Anda di halaman 1dari 5

MATERI WEBINAR HOT ISSUE PERPAJAKAN DALAM KEPAILITAN

17 JUNI 2022

PENGANTAR

Perseroan Terbatas (PT) dalam menjalankan kegiatannya tidak pernah terlepas dari hak
dan kewajiban yang merupakan hubungan hukum dengan pihak-pihak diluar dan didalam
perseroan Kewajiban-kewajiban yang timbul dari operasional perusahaan adalah utang. Jika
perusahaan terus mengalami kerugian dan kemunduran sampai pada suatu keadaan
dimana perusahaan berhenti membayar atau tidak mampu lagi membayar utang-utangnya,
maka pihak debitur ini melakukan kelalaian. Kelalaian debitur ini dapat disebabkan oleh
faktor kesengajaan (ketidakmauan) atau disebabkan karena keterpaksaan
(ketidakmampuan).

Kesulitan keuangan yang biasa terjadi dalam sebuah perusahaan sering kali membawa
perseroan dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya (insolvent). Permohonan
pailit terhadap Perseroan Terbatas dapat diajukan apabila perseroan sudah berada dalam
keadaan insolven (insolvent) yakni tidak mampu membayar utang-utangnya kepada para
kreditor.

Ketentuan mengenai kepailitan dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004


tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (selanjutnya disebut UU Kepailitan) menyebutkan bahwa kepailitan adalah sita umum
atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.

SYARAT PERMOHONAN KEPAILITAN


Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) UU Kepailitan, yang dapat memutuskan permohonan
kepailitan adalah Pengadilan Niaga sesuai domisili Termohon (dalam hal debitor merupakan
badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud di dalam
anggaran dasarnya). Saat mengajukan permohonan kepailitan harus memenuhi beberapa
persyaratan terlebih dahulu. Syarat yang harus dipenuhi untuk mengajukan permohonan
pailit tercantum pada Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 4 UU Kepailitan, yakni:
1. Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya;
2. Adanya kreditor uang memberikan pinjaman utang kepada debitor yang dapan
berupa perseorangan maupun badan usaha;
3. Terdapat sejumlah utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Utang tersebut
dapat dikarenakan telah diperjanjikan, terjadinya percepatan waktu penagihan,
sanksi atau denda, maupun putusan pengadilan dan arbiter;
4. Adanya permohonan pernyataan pailit dari Lembaga terkait.
PIHAK YANG DAPAT MENGAJUKAN PERMOHONAN KEPAILITAN

Berdasarkan UU Kepailitan disebutkan pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan


kepailitan adalah:

1. Dalam hal debitor adalah untuk kepentingan umum dapat diajukan oleh Kejaksaan;
2. Dalam hal debitor adalah bank maka pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh
Bank Indonesia;
3. Dalam hal debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan
Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pailit hanya
dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal; dan
4. Dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana
Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan
publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

SIAPA SAJA KREDITOR DALAM KEPAILITAN?

Dalam penjelasan pasal 2 UU Kepailitan, disebutkan bahwa dalam kepailitan kreditur


dibedakan menjadi tiga, yaitu:
 
1. Kreditor separatis (kreditor yang memegang hak jaminan kebendaan atas
piutangnya). Jaminan ini mencakup Gadai, Fidusia, Hak Tanggungan dan Hipotik
Kapal.
2. Kreditor preferen (kreditor yang diistimewakan). Kreditor jenis ini merujuk pada Pasal
1139 dan Pasal 1149 KUHPer, yaitu kreditor yang memiliki piutang-piutang yang
diistimewakan, antara lain mencakup
a. biaya perkara
b. uang sewa dari benda tak bergerak
c. harga pembelian benda bergerak yang belum dibayar
d. upah para buruh
3. Kreditor konkuren (kreditor biasa), artinya kreditor yang sama sekali tidak memegang
jaminan khusus atas piutangnya dan tidak memperoleh hak diistimewakan dari
undang-undang.

AKIBAT HUKUM ATAS KEPAILITAN

Suatu perseroan yang telah dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan


mengakibatkan perseroan tersebut lumpuh tidak dapat melakukan kegiatan usaha kecuali
sebatas pengurusan dan pemberasan harta pailit yang dilakukan oleh Kurator. Pengurus
perseroan dalam hal ini Direksi dan seluruh pengurusnya tidak lagi memiliki wewenang
apapun untuk bertindak mengurus kekayaannya.

PERTANGGUNGJAWABAN TAGIHAN PAJAK ATAS KEPAILITAN

Dalam hal terjadi pailit, tuntutan mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta pailit
sudah sepatutnya ditujukan kepada kurator. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 26 ayat 1
UU Kepailitan yang menyatakan tak terkecuali tuntutan terhadap pengurusan dan
pemberesan harta pailit untuk menyelesaikan utang badan perseroan seperti utang pajak.

