17 JUNI 2022
PENGANTAR
Perseroan Terbatas (PT) dalam menjalankan kegiatannya tidak pernah terlepas dari hak
dan kewajiban yang merupakan hubungan hukum dengan pihak-pihak diluar dan didalam
perseroan Kewajiban-kewajiban yang timbul dari operasional perusahaan adalah utang. Jika
perusahaan terus mengalami kerugian dan kemunduran sampai pada suatu keadaan
dimana perusahaan berhenti membayar atau tidak mampu lagi membayar utang-utangnya,
maka pihak debitur ini melakukan kelalaian. Kelalaian debitur ini dapat disebabkan oleh
faktor kesengajaan (ketidakmauan) atau disebabkan karena keterpaksaan
(ketidakmampuan).
Kesulitan keuangan yang biasa terjadi dalam sebuah perusahaan sering kali membawa
perseroan dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya (insolvent). Permohonan
pailit terhadap Perseroan Terbatas dapat diajukan apabila perseroan sudah berada dalam
keadaan insolven (insolvent) yakni tidak mampu membayar utang-utangnya kepada para
kreditor.
1. Dalam hal debitor adalah untuk kepentingan umum dapat diajukan oleh Kejaksaan;
2. Dalam hal debitor adalah bank maka pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh
Bank Indonesia;
3. Dalam hal debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan
Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pailit hanya
dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal; dan
4. Dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana
Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan
publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
Dalam hal terjadi pailit, tuntutan mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta pailit
sudah sepatutnya ditujukan kepada kurator. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 26 ayat 1
UU Kepailitan yang menyatakan tak terkecuali tuntutan terhadap pengurusan dan
pemberesan harta pailit untuk menyelesaikan utang badan perseroan seperti utang pajak.
Berkaitan dengan wajib pajak/penanggung pajak yang dinyatakan pailit menimbulkan hak
mendahului. Hak mendahulu baru timbul apabila wajib pajak/penanggung pajak pada saat
yang sama disamping mempunyai utang-utang pribadi (perdata), juga mempunyai utang
terhadap negara (fiskus), di mana harta kekayaan dari wajib pajak/penanggung pajak tidak
mencukupi untuk melunasi semua utang-utangnya. Di dalam Pasal 21 ayat (1) UU KUP
diakatakan bahwa negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-
barang wajib pajak, begitu pula atas barang-barang milik wakilnya yang bertanggung jawab
secara pribadi dan/atau secara renteng. Hak mendahulu dimaksud, meliputi pokok pajak,
bunga, denda administrasi, kenaikan dan biaya penagihan. Berdasarkan Pasal 21 (1) UU
KUP tersebut, maka kedudukan utang pajak merupakan suatu hak yang istimewa, dimana
negara mempunyai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas
barang-barang milik Penanggung Pajak.
Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh
atau terhadap kurator berdasarkan Pasal 26 ayat 1 UU Kepailitan. Selama berlangsungnya
kepailitan tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan
terhadap debitor pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan.
Hal tersebut sesuai dengan Pasal 27 UU Kepailitan. Apabila wajib pajak dinyakatakan pailit,
bubar atau dilikuidasi, maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk
melakukan pemberesan dilarang membagikan harta wajib pajak dalam pailit, pembubaran
atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditor lainnya sebelum menggunakan harta
tersebut untuk membayar utang pajak dari wajib pajak yang bersangkutan. Sehingga ketika
wajib pajak diputus pailit, hukum yang harus diterapkan adalah UU Kepailitan (Pasal 3 ayat
1) berdasarkan azas lex specialis derogate lex generalis.
1. NPWP Perusahaan Pailit Tidak Dapat Dihapus Jika Masih Memiliki Pajak Terutang
Pasal 1 ayat (5) UU Kepailitan dijelaskan, “Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau
orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan
harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan undang-
undang ini”. Sementara pada Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan dijelaskan, “Kurator
berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit
sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan
kasasi atau peninjauan kembali”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, tugas kurator terbatas hanya terkait pengurusan dan
pemberesan aset debitur yang dinyatakan pailit untuk digunakan pembayar utang
debitur atau piutang kreditur. Oleh karena itu, selain tugas kurator sebagaimana
dimaksud Pasal 16 ayat (1) tersebut, tidak ada tugas direksi atau pengurus perusahaan
yang dialihkan kepada kurator.
Sehingga, kaitan hak dan kewajiban suatu badan dengan pemberesan aset dari badan
yang pailit oleh kurator hanya terkait pelunasan atas sebagian atau seluruhnya utang
badan sebagai debitur terhadap piutang yang diajukan oleh kreditur sesuai yang
ditentukan oleh kurator dan hakim pengawas. Dengan dinyatakannya suatu badan pailit,
tidak berarti utang badan tersebut akan diselesaikan seluruhnya. Setelah selesai
pemberesan boedel aset pailit, apabila masih ada piutang pajak yang belum dilunasi,
masih terbuka hak kreditur untuk menagihnya lagi seperti dikemukakan Pasal 204. “Atas
pajak terutang yang tidak atau belum sepenuhnya dibayar dapat ditagih dengan
penagihan paksa berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa,”
UU Kepailitan telah mengatur setelah dinyatakan pailit maka pengurusan dan
pemberesan boedel pailit beralih kepada curator. Tetapi tidak mengambil alih
tanggungjawab direksi untuk memenuhi kewajiban perpajakan perseroan yang
diwakilinya. Dan jika harta pailit tidak mencukupi untuk membayar seluruh utang pajak,
maka dalam hal ini negara dapat meminta pertanggungjawaban terhadap utang pajak
tersebut kepada direksi yang mewakilinya.