Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

TRANSAKSI DALAM EKONOMI ISLAM

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Dasar-Dasar Ekonomi

Dosen Pengempu : Mashudi,M.E.I

DISUSUN OLEH :

1. FARUQ HIDAYATULLAH 204102050058


2. NADIA RACHMANI PUTRI 204105020056
3. AIMRON LATEH 204102050064

PRODI EKONOMI SYARIAH 2


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUS AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER 2020
2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat,hidayah dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat
serta salam semoga tercurah limpahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW,beserta
keluarganya,sahabatnya,tabiin,hingga kepada kita semua selaku umatnya hingga akhir zaman.

Makalah yang bertemakan Transaksi Dalam Ekonomi Islam ini tidak lain untuk
memenuhi tugas kelompok mata kuliah Dasar-Dasar Ekonomi. Kami sadar bahwa dalam
pengerjaan makalah ini jauh dari kesempurnaan,baik dalam penulisan maupun penyampain
materi,dikarenakan kami masih dalam tahap pembelajaran.Kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi semuanya dan juga bagi kami. Oleh karena itu kelompok kami dengan
lapang dada menerima kritik dan saran yang sifatnya edukatif guna perbaikan dimasa yang
akan datang.

Dengan Kata Pengantar ini kami ucapkan banyak terimakasih kepada dosen mata
kuliah Dasar Dasar Ekonomi,dan juga kepada teman teman dan pihak terutama sumber
sumber yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.

Jember,24 December 2020

Kelompok 12

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .....................................................................................................i


Daftar Isi ....................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan .....................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah .............................................................................1


B. Rumusan Masalah .............................................................................2
C. Tujuan Pnulisan .............................................................................2

Bab II Pembahasan .....................................................................................................3

A. Transaksi Syirkah ....................................................3


B. Transaksi Jual Beli Islam ....................................................7
C. Transaksi Lainnya dalam Ekonomi Islam ...................................................13
Bab III Penutup ...................................................................................................31

A. Kesimpulan ...................................................................................................31
B. Saran ...................................................................................................31

Daftar Pustaka ...................................................................................................32

ii
iii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mejalankan aktivitas ekonomi adalah bagian dari kehidupan manusia


sehari-hari. Aktivitas tersebut tentu saja berkaitan erat dengan Tujuan Penciptaan
Manusia, Proses Penciptaan Manusia , Hakikat Penciptaan Manusia , Konsep
Manusia dalam Islam, dan Hakikat Manusia Menurut Islam sesuai dengan fungsi
agama , Dunia Menurut Islam, Sukses Menurut Islam, Sukses Dunia Akhirat Menurut
Islam, dengan Cara Sukses Menurut Islam.
Tidak ada satu hari pun dalam kehidupan manusia di muka bumi yang
tidak melakukan transaksi ekonomi. Hal ini dikarenakakan ekonomi adalah bagian
dasar hidup manusia. Manusia bisa mendapatkan kebutuhan makan, minum, tempat
tinggal, mendapatkan pelayanan dalam hidup semuanya karena adanya transaksi
ekonomi.Di dalam agama islam, transaksi ekonomi juga bagian yang diatur dan
menjadi hal yang penting untuk diterapkan, karena kegagalan dalam melakukan
transaksi ekonomi akan berefek kepada kemiskinan, penipuan, atau menjadi
terjadinya berbagai masalah sosial lainnya. Maka dari itu penting untuk kita
mempelajari bagaimana transaksi dalam ekonomi islam dan apa saja transaksi-
transaksi ekonomi yang ada dan berkembang dimasyarakat.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan transaksi kerjasama (syirkah) ?


2. Apa yang dimaksud dengan transaksi jual beli ?
3. Apa saja transaksi lainnya yang ada pada kegiatan ekonomi ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan mampu menjelaskan tentang transaksi kerja sama
(syirkah).
2. Mengetahui dan mampu menjelaskan tentang transaksi jual beli.
3. Mengetahui dan mampu menjelaskan tentang transaksi lainnya yang ada
pada kegiatan ekonomi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Transaksi Syirkah (Kerjasama)

Istilah lain dari musyarakah adalah Syirkah. Kata Syirkah dalam bahasa arab
berasal dari kata syarika (fiil madhi), yasyraku (fiil mudhari’), syarikan/ syirkatan/
syarikatan (mashdar/ kata dasar), artinya menjadi sekutu atau serikat. Secara bahasa
alsyirkah berarti al-Ikhtilat yang artinya percampuran atau persekutuan dua hal atau
lebih, sehingga antara masing-masing sulit dibedakan. Seperti persekutuan hak milik
atau perserikatan usaha.
Yang dimaksud percampuran disini adalah seseorang mencampurkan hartanya
dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan. Sedangkan
menurut istilah, para Fuqaha berbeda pendapat mengenai pengertian syirkah,
diantaranya menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan syirkah ialah akad antara
orang yang berserikat dalam modal dan keuntungan. Menurut Hasbi ash-Shidieqie,
bahwa yang dimaksud dengan syirkah ialah akad yang berlaku antara dua orang atau
lebih untuk ta’awun dalam bekerja pada suatu usaha dan membagi keuntungannya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Musyarakah/ syirkah adalah kerjasama
antara kedua belah pihak untuk memberikan kontribusi dana dengan
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

Dasar Hukum Syirkah

Adapun yang dijadikan dasar hukum oleh para ulama atas kebolehan syirkah,
antara lain:

Hadist riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah, dalam sebuah hadits marfu’

Artinya: “ ia berkata, sesungguhnya Allah berfirman, “aku jadi yang ketiga


diantara dua orang yang berserikat selama yang satu tidak khianat terhadap yang
lainnya, apabila yang satu berkhianat kepada pihak yang lain, maka keluarlah aku dari
mereka”.

Al-Qur’an surat Sad ayat 24

َ‫ْض ِإاَّل ٱلَّ ِذين‬


ٍ ‫ضهُ ْم َعلَ ٰى بَع‬ ُ ‫اج ِهۦ ۖ َوِإ َّن َكثِيرًا ِّمنَ ْٱل ُخلَطَٓا ِء لَيَ ْب ِغى بَ ْع‬ ِ ‫ك ِإلَ ٰى نِ َع‬
َ ِ‫ْجت‬ ِ ‫قَا َل لَقَ ْد ظَلَ َمكَ بِسَُؤ‬
َ ‫ال نَع‬
‫َأ‬ ٰ ‫َأ‬ ٰ ۟ ۟
ِ ‫صلِ ٰ َح‬
َ ‫ت َوقَلِي ٌل َّما هُ ْم ۗ َوظَ َّن دَا ُوۥ ُد نَّ َما فَتَنَّهُ فَٱ ْستَ ْغفَ َر َربَّهۥُ َوخَ َّر َرا ِكعًا َو ن‬
‫َاب‬ َّ ‫۩ َءا َمنُوا َو َع ِملُوا ٱل‬

Artinya: “Daud berkata: "Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim kepadamu


dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan
Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka
berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui

3
bahwa kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu
menyungkur sujud dan bertaubat ”.

Ayat di atas mencela perilaku orang-orang yang berkongsi atau berserikat dalam berdagang
dengan menzalimi sebagian dari pihak mereka dengan menambahkan harta perkongsian
mereka.Menurut penulis, kedua ayat al-Qur’an tersebut di atas jelas menunjukkan bahwa
syirkah pada hakekatnya diperbolehkan oleh risalah-risalah yang terdahulu dan telah
dipraktekkan. Selain itu, landasan dan dasar hukum syirkah juga diatur dalam peratuaran
DSN MUI yaitu fatwa DSN MUI nomor 08 tahun 2000 tentang akad musya>rakah, dimana
akad ini muncul sebagai alternatif pembiayaan yang menguntungkan bagi nasabah dan juga
bank syariah.

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah dari Nabi Saw
bersabda:

“Sesungguhnya Allah SWT telah berfirman , “Aku jadi yang ketiga antara dua orang yang
berserikat selama yang satu tidak khianat kepada yang lainnya, apabila yang satu berkhianat
kepada pihak yang lain, maka keluarlah aku darinnya.” (HR Abu Dawud)

Syirkah boleh dilakukan antara sesama Muslim, antara sesama kafir dzimmi
atau antara seorang Muslim dan kafir dzimmi. Maka dari itu, seorang Muslim juga
boleh melakukan syirkah dengan orang yang beda agama seperti Nasrani, Majusi dan
kafir dzimmi yang lainnya selagi apa-apa yang di-syirkah-kan adalah usaha yang
tidak diharamkan bagi kaum Muslim.

Seperti dikatakan sebuah hadist oleh Muslim dari Abdullah bin Umar:
“Rasulullah saw pernah mempekerjakan penduduk Khaibar-mereka adalah Yahudi-
dengan mendapatkan bagian hasil panen buah dan tanaman.” (HR Muslim)

Konsep Bentuk-bentuk Syirkah


1) Amwal / Harta : Syirkah yang didirikan berdasarkan asas kepemilikan
bersama antara para anggota dalam hal modal, jenis syirkah ini dibagi menjadi
2 yaitu :
 Syirkah ‘inan yaitu transaksi antara dua orang atau lebih yang masing
anggota mempunyai saham dengan memberikan sejumlah presentase
modal untuk berdagang dan mereka mendapatkan bagian dari
keuntungannya.Para ulama sepakat memperbolehkan syirkah ‘inan.
 Syirkah Muwafadhah yaitu dua orang atau lebih melakukan serikat
bisnis dengan syarat adanya kesamaan dalam permodalan,pembagian
keuntungan dan kerugian,kesamaan kerja,tanggung jawab,dan beban
hutang.Syirkah Muwafadhah yang tidak mengandung gharar
hukumnya boleh menurut mayoritas ulama.
2) ‘Amal / Abdan : Syirkah kontark kerja sama antara dua orang atau lebih untuk
menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan
tersebut dengan memanfaatkan fisik mereka.Ulama selain Syafi’iyah dan
Zahiriyah membolehkan jenis syirkah ini.Pendapat yang kuat menyebutkan

4
bahwa syirkah ini boleh karena argumentasi ulama yan memperbolehkan ini
lebih kuat. Jenis syirkah ini juga dibutuhkan manfaatnya bagi masyarakat dan
individu.
3) Wujuh / Nama baik : Syirkah kontrak bisnis antara dua orang atau lebih yang
memiliki reputasi dan respitise baik.Dimana mereka dipercaya untuk
mengembangkan suatu bisnis tanpa adanya modal.Dalam kontrak ini terdapat
dua orang atau lebih berserikat tanpa modal tetapi dengan jaminan nama baik
dan kepercayaan para pedagang kepada keduanya,kemudian keduanya
mendapatkan keuntungan dari penjualan objek yang dipercayakan kepada
mereka.Ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan jenis syirkah
ini,sedangkan Malikiyah dan Syafi’iyah menyebutnya batil karena
mengandung unsur gharar dan tidak didasarkan pada modal dan
pekerjaan.Pendapat yang kuat menyebutkan boleh melakukan Syirkah Wujuh
sepanjang tidak ada unsur gharar dan jelas pekerjaan yang dilakukan dan porsi
keuntungan masing masing.Syirkah Wujuh dipandang mengandung
kemaslahatan.
4) Mudarabah/ qiradh : Transaksi atau perserikatan dua orang atau lebih yang
salah satu pihak memberikan modal dan pihak lainnya melakukan pekerjaan
dan keuntungan dibagi berdua sesuai dengan kesepakatan.Para ulama sepakat
memperbolehkan syirkah ini.Syirkah Mudarabah dibagi menjadi dua yaitu :
 Mudarabah Mutlaqah yaitu pemilik modal memberikan modal kepada
pelaksana usaha tanpa pembatasan jeni
usaha,tempatnya,waktunya,dan orang yang diajak untuk kerja sama.
Pelaksana usaha boleh mendayagunakan modal yang menurut
pandangannya akan mendatangkan kemaslahatan sesuai dengan
kebiasaan bisnis.
 Mudarabah Muqayyadah yaitu pemilik modal meberikan modal
kepada pelaksana usaha dengan menentukan jenis usaha,tempat,dan
waktunya atau menentukan mitra yang diajak bekerjsama dengan
pelaksana usaha.
5) Da’imah dan Mu’aqqatah : Syirkah Da’ima adalah syirkah yang kepemilikan
porsi ra’s al-mal setiap syarik tidak mengalami perubahan sejak akad syirkah
dimulai sampai dengan berakhirnya akad syirkah,baik jangka waktunya
dibatasi(Syirkah Mu’aqqatah) maupun tidak dibatasi.
6) Musyarakah mutanaqishah : adalah syirkah yang kepemilikan porsi ra’s al-mal
salah satu syarik berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh syarik
lainnya.

5
Rukun dan Syarat Syirkah

Rukun syirkah diperselisihkan oleh para ulama. Menurut ulama Hanafiyah


bahwa rukun syirkah ada dua, yaitu ijab dan qabul atau bahasa lainya adalah akad.
Akad yang menentukan adanya syirkah. Syarat-syarat yang berhubungan dengan
syirkah menurut Hanafiyah berikut ini :

1. Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta
maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat yaitu
a) yang berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus
dapat diterima sebagai perwakilan,
b) yang berkenaan dengan keuntungan yaitu pembagian
keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak, misalnya
setengah, sepertiga dan yang lainnya.
2. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta). Dalam hal ini
terdapat dua perkara yang harus dipenuhi
a) bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari
alat pembayaran (nuqud) seperti Riyal, dan Rupiah
b) yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah
dilakukan baik jumlahnya sama maupun berbeda.
3. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadhah bahwa dalam
mufawadhah disyaratkan
a) modal (pokok harta) dalam syirkah mufawadhah harus sama
b) bagi yang bersyirkah ahli untuk kafalah
c) bagi yang dijadikan objek akad disyaratkan syirkah umum,
yakni pada semua macam jual beli atas perdagangan.
Adapun syarat-syarat yang bertalian dengan syirkah inan sama dengan syarat-
syarat syirkah mufawadhah.
Menurut ulama mazhab Malikiyah syarat-syarat bertalian yang bertalian
dengan orang yang melakukan akad ialah merdeka, baligh dan pintar. Syafi’iyah
berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah inan sedangkan
syirkah yang lainnya batal.
Dijelaskan pula oleh Abd al-Rahman al-Jaziri bahwa rukun syirkah adalah dua
orang yang berserikat, subyek dan objek akad syirkah baik harta maupun kerja.
Syarat-syarat syirkah dijelaskan oleh Idris Achmad berikut ini :
 Mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan izin masing-masing anggota
serikat kepada pihak yang akan mengendalikan harta itu.
 Anggota serikat itu saling mempercayai sebab masing-masing mereka adalah
wakil yang lainnya.
 Mencampurkan harta sehingga tidak dapat dibedakan hak masing-masing baik
berupa mata uang maupun bentuk yang lainnya.

6
B. Transaksi Jual Beli Islam

1) Pengertian Jual Beli Dan Dasar Hukum Jual Beli

Pengertian Jual Beli

Jual beli (al-ba’i) atau bisa disebut dengan perdagangan, dalam etimologi
berarti menjual atau mengganti. Dan menurut Bahasa ialah memindahkan hak milik
terhadap benda dengan akad saling mengganti. Adapun menurut Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanabilah dalam buku Dr. Mardani yang berjudul Fiqh Ekonomi
Syariah, bahwa jual beli (al-ba’i) yaitu tukar menukar harta dengan harta pula dalam
bentuk pemindahan milik dan kepemilikan.
Demikian juga menurut pasal 20 ayat 2 Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah, ba’i adalah jual beliantara benda, atau pertukaran antar benda dan uang.
Adapun definisi sebagian ulama yang mengatakan jual beli adalah kegiatan menukar
suatu harta dengan harta yang lain dengan cara khusus merupakan definisi yang
bersifat toleran karena menjadikan jual beli sebagai saling menukar, sebab itu pada
dasarnya akad tidaklah harus saling tukar akan tetapi menjadi bagian konsekuensinya,
kecuali jika dikatakan:akad yang mempunyai sifat saling tukar menukar artinya
menurut adanya satu pertukaran.

Dasar Hukum Jual Beli

Berdasarkan permasalahan yang dikaji menyangkut masalah hidup dan kehidupan


ini, tentunya tidak terlepas dari dasar hukum yang akan dihadapi.
Jual beli ini adalah suatu perkara yang telah dikenal masyarakat sejak zaman
dahulu yaitu sejak zaman para Nabi hingga saat ini. Dan Allah mensyariatkan jual beli
ini sebagai pemberian keluangan dan keleluasaan dari-nya untuk hamba-hambanya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa manusia yang baik
memakan suatu makanan adalah makanan hasil usaha tangannya sendiri. Maksudnya
apabila kita akan menjual atau membeli suatu barang yang diperjual belikan harus
jelas dan halal dan bukan milik orang lain melainkan milik kita sendiri.Adapun dasar
hukum jual beli dalam islam sebagai berkut.

7
Dalam Alquran :

Qs.Albaqarah ayat 275

‫ان ِم َن‬ َّ ُ‫وم الَّ ِذ ي َي تَ َخ بَّ طُه‬


ُ َ‫الش ْي ط‬ ُ ‫ون ِإ اَّل َك َم ا َي ُق‬ َ ‫وم‬ ُ ‫الر بَا اَل َي ُق‬ َ ُ‫ين يَْأ ُك ل‬
ِّ ‫ون‬ ِ َّ
َ ‫ال ذ‬
ِّ ‫ك بِ َأ نَّ ُه ْم قَ الُ وا ِإ مَّنَ ا الْ َب ْي ُع ِم ثْ ُل‬ ِ
‫َأح َّل اللَّ هُ الْ َب ْي َع َو َح َّر َم‬
َ ‫الر بَا ۗ˜ َو‬ َ ‫س ۚ˜ ٰذَ ل‬
ِّ ‫الْ َم‬
˜ۖ ‫ف َو َْأم ُر هُ ِإ ىَل اللَّ ِه‬ ِ ِ ِ
َ َ‫الر بَا ۚ˜ فَ َم ْن َج اءَ هُ َم ْو ع ظَ ةٌ م ْن َر بِّ ه فَ ا ْن َت َه ٰى َف لَ هُ َم ا َس ل‬ ِّ
َ ‫يه ا َخ الِ ُد‬
‫ون‬ ِ
َ ‫ار ۖ˜ ُه ْم ف‬ ِ َّ‫اب الن‬
ُ ‫َأص َح‬ ْ ‫ك‬ َ ‫ُأولَ ِئ‬
ٰ َ‫و م ن ع اد ف‬
َ َ ََْ
Artinya
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.

Qs An-nisa ayat 29

‫جِت َ َار ًة‬ ‫ون‬


َ ‫َأن تَ ُك‬
ْ ِ ‫ي ا َأيُّ ه ا الَّ ِذ ين آم نُ وا اَل تَ ْأ ُك لُ وا َأم و الَ ُك م ب ي نَ ُك م بِ الْ ب‬
‫اط ِل ِإ اَّل‬ َ ْ َْ ْ َ ْ َ َ َ َ
ِ ‫ان بِ ُك ْم‬ ِ ٍ ‫ع ن َت ر‬
‫يم ا‬
ً ‫َر ح‬ َ ‫َك‬ َ‫اض م ْن ُك ْم ۚ˜ َو اَل َت ْق ُت لُ وا َأ ْن ُف َس ُك ْم ۚ˜ ِإ َّن اللَّ ه‬ َ َْ
Artinya
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

Dalam Hadist atau Al-Sunnah


Yakni segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW dalam bentuk
ucapan, perbuatan, dan penetapan yang baik menurut hukum syar’i. Dasar hukum jual
beli yang berdasarkan Sunnah Rasulullah adalah:

ُ َ‫ب َأ ْطي‬
‫رواه االبزار والحاكم‬ – ‫ب ؟ قَا َل َع َم ُل ال َّر ُج ِل ِبيَ ِد ِه َو ُك ُّل َب ْي ٍع َم ْب ُر ْو ٍر‬ ُّ ‫سلَّ َم َأ‬
ْ ‫ي ا ْل َك‬
ِ ‫س‬ َ ‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫سُِئ َل النَّبِ ُّي‬

8
“Nabi saw pernah ditanya; Usaha (pekerjaan/profesi) apakah yang paling baik (paling
ideal) ?, Rasulullah saw bersabda; pekerjaan (usaha) seseorang dengan tangannya dan
setiap jual beli yang baik.” (HR. Bazzar dan al-Hakim)

ٍ ‫ِإنَّ َما ا ْلبَ ْي ُع عَنْ ت ََرا‬


‫رواه البيهقي‬ – ‫ض‬
“Sesungguhnya jual beli (harus) atas dasar saling ridha (suka sama suka).” (HR. Al-Baihaqi)
 

Rukun Dan Syarat Jual Beli.

Jual beli sendiri memiliki rukun dan syarat dimana rukun dan syarat tersebut
harus terpenuhi, dalam akad sehingga jual beli tersebut dapat dinyatakan sah oleh
syara’.Didalam menentukan rukun jual beli itu sendiri juga terdapat perbedaan
pendapat antar ulama. Menurut pendapat ulama Hanafiyah rukun jual beli hanyalah
ada satu, yakni ijab adalah ungkapan membeli dari pembeli dan qabul adalah
ungkapan menjual dari si penjual.Dari penjelasan tersebut bahwasannya yang
menjadikan rukun dalm suatu jual beli yaitu hanyalah kerelaan atau ridha taradhi dari
kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli.
Namun dalam kompilasi Hukum Ekonomi Syariah terdapat unsur jual beli
yakni, adanya pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian jual beli yang terdiri dari
penjual dan pembeli:
a. Pihak lain yang terlibat dalam perjanjian tersebut.
b. Kemudian objek jual beli terdiri atas benda yang dalam keadaanberwujud
dan benda yang tidak berwujud, yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan
begitupun yang terdaftar ataupun yang tidak terdaftar. Syarat objek yang diperjual
belikan adalah, barang yang dijual belikan ada, barang yangdiperjual belikan harus
diserahkan, barang yang diperjual belikanharus memiliki nilai atau harga tertentu,
barang yang diperjualbelikan harus halal, barang yang diperjual belikan
harusdiketahui oleh pembeli.
c. Kesepakatan, dapat dilakukan dengan tulisan, lisan dan isyarat. Ketiganya
memiliki makna hukum yang sama.Menurut ulama hanafiyah juga bahwasannya
orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai tukar barang termasuk dalam
syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.

Namun jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada
empat,yaitu:
a. Orang yang berakad atau al-muta’aqidain yakni penjual dan pembeli
b. Sighat yaitu lafal ijab dan qabul
c. Adanya barang yang dibeli
d. Ada nilai tukar pengganti barang

Kemudian objek jual beli terdiri atas benda yang dalam keadaan berwujud dan
benda yang tidak berwujud, yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan

9
begitupun yang terdaftar ataupun yang tidak terdaftar. Syarat objek yang diperjual
belikan harus diserahkan, barang yang diperjual belikan harus memiliki nilai atau
harga tertentu barang yang diperjual belikan harus halal, barang yang diperjual
belikan harus diketahui oleh pembeli. Adapula syarat-syarat jual beli sesuai dengan
rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama diatas sebagai berikut:

a. Syarat-syarat orang yang berakad.


Para ulama fiqh bersepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu
harus memenuhi syarat:

1) Berakal, oleh sebab itu, jual beli yang dilakukan anak kecil
yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah.
Adapun anak kecil yang telah mumayiz, menurut ulama
hanfiyah, apabila akad yang dilakukannya membawa
keuntungan bagi dirinya, seperti menerima hibah, wasiat, dan
sedekah, maka akadnya sah. Sebaliknya, apabila akad itu
membawa kerugian bagi dirinya, seperti meminjamkan
hartanya kepada orang lain, mewakafkan, atau
menghibahkannya, maka tindakan hukumnya tidak boleh
dilaksanakan. Apabila transaksi yang dilakukan anak kecilyang
telah mumayiz mengandung manfaat dan mudarat sekaligus,
seperti jual beli, sewa menyewa, dan perserikatan dagang,
maka transaksi ini hukumnya sah jika walinya mengizinkan.
Dalam kaitan ini, wali anak kecil yang telah mumayiz ini
benar-benar mempertimbangkan kemaslahatan anak kecil itu.
Jumhur ulama perpendirian bahwa orang yang melakukan akad
jual beli itu harus telah baligh dan berakal.Apabila orang yang
berakad itu masih mumayiz, maka jual belinya tidak sah,
sekalipun mendapat izin dari walinya.

2) Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. Artinya


seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan
sebagai penjual sekaligus sebagai pembeli. Misalnya, Rahman
menjual sekaligus membeli barangnya sendiri, maka jual
belinya tidak sah

b. Syarat-syarat yang terkait dengan ijab dan qabul.

 Orang yang mengucapkan yakni sudah baligh dan


berakal, menurut jumhur ulama, atau telah berakal
menurut ulama hanafiyah di dalam buku Fiqh
muamalat, yang disesuaikan dengan perbedaan mereka

10
dalam syarat-syarat orang yang melakukan akad yang
telah disebutkan diatas.

 Qabul yang sesuai dengan ijab. Semisal, penjual


berkata: ‚saya jual pensil ini seharga Rp. 3000,-‚,
kemudian pembeli menjawab: ‚saya beli pensil ini
dengan harga Rp.3000,-‚. Apabila dianatara ijab dan
qabul tidak sesuai maka jual beli yang dilakukan tidak
sah.

 Ijab dan qabul yang dilakukan dalam suatu majelis.


Yakni, diantara kedua belah pihak yang telah
melakukan jual beli hadir dalam perbincangan dengan
topik yang sama. Dan apabila penjual mengatakan ijab,
lalu kemudian si pembeli berdiri sebelum mengucapkan
qabul, atau pembeli melakukan aktifitas lain yang tidak
ada kaitannya dengan masalah jual beli, kemudian
mengucapkan qabul, maka menurut kesepakatan yang
dilakukan ulama fiqh, jual beli tersebut tidaklah sah
sekalipun mereka memiliki pendirian bahwa ijab
tidaklah harus dijawab langsung dengan qabul. Dalam
kaitannya hal ini, ulama Hanafiyah dan Malikiyah
mengatakan bahwa antara ijab dan qabul boleh saja
diantarai oleh waktu, yang diperkirakan bahwa pihak
pembeli sempat untuk berfikir. Namun, ulama
syafi’iyah dan hanabila memiliki pendapat bahwa jarak
antara ijab dan qabul tidak terlalu lama yang dapat
menimbulkan dugaan bahwa objek pembicaraan telah
berubah. Namun pada saat modernisasi berkembang,
wujud ijab dan qabul tidak lagi diucapkan, namun
dilakukan dengan sikap mengambil barang dan
membayar uang dari pembeli, serta menerima dengan
mensyaratkan barang dari penjual tanpa ucapan
apapun.Semisal, jual beli yang berlangsung di toko
asatu swalayan.Di dalam fiqh Islam, jual beli seperti ini
disebut dengan ba’i al-mu’athah.

c. Syarat-syarat barang yang diperjual belikan (ma’qud ‘alaih)

11
Barangnya harus ada, atau tidak ada ditempat, namun pihak dari
penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
Semisalnya ada sebuah toko karena tidak memungkinkan untuk memajang
barang seluruhnya maka sebagian yang lain diletakkan pedagang di gudang
atau masih di pabrik, tetapi secara untuk meyakinkan barang tersebut boleh di
hadirkan sesuai dengan persetujuan pembeli dan penjual. Dapat dimanfaatkan
dan bermanfaat bagi manusia. Oleh karena itu bangkai, khamar, dan darah
tidaklah sah menjadi objek dalam jual beli, dikarenakan dalam pandangan
syara’ benda-benda seperti itu tidaklah bermanfaat bagi orang muslim. Adalah
milik seseorang, barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang tidak boleh
diperjual belikan, seperti semisal memperjual belikan ikan dilaut atau emas
dalam tanah, karena ikan dan emas ini belum dimiliki oleh penjual. Di
perbolehkan untuk di serahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang
telah disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.

2) Macam-macam jual beli

Secara garis besar dalam islam dikenal beberapa bentuk dan jenis jual beli adapun
secara gelobalnya jual beli dibagi kedalam dua bagian besar

1. Jual beli sahih

Jual beli sahih yaitu apabila jual beli itu disyar'iatkan memenuhi rukun dan syarat
yang telahhh ditentukan

a. Menyakiti si penjual
b. Menyempitkan gerakan pasar
c. Merusak ketentuan umum

2. Jual beli yang batal atau fasid

Batal adalah tidak terwujudnya pengaruh amal pada perbuatan di dunia karena
melakukan perintah syara' dengan meninggalkan syarat dan rukun yang
mewujudkannya. Jual beli yang batal adalah apabila salah satu rukunnya dan
syaratnya tidak terpenuhi
~macam-macam jual beli yang batal dan jenisnya adalah
a. Jual beli buah yang belum muncul di pohonnya
b. Menjual barang yang tidak bisa diserahkan pada pembeli
c. Jual beli yang mengandung unsur penipuan
d. Jual beli Takaran dalam islam

12
C. Transaksi Ekonomi Lainnya dalam Ekonomi Islam

1. Wadiah

Pengertian Wadiah
Wadiah secara istilah menurut Ihkwan Abidin Basri (2007) adalah
akad seseorang kepada pihak lain dengan menitipkan suatu barang untuk
dijaga secara layak (menurut kebiasaan). Atau ada juga yang mengartikan
wadiah secara istilah adalah memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk
menjaga hartanya/ barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan
isyarat yang semakna dengan itu”.
Dalam bidang ekonomi syariah, wadiah adalah titipan nasabah yang
harus dijaga dan dikembalikan setiap saat nasabah yang bersangkutan
menghendaki. Bank bertanggungjawab atas pengembalian titipan tersebut.
Pengertian Wadiah Secara Terminologi yaitu Ulama mahzab Hanafi
mengartikan wadiah adalah memberikan wewenang kepada orang lain untuk
menjaga hartanya. Contohnya seperti ada seseorang menitipkan sesuatu pada
seseorang dan si penerima titipan menjawab ia atau mengangguk atau dengan
diam yang berarti setuju, maka akad tersebut sah hukumnya. “mengikut
sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas
maupun isyarat” Sedangkan mahzab Maliki, Syafi’i, Hanabilah mengartikan
wadiah adalah mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan
cara tertentu. “mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan
cara tertentu“.

Rukun Wadiah

Rukun wadiah berdasarkan mahzab yang dianutnya, dapat dibedakan


menjadi dua, yaitu:
a. Menurut Imam Abu Hanafi, rukun wadiah hanya ijab dan qabul.

b. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun wadiah ada tiga, yaitu :

1) Wadiah Wadiah adalah barang yang dititipkan, adapun syaratnya


adalah:
a) Barang yang dititipkan harus dihormati (muhtaramah) dalam
pandangan syariat.
b) Barang titipan harus jelas dan bisa dipegang atau dikuasai. Jadi,
barang yang dititipkan dapat diketahui identitasnya dan dapat dikuasai untuk
dipelihara.

13
2) Sighat
Sighat adalah akad, adapun syaratnya adalah lafadz dari kedua belah
pihak dan tidak ada penolakannya dari pihak lainnya. Dan lafadz tersebut
harus dikatakan di depan kedua belah pihak yang berakad (Mudi’ dan wadii’) .
3) Orang yang berakad
Orang yang berakad ada dua pihak yaitu Orang yang menitipkan (Mudi’) dan
Orang yang dititipkan (Wadii’). Adapun syarat dari orang yang berakad
adalah :
a) Baligh
b) Berakal
c) Kemauan sendiri, tidak dipaksa.
Dalam mazhab Hanafi baligh dan telah berakal tidak dijadikan syarat
dari orang yang berakad, jadi anak kecil yang dizinkan oleh walinya boleh
untuk melakukan akad wadiah ini.

Dasar Hukum Wadiah


Terdapat dalam firman Allah yaitu Al-quran :
An-Nisa ayat 58

˜َ ‫س˜ َأ ْ˜ن˜ تَ˜ ْ˜ح˜ ُك˜ ُم˜ و˜ا˜ بِ˜ ا ْ˜̃ل˜ َع˜ ْد˜ ِل˜ ۚ˜ ِإ َّن˜ هَّللا‬ ِ ˜‫ِإ َّن˜ هَّللا َ˜ يَ˜ ْأ ُم˜ ُر˜ ُك˜ ْم˜ َأ ْ˜ن˜ تُ˜˜َؤ ُّد˜ و˜ا˜ ̃ا َأْل َم˜ ا˜نَ˜ ا‬
ِ ˜‫ت˜ ِإ ̃لَ˜ ٰ˜ى˜ َأ ْه˜ لِ˜ هَ˜ ا˜ َو˜ ِإ َذ˜ ا˜ َح˜ َك˜ ْم˜ تُ˜ ْم˜ بَ˜ ْي˜ َ˜ن˜ ̃ا ل˜نَّ˜ ا‬
˜ِ ˜َ‫نِ˜ ِع˜ َّم˜ ا˜ يَ˜ ِع˜ ظُ˜ ُك˜ ْم˜ بِ˜ ِه˜ ۗ˜ ِإ َّن˜ هَّللا َ˜ َك˜ ا˜ َ˜ن˜ َس˜ ِم˜ ي˜ ًع˜ ا˜ ب‬
‫ص˜ ي˜ ًر˜ ̃ا‬
Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Al-Baqarah ayat 283

ً ˜‫ض˜ ُك˜ ْم˜ بَ˜ ْ˜ع‬


˜‫ض˜ ا‬ ُ ˜‫ض˜ ةٌ˜ ۖ˜ فَ˜ ِإ ْ˜ن˜ َأ ِم˜ َ˜ن˜ بَ˜ ْع‬ ˜َ ˜‫َ˜و˜ ِإ ْ˜ن˜ ُك˜ ْن˜ تُ˜ ْم˜ َع˜ ̃لَ˜ ٰ˜ى˜ َس˜ فَ˜ ٍر˜ َ˜و˜ لَ˜ ْم˜ تَ˜ ِ˜ج˜ ُد˜ و˜̃ا َك˜ ا˜تِ˜ بً˜ ا˜ فَ˜ ِر˜ هَ˜ ا˜ ٌ˜ن˜ َم˜ ْق˜ بُ˜ و‬
˜ُ‫ق˜ هَّللا َ˜ َر˜ ب˜َّ˜ هُ˜ ۗ˜ َو˜ اَل تَ˜ ْك˜ تُ˜ ُم˜ و˜ا˜ ا˜̃ل َّش˜ هَ˜ ا˜ َد˜ ةَ˜ ۚ˜ َ˜و˜ َم˜ ْ˜ن˜ يَ˜ ْك˜ تُ˜ ْم˜ هَ˜ ا˜ فَ˜ ِإ نَّ˜ ه‬ ِ ˜َّ‫فَ˜ ْ˜̃ل˜ يُ˜˜َؤ د˜ِّ˜ ا˜̃لَّ˜ ِذ˜ ي˜ ̃ا ْؤ تُ˜ ِم˜ َ˜ن˜ َأ َم˜ ا˜نَ˜ تَ˜ هُ˜ َو˜ ْل˜ يَ˜ ت‬
˜ٌ‫آ˜ثِ˜ ٌم˜ قَ˜ ْ˜̃ل˜ بُ˜ هُ˜ ۗ˜ َو˜ هَّللا ُ˜ بِ˜ َم˜ ا˜ تَ˜ ْع˜ َم˜ ̃لُ˜ و˜ َ˜ن˜ َع˜ لِ˜ ي˜م‬

Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

14
Jenis-jenis Wadiah
Berdasarkan sifat akadnya, wadiah dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu:

a. Wadiah Yad Amanah

Wadiah yad amanah adalah akad penitipan barang di mana


pihak penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang uang
yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau
kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau
kelalaian penerima. Hadis Rasulullah menyebutkan bahwa “ Jaminan
pertanggung jawaban tidak diminta dari peminjam yang tidak menyalah
gunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap titipan
tersebut.”
Ada lagi dalil yang menegaskan bahwa Wadi`ah adalah Akad Amanah
(tidak ada jaminan) adalah:

1) Amr Bin Syua`ib meriwayatkan dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa


Nabi SAW bersabda: “Penerima titipan itu tidak menjamin”.
2) Karena Allah menamakannya amanat, dan jaminan bertentangan
dengan amanat. Penerima titipan telah menjaga titipan tersebut tanpa
ada imbalan (tabarru).

Dengan konsep al-wadi’ah yad al-amanah, pihak yang


menerima tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang
yang dititipkan, tetapi benar-benar menjaganya sesuai kewajiban.

Karakteristik dari Wadiah yad Amanah adalah:

1) Penerima titipan (Custodian) adalah yang memperoleh kepercayaan


(trustee)

2) Harta / modal / barang yang berada dalam titipan harus dipisahkan

3) Harta dalam titipan tidak dapat digunakan

4) Penerima titipan tidak mempunyai hak untuk memanfaatkan


simpanan

5) Penerima titipan tidak diharuskan mengganti segala resiko


kehilangan atau kerusakan harta yang dititipkan kecuali bila
kehilangan atau kerusakan itu karena kelalaian penerima titipan
atau bila status titipan telah berubah menjadi Wadiah Yad
Dhamanah

b. Wadiah yad dhamanah

15
Wadiah yad dhamanah adalah Akad penitipan barang di mana
pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang dapat
memanfaatkan barang titipan dan harus bertanggung jawab terhadap
kehilangan atau kerusakan barang. Semua manfaat dan keuntungan yang
diperoleh dalam penggunaan barang tersebut menjadi hak penerima
titipan.
Sesuai dengan hadis Rasulullah SAW “Diriwayatkan dari Abu
Rafie bahwa Rasulullah SAW pernah meminta seseorang untuk
meminjamkannya seekor unta. Maka diberinya unta qurban (berumur
sekitar dua tahun), setelah selang beberapa waktu, Rasulullah SAW
memerintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada
pemiliknya, tetapi Abu Rafie kembali kepada Rasulullah SAW seraya
berkata,” Ya Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada
hanya unta yang besar dan berumur empat tahun. Rasulullah SAW berkata
“Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang
terbaik ketika membayar.” (H.R MUSLIM) .

Wadi`ah dalam presfektif pelaksanaan perbankan islam hampir


bersamaan dengan al-qardh yaitu pemberian harta atas dasar sosial untuk
dimanfaatkan dan harus dibayar dengan sejenisnya Juga hampir sama
dengan al-iddikhar yakni menyisihkan sebahagian dari pemasukan untuk
disimpan dengan tujuan investasi. Keduanya sama-sama akad tabarru
yang jadi perbedaan terdapat pada orang yang terlibat didalmnya dimana
dalam wadi`ah pemberi jasa adalah mudi`, sedangkan dalam al-qardh
pemberi jasa adalah muqridh (pemberi pinjaman).

Dengan konsep al wadiah yad adh-dhamah, pihak yang


menerima titipan boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau
barang yang dititipkan. Tentunya, pihak bank dalam hal ini mendapatkan
bagi hasil dari pengguna dana. Bank dapat memberikan insentif kepada
penitip dalam bentuk bonus.

Ciri-ciri dari wadiah yad adh-dahamah adalah:

1) Penerima Titipan adalah dipercaya dan penjamin keamanan barang


yang dititipkan
2) Harta dalam titipan tidak harus dipisahkan

3) Harta/modal/barang dalam titipan dapat digunakan untuk perdagangan

4) Penerima titipan berhak atas pendapatan yang diperoleh dari


pemanfaatan harta titipan dalam perdagangan

16
5) Pemilik harta / modal / barang dapat menarik kembali titipannya
sewaktu- waktu

Keuntungan Dalam Wadiah

Ulama berbeda pendapat mengenai pengambilan laba atau bonusnya,


perbedaan itu adalah:

a. Menurut ulama Syafi’iyah, tidak boleh mengambil keuntungan atau


bonus yang tidak disyaratkan diawal akad dari pemanfaatan barang
yang dititipkan dan akadnya bisa gugur.

b. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah boleh menerima


laba yang diberikan oleh orang yang dititipi.

c. Sedangkan apabila imbalan yang diterima dari bank berupa bunga,


maka ulama Hanafiah mengatakan keuntungan tersebut harus
disedekahkan, sedangkan menurut ulama Maliki keuntungan tersebut
harus diserahkan ke baitul mal (kas negara).

2. Al-Ijarah
Menurut bahasa kata ijarah berasal dari kata “alajru”yang
berarti “al-iwadu” (ganti) dan oleh sebab itu “ath-thawab”atau (pahala)
dinamakan ajru (upah).Lafal al-ijarah dalam bahasa arab berarti upah, sewa,
jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu bentuk muamalah dalam
memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-meyewa, kontrak, atau
menjual jasa perhotelan dan lain-lain.
Secara terminology, ada beberapa definisi al-ijarah yang
dikemukakan para ulama fiqh. Menurut ulama Syafi‟iyah, ijarah adalah akad
atas suatu kemanfaatan dengan pengganti. Menurut Hanafiyah bahwa ijarah
adalah akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang di ketahui dan di
sengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.

Dasar Hukum ijarah

Hukum ijarah dapat diketahui dengan mendasarkan pada teks-


teks al-Qur‟an, hadist-hadist Rasulullah, dan Ijma‟ ulama fikih sebagai
berikut:
a. Berdasarkan Al-quran

17
ِ ِ ِ ِ
َ‫ات يُ ْر ض ْع َن َْأو اَل َد ُه َّن َح ْو لَ نْي ِ َك ام لَ نْي ِ ۖ˜ ل َم ْن ََأر اد‬ ُ ‫َو الْ َو ال َد‬
˜ۚ‫وف‬ِ ‫ود لَ ه ِر ْز ُق ه َّن و كِ س و ُت ه َّن بِ الْ م ع ر‬ ِ َّ ‫َأن يُتِ َّم‬
ُْ َ ُ َْ َ ُ ُ ُ‫اع ةَ ۚ˜ َو َع لَ ى الْ َم ْو ل‬ َ ‫ض‬ َ ‫الر‬ ْ
ِ ِ
ٌ ُ‫ض َّار َو ال َد ةٌ بِ َو لَ د َه ا َو اَل َم ْو ل‬
ُ‫ود لَ ه‬ َ ُ‫س ِإ اَّل ُو ْس َع َه ا ۚ˜ اَل ت‬ ٌ ‫ف َن ْف‬ ُ َّ‫اَل تُ َك ل‬
‫اض ِم ْن ُه َم ا‬ ِ ِ ِِ
ٍ ‫ص ا اًل َع ْن َت َر‬ َ ‫ك ۗ˜ فَ ِإ ْن ََأر َاد ا ف‬ َ ‫بِ َو لَ د ه ۚ˜ َو َع لَ ى الْ َو ِار ِث ِم ثْ ُل َٰذ ل‬
‫َأن تَ ْس َت ْر ِض عُ وا َْأو اَل َد ُك ْم فَ اَل‬ْ ْ‫اح َع لَ ْي ِه َم ا ۗ˜ َو ِإ ْن ََأر ْد مُت‬َ َ‫او ٍر فَ اَل ُج ن‬ ُ ‫َو تَ َش‬
ِ
‫اع لَ ُم وا‬ْ ‫اح َع لَ ْي ُك ْم ِإ ذَ ا َس لَّ ْم تُ ْم َم ا آ َت ْي تُ ْم بِ الْ َم ْع ُر وفۗ˜ َو َّات ُق وا اللَّ هَ َو‬
َ َ‫ُج ن‬
ِ َ ُ‫َأن اللَّ ه مِب َ ا َت ع م ل‬
ٌ‫ون بَص ري‬ َْ َ َّ
Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang
ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya
dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.

An-Nahl ayat 97

˜ۖ ً‫ُأ ْن ثَ ٰى َو ُه َو ُم ْؤ ِم ٌن َف لَ نُ ْح يِ َي نَّهُ َح يَ ًاة طَ يِّ بَ ة‬ ‫ذَ َك ٍر َْأو‬ ‫ص ا حِلً ا ِم ْن‬ ِ


َ ‫َم ْن َع م َل‬
‫ون‬
َ ُ‫َم ا َك انُوا َي ْع َم ل‬ ْ ِ‫ب‬
‫َأح َس ِن‬ ْ ‫َو لَ نَ ْج ِز َي َّن ُه ْم‬
‫َأج َر ُه ْم‬
Artinya : Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.

b. Berdasarkan Hadist
Abu Hurairah Rasulullah Saw bersabda yang artinya :

18
“Ðari Abdullah bin „Umar ia berkata: telah bersabda Rasulullah
“berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”. (HR. Ibnu
Majah)
Dalam hadist riwayat Bukhari yang artinya :
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Bahwasanya Rasulullah SAW,
pernah berbekam,kemudiaan memberikan kepada tukang bekam
tersebut upahnya”. (HR Bukhari)

c. Berdasarkan Ijma’
Para ulama sepakat bahwa ijarah itu dibolehkan dan
tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma‟)
ini.Jelaslah bahwa Allah SWT telah mensyariatkan ijarah ini yang
tujuannya untuk kemaslahatan umat, dan tidak ada larangan untuk
melakukan kegiatan ijarah. Jadi, berdasarkan nash al-Qur‟an,
Sunnah (hadis) dan ijma‟ tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa
hukum ijarah atau upah mengupah boleh dilakukan dalam islam
asalkan kegiatan tersebut sesuai dengan syara‟.

Rukun dan Syarat Ijarah

Rukun Ijarah Menurut Hanafiyah, rukan dan syarat ijarah hanya ada satu,
yaitu ijab dan qabul, yaitu pernyataan dari orang yang menyewa dan
meyewakan.Sedangkan menurut jumhur ulama, Rukun-rukun dan syarat
ijarah ada empat, yaitu Aqid (orang yang berakad), sighat, upah, dan manfaat.
Ada beberapa rukun ijarah di atas akan di uraikan sebagai berikut:

1) Aqid (Orang yang berakad)

Orang yang melakukan akad ijarah ada dua orang yaitu mu’jir dan
mustajir. Mu’jir adalah orang yang memberikan upah atau yang
menyewakan. Sedangkan Musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk
melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu.

2) Sighat (Akad)

Yaitu suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan
qabul adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang
berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad ijarah.

19
3) Ujroh (upah)

Ujroh yaitu sesuatu yang diberikan kepada musta’jir atas jasa yang
telah diberikan atau diambil manfaatnya oleh mu’jir. Dengan syarat
hendaknya :

a. Sudah jelas/sudah diketahui jumlahnya. Karena ijarah akad timbal


balik, karena itu iijarah tidak sah dengan upah yang belum diketahui.
b. Pegawai khusus seperti hakim tidk boleh mengambil uang dari
pekerjaannya, karena dia sudah mendapatkan gaji khusus dari pemerintah.
Jika dia mengambil gaji dari pekerjaannya berarti dia mendapat gaji dua kali
dengan hanya mengerjakan satu pekerjaan saja.
c. Uang yang harus diserahkan bersamaan dengan penerimaan barang
yang disewa. Jika lengkap manfaat yang disewa, maka uang sewanya harus
lengkap.

4) Manfaat

Di antara cara untuk mengetahui ma’qud alaih (barang) adalah dengan


menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis
pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.Semua harta benda
boleh diakadkan ijarah di atasnya, kecuali yang memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. Manfaat dari objek akad sewa-menyewa harus diketahui
secara jelas. Hal ini dapat dilakukan, misalnya dengan
memeriksa atau pemilik memberika informasi secara
transparan tentang kualitas manfaat barang.

b. Objek ijarah dapat diserahterimakan dan dimanfaatkan secara


langsung dan tidak mengandung cacat yang menghalangi
fungsinya. Tidak dibenarkan transaksi ijarah atas harta benda
yang masih dalam penguasaan pihak ketiga.

c. Objek ijarah dan manfaatnya tidak bertentangan dengan


Hukum Syara‟. Misalnya menyewakan VCD porno dan
menyewakan rumah untuk kegiatan maksiat tidak sah.

d. Objek yang disewakan manfaat langsung dari sebuah benda.


Misalnya, sewa rumah untuk ditempati, mobil untuk
dikendarai, dan sebagainya. Tidak dibenarkan sewa-menyewa
manfaat suatu benda yang sifatnya tidak langsung. Seperti,
sewa pohon mangga untuk diambil buahnya, atau sewa-

20
menyewa ternak untuk diambil keturunannya, telurnya,
bulunya ataupun susunya.

e. Harta benda yang menjadi objek ijarah haruslah harta benda


yang bersifat isty’mali, yakni harta benda yang dapat
dimanfaatkan berulangkali tanpa mengakibatkan kerusakan
zat dan pengurusan sifatnya. Sedangkan harta benda yang
bersifat istihlaki adalah harta benda yang rusak atau
berkurang sifatnya karna pemakaian. Seperti makanan, buku
tulis, tidak sah ijarah diatasnya

Syarat Ijarah

Menurut M. Ali Hasan syarat-syarat ijarah adalah :

1) Syarat bagi kedua orang yang berakad adalah telah baligh dan
berakal (Mazhab Syafi‟i Dan Hambali).

2) Kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan


kerelaannya untuk melakukan akad Ijarah itu, apabila salah
seorang keduanya terpaksa melakukan akad maka akadnya
tidak sah.

3) Manfaat yang menjadi objek Ijarah harus diketahui secara


jelas, sehingga tidak terjadi perselisihan dibelakang hari jika
manfaatnya tidak jelas. Maka, akad itu tidak sah

4) Objek Ijarah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara


langsung dan tidak ada cacatnya

5) Objek Ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara. Oleh


sebab itu ulama fikih sependapat bahwa tidak boleh menggaji
tukang sihir, tidak boleh menyewa orang untuk membunuh
(pembunuh bayaran), tidak boleh menyewakan rumah untuk
tempat berjudi atau tempat prostitusi (pelacuran). Demikian
juga tidak boleh menyewakan rumah kepada non-muslim
untuk tempat mereka beribadat.

21
Macam-macam Ijarah

Ijarah terbagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut :

a. Ijarah atas manfaat, disebut juga sewa-menyewa.


Dalam ijarah bagian pertama ini, objek akadnya adalah manfaat
dari suatu benda.
Al-ijarah yang bersifat manfaat, umpamanya adalah sewa menyewa
rumah, kendaraan, pakaian, dan perhiasan. Apabila manfaat itu
merupakan manfaat yang dibolehkan syara‟ untuk dipergunakan,
maka para ulama fiqh sepakat menyatakan boleh dijadikan objek
sewa-menyewa.

b. Ijarah atas pekerjaan, disebut juga upah-mengupah .


Dalam ijarah bagian kedua ini, objek akadnya adalah amal atau
pekerjaan seseorang.
Al-ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara memperkerjakan
seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Al-ijarah seperti ini,
hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas, seperti buruh
bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, tukang salon, dan tukang
sepatu.

3. Ju’alah

Secara bahasa, makna al Ju’alah di dalam al Mu’jam al Wasith sebagai


berikut
“ Apa saja yang dijadikan untuk upah atau risywah(sogokan).” Adapun di
dalam Kamus al Bisri2 , kalimat al Ju‟alah berarti (‫الجائشة‬/hadiah/persen) dan
juga berarti (‫ العمىلة‬/komisi). Secara bahasa makna al Ju’alah adalah
upah/imbalan atas suatu perjanjian dalam sebuah muamalah.

Dasar Hukum Ju’alah

Menurut Alquran

Di dalam al Qur‟an, Alloh SWT menerangkan model aplikasi al Ju’alah pada


kisah Nabi Yusuf alaihissalam beserta saudara-saudaranya. Tepatnya di
dalam surat Yusuf ayat ke-72. Alloh SWT berfirman:

˜‫ص˜ َو˜ ̃ا َع˜ نَ˜ ْف˜ قِ˜ ُد˜ قَ˜ ا˜لُ˜ و˜ا‬ ِ ˜ِ‫َ˜ز˜ ِ˜ع˜ ي˜ ٌم˜ بِ˜ ِه˜ َ˜و˜ َأ نَ˜ ا˜ بَ˜ ِع˜ ي˜ ٍر˜ ِح˜ ْم˜ ُل˜ بِ˜ ِه˜ َج˜ ا˜ َء˜ َو˜ ̃لِ˜ َم˜ ْ˜ن˜ ا ْ˜̃ل˜ َم˜ ̃ل‬
ُ ˜‫ك‬

22
Artinya : “Penyeru-penyeru itu berkata, "Kami kehilangan gelas piala Raja,
dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan
(seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".

Menurut Hadist

Dalil al Ju’alah dalam hadits adalah hadis riwayat Imam Bukhari dari
Abu Sa‟id al Khudri tentang kisah sekelompok sahabat yang sedang safar
kemudian me-ruqyah pemimpin sebuah kampung yang digigit ular dengan
surat al Fatihah.
Yang Artinya:

“ Dari abu Said al Khudri rodhiyallahu anhu berkata, „Sekelompok sahabat


Nabi SAW telah bersafar sehingga mereka sampailah ke sebuah
perkampungan dari perkampungan suku Arab dan meminta izin untuk
singgah di dalamnya. Namun, saat itu penghuni kampung tersebut enggan
menerima mereka. Pada saat itu pemimpin kampung tersebut dipatok ular dan
mereka telah berusaha sekuat tenaga untuk mengobatinya akan tetapi belum
ada hasilnya. Sebagian dari penghuni kampung tersebut berkata kepada
kawannya, “Seandainya sebagian dari kalian datang kepada kafilah tersebut
dengan harapan ada salah seorang di antara mereka yang mempunyai sesuatu
yang bisa dijadikan untuk obat.” Maka, sebagian dari mereka benar-benar
mendatangi kafilah sahabat tersebut. Kemudian berkata kepada mereka,
„Wahai kaum sekalian, sesungguhnya pemimpin desa kami telah digigit ular
dan kami berusaha sekuat tenaga untuk mengobatinya namun belum ada
hasilnya, Apakah ada salah seorang di antara kalian yang mempunyai
obatnya?
Maka, sebagian di antara sahabat tersebut menjawab, „Ya, demi Allah
sungguh aku akan me-ruqyah-nya. Namun, bukankah kami telah meminta
izin singgah dan kalian semua merasa keberatan? Tidaklah jadi soal. Lantas
bagaimana kalau seandainya kalian beri imbalan atas jerih payah kami jika
ternyata kami bisa mengobati atas izin Alloh ? Maka, orang kampung
tersebut menyetujuinya dan menjadikan imbalannya adalah sekumpulan
kambing( dalam riwayat Bukhori dari jalur yang lain 30 kambing ).
Kemudian bergegaslah sahabat yang mewakili tersebut menuju rumahnya
untuk me-ruqyah-nya. Setelah sampai, maka meludahlah sahabat tersebut dan
dibacakan padanya “al hamdulillahi robbil ‘alamin (surat al Fatihah).
Seketika itu kondisi pemimpin kampung tersebut berangsur sembuh dan bisa
berjalan seperti sedia kala. Setelah kejadian tersebut maka dipenuhilah janji
pemberian imbalan atas amal yang dilakukan sahabat tersebut dan kemudian
dia kembali lagi bersama kafilah. Setelah sampai kepada rekannya berkatalah
sebagian di antara mereka, „Bagilah imbalan tersebut dengan kami!‟ Maka
diapun menjawab, „Jangan kau lakukan hal itu sebelum kita datang kepada
Rosululloh SAW dan menceritakan apa yang terjadi kemudian baru kita

23
lakukan apa yang diperintahkan Rasululloh SAW kepada kita.‟ Lalu
menghadaplah mereka kepada Rosululloh SAW dan menceritakan apa yang
terjadi kepada Nabi SAW. Setelah Nabi mendengar hal tersebut kemudian
Beliau bertanya, „Bagaimana kalian tahu bahwa surat al Fatihah adalah ayat
ruqyah? Sungguh tepat sekali apa yang kalian lakukan!” Kemudian Nabi
SAW melanjutkan perkataannya. „ Sekarang bagilah hasil yang kalian
dapatkan dan sertakan aku dalam pembagian tersebut. Mak saat itu tertawalah
Rosululloh SAW dengan hal tersebut.” (HR.al Bukhori: 2276)

Hadist inilah yang menjadi dalil yang sangat sharih (jelas) akan
bolehnya Ju’alah dalam Islam dan berserikat/bagi hasil terhadap imbalan
yang diberikan. Apa yang dilakukan sahabat tersebut adalah satu amalan
yang sama sekali tidak diingkari oleh Nabi SAW. Tidak adanya pengingkaran
tersebut mengindikasikan bahwa amalan itu merupakan amalan yang sah dan
tidak diharamkan dalam Islam. Kemudian dikuatkan dalam akhir hadits
bahwa Nabi SAW berharap agar disertakan dalam pembagian.

Syarat-syarat Ju’alah

Muamalah Al Jua‟alah akan menjadi sah jika terpenuhi syarat-syarat


sebagai berikut:

a. Shighat atau akad yang menunjukkan pekerjaan yang akan


diberi imbalan. Lafazh shighat harus jelas dan mudah
dipahami serta berisi janji untuk memberikan imbalan atas
amal yang ditentukan. Seperti perkataan “Barang siapa yang
bisa menghafal 12 juz al Qur‟an dalam 1 tahun, maka
baginya imbalan uang Rp.10.000.000 misalnya. Seandainya
ada seorang yang beramal tanpa sepengetahuan yang
memberikan janji, atau seandainya orang yang
mengucapkan tersebut telah menunjuk orang tertentu
kemudian ada orang lain yang beramal semisalnya, dan
menyelesaikan tugasnya, maka dia tidak wajib mendapatkan
imbalan. Sebab, pada dasarnya orang yang beramal tanpa
mengetahui amal tersebut adalah Ju‟alah dia beramal
sukarela saja. Isyarat seorang yang bisu dalam shighat
namun bisa dipahami, maka hal tersebut kedudukannya
seperti halnya shighat yang sah.

b. Upah/ Imbalan. Imbalan ini harus jelas dan tidak samar.


Maka, tidak boleh seperti “Barangsiapa menemukan motor
saya, maka baginya hadiah menarik. Hal demikian
merupakan akad Ju’alah yang rusak. Karena imbalan dalam

24
akad tersebut tidak jelas. Begitu juga tidak boleh upah yang
dijanjikan dalam Ju’alah dari sesuatu yang haram seperti
khamr, daging babi, atau barang-barang curian. Hendaknya
upah yang diberikan sebanding dengan beratnya amal
pekerjaan.

c. Orang yang Menjanjikan Upah. Orang yang menjanjikan


upah tidak harus yang mempunyai hajat, namun boleh siapa
saja yang bersedia memberikan upahnya.

d. Pekerjaan yang mubah. Pekerjaan yang terkait dengan


Ju’alah haruslah bukan pekerjaan yang haram seperti
berjudi, zina, dukun, atau mendzolimi sesama muslim.
Namun, pekerjan tersebut yang sifatnya mubah di dalam
Islam. Maka, tidak boleh bahkan haram mengikuti Ju’alah
seperti, “Barangsiapa yang bisa menyantet fulan (seorang
muslim), maka baginya imbalan sebesar 10 juta rupiah.”
misalnya.” .

Dalam masalah syarat ini Wahbah al Zuhaili menyebutkan ada 3


Syarat.
1. Ahliyatu ta’aqud (berkompeten). Maksud dari berkompeten dalam masalah ini
mencakup 3 sisi yaitu:

a. Baligh.
b.Aqil/Berakal.
c. Rosyid/Rasional. Oleh karena itu, tidak sah Ju’alah dari orang yang belum baligh
(kecil) atau orang gila ataupun orang yang tidak bisa berfikir secara rasional.

2. Imbalan yang jelas

3. Hendaknya manfaat yang didapatkan benar-benar riil serta dibolehkan secara


syar‟i. Maksud dibolehkan manfaatnya secara syar‟i yaitu bukan dalam
perkara yang diharamkan syariat seperti musik, zina, khamr dan lain-lain.

25
4. Sharf

Pertukaran mata uang asing dalam istilah bahasa Inggris dikenal


dengan money changer atau foreign exchange, dalam bahasa arab sering
disebut dengan kata al-sharf . Dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah
disebutkan bahwa alsharf berarti menjual uang dengan uang lainnya. Secara
bahasa, pertukaran mata uang asing atau al-sharf mempunyai arti Al-Ziyadah
(tambahan), penukaran, penghindaran, atau transaksi jual beli.
Sedangkan secara istilah atau terminology, terdapat beberapa definisi,
dari beberapa ulama’ sebagai berikut:

4. Wahbah Al-Zuhaili mengatakan, Al-Sharf ialah pertukaran mata uang dengan


mata uang lainya baik satu jenis maupun lain jenis, seperti uang dolar dengan
uang rupiah atau uang rupiah dengan uang ringgit.
5. Abd. Al-Rahman Al-Jazairi mengatakan, Al-Sharf ialah pertukaran mata uang
asing dengan uang rupiah, emas dengan emas, perak dengan perak, atau salah
satu dari keduanya.
6. Ibn Maudud Al- Maushuli mengatakan, bahwa Al-Sharf ialah pertukaran mata
uang dengan mata uang lainya atau satu jenis barang dengan jenis barang
lainya yang sama cetakan, bentuk, dan logam. Apabila yang ditukar uang
dengan uang atau emas dengan emas, perak dengan perak maka hal tersebut
tidak diperbolehkan kecuali dengan semisal serta secara serah terima.
7. Veith Rivai mengatakan, bahwa Al-Sharf adalah jual beli mata uang. Pada
asalnya mata uang merupakan emas dan perak. Biasanya uang emas disebut
dinar dan uang perak disebut dirham
Dari beberapa definisi di atas dapat peneliti simpulkan bahawa Al-
Sharf adalah perjanjian jual beli satu valuta dengan valuta lainnya. Al-sharf
secara bebas diartikan sebagai mata uang yang dikeluarkan dan digunakan
sebagai alat pembayaran yang sah di negara lain. Jual beli mata uang
merupakan transaksi jual beli dalam bentuk finansial yang mencakup
beberapa hal sebagai berikut: pembelian mata uang, pertukaran mata uang,
pembelian barang dengan uang tertentu.

Dasar Hukum

Praktek al-sharf hanya terjadi dalam transaksi jual beli, di mana praktek ini
diperbolehkan dalam Islam berdasarkan firman Allah QS. al-Baqarah ayat
275

26
Artinya :

”Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan


seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali
(mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya.”

Kemudian dalam hadis Rasulullah juga disebutkan bahwa yang artinya

Artinya:“Janganlah engkau menjual emas dengan emas, kecuali


seimbang,dan jangan pula menjual perak dengan perak kecuali seimbang.
Juallah emas dengan perak atau perak dengan emas sesuka kalian”. H.R.
Imam Bukhari

Rukun dan Syarat Al-Sharf

Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa dalam satu perbuatan hukum terdapat
unsur-unsur yang harus dipenuhi agar perbuatan tersebut bisa dikatakan sah.
Begitu pula dengan pertukaran mata uang asing unsur-unsur tersebut harus
dipenuhi. Unsur-unsur tersebut disebut rukun, yang mana pertukaran mata
uang asing dapat dikatakan sah apabila terpenuhi rukun-rukunnya, dan
smasing-masing rukun tersebut memerlukan syarat yang harus terpenuhi
juga. Dalam pertukaran mata uang asing yaitu memiliki 4 (empat) rukun:

1. Serah terima sebelum iftirak (berpisah)

27
Maksudnya yaitu transaksi tukar menukar dilakukan sebelum kedua belah
pihak berpisah. Hal ini berlaku pada penukaran mata uang yang berjenis sama
maupun yang berbeda, oleh karena itu kedua belah pihak harus melakukan
serah terima sebelum keduanya berpisah meninggalkan tempat transaksi dan
tidak boleh menunda pembayaran salah satu antara keduanya. Apabila
persyaratan ini tidak dipenuhi, maka jelas hukumnya tidak sah. Hal ini sesuai
dengan dalil yang bersumber dari hadis nabi seperti yang telah disebutkan
terakhir di atas yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Begitu pula dengan
hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’ad al-Khudhri, bahwasannya Rasulullah
bersabda: ”janganlah kalian menjual emas dengan emas, kecuali sama rata,
dan janganlah melebihkan salah satu diantara keduanya. Dan janganlah kalian
menjual perak dengan perak, kecuali sama rata, dan janganlah kalian
melebihkan salah satu antara keduanya. Dan janganlah kalian menjual -emas
dan perak- yang telah ada dengan yang belum ada.”

2. Al-Tamatsul (sama rata)

Pertukaran uang yang nilainya tidak sama rata maka hukumnya haram, syarat
ini berlaku pada pertukaran uang yang satu atau sama jenis. Sedangkan
pertukaran uang yang jenisnya berbeda, maka dibolehkan. Misalnya yaitu
menukar mata uang dolar Amerika dengan dolar Amerika, maka nilainya
harus sama. Namun apabila menukar mata uang dolar Amerika dengan rupiah,
maka tidak disyaratkan al-tamatsul. hal ini praktis diperbolehkan mengingat
nilai tukar mata uang dimasing-masing negara di dunia ini berbeda. Dan
apabila diteliti, hanya ada beberapa mata uang tertentu yang populer dan
menjadi mata uang penggerak di perekonomian dunia, dan tentunya
masingmasing nilai mata uang itu sangat tinggi nilainya

3. Pembayaran Dengan Tunai

Tidak sah huukumnya apabila di dalam transaksi pertukaran uang terdapat


penundaan pembayaran, baik penundaan tersebut berasal dari satu pihak atau
disepakati oleh kedua belah pihak. Syarat ini terlepas dari apakah pertukaran
itu antara mata uang yang sejenis maupun mata uang yang berbeda.

4. Tidak Mengandung Akad Khiyar Syarat

Apabila terdapat khiyar syarat pada akad al-sharf baik syarat tersebut dari
sebelah pihak maupun dari kedua belah pihak, maka menurut jumhur ulama
hukumnya tidak sah. Sebab salah satu syarat sah transaksi adalah serah terima,
sementara khiyar syarat menjadi kendala untuk kepemilikan sempurna. Hal ini
tentunya dapat mengurangi makna kesempurnaan serah terima. Menurut

28
ulama Hambali, al-sharf dianggap tetap sah, sedangkan khiyar syaratnya
menjadi sia-sia.

Batasan – batasan Al-Sharf


Selain beberapa syarat di atas, disebutkan pula batasan-batasan pelaksanaan
valuta asing yang juga didasarkan dari hadis-hadis yang dijadikan dasar bolehnya
jual beli valuta asing atau al-sharf . Batasan-batasan tersebut adalah:

1. Motif pertukaran adalah rangka mendukung transaksi komersil, yaitu


transaksi perdagangan barang dan jasa antar bangsa, bukan dalam rangka
spekulasi.
2. Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini
mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.
3. Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai, atau dengan kata lain
tidak dibenarkan jual beli tanpa hak kepemilikan (bai’ ainiah).

Macam-macam Al-Sharf
Dalam Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) telah menjelaskan tentang macam-
macam pertukaran, antara lain:

1. Transaksi Spot
Transaksi spot adalah pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan
pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam
jangka waktu dua hari. Misalnya kontrak jual beli suatu mata uang spot
dilakukan atau ditutup pada tanggal 12 juni 2002, penyerahan dan
penyelesaian kontrak tersebut dilakukan pada tanggal 14 juni 2002. Apabila
tanggal 14 juni 2002 tersebut kebetulan hari libur atau hari sabtu, maka
penyelesaiannya adalah pada hari kerja berikutnya. Tanggal penyelesaian
transaksi seperti ini disebut value date. Penyerahan dana dalam transaksi spot
pada dasarnya dapat dilakukan dalam beberapa cara berikut ini:

a. Value today, yaitu penyerahan dana dilakukan pada tanggal (hari) yang
sama dengan tanggal (hari) diadakannya transaksi (kontrak).
b. Value tomorrow, yaitu penyerahan dana dilakukan pada hari kerja
berikutnya atau hari keja setelah diadakannya kontrak.
c. Value spot, yaitu penyerahan dilakukan dua hari kerja setelah tanggal
transaksi.

2. Transaksi Forward
Transaksi forward isebut juga dengan transaksi berjangka yang pada
prinsipnya adalah transaksi sejumlah mata uang tertentu dengan sejumlah
mata uang lainnya dengan penyerahan pada waktu yang akan datang. Kurs
ditetapkan pada waktu kontrak dilakukan, tetapi pembayaran dan penyerahan
baru dilakukan pada saat kontrak jatuh tempo. Transaksi forward ini biasanya

29
sering digunakan untuk tujuan hedging dan spekulasi. Hedging atau
pemagaran resiko yaitu transaksi yang dilakukan semata-mata untuk
menghindari resiko kerugian akibat terjadinya perubahan kurs.

3. Transaksi Swap
Transaksi swap adalah transaksi pembelian dan penjualan bersamaan
sejumlah tertentu mata uang dengan 2 tanggal valuta (penyerahan) yang
berbeda. Pembelian dan penjualan mata uang tersebut dilakukan pada bank
lain yang sama. Jenis transaksi swap yang umum adalah spot terhadap
forward. Dealer membeli suatu mata uang dengan transaksi spot dan secara
simultan menjual kembali jumlah yang sama kepada bank lain yang sama
dengan kontrak forward. Karena itu dilakukan sebagai suatu transaksi tunggal
dengan bank lain yang sama, dealer tidak akan menghadapi resiko valas yang
tidak diperkirakan. Seperti dijelaskan di atas bahwa pada prinsipnya transaksi
swap merupakan transaksi tukar pakai suatu mata uang untuk jangka waktu
tertentu.

4. Transaksi Option
Transaksi option yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli
atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta
asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu.

BAB III

30
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam menghadapi aktifitas perekonomian baik dari sisi operasional maupun


transaksi umat Islam haruslah tunduk kepada petunjuk Allah SWT melalui AlQuran
dan Hadist Rasulullah. Selain dua sumber tersebut pendapat para fuqaha juga menjadi
rujukan yang shahih. Salah satu bentuk aktifitas perekonomian adalah percampuran
harta atau syirkah. Hukum syirkah adalah mubah atau diperbolehkan. Syirkah boleh
dilakukan antara sesama Muslim, antara sesama kafir dzimmi atau antara seorang
Muslim dan kafir dzimmi. Maka dari itu, seorang Muslim juga boleh melakukan
syirkah dengan orang yang beda agama seperti Nasrani, Majusi dan kafir dzimmi
yang lainnya selagi apa-apa yang disyirkahkan adalah usaha yang tidak diharamkan
bagi kaum Muslim.

B. Saran

Demikianlah makalah ini kami buat,tentunya masih banyak kesalahan yang


terdapat dalam makalah ini untuk menuju yang lebih baik lagi,kritik dan saran kami
butuhkan demi kesempurnaan makalah selanjutnya.Kami ucapkan terimakasih dan
mohon maaf apabila masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam pembuatan
makalah ini.Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

31
Syafe’I,Rahma.2004.Fiqh Muamalah.Bandung: CV. Pustaka Setia.
Sudarsono,Heri.2003.Bank dan Lembangan Keuangan Syariah: Diskripsi dan
Ilustrasi.Yogyakarta: Ekonosia.
Rusdy,Ibnu.1995.Bidayatul al- Mujtahid.Jakarta: Pustaka Amini.
Departemen Agama Republik Indonesia, Qur’an dan Terjemah, ( Bogor: Toha Putra,
2000),
Soemirta,Andri.2019.Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah Di Lembaga
Keungan dan Bisnis Kontemporer.Jakarta Timur: Prenadamedia Group.
Setiawan,Deny.2013.Kerja Sama Syirkah dalam Ekonomi Islam.Jurnal
Ekonomi,21(3),4-5.
Ascara.2008.akad dan produk bank syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Qamarul,huda.2011.Fiqh Muamalah.Yogyakarta: Sukses Offset
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiuddin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta:
Kencana Perdana Media Grup,2010), hal. 73
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 13, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, hal.203
Hasan, Ahmad. Mata Uang Islami. (Jakarta: PT. Grafindo Persada. 2005)
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh’ Al-Islami wa Adillatuh, (Damsyik: Dar Al-Fikr, 1985),
636.
Abd. Al-Rahman Al-Jazairi, Al-Fiqh’ Ala Al- Madzahib Al-Arba’ah, (Bairut: Dar Al-
Kutub AlIlmiyah, 2006), Cet. III, 505.

32

Anda mungkin juga menyukai