Anda di halaman 1dari 46

TUGAS KELOMPOK IV

MAKALAH MANAJEMEN RISIKO BENCANA PARIWISATA


PADA DENASTI WISATA DI PANTAI SERANGAN

OLEH:

1) HERLIAH P07120322027

2) I GEDE SUYADNYA PUTRA P07120322028

3) AYU RESITA PRADNYADEWI P07120322029

4) I GEDE AYU ROSOASIH P07120322030

5) NI MADE AYU RAHAYUNI P07120322031

6) NI PUTU TISNA DAMAYANTI P07120322032

7) NI KADEK RIMA WIDYA ASTUTI P07120322033

8) ADRIANA KUSMIRAN P07120322034

9) KOMANG ELI CAHAYANI P07120322035

10) I DEWA GEDE DARMA PUTRA P07120322036

11) KOMANG TRISNA WIDAYANTI P07120322037

12) FITRIA HAMKA P07120322038

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


PILITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
JURUSAN KEPERAWATAN
2022
DAFTAR ISI

COVER
DAFTAR ISI...................................................................................................................................2

KATA PENGANTAR...................................................................................................................4

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................5

A. Latar Belakang.....................................................................................................................5

B. Rumusan Masalah................................................................................................................6

C. Tujuan Praktik......................................................................................................................6

D. Bobot Praktikum..................................................................................................................7

E. Kegiatan Praktik...................................................................................................................7

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................................8

A. Pengertian Manajemen Risiko Bencana..............................................................................8

B. Tujuan Manajemen Risiko Bencana....................................................................................9

C. Manfaat Manajemen Risiko Bencana................................................................................10

D. Tim Bencana......................................................................................................................10

E. Proses Siklus Manajemen Risiko Bencana........................................................................11

1. Pra bencana....................................................................................................................11

2. Saat Bencana..................................................................................................................13

3. Pasca Bencana................................................................................................................15

F. Identifikasi Risiko Bencana...............................................................................................16

G. Pengendalian Risiko Bencana............................................................................................19

H. Analisis Risiko Bencana....................................................................................................20

I. Manajemen Bencana Pada Industri Pariwisata..................................................................21

J. Analisis Risiko Bencana Daerah Serangan Denpasar........................................................24

K. Kajian Literatur..................................................................................................................25

1. Konsep Perencanaan Arsitektur pada Lingkungan yang Tanggap Bencana..................26

a. Kawasan Pelindung.............................................................................................................27
b. Zona Aman...........................................................................................................................27

c. Ruang Terbuka dan Vegetasi.............................................................................................27

d. Fasilitas Umum dalam Permukiman Tanggap Bencana.................................................28

2. Konsep Penataan Ruang Kota Pantai.............................................................................28

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................................29

A. Penerapan Mitigasi Bencana pada Arsitektur Pesisir di Pulau Serangan Pasca Reklamasi.
............................................................................................................................................29

1. Adanya Jalur Penyelamatan Evakuasi............................................................................30

2. Kawasan Pelindung termasuk Sabuk Hijau Alam (Green Belt) serta dinding penahan
pantai.....................................................................................................................................33

3. Zona Aman.....................................................................................................................33

3. Ruang Terbuka dan Fasilitas Umum dalam Permukiman Tanggap Bencana................34

BAB IV PENUTUP.....................................................................................................................42

A. Simpulan............................................................................................................................42

B. Saran..................................................................................................................................43

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................43
KATA PENGANTAR

Puji syukur kelompok panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
rahmat dan tuntunan-Nyalah kelompok dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah ini dibat sebagai laporan tugas mata kuliah “Manajemen Risiko Bencana
Pariwisata”dan meupakan salah satu bentuk usaha kelompok untuk menambah wawasan
mengenai Analisis Risiko Bencana Di Destinasi Wisata: Pantai Serangan. Dalam menyusun
makalah ini kelompok banyak menerima bantuan dari berbagai pihak, untuk itu kelompok
mengucapkan banyak terimakasih dan kelompok menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna.

Mengingat banyaknya kekurangan yang kelompok miliki, baik dari segi isi, penyajian
maupun penulisan itu sendiri. Oleh karena itu, kelompok sangat mengharapkan pendapat, ssran
dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
dapat menjadi inspirasi dan memberikan manfaat bagi kita semua.

Denpasar, 06 Desember 2022

Kelompok
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara geografis, geologis, hidrologis, dan demografis, Indonesia merupakan
wilayah rawan bencana. Indonesia berada di atas kerak bumi yang aktif dimana ada lima
patahan lempeng bumi yang bertemu, bertumbukan dan mengakibatkan pergerakan bumi
Indonesia dinamis.
Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi bencana yang
sangat tinggi dan juga sangat bervariasi dari aspek jenis bencana. Kondisi alam tersebut
serta adanya keanekaragaman penduduk dan budaya di Indonesia menyebabkan
timbulnya risiko terjadinya bencana alam, bencana ulah manusia dan kedaruratan
kompleks, meskipun disisi lain juga kaya akan sumberdaya alam. Frekuensi bencana
alam yang terjadi di Indonesia cukup tinggi, terjadi silih berganti mulai dari bencana
gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan gunung meletus.
Terjadinya bencana alam pastilah menimbulkan banyak kerugian baik berupa
metrial maupun korban jiwa bagi benduduk yang tertimpa bencana tersebut. Untuk
meminimalisir jumlah korban jiwa dan harta benda yang diakibatkan oleh suatu bencana
maka perlu dilakukan langkah-langkah starategis dalam menghadapi kemungkinan
bencana yang terjadi dengan manajemen bencana. Terutama dalam masalah kesehatan
para korban jiwa.
Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana. Undang-undang tersebut, penyelenggaraan penanggulangan
bencana mencakup serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan
yang beresiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan
rehabilitasi.
Manajemen bencana merupakan keseluruhan dari semua tindakan yang dilakukan
untuk mengurangi kemungkinan kerusakan yang akan terjadi terkait dengan bahaya dan
untuk meminimalkan kerusakan setelah suatu peristiwa bencana terjadi atau telah terjadi
dan untuk pemulihan langsung dari kerusakan. Manajemen bencana terdiri dari beberapa
langkah diantaranya mitigation, preparadness, response dan recovery. Pada tahap
recovery, terjadi proses pemulihan kondisi masyarakat yang terkena bencana dengan
memfungsikan kembali prasarana dan sarana pada keadaan semula. Tahap recovery
terdiri dari rehabilitasi dan rekontruksi baik dari fisik, psikologis dan komunitas.
Berdasarkan latar belakang di atas, Prodi Profesi Ners Politeknik Kesehatan
Denpasar menerapkan metode pembelajaran praktik Manajemen Risiko Bencana
Pariwisata dimana teori dari mata kuliah ini telah didapatkan di semester VI. Hasil dari
proses pembelajaran praktik manejemen risiko bencana pariwisata ini dimuat dalam
laporan kegiatan.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah terkait dengan latar belakang di atas adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana menetapkan konteks risiko bencana pariwisata ?
2. Bagaimana identifikasi risiko bencana pariwisata ?
3. Bagaimana analisis risiko bencana pariwisata ?
4. Bagaimana evaluasi risiko bencana pariwisata ?
5. Bagaimana penanganan risiko bencana pariwisata ?
6. Bagaimana pemahaman dan implementasi proses manajemen risiko bencana
pariwisata ?

C. Tujuan Praktik
Tujuan praktikum ini dapat dibagi menjadi dua yaitu,
1. Tujuan Umum
Setelah melaksanakan kegiatan pembelajaran praktik dan orientasi ditempat praktik,
mahasiswa diharapkan mampu memahami dan mengimplementasikan proses
manajemen risiko bencana pariwisata.
2. Tujuan Khusus
Capaian pembelajaran praktikum yang diharapkan adalah mahasiswa :
a. Mampu menetapkan konteks risiko bencana pariwisata
b. Mampu mengidentifikasi risiko bencana pariwisata
c. Mampu menganalisis risiko bencana pariwisata
d. Mampu mengevaluasi risiko bencana pariwisata
e. Mampu menangani risiko bencana pariwisata
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Manajemen Risiko Bencana