Keberadaan kurator pada hakikatnya, sebagaimana ketentuan di dalam UU Kepailitan,


diposisikan sebagai penanggung pajak sekaligus wajib pajak badan yang telah dipailitkan.
Sesuai dengan pengertian yang tertulis dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 28/2007
(selanjutnya disebut UU KUP) yang menyatakan, “Penanggung Pajak adalah orang pribadi
atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan”

Berkaitan dengan wajib pajak/penanggung pajak yang dinyatakan pailit menimbulkan hak
mendahului. Hak mendahulu baru timbul apabila wajib pajak/penanggung pajak pada saat
yang sama disamping mempunyai utang-utang pribadi (perdata), juga mempunyai utang
terhadap negara (fiskus), di mana harta kekayaan dari wajib pajak/penanggung pajak tidak
mencukupi untuk melunasi semua utang-utangnya. Di dalam Pasal 21 ayat (1) UU KUP
diakatakan bahwa negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-
barang wajib pajak, begitu pula atas barang-barang milik wakilnya yang bertanggung jawab
secara pribadi dan/atau secara renteng. Hak mendahulu dimaksud, meliputi pokok pajak,
bunga, denda administrasi, kenaikan dan biaya penagihan. Berdasarkan Pasal 21 (1) UU
KUP tersebut, maka kedudukan utang pajak merupakan suatu hak yang istimewa, dimana
negara mempunyai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas
barang-barang milik Penanggung Pajak.

Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh
atau terhadap kurator berdasarkan Pasal 26 ayat 1 UU Kepailitan. Selama berlangsungnya
kepailitan tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan
terhadap debitor pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan.
Hal tersebut sesuai dengan Pasal 27 UU Kepailitan. Apabila wajib pajak dinyakatakan pailit,
bubar atau dilikuidasi, maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk
melakukan pemberesan dilarang membagikan harta wajib pajak dalam pailit, pembubaran
atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditor lainnya sebelum menggunakan harta
tersebut untuk membayar utang pajak dari wajib pajak yang bersangkutan. Sehingga ketika
wajib pajak diputus pailit, hukum yang harus diterapkan adalah UU Kepailitan (Pasal 3 ayat
1) berdasarkan azas lex specialis derogate lex generalis.

ISU PAJAK DALAM KEPAILITAN

1. NPWP Perusahaan Pailit Tidak Dapat Dihapus Jika Masih Memiliki Pajak Terutang

Pasal 1 ayat (5) UU Kepailitan dijelaskan, “Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau
orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan
harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan undang-
undang ini”. Sementara pada Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan dijelaskan, “Kurator
berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit
sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan
kasasi atau peninjauan kembali”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, tugas kurator terbatas hanya terkait pengurusan dan
pemberesan aset debitur yang dinyatakan pailit untuk digunakan pembayar utang
debitur atau piutang kreditur. Oleh karena itu, selain tugas kurator sebagaimana
dimaksud Pasal 16 ayat (1) tersebut, tidak ada tugas direksi atau pengurus perusahaan
yang dialihkan kepada kurator.
Sehingga, kaitan hak dan kewajiban suatu badan dengan pemberesan aset dari badan
yang pailit oleh kurator hanya terkait pelunasan atas sebagian atau seluruhnya utang
badan sebagai debitur terhadap piutang yang diajukan oleh kreditur sesuai yang
ditentukan oleh kurator dan hakim pengawas. Dengan dinyatakannya suatu badan pailit,
tidak berarti utang badan tersebut akan diselesaikan seluruhnya. Setelah  selesai
pemberesan boedel aset pailit, apabila masih ada piutang pajak yang belum dilunasi,
masih terbuka hak kreditur untuk menagihnya lagi seperti dikemukakan Pasal 204. “Atas
pajak terutang yang tidak atau belum sepenuhnya dibayar dapat ditagih dengan
penagihan paksa berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa,”
UU Kepailitan telah mengatur setelah dinyatakan pailit maka pengurusan dan
pemberesan boedel pailit beralih kepada curator. Tetapi tidak mengambil alih
tanggungjawab direksi untuk memenuhi kewajiban perpajakan perseroan yang
diwakilinya. Dan jika harta pailit tidak mencukupi untuk membayar seluruh utang pajak,
maka dalam hal ini negara dapat meminta pertanggungjawaban terhadap utang pajak
tersebut kepada direksi yang mewakilinya.

2. Pertanggungjawaban Pajak secara Tanggung Renteng


Terkait tanggung renteng, Pemegang saham tidak selalu bertanggungjawab sebesar
jumlah saham yang dimilikinya atau disetorkannya jika terjadi kerugian perseroan.
Perseroan pailit yang dinyatakan terutang pajak dan mengalami kerugian serta tidak
mampu membayar pajaknya, bisa saja disebabkan karena adanya kepentingan pribadi
dan benturan kepentingan (conflict of interest) dari para pemegang saham, sehingga
harus bertanggungjawab secara pribadi pula.
Pertanggungjawaban hukum secara pribadi terhadap para pemegang saham bisa
berlanjut hingga kondisi dimana perusahaan pailit yang dinyatakan terutang pajak.
Prinsip tanggungjawab hukum secara pribadi tidak sama dengan pertanggungjawaban
badan hukum. Tanggungjawab pribadi menekankan setiap orang bertanggungjawab
secara pribadi karena manusia secara pribadi memiliki hak dan kewajiban dari hubungan
hukum yang muncul. Misalnya transaksi untuk diri sendiri (self dealing transaction)
adalah bukan sesuatu yang tidak mungkin terjadi dilakukan atau melibatkan pemegang
saham.
Transaksi self dealing bisa terjadi antara anggota famili dari direksi perseroan, transaksi
antara dua perseroan dan direksi yang sama, transaksi antara perseroan dan perseroan
lain yang memiliki kepentingan finansial tertentu, transaksi antara induk dan anak
perusahaan dalam perusahaan grup. Dalam transaksi self dealing tersebut terdapat
benturan kepentingan yang bertentangan dengan prinsip fiduciary duty, yaitu duty of
care dan duty of loyality direksi. Prinsip fiduciary duty bukan hanya diterapkan kepada
direksi tetapi juga kepada pemegang saham dan termasuk pekerja di dalam perusahaan
(stakeholders), sehingga kepada pemegang saham dapat dikenakan tanggungjawab
pribadi jika dapat dibuktikan ia melakukan transaksi untuk dirinya sendiri dengan
oknum di dalam perseroan.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas menganut prinsip
fiduciary duty berlaku bagi pemegang saham. Hal ini dapat dipahami dari penafsiran
kalimat dari “kepentingan perseroan” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 97 ayat (1)
UUPT dan Pasal 1 angka 5 UUPT. Dari kalimat “kepentingan perseroan” berarti meliputi
juga kepentingan semua stakeholders dalam perseroan tersebut terutama kepentingan
pemegang saham tanggungjawab badan hukum perseroan dibebankan penuh kepada
direksi, bukan kepada para pemegang saham, namun tanggungjawab pribadi juga
dibebankan, baik kepada direksi maupun kepada para pemegang saham dalam kondisi
tertentu. Munculnya tanggungjawab pribadi kepada para pemegang saham ini
disebabkan oleh peristiwa hukum sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2)
UUPT, termasuk dalam hal pemegang saham bertanggung jawab terhadap pembayaran
utang pajak perseroan pailit sebagai akibat dari transaksi-transaksi self dealing yang
mengalami benturan kepentingan dan berdampak sistemik pada terjadinya kepailitan
terhadap perseroan. Sekalipun direksi bertanggungjawab penuh terhadap pengurusan
dan pengelolaan perseroan, namun dalam hal terjadinya kepailitan perseroan, aset
maupun uang pribadi direksi dan para pemegang saham berpotensi dapat ditarik untuk
membayar pajak terutang perseroan pailit yang dinyatakan terutang pajak tersebut.
Misalnya munculnya transaksi untuk diri sendiri (self dealing transaction) yang
melibatkan pemegang saham. Sebagai subjek hukum pemegang saham mempunyai
hak dan kewajiban yang timbul atas jumlah sahamnya dalam perseroan. Sekalipun
UUPT hanya menegaskan kepada para pemegang saham hanya bertanggungjawab
atas sebesar saham yang disetorkannya, namun tidak menutup kemungkinan bagi para
pemegang saham tersebut untuk terlibat bertanggungjawab atas pajak terutang
perseroan pailit yang dinyatakan terutang pajak.tanggungjawab terbatas perseroan
menjadi tidak terbatas bisa terjadi jika dapat dibuktikan pelanggaran Pasal 3 ayat (2)
UUPT dan telah terjadi pembauran harta kekayaan pribadi pemegang saham
dengan harta kekayaan perseroan, maka tanggung jawab terbatas tadi akan
berubah menjadi tanggungjawab pribadi. Artinya pemegang saham ikut
bertanggung jawab secara pribadi bilamana perseroan merugi, tidak lagi sebatas
saham yang dimilikinya yang tunduk pada prinsip tanggung jawab badan hukum,
tetapi harus bertanggungjawab secara pribadi, termasuk dalam hal membayar
pajak perseroan pailit.

Anda mungkin juga menyukai