Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

Pengenalan

S ang fajar mulai datang menyambut pagi dengan senyum yang terpancar dari langit ke
bumi. Burung terlihat terbang dari dahan yang satu ke dahan yang lain. Bunga mawar
merah bermekaran menambah keelokan pagi. Suasana mampu membuat mata siapa saja
terpesona akan indahnya ciptaan Tuhan yang perlu disyukuri.
Gadis cantik itu mulai merias diri, melihat pantulan wajahnya dari cermin. Ia
mengikat rambut yang panjangnya dengan asal lalu keluar dari kamarnya. Tidak lupa
mengunci pintu kamar. Ia memang akan marah jika siapun masuk ke dalam kamar tanpa
seizinnya.
Rumi Adiputra, nama gadis cantik dan ceria itu. Anak tunggal dari pasangan Viola
Adiputra dan Riyan Adiputra. Keluarga yang sangat harmonis. Mengingat tidak pernah ada
pertengkaran dalam keluarga itu meskipun mereka sudah 18 tahun menikah.
Rumi menapaki tangga satu persatu. Sambil bersenandung kecil. Mendekati Viola
yang tengah menyiapkan makanan. Sedangkan Riyan, sedang menyeruput kopi sambil
membaca koran di meja makan.
"Pagi, Bunda. Pagi, Ayah." Sapa Rumi dengan tersenyum manis, dan langsung
dibalas oleh Ibunya itu dengan senyuman juga. Sedangkan Ayahnya hanya berdeham sambil
baca koran.
"Ini, makan sarapan kamu, yah," kata Ibunya sambil menghidangkan makanan untuk
anaknya itu.
"Ayah, ayo sarapan. Bentar lagi mau ke kantor 'kan?" tanya Viola kepada suami nya
itu.
"Iya," jawab Suaminya.
"Ayah, nanti anterin aku ke sekolah 'kan?" tanya Rumi.
"Iya, pasti, kok."
"Yeaay!!" seru Rumi dengan senang hati. Ia sangat menyayangi Ibu dan Ayahnya itu.
Bahkan, dia tidak rela jika kebahagiaan keluarganya direbut orang lain, yang disebut sama
jaman sekarang itu, yaitu PELAKOR.
"Ya sudah, ayo berangkat, nanti ke siangan lagi," ucap Vio kepada suami dan anaknya
itu seraya meletakan piring kotor ke wastafel, dan setelah itu mengantarkan suami dan
anaknya itu ke depan pintu utama.
"Ayah pergi dulu, ya Bunda," ucap Riyan kepada istrinya sambil mengecup puncak
kepala istrinya itu.
"Iyaa, Ayah. Hati-hati di jalan," ucap Vio kepada Riyan sambil mencium tangan
suaminya itu.
"Bunda, Rumi pergi dulu, bye Bunda ..." ucap Rumi, sambil mencium tangan Ibunya
seraya menuju ke mobil bersama Ayahnya.
Rumi dan Ayahnya beranjak dari halaman rumah yang bernuansa elegan itu.
Diperjalanan menuju sekolah. Rumi sedang asik memainkan ponselnya sambil bersenandung
kecil.
Rumi bersekolah di SMA Pancasila. SMA yang sangat diminati kalangan remaja
sekolah. Tidak lama kemudian, mobilnya berhenti di halaman sekolahnya. Tetapi Rumi tetap
asik dengan ponselnya, hingga tidak sadar bahwa ia sudah sampai.
"Rum, udah sampai," tegur Ayahnya.
"Eh, oh iya. Rumi nggak sadar, hehe..." ucap Rumi cekikikan.
"Udah, ayo turun. Ayah mau ke kantor, takut telat."
"Ok, Yah. Rumi masuk dulu ya, bye, Ayah." ucap Rumi sambil melambaikan
tangannya.
Rumi berjalan memasuki halaman sekolahnya, ia berjalan dengan sangat santai,
banyak pasang mata yang menatapnya kagum, bagaimana tidak, Rumi adalah gadis yang
ceria, cantik, dan juga manis.
"Rumi!!" Teriak seseorang dari belakangnya. Rumi membalikkan badannya
menghadap seseorang itu, dan ternyata dia adalah Maya. Sahabat Rumi dari kecil.
Maya adalah gadis yang manis, cantik, dan baik hati. Maya ini cewek tomboy, yang
tidak suka berpenampilan terlalu feminim. Tapi jangan salah, kecantikannya hampir sama,
dengan Rumi. Nah, maka dari itu banyak laki-laki yang menyukainya mereka berdua ini.
"Ya Allah, Maya. Bisa gak sih, gak usah teriak, manggilnya biasa aja. Masih pagi,"
ucap Rumi sedikit kesal sama Maya.
"Hehe, iyaa ... iyaa maaf, deh. By the way, udah ngerjain tugas kimia belom?" tanya
Maya agak menyengir.
"Kalo udah nanya kek gini, ujung-ujungnya juga minta liat. Iya ... iyaa nanti gua kasih
liat lo," ucap Rumi sambil masuk ke dalam kelas.
"Hehe, lo kan tau, gua lemah sama pelajaran kimia. By the way, terima kasih Rumi
sayang akoh." ucap Maya sambil duduk dikursi dan mengeluarkan buku tulis kimia.
"Iya ... iyaa, nih, bawel," ucap Rumi sambil memberikan buku tulisnya ke Maya.
Maya mengerjakan tugas dengan penuh konsentrasi. Ralat, menyalin tugas dari buku
Rumi.
Tanpa mereka sadari, ada seorang cowok yang memerhatikan mereka dari balik pintu
dan memiliki niat jahil terhadap mereka.
BRAKK!!!
Cowok itu mengagetkan keduanya dengan menggebrak meja.
"Apa-apaan sih, lo, ngagetin aja. Untung gue gak punya riwayat penyakit jantung,"
ucap Maya yang masih fokus menyalin tugas.
"Lebay, lo," celetuk cowok itu.
"Dari mana, Sur?" tanya Rumi.
Cowok yang bernama Surya itu menoleh.
"Biasa," jawab Surya singkat lalu duduk di atas meja.
"Biasa? Kemana?" tanya Rumi bingung.
"Kantin."
"Ke kantin katanya, tapi kalau makan gak pernah bayar," celetuk Maya.
"Enak aja lo, yakali gue gak bayar," ucap Surya kemudian disusul kekehan khasnya.
"Maya, udah belum? Bentar lagi Bu Suratmi masuk," ucap Rumi.
"Dikit lagi nih," kata Maya.
"Nyontek mulu lo, May May," ucap Surya.
"SSG," jawab Maya singkat.
"Apaan tuh?" tanya Surya dan Rumi bersamaan.
"SUKA-SUKA GUE," jawab Maya dengan lidah dijulurkan.
Surya dan Rumi yang melihat kelakuan sahabatnya itu langsung menoyor kepala
Maya.
"Nih, udah," kata Maya sembari mengembalikan buku Rumi.
"Eh, curut. Duduk lo sono, jangan duduk di meja gue, nanti meja gue ternodai," ucap
Maya.
Surya yang merasa diusir oleh Maya merasa kesal. Dengan cepat Surya menjitak
kepala Maya. Maya hanya meringis kesakitan oleh jitakan itu.
"Sakit, njir," lirih Maya.
"Rasain!"
"Udah, deh. Lo pada kayak anak kecil aja, berantem mulu tiap hari," ujar Rumi.
"Dia dulu yang mulai," ucap Maya.
"Eh, lo dulu tuh yang mulai," balas Surya.
"Elo!"
"Lo!"
"Elo!"
"WOI! RIBUT BANGET LO PADA, GOBLOK!" ucap Gara yang berada di sebelah
Surya. Ya, Gara memang orang yang membenci keributan, bahkan ia juga jarang bergaul
dengan teman-teman kelasnya. Sangat anti sosial!
"Tuh, macan ngamuk," bisik Rumi pelan.
"Bodo amat!" jawab Maya.
Bu Suratmi yang notabene adalah guru Kimia SMA Pancasila masuk ke kelas.
Seketika seisi kelas yang tadinya ribut, terdiam. Yang tadinya sedang membenahi wajahnya
dengan bedak, terhenti. Sungguh guru yang sangat disegani.
"Kumpulkan tugas yang saya berikan minggu lalu!" titah Bu Suratmi.
"Gak pake salam pembuka dulu nih, guru. Langsung to the point aja," celetuk Surya
kemudian mengeluarkan buku-buku Kimianya.
***
Setelah berjam-jam belajar hari ini. Akhirnya, waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba.
Bel pulang sekolah berbunyi. Siswa-siswi SMA Pancasila berhamburan keluar kelas untuk
pulang ke rumahnya.
"Pak Toni tuh ya, suka banget sih ngasih tugas yang bikin kepala mumet?" tanya
Maya seputar pak Toni—guru Matematika SMA Pancasila.
"Mungkin pas muda dulu, Pak Toni  susah nyari jodoh kali," jawab Rumi asal.
"Apa hubungannya soal matematika dengan nyari jodoh?" tanya Maya yang semakin
pusing memikirkan jawaban yang dilontarkan oleh Rumi.
"Tau tuh si Rumi, emang rada bego dia," celetuk Surya.
Rumi yang merasa direndahkan langsung saja menyubit lengan Surya tanpa ampun.
"Aw, aduh, sakit. Ampun!" ringis Surya.
"Rasain tuh," ucap Rumi.
"Sakit banget sih kalau nyubit," ucap Surya sambil mengusap lengannya yang
memerah.
"Mau pulang gak sih? Dari tadi jalannya di sini mulu gue rasa, kayak gak bergerak,"
ucap Maya
"Yaudah, ayok." ajak Rumi.
"Sur, kita nebeng di mobil lo ya." ucap Maya.
"Iya, sur. Gue, nggak bawa mobil hari ini." sambung Rumi.
"Elah, lo berdua dasar muka-muka penebengan!" gerutu Surya. "Yaudah, ayo naik."
Lanjutnya.
Rumi dan Maya segera memasuki Mobil Surya. Surya mengemudi mobil dan Rumi
duduk disebelahnya, sedangkan Maya duduk di bangku penumpang. Rumi duduk sambil
memainkan ponsel miliknya, Surya sedang fokus mengemudi, dan Maya sedang asik
membaca novel.
"Hm, May." panggil Rumi.
Panggilan Rumi tidak digubris oleh Maya, karena keasikan membaca novel.
"Woy, Maya!" panggil Rumi cukup keras, hingga Surya yang berada disebelahnya
menutup telinganya dengan satu tangan.
"Apa sih, Rum." ucap Maya kesal.
"Lo, dipanggil budeg banget sih!"
"Sorry, gue nggak denger. Nah, ada apa?"
"Ini liat, ada yang kirim pesan ke gue. Tapi, gue nggak tau dari siapa." ucap Rumi
seraya menyodorkan ponselnya Ke Maya.
"Lah, kenapa dia?" tanya Maya.
"Enggak tau."
"Udah, biarin aja." sambung Surya.
"Eh bego, kalau dibiarin, Rumi bahaya!" gerutu Maya.
"Bahaya? Bahaya kenapa?" tanya Surya dan menepikan mobilnya, "liat," lanjutnya.
Jangan ganggu, Surya.
Surya menyipitkan matanya, ia seperti mengenal nomor telepon itu. Surya
mengeluarkan ponsel miliknya dan mengotak-atik ponselnya, seperti mencari sesuatu.
"Nah, sama kan." ucapnya tiba-tiba.
"Sama? Sama paan, Sur?" tanya maya, dan Rumi hanya diam saja.
"Ah, ini nomornya, Faisal." ucap Surya.
"Faisal? Faisal Rahman?" tanya Rumi.
"Iya."
"Lah, dari mana dia dapet nomor, Rumi?" tanya Maya bingung.
"Enggak tau, paling dia iseng-iseng aja." jawab Surya.
"Faisal? Kayak kenal." ucap Rumi dalam hati.
"Eh, Sur. Faisal ini temen lo kan?" tanya Rumi.
"Iya, dia temen gu... Eh wait wait. Oh iya, tadi Faisal minjem ponsel gue, dan gue
nggak tau dia ngapain." ucap Surya.
"Nah, mungkin dia nyalin nomor lo." ucap Maya.
"Bisa jadi. Tapi, ya udahlah, ak udah biasa." ucap Rumi sombong.
"Taik lo, Rum. Sok cantik banget!" ucap Maya seraya menoyor kepala Rumi.
"Emang gue cantik. Kalau gue jelek mana ada yang ngejar-ngejar gue!"
"Udah deh, pada mau pulang nggak sih!" gerutu Surya.
"Lah, kan lo yang mengudi, Surya." kesal Maya.
"Tau ih, Surya. Bego banget!" sambung Rumi.
Surya kembali menghidupkan mobilnya dan mengendarainya dengan kecepatan
standar. Maya yang berada di bangku penumpang kembali fokus membaca novelnya, dan
begitu dengan Rumi, ia kembali memainkan ponselnya.
Setelah beberapa jam di perjalanan, mobil Surya sudah memasuki kompleks
perumahan kediaman Rumi tinggal.
BAB 2
Diam-Diam Suka

R iyan menghentikan aktifitasnya, merenggangkan otot lengan dan punggung setelah


seharian berkutat dengan laptop didepannya. Ditutupnya laptop itu lalu ia masukan
kedalam tas kerja berwarna hitam miliknya. Di lihatnya jam bulat di dinding berwarna hijau
muda sebelah kanan berjarak kurang lebih tiga meter dari kursi kantornya.
"Jam 8 lewat 25 menit," gumamnya pelan. kemudian ia bangkit dari tempat duduknya
meninggalkan ruangan yang sudah 15 tahun dihuninya.
Riyan melangkah pelan menuju lift dimana sekarang ia berada dilantai tiga. Menekan
tombol pada lift secara otomatis pintu lift terbuka pelan. Di pencetnya angka satu untuk
menuju kelantai bawah. Perlahan pintu lift menutup.
"Tunggu..." Teriak gadis dari kejauhan sambil melambaikan tangannya ke arah Riyan,
dengan cepat Riyan mengganjal lift yang mulai menutup itu dengan kakinya. Gadis itu berlari
masuk kedalam lift lalu berdiri disamping Riyan. Dan pintu lift menutup dengan otomatis.
"Terimakasih, Pak." ucap gadis itu tulus, dan dengan senyuman yang terus
menggembang dari bibir merahnya.
"Sama-sama. Panggil saja Riyan, ini sudah bukan jam kerja." kata Riyan santai
"kenapa kamu baru pulang? bukannya harusnya sudah dari jam 8?"tanya Riyan kepada
Lophisa selaku sekertarisnya.
"Tadi, saya mencari flashdisk yang hilang, disitu banyak dokumen penting!" Lophisa
menatap atasannya itu.
"Terus sudah ketemu?" tanya Riyan kembali.
Lophisa mengangguk pelan.
"Ternyata sudah saya masukan kedalam tas," ucap Lophisa malu mengingat
kecerobohannya.
"Dasar pelupa!" Riyan terkekeh pelan. Lophisa hanya menunduk menyembunyikan
wajahnya.  bertepatan dengan itu, lift terbuka.
"Duluan ya!"kata Lopisha saat pintu lift terbuka.
Ia pun berjalan dengan anggun saat melewati lobi kantornya yang sudah lama ia
mengabdi pada pekerjaannya ini. Ia pun pulang dengan jalan kaki menuju apartementnya.
Lophisa melakukan itu untuk menghemat uang bulanannya, karena dia hidup jauh dari orang
tuanya.
Lopisha berjalan menuju apartemennya dengan santai, cuaca terasa dingin seperti
akan turun hujan. Sedangkan jalan menuju apartemennya lumayan jauh dari kantor.
Bunyi klakson mobil,menghentikan langkah Lopisha, dan tepat saat Lopisha berhenti
melangkah sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat disampingnya.
Lopisha menyipitkan matanya, ia seperti mengenal mobil itu. "Seperti... mobil Pak
Riyan." batin Lopisha.
Perlahan kaca mobil itu terbuka, dan memperlihatkan seorang laki-laki yang sangat ia
kenal tersenyum manis ke arahnya.
"Bareng!" ucap Riyan sambil membuka pintu mobil di sebelahnya.
"Tidak perlu, saya bisa pulang sendiri," tolak Lophisa karena merasa tidak enak jika
dia menumpang mobil Riyan, meskipun Riyan sendiri yang menawarkan.
"Ayo! Ini perintah atasan!"  dengan segera Lophisa masuk kedalam mobil, jika sudah
menyangkut atasan dan bawahan ia sadar kalah telak. Lophisa tidak ingin mengecewakan
bosnya.
Tidak ada percakapan diantara keduanya, Riyan sibuk menyetir sementara Lophisa
tengah bermain dengan ponselnya.
"Lov.... " Panggil Riyan pelan kearah Lophisa. Gadis itu langsung menoleh ke arah
bosnya itu, apa ia tidak salah dengar, Riyan memanggilnya Love?
"Emm... maksud saya Lophisa, saya ingin bertanya. Benda apa yang di sukai wanita?"
tanya Riyan tanpa basa basi.
"Bapak mau ngasih hadiah ke Ibu Viola?" Tanya balik Lopisha.
Riyan mengangguk.
"Saya sangat mencintai istri saya, saya ingin memberi kejutan untuk istri saya. Dan
ingat jangan panggil saya Bapak, saya belum tua-tua amat."
"Iya pa--eeh maksudnya Riyan," jawab Lopisha gugup.
"Nahh kan gitu lebih enak di dengar," ucap Riyan.
"Biasanya cewek itu suka perhiasan, Riyan yaa... Tapi, tergantung sih, gak semua
yang suka." jelas Lopisha.
"Oke makasih ya, Lop." ucap Riyan berterimakasih seraya tersenyum manis.
Lopisha pun mengangguk dan tersenyum samar.
Tidak lama kemudian mobil berhenti tepat didepan apartemen kediaman Lopisha.
"Udah sampai."
"Iya, terimakasih sudah mengatar saya." ucap Lopisha berterima kasih.
"Iya, sama-sama."
***
"Ayah pulang!" ucap Riyan agak keras membuat Anak dan Istrinya yang sedang
menonton sinetron itu menoleh ke pintu dimana Ayahnya sedang berdiri sambil menyangking
tas berisi laptop.
Viola yang tadi sedang duduk berdiri menyambut dan mencium tangan suaminya.
Riyan membalas dengan mengecup kening Viola lama.
"Anggap saja Rumi gak ada!" celetuk Rumi sambil menutup wajahnya dengan kedua
tangan. Mengintip dari jari-jarinya.
"Dasar jomblo!" Riyan menyerahkan tasnya ke Viola.
"Ih, Ayah!" gerutu Rumi seraya memanyunkan bibirnya.
"Ugh... cantiknya anak Ayah, kalau lagi ngambek," ucap Riyan sambil menoel pipi
Rumi.
"Memang cantik dari lahir," ketus Rumi.
"Idih, anak Ayah ngambek, ya?"
"Nggak!" ucap Rumi dan menjauh dari hadapan Ayah, Bundanya. Riyan dan Viola
hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala mereka, saat melihat anak tunggalnya itu.
"Bun, Ayah laper." ucap Riyan sambil berjalan ke ruang makan.
"Iya, Yah. Bunda tau, itu Bunda udah masak, Ayah makan aja," ucap Viola.
Kemudian Viola berjalan menuju kamar untuk meletakkan tas suaminya tadi, setelah itu ia
kembali keluar menuju ruang makan.
"Hm... Ayah, besok Ayah inget 'kan?" tanya Viola agak sedikit ragu.
"Apa? Inget apa?" tanya Riyan sambil mengunyah makanannya.
"Ah, nggak ada. Lupakan," ucap Viola kemudian
tersenyum samar. Dalam hati. Viola berdoa Semoga suamiku tidak lupa.
"Kok nggak jadi? Bilang aja sayang," ucap Riyan dengan masih fokus pada
makanannya.
"Nggak ada kok, lupain aja," Kata Viola tersenyum kemudian menuangkan air ke
dalam gelas, setelah itu ia berikan kepada Riyan.
Riyan memakan makanan istrinya dengan lahap. Menurutnya ada dua masakan enak
di dunia ini, pertama masakan Ibunya dan yang kedua masakan Viola, Istrinya. Viola duduk
di sebelah suaminya yang sedang serius makan.
"Kenapa?" tanya Riyan saat melihat Istrinya terus menatapnya tanpa berkedip.
"Ayah tau, Ayah tampan, bahkan lebih tampan dari aktor favorit Bunda, siapa itu?
emm... Shahrukh Khan." Riyan meminum air putih yang telah di siapkan Viola.
Viola memutar matanya jengah, sejak dulu suaminya ini memang memiliki
kepercayaan diri yang overdosis. Mungkin ini juga yang menyebabkan Rumi memiliki sifat
yang sama.
"Ayah terlalu percaya diri!" Viola membereskan piring bekas makan Riyan dan
langsung mencuci piringnya.
Riyan memeluk Viola dari belakang dengan penuh kasih sayang, pelukan yang
membutnya merasa nyaman.
"Ayah sayang Bunda," Riyan meletakan dagunya ke bahu Viola agar istrinya itu bisa
mendengar ucapannya dengan jelas.
Viola hanya terdiam mendengarkan ucapan suaminya, 18 tahun menikah namun
rasanya masih sama, detak jantungnya masih berdebar kencang saat mendengar ucapan itu
keluar dari mulut suaminya. Viola yakin jika rasa cintanya ke Riyan tidak berubah sampai
saat ini, bahkan malah semakin besar dari hari ke hari.
"Sampai kapan Ayah mau peluk Bunda? Mending sekarang Ayah mandi!" Viola
mengalihkan pembicaraan.
"Ayah gak mau mandi kalau bukan Bunda yang mandiin!" bisik Riyan ditelinga Viola
dengan nada menggoda.
"Aduh! Istri durhaka" ringis Riyan saat kepalanya di ketok menggunakan talenan
yang sedang di cuci Viola.
"Mati dulu sana! Baru Bunda mandiin! Udah sana mandi, Bunda masih nyuci piring!"
perintah Viola.
"Ayah gak peduli!"
Riyan menutup kran air, lalu menggendong Viola naik ke kamarnya.
"Heh! Ayah! Turunin, Bunda! Nanti Rumi liat, Yah," teriak Viola pelan.
"Nggak peduli, yang penting Ayah mau lama-lama sama Bunda. Bunda nggak peka
banget, sih," ketus Riyan yang masih menggendong Viola.
Riyan pun berjalan menuju kamarnya. Sebelum sampai dikamar, ternyata anaknya
melihat tingkah Ayah dan Ibunya itu.
"Terus, gitu aja terus. Lama-lama aku baper liat Bunda sama Ayah," celetuk Rumi di
balik pintu kamarnya.
Karena kepergok sama anaknya, Riyan langsung masuk ke dalam kamar sambil
tertawa. Sedangkan Rumi masih berteriak kesal karena tidak dihiraukan oleh Ibu dan
Ayahnya.
"Ayah!! Ih, Rumi mau ngomong, kenapa ditutupin pintu!" teriak Rumi dari luar
kamar.
"Udah, Rumi pergi aja. Ayah, sama Bunda ada kerja!" teriak Ayahnya.
"Ih, iya deh. Yah, Bun, Rumi pergi keluar."
"Sama siapa?" tanya Ibunya saat membuka pintu.
"Idih, udah giliran Rumi, bilang mau pergi baru keluar!" ucap Rumi dengan wajah
cemberut.
"Uluh, anak Bunda, ngambek." ucap Bundanya seraya membelai rambut Rumi
lembut.
"Ih, udah ah. Rumi mau pergi, Bun."
"Sama siapa, sayang." tanya Ayahnya seraya mendekati Rumi.
"Sama Maya, dan Surya."
"Oh, ok. Tapi, pulangnya jangan malam-malam, ya." ucap Bundanya memperingati.
"Iya, Bun iya." jawab Rumi. "Oh iya. Rumi bawa mobil, ya." lanjutnya.
"Kenapa tidak pakek mobil, Surya aja?" tanya Ayahnya.
"Mobil, Surya dipinjem sama saudaranya. Jadi, Rumi deh bawa mobil. Boleh ya, ya,
ya." ucap Rumi dengan puppy eyes nya.
"Hm, iya. Hati-hati."
"Yes, sayang, Bunda." teriak Rumi kegirangan seraya memeluk Ibunya.
"Oh, Rumi nggak sayang, Ayah?" tanya Ayahnya dengan wajah cemberut yang
dibuat-buat.
"Rumi juga sayang, Ayah." ucap Rumi dan memeluk Ayahnya.
"Ok, Rumi pergi ya, bye." ucap Rumi setelah melepaskan pelukannya, dan langsung
pamit pergi seraya melambaikan tangannya.
Rumi berjalan menuju bagasi, fan mengeluarkan mobil yang berwarna merah. Itu
adalah mobil kesayangan miliknya, tidak ada satupun yang bisa membawa mobil itu kecuali
dirinya.
Mobil itu adalah hadiah ulang tahunnya yang ke-17 yang diberikan oleh Opa-nya.
Opa, Rumi sangat menyayanginya karena Rumi adalah cucu satu-satunya perempuan.
Sekaligus anak tungal dari Riyan dan Viola.
Rumi mengendarai mobilnya keluar halaman rumah, ia menggendarai mobil dengan
sangat santai. Tangan kiri yang memainkan ponsel dan tangan kanannya memegang kemudi.
Ponsel Rumi berdering menandakan pesan masuk. Rumi, mengambil ponselnya dan
melihat pesan itu, dan ternyata pesan itu dari sahabat perempuannya Maya.
From Maya: Rum, lo udah dimana? Lama banget jemput kita.
Too Maya: Ini lagi dijalan, sabar napa. Lo, sama siapa?
From Maya: Gue sama, Surya. Cepetan dikit, ya.
Too Maya: Iya iya, ini udah deket.
From Maya: Ok.
Setelah selesai membalas pesan dari Maya, Rumi kembali melajukan mobilnya. Dan
tidak lama kemudian sampailah dia dihalaman rumah Maya.
BAB 3
Mulai Nyaman

S aat ini yang menyetir mobil adalah Surya. Karena Rumi tak ingin berlama-lama menyetir.
Sekiranya itu alasan yang dilontarkan Rumi saat Surya bertanya. Alasan yang sangat
tidak logis!
Rumi melihat Maya yang berada di kursi belakang sedang menatap layar ponselnya. 
Raut wajah Maya tampak kusut. Sekusut baju yang belum disetrika.
Maya kenapa? Batin Rumi.
Saat melihat tetesan air bening jatuh dari mata Maya, kening Rumi semakin
mengkerut. Ada apa dengan temannya ini? Sedang putus cinta? Tapi, Maya tidak pernah
bercerita akan hal itu.
"Sur," bisik Rumi kepada Surya.
"Hm?" jawab Surya dengan deheman.
"Coba deh lihat tuh, Maya kenapa?" kata Rumi masih sedikit berbisik.
"Gak tau, tanya aja sendiri," ketus Surya.
"Ih, kok nyebelin ya," gerutu Rumi kemudian memukul lengan Surya.
Karena rasa penasaran sangat, akhirnya Rumi bertanya pada Maya.
"May, lo kenapa? Kok nangis? Putus cinta? Emang siapa pacar lo?" serentetan
pertanyaan yang dilontarkan oleh Rumi bak gerbong kereta, dan membuat konsentrasi Maya
buyar.
"Ih, apaan sih? Gue tuh gak lagi putus cinta. Gak banget gue diputusin nangis-
nangis," jawab Maya.
"Lalu kenapa?" tanya Rumi.
"Gue abis baca wattpad, endingnya sad. HUAA! RUMII!" ucap Maya.
"Idih, kirain kenapa,"
"Eh, bocah. Kita mau kemana, nih? Dari tadi nih, capek gue bawa mobil," ucap Surya.
"Gak tau," jawab Rumi.
"Lah, kok gak tau? Kan lo yang ngajak jalan."
"Terserah deh mau kemana, ngilangin jenuh," ucap Maya.
Setelah mendengar jawaban dari sahabatnya, Surya kembali fokus menyetir mobil.
Setelah sampai di suatu tempat yang telah dituju, Surya memarkirkan mobil milik
Rumi dengan rapi, diarea parkir.
"Kok ke taman kota sih, Sur?" tanya Rumi bingung.
"Tau nih, malem-malem ke taman kota. Gak seru tau," oceh Maya.
"Lalu mau kemana? Ke club? Yakali, gue bawa lo berdua ke club," ujar Surya santai.
Surya melangkahkan kakinya di atas rerumputan yang sedikit basah. Dan mau tak
mau kedua gadis yang berada di belakangnya mengekor.
Surya mendudukkan bokongnya di salah satu kursi panjang yang berada ditaman.
"Eh, gue ke toilet dulu, ya. Udah kebelet," ujar Maya dan langsung berlari mencari
toilet umum.
"Hey, ngapain berdiri? Sini duduk," ucap Surya kemudian menarik tangan Rumi
untuk duduk di sebelahnya.
Surya melihat kerlipan bintang yang ada di langit. Bulan yang cerah tampak malam
itu, seperti mereka tersenyum kepadanya.
"Rum, lo tau gak arti dari bulan dan bintang yang ada di langit itu bagi gue?" tanya
Surya.
"Hm, nggak. Emangnya apa?" tanya Rumi sambil menatap wajah Surya yang terlihat
putih.
"Nah, yang jadi bulan itu kamu dan aku jadi bintangnya," ucap Surya tersenyum
melihat bulan dan bintang yang ada di langit.
"Eh."
Mendadak suasana menjadi canggung. Rumi terlihat salah tingkah. Kenapa ia harus
bersikap seperti ini? Toh, Surya hanya sahabatnya. Tidak lebih.
Tapi, entah mengapa ketika Surya mengucapkan kalimat itu ada rasa aneh yang ia
rasakan. Rasa nyaman. Tenang. Tentram. Dan, ada rasa senang saat ia mendengar Surya
mengucapkan kalimat itu. Tidak, tidak mungkin Rumi sedang jatuh cinta.
"Kok ... kok, Gue?" tanya Rumi sedikit malu.
"Iyaa ... karna bul--" ucap Surya terpotong karena Maya datang.
"Ahhh, gilaa. Lega bener dah, ahh, kek orang bego gua nahan cenayang. Mana tadi
ngantri lagi!" ucap Maya dengan celotehannya.
"Loh, Rum, muka lo kenapa kek kepiting rebus gitu? Sur, sahabat gua lo apain?"
tanya Maya yang memperhatikan wajah Rumi sambil melirik ke Surya.
"Lah, kok gue?" tanya Surya pura-pura tidak tau.
"Caelah, lo gombalin, Rumi, ya?" tanya Maya sambil menyipitkan matanya.
"Eh, eh. Nggak kok!" elak Surya.
"Tap--“
"Eh, udah deh. Ini kita ngapain? Kek orang gila tau nggak, disini lama-lama." ucap
Rumi memotong perkataan Maya.
Rumi berjalan menjauh dari dua sahabatnya itu, sedangkan Maya dan Surya yang
melihat kelakuan Rumi hanya terkekeh seraya menggelengkan kepala.
"Ah, udah. Ayok kejar, Rumi." ucap Maya seraya berlari mengejar Rumi yang sudah
jauh.
"Rum, tungguin kita!" teriak Maya.
"Cepetan!" balas Rumi tanpa melihat kebelakang.
"Gila, lo ya. Jalan cepet banget." ucap Maya ngos-ngosan saat sudah berada di
samping Rumi.
"Terus?" tanya Rumi singkat.
"Terus? Terus apa?" tanya balik Maya.
"Terus, gue pikirin!"
"Dadar!"
"Paan, dadar?"
"Nggak tau." jawab Maya sambil senyam-senyum sendiri.
"Woy, cewek tungguin gue!" teriak Surya dari kejauhan.
"Cepet, Surya!" teriak Maya.
Surya berlari dengan kencang karena dia sudah tertinggal jauh dari Maya, dan Rumi.
"Rumi kenapa sih?" gumam Maya heran.
"Gak tau," jawab Surya lalu mendorong Maya hingga terjengkal ke tanah. Kemudian
berlari menjauhi Maya.
"Surya! Tunggu pembalasan dariku," ucap Maya marah.
Setelah berada di dalam mobil, mereka duduk dengan tenang.
"Rum, lo kenapa sih? Gak jelas banget," ketus Maya.
Surya menyalakan mesin mobil lalu menyetir mobil keluar dari area parkiran..
"Mau kemana lagi?" tanya Surya.
"Langsung pulang aja," ucap Rumi.
"Eh, nanti dulu pulangnya. Gua laper, kita cari makan dulu. Baru balik." Ucap Maya
yang duduk di bangku belakang sambil menyalakan musik radio di dalam mobil.
"Mau makan dimana kita?" tanya Surya
"KFC aja." Ucap Maya sekaligus melirik Rumi yang sedang fokus sama handponenya
dari tadi.
"Rum, lo kenapa sih? kalo ada apa-apa itu cerita," ucap Maya seraya kembali
membuka halaman novel yang terakhir dia baca.
"Gpp Maya, iya... iya, bawel," ucap Rumi sambil memandang luar jendel, batin Rumi
"duhh. Gua kenapa si sebenernya. Ya Allah." ucap Rumi dalam hati sambil melirik Surya
diam-diam yang sedang fokus nyetir.
Tidak lama kemudian kita sudah sampai di Restoran.
"Udah sampe nih." Ucap Surya sambil mematikan mobil.
"Ettdahh, udah sampe aja. Baru bentaran baca, Lagi seru padahal." Ucap Maya yang
siap-siap turun dari mobil.
Setelah masuk, tidak terlalu banyak yang makan. Jadi masih banyak tempat yang
kosong. Namun kita memilih tempat yang paling pojok.
"Samain aja ya semua. Paket 3 jadinya," ucap Surya seraya melirik Rumi dan Maya.
"Sur, jangan lupa ya. Gua tambahin minum yang kek biasa," ucap Maya
"Iya gak lupa gua. Cappucino kan," ucap Surya seraya pergi untuk memesan menu
pesanan.
"Nahh cakep," ucap Maya sambil menatap Rumi yang sedang fokus sama
handponenya
"Rum, lo kenapa si? Ada apa? Dari tadi diem aja? Ada masalah apa? Gak kek
biasanya lo kek gini," ucap Maya
Karena merasa namanya di panggil dia pun menengok "Gak apa-apa, Maya, nanti
malam aja gua ceritainnya," ucap Rumi
"Yaudah, iya.. iya," ucap Maya.
Tidak lama kemudian yang di tunggu pun dating.
"Nih, pesanan lo pada," ucap Surya seraya meletakkan nampan di meja.
Surya duduk tepat disebelah kiri Rumi, dan itu dapat membuat Rumi menjadi salah
tingkah.
Rumi sempat terdiam beberapa saat, dan tidak lama kemudian Rumi beralih
mengambil ponselnya dan mengotak-atik ponsel itu.
Maya dan Surya hanya menatap Rumi yang sedang asik dengan ponselnya, tanpa
sedikitpun menyentuh makanan miliknya.
"Rum! lo nggak makan?" ucap Maya merasa kesal.
Rumi yang dipanggil oleh Maya sedikitpun tidak menggubrisnya. Ia tetap fokus
dengan ponsel miliknya.
"Woy, Rum! Lo, budeg?" Kesal Maya sambil meninggikan suaranya. Tanpa di sadari
sudah banyak mata yang melihat ke arah mereka.
"Paan sih, May? Gue nggak budeg! Lo, makan aja, gue nggak laper!" jawaban Rumi
sedikit ketus.
"Ih, lo kenapa sih? Dari tadi diem mulu, lo ada masalah? Cerita dong!"
Surya hanya menatap perdebatan antara Rumi dan Maya yang terasa semakin lama
semakin memanas.
"Gue, udah bilang nanti, kan?"
"Ah, bang**t," kesal Maya dan berdiri keluar dari restoran itu.
Ya, Maya sangat tidak suka dengan sifat Rumi yang pendiam, dan rahasia. Maya
sangat membencinya, ia tidak suka ada rahasia diantara orang terdekatnya.
"Mayaaa! Arghhhh," teriak Surya seraya berdiri namun Maya sudah menjauh.
"Maaf," ucap Rumi dengan suara lirih
"Udahlah! Balik! Lo gua anter!" ucap Surya seraya sedikit menarik lengan Rumi,
yang disisi lain menghawatirkan Maya.
Di dalam mobil hanya ada keheningan yang ada, Surya mengendarai mobil dengan
kecepatan penuh. Kebetulan jalanan sudah tidak seramai tadi. Karena, Surya memikirkan
Maya. Tak berapa lama sampai di kediaman rumah Rumi.
"Terimakasih, sur," ucap Rumi menunduk seraya membuka kenop pintu mobilnya.
"Iya, Yaudah gua mau cari Maya dulu," ucap Surya.
Surya melajukan mobilnya dengan kecepatan standar. Tak lama, Surya
memberhentikan mobilnya di tepi jalan. Untuk menghubungi Maya.
"Ah, sial, enggak di angkat lagi!"ucap Surya dengan gelisah, khawatir.
"Lo dimana May. Udah malem. Gua harus cari lo kemana," ucap Surya dengan nada
khawatir.
Sedangkan di sisi lain, Maya tidak langsung pulang ke rumah. Maya pergi ke Taman
Cattleya. Taman yang cocok untuk menenangkan pikirannya. Ada pula yang berpacaran, ada
juga yang sendiri meratapi ke jombloannya.
Taman yang nyaman dengan nuansa kolam kecil dan air mancur untuk memperindah
pemandangan, dengan bunga yang bermekaran. Karna sudah malam jadi samar-samar terlihat
karna cahaya lampu taman. Maya duduk di bangku taman seorang diri dan menatap ke arah
langit.
Maya sadar, akan nada dering ponsel yang terus berbunyi. Maya yakin sudah pasti itu
Surya yang menelponnya.
Karena merasa brisik. Maya mengambil handponenya dari dalam tas kecilnya dan
menggeser ke arah tombol hijau.
"Kenapa?" ucap Maya dengan nada malas.
"Akhirnya di angkat juga, lo kemana aja si?! gua dari tadi telfon lo, enggak, di
angkat-angkat! Gua nyariin lo gak ketemu-ketemu! Lo dimana sekarang?!" ucap Surya
dengan bawelnya
"Bawel lo, Taman Cattleya," ucap Maya malas.
"Otw. Jangan kemana-mana lo," ucap Surya seraya mematikan telpon sepihak.
Tidak lama kemudian, Surya sudah sampai di Taman Cattleya, keluar dari mobil.
Surya mencari keberadaan Maya, tak lama Surya menemukan Maya yang sedang sendiri
menatap langit yang tidak jauh dari lampu taman.
Senyum Surya mengembang, "Kebiasaan tuh anak, selalu menatap ke langit," gumam
Surya seraya menghampiri Maya.
"Gua kagetin aja ahh," ucap Surya.
"Woi!" ucap Surya seraya mengagetkan Maya.
"Astaghfirullaah. Surya! lo ngagetin gua aja si. Nyebelin banget jadi cowok!" umpat
kesal Maya terhadap Surya.
"Hahahaha komok lo hahahaha gilaaa," ucap Surya sambil ketawa tanpa henti. Karna
melihat ekpresi kagetnya Maya. Tanpa di sadari sudah banyak sepasang mata yang merhatiin
mereka.
"Surya, ih, enggak lucu. Malu-maluin aja lo. Di liatin banyak orangkan jadinya,"
gerutu Maya terhadap Surya.
"Hahaha iyaa.. iya, ok, ok, maaf," ucap Surya seraya meredahkan tawanya.
"Ngapain lo kesini?" ucap Maya tidak menatap surya melainkan kembali menatap
langit.
"Lo kenapa tadi?" ucap Surya menatap kearah Maya
"Gak papa. Gua cuman kesel aja sama Rumi. Diem mulu, semenjak balik dari kotu
tadi. gak ngejawab pula. Emangnya tadi lo apain, si Rumi?" ucap Maya
"Enggak gua apa-apain. Orang cuman gombal biasa," ucap Surya
"Ngegombal. Tapi, sampe bikin anak orang diem seribu bahasa," ucap Maya yang
kini menatap ke arah Surya
"Iya cuman gombalan biasa,"ucap Surya yang juga menatap ke arah Maya
"Wow. Gua tau nih," ucap Maya
"Tau Apaan?" ucap Surya sedikit penasaran
"Jangan-jangan Rumi suka sama lo, Surya,"ucap Maya seraya menunjuk ke arah
muka Surya.
"Ah, apa-apaan si lo May. Ya, gak mungkinlah," ucap Surya seraya mengibaskan
tangannya.
"Yehh, kan, bisa aja gitu," ucap Maya seraya kembali natap langit.
"Lagi, emang kenapa? Kalo, emang, si Rumi suka sama lo. Toh, gua dukung lo
berdua. Iyaa, jelas, karena kalian berdua. Sahabat gua. Apa lagi, Rumi. Sahabat gua dari
kecil," ucap Maya yang masih stay menatap langit.
"Ah, gak mungkin. Lagi. Gua juga lagi suka sama orang," ucap Surya yang masih
menatap bintang
"Eh, siapa?"ucap Maya langsung menatap ke arah Surya
"Ah. Kepo lo. Udah malem nih. Udah, ayo, buru, balik. Udah malem," ucap Surya
seraya menolah dan langsung berdiri untuk beranjak dari taman itu.
"Eh. Ih. Surya. Siapa orangnya? Gua sama Rumi kenal gak? Dia kelas berapa? Ade
kelas?" celoteh Maya
"Brisik lo ah. buru. balik,"ucap Surya seraya pergi meninggalkan Maya
"Eh, ih, Surya! Tungguin gua! Siapa orangnya?!"ucap Maya sedikit nada tinggi
seraya mengejar Surya yang jalan udah jauh, berasa gak punya bodong tuh anak.

Anda mungkin juga menyukai