Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KASUS CEPHALGIA DENGAN

KEBUTUHAN DASAR MOBILISASI FISIK DI RUANGAN MAWAR


RSUD UNDATA PROVINSI SULAWESI TENGAH

DI SUSUN OLEH :

NAMA : NOVIANTI
NIM : 2022031025

CI LAHAN CI INSTITUSI

Nova Ningsih , S.Kep,Ns Ns.Elifa Ihda Rahmayanti, S.Kep.,M.Kep


NIP. 19801123 200701 2 009 NIK. 20120901025

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS WIDYA NUSANTARA
2022
BAB I

PENDAHULUAN

1. Defenisi

a. Mobilisasi

Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara

bebas, mudah dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup

sehat. Mobilisasi diperlukan untuk meninngkatkan kesehatan,

memperlambat proses penyakit khususnya penyakit degeneratif dan untuk

aktualisasi. Mobilisasi menyebabkan perbaikan sirkulasi, membuat napas

dalam dan menstimulasi kembali fungsi gastrointestinal normal, dorong

untuk menggerakkan kaki dan tungkai bawah sesegera mungkin, biasanya

dalam waktu 12 jam (Mubarak, 2008).

Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk

bergerak secara bebas, mudah dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi

kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya (Aziz AA, 2006).

Mobililis/ mobilisatio adalah usahagerak/ memgerakakn (Brooker

Christine, 2001) Mobilitas fisik yaitu keadaan keika tseseorang mengalami

atau bahkan beresiko mengalami keterbatasan fisik dan bukan merupakan

immobile (Doenges, M.E, 2000).   Mobilitas atau Mobilisasi adalah

kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur


dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan

kesehatannya.

b. Imobilisasi.

Imobilitas didefinisikan secara luas sebagai tingkat aktivitas yang

kurang darimobilitas optimal (Ansari, 2011).   Imobilisasi adalah suatu

keadaan dimana penderita harus istirahat di tempat tidur,tidak bergerak

secara aktif akibat berbagai penyakit atau gangguan pada alat/organ tubuh

yang bersifat fisik atau mental. Dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan

tidak bergerak / tirah baring yang terus – menerus selama 5 hari atau lebih

akibat perubahan fungsi fisiologis (Bimoariotejo, 2009).

Immobility (imobilisasi) adalah keadaan tidak bergerak/ tirah baring

(bed rest) selama 3 hari atau lebih (Adi, 2005). Suatu keadaan keterbatasan

kemampuan pergerakan fisik secara mandiri yang dialami seseorang

(Pusva, 2009). Imobilisasi adalah suatu kondisi yang relatif, dimana

individu tidak saja kehilangan kemampuan geraknya secara total, tetapi

juga mengalami penurunan aktifitas dari kebiasaan normalnya (Mubarak,

2008).

Gangguan mobilitas fisik (immobilisasi) didefinisikan oleh North

American Nursing  Diagnosis Association (NANDA) sebagai suatu

kedaaan dimana individu yangmengalami atau beresiko mengalami

keterbatsan gerakan fisik. Individu yang mengalami atau beresiko

mengalami keterbatasan gerakan fisik antara lain : lansia, individu

dengan penyakit yang mengalami penurunan kesadaran lebih dari 3 hari


atau lebih, individu yang kehilangan fungsi anatomic akibat perubahan

fisiologik (kehilangan fungsi motorik,klien dengan stroke, klien penggunaa

kursi roda), penggunaan alat eksternal (seperti gipsatau traksi), dan

pembatasan gerakan volunteer (Potter, 2005).

2. Anatomi Cephalgia

Bagian-bagian otak dapat secara bebas dikelompokkan ke dalam

berbagai cara berdasarkan perbedaan anatomis, spesialisasi fungsional, dan

perkembangan evolusi. Otak terdiri dari batang otak terdiri atas otak tengah,

pons, dan medulla, serebelum, otak depan (forebrain) yang terdiri atas

diensefalon dan serebrum. Diensefalon terdiri dari hipotalamus dan talamus.

Serebrum terdiri dari nukleus basal dan korteks serebrum. Masing-masing

bagian otak memiliki fungsi tersendiri. Batang otak berfungsi sebagai berikut:

asal dari sebagian besar saraf kranialis perifer pusat pengaturan

kardiovaskuler, respirasi dan pencernaan, pengaturan refleks otot yang terlibat

dalam keseimbangan dan postur, penerimaaan dan integrasi semua masukan

sinaps dari korda spinalis; keadaan terjaga dan pengaktifan korteks serebrum,

pusat tidur. Serebellum berfungsi untuk memelihara keseimbangan,

peningkatan tonus otot, koordinasi dan perencanaan aktivitas otot volunter

yang terlatih. Hipotalamus berfungsi sebagai berikut: mengatur banyak fungsi

homeostatik, misalnya kontrol suhu, rasa haus, pengeluaran urin, dan asupan

makanan, penghubung penting antara sistem saraf dan endokrin, sangat

terlibat dalam emosi dan pola perilaku dasar.


Talamus berfungsi sebagai stasiun pemancar untuk semua masukan

sinaps, kesadaran kasar terhadap sensasi, beberapa tingkat kesadaran,

berperan dalam kontrol motorik. Nukleus basal berfungsi untuk inhibisi tonus

otot, koordinasi gerakan yang lambat dan menetap, penekanan pola ± pola

gerakan yang tidak berguna. Korteks serebrum berfungsi untuk persepsi

sensorik, kontrol gerakan volunter, bahasa, sifat pribadi, proses mental

canggih misalnya berpikir, mengingat, membuat keputusan, kreativitas dan

kesadaran diri. Korteks serebrum dapat dibagi menjadi 4 lobus yaitu lobus

frontalis, lobus parietalis, lobus temporalis, dan lobus oksipitalis. Masing-

masing lobus ini memiliki fungsi yang berbeda-beda. Nyeri kepala

dipengaruhi oleh nukleus trigeminoservikalis yang merupakan nosiseptif yang

penting untuk kepala, tenggorokan dan leher bagian atas. Semua aferen

nosiseptif dari saraf trigeminus, fasial, glosofaringeus, vagus, dan saraf dari

C1 ± 3 beramifikasi pada grey matter area ini. Nukleus trigeminoservikalis

terdiri dari tiga bagian yaitu pars oralis yang berhubungan dengan transmisi

sensasi taktil diskriminatif dari regio orofasial, pars interpolaris yang

berhubungan dengan transmisi sensasi taktil diskriminatif seperti sakit gigi,

pars kaudalis yang berhubungan dengan transmisi nosiseptif dan suhu.

Terdapat overlapping dari proses ramifikasi pada nukleus ini seperti aferen

dari C2 selain beramifikasi ke C2, juga beramifikasi ke C1 dan C3. Selain itu,

aferen C3 juga akan beramifikasi ke C1 dan C2. Hal inilah yang menyebabkan

terjadinya nyeri alih dari pada kepala dan leher bagian atas. Nyeri alih

biasanya terdapat pada oksipital dan regio fronto orbital dari kepala dan yang
jarang adalah daerah yang dipersarafi oleh nervus maksiliaris dan

mandibularis. Ini disebabkan oleh aferen saraf tersebut tidak atau hanya

sedikit yang meluas ke arah kaudal. Lain halnya dengan saraf oftalmikus dari

trigeminus. Aferen saraf ini meluas ke pars kaudal. Saraf trigeminus terdiri

dari 3 yaitu V1, V2 dan V3. V1, oftalmikus, menginervasi daerah orbita dan

mata, sinus frontalis, duramater dari fossa kranial dan falx cerebri serta

pembuluh darah yang berhubungan dengan bagian duramater ini. V2,

maksilaris, menginervasi daerah hidung, sinus paranasal, gigi bagian atas, dan

duramater bagian fossa kranial medial. V3, mandibularis, menginervasi

daerah duramater bagian fossa cranial medial, rahang bawah dan gigi, telinga,

sendi temporomandibular dan otot menguyah.

Selain saraf trigeminus terdapat saraf kranial VII, IX, X yang innervasi

meatus auditorius eksterna dan membran timpani. Saraf kranial IX

menginnervasi rongga telinga tengah, selain itu saraf kranial IX dan X

innervasi faring dan laring.Servikalis yang terlibat dalam sakit kepala adalah

C1, C2, dan C3. Ramus dorsalis dari C1 menginnervasi otot suboccipital

triangle - obliquus superior, obliquus inferior dan rectus capitis posterior

major dan minor. Ramus dorsalis dari C2 memiliki cabang lateral yang masuk

ke otot leher superfisial posterior, Longissimus capitis dan splenius sedangkan

cabang besarnya bagian medial menjadi greater occipital nerve. Saraf ini

mengelilingi pinggiran bagian bawah dari obliquus inferior, dan balik ke

bagian atas serta ke bagian belakang melalui semispinalis capitis yang mana

saraf ini di suplai dan masuk ke kulit kepala melalui lengkungan yang
dikelilingi oleh superior nuchal line dan the aponeurosis of trapezius. Melalui

oksiput, saraf ini akan bergabung dengan saraf lesser occipital yang mana

merupakan cabang dari pleksus servikalis dan mencapai kulit kepala melalui

pinggiran posterior dari sternokleidomastoid. Ramus dorsalis dari C3

memberi cabang lateral ke longissimus capitis dan splenius. Ramus ini

membentuk 2 cabang medial. Cabang superfisial medial adalah nervus

oksipitalis ketiga yang mengelilingi sendi C2-3 zygapophysial bagian lateral

dan posterior. Daerah sensitif terhadap nyeri kepala dapat dibagi menjadi 2

bagian yaitu intrakranial dan ekstrakranial. Intrakranial yaitu sinus venosus,

vena korteks serebrum, arteri basal, duramater bagian anterior, dan fossa

tengah serta fossa posterior. Ektrakranial yaitu pembuluh darah dan otot dari

kulit kepala, bagian dari orbita, membran mukosa dari rongga nasal dan

paranasal, telinga tengah dan luar, gigi, dan gusi. Sedangkan daerah yang

tidak sensitif terhadap nyeri adalah parenkim otak, ventrikular ependima, dan

pleksus koroideus.

3. Fisiologi Cephalgia

Nyeri (sakit) merupakan mekanisme protektif yang dapat terjadi setiap

saat bila ada jaringan manapun yang mengalami kerusakan, dan melalui nyeri

inilah, seorang individu akan bereaksi dengan cara menjauhi stimulus nyeri

tersebut. Rasa nyeri dimulai dengan adanya perangsangan pada reseptor nyeri

oleh stimulus nyeri. Stimulus nyeri dapat dibagi tiga yaitu mekanik, termal,

dan kimia. Mekanik, spasme otot merupakan penyebab nyeri yang umum

karena dapat mengakibatkan terhentinya aliran darah ke jaringan (iskemia


jaringan), meningkatkan metabolisme di jaringan dan juga perangsangan

langsung ke reseptor nyeri sensitif mekanik.

Termal, rasa nyeri yang ditimbulkan oleh suhu yang tinggi tidak

berkorelasi dengan jumlah kerusakan yang telah terjadi melainkan berkorelasi

dengan kecepatan kerusakan jaringan yang timbul. Hal ini juga berlaku untuk

penyebab nyeri lainnya yang bukan termal seperti infeksi, iskemia jaringan,

memar jaringan, dll. Pada suhu 450C, jaringan–jaringan dalam tubuh akan

mengalami kerusakan yang didapati pada sebagian besar populasi. Kimia, ada

beberapa zat kimia yang dapat merangsang nyeri seperti bradikinin, serotonin,

histamin, ion kalium, asam, asetilkolin, dan enzim proteolitik. Dua zat lainnya

yang diidentifikasi adalah prostaglandin dan substansi P yang bekerja dengan

meningkatkan sensitivitas dari free nerve endings. Prostaglandin dan substansi

P tidak langsung merangsang nyeri tersebut. Dari berbagai zat yang telah

dikemukakan, bradikinin telah dikenal sebagai penyebab utama yang

menimbulkan nyeri yang hebat dibandingkan dengan zat lain. Kadar ion

kalium yang meningkat dan enzim proteolitik lokal yang meningkat

sebanding dengan intensitas nyeri yang dirasakan karena kedua zat ini dapat

mengakibatkan membran plasma lebih permeabel terhadap ion. Iskemia

jaringan juga termasuk stimulus kimia karena pada keadaan iskemia terdapat

penumpukan asam laktat, bradikinin, dan enzim proteolitik.

Semua jenis reseptor nyeri pada manusia merupakan free nerve endings.

Reseptor nyeri banyak tersebar pada lapisan superfisial kulit dan juga pada

jaringan internal tertentu, seperti periosteum, dinding arteri, permukaan sendi,


falks, dan tentorium. Kebanyakan jaringan internal lainnya hanya diinervasi

oleh free nerve endings yang letaknya berjauhan sehingga nyeri pada organ

internal umumnya timbul akibat penjumlahan perangsangan berbagai nerve

endings dan dirasakan sebagai slow-chronic-aching type pain.

Nyeri dapat dibagi atas dua yaitu nyeri akut (fast pain) dan nyeri kronik

(slow pain). Nyeri akut, merupakan nyeri yang dirasakan dalam waktu 0,1

detik setelah stimulus diberikan. Nyeri ini disebabkan oleh adanya stimulus

mekanik dan termal. Signal nyeri ini ditransmisikan dari saraf perifer menuju

korda spinalis melalui serat Aδ dengan kecepatan mencapai 6-30 m/detik.

Neurotransmitter yang mungkin digunakan adalah glutamat yang juga

merupakan neurotransmitter eksitatorik yang banyak digunakan pada CNS.

Glutamat umumnya hanya memiliki durasi kerja selama beberapa milidetik.

Nyeri kronik, merupakan nyeri yang dirasakan dalam waktu lebih dari 1 detik

setelah stimulus diberikan. Nyeri ini dapat disebabkan oleh adanya stimulus

mekanik, kimia dan termal tetapi stimulus yang paling sering adalah stimulus

kimia. Signal nyeri ini ditransmisikan dari saraf perifer menuju korda spinalis

melalui serat C dengan kecepatan mencapai 0,5-2 m/detik. Neurotramitter

yang mungkin digunakan adalah substansi P. Meskipun semua reseptor nyeri

adalah free nerve endings, jalur yang ditempuh dapat dibagi menjadi dua

pathway yaitu fast-sharp pain pathway dan slow- chronic pain pathway.

Setelah mencapai korda spinalis melalui dorsal spinalis, serat nyeri ini akan

berakhir pada relay neuron pada kornu dorsalis dan selanjutnya akan dibagi
menjadi dua traktus yang selanjutnya akan menuju ke otak. Traktus itu adalah

neospinotalamikus untuk fast pain dan paleospinotalamikus untuk slow pain.

Traktus neospinotalamikus untuk fastpain, pada traktus ini, serat Aδ

yang mentransmisikan nyeri akibat stimulus mekanik maupun termal akan

berakhir pada lamina I (lamina marginalis) dari kornu dorsalis dan

mengeksitasi second-order neurons dari traktus spinotalamikus. Neuron ini

memiliki serabut saraf panjang yang menyilang menuju otak melalui kolumn

anterolateral. Serat dari neospinotalamikus akan berakhir pada, area retikular

dari batang otak (sebagian kecil), nukleus talamus bagian posterior (sebagian

kecil), kompleks ventrobasal (sebagian besar). Traktus lemniskus medial

bagian kolumn dorsalis untuk sensasi taktil juga berakhir pada daerah

ventrobasal. Adanya sensori taktil dan nyeri yang diterima akan

memungkinkan otak untuk menyadari lokasi tepat dimana rangsangan tersebut

diberikan.

Traktus paleospinotalamikus untuk slow pain, traktus ini selain

mentransmisikan sinyal dari serat C, traktus ini juga mentransmisikan sedikit

sinyal dari serat Aδ. traktus ini , saraf perifer akan hampir seluruhnya berakhir

pada lamina II dan III yang apabila keduanya digabungkan, sering disebut

dengan substansia gelatinosa. Kebanyakan sinyal kemudian akan melalui

sebuah atau beberapa neuron pendek yang menghubungkannya dengan area

lamina V lalu kemudian kebanyakan serabut saraf ini akan bergabung dengan

serabut saraf dari fast-sharp pain pathway. Setelah itu, neuron terakhir yang

panjang akan menghubungkan sinyal ini ke otak pada jaras antero lateral.
Ujung dari traktus paleospinotalamikus kebanyakan berakhir pada batang otak

dan hanya sepersepuluh ataupun seperempat sinyal yang akan langsung

diteruskan ke talamus. Kebanyakan sinyal akan berakhir pada salah satu tiga

area yaitu nukleus retikularis dari medulla, pons, dan mesensefalon, area

tektum dari mesensefalon, regio abu-abu dari peraquaductus yang

mengelilingi aquaductus Silvii. Ketiga bagian ini penting untuk rasa tidak

nyaman dari tipe nyeri. Dari area batang otak ini, multipel serat pendek

neuron akan meneruskan sinyal kearah atas melalui intralaminar dan nukleus

ventrolateral dari talamus dan ke area tertentu dari hipotalamus dan bagian

basal otak.

4. Etiologi

Cephalgia atau nyeri kepala suatu gejala yang menjadi awal dari

berbagai macam penyakit. Cephalgia dapat disebabkan adanya kelainan

organ-organ dikepala, jaringan sistem persarafan dan pembuluh darah. Sakit

kepala kronik biasanya disebabkan oleh migraine, ketegangan, atau depresi,

namun dapat juga terkait dengan lesi intracranial, cedera kepala, dan

spondilosis servikal, penyakit gigi atau mata, disfungsi sendi

temporomandibular, hipertensi, sinusitis, trauma, perubahan lokasi (cuaca,

tekanan) dan berbagai macam gangguan medis umum lainnya.


5. Pathway

Trauma

Tumpul

Ekstrakarnial

Terputusnya komu nitas


jaringan kulit otot dan vaskuler

Peningkatan tekangan
intrakranial

Nyeri Akut

Nyeri saat bergerak Tidak mampu beraktivitas

Kelemahan Penurunan otot

Intoleran Aktivitas
Perubahan sistem
muskoloskeletal

Gangguan Mobilitas Fisik


6. Pemeriksaan fisik

a. Pemeriksaan fisik

1) Mengkaji skelet tubuh

Adanya deformitas dan kesejajaran. Pertumbuhan tulang yang

abnormal akibat tumor tulang. Pemendekan ekstremitas, amputasi dan

bagian tubuh yang tidak dalam kesejajaran anatomis. Angulasi

abnormal pada tulang panjang atau gerakan pada titik selain sendi

biasanya menandakan adanya patah tulang.

2) Mengkaji tulang belakang

Skoliosis (deviasi kurvatura lateral tulang belakang), Kifosis (kenaikan

kurvatura tulang belakang bagian dada), Lordosis (membebek,

kurvatura tulang belakang bagian pinggang berlebihan)

3) Mengkaji system persendian

Luas gerakan dievaluasi baik aktif maupun pasif, deformitas, stabilitas,

dan adanya benjolan, adanya kekakuan sendi.

4) Mengkaji system otot

Kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi, dan

ukuran masing-masing otot. Lingkar ekstremitas untuk mementau

adanya edema atau atropfi, nyeri otot.

5) Mengkaji cara berjalan

Adanya gerakan yang tidak teratur dianggap tidak normal. Bila salah

satu ekstremitas lebih pendek dari yang lain. Berbagai kondisi

neurologist yang berhubungan dengan cara berjalan abnormal


(mis.cara berjalan spastic hemiparesis - stroke, cara berjalan

selangkah-selangkah – penyakit lower motor neuron, cara berjalan

bergetar – penyakit Parkinson).

6) Mengkaji kulit dan sirkulasi perifer

Palpasi kulit dapat menunjukkan adanya suhu yang lebih panas atau

lebih dingin dari lainnya dan adanya edema. Sirkulasi perifer

dievaluasi dengan mengkaji denyut perifer, warna, suhu dan waktu

pengisian kapiler.

b. Pemeriksaan Penunjang

1)  Sinar –X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, dan

perubahan hubungan tulang.

2)  CT scan (Computed Tomography) menunjukkan rincian bidang

tertentu tulang yang terkena dan dapat memperlihatkan tumor jaringan

lunak atau cidera ligament atau tendon. Digunakan untuk

mengidentifikasi lokasi dan panjangnya patah tulang didaerah yang

sulit dievaluasi.

3) MRI (Magnetik Resonance Imaging) adalah tehnik pencitraan khusus,

noninvasive, yang menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan

computer untuk memperlihatkan abnormalitas (mis: tumor atau

penyempitan jalur jaringan lunak melalui tulang. Dll.


7. Penatalaksanaan Medis

a. Terapi

1) Penatalaksana Umum    

a) Kerjasama tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien,

keluarga, dan pramuwerdha.

b) Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring

lama, pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta

mencegah ketergantungan pasien dengan melakukan aktivitas

kehidupan sehari-hari sendiri, semampu pasien.

c) Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan target

fungsional, dan pembuatan rencana terapi yang mencakup pula

perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai target terapi.

d) Temu dan kenali tatalaksana infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan

cairan dan elektrolit yang mungkin terjadi pada kasus imobilisasi,

serta penyakit/ kondisi penyetara lainnya.

e) Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi; obat-obatan yang

dapat menyebabkan kelemahan atau kelelahan harus diturunkan

dosisnya atau dihentkan bila memungkinkan.

f) Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang

mengandung serat, serta suplementasi vitamin dan mineral.

g) Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi

medis terjadi meliputi latihan mobilitas di tempat tidur, latihan

gerak sendi (pasif, aktif, dan aktif dengan bantuan), latihan


penguat otot-otot (isotonik, isometrik, isokinetik), latihan

koordinasi/ keseimbangan, dan ambulasi terbatas.

h) Bila diperlukan, sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat

bantu berdiri dan ambulasi.

i) Manajemen miksi dan defekasi, termasuk penggunaan komod atau

toilet.

2) Penatalaksanaan Lainnya Yaitu

a) Pengaturan Posisi Tubuh sesuai Kebutuhan Pasien, Pengaturan

posisi dalam mengatasi masalah kebutuhan mobilitas, digunakan

untuk meningkatkan kekuatan, ketahanan otot, dan fleksibilitas

sendi. Posisi-posisi tersebut, yaitu : Posisi fowler (setengah

duduk), Posisi litotomi, Posisi dorsal recumbent, Posisi supinasi

(terlentang), Posisi pronasi (tengkurap), Posisi lateral (miring),

Posisi sim, Posisi trendelenbeg (kepala lebih rendah dari kaki),

Ambulasi dini.

b) Cara ini adalah salah satu tindakan yang dapat meningkatkan

kekuatan dan ketahanan otot serta meningkatkan fungsi

kardiovaskular.. Tindakan ini bisa dilakukan dengan cara melatih

posisi duduk di tempat tidur, turun dari tempat tidur, bergerak ke

kursi roda, dan lain-lain.

c) Melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri juga dilakukan

untuk melatih kekuatan, ketahanan, kemampuan sendi agar mudah

bergerak, serta meningkatkan fungsi kardiovaskular.


d) Latihan isotonik dan isometric, latihan ini juga dapat dilakukan

untuk melatih kekuatan dan ketahanan otot dengan cara

mengangkat beban ringan, lalu beban yang berat. Latihan isotonik

(dynamic exercise) dapat dilakukan dengan rentang gerak (ROM)

secara aktif, sedangkan latihan isometrik (static exercise) dapat

dilakukan dengan meningkatkan curah jantung dan denyut nadi.

e) Latihan ROM Pasif dan Aktif, Latihan ini baik ROM aktif maupun

pasif merupakan tindakan pelatihan untuk mengurangi kekakuan

pada sendi dan kelemahan otot.

f) Latihan Napas Dalam dan Batuk Efektif, Latihan ini dilakukan

untuk meningkatkan fungsi respirasi sebagai dampak terjadinya

imobilitas.

g) Melakukan Postural Drainase, Postural drainase merupakan cara

klasik untuk mengeluarkan sekret dari paru dengan menggunakan

gaya berat (gravitasi) dari sekret itu sendiri. Postural drainase

dilakukan untuk mencegah terkumpulnya sekret dalam saluran

napas tetapi juga mempercepat pengeluaran sekret sehingga tidak

terjadi atelektasis, sehingga dapat meningkatkan fungsi respirasi.

pada penderita dengan produksi sputum yang banyak, postural

drainase lebih efektif bila diikuti dengan perkusi dan vibrasi dada.

h) Melakukan komunikasi terapeutik, Cara ini dilakukan untuk

memperbaiki gangguan psikologis yaitu dengan cara berbagi


perasaan dengan pasien, membantu pasien untuk mengekspresikan

kecemasannya, memberikan dukungan moril, dan lain-lain.

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan

1. Aspek biologis

a. Usia, Faktor usia berpengaruh terhadap kemampuan melakukan aktifitas,

terkait dengan kekuatan muskuloskeletal. Hal yang perlu dikaji

diantaranya adalah postur tubuh yang sesuai dengan tahap pekembangan

individu.

b. Riwayat keperawatan, hal yang perlu dikaji diantaranya adalah riwayat

adanya gangguan pada sistem muskuloskeletal, ketergantungan terhadap

orang lain dalam melakukan aktivitas, jenis latihan atau olahraga yang

sering dilakukan klien dan lain-lain.

c. Pemeriksaan fisik, meliputi rentang gerak, kekuatan otot, sikap tubuh, dan

dampak imobilisasi terhadap sistem tubuh.

d.  Aspek psikologis, aspek psikologis yang perlu dikaji di antaranya adalah

bagaimana respons psikologis klien terhadap masalah gangguan aktivitas

yang dialaminya, mekanisme koping yang digunakan klien dalam

menghadapi gangguan aktivitas dan lain-lain.

e. Aspek sosial kultural, pengkajian pada aspek sosial kultural ini dilakukan

untuk mengidentifikasi dampak yang terjadi akibat gangguan aktifitas


yang dialami klien terhadap kehidupan sosialnya, misalnya bagaimana

pengaruhnya terhadap pekerjaan, peran diri baik dirumah, kantor maupun

sosial dan lain-lain.

f. Aspek spiritual, hal yang perlu dikaji pada aspek ini adalah bagaimana

keyakinan dan nilai yang dianut klien dengan kondisi kesehatan yang

dialaminya sekarang, seperti apakah klien menunjukan keputusasaannya.

Bagaimana pelaksanaan ibadah klien dengan keterbatasan kemampuan

fisiknya Dan lain-lain.

g.  Kemunduran musculoskeletal, Indikator primer dari keparahan imobilitas

pada system musculoskeletal adalah penurunan tonus, kekuatan, ukuran,

dan ketahanan otot; rentang gerak sendi; dan kekuatan skeletal.

Pengkajian fungsi secara periodik dapat digunakan untuk memantau

perubahan dan keefektifan intervensi.

h. Kemunduran kardiovaskuler, Tanda dan gejala kardivaskuler tidak

memberikan bukti langsung atau meyaknkan tentang perkembangan

komplikasi imobilitas. Hanya sedikit petunjuk diagnostic yang dapat

diandalkan pada pembentukan trombosis. Tanda-tanda tromboflebitis

meliputi eritema, edema, nyeri tekan dan tanda homans positif.

Intoleransi ortostatik dapat menunjukkan suatu gerakan untuk berdiri

tegak seperti gejala peningkatan denyut jantung, penurunan tekanan

darah, pucat, tremor tangan, berkeringat, kesulitandalam mengikuti

perintah dan sinkop.


i.  Kemunduran Respirasi, Indikasi kemunduran respirasi dibuktikan dari

tanda dan gejala atelektasis dan pneumonia. Tanda-tanda awal meliputi

peningkatan temperature dan denyut jantung. Perubahan-perubahan

dalam pergerakan dada, perkusi, bunyi napas, dan gas arteri

mengindikasikan adanaya perluasan dan beratnya kondisi yang terjadi.

j. Perubahan-perubahan integument, Indikator cedera iskemia terhadap

jaringan yang pertama adalah reaksi inflamasi. Perubahan awal terlihat

pada permukaan kulit sebagai daerah eritema yang tidak teratur dan

didefinisikan sangat buruk di atas tonjolan tulang yang tidak hilang dalam

waktu 3 menit setelah tekanan dihilangkan

k. Perubahan-perubahan fungsi urinaria, bukti dari perubahan-perubahan

fungsi urinaria termasuk tanda-tanda fisik berupa berkemih sedikit dan

sering, distensi abdomen bagian bawah, dan batas kandung kemih yang

dapat diraba. Gejala-gejala kesulitan miksi termasuk pernyataan

ketidakmampuan untuk berkemih dan tekanan atau nyeri pada abdomen

bagian bawah.

l. Perubahan-perubahan Gastrointestinal,sensasi subjektif dari konstipasi

termasuk rasa tidak nyaman pada abdomen bagian bawah, rasa penuh,

tekanan. Pengosonganh rectum yang tidak sempurna, anoreksia, mual

gelisah, depresi mental, iritabilitas, kelemahan, dan sakit kepala.

m. Faktor-faktor lingkungan, lingkungan tempat tinggal klien memberikan

bukti untuk intervensi. Di dalam rumah, kamar mandi tanpa pegangan,

karpet yang lepas, penerangan yang tidak adekuat, tangga yang tinggi,
lantai licin, dan tempat duduk toilet yang rendah dapat menurunkan

mobilitas klien. Hambatan-hambatan institusional terhadap mobilitas

termasuk jalan koridor yang terhalang, tempat tidudan posisi yang tinggi,

dan cairan pada lantai. Identifikasi dan penghilangan hambatan-hambatan

yang potensial dapat meningkatakan mobilitas.

B. Diagnosa Keperawatan

a. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan

b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedara fisik

c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri


C. Rencana Keperawatan

NO DIANGOSA KRITERIA HASIL INTERVENSI

DX KEPERAWATAN

1 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan intervensi Terapi Aktivitas

berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam 1. Identifikasi defisit tingkat aktivitas

Kelemahan maka toleransi aktifitas meningkat 2. Libatkan keluarga dalam aktivitas

dengan kriteria hasil : 3. Anjurkan melakukan aktivitas fisik, sosial, spiritual dan

1. kemudahan dalam melakukan kognitif dalam menjaga fungsi dan kesehatan

aktifitas sehari-hari meningkat

2. kecepatan berjalan membaik

3. jarak jalan membaik

2 Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan intervensi Manajemen nyeri

dengan agen pencedera keperawatan selama 3x24 jam 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,

fisik maka tingkat nyeri menurun dengan intentitas nyeri


NO DIANGOSA KRITERIA HASIL INTERVENSI

DX KEPERAWATAN

kriteria hasil : 2. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa

1. Keluhan nyeri menurun nyeri

2. Gelisah menurun 3. Kolaborasi pemberian anlgetik

3. Kesulitan tidur menurun

3 Gangguan mobilitas Setelah dilakukan intervensi Dukungan mobilisasi

fisik berhubungan keperawatan selama 3x24 jam 1. Identifikasi adanya nyeri dan keluhan fisik lainnya

dengan nyeri maka mobilitas fisik meningkat 2. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam

dengan kriteria hasil : meningkatkan pergerakan

1. Kekuatan otot meningkat 3. Ajarkan mobilisasi sederhana

2. Kecemasan fisik

3. Nyeri
D. Implementasi

Implementasi merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan

yang dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan.

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan

oleh perawat untuk membantu pasien dari masalah status kesehatan yang

dihadapi kestatus kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil

yang diharapkan. Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada

kebutuhan pasien, faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan

keperawatan, strategi implementasi keperawatan, dan kegiatan

komunikasi.

E. Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah akhir dari proses keperawatan.

Evaluasi adalah kegiatan yang disengaja dan terus menerus dengan

melibatkan pasien, perawat dan anggota tim kesehatan lainnya (Padila,

2018). Menurut Setiadi (2018) dalam buku Konsep & penulisan Asuhan

Keperawatan, Tahap evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan

terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan,

dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan pasien,

keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya.

Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan pasien dalam

mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria hasil pada tahap

perencanaan.
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2018. Konsep dan aplikasi kebutuhan dasar klien. Jakarta : Salemba Medika.

Baehr, M dan M. Frostcher. Diagnosis Topik Neurologi Duus : Anatomi, Fisiologi,

Tanda, Gejala. EGC : Jakarta, 2010.

Bigal ME, Lipton R. Headache : classification in Section 6 :Headache and fascial

pain Chapter 54 McMahon ebook p.1-13.

Perry & Potter. 2018. Buku ajar fundal mental keperawatan konsep, proses dan

praktik. Edisi 4. Jakarta : EGC.

Tarwoto & Wartonah, 2018. Kebutuhan dasar manusia & proses keperawatan. Jakarta

: Salemba Medika.

Kushariyadi. 2019. Askep pada Klien Lanjut Usia. Jakarta: Salemba Medika

Mc Closkey, C.J., et all. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition.

New Jersey: Upper Saddle River.

Sjahrir Hasan, dkk. Konsensus Nasional IV Diagnostik dan penatalaksanaan Nyeri

Kepala 2013. Surabaya : Airlangga University Press.2013

Santosa, Budi. 2019. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2018-2021. Jakarta:

Prima Medik.

Nurarif,a.h. (2019).Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis Dan

Nanda Nic Noc.yogyakarta : medication publishing yogyakarta.

Smeltzer,S. C., Bare, B. G.,2017, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah.

Brunner & suddarth. Vol.2.E/8”. Jakarta : EGC.


Wilkinson, Judith M. 2018. Buku saku diagnosa keperawatan dengan intervensi NIC

dan kriteria hasil NOC. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai