Anda di halaman 1dari 9

FILSAFAT HUKUM

Kelompok 7
“Nilai-Nilai Pancasila Dan Penerapannya”

Dosen

Bapak. Hendra Haryanto, SH.,SE.,MM.,MH.

Disusun Oleh
Adi Putra Hamonangan (1333.001.041 / A)

Bagus Triyadi (1333.001.018 / A)

Bondan Putra P. (1333.001.053 / B)

Reinaldy (1333.001.063 / B)

Tommi (1333.001.032 / B)

Yorry Martin (1333.001.047 / A)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KRISNADWIPAYA
1
BAB VII

NILAI-NILAI PANCASILA

DAN PENERAPANNYA

A. PENGERTIAN NILAI

Nilai (value) termasuk dalam pokok bahasan penting dalam filsafat. Nilai
biasanya digunakan untuk menunjuk kata benda yang abstrak, yang dapat diartikan
sebagai keberhargaan (worth) dan kebaikan (goodness).

Louis O. Kattsoff (1987: 328-329) antara lain membedakan nilai dalam dua
macam, yaitu: (1) nilai intrinsik dan (2) nilai instrumental. Nilai intrinsik adalah nilai
dari sesuatu yang sejak semula sudah bernilai, sedangkan nilai instrumental adalah
nilai dari sesuatu karena dapat dipakai sebagai sarana untuk mencapai tujuan sesuatu.
Untuk menjelaskan hal ini Kattsoff memberikan contoh sebuah pisau. Suatu pisau
dikatakan bernilai intrinsik baik apabila pisau itu mengandung kualitas-kualitas
pengirisan didalam dirinya. Disisi lain,ai dikatakan bernilai instrumental baik apabila
pisau itu dapat saya gunakan untuk mengiris.

Radbruch (Notohamidjojo, 1975) taatkala menjelaskan tentang tiga tujuan


hukum, yakni kepastian hukum, keadilan, dan daya guna (kemanfaatan), menguraikan
pada tujuan ketiga (daya guna) bahwa hukum perlu menuju kepada tujuan yang penuh
harga (waardevol). Menurut Radbruch, ada tiga nilai penting bagi hukum, yaitu: (1)
nilai-nilai pribadi yang penting untuk mewujudkan kepribadian manusia, (2) nilai-
nilai masyarakat, nilai yang hanya dapat diwujudkan dalam masyarakat manusia, dan
(3) nilai-nilai dalam karya manusia (ilmu, kesenian) dan pada umumnya dalam
kebudayaan.

Yang mempunyai nilai tidak hanya sesuatu yang berwujud (benda material)
saja, tetapi juga sesuatu yang tidak berwujud (imaterial). Bahkan sesuatu yang
imaterial seringkali mempunyai nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi manusia,
seperti nilai religius. Nilai material relatif dapat diukur dengan mudah, yaitu dengan
menggunakan alat-alat pengukur, misalnya dengan timbangan, meteran, dan
sebagainya. Adapun nilai imaterial, tidak dapt diukur dengan alat-alat pengukur
demikian, tetapi diukur dengan budi nurani manusia.

Manusia menggunakan penilaian terhadap sesuatu yang bersifat rohaniah


menggunakan budi nuraninya dengan dibantu oleh indera, akal, perasaan, kehendak,
dan keyakinan. Sampai sejauh mana kemampuan dan peranan alat-alat bantu ini bagi
manusia dalam menentukan penilaian, tidak sama antara manusia yang satu dengan
manusia yang lain. Jadi, bergantung kepada manusia yang mengadakan penilaian itu.

2
Dalam hubungannya dengan filsafat, nilai merupakan salah satu hasil
pemikiran filsafat yang oleh pemiliknya dianggap sebagai hasil maksimal yang paling
benar, paling bijaksana, dan paling baik. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan,
alasan, atau motivasi dalam segala perbuatannya. Hal ini terlepas dari kenyataan
bahwa ada orang-orang yang dengan sadar berbuat lain dari kesadaran nilai dengan
alasan yang lain pula. Dalam bidang pelaksanaannya (operasional), nilai-nilai ini
dijabarkan dalam ukuran yang normatif, yang lazim disebut norma atau kaidah.