Menurut Krishna (2002), manajemen bencana merupakan pengetahuan yang terkait
dengan upaya untuk mengurangi risiko, yang meliputi tindakan persiapan sebelum
bencana terjadi, dukungan, dan membangun kembali masyarakat saat setelah bencana
terjadi. Lebih lanjut Krishna mengungkapkan bahwa lingkaran manajemen bencana
(disaster management cycle) terdiri dari tiga kegiatan besar. Pertama adalah sebelum
terjadinya bencana (pre-event), kedua yaitu saat bencana dan ketiga adalah setelah
terjadinya bencana (post event).
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang dinyatakan dalam hidup, status
kesehatan,mata pencaharian, aset dan jasa, yang dapat terjadi pada suatu komunitas
tertentu ataumasyarakat dalam suatu kurun waktu tertentu (UNISDR, 2009).  Risiko
bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah
dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam,
hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan
kegiatan masyarakat.
Menurut Syarief dan Kondoatie (2006) mengutip Carter (2001), Manajemen Risiko
Bencana adalah pengelolaan bencana sebagai suatu ilmu pengetahuan terapan (aplikatif)
yang mencari, dengan melakukan observasi secara sistematis dan analisis bencana untuk
meningkatkan tindakan-tindakan (measures), terkait dengan pencegahan (preventif),
pengurangan (mitigasi), persiapan, respon darurat dan pemulihan. Manajemen dalam
bantuan bencana merupakan hal-hal yang penting bagi Manajemen puncak yang meliputi
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), kepemimpinan (directing),
pengorganisasian (coordinating) dan pengendalian (controlling).
Menurut BPBD Kota Denpasar, manajemen bencana merupakan segala upaya atau
kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka pencegahan, mitigasi, kesiapan, tanggap
darurat dan pemulihan berkaitan dengan bencana yang dilakukan sebelum, pada saat dan
setelah bencana.
Definisi risiko bencana mencerminkan konsep bencana sebagai hasil dari hadirnya
risiko secara terus menerus. Risiko bencana terdiri dari berbagai jenis potensi kerugian
yang sering sulit untuk diukur.Namun demikian, dengan pengetahuan tentang bahaya,
pola populasi, dan pembangunansosial-ekonomi, risiko bencana dapat dinilai dan
dipetakan, setidaknya dalam arti luas.
Manajemen risiko bencana adalah pengaturan upaya penanggulangan bencana
dengan penekanan pada faktor-faktor yang mengurangi risiko secara terencana,
terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh pada saat sebelum terjadinya bencana.
Jadi kesimpulan dari manajemen risiko bencana adalah upaya untuk mengurangi
bahaya atau konsekuensi yang dapat terjadi pada penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis dengan cara tindakan persiapan sebelum
bencana terjadi, dukungan, dan membangun kembali masyarakat saat setelah bencana
terjadi.

B. Tujuan Manajemen Risiko Bencana


Banyak pihak yang kurang menyadari pentingnya mengelola bencana dengan baik.
Saah satu faktor adalah karena bencana belum pasti tejadinya dan tidak diketahui kapan
akan terjadi. Sebagai akibatnya, manusia sering kurang peduli, dan tidak melakukan
langkah pengamanan dan pencegahan terhadap berbagai kemungkinan yang dapat
terjadi.
Untuk itu diperlukan sistem manajemen bencana yang bertujuan untuk:

1. Mempersiapkan diri menghadapi semua bencana atau kejadian yang tidak diinginkan.
2. Menekan kerugian dan korban yang dapat timbul akibat dampak suatu bencana atau
kejadian.
3. Meningkatkan kesadaran semua pihak dalam masyarakat atau organisasai tentang
bencana sehingga terlibat dalam proses penanganan bencana
4. Melindungi anggota masyarakat dari bahaya atau dampak bencana sehingga korban
dan penderitaan yang dialami dapat dikurangi.
5. Mengurangi, atau mencegah, kerugian karena bencana
6. Menjamin terlaksananya bantuan yang segera dan memadai terhadap korban bencana
7. Mencapai pemulihan yang cepat dan efektif.
C. Manfaat Manajemen Risiko Bencana
Menurut Pamungkas (2010), manejemen resiko/ bencana memiliki empat manfaat,
yang mana diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Evaluasi dari program pengendali bencana akan dapat memberikan gambaran
mengenai keberhasilan dan kegagalan operasi perusahaan
2. Memberikan sumbangan bagi peningkatan keuntungan perusahaan
3. Ketenangan hati yang dihasilkan oleh manajemen bencana yang baik akan membantu
meningkatkan produktifitas dan kinerja
4. Menunjukkan tanggungjawab sosial perusahaan terhadap karyawan, pelanggan dan
masyarakat luas
D. Tim Bencana
Tim bencana merupakan orang. orang yang mengkoordinir atau memiliki tanggung
jawab terhadap manajemen bencana. Tim bencana yang biasanya digunakan dihotel
biasanya adalah Emergency Responsible Teamdan Fire Brigade, sedangkan menurut
BPBD Kota Denpasar beberapa jenis tim bencana adalah Publict Save Community
(PSC).
Barisan Relawan Bencana (BALANA), dan Search and Rescue (SAR). Adapun
jenis - jenis tim bencana tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pusdalops
Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana yang selanjutnya disingkat
Pusdalops PB adalah unsur pelaksana di BNPB/ BPBD yang bertugas
menyelenggarakan sistem informasi dan komunikasi penanggulangan bencana.
Berikut SOP Pengaduan informasi dari masyarakat.
2. Emergency Responsible Team
Emergency Responsible Team (ERT) didefinisikan oleh Georgetown University
(2014) sebagai berikut, ”The Emergency Responsible Team (ERT) is responsible
team for coordinating the response to crises affecting the safety and operation of
some disaster. They will be called to assist inthe management of the emergency
situation”. Tim ini merupakan tim khusus yang menangani masalah bencana, tim ini
selain dibentuk oleh Georgetown University juga dibentuk oleh berbagai organisasi
termasuk hotel.
3. Fire Brigade
Fire Brigade didefinisikan sebagai berikut “Fire Brigade is a private or temporary
organization of individual equipped to fight fires”. Fire Brigade tersebut merupakan
organisasi yang bertugas untuk menanggulangi segala jenis bencana yang
berhubungan dengan kebakaran. Selain dari pemerintah, tim ini biasanya juga
dibentuk oleh hotel - hotel.
4. Public Save Community (PSC)
Menurut BPBD Kota Denpasar, Public Save Community merupakan petugas yang
memberikan pelayanan kedaruratan kepada masyarakat Kota, dioprasikan oleh
petugas khusus yang dilengkapi dengan tiga mobil ambulance, dan siaga 24 jam di
setiap pos jaga. Petugas PSC bergerak mengikuti pergerakan mobil pemadam pada
saat terjadi kebakaran dan PSC setiap saat bertugas mengevakuasi korban
kecelakaan lalu lintas dan bencana lainya. Adapun data yang kami dapatkan
5. Search and Rescue (SAR)
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.43 Tahun 2005 Tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perhubungan, Searh and Rescue (SAR)
memiliki pengertian yaitu badan yang berfungsi melaksanakan pembinaan,
pengkoordinasian dan pengendalian potensi Search and Rescue (SAR) dalam
kegiatan SAR terhadap orang dan material yang hilang atau dikhawatirkan hilang,
atau menghadapi bahaya dalam pelayaran dan atau penerbangan, serta memberikan
bantuan SAR dalam penanggulangan bencana dan musibah lainnya sesuai dengan
peraturan SAR Nasional dan Internasional.
6. Barisan Relawan Bencana (BALANA)
Menurut BPBD Kota Denpasar, Barisan Relawan Bencana (BALANA) merupakan
barisan relawan bencana yang direkrut dari pegawai Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) dilingkungan Pemerintah Kota Denpasar yang ditugaskan ikut serta
menangani bencana.

E. Proses Siklus Manajemen Risiko Bencana


1. Pra bencana

Tahapan manajemen bencana pada kondisi sebelum kejadian atau pra bencana
meliputi kesiagaan, peringatan dini dan mitigasi.
a. Kesiapsiagaan
Kesiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan
berdaya guna. Kesiagaan adalah tahapan yang paling strategis karena sangat
menentukan ketahanan anggota masyarakat dalam menghadapi datangnya suatu
bencana.

b. Peringatan dini
Peringatan dini disampaikan dengan segera kepada semua pihak, khususnya
mereka yang potensi terkena bencana akan kemungkinan datangnya suatu
bencana di daerahnya masing-masing. Peringatan didasarkan berbagai
informasi teknis dan ilmiah yang dimiliki diolah atau diterima dari pihak
berwenang mengenai kemungkinan datangnya suatu bencana.
c. Mitigasi
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 2008, mitigasi bencana
adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana.
Mitigasi adalah upaya untuk mencegah atau mengurangi dampak yang
ditimbulkan akibat suatu bencana. Upaya memperkecil dampak negative
bencana. Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur
dengan memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena
bencana, seperti membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi
untuk menahan serta memperkokoh struktur ataupun membangun struktur
bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai, dan lain-lain. Selain itu
upaya mitigasi juga dapat dilakukan dalam bentuk non struktural, diantaranya
seperti menghindari wilayah bencana dengan cara membangun menjauhi
lokasi bencana yang dapat diketahui melalui perencanaan tata ruang dan
wilayah serta dengan memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah.
Contoh: zonasi dan pengaturan bangunan (building codes), analisis
kerentanan; pembelajaran public.

Mitigasi harus dilakukan secara terencana dan komprehensif melalui berbagai


upaya dan pendekatan antara lain:
a) Pendekatan teknis
Secara teknis mitigasi bencana dilakukan untuk mengurangi dampak suatu
bencana misalnya membuat material yang tahan terhadap bencana, dan
membuat rancanagan pengaman, misalnya tanggul banjir, lumpur dan lain
sebagainya.
b) Pendekatan manusia
Pendekatan manusia ditujukan untuk membentuk manusia yang paham
dan sadar mengenai bahaya bencana. Untuk itu perilaku dan cara hidup
manusia harus dapat diperbaiki dan disesuaikan dengan kondisi
lingkungan dan potensi bencana yang dihadapinya.
c) Pendekatan admisnistratif
Pemerintah atau pimpinan organisasi dapat melakukan pendekatan
administratif dalam manajemen bencana, khususnya di tahap mitigasi
sebagai contoh:
1) Penyususnan tata ruang dan tata lahan yang memperhitungkan aspek
risiko bencana
2) Penerapan kajian bencana untuk setiap kegiatan dan pembangunan
industry berisiko tinggi.

