Anda di halaman 1dari 80

1

RKUHP: Menyelisik Pro Kontra dalam Upaya Pembangunan Hukum Pidana Nasional

Penulis:
Adry Adiananta
Ahmad Roihan
Angelia Putri Arti
Albertus Daniel Wibisono
Aufa Atha Ariq
Baiquni Sesunan Aji
Galan Adhyatsa
Muhammad Dimas Rifa Afilla
Salma Putri Rofifah
Sofa Dzunnuhasani

Penyunting:
Adry Adiananta
Andi Muhammad Irfan Darmawan
Auradinda Diaszahra
Bima Satya Ginting
Deva Karamina Fasha
Ramanitya Hassya A. P.

Desain Sampul:
Ramanitya Hassya A. P.

Pengawas:
Handaru Dhimaswara
Muhammad Rifda Kamil
Bima Satya Ginting

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, dengan rahmat dan
Karunia-Nya yang telah memberikan kami kekuatan dan keteguhan hati dari awal penyusunan
hingga selesainya Kajian Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: Menyelisik Pro-
Kontra Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Tidak lupa kami mengucapkan
terimakasih kepada para pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
pikiran maupun materinya.
Kajian Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini berangkat dari alasan keresahan
terhadap rekonstruksi dan revitalisasi hukum Pidana Indonesia yang tak kunjung usai.
Sejatinya, apabila ditelusuri secara mendasar, setidaknya terdapat tiga alasan dibutuhkannya
pembaharuan hukum pidana di Indonesia, yakni alasan politik, sosiologis, dan praktis. Lebih
jauh dari pada itu, dibutuhkannya pembaharuan hukum pidana Indonesia juga diharapkan
mampu mewujudkan hal penting, yakni misi dekolonisasi, demokratisasi, konsolidasi, dan
adaptasi/harmonisasi.
Namun dalam perjalanan pembentukannya, seringkali ditemui berbagai macam
permasalah yang hadir di masyarakat terhadap pasal-pasal yang ada di dalamnya.
Permasalahan-permasalah tersebut pun seringkali tidak didasari akan suatu landasan ilmiah dan
jutsu bersifat asumtif dan objektif. Oleh sebab itu, hadirlah kajian ini dengan tujuan dapat
menambah pengetahuan serta kesadaran mahasiswa pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya agar dapat menyelisik berbagai macam pro kontra mengenai materi muatan yang
terdapat di dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Dalam kajian ini terlampir sejarah hadirnya dan perkembangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, konsepsi dan gagasan yang ingin dihadirkan di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, serta pasal-pasal kontroversial di dalam Buku I dan Buku II Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana. Dengan demikian, kajian Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana ini dapat dijadikan acuan bagi mahasiswa dan masyarakat pada umumnya, untuk
menanggapi berbagai macam polemik mengenai isu Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.

Semarang, 29 Juli 2022

Penulis

3
DAFTAR ISI

KONTRIBUTOR .............................................................................................................. 2
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 3
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... 4
I. PENDAHULUAN .................................................................................................. 5
II. PEMBAHASAN .................................................................................................... 11
A. BUKU I ............................................................................................................. 24
1 PENGGUNAAN ANALOGI .................................................................... 24
2 ASAS LEGALITAS .................................................................................. 26
3 PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ................................................. 30
4 HUKUMAN MATI ................................................................................... 34
B. BUKU II ........................................................................................................... 41
1 PENYERANGAN HARKAT DAN MARTABAT PRESIDEN
ATAU WAKIL PRESIDEN ..................................................................... 41
2 PENGHINAAN TERHADAP PEMERINTAH ...................................... 43
3 GANGGUAN TERHADAP TANAH, BENIH, TANAMAN,
DAN KARANGAN .................................................................................... 46
4 PENGHINAAN TERHADAP KEKUASAAN UMUM DAN
LEMBAGA NEGARA .............................................................................. 49
5 PAWAI, UNJUK RASA, ATAU DEMONSTRASI ............................... 51
6 ALAT PENCEGAH KEHAMILAN........................................................ 56
7 PERZINAAN ............................................................................................. 58
8 KOHABITASI ........................................................................................... 61
9 GELANDANGAN ..................................................................................... 64
III. PENUTUP ............................................................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 75

4
5
BAB I
PENDAHULUAN

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau dengan nama aslinya Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch Indie (W.v.S.v.N.I) merupakan sebuah induk peraturan hukum
pidana positif di Indonesia yang mulai berlaku semenjak tahun 1918 silam. KUHP atau
W.v.S.N.I ini merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht Negeri Belanda yang selesai
dibuat pada tahun 1881 dan mulai berlaku pada tahun 1886.1 Namun, materi muatan yang
terdapat di dalam W.v.S.N.I tersebut tidak sepenuhnya sama, yang mana di dalamnya terdapat
suatu penyimpangan yang disesuaikan dengan kebutuhan serta keadaan tanah jajahan Hindia
Belanda pada saat itu. Seiring dengan berjalannya waktu, KUHP atau W.v.S.v.N.I tersebut
kemudian dinyatakan berlaku pula di Indonesia sebagaimana yang termaktub di dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, tepatnya di dalam Pasal II Aturan
Peralihan yang berbunyi “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Akan tetapi, dalam
perkembangan selanjutnya, guna menyesuaikan situasi serta kondisi alam kemerdekaan,
pemerintah Republik Indonesia kemudian mengundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1946 yang mana materi muatannya mengatur mengenai hukum pidana yang berlaku di dalam
KUHP serta mengubah beberapa istilah yang terdapat di dalam KUHP.2
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tersebut nyatanya dalam tataran praktik
memiliki beberapa kekurangan. Hal demikian disebabkan salah satu materi muatan yang
terdapat di dalamnya menyatakan bahwasannya KUHP hanya berlaku bagi pulau Jawa dan
Madura sehingga menimbulkan dualisme hukum pidana di Indonesia. Keganjilan serta
kekurangan dari dualisme tersebut kemudian mendorong Pemerintah agar KUHP dapat
diterapkan di seluruh wilayah Indonesia, yang mana hal tersebut kemudian dituangkan ke
dalam Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 yang menyatakan bahwa Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946 berlaku pula untuk seluruh wilayah Indonesia.3 Namun, pada
kenyataannya, saat ini Indonesia juga kembali mengalami kejadian yang serupa. Hal demikian

1
Sudarto, 2020, Hukum Pidana I, cet.6, Semarang: Yayasan Soedarto, hlm. 19.
2
Sudaryono dan Natangsa Surbakti, 2017, Hukum Pidana Dasar-Dasar Hukum Pidana Berdasarkan
KUHP dan RUU KUHP, Surakarta: Muhammadiyah University Press, hlm. 33.
3
Hanafi Amrani, 2019, Politik Pembaruan Hukum Pidana, cet:1, Yogyakarta: UII Press, hlm. 29.

6
disebabkan oleh berbagai kebijakan legislasi nasional yang dilakukan guna mencapai tujuan
nasional melalui hukum pidana terkesan cenderung di luar kendali KUHP, khususnya Buku I
yang memuat Ketentuan Umum, sebagai instrumen dan barometer hukum pidana nasional
Indonesia.4 Seiring dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang begitu cepat dan
tuntutan akan keadilan yang begitu kuat, rumusan hukum pidana yang dimuat dalam KUHP
tidak lagi mampu dijadikan dasar hukum untuk mengatasi problem kejahatan dan tuntutan
keadilan. Dengan demikian, dibutuhkan pembaharuan KUHP yang dilakukan secara mendasar,
menyeluruh, dan sistematis agar segala materi muatan yang terdapat di dalamnya dapat sesuai
dengan kebutuhan serta keinginan bangsa dan negara.
Apabila menyelisik secara mendasar, setidaknya terdapat tiga alasan dibutuhkannya
pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Alasan-alasan tersebut adalah alasan politik,
sosiologis, dan praktis. Jika ditinjau dari alasan politik, permasalahan demikian dilandasi oleh
pemikiran bahwasannya suatu negara merdeka harus memiliki hukumnya sendiri yang bersifat
nasional selaras dengan tujuan nasionalnya sebagaimana yang terdapat di dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945),
tepatnya di dalam Alinea Keempat. Kemudian jika ditinjau dari alasan sosiologis, suatu hukum
harus mencerminkan nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Sedangkan permasalahan yang terakhir apabila ditinjau dari alasan praktis, bekas negara
jajahan mewarisi sistem hukum dari negara yang menjajahnya dengan bahasa aslinya, baik
melalui asas konkordansi, yurisprudensi, dan doktrin yang ditanamkan oleh penjajah, yang
mana hal demikian kemudian berimplikasi bahwa sistem hukum yang diwariskan dengan
bahasa para penjajah tidak dapat dipahami oleh generasi muda dari suatu negara yang mewarisi
hukum tersebut.5
Selain dari apa yang telah disampaikan mengenai alasan dibutuhkannya pembaharuan
hukum pidana, Barda Nawawi Arief di dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar juga
mengemukakan suatu alasan dibutuhkannya pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Beliau
menyatakan bahwasannya KUHP yang selama ini berlaku sebagai hukum positif berdasarkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 pada

4
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,
2015, Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, hlm.5.
5
Ibid., hlm. 1.

7
hakikatnya asas-asas, dasar-dasar tata hukum pidana, dan hukum pidana yang ada di dalamnya
masih tetap dilandaskan pada ilmu hukum pidana dan praktik hukum pidana kolonial, yang
mewajibkan adanya konkordansi dengan yang ada di negeri Belanda, sehingga secara tidak
sadar bahwasannya asas-asas dan dasar-dasar tata hukum pidana dan hukum pidana kolonial
masih tetap dipertahankan dengan selimut dan wajah Indonesia.6 Oleh karena itu, pembaharuan
hukum pidana Indonesia dapat dikatakan sebagai perwujudan dari empat hal penting, yaitu
dekolonisasi, demokratisasi, konsolidasi, dan adaptasi/harmonisasi, yang mana dekolonisasi
berarti melakukan pembaruan dari nilai-nilai yang dianut oleh bangsa Eropa menjadi nilai-nilai
yang sesuai dengan bangsa Indonesia, demokratisasi yaitu hukum pidana dimaksudkan untuk
memasukkan tindak pidana terhadap hak asasi manusia dan diubahnya pasal-pasal penyebar
kebencian yang tadinya bersifat formil menjadi materiil, konsolidasi hukum pidana
dimaksudkan untuk menghimpun perundang-undangan hukum pidana baik yang ada di dalam
maupun di luar KUHP untuk ditata kembali dalam satu kerangka asas yang diatur dalam Buku
I, dan adaptasi/harmonisasi hukum pidana dimaksudkan untuk dapat merespon hal-hal baru di
bidang ilmu pengetahuan dan perkembangan nilai, standar, dan norma yang diakui oleh bagsa
beradab di dunia internasional.7
Merespons dari berbagai macam alasan yang telah dikemukakan, upaya pembaharuan
KUHP yang dilakukan secara mendasar, menyeluruh, dan sistematis sejatinya merupakan suatu
proses serta langkah panjang yang telah dilakukan semenjak 59 tahun silam. Agar mencapai
sistem hukum pidana sebagaimana yang diharapkan, pembaharuan yang demikian pun harus
dibentuk dalam perwujudan rekodifikasi yang mencakup 3 (tiga) permasalahan pokok hukum
pidana, yakni perumusan perbuatan yang bersifat melawan hukum (criminal act)
pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility), dan pidana serta tindakan yang dapat
diterapkan.8 Selain itu, usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia tidak dapat dilepaskan
dari landasan sekaligus tujuan nasional yang ingin dicapai seperti dirumuskan dalam Alinea
Keempat UUD NRI Tahun 1945, yakni:

6
Barda Nawawi Arief, 1984, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana, Pidato Pengukuhan
Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
7
Hanafi Amrani, op. cit., hlm. 14.
8
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,
op. cit., hlm. 2.

8
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Dari perumusan yang demikian, dapat diketahui adanya tujuan “perlindungan masyarakat”
(social defence) dan “kesejahteraan masyarakat” (social welfare), yang harus tercermin dalam
tujuan pembangunan nasional. Kedua tujuan tersebut pun harus menjadi batu landasan dari
hukum pidana dan pembaharuan hukum pidana. Selain itu, terdapat pula tujuan ikut serta
menciptakan ketertiban dunia, sehubung dengan perkembangan kejahatan internasional.
Pada akhirnya, upaya pembaharuan KUHP pun pertamakali terwujud dengan hadirnya
Seminar Hukum Nasional I yang diselenggarakan di Semarang pada Tahun 1963. Seminar
tersebut dikatakan menjadi suatu peletak dasar bangunan sistem hukum pidana nasional
Indonesia sebagai perwujudan dari keinginan untuk mewujudkan misi dekolonisasi KUHP
peninggalan/warisan kolonial, demokratisasi hukum pidana, konsolidasi hukum pidana, dan
adaptasi serta harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi. Namun,
penyusunan terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), baru dapat
terlaksana pada tahun 1981 yang ditandai dengan dibentuknya Tim Pengkajian dan Tim
Rancangan yang dipimpin oleh Sudarto, Roeslan Saleh, dan Marjono Reksodiputro.9 Tim
tersebut pun kemudian Pada tanggal 13 Maret 1993 menyerahkan draf RKUHP kepada Menteri
Kehakiman, tetapi disayangkan draf tersebut tidak pernah diteruskan ke Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), hingga akhirnya baru pada tahun 2004 RKUHP masuk program legislasi
nasional prioritas, yang mana pembahasannya pun tak kunjung usai hingga 2009. Pembahasan
RKUHP akhirnya kian serius di saat periode 2014-2019. Presiden Joko Widodo mengeluarkan

9
Faishol Alamin, 2020, “Pengaturan Tindak Pidana Korupsi Dalam RUU KUHP 2019,” Skripsi Sarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 6.

9
Surat Presiden pada 5 Juni 2015 mengenai kesiapan pemerintah dalam Pembahasan RKUHP,
yang terdiri dari Buku I dan Buku II dengan jumlah 786 Pasal. Hingga pada akhirnya,
pembentukan pun digencarkan pada penghujung periode keanggotaan DPR 2014-2019 dalam
Rapat Kerja Komisi III DPR dan Menteri Hukum dan HAM yang mewakili Presiden Republik
Indonesia untuk segera mengesahkan RKUHP dalam rapat paripurna.10
Tidak dapat dipungkiri, upaya pengesahan RKUHP pada tahun 2019 kemarin
menimbulkan protes serta gelombang penolakan yang berujung demonstrasi besar-besaran dari
berbagai macam kalangan dan pihak. Hal tersebut disebabkan banyak elemen masyarakat yang
berpendapat bahwasannya pasal-pasal ataupun materi muatan yang terdapat di dalam draf
RKUHP tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan, kebermanfaatan, dan kepastian hukum.
Berkaca dari situasi serta kondisi sebagaimana yang telah dijabarkan di atas, maka kiranya
perlu untuk dibentuk suatu kajian yang dilakukan secara komprehensif dan menyeluruh guna
mengetahui segala seluk beluk problematika serta polemik yang menyertai di dalam draf
RKUHP. Selain itu, kajian ini juga bertujuan guna menambah pengetahuan dan kesadaran
mahasiswa pada khususnya serta masyarakat pada umumnya untuk dapat menyelisik berbagai
macam pro kontra mengenai materi muatan yang terdapat di dalam draf RKUHP. Atas dasar
hal tersebut, dalam rangka merealisasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang terdiri dari
Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian, Bidang Hukum, Sosial, dan Politik Badan Eksekutif
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Tahun 2022 membentuk kajian mengenai
pro-kontra draf RKUHP.

10
reformasikuhp, “Sekilas Sejarah dan Problematika Pembahasan RKUHP,”
https://reformasikuhp.org/sekilas-sejarah-dan-problematika-pembahasan-rkuhp/. Diakses 10 Juni 2022.

10
BAB II
11
PEMBAHASAN

Secara struktural, RKUHP membagi hukum pidana ke dalam dua bagian atau buku,
yakni Buku Kesatu (selanjutnya disebut Buku I) yang memuat aturan umum (allgemeiner teil
atau partie generale) dan Buku Kedua (selanjutnya disebut Buku II) yang memuat aturan khusus
(besonderer teil atau partie speciale). Aturan umum, sebagaimana yang termaktub dalam Buku
I, merupakan segala ketentuan-ketentuan hukum pidana yang bersifat umum dan berlaku untuk
seluruh lapangan hukum pidana.11 Hal tersebut didasarkan pada Pasal 187 yang berbunyi
“Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab V Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang
dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut
Undang-Undang”. Hadirnya ketentuan dalam pasal tersebut menunjukkan bahwa ketentuan-
ketentuan dalam Buku I tidak hanya berlaku bagi tindak pidana yang termaktub dalam RKUHP,
melainkan juga berlaku bagi setiap perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan
perundang-undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut peraturan perundang-undangan
tersebut.
Secara lebih spesifik, sejatinya aturan umum merupakan bangunan konsepsional sistem
hukum pidana yang mencakup ketentuan mengenai asas-asas, tujuan pidana/pemidanaan,
aturan dan pedoman pemidanaan, serta pengertian sekaligus batasan yuridis secara umum dari
suatu tindak pidana. Menurut E. Mezger dalam Sudarto, ketentuan dalam bagian umum
ditujukan untuk mengadakan penilaian tentang perbuatan jahat dan pidana sehingga dapat
dipahami ciri-ciri dari delik-delik khusus.12 Hal tersebut menimbulkan konsekuensi
bahwasanya batasan-batasan serta keberlangsungan delik-delik khusus baik dalam RKUHP
sendiri maupun dalam peraturan perundang-undangan lain didasarkan pada ketentuan yang
termaktub dalam Buku I sebagai aturan umum. Maka dari itu, aturan umum dalam Buku I
memegang peran yang fundamental dalam penyelenggaraan hukum pidana di Indonesia.
Apabila dilihat dari KUHP yang berlaku saat ini, pada dasarnya masih terdapat
beberapa bentuk tindak pidana atau tahapan dilakukannya tindak pidana yang tidak dimasukkan
dalam Buku I, seperti pemufakatan jahat dan recidive. Selain itu, Buku I KUHP juga tidak

11
Sudarto, Op. Cit., hlm. 32.
12
Ibid, hlm. 34.

12
menjelaskan kualifikasi yuridis mengenai kejahatan dan pelanggaran yang menjadi tajuk utama
Buku II dan Buku III, sehingga berakibat pada biasnya batasan antara penggolongan tindak
pidana kejahatan dan pelanggaran. Di samping itu, terdapat materi-materi yang tidak
dirumuskan secara eksplisit dalam Buku I KUHP, seperti ketentuan mengenai tujuan dan
pedoman pemidanaan, pengertian/hakikat tindak pidana, sifat melawan hukum (termasuk asas
tiada pertanggungjawaban pidana tanpa sifat melawan hukum, asas ketiadaan sama sekali sifat
melawan hukum secara material, masalah kausalitas, masalah kesalahan atau
pertanggungjawaban pidana (termasuk asas tiada pidana tanpa kesalahan; asas culpabilitas, no
liability without blameworthiness; afwezigheids van alle schuld-AVAS; pertanggungjawaban
akibat/erfolgs haftung; kesesatan/error; pertanggungjawaban korporasi).13 Hal tersebut juga
melatarbelakangi diperlukannya pembaharuan terhadap muatan maupun struktur dalam KUHP.
Di lain sisi pembaharuan KUHP juga merupakan respons dari sistem hukum pidana
klasik yang mengamini pemidanaan sebagai media pembalasan atas kesalahan yang dilakukan
oleh terpidana. Dalam perkembangannya, muncul sebuah istilah yaitu double track system yang
memisahkan sanksi pidana dengan sanksi tindakan. Konsekuensi dari perkembangan ini ialah
lahirnya sanksi tindakan sebagai opsi lain dari pidana pokok dan hal itu pun terdapat dalam
draft RKUHP. Kata rekonstruksi yang begitu erat dengan RKUHP membawa pengertian bahwa
pembaharuan sistem pidana meliputi ruang lingkup yang begitu luas, yaitu yang pertama,
pembaharuan substansi hukum pidana materiil (KUHP dan UU di luar KUHP, hukum pidana
formal (KUHAP), dan hukum pelaksanaan pidana. Kedua, pembaharuan struktur hukum
pidana, yang meliputi antara lain pembaharuan, atau penataan institusi/lembaga, sistem
manajemen/tata laksana dan mekanismenya serta sarana/prasarana pendukung dari sistem
penegakan hukum pidana (sistem peradilan pidana). Ketiga Pembaharuan budaya hukum
pidana, yang meliputi antara lain masalah kesadaran hukum, perilaku hukum, pendidikan
hukum dan ilmu hukum pidana.
Menarik fakta kekurangan dari KUHP yang tidak mengakomodasi ketentuan mengenai
tujuan dan pedoman pemidanaan, pengertian/hakikat tindak pidana, sifat melawan hukum, asas
ketiadaan sama sekali sifat melawan hukum secara material, dan masalah kausalitas, masalah

13
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, Naskah Akademik RUU KUHP, 2015,Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ), Jakarta:Badan Pembinaan Hukum Nasional.

13
kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, membawa sebuah implikasi dilupakannya
konstruksi konseptual tersebut, bahkan kemungkinan diharamkan dalam praktik atau putusan
pengadilan.14 Posisi tujuan pemidanaan yang sangat sentral dan fundamental pun mempunyai
potensi yang sama, padahal tujuan pemidanaan inilah yang merupakan jiwa/roh/spirit dari
sistem pemidanaan. Maka daripada hal tersebut, dimasukkanlah variabel tujuan di dalam syarat
pemidanaan, dasar pembenaran atau justifikasi adanya pidana tidak hanya pada tindak pidana
(syarat obyektif) dan kesalahan (syarat subyektif), tetapi juga pada tujuan/pedoman
pemidanaan. Jika menilik Pasal 51 RKUHP, maka dapat diketahui poin tujuan pemidanaan
yang meliputi (1) pencegahan, (2) pemasyarakatan terpidana, (3) penyelesaian konflik dan
pemulihan keseimbangan, serta (4) pembebasan rasa bersalah terpidana. Rumusan tujuan
pemidanaan tersebut cenderung mengarah pada teori utilitarian view karena bertumpu pada
prevention, deterrence, dan reform.15 Dengan demikian, tujuan pemidanaan dalam RKUHP
sesuai dengan semangat untuk menjunjung hak-hak asasi manusia, serta menjadikan pidana
bersifat operasional dan fungsional.
Selain adanya tujuan pemidanaan dalam RKUHP, terdapat pedoman pemidanaan yang
dilandasi dengan formulasi ide pemaafan hakim (rechterlijk pardon). Dalam kondisi tertentu
hakim tetap diberi kewenangan untuk memberi maaf dan tidak menjatuhkan pidana atau
tindakan apapun, walaupun tindak pidana dan kesalahan telah terbukti.16 Dalam seminarnya,
Prof. Barda Nawawi pun mengatakan hakim dapat menetapkan dalam putusannya bahwa tidak
ada pidana maupun tindakan apabila ada the lack of gravity of the oftens (deliknya ringan), the
character of offended (karakter orangnya), dan the circumsta wres (menimbang keadaan pada
saat perbuatan dilakukan maupun setelahnya). Dapat dikatakan bahwa adanya pedoman
pemaafan hakim berfungsi sebagai suatu katup/klep pengaman (Veiligheidsklep) atau pintu
darurat (noodeur) yang didasari oleh ide fleksibilitas untuk menghindari kekakuan. Hal ini
penting untuk menghindari disparitas pidana (disparity of sentencing), yaitu penjatuhan pidana
yang berbeda-beda untuk tindak pidana yang sama, atau yang ancaman pidananya kurang lebih
sama tanpa pertimbangan yang bisa dipahami, semata-mata atas dasar diskresi hakim.17 Bahwa

14
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, Op. Cit., hlm. 20.
15
Ibid. hlm. 43.
16
Ibid. hlm. 22.
17
Blumstein, Alfred, ET.AL,1983, Research On Sentencing: The Search For Reform, Volume II,.

14
dengan pedoman pemidanaan tersebut, penjatuhan pidana yang rasional (rational sentencing)
akan tercapai.
Usaha pembaharuan KUHP, di samping ditujukan terhadap pembaharuan dan
peninjauan kembali terhadap 3 (tiga) permasalahan utama dalam hukum pidana, yaitu
perumusan perbuatan yang dilarang (criminal act), perumusan pertanggungjawaban pidana
(criminal responsibility) dan perumusan sanksi baik berupa pidana (punishment) maupun
tindakan (treatment), juga berusaha secara maksimal memberikan landasan filosofis terhadap
hakikat KUHP sehingga lebih bermakna dari sisi nilai-nilai kemanusiaan (humanitarian values)
baik yang berkaitan dengan pelaku tindak pidana (offender) atau korban (victim).18 Asas-asas
dan sistem hukum pidana nasional ke depan disusun berdasarkan ide keseimbangan yang
mencakup: keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum/masyarakat dan
kepentingan individu/perseorangan; keseimbangan antara ide perlindungan/kepentingan
korban dan ide individualisasi pidana; keseimbangan antara unsur/faktor obyektif
(perbuatan/lahiriah) dan subyektif (orang batiniah/sikap batin) (ide „daad-dader strafrecht‟);
keseimbangan antara kriteria formal dan material; keseimbangan antara kepastian hukum,
kelenturan/elastisitas/fleksibilitas dan keadilan; dan keseimbangan nilai-nilai nasional dan
nilai-nilai global/internasional/universal.19 Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana
pada hakikatnya mengandung makna, yaitu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi
hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan
sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan
kebijakan penegakan hukum di Indonesia.20
Apabila disandingkan antara KUHP dengan draft RKUHP, maka dapat dipahami
adanya perbedaan-perbedaan baik dari jumlah pasal, pembagian Buku 1, serta substansi yang
ada di dalamnya.

18
Op.Cit, hlm. 23.
19
Ibid, hlm. 24.
20
Arief, Barda Nawawi, 2009, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, Semarang:Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, hlm. 29.

15
Perbandingan Struktur KUHP dan RKUHP

KUHP RKUHP

(569 Pasal) (632 Pasal)

Aturan Umum Aturan Umum

(103 Pasal) (187 Pasal)

Kejahatan

(385 Pasal) Tindak Pidana

(445 Pasal)
Pelanggaran

(81 Pasal)

Perbandingan Buku Kesatu KUHP dan RKUHP

KUHP RKUHP

Bab II mengatur mengenai Pidana Bab II RKUHP mengatur mengenai tindak


Pidana dan pertanggungjawaban pidana
sedangkan pidana diatur dalam bab III

16
Bab III mengenai Hal-Hal yang Bab III mengatur mengenai Pemidanaan,
Menghapuskan, Mengurangi atau Pidana, dan Tindakan sedangkan Hal yang
Memberatkan Pidana. menggugurkan penuntutan dan pelaksanaan
pidana diatur dalam bab VI

Percobaan, Penyertaan, dan Tindak Pidana Percobaan, Penyertaan, dan Tindak Pidana
Aduan diatur dalam Bab tersendiri (Bab IV, Aduan diatur dalam Bab yang sama (Bab II)
Bab V, dan Bab VII)

Pengulangan diatur dalam Buku Kedua di Pengulangan diatur dalam Buku Kesatu di Bab
Bab XXXI II

Perbarengan diatur dalam Bab tersendiri Perbarengan diatur pada bagian kelima Bab
(Bab VI) III yang merupakan bagian dari Pemidanaan,
Pidana, dan Tindakan

No KUHP RKUHP

1. Bab IV mengatur mengenai Bab IV mengatur mengenai Tindak Pidana


Kejahatan terhadap Melakukan terhadap Penyelenggaraan Rapat Lembaga
Kewajiban dan Kenegaraan Legislatif dan Badan Pemerintah (tapi di
dalamnya tidak mengatur mengenai TP
terhadap Pemilihan Umum)

17
2. Bab mengenai: Buku Kedua Bab V dan Buku Ketiga Bab
II KUHP digabung menjadi Bab V Tindak
a. Tindak Pidana terhadap Pidana terhadap Ketertiban Umum
Ketertiban Umum (Buku Kedua
Bab V); dan

b. Pelanggaran terhadap Ketertiban


Umum (Buku Ketiga Bab II), diatur
dalam bab yang terpisah.

3. KUHP tidak mengatur mengenai RKUHP mengatur Tindak Pidana terhadap


Tindak Pidana terhadap Proses Proses Peradilan dalam Bab VI
Peradilan

4. Tindak Pidana terhadap Agama dan Tindak Pidana terhadap Agama dan
Kehidupan Beragama diatur dalam Kehidupan Beragama diatur dalam Bab
Bab V Kejahatan terhadap tersendiri yaitu Bab VII
Ketertiban Umum (Pasal 156a
KUHP)

18
5. Bab mengenai: Ketiga bab di samping digabung dalam
Bab VIII Tindak Pidana yang
a. Kejahatan yang Membahayakan Membahayakan Keamanan Umum bagi
Keamanan Umum bagi Orang atau Orang, Kesehatan, Barang dan Lingkungan
Barang (Bab VII Buku Kedua), Hidup

b. Bab Pelanggaran Keamanan


Umum bagi Orang atau Barang dan
Kesehatan (Bab I Buku Ketiga); dan

c. Bab Pelanggaran Mengenai


Tanah, Tanaman, dan Pekarangan
(Bab VII Buku Ketiga), diatur
dalam Bab yang terpisah.

6. Bab mengenai: Kedua Bab tersebut digabung dalam Bab


IX Tindak Pidana Terhadap Kekuasaan
a. Kejahatan Terhadap Penguasa Umum dan Lembaga Negara (Pasal 351-
Umum (Bab VIII Pasal 552-589); 376)
dan

b. Pelanggaran terhadap penguasa


umum (Bab III Pasal 521-528),
diatur dalam bab yang terpisah.

7. Bab XI mengatur mengenai Bab XII RKUHP tidak mengatur mengenai


Pemalsuan Materai dan Merek pemalsuan materai dan ditambahkan
pengaturan mengenai pemalsuan cap
negara dan tera negara

19
8. Bab mengenai: Kedua bab tersebut digabung dalam Bab
XIV Tindak Pidana Terhadap Asal-Usul
a. Kejahatan Terhadap Asal-Usul dan Perkawinan (Pasal 407-411)
dan perkawinan (Bab XIII Pasal
277-280); dan

b. Pelanggaran Mengenai Asal-Usul


dan perkawinan (Bab IV Pasal 529-
530), diatur dalam bab yang
terpisah.

9. Tindak Pidana Perkosaan diatur Tindak Pidana Perkosaan dimasukan ke


pada Bab XIV Kejahatan terhadap dalam Bab XXII Tindak Pidana Terhadap
Kesusilaan (Pasal 281-303) Tubuh (Pasal 472-479)

10. Bab mengenai: Kedua bab di samping diatur dalam Bab


XVI Tindak Pidana Penelantaran Orang
a. Meninggalkan Orang yang Perlu (Pasal 434-438)
Ditolong (Buku Kedua Bab XV,
Pasal 304-308); dan

b. Pelanggaran terhadap Orang yang


memerlukan Pertolongan (Buku
Ketiga Bab V, Pasal 531), diatur
dalam bab yang terpisah

20
11. Bab XVIII Kejahatan Terhadap Bab XIX Tindak Pidana Terhadap
Kemerdekaan Orang (Pasal 324- Kemerdekaan Orang (Pasal 452- 462)
337) tidak mengatur mengenai mengadopsi Tindak Pidana Perdagangan
Perdagangan Orang Orang dari Undang Undang Nomor 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang

12. KUHP tidak mengatur mengenai RKUHP mengatur mengenai


Penyelundupan Manusia Penyelundupan Manusia pada Bab XX
(Pasal 463)

13. Judul Bab XIX: Kejahatan Terhadap Judul Bab XXI: Tindak Pidana terhadap
Nyawa (Pasal 338-350) Nyawa dan Janin

14. KUHP mengatur mengenai RKUHP tidak mengatur perkelahian


Perkelahian Tanding (Bab VI, Pasal tanding
182- 186)

15. Penganiayaan diatur dalam bab Bab XXII Tindak Pidana Terhadap Tubuh
tersendiri (Bab XX, Pasal 351-358) terdiri dari 3 bagian:

a. Penganiayaan;

b. Perkelahian Secara Berkelompok; dan

c. Perkosaan

21
16. Judul Bab XXVI: Perbuatan Judul Bab XXVIII: Tindak Pidana
Merugikan Pemiutang atau Orang terhadap Kepercayaan dalam Menjalankan
yang Mempunyai Hak (Pasal 396- Usaha (Pasal 515- 524)
405)

17. Judul Bab XXVII: Menghancurkan Judul Bab XXIX: Tindak Pidana
atau Merusakkan Barang (Pasal Perusakan dan Penghancuran Barang dan
406-412) Bangunan (Pasal 525-530)

18. Bab mengenai: Kedua bab di samping diatur dalam Bab


XXX Tindak Pidana Jabatan (Pasal 531-
a. Kejahatan Jabatan (Buku Kedua 545)
Bab XXVIII, Pasal 413-437); dan

b. Pelanggaran Jabatan (Buku


Ketiga Bab VIII, Pasal 552-559),
diatur dalam bab yang terpisah.

19. Bab mengenai: Kedua Bab di samping diatur dalam Bab


XXXI Tindak Pidana Pelayaran (Pasal
a. Kejahatan Pelayaran (Buku 546-578).
Kedua Bab XXIX, Pasal 438-479);
dan

b. Pelanggaran Pelayaran (Buku


Ketiga Bab IX, Pasal 560-569),
diatur dalam bab yang terpisah

22
20. KUHP mengatur mengenai RKUHP tidak mengatur mengenai bab
Penadahan Penerbitan dan Penadahan Penerbitan dan Percetakan
Percetakan (Bab XXX, Pasal 480-
485)

21. KUHP tidak mengatur mengenai RKUHP mengatur tindak pidana tersebut
Tindak Pidana Berdasarkan Hukum pada Bab XXXIII (Pasal 597)
yang Hidup dalam Masyarakat

22. KUHP tidak mengatur mengenai RKUHP mengatur mengenai Tindak


Bab Tindak Pidana Khusus Pidana Khusus dalam Bab XXXIV

23. KUHP tidak memiliki ketentuan RKUHP mengatur mengatur mengenai


peralihan dan ketentuan penutup Ketentuan Peralihan (Bab XXXVI, Pasal
621-628) dan Ketentuan Penutup (Bab
XXXVII, Pasal 629-630)

Namun, patut disayangkan bahwasanya pengaturan Buku I dan Buku II dalam RKUHP
masih belum lepas dari berbagai polemik dan permasalahan yang menyertainya. Hal tersebut
tercermin melalui beberapa pasal yang menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
Berikut dibawah ini akan dipaparkan mengenai pasal-pasal yang menuai pro dan kontra, baik
di Buku I maupun Buku II, yang sempat menjadi perbincangan di masyarakat:

23
A. Buku I
1. Penggunaan Analogi
Pasal 1 ayat (2)
“Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang digunakan analogi.”

Salah satu ketentuan dalam Buku I RKUHP yang merupakan pembaharuan


dari KUHP saat ini ialah pelarangan penggunaan analogi, sebagaimana yang
termaktub dalam Pasal 1 ayat (2). Pengertian dari analogi sejatinya tercantum secara
eksplisit dalam Penjelasan atas RKUHP, yang mana disebutkan bahwasanya yang
dimaksud dengan “analogi” adalah penafsiran dengan cara memberlakukan suatu
ketentuan pidana terhadap suatu kejadian atau peristiwa yang tidak diatur atau tidak
disebutkan secara eksplisit dalam Undang-Undang dengan cara menyamakan atau
mengumpamakan kejadian atau peristiwa tersebut dengan kejadian atau peristiwa lain
yang telah diatur dalam Undang-Undang. Pada dasarnya, analogi merupakan salah
satu bagian dari tiga konstruksi atau pembentukan hukum yang terdiri dari
argumentum per analogiam atau sering disebut analogi, penyempitan hukum, dan
argumentum a contrario.21 Di samping itu, penggunaan analogi juga pernah dilakukan
dalam penegakan hukum pidana, yakni salah satunya melalui Putusan MA No. 786
K/Pid/2015 menyatakan perbuatan terdakwa mengucapkan bujuk rayu dan janji palsu
sehingga termasuk ke dalam unsur delik “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan”
dalam Pasal 285 KUHP, meskipun tindakan terdakwa tidak memenuhi unsur delik
tersebut secara eksplisit.
Namun sejatinya, penggunaan analogi dalam hukum pidana tidak sejalan
dengan asas legalitas yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1). Apabila merujuk pada
pasal a quo, disebutkan bahwasanya tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai
sanksi pidana dan/atau tindakan kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam
peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. Lebih
lanjut, ketentuan pasal tersebut diperjelas dalam bagian penjelasan, bahwa ketentuan
tersebut mengandung asas legalitas yang menentukan bahwa suatu perbuatan

21
Sitti Mawar, Metode Penemuan Hukum (Interpretasi dan Konstruksi) dalam Rangka Harmonisasi
Hukum, Jurnal Hukum, Vol. 1, No. 1, 2016, hlm. 15.

24
merupakan Tindak Pidana jika ditentukan oleh atau didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang dalam hal ini ialah undang-undang dan peraturan daerah.
Di samping itu juga, peraturan perundang-undangan yang mengandung ancaman
pidana harus sudah ada sebelum Tindak Pidana dilakukan.
Diperbolehkannya penggunaan analogi sejatinya akan menimbulkan potensi
dipandangnya suatu perbuatan yang semula bukan merupakan perbuatan yang
terlarang menurut undang-undang menjadi suatu perbuatan yang terlarang, sehingga
pelaku dapat dihukum karena perbuatan yang sejatinya tidak pernah dinyatakan
sebagai perbuatan yang terlarang menurut undang-undang.22 Hal tersebut
menunjukkan bahwasanya penggunaan analogi bertentangan dengan konsep asas
legalitas yang menekankan bahwasanya suatu perbuatan hanya bisa ditetapkan sebagai
tindak pidana apabila dinyatakan sebagai tindak pidana oleh peraturan perundang-
undangan. Pandangan ini juga sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh
Moeljatno, bahwa pangkal pendirian dari analogi adalah perbuatan yang tidak bisa
dimasukkan dalam aturan yang ada.23 Kemudian, Simmons juga berpendapat bahwa
asas yang terkandung dalam Pasal 1 KUHP melarang setiap penerapan hukum secara
analogi dalam hukum pidana, oleh karena penerapan hukum semacam itu dapat
membuat suatu perbuatan yang semula tidak dinyatakan secara tegas sebagai suatu
tindak pidana kemudian menjadi suatu tindak pidana.24
Di samping itu juga, hakim sebagai elemen penegak hukum yang memiliki
wewenang dalam memutus dan menetapkan suatu tindak pidana tentunya harus
berpedoman pada undang-undang yang berlaku. Pelarangan analogi sejalan dengan
ketentuan yang termaktub pada Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwasanya tidak seorang pun dapat dihadapkan di
depan pengadilan, kecuali undang-undang menentukan lain. Kemudian ayat
selanjutnya juga menerangkan bahwa tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali
apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang,

22
Lamintang, 2008, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
23
Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, hlm. 30-33.
24
Lucky Endrawati, “Rekonstruksi Analogi Dalam Hukum Pidana Sebagai Metode Penafsiran Hukum
Untuk Pembaharuan Hukum Pidana Dengan Pendekatan Aliran Progresif”, Jurnal Hermeneutika, Vol. 2, No. 1,
Februari 2018, hal. 85.

25
mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah
bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

2. Asas Legalitas
Pasal 2 ayat (2)
“Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak
diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum
yang diakui masyarakat beradab.”

Apabila membahas mengenai Asas Legalitas, perlu untuk kita ketahui bahwa
adanya adagium yang mendasari keberlakuan Asas Legalitas di Indonesia, yaitu
“Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli” dari Von Feurbach, Sarjana
Hukum Pidana Jerman (1775-1833), yang merumuskannya dalam pepatah latin itu di
dalam bukunya “Lehrbuch des peinlichen Recht”. Adagium tersebut dapat diartikan
bahwa tiada delik tanpa adanya peraturan yang mengaturnya terlebih dahulu. Tidak
hanya itu, Asas Legalitas juga memiliki empat prinsip dasar, yaitu: lex scripta, lex
certa, lex stricta, lex praevia. Lex scripta berarti hukum harus memiliki bentuk tertulis.
Lex certa berarti kata-kata pelanggaran harus jelas. Lex stricta berarti bahwa kata-kata
hukum pidana harus ditafsirkan secara tegas tanpa analogi. Sedangkan Lex praevia
berarti hukum pidana tidak dapat berlaku surut.25 Asas Legalitas adalah asas yang
utama dalam Hukum Pidana Indonesia, yang mana hal tersebut dibuktikan dengan
penempatannya yang berada di pasal pertama. Asas legalitas pada umumnya
memberikan pembatasan terhadap kekuasaan negara, sehingga negara tidak dapat
sewenang-wenang dalam menentukan bahwa perbuatan warga negara merupakan
tindak pidana dan mengadilinya.

25
ICJR, 2019, “Ketentuan Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat di RKUHP Ancam Hak Warga
Negara”, https://icjr.or.id/ketentuan-hukum-yang-hidup-dalam-masyarakat-di-rkuhp-ancam-hak-warga-negara/,
diakses pada 26 April 2022.

26
Sesuai dengan pembahasan saat ini, hadirnya RKUHP tidak mengubah
kedudukan Asas Legalitas sebagai asas yang pertama dan utama. Dalam RKUHP,
Asas Legalitas tetap diatur dalam Pasal 1, tetapi uniknya bahwa terdapat pasal yang
cukup kontroversi, yaitu Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) yang membahas mengenai Asas
Legalitas “Living Law”. Sedikit memberi pendefinisian kepada arti Living Law, yaitu
hukum yang hidup dan sedang aktual dalam suatu masyarakat, sehingga tidak
membutuhkan upaya reaktualisasi lagi.26 Untuk memasukkannya ke dalam konteks
saat ini, di dalam RKUHP diperjelas lagi mengenai Asas Legalitas “Living Law” ini
di dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) yang berisi sebagai berikut:
a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa
seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-
Undang ini.
b. Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-
Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi
manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
Permasalahannya adalah ketika di Pasal 2 ayat (1) tertulis bahwa “seseorang
patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.”
Dengan adanya frasa demikian, muncullah pertentangan dengan Asas Legalitas yang
sudah dijelaskan diatas, utamanya dengan prinsip dasar Lex Scripta, yang mana
mewajibkan suatu peraturan memiliki bentuk tertulisnya. Prof. Barda Nawawi Arief
sebagai salah satu tim perumus RKUHP berpendapat bahwa hadirnya pasal 2
mengenai hukum yang hidup di masyarakat adalah bentuk implementasi pemenuhan
hukum yang berlaku di Indonesia yang sebelumnya tidak terpenuhi dengan hanya
hadirnya KUHP. Penting adanya perubahan pola pikir mengenai bagaimana sistem
hukum pemidanaan di Indonesia dari yang hanya bekas jajahan belanda, dengan

26
Hafidzotun Nuroniyyah, 2013, “Praktik Pembagian Harta Waris Di Desa Sukosari Kabupaten
Jember (Kajian Living Law)” Skripsi Sarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, hlm.
17.

27
sistem hukum pemidanaan yang sudah menghadirkan nilai dan budaya Indonesia.
Landasan dalam menegakkan Hukum dan Keadilan di Indonesia selama ini hanya
memiliki landasan yuridis formal, yakni apa yang tertulis saja.
Sejauh ini, dapat dilihat bahwasanya asas legalitas formiil bersifat kaku dan
kurang dinamis, padahal perubahan di dalam masyarakat berlangsung dengan sangat
cepat. Prof. Barda Nawawi Arief membawakan beberapa landasan yang mendukung
hadirnya asas legalitas materiil dalam RKUHP, yang mana salah satunya adalah pasal
18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Hadirnya Pasal tersebut, menggambarkan bahwasanya negara sudah mendukung dan
memberikan legitimasi terhadap eksistensi dari hukum yang hidup di dalam
masyarakat. Lebih daripada itu, pengaturan mengenai legitimasi terhadap eksistensi
hukum yang hidup di dalam masyarakat juga sudah diakomodasi melalui Undang-
Undang No.1/drt/1951, tepatnya di dalam Pasal 5 ayat (3) yang berbunyi:
“Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil
yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang
yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula
dan orang itu, dengan pengertian: bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum
yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam
Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak
lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai
hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh
pihak terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim
dengan besar kesalahan yang terhukum, bahwa, bilamana hukuman adat yang
dijatuhkan itu menurut fikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman
kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat
dikenakan hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian
bahwa hukuman adat yang menurut faham hakim tidak selaras lagi dengan zaman
senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan bahwa suatu perbuatan yang

28
menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada
bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan
hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada
perbuatan pidana itu.”
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak hanya legalitas formiil saja
yang diberlakukan di Indonesia, tetapi legalitas materiil pun sempat dilaksanakan di
Indonesia. Hadirnya pasal tersebut memberikan kesempatan pada hukum yang hidup
di masyarakat untuk dapat menjatuhi hukumnya meskipun belum diatur pada kitab
hukum pidana nasional.
Tidak hanya pasal diatas, dalam kekuasaan kehakiman pun mengenai hal yang
serupa, tepatnya di dalam Pasal 1 ayat (1), yang berbunyi “Kekuasaan Kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia”. Hadirnya pasal tersebut bermakna bahwasannya Hakim tidak
boleh hanya menegakkan hukum hanya dengan Undang-Undang, tetapi juga sesuai
Pancasila. Masih dalam kekuasaan kehakiman, pasal 5 menyatakan “Hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Hal demikian kemudian memberikan
implikasi bahwasanya Negara mengakui adanya hukum yang hidup dalam masyarakat
dan wajib untuk menegakkan nilai dan keadilannya. Beberapa pasal yang telah
disebutkan sebelumnya menggambarkan bagaimana negara Indonesia melegitimasi
hukum yang hidup di masyarakat dan wajib untuk menegakkannya.
Kemudian ada beberapa poin permasalahan yang dirasa perlu untuk
diperhatikan lebih lanjut. Pertama, adanya pertentangan antara Asas Legalitas dengan
Asas Legalitas “Living Law” yang akhirnya memunculkan kontroversi. Kemudian
yang kedua, bahwasanya ketika hal ini akan diterapkan, maka apa dan bagaimana
hukum adat ini akan ditegakkan. Kemudian membahas mengenai pengkompilasian
Hukum yang hidup di masyarakat, kami menilai bahwa kompilasi adalah langkah yang
tidak perlu, karena dengan penjelasan mengenai kompilasi di dalam pasal tersebut,

29
pengakuan terhadap hukum yang hidup di masyarakat tidak akan ada bedanya dengan
hukum yang tertulis.
Dengan segala pertimbangan yang telah disebutkan di atas, penting rasanya
untuk menghadirkan asas legalitas materiil karena dengan hadirnya asas legalitas
materiil ini bisa menjadi pintu masuk peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Bagaimana aspek yuridis yang tidak terimplementasi dengan baik saat ini, seperti
yuridis berdasarkan Ketuhanan dan yuridis kultural yang mana berisikan hukum yang
hidup di masyarakat (living law). Mengingat lagi bahwa Indonesia dalam UUD NRI
Tahun 1945 bukanlah negara undang-undang (wet), tetapi merupakan negara hukum
negara hukum (recht). Dengan demikian, Indonesia tidak bisa hanya mengatur hukum
nasionalnya dalam bentuk undang-undang saja, tetapi juga hukum yang hidup di
masyarakat.

3. Pertanggungjawaban Pidana
Pasal 40 dan 112 ayat (1)
“Pertanggungjawaban pidana tidak dapat dikenakan terhadap anak yang pada
waktu melakukan Tindak Pidana belum mencapai umur 12 (dua belas)
tahun.”
“Anak yang melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana
penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan
Tindak Pidana wajib diupayakan diversi.”

Dalam lapangan hukum pidana, terdapat suatu istilah yang dinamakan


pertanggungjawaban atau dalam bahasa Belanda dikenal dengan nomenklatur
toerekenbaarheid,27. Apabila dilihat secara definitif, pertanggungjawaban pidana
menurut Simons, dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang
membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut

27
Siahaan, Lindung Leonardi, 2021, “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pidana Penodaan Terhadap
Suatu Agama Yang Dianut Di Indonesia”, Skripsi Sarjana Universitas HKBP Nommensen.

30
umum maupun dari orangnya.28 Dikatakan selanjutnya, bahwa seseorang mampu
bertanggungjawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila:
1. ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan
dengan hukum;
2. ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.
Dalam RKUHP saat ini, pertanggungjawaban pidana diatur dalam pasal 40
yang berbunyi: “Pertanggungjawaban pidana tidak dapat dikenakan terhadap anak
yang pada waktu melakukan Tindak Pidana belum mencapai umur 12 (dua belas)
tahun.” Bahwasanya perlu diingat juga pasal ini termaktub dalam Paragraf 2 mengenai
Alasan Pemaaf yang mana apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana ketika
umurnya dibawah 12 (dua belas) tahun, maka hakim akan memutuskan putusan lepas
(ontslag).
Perlu untuk diketahui juga, banyak negara yang mengatur usia
pertanggungjawaban pidana pada umur 14 (empat belas) tahun. Sedangkan, saat ini
Indonesia masih memegang teguh usia pertanggungjawaban pidana pada umur 12 (dua
belas) tahun. Banyak aspek yang perlu diperhatikan apabila Tim perumus tetap
memaksa menggunakan usia 12 (dua belas) tahun sebagai usia minimal
pertanggungjawaban pidana. Hal pertama dapat dilihat dari sisi psikologis anak.
Ketika proses pemidanaan, anak beresiko mengalami gangguan kesehatan mental dan
mengakibatkan turunnya kesejahteraan psikologisnya. Banyak anak yang berada
dalam sistem koreksi institusional merasa diperlakukan tidak manusiawi,
dipermalukan, atau direndahkan sebagai manusia, hingga merasa ketakutan.
Akibatnya, penelitian menunjukkan bahwa hukuman tidak memiliki banyak efek
korektif dan rehabilitatif, melainkan memperburuk perkembangan anak. Studi di
Amerika Serikat dan Australia telah menemukan bahwa anak-anak yang terlibat dalam
proses penghakiman cenderung menjadi pelaku kejahatan berulang (reoffending).
Ditemukan sekitar 70%-80% anak yang pernah mengalami koreksi institusional atau

28
Sudarto, Op. Cit, hlm. 119.

31
proses pembinaan pidana justru menjadi residivis dalam waktu 3 tahun setelah keluar
pertama kali.29
Tidak hanya dilihat dari sisi psikologis anak, sisi perkembangan biologis anak
pun perlu diperhatikan. Proses pematangan pada otak, terutama yang
bertanggungjawab atas fungsi kognitif kompleks, sangat mempengaruhi kapasitas
kendali sosio-emosional, pengambilan keputusan, pembuatan relasi sosial, perilaku
dan kesejahteraan psikologis manusia. Artinya, walaupun bagian otak yang
bertanggungjawab pada fungsi berpikir rasional sudah mencapai perkembangan penuh
pada usia sekitar 16 tahun, tetapi kematangannya baru tercapai sekitar 10 tahunan
kemudian disebabkan kematangan pada aspek kendali emosi dan fungsi eksekutif
yang baru selesai pada sekitar usia 20 tahunan.30 Maka, sangat dini untuk usia 12
tahun sebagai usia pertanggungjawaban pidana.
Berbagai Negara telah mulai meningkatkan usia minimum
pertanggungjawaban pidana anak, dengan alasan kebaikan dan kepentingan anak
seperti negara Austria, Jerman, Italia, Spanyol dan beberapa negara Eropa Tengah dan
Timur yang mencantumkan usia 14 (empat belas) tahun, usia 15 Tahun di Yunani dan
Negara-Negara Skandinavia, dan 16 sampai 18 tahun untuk kejahatan spesifik di
Belgia, Rusia dan beberapa negara Eropa Timur. Dengan pertimbangan diatas, maka
Indonesia perlu untuk mengkaji ulang secara sosiologis, psikologis, bahkan biologis
dari anak yang berusia 12 tahun terhadap batas minimal usia pertanggungjawaban
pidana. Mereka masih jauh dari memiliki kemampuan dalam menimbang suatu hal.
Oleh karena itu, perlu kiranya untuk meningkatkan usia pertanggungjawaban pidana.
Selain dari apa yang telah dipaparkan di atas, hadirlah sebuah permasalahan
lain ketika dalam Pasal 112 ayat (1) yang berbunyi “Anak yang melakukan Tindak
Pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan
merupakan pengulangan Tindak Pidana wajib diupayakan diversi.” Permasalahan
tersebut muncul ketika ada anak yang melakukan tindak pidana dengan ancaman
pidana maksimum diatas 7 (Tujuh) tahun. Mengutip dari ICJR bahwa Pasal Pencurian

29
Margaretha, “Terlalu Muda Untuk Dipidana: Kapan Usia Yang Lebih Tepat Mulai Menerima
Pertanggungjawaban Pelanggaran Pidana (Bagian I)”, Terlalu Muda untuk Dipidana (I) Halaman 1 -
Kompasiana.com, Diakses 26 Juni 2022.
30
Ibid.

32
dengan pemberatan (Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP) yang paling sering digunakan
oleh Jaksa Penuntut Umum dengan ancaman penjara maksimum selama 7 (tujuh)
tahun.31 Contoh lainnya adalah mengenai Anak yang berhubungan dengan Narkotika,
pasal yang paling sering dikenakan kepada Anak adalah Pasal 127 ayat (1) sebagai
Penyalahguna Narkotika dengan ancaman pidana maksimum 1, 2, ataupun 4 tahun,
sehingga memungkinkan untuk dilaksanakan Diversi. Namun, dalam pelaksanaannya,
penegak hukum seringkali menggunakan dakwaan subsidair, alternatif, kumulatif,
ataupun kombinasi, dengan Pasal lainnya dengan ancaman pidana maksimum antara
10 (sepuluh) sampai dengan 20 (dua puluh) tahun. 32
Mekanisme seperti ini menghambat Anak untuk menerima proses diversi
karena telah dibatasi oleh Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
Anak. Situasi ini kemudian dijawab oleh Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)
Nomor 4 tahun 2014 tentang Pedomaan Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak. Pasal 3 PERMA 4/2014 mewajibkan Hakim untuk melakukan upaya
diversi dalam hal Anak mendapatkan dakwaan subsidair, alternatif, kumulatif, ataupun
kombinasi, selama salah satu dakwaannya menggunakan Pasal dengan ancaman
pidana maksimum di bawah 7 (tujuh) tahun. Pengaturan ini akan membuka lebih
banyak kesempatan bagi Anak untuk menerima upaya diversi. Sayangnya, pengaturan
dalam PERMA ini kemudian tidak dipertegas kembali di dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 65 tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak
yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun. Tanpa adanya penegasan dalam
Peraturan Pemerintah 65/2015 pada akhirnya menimbulkan kebingungan bagi
penegak hukum terkait aturan mana yang seharusnya diterapkan.
Mengutip peraturan mengenai pidana anak diatas, bahwa anak yang melakukan
suatu tindak pidana dengan ancaman pidana maksimum di atas 7 (tujuh) tahun
dan/atau seorang residivis tidak perlu diupayakan diversi, peraturan ini sangat perlu
dikaji ulang. Karena seorang anak dapat dikriminalisasi sepadan dengan seorang

31
Napitupulu, Erasmus dan Sufriadi Pinim, 2013, Studi Atas Praktik-Praktik Peradilan Anak di Jakarta,
ICJR, Jakarta. Hlm. 38-39.
32
ICJR, Problem Pasal 111 dan 112 UU Narkotika terhadap Pengguna narkotika, Harus Menjadi
Perhatian Serius, https://icjr.or.id/icjr-problem-pasal-111-dan-112-uu-narkotika-terhadap-pengguna-narkotika-
harus-menjadi-perhatian-serius/, diakses 29 Juli 2022.

33
dewasa dalam suatu kondisi tertentu dan tidak terlindungi haknya sebagai seorang
anak dengan sepenuhnya. Seorang anak tetaplah anak, maka layaknya ditindak sebagai
seorang anak, bukan orang dewasa, alangkah lebih baik untuk dapat membuka peluang
diversi tanpa perlu pembatasan ancaman pidana maksimum, dan tidak membatasi
kasus yang bukan pengulangan tindak pidana. Hal ini tentu perlu didukung oleh
pedoman operasional pelaksanaan diversi, kapasitas, serta sistem pemantauan dan
evaluasi yang memadai.

4. Hukuman Mati
Pasal 98

“Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah
dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat”

Persoalan hukum yang banyak menarik perhatian masyarakat di Indonesia


adalah perdebatan mengenai hukuman mati. Pada prinsipnya, hukuman mati
merupakan hukuman terberat dari semua jenis hukuman pidana yang ada dalam
lapangan hukum pidana. Kualifikasi demikian dapat dirasakan dengan adanya
pencabutan nyawa seseorang oleh negara melalui alat-alatnya, atau perampasan hak
hidup seseorang setelah memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap dari
suatu lembaga peradilan yang berwenang.33 Secara yuridis formal, penerapan
hukuman mati di Indonesia memang dibenarkan pada saat ini, yang mana hal tersebut
dapat ditelusuri di dalam beberapa pasal di KUHP serta berbagai macam peraturan
perundang-undangan di luar KUHP. Namun, eksistensi hukuman mati tersebut tidak
serta merta disetujui oleh seluruh kelompok masyarakat di Indonesia disebabkan
terdapat berbagai macam pihak yang beranggapan bahwasannya hukuman mati
bertentangan dengan konstitusi yang ada. Selain itu, apabila berkaca terhadap
perkembangan dan kecenderungan masyarakat global, banyak negara yang tidak lagi
menggunakan sanksi hukuman mati dalam sistem hukumnya sebagaimana yang
terlihat dari dikeluarkannya Resolusi Persatuan Bangsa-Bangas (PBB) pada Desember

33
Tadius Matagang, 2017, “Eksistensi Hukuman Mati Dalam Sistem Hukum di Indonesia,” Lex et
Societatis, Volume V, Nomor 3, Juli, hlm. 109.

34
2007 tentang pelarangan hukuman mati.34 Lantas, apakah penerapan sanksi hukuman
mati di Indonesia masih relevan untuk dipertahankan, mengingat pemerintah saat ini
masih berupaya untuk mempertahankan sanksi pidana mati di dalam rumusan
RKUHP, yang mana hadirnya RKUHP nanti sebagai upaya pembaharuan sistem
hukum pidana di Indonesia.
Sebelum menganalisis efektivitas sanksi hukuman mati untuk menjawab
pokok permasalahan, ada baiknya melihat terlebih dahulu berbagai macam
pandangan, baik dari pihak pro maupun kontra mengenai penerapan sanksi pidana
mati. Di pihak kontra, salah satu tokoh yang menyatakan ketidaksetujuannya
mengenai sanksi pidana mati ialah Prof. Soedarto, yang mana beliau menyatakan
bahwasannya manusia tidak berhak mencabut nyawa orang lain, terlebih bila diingat
bahwa hakim bisa salah menjatuhkan hukuman. Selain itu, beliau beranggapan bahwa
tidak benar hukuman mati diberlakukan untuk menakut-nakuti agar orang tidak
berbuat jahat disebabkan nafsu tidak dapat dibendung dengan ancaman. Pendapat
demikian pun diperkuat dengan pernyataan Yap Thiam Hien, S.H. yang menyatakan
bahwa hukuman mati tidak lain adalah pembunuhan yang dilegalisasi. Pemidanaan,
menurut falsafah hukum modern tidak untuk membalas dendam, tetapi untuk
mendidik dan memperbaiki manusia yang rusak. Sehingga apabila seseorang sudah
mati, maka orang tersebut tidak bisa lagi bertobat. Dengan demikian, penerapan
hukuman mati seakan-akan hanya menggambarkan dan menunjukkan
ketidakmampuan negara dalam mendidik narapidana.35
Selain dari apa yang telah dipaparkan oleh para ahli mengenai penolakan
terhadap penerapan sanksi pidana mati, penolakan terhadap pidana mati pun juga
dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), yang mana Indonesia sebagai anggota
dari berbagai perjanjian internasional tentang HAM mempunyai kewajiban
internasional untuk melaksanakan berbagai ketentuan dalam berbagai perjanjian
internasional HAM tersebut. Kalangan internasional telah banyak melakukan tindakan
untuk penghapusan hukuman mati di dunia. Salah satunya, yakni Deklarasi Universal

34
Muhammad Hatta, 2012, “Perdebatan Hukuman Mati di Indonesia: Suatu Kajian Perbandingan
Hukum Islam dengan Hukum Pidana Indonesia,” Miqot, Volume XXXVI, Nomor 2, Juli-Desember, hlm. 322.
35
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No.2-3/PUU-V/2007, hlm. 304.

35
Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang secara tegas menyatakan bahwa hukuman mati
telah melanggar dua ketentuan hak dasar manusia, yakni tidak ada satu pun yang
berhak mencabut hak hidup setiap orang dan tidak ada satu orang pun yang berhak
melakukan hukuman yang dapat merendahkan martabat dan menimbulkan
penyiksaan.36 Hal demikian pun kemudian diperkuat di dalam konstitusi tepatnya di
dalam Pasal 28I ayat (1) yang berbunyi “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun.” Berangkat dari pernyataan-pernyataan tersebut, hadirlah para
kelompok kontra yang menolak hadirnya sanksi pidana mati dalam penerapan sistem
hukum pidana di Indonesia.
Kemudian apabila beranjak ke pihak pro, Achmad Ali beranggapan
bahwasannya hukuman mati masih sangat dibutuhkan khususnya di Indonesia, tetapi
hukuman yang demikian harus diterapkan secara spesifik dan selektif. Spesifik artinya
hukuman mati diterapkan untuk kejahatan-kejahatan serius mencakupi korupsi,
pengedar narkoba, teroris, pelanggaran HAM yang berat, dan pembunuhan berencana.
Sedangkan selektif ialah bahwa terpidana yang dijatuhi hukuman mati harus yang
benar-benar telah terbukti dengan sangat meyakinkan di pengadilan bahwa memang
dialah pelakunya. Masih menurutnya, UUD NRI Tahun 1945 sama sekali tidak
melarang hukuman mati. Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana yang
menjadi landasan oleh pihak kontra mengenai alasan perlu dihapusnya hukuman mati,
menurut Achmad Ali tidak bisa dipahami secara parsial, tetapi juga harus memahami
apa yang terkandung di dalam Pasal 28J ayat (2) yang berbunyi: “Dalam menjalankan
hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbagan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban

36
Tim Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), 2017, Politik Kebijakan Hukuman Mati di
Indonesia Dari Masa Ke Masa, Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, hlm. 240.

36
umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.”. Dengan demikian, dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa pernyataan di dalam Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, tetapi
pelaksanaan hak tersebut harus dibatasi bahwa hal demikian harus sesuai dengan
undang-undang, sesuai dengan pertimbangan moral, sesuai dengan nilai agama, dan
sesuai dengan keamanan dan ketertiban umum.37
Selain dari apa yang telah disampaikan oleh Achmad Ali, kelompok ini juga
mengaitkan relevansi pidana mati dengan 3 (tiga) tujuan hukum, yaitu keadilan,
kepastian hukum, dan kebermanfaatan. Dari aspek keadilan, penjatuhan hukuman mati
seimbang dengan tindak pidana yang dilakukannya. Sedangkan aspek kepastian
hukum, yaitu ditegakkannya hukum yang ada dan diberlakukan, menunjukkan adanya
konsistensi, ketegasan, bahwa apa yang tertulis bukan sebuah angan-angan atau
khayalan, tetapi kenyataan yang dapat diwujudkan tanpa pandang bulu. Kepastian
hukum juga hal penting bagi pidana mati, yang mana sudah barang tentu berada dalam
penantian sejak dijatuhi vonis mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap pada
tingkat pengadilan pertama sampai dengan ditolaknya grasi presiden. Aspek
manfaat/kegunaan hukuman mati ialah sebagai upaya efek jera kepada orang lain yang
telah dan akan melakukan kejahatan serta dapat juga memelihara wibawa penegak
hukum.38 Lebih lanjut, Sambutan Jaksa Agung dalam Diskusi Hukuman Mati
menegaskan bahwa penghapusan hukuman mati di Indonesia masih belum bisa
dilakukan karena institusi penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan, serta
institusi pemasyarakatan dianggap masih lemah. Bila hukuman mati ditiadakan,
dikhawatirkan situasi di Indonesia semakin memburuk.39
Perdebatan mengenai penerapan sanksi pidana mati di Indonesia sejatinya
telah mencapai puncaknya di tahun 2007 silam. Pada tahun itu dilakukan suatu
pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, yang mana
hadirnya pengujian tersebut ialah untuk menguji konstitusionalitas pidana mati dalam
sistem hukum Indonesia. Pengujian tersebut pun kemudian menghasilkan Putusan

37
Rudy Satriyo Mukantardjo, 2005, “Rancangan KUHP Nasional Menghindari Pidana Mati,” Jurnal
Legislasi Nasional, Volume 2, Nomor 1, Maret, hlm. 40-41.
38
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, op. cit., hlm.123.
39
Ibid., hlm. 124.

37
Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 yang pada intinya menyatakan pidana
mati konstitusional dalam sistem hukum Indonesia. Dalam putusan demikian,
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil Undang-Undang
Narkotika dengan alasan bahwasannya di dalam Undang-Undang tersebut tidak
bertentangan dengan hak hidup yang dijamin UUD NRI Tahun 1945, lantaran jaminan
HAM di dalam UUD NRI Tahun 1945 tidak menganut asas kemutlakan. Menurut MK,
hak asasi dalam konstitusi mesti dipakai dengan menghargai dan menghormati hak
asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial.40 Dengan
demikian, MK berpandangan bahwa HAM harus dibatasi dengan instrumen Undang-
Undang, yakni hak untuk hidup tidak boleh dikurangi, kecuali diputuskan oleh
pengadilan.
Selain itu, dengan menerapkan hukuman berat melalui pidana mati untuk
kejahatan serius seperti narkotika, MK berpendapat Indonesia tidak melanggar
perjanjian internasional apapun, termasuk Konvensi Internasional Hak Sipil dan
Politik (ICCPR) yang menganjurkan penghapusan hukuman mati. Bahkan MK
menegaskan, Pasal 6 ayat (2) ICCPR itu sendiri membolehkan untuk masih
memberlakukan hukuman mati kepada negara peserta, terkhusus untuk kejahatan yang
paling serius.41 Hal yang kemudian menjadi sorotan di dalam putusan tersebut, selain
dari pidana mati yang tetap dipertahankan di dalam sistem hukum Indonesia dan
memberikan landasan konstitusionalitas yang semakin kuat, MK juga memberikan
semacam petunjuk yang mengarahkan agar pidana mati diupayakan untuk
dimoderasikan. MK berpendapat bahwa ke depan, dalam rangka pembaharuan hukum
pidana nasional dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
hukuman mati, maka perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati dalam
sistem peradilan pidana di Indonesia haruslah memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana
alternatif yang bersifat khusus dan alternatif;

40
Aulia Andika Rukman, 2016, “Pidana Mati Ditinjau Dari Perspektif Sosiologis dan Penegakan
HAM”, Jurnal Equilibrium Pendidikan Sosiologi, Volume IV, Nomor 1, Mei, hlm. 121.
41
Ibid., hlm. 122.

38
2. Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang
apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur
hidup atau selama 20 tahun;
3. Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;
4. Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa
ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang
sakit jiwa tersebut sembuh.
Pertimbangan tersebut menunjukkan bahwa pidana mati haruslah dimoderasi kan yang
berarti ialah mengambil jalan tengah terhadap persoalan pidana mati, yang secara
ekstrem di satu sisi ingin mempertahankannya dan disisi lain yang ingin
menghapuskannya.42
Pertimbangan yang diberikan oleh MK melalui putusan tersebut pun nyatanya
pada hari ini menjadi suatu perhatian oleh para perumus RKUHP. Di dalam RKUHP
dinyatakan bahwasannya pidana mati bukan lagi merupakan suatu pidana pokok,
melainkan suatu pidana alternatif, yang mana nantinya pidana mati ini harus selalu
selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lainnya, yakni pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun. Selain itu, dalam ketentuan
ini, pidana mati hanya diancamkan terhadap pidana yang bersifat khusus, yakni
apabila berkaca terhadap penjelasan Pasal 67 RKUHP tindak pidana yang bersifat
khusus adalah tindak pidana yang sangat serius atau yang luar biasa, antara lain tindak
pidana korupsi, tindak pidana narkotika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana
berat terhadap hak asasi manusia. Lebih jauh dari pada itu, pidana mati pun nantinya
dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 tahun, jika:43
1. Reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar
2. Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki
3. Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan

42
Mei Susanto dan Ajie Ramdan, 2017, “Kebijakan Moderasi Pidana Mati: Kajian Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007,” Jurnal Yudisial, Volume 10, Nomor 2, hlm. 194.
43
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, 2015, Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, hlm. 189.

39
4. Ada alasan yang meringankan.
Beranjak dari hal tersebut, pidana mati yang dirumuskan di dalam RKUHP jelas
menggambarkan bahwasannya hal demikian merupakan bentuk moderasi dari
perdebatan persoalan pidana mati, yang secara ekstrem di satu sisi ingin
mempertahankannya dan disisi lain yang ingin menghapuskannya.
Berbicara mengenai pidana mati memang akan selalu menuai pro dan kontra
dari berbagai macam pihak. Namun, hadirnya ketentuan pidana mati yang merupakan
suatu bentuk pidana alternatif dan hanya diancamkan terhadap tindak pidana yang
bersifat khusus sebagaimana yang termaktub di dalam RKUHP, tidak dapat dipungkiri
merupakan suatu langkah progresif yang dilakukan oleh para perumus undang-
undang. Secara komprehensif, baik dilihat dari aspek sejarah, budaya, maupun
kecenderungan-kecenderungan masyarakat internasional, pidana mati bukan saja telah
memberikan jaminan perlindungan atas hak asasi setiap warga negara, melainkan juga
telah sejalan dengan kesepakatan-kesepakatan masyarakat internasional yang beradab.
Fungsi hukum pidana adalah untuk melindungi dan sekaligus untuk menjaga
keseimbangan berbagai kepentingan mulai dari masyarakat, negara, pelaku tindak
pidana, hingga korban tindak pidana. Hal tersebut menandakan bahwa dalam hukum
positif, pidana mati sebagai salah satu sanksi yang sangat keras masih tetap dibutuhkan
bagi para pelaku kejahatan berat, tetapi dengan catatan pengaturan serta penerapannya
perlu dilakukan secara selektif dan hati-hati, termasuk pelaksanaan eksekusi mati yang
dilaksanakan lebih baik lagi.

40
B. Buku II
1. Penyerangan Harkat dan Martabat Presiden atau Wakil Presiden

Pasal 218

(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan
martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan
umum atau pembelaan diri.

Pasal penyerangan harkat serta martabat Presiden dan Wakil Presiden


merupakan suatu hal yang menarik untuk diperbincangkan, dicermati, dan dipelajari.
Hal demikian disebabkan pengaturan tersebut sejatinya pernah berlaku di Indonesia,
tepatnya di dalam Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP, tetapi telah dinyatakan
inkonstitusional oleh MK melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-
022/PUU-IV/2006. Berdasarkan putusan MK a quo, Mahkamah berpendapat, Indonesia
sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan
rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana yang telah ditentukan
dalam UUD NRI Tahun 1945, tidak relevan lagi jika di dalam KUHP pidananya masih
memuat pasal-pasal yang berkaitan dengan penghinaan atau penyerangan
harkat/martabat Presiden dan Wakil Presiden.44 Putusan tersebut menyatakan
bahwasannya pengaturan mengenai pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil
Presiden bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi:
“segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.45
Selain itu, Mahkamah berpendapat bahwasannya Indonesia merupakan negara yang
berkedaulatan rakyat sehingga seorang Presiden/Wakil Presiden pilihan rakyat tersebut

44
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No.013-022/PUU-IV/2006, hlm. 61.
45
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps.27 ayat (1). Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.

41
tidak dapat diberikan privilege yang menyebabkannya memperoleh kedudukan dan
pengakuan sebagai manusia secara substantif martabatnya di hadapan hukum dengan
warga negaranya. Oleh karena itu, Mahkamah juga menyatakan bahwasannya dalam
RKUHP nantinya sebagai upaya pembaharuan KUHP warisan kolonial, tidak lagi
memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan pasal-pasal tersebut.46
Jika melihat dari aspek historis mengenai hadirnya delik penghinaan
Presiden/Wakil Presiden, mengutip dari pendapat Mardjono Reksodiputro, hadirnya
delik ini merupakan pasal perlakuan pidana khusus sehubungan dengan penghinaan
terhadap Raja atau Ratu Belanda. Menurut CPM Cleiren, Pribadi raja begitu dekat
terkait (verweven) dengan kepentingan negara (staatsbelang), sehingga martabat raja
memerlukan perlindungan khusus. Berkaca dari hal tersebut, Reksodiputro berpendapat
bahwasannya tidak ditemukan rujukan, apakah alasan serupa dapat diterima di
Indonesia, yang mengganti kata Raja dengan Presiden dan Wakil Presiden.47 Selain itu,
pendapat dari Mardjono Reksodiputro kemudian diperkuat pula oleh Jimly Asshidiqie
yang menyatakan bahwasannya presiden merupakan institusi dan bukan merupakan
makhluk hidup yang punya hati dan perasaan, sehingga apabila presiden merasa dihina
ia bisa mempermasalahkannya secara hukum dalam kapasitasnya sebagai pribadi,
bukan sebagai institusi presiden.48
Sebagaimana telah disebutkan, nyatanya sampai hari ini, para perumus undang-
undang masih tetap menghadirkan pasal-pasal yang materinya serupa dengan
pengaturan mengenai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Namun,
terdapat sedikit perubahan mengenai frasa yang semula merupakan penghinaan menjadi
penyerangan harkat dan martabat. Selain itu, terdapat perubahan ketentuan yang semula
merupakan delik biasa diubah menjadi delik aduan, yang mana aduan tersebut hanya
dapat dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden itu sendiri. Jika ditilik dari
Naskah Akademik RKUHP, argumentasi hukum yang diungkapkan untuk

46
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No.013-022/PUU-IV/2006, loc. Cit.
47
Ajie Ramdan, 2020, “Kontroversi Delik Penghinaan Presiden/Wakil Presiden Dalam RKUHP,”
Jurnal Yudisial, Volume 13, Nomor 2, Agustus, hlm. 255.
48
Lidya Suryani Widayati, 2017, “Tindak Pidana Penghinaan Terhadap Presiden Atau Wakil Presiden:
Perlukah Diatur Kembali Dalam KUHP?” Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Volume 2, Nomor 2,
November, hlm. 217.

42
menghidupkan kembali delik penghinaan Presiden/Wakil Presiden disebabkan hal
tersebut sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yang bersifat kekeluargaan. Di mana,
apabila kepala negaranya diserang atau dihina, masyarakat tidak akan dapat menerima
hal tersebut atau mencelanya, Pencelaan itu diwujudkan dalam pengancaman dengan
pidana perbuatan-perbuatan tersebut. Kepala negara dan Wakilnya dapat dipandang
sebagai personifikasi dari negara itu sendiri.49
Merujuk pada teori kebijakan hukum pidana yang diungkapkan oleh Arief,
kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian
integral dari upaya perlindungan masyarakat dan upaya mencari kesejahteraan
masyarakat. Dapat dikatakan bahwasannya tujuan akhir atau tujuan utama dari
kebijakan hukum pidana ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat. Politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari
politik sosial, yakni kebijakan untuk mencapai kesejahteraan sosial. Delik penghinaan
terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden yang sudah dinyatakan inkonstitusional oleh
MK semenjak 16 tahun lalu, merujuk pada teori kebijakan hukum pidana untuk
mengkriminalkan suatu perbuatan berupa kebijakan atau upaya penanggulangan
kejahatan, yang mana pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya
perlindungan masyarakat dan upaya mencari kesejahteraan masyarakat. 50 Oleh karena
itu, menghidupkan kembali delik terhadap penghinaan Presiden dan/Wakil Presiden
dianggap tidak sesuai dengan tujuan akhir atau utama kebijakan hukum pidana, yakni
melindungi masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.

2. Penghinaan terhadap Pemerintah

Pasal 240
“Setiap Orang yang Di Muka Umum Melakukan Penghinaan terhadap pemerintah yang
sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.”

49
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2015, Draft
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Hukum Pidana Hlm, Jakarta: Badan Pembinaan
Hukum Nasional, hlm. 216.
50
Ajie Ramdan, Op. Cit., hlm. 257

43
Pasal 241
“Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau
gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar
oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi
penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan
diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak
kategori V.
Senada dengan pasal penyerangan terhadap harkat dan martabat Presiden dan
Wakil Presiden, pada saat ini RKUHP kembali mencoba untuk membangkitkan pasal-
pasal yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (Selanjutnya
disebut MK). Pengaturan serupa mengenai penghinaan terhadap pemerintah dapat
ditelusuri di dalam Pasal 154 KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa di muka umum
menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap Pemerintah
Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.51 Selain itu, Pasal 155 KUHP juga
mengatur hal yang serupa dengan bunyi: “Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan
atau menempelkan tulisan atau lukisan dimuka umum yang mengandung pernyataan
perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap Pemerintah Indonesia,
dengan maksud supaya isinya diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah”.52 Jika ditelisik dari aspek historis, pasal-pasal demikian sejatinya
merupakan bentuk pasal-pasal haatzaaiartikelen terhadap penguasa yang merupakan
sisa-sisa peninggalan hukum pidana pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Kemudian
pasal-pasal tersebut dalam pengalaman politik yang terjadi, seringkali disalahgunakan
untuk meredam dan memberangus kebebasan politik dan ekspresi bagi warga negara.53

51
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht], diterjemahkan oleh Moeljatno,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), Ps. 154.
52
Ibid., Ps. 155.
53
Supriyadi Widodo Eddyono, Fajrimei A Gofar dan Adiani Viviana, 2016, Tindak Pidana Penghinaan
Terhadap Pemerintah Yang Sah Dalam R KUHP, Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, hlm. 9.

44
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-V/2007, pasal-pasal
yang mengatur mengenai penghinaan terhadap Pemerintah dinyatakan inkonstitusional
disebabkan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Hadirnya
ketentuan-ketentuan atau rumusan pasal tersebut jelas-jelas telah memberikan
keistimewaan yang mengatur ketentuan yang sangat berlebihan untuk melindungi
kepentingan kekuasaan pemerintah yang memiliki berbagai rakyat kebanyakan
sehingga nampak terjadi perlakuan yang sangat diskriminatif. Selain itu, mahkamah
juga berpendapat bahwasannya pasal-pasal demikian mengebiri hak atas kebebasan
menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi yang digunakan oleh penguasa
melalui tangan penegak hukum, baik ketika melakukan unjuk rasa atau juga dapat
mengancam kebebasan pers dan lain sebagainya, yang mana sejatinya jaminan terhadap
hak-hak tersebut sudah terdapat di dalam Pasal 28E ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun
1945.54 Dengan demikian, pengaturan mengenai pasal penghinaan Pemerintah nyatanya
memiliki nafas yang sama dengan pasal mengenai penyerangan harkat dan martabat
Presiden dan Wakil Presiden.
Di atas telah diterangkan bahwasannya, pasal penghinaan terhadap pemerintah
yang sah merupakan suatu ketentuan-ketentuan pidana yang dalam doktrin disebut
sebagai haatzaaiatikelen atau pasal-pasal yang melarang orang mengemukakan rasa
kebencian dan perasaan tidak senang terhadap penguasa. Haatzaaiartikelen sejatinya
berasal dari British Indian Penal Code dan pada waktu itu dianggap tepat untuk
diberlakukan terhadap bangsa Indonesia sebagai bangasa yang terjajah. Padahal pasal
serupa tidak dijumpai di dalam W.v.S milik Belanda. Menurut Menteri Kehakiman
Belanda, pasal-pasal tersebut hanyalah diberlakukan untuk masyarakat kolonial. Selain
itu, rumusan dalam pasal-pasal tersebut dapat ditafsirkan dengan sangat luas bahkan
lebih luas dari delik penghinaan. Lagi pula sejarah penggunaan pasal ini dalam alam
kemerdekaan justru banyak disalahgunakan oleh pemerintah yang berkuasa dan telah
menimbulkan banyak korban karena dianggap berseberangan dengan kepentingan

54
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No.6/PUU-V/2007, hlm. 52.

45
pemerintah.55 Oleh karena itu, mencantumkan kembali pasal-pasal yang sejatinya
bersifat kolonial dan dipergunakan untuk masyarakat kolonial bukan merupakan hal
yang tepat untuk kembali dihadirkan di dalam RKUHP sebagai suatu upaya untuk
pembaharuan hukum pidana Indonesia.

3. Gangguan terhadap Tanah, Benih, Tanaman dan Pekarangan

Pasal 277
Setiap Orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun
atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain yang
menimbulkan kerugian dipidana dengan pidana denda paling
banyak kategori II.
Pasal 278
(1) Setiap Orang yang membiarkan Ternaknya berjalan di kebun, tanah
perumputan, tanah yang ditaburi benih atau penanaman, atau tanah yang
disiapkan untuk ditaburi benih atau ditanami dipidana dengan pidana denda
paling banyak kategori II.
(2) Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dirampas untuk negara

Pasal ini sebenarnya tidak jauh berubah dari KUHP lama, hanya saja sedikit
disederhanakan. Namun, sejak dikeluarkannya draf RKUHP, pasal ini dianggap
bermasalah. Pada Pasal 277 dijelaskan bahwa Setiap Orang yang membiarkan unggas
yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman
milik orang lain yang menimbulkan kerugian dipidana dengan pidana denda paling
banyak kategori II. Sementara pada Pasal 278 dijelaskan bahwa Setiap Orang yang
membiarkan Ternaknya berjalan di kebun, tanah perumputan, tanah yang ditaburi benih
atau penanaman, atau tanah yang disiapkan untuk ditaburi benih atau ditanami dipidana
dengan pidana denda paling banyak kategori II, serta ternak yang bersangkutan dapat
disita oleh negara.

55
Supriyadi Widodo Eddyono, Fajrimei A Gofar dan Adiani Viviana, Op. Cit., hlm. 17.

46
Jika membedah nomenklatur pada pasal-pasal tersebut melalui KBBI, dapat kita
pahami beberapa hal. Unggas menurut KBBI adalah hewan bersayap, berkaki dua,
berparuh, dan berbulu, yang mencakupi segala jenis burung, dapat dipiara dan
diternakkan sebagai penghasil pangan (daging dan telur). Sementara hewan ternak
menurut KBBI adalah binatang yang dipiara (lembu, kuda, kambing, dan sebagainya)
untuk dibiakkan dengan tujuan produksi.56 Melalui pengertian tersebut pada intinya
pasal-pasal ini membahas mengenai hewan-hewan yang umum dipelihara.
Polemik pada pasal-pasal ini muncul karena dianggap terlalu berlebihan dan
memicu pertentangan antar masyarakat. Pasalnya, di masyarakat pedesaan, peristiwa
masuknya ternak atau unggas ke dalam pekarangan rumah orang lain adalah hal yang
lumrah. Maka darinya, menurut beberapa pihak pasal ini terkesan mengada-ada.
Pernyataan ini juga didukung oleh salah satu peternak ayam bernama Aji Saefulloh, ia
mengatakan bahwa pasal ini sangat bertentangan dengan kebiasaan masyarakat yang
ada di perkampungan. Sudah menjadi kebiasaan, masyarakat di pelosok kampung
memelihara ayam atau ternak dengan digembala. Ia juga mengatakan bahwa di
masyarakat perkampungan itu, pelihara ayam atau ternak lain sudah biasa digembala di
luar kandang. Bahkan, ia menilai pasal ini justru akan menimbulkan perselisihan di
dalam masyarakat karena masyarakat yang dilaporkan akan merasa tersinggung dan
menimbulkan permasalahan baru. Melalui rentetan pernyataan-pernyataan tersebut, ia
tidak setuju dan menolak adanya rumusan pasal ini di dalam RKUHP. Pernyataan-
pernyataan yang demikian tidak hanya disampaikan oleh Aji, pihak-pihak yang
menolak pasal ini juga menyampaikan pernyataan yang serupa.57
Jika melihat dari sudut pandang yang lain, pasal ini sebenarnya tidak terlalu
bermasalah. Dikatakan pula bahwa Pasal ini akan menimbulkan perselisihan di
masyarakat. Justru hadirnya pasal ini akan memperkecil perselisihan di masyarakat.
Menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Laoly,
alasan tetap dicantumkannya pasal ini adalah dikarenakan masih terdapat banyak sekali
desa di Indonesia, masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat agraris yang mata

56
KBBI Daring, s.v.”unggas”, diakses 15 Juli 2022, https://kbbi.web.id/unggas.
57
Andres Fatubun, “Peternak Ayam Sebut Pasal 278 RUU KUHP Bisa Picu Perselisihan”,
https://tasik.ayoindonesia.com/info-priangan/pr-33848224/Peternak-Ayam-Sebut-Pasal-278-RUU-KUHP-Bisa-
Picu-Perselisihan, diakses 16 Juli 2022.

47
pencahariannya adalah petani.58 Melihat fakta bahwa Indonesia masih memiliki banyak
sekali lahan pertanian dan perkebunan, hadirnya pasal ini bisa menjadi perlindungan
bagi pemilik lahan perkebunan, terlebih terhadap masyarakat pedesaan yang mungkin
bertani atau berkebun adalah satu-satunya mata pencaharian mereka. Di dalam rumusan
pasal, dapat dipahami bahwa fokus objeknya adalah tanah atau kebun yang telah atau
akan ditaburi benih, atau pula tanaman milik orang lain, yang mana hal tersebut
dikategorikan sebagai lahan produktif, yang mana haruslah dilindungi. Maka
sebenarnya, tidak ada masalah jika yang diatur adalah mengenai lahan produktif, karena
jika tidak, malah akan menimbulkan kerugian bagi sang pemilik lahan produktif jika
suatu kasus terdapat unggas atau ternak yang berjalan di lahannya hingga merusak lahan
produktif miliknya, sementara terdapat kekosongan hukum mengenai hal tersebut.
Pasal ini hadir sebagai salah satu jalan penyelesaian jika terdapat sesuatu
kondisi-kondisi yang diatur dalam pasal tersebut yang menimbulkan kerugian.
Sebagaimana dalam draft RKUHP yang terbaru –6 Juli 2022—bahkan pasal ini sudah
diperhalus lagi menjadi delik materiil, yang mana makin memperkecil kemungkinan
pasal ini akan menjadi alat kriminalisasi peternak/pemilik unggas. Pun sebenarnya,
hadirnya pasal ini di dalam rumusan RKUHP tidaklah serta merta menjadi jalan satu-
satunya. Sebagaimana asas dari hukum pidana adalah hukum pidana sebagai Ultimum
Remidium, yaitu jalan/obat terakhir.59 Jika terdapat perselisihan seperti yang diatur di
dalam pasal ini, masih dapat dilakukan penyelesaian secara kekeluargaan, pun
masyarakat pedesaan akrab dengan itu. Di sini dapat kita pahami bahwa jika pada suatu
kondisi dimana sang pemilik lahan sudah melaporkan ke pihak yang berwajib dan ini
menggunakan hukum pidana sebagai penyelesaiannya, maka sudah pasti kondisi yang
diterima tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan, dalam hal ini kerugian yang
ditimbulkan mungkin tergolong besar.
Dijelaskan pula di awal tulisan, bahwa sebenarnya pasal ini sudah diatur
sebelumnya di KUHP. Mengenai pemidanaan, pasal ini tidak memidana badan,

58
Dylan Aprialdo Rachman, “Menkumham Ungkap Alasan Pasal soal Unggas Masih Dipertahankan di
RKUHP”, https://nasional.kompas.com/read/2019/09/21/06000071/menkumham-ungkap-alasan-pasal-soal-
unggas-masih-dipertahankan-di-rkuhp, diakses 16 Juli 2022.
59
Nur Ainiyah Rahmawati, 2013, “Hukum Pidana Indonesia: Ultimum Remedium atau Primum
Remedium”, Recidive, Vol. 2, No. 1. Januari-April, Hlm. 43.

48
melainkan pidana denda. Jika membandingkan jumlah denda pada KUHP dan RKUHP,
dapat kita jumpai bahwa justru jumlah denda di dalam RKUHP lebih rendah dibanding
KUHP. Maka darinya, sebenarnya tidak ada kriminalisasi di dalam pasal ini. Namun,
terdapat satu hal yang menjadi sorotan dan patut dipertanyakan. Dalam pasal 279 ayat
2 dijelaskan bahwa ternak yang dimaksud pada ayat 1 dapat dirampas oleh negara.
Cukup untuk dipertanyakan tujuan dari pengaturan ini, mengingat bahwa tidak ada
urgensi apapun yang diperlukan untuk menyita hewan ternak. Jika pun harus dirampas,
akan dikemanakan hewan ternak tersebut? Maka darinya, adanya pengaturan mengenai
perampasan hewan ternak menjadi cukup janggal.

4. Penghinaan Terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara

Pasal 351
(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina
kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut
berdasarkan aduan pihak yang dihina

Permasalahan Pasal Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga


Negara dalam draf RKUHP merupakan permasalahan yang marak diperbincangkan.
Pasalnya, hal ini dianggap sebagai pembungkaman akan kebebasan berpendapat oleh
sebagian masyarakat walaupun sebenarnya pasal mengenai penghinaan terhadap
kekuasaan umum dan lembaga negara sudah ada dalam KUHP. RKUHP mengatur
kepada siapapun di muka umum baik lisan maupun tulisan menghina kekuasaan umum
atau lembaga negara dapat dipidana. Kekuasaan umum atau lembaga negara dalam
ketentuan ini antara lain Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
Polisi, Jaksa, Gubernur, atau Bupati/Walikota. Konsekuensi dari melanggar delik ini

49
berupa pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda
paling banyak kategori II.
Hadirnya pasal ini memang terasa sangat janggal, dikarenakan pasal ini sangat
rentan untuk dijadikan alat pembungkaman demokrasi dalam hal mengemukakan
pendapat ataupun kritik. Di dalam rumusan pasal memang tercantum nomenklatur
“penghinaan” dan bukan kritik, tetapi dalam praktiknya nanti dikhawatirkan akan
terjadinya overkriminalisasi dikarenakan tidak ada pendefinisian dan indikator yang
jelas mengenai nomenklatur ‘penghinaan’ sehingga menjadi kabur dan multitafsir yang
berdampak kepada adanya ketidakpastian hukum. Dengan adanya ketidakpastian
hukum mengenai pasal ini, maka sangat rentan dalam proses pengadilan akan bersifat
subjektif. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009, menyebutkan bahwa pengadilan harus mengadili sesuai hukum tanpa
membeda-bedakan orang, maka dengan dicantumkannya pasal mengenai penghinaan
terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara dalam RKUHP, besar kemungkinan
pasal tersebut dicederai.60 Selain kabur dan multitafsir, pasal ini sudah tidak relevan lagi
dengan perkembangan nilai-nilai sosial dasar masyarakat demokratik yang modern.
Penggunaan hukum pidana tentang penghinaan juga tak boleh digunakan untuk
melindungi suatu hal yang sifatnya subjektif, abstrak, dan merupakan suatu konsep.
Pasal ini bertentangan jelas dengan UUD NRI Tahun 1945, yaitu Pasal 27 ayat
(1). Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.61 Maka dari itu, konstitusi
mengamanatkan bahwasanya semua warga negara tanpa terkecuali kedudukannya
adalah sama dan tidak ada yang diberikan keistimewaan yang lebih di hadapan hukum.
Pasal ini juga bertentangan dengan pasal 28E ayat (2) yang menyebutkan bahwa setiap
orang memiliki hak untuk menyatakan sikap dan pemikiran sesuai dengan hati
nuraninya, tetapi dengan adanya pasal ini, kedua amanat dari konstitusi sama sekali

60
Indonesia, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LN. 2009/ No. 157,
TLN NO. 5076, Ps. 4 ayat (1).
61
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 27 ayat (1).

50
dilanggar.62 Bagaimanapun yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwasanya pasal ini
juga termasuk ke dalam pasal haatzaai artikelen, yang mana digunakan oleh kolonial
Belanda untuk membentuk sistem pemerintahan yang anti kritik. 63 Sementara untuk
diterapkan pada sistem hukum Indonesia yang berlandaskan Pancasila yang menjunjung
tinggi kebebasan berpendapat, hadirnya pasal ini sama sekali tidak relevan.
Hadirnya pasal ini pun rentan disalahgunakan oleh pemerintah untuk
membungkam atau mempidanakan para aktivis dalam mengkritik pemerintah baik
melalui demonstrasi maupun melalui teknologi informasi. Di dalam negara demokrasi,
kritik maupun perbedaan pendapat merupakan hal yang sah, Bahkan merupakan bagian
dari checks and balances masyarakat untuk mengontrol dan menjaga keseimbangan,
supaya tidak terjadi kesewenangan oleh pemerintah. Maka darinya, lembaga negara
sepatutnya lebih banyak mendengar suara dari masyarakat karena rakyat membutuhkan
uluran tangan dan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat bukan produk undang-undang
yang justru mengancam kebebasan rakyat dalam bersuara menuntut hak-hak mereka.
Pasal yang karet ini pun dikhawatirkan akan menyebabkan abuse of power yang dapat
mencederai kehidupan demokrasi di Indonesia.

5. Pawai, Unjuk Rasa, atau Demonstrasi


Pasal 256

“Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang


berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum
atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum,
menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak
kategori II.”

Pawai, unjuk rasa atau demonstrasi merupakan bagian dari pengekspresian


kebebasan dalam menyampaikan pendapat atau pikiran secara terbuka dalam alam

62
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 28E ayat (2).
63
Supriyadi Widodo Eddyono, Fajrimei A Gofar dan Adiani Viviana, op. cit., hlm. 9.

51
demokrasi. Menurut John W Johnson, kebebasan berekspresi merupakan bentuk
perwujudan dari demokrasi yang tidak dapat dibatasi oleh negara maupun pemerintah.64
Demonstrasi atau unjuk rasa merupakan hal yang sering dilakukan masyarakat
Indonesia dalam mengemukakan pendapat terhadap kebijakan maupun tindakan yang
dilakukan oleh pejabat negara. Hal tersebut merupakan instrumen penting bagi
masyarakat dalam menyalurkan kepeduliannya terhadap penyelenggaraan
pembangunan nasional, terutama pada saat hasil dan proses pembangunan dinilai tidak
sejalan dengan amanat konstitusi.65 Kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka
umum merupakan salah satu hak asasi manusia yang fundamental sehingga
memperoleh pengakuan dari hukum internasional melalui Pasal 19 Deklarasi Universal
Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak
atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk
kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari,
menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apapun juga dan
dengan tidak memandang batas-batas”. Menyampaikan pendapat di muka umum
merupakan kemerdekaan setiap warga negara merupakan perwujudan demokrasi dalam
tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Indonesia pada saat ini nyatanya juga memberikan suatu pengakuan terhadap
hak menyampaikan pendapat atau pikiran secara terbuka. Hal tersebut dibuktikan
dengan hadirnya Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang”. Kebebasan berpendapat dan
berekspresi juga hak yang dilindungi dan dijamin oleh negara sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang tertulis “Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”.66 Namun, dalam
menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana telah disebutkan di dalam Pasal

64
John W, Johnson. 2001. “Peran Media Bebas”. Demokrasi, Office of International Information
Programs U.S. Deparment of States. Hal. 53.
65
Tri Pranadji, 2008, “Aksi Unjuk Rasa (dan Radikalisme) Serta Penanganannya dalam Alam
“Demokrasi” di Indonesia,” Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 26, No 2, Desember, hlm. 133.
66
Jailani, 2015, “Sistem Demokrasi di Indonesia Ditinjau Dari Sudut Hukum Ketatanegaraan,” Jurnal
Ilmu Hukum, Volume. 8, No.1, hlm. 141

52
a quo, setiap orang pun harus tunduk terhadap hak asasi orang lain, memperhatikan
etika dan moral, serta wajib menjaga ketertiban umum. Hal demikian sejalan dengan
apa yang termaktub di dalam Pasal 28J ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945 yang
menyatakan, “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara” dan ayat (2) menyatakan,
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat”.
Berangkat dari Pasal 28 serta Pasal 28E ayat UUD NRI Tahun 1945 tersebut,
maka lahirlah Undang-Undang No. 9 tahun 1998 (UU 9/98) tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Hadirnya undang-undang ini, bertujuan
untuk mewujudkan kebebasan menyampaikan pendapat yang bertanggung jawab
sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan UUD
NRI Tahun 1945. Termaktub di dalamnya, mengenai bentuk-bentuk penyampaian
pendapat di muka umum pada Pasal 9, disebutkan bahwa penyampaian pendapat di
muka umum dapat dilaksanakan dengan unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat
umum, dan mimbar bebas. Kemudian, mengenai mekanisme atau tata cara penyampaian
pendapat di muka umum diatur dalam Pasal selanjutnya, yang menyatakan bahwa
pelaksanaan kegiatan tersebut wajib diberitahukan secara tertulis kepada Kepolisian
Republik Indonesia (Polri) selambat-lambatnya 3x24 jam sebelum kegiatan dimulai.
Sejatinya, di dalam UU 9/98 pada Bab V tertulis sanksi-sanksi yang akan diterima jika
para peserta unjuk rasa atau demonstrasi melakukan pelanggaran. Termaktub dalam
Pasal 15, apabila tidak memenuhi ketentuan tata cara dan mekanisme pelaksanaan
penyampaian pendapat sebagaimana yang sudah disebutkan diatas, maka pelaksanaan
kegiatan unjuk rasa atau demonstrasi berhak diberi sanksi administratif dalam hal ini
dibubarkan. Lebih lanjut, Pasal 16 menyatakan, apabila peserta unjuk rasa atau
demonstrasi melakukan perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi hukum
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

53
Pengaturan mengenai pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi pada saat ini nyatanya
juga diupayakan untuk diatur di dalam RKUHP. Namun, hal tersebut justru
menimbulkan kontroversi atau penolakan dari berbagai macam elemen masyarakat.
Masyarakat mengkhawatirkan hadirnya pasal ini akan semakin memudahkan aparat
untuk mempersekusi para demonstran. Terlebih, apabila diberlakukan pasal ini nantinya
bukan hanya persekusi melainkan juga ancaman dipidana. Menurut beberapa pihak
yang melakukan penolakan terhadap pasal ini, salah satunya berasal dari pers Aliansi
Reformasi KUHP, hadirnya pasal ini ditakutkan akan mengekang iklim demokrasi bagi
Indonesia. Pasal ini menuai polemik kontroversi di masyarakat sebab, pengaturan
mengenai demonstrasi sudah diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum namun, pasal ini dirasa bertentangan dengan
UU 9/98 yang mana hanya mengatur sanksi berupa sanksi administratif yaitu
pembubaran dan bukan sanksi pidana. Selain itu, menurut beberapa pihak, pasal 256
RKUHP ini seolah semakin mempersempit kebebasan berpendapat dimuka umum
dengan memberikan sanksi berupa pidana penjara atau pidana denda. Pada rilis pers
Aliansi Reformasi KUHP pada tanggal 10 Juni 2021, Direktur Eksekutif Institute for
Criminal Justice Reform, Erasmus Napitupulu dan juga Aliansi Reformasi KUHP
beranggapan bahwasanya dengan kehadiran pasal ini, nantinya jika setiap orang yang
akan melakukan sebuah demonstrasi perlu mendapatkan perizinan terlebih dahulu dari
pihak berwenang. Erasmus mengatakan, adanya politik perizinan yang diterapkan
melalui RKUHP mencerminkan watak birokrasi pemerintah yang sangat bertumpu pada
keamanan dan ketertiban umum, hal ini akrab digunakan oleh pemerintah kolonial
Hindia Belanda, dan digunakan oleh rezim Sukarno memantau gerak gerik masyarakat.
Pada rezim orde baru pun pasal itu kerap digunakan untuk membatasi suara mereka
yang berseberangan dengan pemerintah.67
Akan tetapi, apabila ditelusuri lebih lanjut, Pasal 256 RKUHP ini sejatinya
selaras dengan pengaturan dalam UU 9/98, yang disebutkan pada pasal 10 ayat (1) yakni
wajib memberitahukan secara tertulis kepada pihak berwajib. Wakil Menteri Hukum
dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej dalam beberapa kesempatan menyatakan bahwa,

67
Bernie Mohammad, “RUU KUHP: Demo Tanpa Pemberitahuan Diancam Penjara 1 Tahun”,
https://tirto.id/ruu-kuhp-demo-tanpa-pemberitahuan-diancam-penjara-1-tahun-gg9Z, diakses 28 Juli 2022

54
setiap demonstran dapat melakukan unjuk rasa dengan cukup memberi pemberitahuan
kepada pihak berwenang tanpa perlu mendapatkan izin dari pihak berwenang terlebih
dahulu. Dengan demikian dapat dipahami bahwasannya konteks pemberitahuan tidak
dapat diartikan dengan harus mendapatkan perizinan dari pihak berwenang sebelum
unjuk rasa. Pengaturan dalam Pasal 256 pun justru tidak menjelaskan lebih lanjut
mengenai tenggat waktu maksimal pemberitahuan, berbeda dengan UU 9/98 pasal 10
ayat (3) yang menyebutkan bahwa pemberitahuan kepada pihak berwajib selambat-
lambatnya 3x24 jam sebelum kegiatan dimulai. Lebih lanjut mengenai pasal tersebut,
sejatinya merupakan delik materiil yang mana jika pelaku atau peserta tersebut
mengakibatkan timbulnya keonaran atau huru-hara maka baru dapat dikenakan sanksi
pidana. Namun, penjatuhan pidana penjara paling lama enam bulan tersebut merupakan
ultimum remedium yakni upaya terakhir dalam konteks pemidanaan. Dapat dipahami
bahwa pengaturan dalam pasal ini pun tidak bertentangan dengan pengaturan yang
sudah termaktub dalam UU 9/98.
Hakekatnya, kedudukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam hierarki
peraturan perundang-undangan berkedudukan sebagai dasar hukum pidana di
Indonesia. Jika menelisik lebih jauh, sejatinya pasal ini tidak mencederai hak asasi
manusia dalam hal ini menyampaikan pendapat. Hal demikian disebabkan, setiap orang
tetap dapat menyampaikan pendapat dimuka umum dengan memberi pemberitahuan
terlebih dahulu kepada pihak berwenang tanpa mendapat perizinan dari pihak yang
berwenang. Namun, apabila kemudian hal tersebut mengakibatkan terganggunya
kepentingan umum maka peserta atau pelaku penyampaian pendapat dikenakan sanksi
administratif terlebih dahulu sesuai yang termaktub dalam UU 9/98. Hadirnya pasal ini
sejatinya bertujuan untuk mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya
partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung
jawab dalam kehidupan berdemokrasi.

55
6. Alat Pencegah Kehamilan

Pasal 412
“Setiap orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan,
menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah
kehamilan kepada anak, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I”

Secara harfiah, pengertian dari alat pencegah kehamilan atau alat kontrasepsi
adalah alat yang digunakan untuk mencegah terjadinya kehamilan yang tidak
diinginkan. Sedangkan secara normatif, pasal ini berbunyi “Setiap Orang yang secara
terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau
menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada anak dipidana
dengan pidana denda paling banyak kategori I”. Alat Kontrasepsi sendiri di Indonesia
masih dikategorikan sebagai hal yang tabu karena masih minimnya mengenai edukasi
seksual, padahal sejatinya pendidikan seksual sudah dimasukkan kedalam kurikulum
pembelajaran. Menurut Direktur Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad, pendidikan seksual telah dimasukkan
ke dalam jenjang pendidikan kurikulum pembelajaran tahun 2013 (K-13), yang mana
artinya di Negara Indonesia sejatinya sudah diterapkan upaya dalam rangka edukasi
seksual.68 Namun faktanya, Indonesia dalam hal pendidikan seksual masih berada
dibawah negara-negara lain,69 masih banyak remaja di Indonesia yang belum mengerti
akan fungsi alat-alat tersebut dikarenakan minimnya pendidikan tentang seks yang
masih dianggap tabu di Indonesia. Apabila dibandingkan dengan salah satu negara maju

68 Wicaksono Adhi, 2016, “Kemdikbud: Pendidikan Seks Udah Masuk Kurikulum”,


https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160521083036-20-132374/kemdikbud-pendidikan-seks-sudah-
masuk-kurikulum, diakses 29 Juli 2022
69 Puput Tripeni Juniman, 2018, “Mengintip Upaya Pendidikan Seks dari Berbagai Negara,”
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180904211236-284-327711/mengintip-upaya-pendidikan-seks-
dari-berbagai-negara, diakses 29 Juli 2022

56
seperti Belanda, Keberadaan daripada urgensi pendidikan seksual di Indonesia dapat
dikatakan masih tertinggal jauh.70
Negara Belanda sendiri, dikenal sebagai negara yang liberal termasuk untuk
urusan seks. Di Belanda, seksualitas adalah bagian alami dari manusia yang seharusnya
diajarkan pada siapapun. Pendidikan seks diwajibkan untuk anak usia empat tahun ke
atas yang pada dasarnya menekankan pada kemampuan seorang anak untuk menghargai
tubuhnya sendiri atau berfokus pada seksualitas dengan cara menghargai teman sebaya.
Semua hal diajarkan di Belanda, termasuk soal penggunaan alat kontrasepsi dalam
hubungan seksual hingga pengetahuan tentang penyakit menular seksual. Hasilnya,
angka kehamilan usia muda di Belanda terbilang rendah. Hal tersebut yang seharusnya
dicontoh oleh Indonesia, dimana adanya pendidikan seksual sejak usia dini tidak
selamanya buruk.71 Di lain sisi, promosi mengenai pencegahan kehamilan dengan alat
kontrasepsi merupakan bentuk upaya penurunan Angka Kematian Ibu (AKI). Promosi
seperti ini seharusnya dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat mulai dari guru, orang
tua, kader kesehatan, penyuluh kesehatan, pendidik sebaya, tokoh agama, dan tokoh
masyarakat. Pemberian informasi terkait alat kontrasepsi merupakan bagian dari materi
pendidikan seksualitas komprehensif yang perlu diberikan kepada anak sesuai dengan
tingkatan perkembangan fisik, mental, dan sosial mereka. Informasi mengenai fungsi
alat kontrasepsi merupakan hak anak terhadap informasi kesehatan yang dijamin oleh
Konvensi PBB UN-CRC untuk hak-hak anak.72 Informasi ini penting disampaikan pada
anak dan remaja sehingga mereka sadar dan bertanggung jawab dalam merencanakan
masa depannya.
Namun, di Indonesia, pasal ini justru dinilai berpotensi overkriminalisasi
terhadap orang-orang yang tidak mempunyai hak, seperti ayah dan ibu yang
mempertunjukkan alat kontrasepsi dengan tujuan edukasi. Pada contoh kasus seperti

70 Ibid.
71
Ibid.
72
unicef.org “Konvensi Hak Anak: Versi anak-anak,” https://www.unicef.org/indonesia/id/konvensi-
hak-anak-versi-anak-anak Diakses 29 Juli 2022.

57
itu, seorang ayah atau ibu dapat dikenai pasal 412 RKUHP karena ayah atau ibu tidak
mempunyai hak untuk mempertunjukkan alat kontrasepsi sesuai dengan apa yang
termaktub dalam pasal 414 RKUHP. Dalam pasal 414 ayat (1) RKUHP yang berbunyi:
“Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 412 tidak dipidana jika dilakukan oleh
petugas yang berwenang dalam rangka pelaksanaan keluarga berencana, pencegahan
penyakit infeksi menular seksual, atau untuk kepentingan pendidikan dan penyuluhan
kesehatan.” Seperti apa yang telah disebutkan diatas, Pasal 412 sangat rentan dengan
overkriminalisasi dikarenakan pihak yang tidak tercantum dalam Pasal 414 terancam
terkena kriminalisasi, termasuk masyarakat sipil, swasta, LSM, tokoh masyarakat, dan
tokoh agama, karena mereka tidak termasuk dalam pengecualian di pasal tersebut.
Padahal, ilmu pengetahuan akan seks bisa secara positif didistribusikan melalui orang
terdekat kita, melalui tokoh masyarakat yang dipandang banyak orang, dan lain
sebagainya.

7. Perzinaan
Pasal 415
(1) Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau
istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
atau denda kategori II.
(2) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan
penuntutan kecuali atas pengaduan:
a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau
b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
(3) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Tidak berlaku
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum
dimulai.
Sebagaimana termuat di atas, pasal ini mengatur terkait tindak pidana perzinaan.
Pelaku perzinaan yang dimaksud adalah orang yang sudah menikah melakukan
perzinaan atas dasar aduan. Adapun, secara harfiah, perzinaan berasal dari kata dasar

58
“zina” yaitu perbuatan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat
pernikahan atau perkawinan.73 Secara umum, zina bukan hanya di saat manusia telah
melakukan hubungan seksual, tetapi segala aktivitas-aktivitas seksual yang dapat
merusak kehormatan manusia termasuk dikategorikan zina.
Di Indonesia, hukum yang berlaku saat ini terkait tindak pidana perzinaan atau
yang dapat disebut dengan istilah “permukahan” diatur oleh KUHP dalam Bab XIV
tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan serta diatur secara khusus yaitu pada Pasal 284.
Dalam peraturan tersebut, hukuman pidana untuk seorang yang melakukan perzinaan
diancaman dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan. Konsep perzinaan secara
ius constitutum74, tidak melihat seluruh hubungan penetrasi di luar ikatan perkawinan
merupakan suatu perbuatan perzinaan, melainkan hanya melihat suatu hubungan
penetrasi dikatakan suatu perzinaan apabila seseorang melakukan persetubuhan dengan
orang lain yang bukan merupakan suami maupun istrinya dan atau seseorang yang
melakukan persetubuhan dengan orang lain yang sudah terikat sebuah perkawinan.
Sehingga selain hal tersebut tidak dikatakan sebagai suatu tindak pidana dalam hal ini
perzinaan.
Kemudian jika kita telisik, terdapat perbedaan antara KUHP yang berlaku saat
ini dengan Rancangan KUHP pasal 415 ayat (2) yang berbunyi, “Terhadap Tindak
Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas
pengaduan: a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau b. Orang Tua
atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.”. Sebagaimana telah diatur,
pasal ini mengatur tindak pidana perzinaan dengan melihat seluruh hubungan penetrasi
di luar ikatan perkawinan adalah sebuah tindak pidana. Hal ini menjadi angin segar bagi
penegakan nilai kesopanan dan kesusilaan di dalam masyarakat serta selaras dengan
ajaran agama yang mana melarang perbuatan zina.
Suatu negara pastinya memiliki hukum yang dicita-citakan atau ius
constituendum75 untuk dapat memfasilitasi perkembangan yang ada di masyarakat. Ius
constituendum ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat

73
KBBI Daring, s.v.”zina”, diakses 18 Juli 2022, https://kbbi.web.id/zina.
74
Hukum yang berlaku saat ini/hukum positif
75
Hukum yang dicita-citakan

59
setelah dijadikan ius constitutum nantinya. Jika kita telaah lagi terhadap keberadaan
pasal 284 KUHP, tentunya tidak dapat dikatakan bahwa pasal 284 ideal sebagai sebuah
produk hukum yang menjamin tegaknya keamanan dan ketentraman dalam kehidupan
masyarakat sebagaimana tujuan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).
Kenyataannya, substansi dari pasal 284 tersebut belum mampu sepenuhnya
mencerminkan dan mengakomodir nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat,
baik hukum adat maupun hukum agama, yang mana disebut-sebut sebagai gagasan
pembentuk hukum konstitusi. Dalam hal hukum yang berlaku sekarang (positif), adanya
perzinahan antara dua pribadi tidak bisa dilakukan penuntutan jika salah satunya
dan/atau keduanya belum menikah, walaupun jika terdapat pihak yang dirugikan (dalam
hal ini keluarga dekat, semisal orang tua) akibat kejadian tersebut. Dalam konsideran
RKUHP, bahwa materi hukum pidana nasional harus disesuaikan dengan politik
hukum, keadaan, perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
yang bertujuan menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, serta
menciptakan keseimbangan berdasarkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Banyak negara, seperti Inggris, tidak lagi menganggap perzinahan sebagai
tindak pidana, meski masih dapat digunakan sebagai dasar perceraian. Hal yang sama
tidak berlaku untuk banyak negara bagian di AS, di mana 18 negara bagian membuat
tindakan seksual ilegal jika setidaknya salah satu orang yang terlibat sudah menikah.
Misalnya di Idaho, seorang bisa menghadapi denda hingga US$1.000 atau sekitar Rp14
Juta atau hukuman tiga tahun penjara. Enam negara bagian yaitu Idaho, Illinois,
Massachusetts, Mississippi, Carolina Selatan, dan Utah masih memiliki undang-undang
percabulan, yang pada dasarnya menyatakan semua bentuk hubungan seks di luar nikah
ilegal, tetapi undang-undang ini jarang ditegakkan.76 Jika kita bandingkan dengan
peraturan di negara lain dengan peraturan di Indonesia sudah sangat jelas bertentangan.

76
Veronica Gita, “Aturan Terkait Hubungan Seksual yang Tertera dalam UU Amerika Serikat”
https://m.liputan6.com/global/read/4483470/9-aturan-terkait-hubungan-seksual-yang-tertera-dalam-uu-amerika-
serikat#, diakses 27 Juli 2022.

60
Perbedaan kultur serta budaya di antara negara lain dengan Indonesia menjadi tolak
ukurnya.
Berangkat dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan. Bahwa, mengenai
Pasal 284 KUHP, dalam konsep Hukum Positif Indonesia tidak melihat seluruh
hubungan penetrasi di luar ikatan perkawinan merupakan suatu perbuatan perzinaan,
melainkan hanya melihat suatu hubungan penetrasi dikatakan suatu perzinahan apabila
seorang melakukan persetubuhan dengan orang lain yang bukan merupakan suami
maupun istrinya dan atau seseorang yang melakukan persetubuhan dengan orang lain
yang sudah terikat sebuah perkawinan. Pengaturan tindak pidana perzinahan di masa
mendatang sebaiknya memperhatikan keselarasan dengan nilai-nilai sentral sosio-
politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural yang dapat memfasilitasi suatu
perbuatan yang dilakukan oleh seorang yang belum kawin atau keduanya tidak terikat
suatu perkawinan. Dalam memformulasikan peraturan tersebut harus melihat tujuan
dari hukum itu sendiri yaitu kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Kemudian, tindak
pidana perzinaan di dalam RKUHP yang mana sudah tidak membedakan antara yang
belum menikah maupun yang sudah menikah merupakan langkah yang tepat, karena
sejatinya perzinaan merupakan perbuatan yang tercela tanpa memandang bulu. Dengan
hadirnya RKUHP, diharapkan menjadi langkah progresif bagi penegakan nilai agama,
kesusilaan, kesopanan, dan kebudayaan yang ada di masyarakat Indonesia.

8. Kohabitasi

Pasal 416

(1) Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar
perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana
denda paling banyak kategori II.
(2) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan
penuntutan kecuali atas pengaduan:
a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau
b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.

61
(3) Tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan
Pasal 30.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum
dimulai.

Perbuatan “kumpul kebo” ini merupakan fenomena yang marak terjadi di


masyarakat. pengertian kumpul kebo (kohabitasi) ini sendiri merupakan perbuatan
hidup bersama layaknya suami istri perkawinan yang dilakukan antara seorang pria dan
seorang wanita, di mana mereka bersama-sama tinggal dalam satu rumah. Sejatinya,
kohabitasi merupakan suatu perbuatan yang memiliki ruang lingkup lebih luas daripada
zina atau perbuatan cabul lainnya. Dalam Pasal 416 RKUHP diatur mengenai larangan
kohabitasi atau kumpul kebo. Larangan ini termasuk dalam salah satu tindak pidana
kejahatan kesusilaan. Pasal ini mengancam pelaku perbuatan itu dengan hukuman
penjara paling lama enam bulan atau paling banyak denda kategori II. Namun, tindakan
ini merupakan suatu delik aduan yang hanya dapat diproses ketika adanya pengaduan.
Sehubungan dengan dimasukkannya kohabitasi ke dalam Konsep RKUHP, maka
muncul beberapa pendapat yang pro dan kontra yang kemudian menimbulkan suatu
konflik horizontal, karena di Indonesia sendiri pada saat ini perbuatan kohabitasi bukan
merupakan suatu tindak pidana karena belum ada pengaturan yang konkret dalam
KUHP saat ini.
Hadirnya pengaturan terkait perbuatan kohabitasi dalam ranah hukum positif
yang berlaku di Indonesia seakan menjadi sebuah angin segar bagi optimalisasi
pengakomodiran norma dan nilai di masyarakat. Maka dari itu, dilihat dari dampak yang
ditimbulkan dari perbuatan kohabitasi, ditinjau dari segala aspek termasuk dalam aspek
agama, dan aspek kehidupan bermasyarakat ternyata banyak menimbulkan dampak
negatif. Dalam norma yang berlaku di masyarakat sebagai masyarakat berketuhanan,
perbuatan kohabitasi juga dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Di Indonesia,
akhir-akhir ini timbul desakan atau pemikiran dari berbagai pihak khususnya para ulama
dan masyarakat yang menginginkan agar keberadaan kohabitasi tersebut dilarang dan

62
diancam pidana, karena hal semacam itu dianggap telah merusak rasa kesusilaan
masyarakat dan bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Beberapa negara sebenarnya juga telah mengatur mengenai tindak pidana
kohabitasi dalam KUHP-nya, tetapi tujuan utama yang dimasukkan dalam elemen
kejahatannya dalam pengaturan di beberapa Negara sangat berbeda. Pertama, kohabitasi
yang dianggap sebagai tindak pidana jika dilakukan bersama anak (Yugoslavia,
Norwegia, dan polandia). Kedua, kohabitasi yang masuk kategori pidana dalam hal
praktek kohabitasi dengan seorang perempuan yang percaya bahwa ia telah kawin
secara sah dengan pihak laki-laki (Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, India,
Islandia dan Fiji), ketiga kohabitasi yang masuk kategori pidana dalam hal kohabitasi
dengan istri atau suami dari anggota angkatan bersenjata aktif (Cina). Keempat,
kohabitasi yang masuk kategori pidana dalam hal dilakukan dengan poligami (conjugial
union) hidup bersama sebagai suami istri dengan lebih dari satu orang pada saat yang
sama (Kanada). Kelima, pelarangan kohabitasi total sebagai perilaku zina yang dilarang
(Arab, dan negara-negara penganut pidana Islam).77
Dapat ditarik kesimpulan, bahwasannya pasal ini menuai kontroversi ditengah
masyarakat karena dinilai bahwasanya negara terlalu mengatur mengenai ranah privat
seseorang, yang mana sejatinya masyarakat pun memiliki hak privat yang tidak boleh
diganggu oleh siapapun termasuk negara. Akan tetapi tujuan dibentuknya pasal ini
sejatinya memiliki itikad mulia, yaitu negara ingin menjaga marwah antara orang tua
dan anaknya, suami dengan istrinya pun sebaliknya. Hal tersebut diejawantahkan pada
pasal kedua, dimana yang diperbolehkan untuk mengadu hanya orang tua dari pelaku
dan juga suami maupun istri yang punya ikatan perkawinan yang sah dari pelaku.
Hadirnya pasal ini juga untuk mengoptimalisasikan norma serta nilai yang terbentuk di

77
Supriyadi Widodo Eddyono, “Masalah Tindak Pidana Kumpul Kebo (Cohabitation) dalam R KUHP”
https://reformasikuhp.org/masalah-tindak-pidana-kumpul-kebo-cohabitation-dalam-r-kuhp/#_ftnref3, diakses 27
Juli 2022.

63
masyarakat serta diselaraskan dengan pranata perkawinan yang dikenal oleh seluruh
agama dan juga masyarakat hukum adat di Indonesia.78

9. Gelandangan
Pasal 431
“Setiap Orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu
ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.”

Secara harfiah, gelandangan berasal dari kata dasar gelandang yang artinya
berjalan kesana-sini, tidak tentu tujuannya, dan berkeliaran.79 Saat ini, gelandangan
diatur dalam Pasal 505 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa bergelandangan tanpa
pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan
paling lama tiga bulan.” Selanjutnya pada ayat kedua, berbunyi: “Pergelandangan
yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur di atas enam belas tahun
diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan.” Berdasarkan bunyi pasal
tersebut terdapat perbedaan dengan RKUHP dalam hal pemidanaannya. Bentuk
pemidanaan dalam KUHP berupa pidana kurungan, hal tersebut jelas berbeda dengan
apa yang diatur dalam RKUHP. Sebelumnya, pengaturan mengenai gelandangan diatur
dalam pasal 431 RKUHP dimana bentuk pemidanaannya berupa pidana denda.
Berdasarkan pasal 79 RKUHP, disebutkan bahwa denda kategori I paling banyak adalah
Rp1.000.000 (satu juta rupiah). Penggelandangan dalam pasal 431 RKUHP dapat
dikatakan sudah mencakup keseluruhan perbuatan kriminalisasi. Apabila dikaji lebih
mendalam dan berdasarkan realita yang ada di masyarakat, permasalahan mengenai

78
Basuki Kurniawan, “Mengenal Lebih Dekat Kontroversial RUU KUHP, Perspektif Teori dan Praktik
Hukum di Indonesia”,
http://digilib.uinkhas.ac.id/1249/1/Kuliah%20Umum%20%27Mengenal%20Lebih%20Dekat%20Pasal%20Kont
roversial%20RUU%20KUHP%2C%20Perspektif%20Teori%20dan%20Praktik%20Hukum%20di%20Indonesia
%27%20pdf.pdf. diakses 28 Juni 2022.
79
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 29/PUU-X/2012.

64
gelandangan ini tidak lain adalah masalah sosial, yang penyebabnya adalah financial
dan kualitas diri.80
Dinas Sosial Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mencatat sebanyak
4.622 orang berstatus penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Dari jumlah
tersebut, orang berstatus gelandangan menempati posisi teratas dengan jumlah 1.616
orang.81 Gelandangan merupakan persoalan yang secara langsung serta bersumber
pada kondisi atau proses untuk melaksanakan fungsi sosialnya. Menurut penulis, tidak
ada permasalahan yang krusial dalam pasal 431 RKUHP tersebut. Namun, terdapat
ketidaksetujuan dalam hal sanksi yang diberikan, yang mana berupa pidana denda
sebesar kategori I. Hal tersebut tidak selaras dengan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Fakir miskin dan anak-
anak terlantar dipelihara oleh negara.” Intinya berisi bahwa negara melalui pemerintah
bertanggung jawab untuk memberikan jaminan sosial.
Program jaminan sosial bertujuan mengembangkan potensi diri bagi para
gelandangan, penyediaan pelayanan pendidikan, serta penyediaan akses kesempatan
kerja dan berusaha. Selain itu, jaminan sosial dapat berupa rehabilitasi serta penyediaan
pelatihan dan modal bagi gelandangan. Sebagaimana yang tertulis dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Apabila berkaca pada
fakta empiris yang ada, seseorang menjadi gelandangan atau bergelandangan di jalan
maupun di trotoar pada dasarnya dilatarbelakangi oleh rendahnya tingkat pendidikan
mereka.82 Aspek pendidikan masih belum memadai sehingga sering dijumpai beberapa
perilaku buruk yang diantaranya adalah mengamen secara terpaksa untuk diberi uang

80
Sely, 2021, “Mengurai Fenomena Gelandangan dan Pengemis di Indonesia,”
https://puspensos.kemensos.go.id/mengurai-fenomena-gelandangan-dan-pengemis-di-indonesia Diakses 29 Juli
2022
81
Jakarta.bps.go.id, “Jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Menurut Jenis dan
Kabupaten/Kota Administrasi 2019-2021” https://jakarta.bps.go.id/indicator/27/615/1/jumlah-penyandang-
masalah-kesejahteraan-sosial-pmks-menurut-jenis-dan-kabupaten-kota-administrasi-.html. Diakses 29 Juli 2022
82
Sely, 2021, “Mengurai Fenomena Gelandangan dan Pengemis di Indonesia,”
https://puspensos.kemensos.go.id/mengurai-fenomena-gelandangan-dan-pengemis-di-indonesia Diakses 29 Juli
2022

65
dan secara tidak langsung mengarah pada terganggunya ketertiban umum. Menurut para
ahli sosial, penyebab adanya gelandangan, pengemis, serta anak jalanan disebabkan
oleh krisis ekonomi yang berkepanjangan.83 Namun, secara detail dapat dijelaskan
bahwa keberadaan gelandangan disebabkan terjadinya kemiskinan lokal secara kultural
maupun struktural. Perilaku bergelandangan dalam KUHP maupun RKUHP
dikategorikan sebagai perilaku yang mengganggu atau melanggar ketertiban umum. Hal
tersebut didasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-X/2012,
bahwasanya pelarangan hidup bergelandangan merupakan pembatasan yang menjadi
kewenangan negara, sedangkan memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar
merupakan kewajiban konstitusional negara.84
Sejatinya, permohonan terkait upaya untuk menghapus sanksi pidana terhadap
gelandangan sudah pernah diajukan uji materiil terhadap MK dengan putusan Nomor
29/PUU-X/2012 yang hasilnya ditolak seluruhnya oleh MK karena dinilai pengaturan
tersebut dinyatakan sejalan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tentang
penjaminan kebebasan masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan
pendapat. Selain itu, menurut Mahkamah, kebebasan masyarakat yang dijamin UUD
NRI Tahun 1945 dimaknai sebagai kebebasan yang sesuai dengan aturan dan
menghargai kebebasan orang lain. Dengan perkataan lain, kebebasan yang diatur dalam
UUD NRI Tahun 1945 bukanlah kebebasan yang tanpa batas sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.85 Perilaku bergelandangan
dikategorikan sebagai perilaku yang mengganggu ketertiban umum. Oleh karena itu,
hukum pidana sebagai hukum publik yang ditujukan untuk mewujudkan ketertiban
masyarakat secara luas dapat membatasinya. Pelanggaran terhadap hukum pidana
adalah pelanggaran terhadap kepentingan publik, sehingga negara berkwajiban untuk

83
Ani Mardiyati, 2015, “Gelandangan Pengemis dan Anak Jalanan dari Perspektif Sosial Budaya,”
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS), Februari, hlm. 82.
84
Misaelandpartners.com, “Kontroversi Rancangan Undang-Undang KUHP”
http://misaelandpartners.com/kontroversi-rancangan-undang-undang-kuhp/, diakses 29 Juli 2022.
85
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 29/PUU-X/2012.

66
menegakkannya manakala pelanggaran tersebut terjadi, dalam rangka menjamin
perlindungan terhadap kepentingan publik.
Berangkat dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya
gelandangan merupakan masalah kriminalisasi dengan ketentuan mengganggu
ketertiban umum yang seharusnya hukumannya berupa pembinaan oleh negara, bukan
berupa pidana denda sebesar kategori I. Apabila seorang gelandangan harus membayar
pidana denda sebesar kategori I, hal tersebut jelas bertentangan dengan jaminan
kebutuhan dasar yang layak bagi gelandangan. Kebijakan formulasi yang termuat pada
Pasal 431 RKUHP harus dipertimbangkan kembali agar tercapainya kebermanfaatan
hukum bagi seorang gelandangan. Harapannya, Pemerintah bersama DPR dapat
mengkaji kembali Pasal 431 tersebut khususnya pada sanksi pidana yang berupa pidana
denda kategori I sebesar Rp1.000.000 (satu juta rupiah), serta berpikir obyektif atas
permasalahan mengenai gelandangan dengan memperhatikan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Tetapi hingga saat ini, Pemerintah dan DPR tidak menjelaskan
lebih lanjut terkait denda untuk gelandangan tersebut karena dianggap hal tersebut
sudah jelas.

67
68
BAB III
PENUTUP

Rekonstruksi dan revitalisasi Hukum Pidana Indonesia seakan menjadi pembahasan


yang tak kunjung usai di tengah-tengah isu masyarakat. Bagaimana tidak, sudah 2 kali RKUHP
masuk ke dalam prolegnas prioritas selama rentang waktu 2014-2019 dan 2019-2024, tetapi
sampai saat ini belum kunjung disahkan. Pasalnya, RKUHP menjadi Rancangan Undang-
Undang tertua yang berusia lebih dari setengah abad lamanya semenjak digelarnya Seminar
Hukum Nasional I Tahun 1963 di Semarang yang menjadi titik awal pembaharuan KUHP.
Gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh Para akademisi merupakan upaya untuk
menghilangkan jejak warisan kolonial dengan menghadirkan produk hukum yang
merepresentasikan nilai-nilai luhur dan kultural bangsa. Perlu diingat, semenjak diresmikannya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang pemberlakuan W.v.S.N.I tidak cukup
mengakomodasi pelbagai permasalahan tindak pidana sebab muatan KUHP yang
berkontradiksi dengan nilai sosio kultural bangsa. Penerapan serta muatan KUHP yang kaku
tidak sepadan dengan legal culture serta nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang
mengedepankan pendekatan kekeluargaan serta musyawarah mufakat sebagai langkah
penyelesaian terhadap suatu masalah. Untuk itu, RKUHP seakan menjadi sebuah jawaban
untuk menuntaskan segala permasalahan pelik terhadap tatanan hukum Indonesia yang sampai
saat ini masih menggunakan produk hukum warisan kolonial.
Namun demikian, muatan yang terkandung dalam RKUHP masih menimbulkan
polemik dan kontroversi di masyarakat. Walaupun dihadirkannya RKUHP sebagai bentuk
penyesuaian terhadap nilai sosio-kultural bangsa, terdapat beberapa pasal yang menimbulkan
kontroversi sebab dinilai “lebih sadis” ketimbang KUHP warisan kolonial. Walaupun muatan
di dalamnya masih kontroversi dan menimbulkan polemik hingga menjadi pertentangan,
RKUHP sejatinya merupakan solusi untuk mewujudkan produk hukum nasional yang
bercitakan nilai luhur bangsa sekaligus upaya menghilangkan jejak warisan kolonial yang
masih berlaku hingga saat ini. Sebagai upaya merealisasikan pembaharuan sistem hukum
pidana, langkah awal yang harus dilakukan adalah dengan merekonstruksi sistem hukum
pidana nasional terhadap Buku I KUHP. Akan tetapi, muatan dalam Buku I sendiri pun masih

69
terdapat polemik sehingga menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat, seperti
pemberlakuan asas legalitas, larangan penggunaan analogi, pertanggungjawaban pidana, dan
hukuman mati
Pertama, Asas legalitas sejatinya merupakan suatu syarat dilakukannya pemidanaan
dengan menghadirkan pengaturannya terlebih dahulu sebelum terjadinya suatu perbuatan
tindak pidana. Pengaturan asas legalitas diperluas cakupannya dengan menghadirkan asas
legalitas materiil sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) yang mengakomodasi
living law terhadap pemidanaan terhadap suatu delik. Pemberlakuan asas legalitas materiil
berimplikasi kepada konsep pemidanaan yang tidak melihat kepada peraturan tertulis terhadap
suatu perbuatan. Jika dicelanya suatu perbuatan menurut living law, tetapi tidak terdapat
pengaturannya dalam hukum positif maka cukup untuk dilakukannya pemidanaan. Dengan
demikian, hadirnya asas legalitas merupakan langkah progresif untuk mengakomodasi living
law dalam sistem hukum pidana nasional.
Kedua, penyertaan larangan analogi turut dihadirkan sebab berimplikasi menyalahi asas
legalitas. Dengan diperbolehkannya penggunaan analogi sebagai penetapan tindak pidana,
sama saja memberikan celah bagi perbuatan yang sejatinya tidak terdapat pengaturan di
dalamnya dapat menjadi suatu delik. Oleh sebab itu, larangan penggunaan analogi dipandang
tepat terlebih lagi muatan KUHP saat ini juga melarang penggunaan analogi.
ketiga, mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap anak di bawah umur
sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 40 dan 112 ayat (1). Permasalahannya di sini
adalah mengenai pembatasan usia anak serta ancaman pidana maksimum. Kurangnya
penyesuaian terhadap pembatasan usia anak serta diterapkannya ancaman pidana maksimum
dikhawatirkan dapat mengganggu kesehatan mental dan “membunuh” karakter yang
berimplikasi kepada turunnya kesejahteraan psikologis anak. Penerapan ancaman pidana
maksimum juga memberikan celah dilakukannya pemidanaan terhadap anak apabila
melakukan tindak pidana dengan ancaman melebihi pidana maksimum itu sendiri. Untuk itu,
perlu dikaji ulang mengenai pembatasan usia anak serta penerapan ancaman pidana maksimum
guna melindungi kepentingan anak dari diskriminasi serta intimidasi.
Keempat, pengaturan mengenai hukuman mati sebagaimana yang diatur dalam Pasal
98. Rekonstruksi sistem pidana mati yang disajikan dalam RKUHP mengubah struktur dan
mekanisme, seperti penempatan pidana mati yang tidak lagi diposisikan sebagai pidana pokok,

70
tetapi dijadikan sebagai pidana alternatif. Penerapan Pembaharuan tersebut sebagai upaya
moderasi hukum antara pihak yang tetap menginginkan adanya hukuman mati dan pihak yang
menginginkan ditiadakannya hukuman mati. Tujuan ditempatkannya pidana mati sebagai
pidana alternatif semata-mata untuk melindungi kepentingan hukum itu sendiri dan
memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki diri kedepannya.
Pembahasan berikutnya terkait merekonstruksi dan merevitalisasi sistem hukum pidana
nasional yang sesuai dan sejalan dengan prinsip dan cita-cita bangsa adalah dengan merombak
pasal-pasal yang terkandung dalam buku II RKUHP. Menelisik pasal-pasal yang terkandung
dalam buku II RKUHP, ternyata masih terdapat pelbagai muatan kontroversi seperti
penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden, penghinaan terhadap pemerintah,
penghinaan terhadap kekuasaan umum, pengaturan pawai dan unjuk rasa, larangan
mempertontonkan alat kontrasepsi, pengaturan kohabitasi, pengaturan mengenai gelandangan,
perzinahan, dan Gangguan terhadap Tanah, Benih, Tanaman dan Pekarangan.
Pertama, pengaturan mengenai penghinaan terhadap presiden dan/atau wakil presiden
yang termaktub dalam pasal 218 tentu sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat sebab pasal
tersebut pernah berlaku dalam sistem KUHP saat ini. Akan tetapi, Berkaca dari Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 bahwasanya pengaturan serupa yang
telah dihadirkan KUHP dinyatakan inkonstitusional dan resmi dicabut. Terlebih lagi, prinsip
Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan
rakyat sebagaimana yang telah ditentukan dalam konstitusi, tentu tidak relevan apabila nantinya
pasal mengenai penghinaan presiden dan/atau wakil presiden tetap dipertahankan. Perlu
ditekankan, bahwa presiden dan wakil presiden hanya merupakan sebuah institusi, bukanlah
personal yang memiliki jiwa dan perasaan emosional. Untuk itu, tidak tepat apabila sebuah
institusi dipadankan dengan makhluk hidup, terlebih diberikan keistimewaan oleh hukum.
Lantas, jika sebuah benda mati diistimewakan oleh hukum, mengapa makhluk hidup justru
dinistakan?
Kedua, pengaturan serupa yang dihadirkan dalam RKUHP yakni pasal 240 & 241 serta
pasal 351 mengenai penghinaan terhadap pemerintah dan kekuasaan umum. Sebagai negara
demokrasi, kritik dan saran yang dilontarkan kepada pemerintah merupakan bentuk
pengekspresian terhadap ketidakpuasan kinerja penguasa. Pasalnya, presiden, wakil presiden,
serta lembaga negara bukanlah merupakan personal yang memiliki perasaan sehingga tidak

71
tepat apabila sebuah institusi dipadankan dengan makhluk hidup yang memiliki perasaan
emosional, lantas harkat martabat apa yang dilindungi oleh hukum? Untuk itu, apabila pasal
serupa tetap dipertahankan sama saja menghadirkan kembali nuansa kolonial dalam
pembaharuan sistem hukum pidana Indonesia dan rentan mencederai nilai-nilai demokrasi
sebagaimana yang telah tercantum dalam konstitusi.
Ketiga, pasal 256 mengenai pengaturan pawai dan unjuk rasa. Pasal tersebut sejatinya
sudah ada pengaturan terdahulu yang serupa sebagaimana yang termaktub dalam UU 9/98
Tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Pawai dan unjuk rasa
merupakan bagian dari pengekspresian dan kebebasan menyampaikan pendapat sebagaimana
hal tersebut dijamin oleh konstitusi. Sejatinya, pasal tersebut sejalan dan tidak bertentangan
dengan pengaturan sebelumnya, yakni UU 9/98 yang intinya mengharuskan adanya
pemberitahuan terlebih dahulu kepada pihak berwenang. Perlu ditekankan bahwa pengaturan
mengenai diadakannya pawai dan unjuk rasa diawali dengan mekanisme pemberitahuan
terlebih dahulu. Hal tersebut menimbulkan misinterpretasi yang menyamakan makna
pemberitahuan dengan izin, padahal sudah jelas frasa yang digunakan dalam pasal tersebut
adalah pemberitahuan. Jika dikomparasikan dengan UU 9/98 aksi pawai dan unjuk rasa diawali
dengan mekanisme pemberitahuan 3x24 jam. Namun, muatan RKUHP tidak menjelaskan
secara rigid mengenai tenggat waktu pemberitahuan sebelum diadakannya pawai dan unjuk
rasa, apakah mengikuti peraturan terdahulu atau berbeda pengaturannya.
Keempat, kontroversi berikutnya yang sempat menggemparkan di tengah kalangan
masyarakat, yakni Pasal 412 tentang Pengaturan Mengenai Alat Pencegah Kehamilan. Padahal,
alat kontrasepsi yang dipromosikan dihadapan anak merupakan salah satu media sebagai sarana
pendistribusian ilmu pengetahuan akan seks agar seorang anak dapat mengetahui manfaat dan
resiko melalui edukasi seks yang ditanamkan sejak dini, sehingga nantinya seorang anak lebih
matang dan sadar serta siap bertanggung jawab terkait penentuan perencanaan masa depannya.
Hadirnya pasal tersebut justru rentan menimbulkan overkriminalisasi terhadap pihak yang tidak
termasuk dalam pengecualian yang berhak mempertunjukkan alat kontrasepsi di hadapan anak.
Padahal, tujuan mempertunjukkan alat kontrasepsi di hadapan anak semata-mata hanya untuk
kepentingan edukasi seks.
Kelima, Berlanjut pada pasal 416 yang mengatur mengenai larangan terkait kohabitasi
atau kumpul kebo. Pasal a quo mengancam pelaku kohabitasi dengan hukuman penjara

72
maksimal enam bulan atau paling banyak denda kategori II. Kohabitasi sendiri merupakan
perbuatan hidup bersama tanpa adanya ikatan suatu perkawinan yang antara seorang pria dan
seorang wanita dimana mereka bersama-sama tinggal dalam satu rumah. Namun, masyarakat
menilai bahwa Pasal ini terlalu mengatur mengenai ranah privat seseorang yang mana sejatinya
masyarakat pun memiliki hak privat yang tidak boleh diganggu oleh siapapun termasuk negara.
Akan tetapi, sejatinya pengaturan terkait perbuatan kohabitasi ini seakan menjadi sebuah angin
segar bagi optimalisasi pengakomodasian norma dan nilai di masyarakat. Hadirnya pasal ini
juga bertujuan untuk mengoptimalisasikan norma serta nilai yang terbentuk di masyarakat serta
diselaraskan dengan pranata perkawinan yang dikenal oleh seluruh agama dan juga masyarakat
hukum adat di Indonesia.
Keenam, pembahasan selanjutnya yang sempat menjadi sorotan tajam di masyarakat
yakni Pasal 431 tentang pengaturan mengenai gelandangan. Pasal serupa sejatinya sudah ada
pengaturannya sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009.
Hadirnya pasal tersebut sejatinya tidak terdapat masalah yang rumit sebab menekankan pada
sisi mengganggu ketertiban umum. Namun demikian, sorotan tajam tertuju kepada ancaman
sanksi berupa pidana denda yang mana tidak logis apabila seseorang dengan keterbatasan
finansial harus membayar denda dengan nominal yang besar. Seharusnya, langkah yang tepat
adalah dengan pemberian tindakan berupa pembinaan dan pengakomodasian sebagai bentuk
pengejawantahan kewajiban konstitusional negara.
Ketujuh, pasal 277 tentang pengaturan mengenai gangguan terhadap tanah, benih,
pekarangan, dan tanaman yang disebabkan oleh hewan ternak. Peraturan tersebut sebelumnya
sudah ada dalam KUHP hanya saja muatannya yang disederhanakan, sehingga pengaturannya
tidak berbeda signifikan dengan KUHP. Selain itu, Sanksi pidana yang diancamkan kepada
pemilik hewan ternak berupa pidana denda, bukan pidana penjara. Namun, pidana denda yang
diancamkan hanyalah bersifat ultimum remidium sehingga dimungkinkan untuk dilakukannya
penyelesaian secara kekeluargaan. Akan tetapi, muatan yang terkandung dalam pasal 278 ayat
(2) yang memberikan kewenangan negara untuk merampas hewan ternak sebagaimana yg telah
dimaksud, cukup dipertanyakan tujuan dari pengaturan ini, mengingat bahwa tidak ada urgensi
apapun yang diperlukan untuk menyita hewan ternak. kalau pun negara memiliki kewenangan
merampas hewan ternak, lalu akan dikemanakan hewan ternak tersebut? Maka dari itu, adanya

73
pengaturan mengenai perampasan hewan ternak oleh pemerintah menjadi hal yang cukup
janggal dan patut dipertanyakan.
Kedelapan, Pembahasan terakhir yang hingga saat ini masih menjadi perbincangan
hangat di khalayak umum ialah terkait perzinaan yang termaktub dalam pasal 415. Pengaturan
terkait perzinaan sebelumnya sudah diatur dalam KUHP hanya saja konsep perzinahan yang
disajikan oleh RKUHP bersifat lebih kompleks. Konsep perzinaan yang ditawarkan oleh KUHP
hanya menjurus kepada pasangan yang telah terikat perkawinan, beda halnya dengan RKUHP
yang lebih bersifat universal. Walaupun pasal tersebut dinilai berlebihan karena terlalu
mendalami ranah privasi warga negara dan menjadi polemik di kalangan masyarakat, pasal ini
sejatinya telah mengakomodasi nilai-nilai luhur serta sosio-kultural bangsa. Nilai sosio-
kultural bangsa yang melekat dengan nilai-nilai teologis serta kepercayaan yang kuat, tentu
tidak memberikan sedikit pun ruang terhadap perbuatan tercela.
Walaupun muatan dalam RKUHP masih menjadi permasalahan pelik serta
menimbulkan kontroversi, hadirnya RKUHP tetap menjadi harapan bagi masyarakat hukum
sebagai langkah progresif pembaharuan sistem hukum pidana nasional sekaligus menghapus
rekam jejak warisan kolonial. Dengan melihat polemik dan kontroversi yang ditimbulkan
dalam muatan RKUHP, besar harapan kami untuk Pemerintah bersamaan dengan DPR agar
secepatnya dapat mengesahkan RKUHP dengan memperhatikan pertimbangan, kritik, dan
saran agar lebih menyeleksi dan mengkaji ulang pasal-pasal yang sekiranya masih belum
mengakomodasi nilai-nilai luhur dan cita-cita bangsa.

74
Daftar Pustaka

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.

Indonesia, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LN.


2009/No. 157, TLN NO. 5076.

Indonesia, Undang-Undang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum,


UU No. 9 Tahun 1998, LN. 1998/No. 181, TLN NO. 3789.

Indonesia, Undang-Undang Peraturan Hukum Pidana, UU. No. 1 Tahun 1946.

Indonesia, Undang-Undang Darurat Tindakan-Tindakan Sementara untuk


Menyelenggarakan KEsatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan Sipil,
UU. No. 1 Tahun 1951, LN.1951/NO.9, TLN NO.81, LL SETNEG : 11 HLM.

Indonesia, Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, LN.2012/No. 153,


TLN No. 5332.

Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam


Sistem Peradilan Pidana Anak, Perma No. 4 Tahun 2014, BN.2014/No.1052.

Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan


Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun, PP no. 65
Tahun 2015, LN. 2015 No. 194, TLN No. 5732.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Straftrecht]. Diterjemahkan oleh


Moeljatno. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.

PUTUSAN

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No. 013-022/PUU-IV/2006.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 29/PUU-X/2012.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No. 2-3/PUU-V/2007.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No. 6/PUU-V/2007.

75
BUKU

Arief, Barda Nawawi. 1984, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana,
Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Amrani, Hanafi. 2019, Politik Pembaruan Hukum Pidana, cet:1, Yogyakarta: UII Press.

Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia. 2015, Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-
Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Jakarta.:
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia

Lamintang. 2008, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Moeljatno. 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Saleh, Roeslan. 1982, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta:


Ghalia Indonesia

Sudarto. 2020, Hukum Pidana I, cet.6, Semarang: Yayasan Soedarto.

Sudaryono dan Natangsa Surbakti. 2017, Hukum Pidana Dasar-Dasar Hukum Pidana
Berdasarkan KUHP dan RUU KUHP, Surakarta: Muhammadiyah University
Press.

Tim Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). 2017, Politik Kebijakan Hukuman
Mati di Indonesia Dari Masa Ke Masa, Jakarta: Institute for Criminal Justice
Reform.

JURNAL/MAJALAH

Ramdan, Ajie. 2020. “Kontroversi Delik Penghinaan Presiden/Wakil Presiden Dalam


RKUHP,” Jurnal Yudisial. Vol. 13. Nomor 2.

Widayati, Lidya Suryani. 2017. “Tindak Pidana Penghinaan Terhadap Presiden Atau
Wakil Presiden: Perlukah Diatur Kembali Dalam KUHP?” Jurnal Ilmiah
Hukum Negara Hukum. Volume 2 Nomor 2. November.

Pranadji, Tri. 2008. “Aksi Unjuk Rasa (dan Radikalisme) Serta Penanganannya dalam
Alam “Demokrasi” di Indonesia”. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 26.
No 2. Desember.

76
Mardiyati, Ani. 2015. “Gelandangan Pengemis dan Anak Jalanan dari Perspektif Sosial
Budaya,” Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan
Sosial (B2P3KS), Februari.

Rahmawati, Nur Ainiyah. 2013. “Hukum Pidana Indonesia: Ultimum Remedium atau
Primum Remedium”, Recidive. Vol. 2. No. 1. Januari-April.

Jaiilani, 2015. “Sistem Demokrasi di Indonesia Ditinjau Dari Sudut Hukum


Ketatanegaraan,” Jurnal Ilmu Hukum. Volume. 8. No.1.

Johnson, John W. 2001. “Peran Media Bebas”. Demokrasi, Office of International


Information Programs U.S. Deparment of States.

Eddyono, Supriyadi Widodo, Fajrimei A Gofar dan Adiani Viviana. 2016. Tindak
Pidana Penghinaan Terhadap Pemerintah Yang Sah Dalam RKUHP, Jakarta:
Institute for Criminal Justice Reform.

Rukman, Aulia Andika 2016, “Pidana Mati Ditinjau Dari Perspektif Sosiologis dan
Penegakan HAM,” Jurnal Equilibrium Pendidikan Sosiologi, Volume IV,
Nomor 1.

Endrawati, Lucky. 2018. “Rekonstruksi Analogi Dalam Hukum Pidana Sebagai Metode
Penafsiran Hukum Untuk Pembaharuan Hukum Pidana dengan Pendekatan
Aliran Progresif”. Jurnal Hermeneutika. Vol. 2. No. 1. Februari

Mawar, Sitti. 2016. “Metode Penemuan Hukum (Interpretasi dan Konstruksi) dalam
Rangka Harmonisasi Hukum”. Jurnal Hukum. Vol. 1. No. 1.

Susanto, Mei dan Ajie Ramdan. 2017, “Kebijakan Moderasi Pidana Mati: Kajian
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007,” Jurnal Yudisial,
Volume 10, Nomor 2.

Hatta, Muhammad. 2012, “Perdebatan Hukuman Mati di Indonesia: Suatu Kajian


Perbandingan Hukum Islam dengan Hukum Pidana Indonesia,” Miqot, Volume
XXXVI, Nomor 2.

Mukantardjo, Rudy Satriyo. 2005, “Rancangan KUHP Nasional Menghindari Pidana


Mati,” Jurnal Legislasi Nasional, Volume 2, Nomor 1.

Mawar, Sitti. “Metode Penemuan Hukum (Interpretasi dan Konstruksi) dalam Rangka
Harmonisasi Hukum”, Jurnal Hukum, Vol. 1, No. 1.

77
Matagang, Tadius. 2017, “Eksistensi Hukuman Mati Dalam Sistem Hukum di
Indonesia,” Lex et Societatis, Volume V, Nomor 3.

SKRIPSI/TESIS/DISERTASI

Alamin, Faishol. 2020, “Pengaturan Tindak Pidana Korupsi Dalam RUU KUHP 2019,”
Skripsi Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Hafidzotun, Nuroniyyah. 2013, “Praktik Pembagian Harta Waris Di Desa Sukosari


Kabupaten Jember (Kajian Living Law)” Skripsi Sarjana Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Siahaan, Lindung Leonardi. 2021, “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU


TINDAK PIDANA PENODAAN TERHADAP SUATU AGAMA YANG
DIANUT DI INDONESIA”, Skripsi Sarjana Universitas HKBP Nommensen.

INTERNET

Eddyono, Supriyadi Widodo, 2016, “Masalah Tindak Pidana Kumpul Kebo


(Cohabitation) dalam R KUHP.” https://reformasikuhp.org/masalah-tindak-
pidana-kumpul-kebo-cohabitation-dalam-r-kuhp/#_ftnref3, diakses 27 Juli
2022.

Fatubun, Andres. “Peternak Ayam Sebut Pasal 278 RUU KUHP Bisa Picu
Perselisihan”, https://tasik.ayoindonesia.com/info-priangan/pr-
33848224/Peternak-Ayam-Sebut-Pasal-278-RUU-KUHP-Bisa-Picu-
Perselisihan, diakses 16 Juli 2022.

Gita, Veronica 2021, “Aturan Terkait Hubungan Seksual yang Tertera dalam UU
Amerika Serikat.” https://m.liputan6.com/global/read/4483470/9-aturan-
terkait-hubungan-seksual-yang-tertera-dalam-uu-amerika-serikat#, diakses 27
Juli 2022.

ICJR, “Ketentuan Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat di RKUHP Ancam Hak
Warga Negara”, https://icjr.or.id/ketentuan-hukum-yang-hidup-dalam-
masyarakat-di-rkuhp-ancam-hak-warga-negara/, diakses 26 April 2022.

ICJR, Problem Pasal 111 dan 112 UU Narkotika terhadap Pengguna narkotika, Harus
Menjadi Perhatian Serius, https://icjr.or.id/icjr-problem-pasal-111-dan-112-uu-

78
narkotika-terhadap-pengguna-narkotika-harus-menjadi-perhatian-serius/,
diakses 29 Juli 2022.

Jakarta.bps.go.id, “Jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)


Menurut Jenis dan Kabupaten/Kota Administrasi 2019-2021”
https://jakarta.bps.go.id/ind icator/27/615/1/jumlah-penyandang-masalah-
kesejahteraan-sosial-pmks-menurut-jenis-dan-kabupaten-kota-administrasi-
.html, diakses 29 Juli 2022.

Juniman, Puput Tripeni. “Mengintip Upaya Pendidikan Seks dari Berbagai Negara,”
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180904211236-284-
327711/mengintip-upaya-pendidikan-seks-dari-berbagai-negara, diakses 29
Juli 2022.

KBBI Daring, s.v.”unggas”. https://kbbi.web.id/unggas, diakses 15 Juli 2022.

KBBI Daring, s.v.”zina”. https://kbbi.web.id/zina, diakses 18 Juli 2022.

Kurniawan, Basuki. “Mengenal Lebih Dekat Kontroversial RUU KUHP, Perspektif


Teori dan Praktik Hukum di Indonesia”,
http://digilib.uinkhas.ac.id/1249/1/Kuliah%20Umum%20%27Mengenal%20L
ebih%20Dekat%20Pasal%20Kontroversial%20RUU%20KUHP%2C%20Pers
pektif%20Teori%20dan%20Praktik%20Hukum%20di%20Indonesia%27%20p
df.pdf, diakses 28 Juni 2022.

Margaretha, “TERLALU MUDA UNTUK DIPIDANA: KAPAN USIA YANG LEBIH


TEPAT MULAI MENERIMA PERTANGGUNGJAWABAN
PELANGGARAN PIDANA (BAGIAN I)”,
https://psikologiforensik.com/2020/04/28/terlalu-muda-untuk-pidana-kapan-
usia-yang-lebih-tepat-mulai-menerima-pertanggungjawaban-pelanggaran-
pidana/, diakses 26 April 2022.

Misaelandpartners.com, “Kontroversi Rancangan Undang-Undang KUHP”


http://misaelandpartners.com/kontroversi-rancangan-undang-undang-kuhp/,
diakses 29 Juli 2022.

Mohammad, Bernie. “RUU KUHP: Demo Tanpa Pemberitahuan Diancam Penjara 1


Tahun”, https://tirto.id/ruu-kuhp-demo-tanpa-pemberitahuan-diancam-penjara-
1-tahun-gg9Z, diakses 28 Juli 2022.

Rachman, Dylan Aprialdo. “Menkumham Ungkap Alasan Pasal soal Unggas Masih
Dipertahankan di RKUHP”,

79
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/21/06000071/menkumham-ungkap-
alasan-pasal-soal-unggas-masih-dipertahankan-di-rkuhp, diakses 16 Juli 2022.

reformasikuhp, “Sekilas Sejarah dan Problematika Pembahasan RKUHP,”


https://reformasikuhp.org/sekilas-sejarah-dan-problematika-pembahasan-
rkuhp/, diakses 10 Juni 2022.

Sely, 2021, “Mengurai Fenomena Gelandangan dan Pengemis di Indonesia,”


https://puspensos.kemensos.go.id/mengurai-fenomena-gelandangan-dan-
pengemis-di-indonesia, diakses 29 Juli 2022.

Wicaksono Adhi, 2016, “Kemendikbud: Pendidikan Seks Sudah Masuk Kurikulum”,


https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160521083036-20-
132374/kemdikbud-pendidikan-seks-sudah-masuk-kurikulum, diakses 29 Juli
2022.

80

Anda mungkin juga menyukai