktor: asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal,
jenis lesi glomerulus, dan keterkaitan dg penyakit jantung atau hati
 Hiperkolesterolemia: keadaan hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh
dalam hati, katabolisme lemak menurun karena terdapat penurunan kadar lipoprotein
lipase plasma (enzim utama yang mengambil lemak dari plasma), penurunan klirens LDL
 Hiperkoagulabilitas-> resiko kejadian trombotik meningkat setelah albumin < 2,5 g/dl

Manifestasi Klinis
 Proteinuria
o Protein urin > 40 mg/m2LPB/jam atau >50 mg/kgBB/24 jam.

o Rasio protein/kreatinin urin > 2,5-3.


o Pemeriksaan Esbach : kadar protein dalam urin 24 jam > 2-3 gram.

o Semi kuantitatif dengan pemeriksaan Bang atau Dipstick menunjukkan protein urin ≥+2
 Hipoalbuminemia: Kadar albumin dalam serum menurun hingga mencapai <2,5 g/dl.
Gejalanya yaitu merasa lelah, leukonikia
 Edema pitting (ekstremitas bawah, asites, genitalia, periorbital ketika bangun pagi makin
berkurang saat siang hari, efusi pleura)
 Hiperlipidemia
o Kolesterol total darah >200 mg/dL

o Gejalanya yaitu xanthelasma, xanthomatosis


o Namun saat ini hiperlipidemia tidak lagi dijadikan kriteria diagnostik SN (karena
penderita SN dapat menunjukkan kadar lemak darah normal)
 Foamy urine

Diagnosis
Anamnesis
• Bengkak di kedua kelopak mata terutama di pagi hari saat bangun tidur, wajah,
tungkai, perut, genital, hingga seluruh tubuh yang menyebabkan peningkatan BB
• Penurunan jumlah urin
• Urin keruh/berbusa atau kemerahan
• Nafsu makan berkurang
• Sesak napas saat aktivitas berat (e.c edema paru, efusi pleura, asites)
• Lemas, mudah lelah
• Pencetus: Infeksi saluran napas atas/gigi/telinga/TB/pneumonia, Reaksi alergi,
Gigitan serangga, Vaksinasi
• Mencari etiologi: riwayat penggunaan obat, infeksi, penyakit sistemik
• RF sering kambuh
• usia <4 tahun
• remisi serangan 1 pada hari >13/>9,3 hari paska pengobatan
• Ada riwayat atopi pada pasien/keluarga
• dosis pengobatan<2 mg/kgbb
• durasi pengobatan <8 minggu
• genetik

Pemeriksaan Fisik
• KU: tampak lelah
• Peningkatan BB
• Kepala: Xanthelasma, Periorbital edema, muka sembab/puffy face
• Thorax: tanda efusi pleura (palpasi vocal fremitus menurun, perkusi dull,
auskultasi VBS menurun, auskultasi ronkhi basah halus pada kedua basal paru)
• Abdomen: Ascites (inspeksi cembung, perkusi pekak samping pekak
pindah/shifting dullness), Edema skrotum/labia
• Ekstremitas:
o kuku: leukonikia/muehrcke line (long standing hipoalbuminemia)
o atas: xanthoma (waxy-appearing, frequently yellowish-colored skin
lesions)
o bawah: pitting edema

• Tanda underlying disease


• Tanda komplikasi: DVT, PE, MI, infeksi
Penunjang-> assess komplikasi, etiologi, tipe histologi
▫ Urinalisis, urin dipstick
Proteinuria: urine dipstik ≥ 2+

Lipiduria: oval fat bodies dan fatty cast


▫ Early morning urinary ACR/PCR: >3-3,5 atau protein urin kuantitatif 2 jam >3-
3,5 gr/hari
▫ Pemeriksaan darah
 Darah tepi lengkap

 Albumin: hipoalbuminemia <2,5-3 gr/dl

 Protein: hipoproteinemia <6 gr/dl

 Ureum, kreatinin, eGFR

 Elektrolit (Na, K, Ca, Mg). Patients may become deficient in vitamin D,


zinc, and copper from loss of binding proteins in the urine. Pantau Na dan
K setelah pemberian diuretik
 Profil lipid (hiperkolesterolemia >350 mg/dl, hipertrigliseridemia)

 SGOT, SGPT
 PT, apTT, INR, faktor koagulasi

Cek etiologi
 CRP, ESR

 Gula darah

 Kadar komplemen C3, C4, ANA, ANCA, anti ds-DNA, anti-GBM,


immunecomplex marker

 
 Serologi: hepatitis viral, HIV

 Kultur darah

▫ CXR: fokus infeksi paru


▫ USG abdomen: asites
▫ USG ginjal: jika GFR menurun
▫ Pemeriksaan terkait komplikasi
USG doppler  DVT
USG abdomen, doppler scan vena renal, venografi IVC, CT & MRI
abdomen  suspek trombosis vena renal
V/Q nuclear medicine lung scan, CT pulmonary angiography 
pulmonary embolism
▫ Biopsi ginjal dan histologi dengan light microscopy, immunofluoresence atau
immunoperoxidase, electron microscopy
Indikasi:
1. Pada presentasi awal
1. Awitan sindrom nefrotik pada usia <1 tahun atau lebih dari 16 tahun
2. Terdapat hematuria nyata, hematuria mikroskopik persisten, kadar komplemen C3
serum yang rendah
3. Hipertensi menetap
4. Penurunan fungsi ginjal yang tidak disebabkan oleh Hipovolemia
5. Tersangka sindrom nefrotik sekunder
6. Idiopathic NS of an unknown histologic disease type
2. Setelah pengobatan inisial
1. SN resisten steroid
2. Sebelum memulai terapi siklosporin
Kriteria Diagnosis
Tatalaksana
• SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit
▫ Mempercepat pemeriksaan,
▫ Penanggulangan edema,
▫ Memulai pengobatan steroid, dan
▫ Edukasi orangtua.
• Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila:
▫ Terdapat edema anasarka yang berat
▫ Disertai komplikasi muntah,
▫ Infeksi berat,
▫ Gagal ginjal,
▫ Syok.
In adult
Prinsip: atasi penyakit dasar dan pengobatan untuk mengontrol edema, proteinuria, dan
komplikasi
Non farmakologi:
o Diet: Diet restriksi protein 0,6-1 g/kgbb/hari; jika edema diet rendah garam (<3 g/hari)
dan air <1500 ml/hari, restriksi lemak dan kolesterol
o Aktivitas fisik tidak dibatasi kecuali edema berat

Farmakologi
o Diuretik: furosemid 1-3 mg/kgbb/hari tiap 12 jam (dewasa: 2x40 mg/hari). Dosis naikkan
2x tiap 1-3 hari jika tidak ada perbaikan atau jika ada overload cairan. Dosis maks
furosemid 240 mg/dosis atau total 600mg/hari. If there is still an inadequate clinical
response, patients may be treated by changing to intravenous loop diuretics or adding oral
thiazide diuretics/spironolacton 2-4 mg/kg/hari. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2
minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
Target penurunan BB 1-2 kg/hari dan diuresis
o Mengurangi proteinuria

• ACEI dan ARB telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria.


• Target terapi: pengurangan 50% proteinuria, atau proteinuria < 1 gram per hari
• Cara kerja: penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus →
menurunkan ekskresi protein di urin
• Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan untuk
diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid.
1. Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5
mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis, 26 lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal
2. Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal
• Monitor: BP, fungsi ginjal, dan serum K (dalam 5 hari setelah mulai terapi dan setelah
titrasi dosis, setelah stabil monitor per bulan)
o Mengatasi dislipidemia: Seiring proteinuria terkontrol, hyperlipidemia akan terkotrol
juga, sehingga palif efektif dengan restriksi konsumsi lemak dan kolesterol. Berikan
statin pada pasien yang memiliki risiko PKV
o Terapi hipertensi
Target tekanan darah pada pasien dengan SN persisten: < 130/80.
Agen terpilih
- Kombinasi diuretik + terapi RASi
- Non-dihydropyridine CCB (Verapamil, Diltiazem), MRA: 2nd line → efek
antiproteinuria
- Dihydropyridine CCB (Amlodipine) → efek sinergis vasodilator dengan ACEi atau
ARB, kardioprotektif, namun memperparah proteinuria dan edema perifer
o Pencegahan infeksi

- OAT pada pasien SN yang dicurigai memiliki TB laten.


- Inactivated vaccines: influenza, Streptococcus pneumoniae

o Antikoagulasi untuk trombosis vena


o Steroid

Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:


▫ Pengukuran berat badan dan tinggi badan
▫ Pengukuran tekanan darah
▫ Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus
eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.
▫ Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi
perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
▫ Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis. INH selama 6
bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat
antituberkulosis (OAT).
 Inisial
 Prednison 60 mg/m2 LPB/hari setara 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis
terbagi, untuk menginduksi remisi.
 Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi
badan) dan tidak dalam keadaan edema.

 Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu yang terbagi dalam 3
dosis diberikan setiap hari selama 4 minggu→ remisi dalam 4 minggu pertama → 4
minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) setara 1,5 mg/kgbb/hari,
secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi → 4 miggu ketiga
diturunkan sebesar 0,2 mg/kgbb selang sehari
 Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien
dinyatakan sebagai resisten steroid.
 Relaps
• Prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis
alternating selama 4 minggu.
• Pada pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema,
sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran
nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian
proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps.
• Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat
ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.
 Relaps sering/dependen steroid
Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian levamisol: steroid sparing agent.
3. Pengobatan dengan sitostatik: siklofosfamid (CPA)
4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir)
• Cari fokus infeksi
 Kontraindikasi steroid
• Kontraindikasi steroid, seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau
kreatinin, infeksi berat → diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls.
• Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal dan
diberikan selama 8 minggu.
• CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml
larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis,
dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).
 Resisten steroid
• Siklofosfamid (CPA)
• Siklosporin (CyA): harga obat yang mahal
• Metilprednisolon puls
• Obat imunosupresif lain:
o vinkristin

o Takrolimus
o mikofenolat mofetil
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/ hari atau total >20
mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais. Pasien SN dalam
keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus
mati. Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup. Semua
anak dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan
varisela.
Efek samping steroid
▫ peningkatan napsu makan,
▫ gangguan pertumbuhan,
▫ perubahan perilaku,
▫ peningkatan risiko infeksi,
▫ retensi air dan garam,
▫ hipertensi, dan
▫ demineralisasi tulang.
Pada pasien SN harus dilakukan pemantauan terhadap:
▫ gejala-gejala cushingoid,
▫ pengukuran tekanan darah,
▫ pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan
▫ evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali
o Imunosupresif

• In general, immunosuppressive treatment has no proven benefit for most adults with
idiopathic NS, and the potential risks may outweigh any benefits
• Immunosuppressive therapy for NS secondary to systemic lupus erythematosus is highly
effective and supported by multiple studies, and may lead to partial or complete
remission in patients with minimal change disease or primary focal segmental
glomerulosclerosis
Follow up: proteinuria, profil lipid, edema, toksisitas steroid

Remisi: proteinuria negative/trace (+/-) 3 hari berturut-turut, tidak ada edema


Indikasi rujuk

1. Awitan sindrom nefrotik pada usia di bawah 1 tahun, riwayat penyakit sindrom nefrotik
di dalam keluarga
2. Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan fungsi ginjal,
atau disertai gejala ekstrarenal, seperti artritis, serositis, atau lesi di kulit
3. Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter, trombosis, infeksi berat, toksik
steroid
4. Sindrom nefrotik resisten steroid
5. Sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid
Komplikasi
• Infeksi
- Akibat defek imunitas humoral, seluler, dan gangguan sistem komplemen
- Penurunan IgG, IgA, gamma globulin akibat sintesis yang menurun, katabolisme
meningkat, dan proteinuria
- Zinc dan transferin yang keluar menurunkan fungsi sel T
- Akumulasi cairan sebagai tempat pertumbuhan bakteri
- Kulit yang rapuh mempermudah masuknya bakteri → selulitis
- Edema mendilusi faktor imun humoral lokal
• trombosis: akibat peningkatan koagulasi intravascular akibat protein dalam kaskade
koagulasi terganggu, agregasi platelet yang meningkat. Diperparah o/imobilisasi,
koinsidensi infeksi, dan hemokonsentrasi. Meningkat risikonya ketika albumin <2g/dl

• hiperlipidemia: akibat penurunan onkotik plasma yang secara langsung menstimulasi


transkripsi gen apo B di hepar, penurunan katabolisme lipid, (menurunnya aktivitas
enzim LPL, terganggunya pembentukan HDL, menurunnya pengangkutan koleterol ke
hati)
• hipokalsemia: karena penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan
osteoporosis dan osteopenia, kebocoran metabolit vitamin d2, berkurangnya kalsium
yang terikat albumin
• hipovolemia: pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan sn relaps dapat
terjadi hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering
disertai sakit perut
• hipertensi: akibat toksisitas steroid
• anemia: akibat defisiensi eritropoietin dan proteinuria
• terganggunya ikatan obat: akibat hipoalbumin
• AKI

Prognosis
 Bergantung pada penyakit dasar, histologi, dan faktor klinis.
 Terapi dengan ACEI atau ARB + kortikosteroid kesembuhan 76% dengan 12 %
membutuhkan hemodialisa
 SN paling sering  idiopatik membranous nephropathy yang mempunyai prognosis lebih
baik.
 Prognosis untuk penyakit ini mengikuti "aturan 1/3": 1/3 pasien memiliki perjalanan
ringan remisi tinggi; 1/3 yang proteinuria atau edema dapat mempertahankan fungsi
ginjal normal; dan <1/3 pasien berkembang menuju penyakit ginjal stadium akhir dalam
10 tahun
 Orang dewasa dengan segmental fokus primer glomerulosklerosis memiliki prognosis
yang lebih buruk, dan tingkat proteinuria merupakan faktor prognostik yang signifikan.
Meskipun sekitar setengah dari pasien dengan proteinuria nefrotik berkembang menjadi
penyakit ginjal stadium akhir lebih dari 5-10 tahun, pasien dengan proteinuria yang
sangat berat (10-14/g/hari) akan berkembang penyakit ginjal stadium akhir rata-rata
dalam 2-3 tahun.
 Hanya sekitar 20% pasien yang menderita fokal glomerulosclerosis mengalami remisi
dari proteinuria, 10% membaik tapi masih mengalami proteinuria.
 Stadium akhir penyakit ginjal berkembang pada 25-30 % pasien dengan fokal segmental
glomerulosclerosis dalam waktu 5 tahun dan 30-40% dalam 10 tahun.
 Prognosis pasien dengan perubahan nefropati minimal memiliki risiko kambuh. Tetapi
prognosis jangka panjang untuk fungsi ginjalnya baik, dengan sedikit risiko gagal ginjal.
Respon pasien yang buruk terhadap steroid dapat menyebabkan hasil yang buruk.
 Pada sindroma nefrotik sekunder mortalitas dan morbiditas tergantung pada penyakit
primernya.
 Pada nefropati, diabetik tingkat proteinuria berhubungan langsung dengan mortalitas.
 Pada amyloidosis primer, prognosis buruk, meskipun dengan kemoterapi.
 Pada amyloidosis sekunder, perbaikan penyakit penyebab diikuti oleh perbaikan
amyloidosis dan sindroma nefrotik yang mengikuti.

Anda mungkin juga menyukai