3) Menyiapkan prosedur tanggap darurat dan organisasi tanggap darurat


di setiap organisasi baik pemerintahan maupun industry berisiko
tinggi.

d) Pendekatan kultural
Pendekatan kultural diperlukan untuk meningkatkan kesadaran mengenai
bencana. Melalui pendekatan kultural, pencegahan bencana disesuaikan
dengan kearifan masyarakat lokal yang telah mebudaya sejak lama.

2. Saat Bencana

Tahapan paling krusial dalam sistem manajemen bencana adalah saat bencana
sesungguhnya terjadi. Mungkin telah melalui proses peringatan dini, maupun tanpa
peringatan atau terjadi secara tiba-tba. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah
seperti tanggap darurat untuk dapat mengatasi dampak bencana dengan cepat dan
tepat agar jumlah korban atau kerugian dapat diminimalkan.
a. Tanggap darurat
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang
ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta
benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan sarana prasarana. Tindakan ini dilakukan oleh
Tim penanggulangan bencana yang dibentuk dimasing-masing daerah atau
organisasi.
Menurut PP No. 11, langkah-langkah yang dilakukan dalam kondisi
tanggap darurat antara lain:
a) Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan
sumberdaya, sehingga dapat diketahui dan diperkirakan magnitude
bencana, luas area yang terkena dan perkiraan tingkat kerusakannya.
b) Penentuan status keadaan darurat bencana.
c) Berdasarkan penilaian awal dapat diperkirakan tingkat bencana sehingga
dapat pula ditentukan status keadaan darurat. Jika tingkat bencana terlalu
besar dan berdampak luas, mungkin bencana tersebut dapat digolongkan
sebagai bencana nasional.

d) Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana.

Langkah selanjutnya adalah melakukan penyelamatan dan evakuasi


korban bencana. Hal yang dapat dilakukan antara lain:

a) Pemenuhan kebutuhan dasar


b) Perlindungan terhadap kelompok rentan (anak-anak, lansia, orang dengan
keterbatasan fisik, pasien rumah sakit, dan kelompok yang dikategorikan
lemah)

c) Pemulihan dengan segera sarana dan prasarana vital.

b. Penanggulangan bencana
Selama kegiatan tanggap darurat, upaya yang dilakukan adalah
menanggulangi bencana yang terjadi sesuai dengan sifat dan jenisnya.
Penanggulangan bencana memerlukan keahlian dan pendekatan khusus
menurut kondisi dan skala kejadian.
Tim tanggap darurat diharapkan mampu menangani segala bentuk
bencana. Oleh karena itu Tim tanggap darurat harus diorganisisr dan dirancang
untuk dapat menangani berbagai jenis bencana.
Contoh aktivitas pada fase ini :
1) Evakuasi dan pengungsi (Evacuation and migration) Melakukan evakuasi
dan pengungsi ketempat evakuasi yang aman.
2) Pencarian dan Penyelamatan (Search and rescue – SAR) Malakukan
pencaharian baik korban yang meninggal dan korban yang hilang.
3) Penilaian paska bencana (Post-disaster assessment) Melakukan penilaian
terhadap bencana yang terjadi
4) Respon dan Pemulihan (Response and relief) Memberikan respond an
pemulihan terhadap korban bencana
5) Logistik dan suplai (Logistics and supply) Manyalurkan bantuan logistik
kepada korban bencana
6) Manajemen Komunikasi dan Informasi (Communication and information
management) Memberikan informasi dan komunikasi kepada media
massa mengenai jumlah kerugian korban bencana
7) Respon dan pengaturan orang selamat (Survivor response and coping)
Melakukan mendata jumlah korban bencana yang selamat baik. Ibu
Hamil, anak-anak dan orang Manula
8) Keamanan (Security) Mamberikan pelayanan keamanan terhadap korban
jiwa, baik itu harta benda dan yang lain.
9) Manajemen pengoperasian emergensi (Emergency operations
management) Melakukan manajemen pengoperasian emergenci pada saat
terjadinya bencana.

3. Pasca Bencana

Setelah bencana terjadi dan setelah proses tanggap darurat dilewati, maka langkah
berikutnya adalah melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi.
1) Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
public atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah
pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya
secara wajarsemua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada
wilayah pasca bencana.
2) Rekonstruksi
Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,
kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan
maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya
kegiatan perekonomian, social, dan budaya, tegaknya hukum, dan
ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek
kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca bencana

F. Identifikasi Risiko Bencana


Unsur berikutnya dalam sistem manajemen bencana adalah identifikasi dan
penilaian risiko bencana. Identifikasi bencana mutlak diperlukan sebelum
mengembangkan sistem manajemen bencana. Menurut PP No. 21 tahun 2008 , risiko
bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah
dan kurun waktu tertentu dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya
rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta. Dan gangguan kegiatan
masyarakat.
Persyaratan analisi risiko bencana sebagaimana ditetapkan dalam PP tersebut
antara lain sebagai berikut:

1. Tujuan identifikasi bencana adalah untuk mengetahui dan menilai tingkat risiko
dari suatu kondisi atau kegiatan yang dapat menimbulkan bencana.
2. Persyaratan analisis risiko bencana disusun dan ditetapkan oleh kepala BNPB
dengan melibatkan instansi/lembaga terkait.

3. Persyaratan analisi bencana digunakan sebagai dasar dalam penyususnan analisis


mengenai dampak lingkungan, penaataan ruang serta pengambilan tindakan
pencegahan dan mitigasi bencana.

4. Pasal 12: setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi


menimbulkan bencana, wajib dilengkapi dengan analisis risiko bencana.

5. Analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud disusun berdasarkan persyaratan


analisis risiko bencana melalui penelitian dan pengkajian terhadap suatu kondisi
atau kegiatan yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana.

6. Analisis risiko bencana dituangkan dalam bentuk dokumen yang disahkan oleh
pejabat pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

7. BNPB atau BNBD sesuai dengan kewenangannya melakukan pemantauan dan


evaluasi terhadap pelaksaan analisis risiko bencana.

Berdasarkan peraturan di atas, jelas terlihat bahwa setiap organisasi atau kegiatan
yang mengandung risiko bencana tinggi wajib melakukan Analisis Risiko Bencana
(ARISCANA). ARISCANA dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh informasi dan
data mengenai potensi bencana yang mungkin dapat terjadi dilingkungan masing-
masing serta potensi atau tingkat risiko atau keparahannya.

Risiko adalah merupakan kombinasi antara kemungkinan dengan tingkat


keparahan bencana yang mungkin terjadi. Semakin tinggi ancaman bahaya di suatu
daerah, maka semakin tinggi risiko daerah tersebut terkena bencana. Demikian pula
semakin tinggi tingkat kerentanan masayarakat atau penduduk, maka semakin tinggi
pula tingkat risikonya. Tetapi sebaliknya, semakin tinggi tingkat kemampuan
masyarakat, maka semakin kecil risiko yang dihadapinya. Dengan menggunakan
perhitungan analisis risiko dapat ditentukan tingkat besaran risiko yang dihadapi oleh
daerah yang bersangkutan.

Sebagai langkah sederhana untuk pengkajian risiko adalah pengenalan


bahaya/ancaman di daerah yang bersangkutan. Semua bahaya/ancaman tersebut
diinventarisasi, kemudian di perkirakan kemungkinan terjadinya (probabilitasnya)
dengan rincian:

Jika probabilitas di atas dilengkapi dengan perkiraan dampaknya apabila bencana


itu memang terjadi dengan pertimbangan faktor dampak antara lain:
1. Jumlah korban;
2. Kerugian harta benda;
3. Kerusakan prasarana dan sarana;

4. Cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan

5. Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.

Maka, jika dampak ini pun diberi bobot sebagai berikut:


Maka akan didapat tabel sebagaimana contoh di bawah ini :

Gambaran potensi ancaman di atas dapat ditampilkan dengan model lain dengan tiga
warna berbeda yang sekaligus dapat menggambarkan prioritas seperti berikut:

Berdasarkan matriks diatas kita dapat memprioritaskan jenis ancaman bahaya


yang perlu ditangani. Ancaman dinilai tingkat bahayanya dengan skala (3-1)
1. Bahaya/ancaman tinggi nilai 3 (merah)
2. Bahaya/ancaman sedang nilai 2
3. Bahaya/ancaman rendah nilai 1

Dari uraian di atas dapat disimpulkan proses manajemen bencana melalui tiga
langkah sebagai berikut:
1. Identifikasi Bencana
Identifikasi bencana dilakukan dengan melihat berbagai aspek yang ada disuatu daerah
atau perusahaan, seperti lokasi, jenis kegiatan, kondisi geografis, cuaca, alam, aktivitas
manusia, dan industry, sumberdaya alam serta sumber lainnya yang berpotensi
menimbulkan bencana. Identifikasi bencana ini dapat didasarkan pada pengalaman
bencana sebelumnya dan prediksi kemungkinan suatu bencana yang dapat terjadi.
2. Penilaian dan Evaluasi Risiko Bencana
Berdasarkan hasil identifikasi bencana dilakukan penilaian kemungkinan dan skala
dampak yang mungkin ditimbulkan oelh bencana tersebut. Dengan demikian dapat
diketahui, apakah potensi sebuah bencana di suatu daerah tergolong tinggi atau rendah.
a. Penilaian Risiko Bencana
Untuk menentukan tingkat risiko bencana tersebut, dapat dilakukan melalui
penilaian Risiko Bencana. Banyak metode yang dapat dilakukan untuk menilai
tingkat risiko bencana. Misalnya dengan menggunakan sistem matriks seperti
yang diuraikan di atas atau dengan menggunakan teknik yang lebih kuantitatif
missal dengan permodelan risiko.
b. Evaluasi Risiko
Berdasarkan hasil penilaian risiko tersebut, selanjutnya ditentukan peringkat
risiko yang mungkin timbul dengan mempertimbangkan kerentanan dan
kemampuan menahan atau menanggung risiko. Risiko tersebut di bandingkan
dengan kriteria yang ditetapkan, misalnya oleh pemerintah atau berdasarkan
referensi yang ada.
G. Pengendalian Risiko Bencana
Hasil identifikasi dan analisa risiko yang telah dilakukan maka langkah selanjutnya
adalah menetapkan strategi pengendalian yang sesuai. Pengendalian risiko bencana
menurut konsep manajemen risiko dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai
berikut:
1. Mengurangi kemungkinan
Strategi pertama adalah dengan mengurangi kemungkinan terjadinya bencana. Semua
bencana pada dasarnya dapat dicegah, namun untuk bencana alam terdapat pengecualian.
2. Mengurangi dampak atau keparahan
Jika kemungkinan bencana tidak dapat dikurangi atau dihilangkan, maka langkah yang
harus dilakukan adalah mengurangi keparahan atau konsekuensi yang ditimbulkan.
Berdasarkan hasil identifikasi bahaya, penilaian risiko bencana dan langkah
pengendalaian tersebut dapat disusun analisa risiko bencana yang terperinci dan
mendasar untuk selanjutnya dikembangkan program kerja penerapannya.

H. Analisis Risiko Bencana


Dilihat dari potensi bencana yang ada, Indonesia merupakan negara dengan
potensi bahaya yang sangat tinggi dan beragam baik berupa bencana alam, ataupun
bencana akibat ulah manusia. Beberapa potensi tersebut antara lain adalah gempa bumi,
tsunami, letusan gunung api, banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran lahan dan
hutan, kebakaran perkotaan dan permukiman, angin badai, wabah penyakit, kegagalan
teknologi dan konflik sosial.
Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok
utama, yaitu:
a. Potensi bahaya utama (main hazard)
Potensi bahaya utama (Main hazard) ini dapat dilihat antara lain pada peta
rawan bencana gempa di Indonesia yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah
wilayah dengan zona-zona gempa yang rawan, peta kerentanan bencana tanah
longsor, peta daerah bahaya bencana letusan gunung api, peta potensi bencana
tsunami, peta potensi bencana banjir, dan lain-lain.
b. Potensi bahaya ikutan (collateral hazard)
Potensi bahaya ikutan (Collateral Hazard) merupakan suatu potensi bahaya
yang kemungkinan terjadi setelah bahaya utama terjadi dan dapat dilihat dari
beberapa indikator, diantaranya adalah likuifaksi, persentase bangunan yang
terbuat dari kayu, kepadatan bangunan, dan kepadatan industri berbahaya.
Potensi bahaya ikutan (collateral hazard potency) ini sangat tinggi terutama di
daerah perkotaan yang memiliki kepadatan penduduk dan bangunan, persentase
bangunan kayu (utamanya di daerah pemukiman kumuh perkotaan), dan jumlah
industri berbahaya, yang tinggi. Dengan indikator di atas, perkotaan Indonesia
merupakan wilayah dengan potensi bencana yang sangat tinggi.
Dalam melakukan pemetaan bencana harus dianalisa terkebih dahulu jenis
bahaya yang kemungkinan terjadi bada suatu daerah tersebut. Dengan menganalisa
jenis bahaya, dapat diperkirakan seberapa luas daerah yang kemungkinan terkena
dampak langsung dan tidak langsung dan bahaya ikutan yang kemungkinan terjadi
setelah bahaya utama terjadi, sehingga dapat ditentukan langkah yang cepat dan
tepat untuk mencegah ataupun menanggulangi dampak yang besar dari bencana
tersebut.

I. Manajemen Bencana Pada Industri Pariwisata


Definisi bencana menurut Undang –Undang Nomor 24 Tahun 2007 adalah
“peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkanoleh faktor alam dan/atau faktor non alam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis”.Sedangkan
menurut Laws (2005) bencana dalam industri pariwisata adalah “Crisis or disaster in
tourism industry usually refers to an event that leads to a shock resulting in the sudden
emergence of an adverse situation”. Berdasarkan sumbernya, bencana menurut UU No
24 Tahun 2007 dapat dikelompokkan menjadi tiga sumber yaitu:
1. Bencana Alam
Adalah bencana yang bersumber dari fenomena alam seperti banjir, gempa bumi,
dan letusan gunung berapi, tsunami dan lain-lain.
2. Bencana Non Alam
Adalah peristiwa yang disebabkan oleh faktor non alam antara lain berupa gagal
teknologi, gagal modernisasi, epidemik, dan wabah penyakit.
3. Bencana Sosisal
Adalah bencana yang disebabkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok, antar
komunitas masyarakat dan teror.
Data kejadian Kebencanaa di Wilayah Kota Denpasar Tahun 2022 sebagai berikut.
Rosyidie (2004) lebih lanjut mengungkapkan bahwa bencana dapat terjadi
dimana saja, kapan saja dan pada siapa saja. Frekuensi dan seberapa kuat atau besar
bencana tersebut pun susah untuk diprediksi. Melihat sifat dari bencana tersebut, maka
sering kali terjadi banyak kerugian dan korban meninggal dunia maupun luka-luka.
Pengertian bencana menurut Undang –Undang Nomor 24 Tahun 2007, terfokus
pada asal dari gangguan tersebut, sedangkan pengertian Rosyidie (2004) yang terfokus
pada sifat dari bencana tersebut.
Berdasarkan definisi bencana menurut para ahli tersebut maka definisi bencana
dalam penelitian ini yaitu gangguan atau ancaman dari keadaan normal hingga
menyebabkan kerugian dari gangguan tersebut yang bersumber dari alam, non alam dan
sosial. Gangguan tersebut tidak dapat diprediksi kapan, dimana dan kepada siapa
terjadinya.
Bencana ini dapat terjadi di belahan dunia manapun dan pada bidang apapun,
termasuk di suatu industri pariwisata, yang mana industri pariwisata menurut Yoeti
(1985) adalah “kumpulan dari macam - macam perusahaan yang secara bersama
menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh wisatawan pada khususnya dan
traveller pada umumnya, selama dalam perjalanan”. Menurut Spillane (1987) ada lima
unsur industri pariwisata yang sangat penting yaitu:
1. Attraction (daya tarik)
Attraction dapat digolongkan menjadi site attraction (seperti kebun binatang, dan
museum), event attraction (seperti festival, pameran atau pertunjukkan kesenian
daerah).
2. Facilities (fasilitas yang diperlukan).
Selama tinggal di tempat tujuan wisata, wisatawan memerlukan tidur, makan,
minum oleh karena itu diperlukan fasilitas penginapan. Selain itu diperlukan pula
industri penunjang seperti took sourvenir, jasa laundry, dan jasa pemandu.
3. Infrastructure
Daya tarik dan fasilitas tidak dapat dicapai dengan mudah kalau belum ada
infrastruktur dasar. Pemenuhan atau penciptaan infrastruktur adalah suatu cara untuk
menciptakan suasana cocok bagi perkembangan pariwisata.
4. Transportations (transportasi)
Dalam pariwisata kemajuan dunia transportasi sangat dibutuhkan karena sangat
menentukan jarak dan waktu dalam suatu perjalanan wisata. Transportasi baik
transportasi darat, laut dan udara merupakan unsur utama langsung yang merupakan
tahap dinamis gejala-gejala pariwisata

5. Hospitality (keramah tamahan).


Wisatawan yang berada dalam lingkungan yang tidak mereka kenal memerlukan
kepastian jaminan keamanan. Kebutuhan dasar akan keamanan dan perlindungan
harus disediakan dan juga keuletan serta keramahtamahan tenaga kerja wisata perlu
dipertimbangkan supaya wisatawan merasa aman dan nyaman selama melakukan
perjalanan wisata.
Berdasarkan definisi industri pariwisata tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
industri pariwisata merupakan kumpulan industri yang menghasilkan barang ataupun
jasa yang diperlukan oleh wisatawan dimulai dari daerah asalnya hingga sampai di
destinasi tujuan dan balik lagi ke daerah asalnya. Adapun industri pariwisata yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah hotel yang merupakan tempat tinggal sementara
wisatawan selama melakukan perjalanan.
Untuk meminimalkan segala dampak yang disebabkan oleh bencana tersebut,
maka industri perhotelan perlu menerapkan sebuah manajemen bencana, yang mana
pengertian dari manajemen bencana. Selain dengan menerapkan kegiatan manajemen
bencana, untuk mengurangi kerugian yang mungkin terjadi akibat bencana, diperlukan
pula beberapa upaya peningkatan keamanan sebagai berikut: menurut Pizam (2010),
untuk meningkatkan keamanan, hotel harus menginstal CCTV, fire sprinklers,
pendeteksi asap, dan pintu elektronik.
Sedangkan menurut Henderson, et.al. (2010) untuk meningkatkan kemanan hotel
memerlukan personel keamanan dan pelatihan kebencanaan. Personel keamanan
merupakan orang yang bertanggung jawab untuk menjaga keamanan hotel, wisatawan,
karyawan serta aset perusahaan. Human Resource Department suatu hotel harus
menunjuk dan mempekerjakan personel keamanan yang professional, dengan
pengalaman yang baik terhadap penanganan suatu bencana. Karyawan secara umum, dan
personel keamanan khususnya, harus mengikuti workshop dan pelatihan dari pemerintah
mengenai penaganan pertama terhadap kecelakaan. Bagaimanapun, mereka harus
mendapatkan pelatihan pemadaman kebakaran dan cara evakuasi apabila bencana terjadi.
Kegiatan lainnya yang dilakukan adalah dengan memasang rambu - rambu
keselamatan. Menurut Occupational Health and Safety Assessment Series (OHSAS)
(2012) rambu - rambu keselamatan adalah peralatan yang bermanfaat untuk membantu
melindungi kesehatan dan keselamatan karyawan dan pengunjung yang sedang berada di
tempat kerja. Adapun jenis rambu dapat berupa: rambu dengan simbol, rambu dengan
simbol dan tulisan, dan rambu berupa pesan dalam bentuk tulisan.

J. Analisis Risiko Bencana Daerah Serangan Denpasar


Pulau Bali dan sekitarnya juga merupakan bagian dari seismo-tektonik
Indonesia yang mengakibatkan Pulau Bali sebagai salah satu daerah yang mempunyai
tingkat kerawanan bencana seperti gempa bumi (BMKG, 2016). Sejak tahun 2013
hingga 2016, di Bali telah terjadi 39 gempa bumi dengan rentang kekuatan 3 SR sampai
9,5 SR (InaTEWS-BMKG, 2016). Kabupaten Karangasem mengalami sembilan kali
gempa bumi, disusul Buleleng sebanyak delapan kali gempa bumi, Jembrana dan
Tabanan masing-masing mengalami tiga kali gempa bumi, serta Badung dan Denpasar
masing-masing mengalami dua kali gempa (InaTEWS-BMKG, 2016).
Peta rawan bencana BPBD Provinsi Bali mencantumkan bahwa daerah Denpasar
Selatan memiliki daerah yang berada pada zona merah. Zona merah diartikan sebagai
zona atau daerah yang rawan terhadap bencana. Zona merah berada tepat pada Desa
Serangan yang keseluruhannnya merupakan daerah dataran rendah yang dikelilingi
pantai sehingga jika terjadi bencana gempa, maka potensi akan terjadinya bencana
tsunami cukup tinggi.
Pulau Serangan bisa dikatakan sebagai satu- satunya tempat di Bali yang telah
melaksanakan reklamasi besar-besaran tahun 1995-1998 dengan tujuan untuk
membangun fasilitas mega wisata sebagai ‘medan magnet’ pariwisata baru di
Denpasar, meskipun pada kenyataannya reklamasi tersebut harus terhenti karena faktor
ekonomi, politik, sosial serta faktor-faktor lainnya. Hingga saat ini, Pulau Serangan
terkenal dengan image kawasan sebagai “Pulau Penyu” karena merupakan pusat tempat
penangkaran penyu. Selain itu, citra kawasan Pulau Serangan telah terbentuk karena
adanya Pura Sakenan, wisata pantai dan bahari, watersport, budidaya terumbu karang
dan rumput laut, serta terdapatnya kampung nelayan Bugis dan Bali yang menambah
daya tarik wisata Pulau Serangan. Terlebih lagi dengan telah dibangunnya jembatan
penghubung Pulau Bali dan Pulau Serangan tahun 1998, sangat memudahkan wisatawan
menuju Pulau Serangan. Selain itu, adanya isu tentang pembangunan Eco Resort berupa
museum, pusat kreativitas, hotel, villa, kawasan marina, dan gedung opera berbentuk
kura-kura yang didirikan di tengah laut yang dimulai tahun 2018 tentunya akan lebih
menyedot wisatawan lokal dan asing untuk mengunjungi Pulau Serangan (Bali, 2016).
Namun, dibalik banyaknya potensi wisata, ternyata Pulau Serangan memiliki
ancaman bencana gempa bumi dan tsunami karena letak pulau berada di pesisir selatan
yang menghadap Samudra India serta topografi dan elevasi datan pulau yang relatif
rendah yaitu hanya setinggi 1-2 meter dari permukaan air laut yang membuatnya rentan
terendam air laut. Selain itu, beberapa ratus kilometer di Selatan Pulau Serangan terletak
salah satu zona tumpukan tektonik utama di Bumi (Lempeng Indo-Australia), yang
merupakan area sumber utama gempa bumi berpotensi tsunami. Para ahli geologi dan
tsunami menganggap Pulau Serangan sebagai salah satu area beresiko tinggi bahaya
dampak tsunami di Kota Denpasar di masa depan, karena setiap tsunami besar yang
menjangkau Pulau Serangan akan berdampak parah pada penduduk dan pengembangan
pariwisatanya (Sutarja, 2015).
Tahun 2014, Pemerintah Provinsi Bali melalui Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) telah membangun salah satu ruang komunal berupa Tempat Evakuasi
Sementara (TES) yang terintegrasi dengan pasar Pulau Serangan atas bantuan dana dari
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Seperti diketahui, bangunan TES
berdiri di atas lahan hasil reklamasi laut oleh pihak investor PT. Bali Turtle Island
Development (BTID) dan sudah diserahkan untuk menjadi kepemilikan dan pengelolaan
dari Desa Pakraman Serangan tahun 1998, melalui kesepatan yang tertuang dalam
Momerandum of Understanding (MoU) tanggal 14 Oktober 1998, menjadi pusat
aktivitas ekonomi di Pulau Serangan dalam wujud Pasar Desa (Darmawan, 2018).
Bangunan ini menjadi satu-satunya bangunan mitigasi bencana gempa disertai tsunami
di Pulau Serangan.
Keberadaan bangunan TES Tsunami sebagai mitigasi bencana seharusnya
didukung dengan perencanaan arsitektur dan lingkungan yang komprehensif dan bersifat
holistic sehingga dapat meminimalisir parahnya dampak dari bencana gempa disertai
tsunami. Penerapan mitigasi bencana pada arsitektur pesisir Pulau Serangan setidaknya
harus mengakomodir lima konsep perencanaan yaitu perencanaan jalur penyelamatan
dan evakuasi, kawasan pelindung, zona aman, ruang terbuka dan vegetasi, serta fasilitas
umum dalam permukiman tanggap bencana (Sukawi, 2008). Selain itu penentu
tanggap/tidak terhadap bencana pada perencanaan arsitektur suatu kawasan ditentukan
oleh fungsi, lokasi, orientasi, tipe, dan umur bangunan (Wikantari, 2017).

K. Kajian Literatur
1. Konsep Perencanaan Arsitektur pada Lingkungan yang Tanggap Bencana

a. Jalur Penyelamatan Evakuasi (Escape Route)


Selain bangunan tahan gempa, yang diperlukan dalam upaya meminimalkan
dampak yang dihasilkan oleh bencana adalah perencanaan jalur evakuasi korban
bencana. Pada dasarnya perencanaan jalur evakuasi ini ada 2 macam, yaitu jalur evakuasi
pada bangunan maupun jalur evakuasi pada lingkungan permukiman.
b. Jalur Evakuasi pada Bangunan / Gedung
Perencanaan jalur evakuasi (escape route) pada bangunan atau gedung yang
berlantai banyak dilakukan dengan membuat tangga darurat atau list yang dapat
langsung berhubungan dengan ruang luar. Biasanya tangga darurat diletakkan pada
bagian samping bangunan ataupun tepat di tengah-tengah merupakan inti bangunan. Hal
ini dimaksudkan agar akses untuk keluar masuk gedung lebih mudah dan aman.
c. Jalur Evakuasi pada Lingkungan Perumahan / Permukiman
Pada perencanaan suatu permukiman seharusnya dipertimbangkan mengenai
sistem perencanaan jalur servis/pelayanan lingkungan. Karena sistem ini merupakan
rancangan arus pergerakan dari kendaraan servis (seperti pengangkut sampah,
pengangkut barang, kendaraan pemadam kebakaran termasuk juga ambulan) dari suatu
kaveling atau blok lingkungan tertentu, yang dipetakan pada hirarki/kelas jalan yang ada
pada kawasan perencanaan. Hal ini penting karena apabila suatu ketika terjadi bencana,
maka sebisa mungkin kendaraan penyelamat dapat segera menuju lokasi untuk memberi
pertolongan.
d. Identifikasi alur penyelamatan jika terjadi bencana :
a) Tersedianya jalur pedestrian ke daerah yang lebih tinggi. Jalan untuk jalur
evakuasi.
b) Pembangunan struktur gedung bertingkat harus memperhatikan jalur
evakuasi yang lebih baik (misal : tangga darurat di luar gedung).
c) Tata ruang yang berbasis bencana yang sudah menyiapkan diri dengan
tempat dan rute evakuasi bila banjir atau kebakaran atau bencana lainnya
terjadi.
d) Tata ruang yang berbasis bencana yang sudah menyiapkan diri dengan
tempat dan rute evakuasi bila banjir atau kebakaran atau bencana lainnya
terjadi.
Selain itu, perlu diperhatikan jalur evakuasi pada bangunan (tangga darurat
dan lift) dan lingkungan permukiman (perancangan permukiman yang
mempertimbangkan perencanaan jaluar servis/pelayanan lingkungan,
pembangunan bangunan penyelamat, pola permukiman yang ditata dengan baik
dan sejajar garis pantai, pantai dilindungi tanaman keras seperti bakau dan kelapa.
a. Kawasan Pelindung

Identifikasi yang termasuk dalam kawasan pelindung antara lain:


1) Pengadaan zona aman di daerah permukiman.
2) Perencanaan struktur penyangga (tanggul penahan, hutan bakau, dll)
3) Perencanaan zona penyangga produktif (tambak, sawah)
4) Perencanaan jalur hijau berlapis untuk menyaring puing/sampah jika terjadi
banjir.
5) Pelestarian alam sebagai bagian dari kawasan penyangga.
Tidak melakukan penggundulan hutan. Pada daerah permukiman, dimana
telah padat dengan bangunan, sehingga tingkat resapan air ke dalam tanah
berkurang, dengan tidak tersedianya daerah resapan yang cukup. Jika terjadi hujan
dengan curah hujan yang tinggi menyebabkan sebagian air hujan menjadi air
permukaan yang berpotensi menyebabkan banjir.
b. Zona Aman

Pada perencanaan yang berfungsi sebagai permukiman, harus diperhatikan


mengenai segala sesuatu yang menyangkut rencana tata bangunan dan lingkungan.
Hal ini dimaksudkan agar penataan lingkungan perumahan dapat lebih optimal.
Selain itu dengan adanya penataan tersebut maka juga akan tercipta pemetaan yang
jelas mengenai peruntukan lahan. Salah satu yang termasuk dalam tata rencana
bangunan dan lingkungan yang perlu diupayakan jika dikaitkan dalam hal
bencana, adalah adanya zona aman bencana.

Zona aman dapat berupa ruang terbuka pada suatu kawasan permukiman
yang pada fungsi sebenarnya dapat sebagai lahan hijau seperti lapangan dan hutan.
Dapat pula berupa bangunan keselamatan/mengungsi jika terjadi bencana, yang
fungsi sesungguhnya adalah bangunan fasilitas umum.
c. Ruang Terbuka dan Vegetasi

Terdapat batas antara area pantai dengan area perumahan yang dapat
mengurangi tingkat arus air laut yang masuk saat bencana. Batas salah satunya
dapat berupa tanaman keras (bakau, nipah, waru, kelapa). Pantai berbentuk lurus
dan dilindungi oleh tanaman keras relative baik untuk permukiman. Penggunaan
pepohonan untuk menyerap CO2 serta menurunkan suhu udara sehingga dapat
mengurangi penggunaan AC. Antara pantai dengan area perumahan ditanami oleh
pepohonan pantai yang kuat dan memiliki volume daun yang lebat (untuk
penyerapan CO2).
Pembangunan ruang terbuka (open space) dan taman kota dapat
dimaksimalkan yang nantinya dapat dipergunakan sebagai ruang darurat kota.
Ruang darurat kota tersebut dilengkapi dengan kebutuhan akan air bersih, KM /
WC untuk buang air besar, alat komunikasi dan gudang untuk menyimpan
makanan dan obat-obatan untuk beberapa hari sambil menunggu bantuan dating.
Sehingga kita tidak lagi mendengar berita pengungsi kelaparan dan tidak makan
selama 2 hari atau lebih karena belum mendapat bantuan. Mewujudkan kota
tanggap bencana dapat dilakukan dengan memperbanyak vegetasi ditaman
kota yang merupakan habitat hewan liar seperti burung dan serangga lain yang
dapat juga berfungsi sebagai peringatan dini terhadap bencana. Kita perlu belajar
banyak dari masyarakat kaki Gunung Merapi untuk menumbuhkan kepekaan
terhadap perubahan alam yang ditandai dengan prilaku hewan liarnya.
d. Fasilitas Umum dalam Permukiman Tanggap Bencana
Pada area pinggiran kota, fasilitas umum (pertokoan, sekolah, gedung
pertemuan warga) yang melayani area permukiman dikelompokkan dekat dengan
rumah-rumah yang membutuhkannya. Sehingga para penghuni tidak perlu
mengendarai kendaraan bermotor mereka untuk mencapainya. Sementara di kota-
kota besar, layout polisentris (multi pusat) kota dapat mengurangi jarak tempuh
dari area pinggiran kota ke fungsi-fungsi utama (komersial, pusat pemerintahan, dll)
yang terletak di pusat kota. Fasilitas umum diletakkan pada jarak yang aman dan
posisi sentral dari perumahan sehingga mudah dicapai. Disediakan sejumlah pusat-
pusat fasilitas umum untuk sejumlah unit perumahan yang dilayaninya.

2. Konsep Penataan Ruang Kota Pantai

Konsep penataan ruang kota pantai yang perlu diperhatikan pada kota antara lain
(Edyanto, 2011) :
1) Perlindungan dalam kawasan pembatas kota dan garis pantai akan mempertahankan
perlindungan alam dalam bentuk hutan bakau sebagai sabuk hijau alam (green
belt)yang akan melindungi hantaman gelombang tsunami ketika mencapai daratan
sehingga gerakan air dapat diperlambat karena adanya hutan bakau.
2) Perlindungan lain di garis pantai adalah pembangunan dinding penahan secara
horizontal maupun vertikal yang akan berfungsi sebagai penahan gelombang dan
memperlemah daya desak air kearah daratan.
3) Pembangunan fisik perkotaan perlu untuk ditata kembali dengan
mempertimbangkan struktur bangunan, tata letak dan perlindungan terhadap
desakan air yang masuk ke dalam kota serta mengurangi sebanyak mungkin jalur
jalan yang vertikal terhadap garis pantai serta membangun bangunan secara linier
pada jalan yang sejajar dengan garis pantai.
4) Perlindungan terhadap sempadan pantai.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penerapan Mitigasi Bencana pada Arsitektur Pesisir di Pulau Serangan Pasca


Reklamasi
Dalam membahas peneran mitigasi bencana pada arsitektur pesisir di Pulau
Serangan pasca reklamasi, dikolaborasikan dua teori yang telah dipaparkan
sebelumnya sehingga didapatkan detail pembahasan mengenai upaya mitigasi bencana
dari sudut pandang arsitektur dan lingkungan pesisir, yaitu :

1. Adanya Jalur Penyelamatan Evakuasi

Sebelum mengidentifikasi jalur penyelamatan dalam upaya mitigasi bencana di


Pulau Serangan, terlebih dahulu diidentifikas wilayah Pulau Serangan terbagi
menjadi tiga zonasi yang rawan bencana tsunami yaitu wilayah milik investor PT. BTID
yang berada di sebelah kanan kanal wisata masuk dalam kategori wilayah yang cukup
beresiko dan sangat beresiko terkena bahaya tsunami karena berhadapan langsung
dengan laut lepas. Untungnya, wilayah ini sebagian besar hanya terdiri dari lahan kosong
berpasir dan ditumbuhi oleh tanaman liar. Sedangkan wilayah permukiman penduduk
yang berada di sebelah kiri kanal termasuk wilayah aman beresiko terkena tsunami.
Wilayah ini terdiri dari 7 Banjar Adat dan Dinas serta 1 Kampung Bugis.

Gambar 1 Analisa zonasi wilayah rawan tsunami


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2020).

Berdasarkan analisa dari wilayah yang diduga mendapat prioritas bahaya


tertinggi (sangat beresiko) hingga prioritas paling rendah (aman beresiko)
terhadap bencana tsunami, selanjutnya diidentifikasi letak-letak bangunan berlantai
1, 2, 3, dan 4 untuk mendapatkan kemungkinan titik-titik bangunan yang dapat
dijadikan sebagai tempat evakuasi darurat saat terjadi tsunami.

Gambar 2 Pemetaan Ketinggian Bangunan pada Wilayah Permukiman Penduduk


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2020)
Terkait dengan lokasi bangunan Pasar/TES Tsunami di Pulau Serangan, jalur
evakuasi yang memanfaatkan jalan-jalan lokal telah dirancang dengan baik dengan
pola permukiman yang tegak lurus dengan jalur pantai. Masyarakat yang tinggal
pada 7 banjar dan 1 kampung bugis berada hampir mengelilingi bangunan TES
tsunami, sehingga andaikata terjadi tsunami, masyarakat dapat mempersingkat
waktu mengungsi ke bangunan Pasar/TES tsunami. Sedangkan zonasi
permukiman yang berada dekat dengan Pura Sakenan, dapat mengungsi ke
bangunan TES Tsunami atau menuju zona aman yaitu ke Kantor BKN Denpasar
yang berada di Jl. Bypass Ngurah Rai.
Gambar 4 Akses Evakuasi pada TES Tsunami
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2020)

PASAR / TES

Legenda :

: Evakuasi ke bangunan TES tsunami

: Evakuasi ke kantor BKN Denpasar

: Petanda Daerah Rawan Air Laut Pasang


Gambar 3 Peta Evakuasi Gempa Bumi dan Tsunami
: Petanda Himbauan Evakuasi Gempa
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2020).

Pada bangunan pasar/TES tsunami, jalur evakuasi menuju lantai 3 dan 4


menggunakan jalan miring (ramp) lebar 2 meter sehingga mempercepat evakuasi.
Terdapat sistem petanda disepanjang ramp dan bordes sebagai pemandu jalan
menuju lantai 3. Di lantai puncak yaitu lantai 4 terdapat tempat terbuka yang selain
menampung masyarakat Pulau Serangan, juga sebagai heliport (tempat pendaratan
helicopter) BPBD untuk mengevakuasi masyarakat menuju keluar dari Pulau
Serangan.
2. Kawasan Pelindung termasuk Sabuk Hijau Alam (Green Belt) serta
dinding penahan pantai

Secara tata ruang, penempatan kawasan pelindung yaitu berupa lahan kosong
yang terdiri dari lahan berpasir dan tumbuhan liar secara tidak sengaja telah sesuai
penempatannya yaitu berhadapan langsung dengan lepas pantai. Sebaliknya, lahan
permukiman penempatannya berada disisi paling jauh dari lepas pantai. Lahan
kosong ini merupakan lahan hasil reklamasi milik PT. BTID yang sampai saat ini
belum termanfaatkan. Diharapkan pihak investor tidak membangun fasilitas
massif dalam bentuk bangunan hunian di pinggir lepas pantai yaitu di sisi timur
dan selatan Pulau Serangan karena sangat beresiko tekena dampak paling besar
apabila terjadi bencana tsunami. Sebaiknya ditanam tumbuhan yang berfungsi
sebagai green belt contohnya tanaman mangrove.

Gambar 5 Zona Greenbelt yang sebaiknya dikonservasi dengan ditanam Hutan


Mangrove. (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2020).

3. Zona Aman

Penempatan lokasi bangunan pasar sekaligus TES tsunami telah


memperhatikan dari segi cakupan/lingkup wilayah yang akan dievakuasi. Apabila
terjadi indikasi gempa bumi yang berpotensi tsunami, setidaknya wilayah utara dan
timur Pulau Serangan yang berbatasan langsung dengan laut dapat segera evakuasi
ke Pasar/TES tsunami. Dalam keadaan darurat, setidak-tidaknya warga dari 5
banjar yaitu Banjar Ponjok, Kaja, Tengah, Kawan, Peken dan Kampung Bugis
dapat mengungsi di bangunan ini. Apabila waktu masih memungkinkan, tentunya
lebih baik mengungsi keluar Pulau Serangan.
3. Ruang Terbuka dan Fasilitas Umum dalam Permukiman Tanggap Bencana

Pada konteks lingkungan sekitar pendukung bangunan pasar/TES tsunami,


terdapat 2 ruang terbuka yang terdapat disebelah timur pasar/TES tsunami dan di
sebelah barat Kampung Bugis. Sehari-hari, ruang terbuka sekaligus fasilitas umum
tanggap bencana ini dimanfaatkan sebagai tempat parker Pura Dalem Cemara dan
Pura Segara, dan tempat jogging serta mengadakan kegiatan outbond seperti
perkemahan, lomba 17 agustus dan tahun baru dan kegiatan masyarakat lainnya.
Penempatan zona ruang terbuka dan lapangan ini ditempatkan di wilayah
permukiman padat penduduk.

Banjar Peken
Banjar Kaje
Banjar Ponjok
Banjar Kawan Banjar Tengah

Banjar Dukuh

Mesjid dan Pos Kamling


(Kampung Bugis) Gambar 7: Ruang Terbuka Sebagai Tempat
Ber kumpul

Gambar 6: Cakupan Wilayah Evakuasi Tsunami


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2020)
B B

T a
t
A r
A
Pembangunan fisik yang mempertimbangkan struktur bangunan, tata letak
dan perlindungan terhadap desakan air yang masuk ke dalam kota serta
mengurangi sebanyak mungkin jalur jalan yang vertikal terhadap garis pantai
serta membangun bangunan secara linier pada jalan yang sejajar dengan garis
pantai.
Terkait dengan fungsi bangunan sebagai pasar (penggerak roda
perekonomian), sangat cocok bermulti fungsi sebagai tempat evakuasi tsunami
karena pasar yang notabene menjadi medan magnet masyarakat di Pulau Serangan.
Selain itu, letak dari Pasar Desa di tengah - tengah wilayah permukiman
memudahkan evakuasi dari segala arah. Selain sebagai pasar dan tempat evakuasi
tsunami, pada lantai 3 bangunan, sehari-hari difungsikan sebagai tempat bermain
anak-anak sekaligus ruang terbuka semi indoor. Lantai 2 difungsikan sebagai void
sehingga pasar terasa lebih lega dari sisi ketinggian. Hal tersebut menjadikan
bangunan ini sangat ramah terhadap berbagai usia dan kalangan masyarakat.

LT.

LT. 3
LT. 4

LT. 2
LT.

LT.

LT. 1

Gambar 8 Efektivitas Fungsi Lt 1-4 (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2020).

Dari segi lokasi pada peta, posisi Pasar/TES tsunami cenderung berada agak
ke pinggir pesisir laut dibandingkan radius dan deliniasi dari wilayah permukiman
penduduk. Namun, apabila dilihat dari kedekatan terhadap wilayah permukiman
terdapat, posisi pasar/TES tsunami berada hamper di tengah- tengah wilayah padat
hunian. Sedangkan arah hadap/orientasi bangunan mengarah ke sisi timur dan
selatan, yang mana sisi tersebut merupakan jalur evakuasi dan area berkumpul
masyarakat sebelum menaiki gedung Pasar/TES tsunami. Orientasi dari segi
bentuk pulau juga sudah serah dan tegak lurus dengan arah pesisir pantai baik yang
berbatasan dengan laut dangkal maupun laut dalam. Sehingga saat terjadi tsunami,

Legenda :

: Pasar / TES Tsunami

: Kemungkinan Arah Datangnya Tsunami


bangunan tidak menghadang gelombak air tsunami karena berada sejajar dengan
pola permukiman. Lokasi Pasar/TES tsunami memang diprioritaskan berada di
wilayah Bali Selatan karena merupakan zona wilayah merah yang rawan potensi
tsunami.

Gambar 9 Lokasi dan Orientasi TES Tsunami


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2020).

Tipe bangunan pasar/TES tsunami merupakan bangunan tidak berpanggung


berlantai 4. Dari segi bentuk, bangunan ini telah menerapkan bentuk denah atau
potongan sederhana yaitu berbentuk persegi panjang dengan ukuran 40 x 16 meter
yang sesuai dengan salah satu terapan konsep bangunan tahan gempa.
Proporsi bangunan yaitu perbandingan panjang lebar dan tinggi bangunan
juga sudah sesuai yaitu 40 meter panjang: 16 meter lebar: 15 meter tinggi. Modul
struktur kolom yang dipergunakan bervariasi yaitu modul 4, 5, 7, dan 8 meter.
Modul struktur ini merupakan modul standar yang umum digunakan pada
konstruksi gedung bahan beton bertulang, sehingga terlihat seperti bangunan
kotak-kotak yang disusun. Akibatnya, resiko bangunan rusak menjadi minimal
karena tubrukan prilaku modul struktur dapat diminimalisir.
Gambar 10 Permodelan Struktur Bangunan TES Tsunami dalam
Wujud 3 Dimensi (Sumber: Sutarja, 2015)

Kelengkapan komponen-komponen bangunan juga menjadi


tolak ukur dalam konsep bangunan tahan gempa. Pada bangunan
Pasar/TES tsunami, komponen bangunan telah lengkap karena terdiri
dari kepala (rangka dan penutup atap), badan/tubuh (dinding dan
kolom), dan kaki (pondasi). Sambungan antarkomponen antara
pondasi dengan kolom, kolom dengan atap, dan kesatuan antarkolom
dengan sloof dan balok cincin (ring balok) yang saling terkait
sehingga bila terjadi gempa dapat stabil. Dari sisi usia, umur
bangunan Pasar pasca renovasi total menjadi bangunan multi
fungsi TES tsunami juga terbilang masih sangat baru karena baru
didirikan tahun 2014.
Menurut Kepala Pusat Pengendali dan Operasi (Pusdalops)
BPBD Bali, I Gde Made Jaya Serataberana, bangunan yang didirikan
diatas lahan 6 are ini juga memiliki keistimewaan karena tahan
gempa dan ancaman dari tsunami yang mencapai 12 meter. Dengan
tinggi bangunan mencapai 15 meter, sesuai dengan peraturan
gubernur (Pergub) juga disesuaikan dengan kajian tsunami yang
mungkin terjadi mencapai ketinggian 12 meter karena sudah
terhambat oleh Pulau Nusa penida, Perbukitan Uluwatu dan kawasan

38
Mangrove.

Gambar 11 TES Tsunami pada Tahap Pengerjaan Struktur Bangunan


(Sumber: Tribun Bali, 2018)

a) Perlindungan Terhadap Sempadan Pantai


Secara umum, perlindungan terhadap sempadan pantai di Pulau

Serangan sudah terlaksana dengan baik terutama di timur dan


selatan pulau yang berhadapan langsung dengan laut lepas,
tidak terdapat bangunan- bangunan. Hanya terdapat beberapa
warung dengan struktur semi permanen saja yang terdapat disana
untuk mengakomodir kebutuhan para pemancing dan pelancong
yang ingin berwisata disana. Sedangkan pantai sisi utara dan barat,
hampir sebagian besar tidak menerapkan adanya sempadan
bangunan yang sesuai yaitu 100 meter dari bibir pantai. Seluruh
bangunan yang melanggar sempadan pantai tersebut sebagian besar
didominasi oleh bangunan permukiman warga setempat. Hal ini bisa
dimaklumi karena sisi utara dan barat berbatasan langsung dengan
Pulau Bali yang mana tidak terdapat ancaman langsung tsunami dari
laut lepas yang berada di sisi timur dan selatan.

39
Keterangan :

: Sempadan Pantai >100m (Sesuai)

: Sempadan Pantai <100 m (Tidak Sesuai)


Gambar 12 Penerapan sempadan di sepanjang pantai
(Sumber: Hasil Analisa, 2020)

Menurut ramalan dan isu tentang ancaman bahaya tsunami di


Pulau Serangan dengan ketinggian mencapai 12 meter,
kemungkinan permasalahan topografi bangunan yang relative
rendah dan nyaris sejajar dengan permukaan laut menjadi alasan
mengapa rendahnya kuantitas bangunan-bangunan berlantai 2
terlebih lagi berlantai 3 dan 4.

Gambar 13. Jarak dan simulasi datangnya ancaman tsunami menuju TES
Tsunami

40
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2020).

Berdasarkan gambar diatas, terlihat bahwa hanya terdapat


kurang lebih 2 bangunan yang memiliki ketinggian 4 lantai yang
kemungkinan dapat digunakan tempat evakuasi sementara
terhadap bencana tsunami. Keberadaan bangunan ini sebaiknya
didukung dengan system petanda yang mengarahkan masyarakat
yang berada di Pulau Serangan untuk menuju bangunan ini
ataupun keluar besar hanya bangunan berlantai 3 dan 4 di wilayah
permukiman penduduk saja yang dapat dijadikan sebagai tempat
evakuasi sementara. Posisi dari bangunan berlantai 3 dan 4
sebagian besar berada di wilayah dekat dengan pasar. Bangunan
pasar merupakan bangunan berlantai 4 yang difungsikan pula
sebagai Tempat Evakuasi Sementara (TES) Tsunami. Sedangkan
bangunan-bangunan berlantai 3 difungsikan sebagai rumah
tinggal. dari Pulau Serangan melewati jembatan penghubung Pulau
Bali dengan Pulau Serangan

Gambar 14 Beberapa petanda tentang bahaya tsunami dan tempat


evakuasinya
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2020)
Lokasi-lokasi penempatan system petanda ini diletakkan disepanjang
jalan lingkungan mengitari wilayah permukiman penduduk. Seperti
diketahui bahwa jalan lingkungan di wilayah permukiman penduduk
berada mengitari wilayah permukiman penduduk yaitu berada di

41
pinggir yang berbatasan lsngsung dengan pesisir Pulau Serangan.
Selain itu, pada Pura-Pura Dhang Khayangan Jagat seperti Pura
Sakenan dan Pura Dalem Susunan Wadon juga ditempatkan system
petanda peringatan dini bahaya tsunami tersebut. Diharapkan dengan
adanya system petanda ini dapat meminimalisir jatuhnya korban jiwa
akibat kemungkinan musibah gempa yang disertai tsunami
menerjang Pulau Serangan.

42
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Bencana terjadi hanya karena tidak terkelolahnya resiko.
Pengelolaan resiko harus merupakan bagian integral dari pembangunan.
Resiko memiliki dua prasyarat utama yakni ancaman (hazard) dan
kerentanan/kerapuhan (vulnerabilities/fragilities). Management
Pembangunan haruslah mampu mengintegrasikan management resiko
bencana dan sebaliknya, management resiko bencana merupakan bagian
dari upaya menuju pembangunan berkelanjutan. Pulau Serangan bisa
dikatakan sebagai satu-satunya hasil reklamasi terbesar di Bali yang
memiliki berbagai daya tarik wisata seperti adanya Pura Sakenan sebagai
salah satu Pura Dhang Khayangan, wisata pantai dan bahari, watersport,
budidaya terumbu karang dan rumput laut serta budidaya penyu sehingga
Pulau Serangan dikenal dengan sebutan “Pulau Penyu”. Tulisan dengan
metode penulisan kualitatif deskriptif ini disajikan dengan tujuan untuk
mengidentifikasi penerapan mitigasi bencana pada arsitektur dan
lingkungan Pulau Serangan pascareklamasi.
Hasil analisa didapatkan temuan bahwa wilayah yang paling
padat ditinggali penduduk di Pulau Serangan adalah wilayah
permukiman penduduk yang berada di sisi barat laut yang notabene
wilayah yang paling aman namun tetap beresiko terjadinya bencana
gempa disertai tsunami. Penerapan arsitektur dan lingkungan tanggap
bencana, Pulau Serangan telah menerapkannya dengan baik terbukti
dengan adanya Bangunan Tempat Evakuasi Sementara Tsunami (TES)
sekaligus sehari-hari difungsikan sebagai Pasar Desa. Keberadaan TES
Tsunami ini sangat vital baik dari sisi tata letak, kapasitas yang bisa
ditampung serta sistem evakuasinya. Integrasi lingkungan terhadap
keberadaan TES Tsunami ini perlu ditingkatkan seperti penempatan
sistem petanda diperbanyak, penempatan zona greenbelt berupa hutan
mangrove yang berhadapan dengan laut lepas serta penempatan bebatuan

43
sebagai penahan gelombang air laut juga perlu diperbanyak sehingga
dapat mereduksi kecepatan tsunami apabila terjadi sekaligus menjaga
ekosistem laut dan darat.

L. Saran
Pada saat terjadinya bencana biasanya begitu banyak pihak yang
menaruh perhatian dan mengulurkan tangan memberikan bantuan tenaga,
moril maupun material. Banyaknya bantuan yang datang sebenarnya
merupakan sebuah keuntungan yang harus dikelola dengan baik, agar
setiap bantuan yang masuk dapat tepat guna, tepat sasaran, tepat manfaat,
dan terjadi efisiensi. Dengan demikian diharapkan pelaksanaan
manajemen logistik dan peralatan dapat berjalan secara efektif dan
efisien dan terkoordinasi dengan baik.

44
DAFTAR PUSTAKA

Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana. 2007.


Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya
DiIndonesia. (2 th ed). Jakarta: Direktorat Mitigasi.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2008. Peraturan Kepala
Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008
Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana.
Jakarta: BNPB
Bali, T. (2016, Desember 9). Eco Resort Serangan Sedot 50.000 Tenaga Kerja,
Januari 2017 Genjot Pembangunan. Retrieved from:
http://bali.tribunnews.com: http://bali.tribunnews.com/2022/12/02
/eco-resort-serangan-sedot-50000- tenaga-kerja-januari-2017-genjot-
pembangunan?page=all
Bustami, Del Afriadi. 2011. Modul Pelatihan Dasar Manajemen
Penanggulangan Bencana.Jakarta. UNDP
Darmawan, I. G. (2018). Faktor-Faktor Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan
Ulayat Akibat Reklamasi di Pulau Serangan. Undagi, 6, 37-44.
Edyanto, C. H. (2011). Analisa Kebijakan Penataan Ruang Untuk Kawasan
Rawan Tsunami di Wilayah Pesisir. Jurnal Teknologi Lingkungan
Deputi Bidang Pengembangan Kekayaan Alam, 10.
Kompas. (2017, 4 14). Bali Dinobatkan sebagai Destinasi Wisata Terbaik di
Dunia. Retrieved from https://travel.kompas.com:
https://travel.kompas.com/read/2022/04/14/200540027/bali.dinobatka
n.sebagai.destinasi.wisata.terbaik.di.dunia
London: The MIT Press.
Lynch, K. (1975). The Image of The City.
Ramli, Soehatman 2010. Manajemen Risiko Bencana. Jakarta: Dian Ratna
Sinurat, Hulman., & Adiyudha, Ausi. 2012. Sistem ManajemenPenanggulangan
Bencana Alam Dalam Rangka Mengurangi Dampak Kerusakan Jalan
Dan Jembatan. Jakarta: Puslitbang Jalan dan Jembatan.

45
Sukawi. (2008). Menuju Kota Tanggap Bencana (Penataan Lingkungan
Permukiman Untuk Mengurangi Resiko Bencana. Semarang: Jurusan
Arsitektur Fakultas Teknik UNDIP.
Sutarja, I. N. (2015). Rencana Tempat Evakuasi Sementara (TES) Pada
Kawasan Rawan Bencana Tsunami Provinsi Bali. Denpasar:
Universitas Udayana.
Wikantari, R. (2017). Model tata Ruang dan Bangunan Tanggap Bencana di
Pulau Kecil Kasus Pulau Samalona, Makassar. Makassar: Universitas
Hassanuddin.

46

Anda mungkin juga menyukai