B. NILAI-NILAI PANCASILA

Nilai-nilai Pancasila sebagaimana dinyatakan dalam ketetapan MPRS No.


XX/MPRS/1966, pada hakikatnya dalam pandangan hidup, kesadaran, dan cita
hukum serta cita-cita moral luhur yang meliputi suasana kejiwaan, serta watak bangsa
Indonesia.

Dalam hubungannya dengan pengertian nilai, Pancasila tergolong nilai


kerohanian, tetapi nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan vital.
Dengan perkataan lain, Pancasila yang tergolong nilai kerohanian itu di dalamnya
terkandung pula nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai material, vital,
kebenaran (kenyataan), estetis, etis, maupun nilai religius. Hal ini dapat dibuktikan
dari sila-sila Pancasila dari sila yang pertama sampai dengan yang kelima tersusun
secara sistematis, hirarkis, dan bulat utuh.

Kalimat dalam Penjelasan UUD 1945 secara eksplisit mengandung keterkaitan


antara pokok-pokok pikiran dalam pembukaan (yang tidak lain adalah pancasila itu
sendiri) dan Batang Tubuh UUD 1945 (tanpa mengabaikan pula bunyi penjelasanya).
Ini berarti, bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD
1945 (Pancasila) dijelmakan dalam pasal-pasal Batang Tubuh UDD 1945. Dengan
perkataan lain, apabila kita ingin menjabarkan lebih lanjut Pancasila, tidak boleh
dijabarkan dari sila-sila itu, tetapi harus terlebih dulu melalui Pembukaan dan pasal-
pasal dalam Batang Tubuh UUD 1945.

Jika kita ingin memahami Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama ini
mencerminkan adanya keimanan dan ketakwaan bangsa Indonesia kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Selanjutnya, Sila Kemanusian Yang Adil dan Beradab. Kemanusiaan
yang adil dan beradab adalah kesadaran sikap dan tingkah laku manusia yang
didasarkan pada potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma
dan kebudayaan pada umumnya, baik terhadap diri pribadi, sesama manusia, maupun
alam sekitarnya. Sila Persatuan Indonesia, mengandung makna bahwa persatuan
bangsa Indonesia adalah persatuan bangsa berdasarkan suatu dorongan yang kuat
untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang
merdeka dan berdaulat. Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksaan,

3
Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, mengandung makna bahwa rakyat dalam
menjalankan kekuasaannya memakai sistem perwakilan, sedangkan keputusan yang
dibuat berdasarkan kepentingan rakyat keseluruhannya, yang diambil melalui
musyawarah dan dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab, baik kepada Tuhan
Yang Maha Esa, maupun kepada rakyat yang diwakilinya. Sila Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia, mengandung makna bahwa setiap orang Indonesia
mendapat perlakuan yang adil dalam segala bidang, seperti hukum, politik, sosial,
ekonomi, dan kebudayaan.

Nilai-nilai Pancasila mempunyai sifat objektif dan subjektif sekaligus.


Objektif berarti sesuai dengan objeknya, umum, dan universal, yang dapat
diselesaikan sebagai berikut:
1. Rumusan dari sila-sila Pancasila itu sendri menunjukkan adanya sifat-sifat yang
abstrak, umum, dan universal.
2. Inti dari nilai-nilai Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan
bangsa Indonesia, baik dalam adat kebiasaan, kebudayaan, kenegaraan, maupun
dalam hidup keagamaan dan lain-lainnya.
3. Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, menurut ilmu hukum,
memenuhi syarat sebagai pokok norma (kaidah) fundamental negara, tidak dapat
diubah oleh orang atau lembaga manapun kecuali oleh pembentuk negara. Nilai
Pancasila akan abadi dan objektif.
4. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 (diperkuat oleh Ketetapan MPR No.
V/MPR/1973 jo. Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978) tetap berlaku, yang
didalamnya ditegaskan, bahwa Pembukaan UUD 1945 (yang dijiwai Pancasila)
tidak dapat diubah secara hukum, juga tidak dapat diubah oleh MPR hasil pemilu,
karena mengubah Pembukaan UUD 1945 berati membubarkan negara (yang
diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945).

Nilai-nilai Pancasila juga bersifat subjektif, dalam arti keberadaan nilai-nilai


itu bergantung pada bangsa Indonesia sendiri. Uraiannya adalah sebagai berikut:
1. Nilai-nilai Pancasila timbul dari bangsa Indonesia, sebagai hasil penilaian dan
pemikiran filsafat bangsa Indonesia.
2. Nilai-nilai Pancasila merupakan filsafat (pandangan hidup) bangsa Indonesia yang
paling sesuai, yang diyakini oleh bangsa Indonesia sebagai petunjuk yang paling
baik, benar, adil dan bijaksana dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
3. Nilai-nilai Pancasila mengandung empat macam nilai kerohanian, yang
manifestasinya sesuai dengan sifat budi nurani bangsa Indonesia.

Nilai-nilai Pancasila bagi bangsa Indonesia menjadi landasan atau dasar serta
motivasi segala perbuatannya, baik dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam
kehidupan kenegaraan. Dengan perkataan lain, nilai-nilai Pancasila yang menjadi das
sollen diwujudkan menjadi kenyataan (das sein).

4
C. PENERAPAN NILAI-NILAI PANCASILA

Dalam konteks pembicaraan tentang penerapan nilai-nilai Pancasila dalam


pembangunan, pengertian norma dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Norma hukum: sebagai perwujudan nilai-nila Pancasila dituangkan dalam
berbagai peraturan perundang-undangan.
2. Norma moral: sebagai perwujudan nilai-nilai Pancasila dituangkan dalam
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
3. Norma pembangunan: cita-cita bangsa Indonesia itu sendiri tidak mungkin dapat
dicapai tanpa pembangunan. Jadi hanya pembangunanlah sarana untuk mencapai
cita-cita yang mulia, yang sekaligus menjadi tujuan nasional.

Dalam GBHN misalnya (Ketetapan MPR No. II/MPR/1993) dinyatakan


bahwa pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara
untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam
pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.

Keseluruhan semangat, arah, dan garis pembangunan dilaksanakan sebagai


pengamalan semua sila Pancasila secara serasi dan sebagai kesatuan yang utuh, yang
meliputi:
1. Pengamalan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang antara lain mencakup tanggung
jawab bersama dari seluruh golongan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa untuk secara terus-menerus sama-sama meletakkan landasan
spiritual, moral, dan etik yang kukuh bagi pembangunan nasional sebagai
pengamalan Pancasila.
2. Pengamalan Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yang antara lain mencakup
peningkatan martabat serta hak dan kewajiban asasi warga negara serta
penghapusan penjajahan, kesengsaraan, dan ketidakadilan dalam muka bumi.
3. Pengamalan Sila Persatuan Indonesia, yang antara lain mencakup peningkatan
pembinaan bangsa di semua bidang kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan
negara, sehingga rasa kesetiakawanan semakin kuat dalam rangka memperkukuh
persatuan dan kesatuan bangsa.
4. Pengamalan Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, yang antara lain mencakup upaya makin
menumbuhkan dan mengembangkan sistem politik Demokrasi Pancasila yang
mampu memelihara stabilitas nasional yang dinamis, mengembangkan kesadaran
dan tanggung jawab politik warga negara, serta menggairahkan rakyat dalam
proses politik.

5
5. Pengamalan Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang antara lain
mencakup upaya untuk mengembangkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
yang dikaitkan dengan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju
terciptanya kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam
sistem ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.

Untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional secara lebih kongkret, lalu


ditetapkan bidang-bidang sasaran. Dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap II,
terdapat tujuh sasaran, yaitu sasaran dibidang:
1. Ekonomi;
2. Kesejahteraan rakyat, pendidikan, dan kebudayaan;
3. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
4. Ilmu pengetahuan dan teknologi;
5. Hukum;
6. Politik, aparatur negara, penerangan, komunikasi, dan media masa; dan
7. Pertahanan keamanan.

D. PENERAPAN NILAI-NILAI PANCASILA DALAM PEMBANGUNAN


BIDANG HUKUM

Dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1993 tentang GBHN, diungkapkan bahwa


sasaran pembangunan bidang hukum adalah terbentuk dan berfungsinya sistem
hukum nasional yang mantap, bersumberkan Pancasila dan UUD 1945, dengan
memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku, yang mampu menjamin
kepastian, ketertiban, penegakan, dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan
dan kebenaran, serta mampu mengamankan dan mendukung pembangunan nasional,
yang didukung oleh aparatur hukum, sarana, dan prasarana yang memadai serta
masyarakat yang sadar dan taat hukum.

Rumusan yang panjang lebar tersebut memuat banyak unsur, yang apabila
dirinci akan nampak sebagai berikut:
1. Perlu dibentuk sistem hukum nasional yang dapat berfungsi mantap;
2. Pembentukkan dan fungsi sistem hukum nasional harus bersumber pada Pancasila
dan UUD 1945;
3. Pembentukkan dan fungsi sistem hukum nasional harus memperhatikan
kemajemukkan tatanan hukum yang berlaku;
4. Tujuannya adalah untuk menjamin kepastian, ketertiban, penegakkan, dan
perlindungan hukum, yanng berintinkan keadilan, kebenaran, serta mampu
mengamankan dan mendukung pembangunan nasional;
5. Pembangunan bidang hukum tersebut hanya mungkin terlaksana apabila didukung
oleh faktor aparatur hukum, sarana dan prasarana, dan kesadaran hukum
masyarakat.

6
Sistem hukum adalah tatanan yag terdiri dari bagian-bagian (subsistem)
hukum yang membentuk satu kesatuan yang lengkap. Bagian-bagian itu dapat
dipilah menurut banyak kriteria. Salah satu kriteria, sistem hukum dapat dibagi ke
dalam bagian:
1. Hukum publik (seperti hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi
negara, hukum internasional)
2. Hukum privat (seperti hukum perdata, hukum dagang)

Seperti yang dinyatakan Sunaryati Hartono Sunario (1991), pembidangan


hukum itu akan lebih banyak lagi, seperti hukum lingkungan, hukum ekonomi,
hukum kesehatan, dan hukum komputer. Bidang-bidang hukum baru seperti yang
disebutkan ini seringkali multiaspek, sehingga tidak dapat lagi dimasukkan dalam
dikotomi kotak hukum publik atau hukum privat. Meskipun demikian, Sunaryati
kembali mengingatkan bagaimanapun setiap bidang hukum yang baru itu akan
bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, berlandaskan undang-undang dan lain
peraturan perundang-undangan, mengembangkan yurisprudesi dan hukum
kebiasaan dibidang hukum yang bersangkutan.

Dibidang materi hukum, antara lain diamanatkan agar materi hukum, baik
berupa aturan tertulis maupun tidak tertulis dapat dijadikan dasar untuk menjamin
agar masyarakat dapat menikmati kepastian hukum, ketertiban hukum, dan
perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, menumbuhkan dan
mengembangkan disiplin nasional, kepatuhan hukum serta tanggung jawab sosial
pada setiap warga negara termasuk penyelenggara negara, memberi rasa aman
dan tentram, mendorong kreativitas dan peran aktif masyarakat dalam
pembangunan, serta mendorong stabilitas nasional yang mantap dan dimanis.

Upaya pembentukan hukum diamanatkan pula agar senantiasa memperhatikan


nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, baik nilai filosofis yang berintikan pada
rasa keadilan kebenaran, nilai sosiologis yang sesuai dengan tata nilai budaya
yang berlaku di masyarakat, maupun nilai yuridis yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apapun sumber dari semua nilai
yang dimaksud adalah Pancasila, yang telah diyakini sedalam-dalamnya oleh
bangsa Indonesia. Diharapkan produk hukum yang dihasilkan juga akan
mendapatkan kekuatan yang berlaku secara filosofis (Filosofische Geltung),
sosiologis (Soziologische Geltung), dan yuridis (Juristische Geltung).

Selanjutnya, pembangunan di bidang aparatur hukum diarahkan pada


terciptanya aparatur yang memiliki kemampuan untuk mengayomi masyarakat
dan mendukung pembangunan nasional, serta ditujukan pada pemantapan
kelembagaan aparatur hukum dan peningkatan profesional aparatnya. Di sini
tampak jelas, bahwa pembangunan aparatur hukum ini diarahkan pada
pembangunan sumber daya manusianya. Tegasnya, sumber daya manusia yang
bergerak di bidang hukum wajib memiliki kualitas yang baik, yang ditunjukkan

7
dengan sikap yang menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, keadilan, bersih,
berwibawa, bertanggung jawab dalam perilaku keteladanan. Disadari pula bahwa
upaya meningkatan kualitas aparatur hukum menuju aparatur yang profesional
perlu ditunjang oleh sistem pendidikan dan pelatihan, termasuk kurikulum dan
manajemen pendidikan tinggi hukum, serta pembinaan profesi hukum yang
didukung oleh kelengkapan perpustakaan, khususnya dibidang hukum. Tentu
saja, termasuk dalam rangka pembinaan profesi hukum yang dimaksud, termasuk
pembinaan etika profesi hukum.

Mengingat fungsi hukum sebagai pengayom masyarakat, seperti yang pernah


diutarakan oleh Sahardjo (1974), dapat dikatakan bahwa hukum dengan aturan-
aturan yang bersumber pada kesadaran hukum masyarakat luas itu (salah satu
yang terpenting di sini adalah rasa keadilan), harus melindungi paling tidak enam
hal (Darmodiharjo, 1993) ,yaitu:

1. Segenap bangsa Indonesia;


2. Seluruh tumpah darah Indonesia;
3. Cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia;
4. Masyarakat Indonesia dan individu-individunya;
5. Jiwa, kebebasan, individu, kehormatan, dan harta bendanya;
6. Pelaksanaan pembangunan (hukum harus berfungsi sebagai sarana penunjang
perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh)

Pembangunan hukum Indonesia harus mamou mengarahkan dan menampung


kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan tingkat-tingkat kemajuan
pembangunan di segala bidang, sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum
yang mengarah pada peningkatan pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa.

Hukum yang berfungsi sebagai sarana penunjang perkembangan modernisasi


dan pembangunan yang menyeluruh, dilakukan dengan:

1. Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan antara


lain mengadakan pembaruan (modifikasi), kodifikasi, serta unifikasi hukum di
bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum masyarakat;
2. Mentertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum menurut proporsinya masing-
masing;
3. Meningkatkan fasilitas, kemampuan, dan wibawa aparat penegak hukum;
4. Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap para
penguasa dan para pejabat pemerintah ke arah penegakan hukum, keadilan,
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia (hak asasi manusia), dan
ketertiban, serta keastian hukum.

Sebagaimana diketahui, hukum yang berlaku sekarang masih banyak yang


berupa warisan jaman kolonial dulu. Itu berarti aturan hukum kita belum
seluruhnya bersumber pada kesadaran dan cita hukum bangsa Indonesia, yaitu
Pancasila. Menjadi kewajiban kita sekarang dengan segera mengadakan

8
penelitian terhadap hukum-hukum yang ada untuk tujuan penyempurnaan
dan/atau pembaruan sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia yang sedang
membangun.

Kodifikasi hukum adalah penting untuk menjamin kepastian hukum.


Demikian pula halnya dengan unifikasi hukum, yang sangat diperlukan untuk
membina persatuan dan kesatuan bangsa. Hanya perlu diingat sekali lagi, bahwa
baik pembaruan (modifikasi), kodifikasi, maupun unifikasi tidak boleh
mengabaikan hakikat hukum yang bersumber pada kesadaran dan cita hukum
bangsa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai