Anda di halaman 1dari 21

USULAN PENELITIAN

PENGAJUAN GUGATAN SECARA CLASS ACTION DALAM


RANGKA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN :
PROBLEMATIKA DAN PEMECAHANNYA

PELAKSANA PENELITIAN :
Nama : Muhammad Zulfakar
NPM : 1901110106
Program Studi : Ilmu Hukum
Jurusan : Hukum Perdata
Jumlah SKS diperoleh : 114 SKS
Alamat : Darul Imarah, Aceh Besar

A.      Latar Belakang


Hukum formil perdata atau hukum acara perdata adalah keseluruhan peraturan
hukum yang mengatur tentang bagaimana cara menjamin ditaatinya hukum perdata
materiil dengan perantaraan hakim.[1] Hukum acara perdata diperlukan untuk
mengatur tentang bagaimana tuntutan hak harus diajukan ke pengadilan, bagaimana
pengadilan harus memeriksa dan memberi putusannya serta bagaimana putusan
pengadilan harus dilaksanakan. Hukum acara tidak mengatur proses penegakan
hukum di luar pengadilan. Meskipun tidak diatur oleh hukum acara, upaya-upaya
penegakan hukum di luar pengadilan yang dilakukan secara adil dan damai tetap
diperlukan, agar semakin banyak alternatif yang dapat dipilih oleh pencari keadilan
dalam menuntutkan apa yang menjadi haknya.[2]
Sistem hukum acara harus lengkap. Sistem hukum acara yang baik harus
menyediakan lembaga-lembaga yang memadai untuk kepentingan penuntutan hak ke
pengadilan, baik menyangkut penuntutan hak oleh seseorang atau oleh sekelompok
orang dalam jumlah yang besar atau masyarakat luas. Proses penegakan hukum
melalui pengadilan yang tidak memadai, akan mendorong pencari keadilan untuk
menyelesaikannya di luar pengadilan. Ketiadaan atau kekuranglengkapan sarana
yang dapat dipergunakan oleh sekelompok orang dalam jumlah yang besar atau
masyarakat luas untuk menuntut haknya melalui pengadilan atau lembaga lainnya di
luar pengadilan, misalnya lembaga Dewan Perwakilan Rakyat, dapat menimbulkan
kerawanan sosial atau tindakan kekerasan. Sebagaimana dikemukakan oleh
Durkheim[3], kekerasan hanya akan terjadi apabila cara mengerjakan sesuatu yang
telah dikukuhkan secara tradisional (lewat budaya, hukum atau agama) tidak lagi
memadai. Untuk menghindari kerawanan-kerawanan tersebut diperlukan sarana yang
memadai bagi masyarakat untuk dapat menuntut apa yang menjadi haknya.
Pada tahun 1997, melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) di Indonesia telah diperkenalkan
mekanisme pengajuan sengketa lingkungan hidup ke pengadilan secara perwakilan,
yakni pengajuan gugatan oleh sekelompok kecil masyarakat untuk bertindak
mewakili masyarakat dalam jumlah yang besar yang dirugikan atas dasar kesamaan
permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup (lihat Pasal 37 ayat 1 UUPLH beserta
Penjelasannya).

Pada tahun 1999, melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang


Perlindungan Konsumen (UUPK) dikenal pula pengajuan sengketa konsumen oleh
sekelompok konsumen yang mempunyai kesamaan kepentingan secara class
action (lihat Pasal 46 ayat 1 huruf b beserta penjelasannya). Di dalam Pasal 71 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK) juga
diperkenalkan pengajuan gugatan oleh masyarakat dalam bidang kehutanan secara
perwakilan dengan formulasi kalimat yang sama dengan gugatan perwakilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) UUPLH. Demikian juga di dalam
PERMA Nomor 2 Tahun 1999 tentang Pengawasan Partai Politik Oleh Mahkamah
Agung, dikenal pengajuan gugatan oleh masyarakat terhadap partai politik secara
perwakilan (lihat Pasal 1 huruf d, Pasal 5, serta Pasal 23). Pengaturan mekanisme
pengajuan gugatan pencemaran lingkungan secara perwakilan di dalam UUPLH,
pengajuan sengketa konsumen secara class action di dalam UUPK, pengajuan
gugatan bidang kehutanan secara perwakilan di dalam UUK serta pengajuan gugatan
terhadap partai politik secara perwakilan masyarakat di dalam PERMA 2 Tahun
1999, dapat dikatakan suatu kemajuan dalam sistem hukum acara perdata.
Diperkenalkannya lembaga pengajuan gugatan secara perwakilan di dalam UUPLH
dipengaruhi oleh salah satu kebijaksanaan World Commission on Environment and
Development (WCED) yang tertuang dalam laporannya, yakni Our common Future,
tentang penyediaan cara-cara hukum.[4]
Untuk penyediaan cara-cara hukum dalam mendukung pembangunan yang
berwawasan lingkungan dirasa ada kebutuhan yang mendesak untuk

1. mengakui dan menghormati hak dan tanggung jawab timbal balik


manusia dan negara sehubungan dengan pembangunan berkelanjutan,
2. menetapkan dan menerapkan norma-norma baru bagi perilaku negara
dan antar negara untuk mencapai pembangunan berkelanjutan,
3. untuk mempererat dan memperluas diterapkannya hukum-hukum dan
perjanjian-perjanjian internasional yang ada untuk mendukung
pembangunan berkelanjutan, serta
4. menerapkan metode-metode yang ada dan mengembangkan prosedur-
prosedur yang baru untuk menghindari dan memecahkan perselisihan
lingkungan.[5]
Kebijakan baru di dalam UUPLH tersebut kemudian dikembangkan untuk
penyelesaian sengketa-sengketa lainnya yang melibatkan kepentingan sejumlah besar
orang atau masyarakat, seperti dalam sengketa konsumen, gugatan masyarakat dalam
bidang kehutanan serta gugatan masyarakat terhadap partai politik.

Berdasarkan bunyi Penjelasan Pasal 37 ayat (1) UUPLH, dapat diketahui bahwa
untuk mengajukan gugatan secara perwakilan harus dipenuhi dua syarat yakni,

1. jumlah masyarakat yang demikian besar sebagai pihak yang


berkepentingan,
2. ada kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan antara wakil
yang akan maju ke pengadilan dengan seluruh anggota masyarakat yang
akan diwakilinya.
Berdasarkan bunyi Pasal 46 ayat (1) huruf b UUPK beserta penjelasannya, dapat
diketahui bahwa untuk mengajukan sengketa konsumen secara class action harus
dipenuhi syarat-syarat:
1. adanya sekelompok konsumen sebagai pihak yang berkepentingan,
2. adanya kesamaan kepentingan.
UUPLH maupun UUPK tidak mengatur lebih lanjut, apakah wakil dari sekelompok
masyarakat atau wakil dari sekelompok konsumen yang akan maju ke pengadilan
harus memperoleh kuasa terlebih dahulu dari kelompok yang diwakilinya. Demikian
pula UUK serta PERMA 2 Tahun 1999.

Prosedur class action berasal dari negara-negara dengan sistem peradilan common


law. Class actionmenurut Henry Campbell Black  menggambarkan suatu pengertian
dimana sekelompok besar orang berkepentingan dalam suatu perkara, satu atau lebih
dapat menuntut atau dituntut mewakili kelompok besar orang tersebut tanpa harus
menyebutkan satu persatu anggota kelompok yang diwakili.[6] Diwakilinya
sekelompok besar orang oleh seseorang atau lebih anggotanya, bukan karena
kelompok tersebut tidak dapat bertindak sendiri dalam hubungan hukum atau tidak
mempunyai kecakapan bertindak, akan tetapi karena terlalu banyaknya orang
sehingga harus diwakili agar tidak menimbulkan kesulitan administrasi pengadilan.
Dilihat dari pengertian dan syaratnya, gugatan perwakilan sebagaimana diatur di
dalam Pasal 37 ayat (1) UUPLH beserta Penjelasannya mirip dengan prinsip class
action sebagaimana dikenal di negara-negara dengan sistem common law, terutama
Inggris (Rule 12 of Order 15 of The English Supreme Court, 1965). Ontario (Rule 75
of The Supreme Court of Ontario Rules of Practice, 1980).
Hukum acara perdata positif Indonesia tidak mengenal prosedur gugatan secara
perwakilan sebagaimana dimaksud di dalam UUPLH, maupun prosedur class
action sebagaimana diperkenalkan di dalam UUPK dan telah lama dikenal di negara-
negara common law.
Dengan adanya kemiripan antara gugatan perwakilan sebagaimana dimaksud di
dalam Pasal 37 ayat (1) UUPLH beserta Penjelasannya, serta gugatan class
action sebagaimana dimaksud di dalam UUPK, dengan gugatan secara class
actionsebagaimana dikenal di negara-negara common law, ada kemungkinan
pembentuk UUPLH dan UUPK ingin mengimplementasikan prinsip-prinsip class
action dalam sistem peradilan di Indonesia. demikian pula para pembentuk UUK
serta PERMA 2 Tahun 1999.
Lembaga class action merupakan dimensi yang baru dalam hukum acara perdata
Indonesia, oleh karena itu implementasinya masih belum jelas. Berdasarkan
perbandingan tentang syarat bagi wakil dalam class action di negara-negara common
law serta dalam gugatan perwakilan menurut sistem hukum acara perdata Indonesia,
maka terlihat ada perbedaan tentang masalah legitima persona standi in judicio dari
pihak yang maju ke pengadilan.
Di dalam mekanisme class action, tiap-tiap anggota suatu kelompok mempunyai
kesempatan untuk menjadi pihak yang maju ke pengadilan mewakili kelompok
tersebut. Dalam kenyataannya, tidak setiap anggota kelompok mempunyai
kemampuan yang sama dalam memahami apa yang menjadi kepentingan kelompok.
Apa yang dituntut oleh wakil kelompok belum tentu merupakan kepentingan
kelompok. Di sisi lain prinsip hukum acara perdata Indonesia tentang pihak yang
dapat mengajukan tuntutan hak ke pengadilan adalah point d’interet point d’action.
Menurut sistem hukum acara perdata Indonesia, yang dapat menjadi pihak dalam
sengketa perdata meliputi manusia serta badan hukum melalui wakilnya. Di sisi lain,
prinsip class action dalam pengertian yang sebenarnya tidak memberikan legitima
persona standi in judicio pada badan hukum atau corporation untuk mewakili
kepentingan kelompok.
Aspek-aspek dalam prinsip legitima persona standi in judicio yang ingin diterapkan
di Indonesia dalam pengajuan gugatan secara class action masih belum jelas, karena
gugatan class action sendiri masih merupakan dimensi baru dalam hukum acara
perdata Indonesia. di sisi lain pelanggaran terhadap prinsip legitima persona standi
in judicio dalam suatu gugatan, akan mengakibatkan gugatan tersebut dinyatakan
tidak dapat diterima atau N.O (Niet Ontvankelijk verklaard).
Pada tahun 2002 Mahkamah Agung telah menerbitkan suatu terobosan baru dengan
mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 yang mengatur
mengenai Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (Class action). Meskipun hanya
berbentuk sebuah peraturan Mahkamah Agung dan di dalamnya substansinya tidak
lengkap, namun keberadaannya untuk sementara waktu dapat dipergunakan sebagai
pedoman bagi para hakim dalam menerima dan memeriksa pengajuan gugatan
secara class actionsambil terus menggali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat
serta menunggu diaturnya acara gugatan class action ke dalam bentuk Undang-
undang yang lebih mempunyai kekuatan mengikat dan lebih lengkap.
B.       Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan
dalam penelitian ini adalah :

1. Faktor-faktor apakah yang menghambat pengajuan gugatan secara class


action dalam rangka perlindungan hukum bagi konsumen?
2. Bagaimanakah idealnya prosedur dan tata cara pengajuan gugatan
secara class actionagar dapat memberikan  perlindungan hukum bagi
konsumen secara optimal?

C.       Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat :

1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum


pada umumnya, dan khususnya yang berkaitan dengan pengajuan
gugatan secara class action dalam rangka perlindungan hukum bagi
konsumen
2. Memberikan gambaran yang jelas tentang prosedur dan tata cara
pengajuan gugatan secara class action serta implementasinya dalam
rangka perlindungan hukum bagi konsumen
3. Merupakan rekomendasi bagi penelitian lebih lanjut terhadap pengajuan
gugatan secara class action dari sudut pandang yang berbeda sehingga
diharapkan gugatan secara class action dapat memberikan perlindungan
hukum kepada konsumen.

D.      Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui dan mengevaluasi faktor-faktor yang menghambat
pengajuan gugatan secara class action dalam rangka perlindungan
hukum bagi konsumen.
2. Untuk mengetahui dengan  jelas dan tegas tentang prosedur dan tata cara
yang ideal pengajuan gugatan secara class action agar dapat memberikan
perlindungan hukum bagi konsumen secara optimal.
E.      Tinjauan Pustaka
Istilah class action berasal dari bahasa Inggris, yakni gabungan dari
kata class dan action. Pengertian class adalah sekumpulan orang, benda, kualitas
atau kegiatan yang mempunyai kesamaan sifat atau ciri, sedangkan
pengertian action dalam dunia hukum adalah tuntutan yang diajukan ke pengadilan.
Class action menurut Black[7] menggambarkan suatu pengertian dimana
sekelompok besar orang berkepentingan dalam suatu perkara, satu atau lebih dapat
menuntut atau dituntut mewakili kelompok besar orang tersebut tanpa harus
menyebutkan satu persatu anggota kelompok yang diwakili. Dalam Grollier Multi
Media Encyclopedidikatakan bahwa class action adalah gugatan yang diajukan oleh
seorang atau lebih anggota suatu kelompok masyarakat, mewakili seluruh anggota
kelompok masyarakat tersebut.
Ontario Law Reform Commission[8] menjelaskan pengertian berkepentingan dalam
suatu perkara adalah berkepentingan secara langsung, baik berkepentingan secara
hukum maupun berkepentingan untuk suatu manfaat atau keuntungan. Dalam
gugatan class action, seseorang atau lebih yang maju ke pengadilan sebagai
penggugat atau tergugat mewakili kepentingan seluruh anggota kelompok lainnya
didasarkan atas adanya kesamaan kepentingan serta kesamaan permasalahan.
[9] Berdasarkan syarat tersebut, maka seseorang atau beberapa orang yang maju
sebagai pihak di pengadilan, mengajukan tuntutan untuk kepentingannya sendiri
sekaligus untuk kepentingan kelompoknya, karena kepentingan pihak yang maju
dengan kelompok yang diwakilinya adalah sama. Karena kepentingan sekelompok
orang identik, maka sesuai dengan prinsip class action tersebut tuntutan cukup
diajukan oleh salah satu atau beberapa dari anggota kelompok tersebut.
Sebagaimana dikemukakan oleh Black[10] dalam gugatan class action nama-nama
seluruh anggota kelompok yang diwakili tidak perlu disebut satu persatu. Kupchela
& Hyland menjelaskan class action sebagai tuntutan yang dapat diajukan atas nama
seluruh anggota suatu kelompok tertentu meskipun mereka tidak diketahui satu
persatu secara individual (even though they may not be known individually).
Pengertian “they may not be known individually” bukan berarti bahwa kelompok
tersebut tidak mempunyai anggota yang dapat disebutkan identitasnya satu persatu
secara individual, melainkan lebih mempunyai pengertian bahwa yang terpenting
dalam pengajuan gugatan secara class action adalah adanya suatu kelompok orang
atau masyarakat yang sudah tertentu, misalnya para konsumen yang keracunan
setelah makan produk mie instan tertentu, masyarakat yang menghirup udara yang
tercemar oleh limbah gas beracun yang dibuang oleh suatu pabrik, siapapun
namanya. Dalam pengajuan gugatan secara class action, cukup disebut nama
penggugat yang mewakili serta kelompok atau masyarakat tertentu yang diwakili.
[11]
Dalam literatur sistem hukum common law, class action disebut
dengan representative action. Untuk menerjemahkan class action atau representative
action dengan istilah gugatan perwakilan, dalam konteks hukum acara perdata di
Indonesia perlu dipikirkan kembali secara cermat, karena dapat menimbulkan
pengertian yang berbeda. Dalam konteks hukum acara perdata Indonesia gugatan
dapat diajukan sendiri oleh pihak yang berkepentingan, atau diwakilkan oleh kuasa
hukumnya. Gugatan yang diwakilkan oleh kuasa hukum atau lawyer tersebut lazim
disebut sebagai gugatan secara perwakilan. Sementara di negara-negara common law,
gugatan pada prinsipnya harus diajukan melalui kuasa hukum atau lawyer dari para
pihak. Gugatan demikian tidak disebut sebagai gugatan secara perwakilan,
sebagaimana dimaksud dalam hukum acara perdata Indonesia. Untuk menghindari
kerancuan, maka gugatan class actiondapat diterjemahkan dengan gugatan
perwakilan kelompok atau tetap digunakan istilah aslinya, yakni gugatan class
action.
Meskipun class action lahir dari sistem hukum common law, namun kebutuhan akan
prosedur class action dapat dikatakan merupakan kebutuhan universal bagi negara-
negara yang sekarang sedang giat-giatnya melakukan pembangunan yang pesat,
terutama pembangunan di bidang ekonomi dengan segala eksesnya. Pembangunan
yang hanya menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dan prinsip-prinsip
ekonomi semata-mata dapat memberikan ekses yang lebih besar untuk terjadinya
kecelakaan massal atau kerugian massal. Pembangunan pabrik yang tidak
mengindahkan pelestarian lingkungan akan menghasilkan limbah yang dapat
merugikan masyarakat sekitarnya. Penebangan kayu di hutan secara besar-besaran
akan merusak lingkungan yang pada akhirnya juga dapat membawa kerugian pada
masyarakat luas. Pemasaran barang dan jasa yang semakin agresif dengan berbagai
cara, dapat merugikan konsumen.
Di dalam bidang hukum yang menyangkut kepentingan publik, lembaga class
actionmempunyai kedudukan yang strategis. Strategis dalam arti memberikan akses
yang lebih besar bagi masyarakat, terutama yang kurang mampu baik secara
ekonomi maupun struktural, untuk menuntutkan apa yang menjadi hak-hak mereka
yang bersifat publik, misalnya hak atas kesehatan, hak atas pendidikan yang layak,
hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Di negara Inggris, Kanada serta Amerika Serikat, diakuinya prosedur pengajuan
gugatan secara class action merupakan perkembangan dari
ketentuan joinder (penggabungan gugatan yang melibatkan lebih dari satu orang)
yang diwajibkan untuk gugatan-gugatan tertentu.[12] Prosedur joindersebenarnya
sudah merupakan upaya penyederhanaan prosedur berperkara yang melibatkan lebih
dari satu orang. Dengan joinder, maka sekelompok orang yang mengalami
persamaan permasalahan dalam suatu pokok perkara, secara bersama-sama dapat
maju ke pengadilan untuk menuntutkan hak mereka dalam suatu gugatan. Masing-
masing merupakan pihak dalam proses berperkara dengan seluruh hak dan tanggung
jawabnya, termasuk tanggung jawab terhadap beaya perkara. Prosedur joinder akan
menghindari kemungkinan adanya penjatuhan putusan-putusan yang saling
bertentangan satu sama lain dalam suatu kasus.
Permasalahan praktis yang sering dihadapi oleh para pihak dalam menggunakan
prosedur joinderadalah memenuhi ketentuan adanya kesepakatan dari sejumlah besar
pihak materiil dan memperoleh ijin mereka untuk menggugat dengan menggunakan
seorang kuasa hukum tertentu, karena pada umumnya mereka memilih kuasa hukum
yang sama. Mereka harus selalu bersama-sama. Di dalam proses pemeriksaan,
mereka harus didengar semua harus membuktikan semua dan disebut semua dalam
putusan hakim.
Kesulitan yang dihadapi oleh pengadilan terhadap gugatan yang diajukan
secara joinder adalah kesulitan administrasi pengadilan, misalnya tentang masalah
pemanggilan para pihak. Dalam prosedur joinder, pemanggilan terhadap para pihak
harus dilakukan terhadap seluruh pihak satu persatu. Hal tersebut akan menghabiskan
waktu dan beaya yang lebih besar seandainya pihak yang harus dipanggil meliputi
sejumlah ratusan orang atau ribuan orang. Lembaga class action mencoba
menghilangkan ketidaksederhanaan dan kesulitan administrasi tersebut.
Meskipun joinder ada kelemahannya, akan tetapi tetap merupakan prosedur alternatif
yang dapat dipilih manakala suatu perkara yang melibatkan sejumlah besar orang
tidak dapat diajukan secara class action. Lembaga hukum joinder sama dengan
lembaga hukum kumulasi, sebagaimana juga dikenal di dalam hukum acara perdata
Indonesia. selain joinder, ada alternatif lain yang dapat dipergunakan sebagai
pengganti prosedur class action, yakni melalui prosedur test cases. Prosedur ini juga
hanya dikenal di negara-negara common law.
Melalui prosedur test cases, maka dalam hal ada sejumlah orang yang semuanya
mengajukan gugatan secara individual terhadap orang yang sama, maka oleh
pengadilan dapat dilakukan “test” atau pemeriksaan, untuk menentukan apakah ada
kesamaan permasalahan diantara para penggugat tersebut dengan tergugat. Apabila
ada kesamaan, maka gugatan yang sudah diajukan secara individual dapat digabung
menjadi satu.
Kesulitan yang dihadapi dalam prosedur test casesadalah bahwa para penggugat
semuanya harus menyetujui untuk diadakan test cases serta menyetujui untuk sama-
sama terikat oleh satu putusan. Persetujuan bersama ini di dalam praktek sulit
diperoleh. Keterbatasan yang lain dari prosedur test cases adalah, orang-orang yang
sebelumnya tidak mengajukan gugatan, tidak dapat dimasukkan, entah karena
mereka tidak tahu, atau mungkin tidak dapat mengajukan gugatan secara individual
karena ada batasan-batasan tertentu yang tidak dapat dipenuhinya. Juga sangat besar
kemungkinannya dari pihak tergugat membuat banyak sekali kesepakatan
penyelesaian, frustasi serta menghambat penggugat yang lain. Apabila prosedur test
cases diijinkan oleh pengadilan, maka proses selanjutnya akan serupa dengan
kumulasi.
Sebelum suatu gugatan diajukan secara class action, selain syarat, harus
dipertimbangkan juga manfaat dan kelemahannya. Untuk memilih class
action sebagai prosedur pengajuan gugatan, harus dipastikan bahwa manfaat yang
akan diperoleh melebihi kekurangannya.
Ada lima keistimewaan dari prosedur class actionyakni :
1. mengatur penyelesaian perkara yang menyangkut banyak orang, masing-
masing dengan tuntutan yang kecil yang tidak dapat diajukan secara
individual,
2. memastikan bahwa tuntutan-tuntutan untuk ganti kerugian yang kecil
serta dana yang terbatas diperlakukan dengan sepantasnya,
3. mencegah putusan yang bertentangan untuk permasalahan yang sama,
4. penggunaan administrasi peradilan yang lebih efisien, serta
5. mengembangkan proses penegakan hukum.
Ontario Law Reform Commission melihat ada tiga manfaat utama yang dapat
diketahui dari prosedur class action, yakni :
1. mencapai peradilan yang lebih ekonomi,
2. memberi peluang yang lebih besar ke pengadilan dan
3. merubah perilaku yang tidak pantas dari para pelanggar atau orang-orang
yang potensial melakukan pelanggaran.[13]
Prosedur class action akan membawa manfaat bagi kedua belah pihak serta bagi
sistem peradilan karena prosedur tersebut mengurangi keseluruhan beaya perkara
yang harus dikeluarkan serta jumlah gugatan yang harus diajukan dalam hal terjadi
sengketa yang melibatkan orang banyak. Tidaklah praktis bagi pengadilan dan juga
bagi para pihak apabila harus melayani gugatan-gugatan sejenis yang diajukan secara
individual atau secara joinder. Dengan diajukannya gugatan secara class actionoleh
seorang atau lebih yang merupakan wakil dari seluruh anggota kelompok, maka
kepentingan seluruh kelompok sekaligus dapat dituntut. Peluang  ke pengadilan bagi
para pihak akan lebih besar, apabila dilakukan dengan prosedur class action, lebih-
lebih jika secara individual para pihak mengalami hambatan-hambatan untuk maju
ke pengadilan, misalnya hambatan keuangan, sosial dan psikologis. Dengan
diajukannya gugatan oleh seseorang atau beberapa orang saja yang mewakili
kepentingannya sekaligus kepentingan kelompoknya, maka kepentingan anggota
kelompok lainnya yang kebetulan tidak mampu dari segi keuangan, sosial atau
psikologis sudah diwakili tanpa mereka harus maju sendiri ke pengadilan.
Dalam sistem Hukum Acara Perdata Indonesia, gugatan yang diajukan secara
perwakilan mempunyai dua makna, yakni :
1. gugatan yang diajukan oleh atau terhadap badan hukum, yang diwakili
oleh pengurusnya, serta gugatan yang diajukan oleh atau terhadap orang
yang secara hukum tidak mempunyai kecakapan bertindak sendiri, dan
2. gugatan yang diajukan oleh seorang kuasa hukum yang maju ke
pengadilan, mewakili orang yang berkepentingan berdasarkan surat
kuasa.
Dua makna tersebut, maka gugatan secara perwakilan dalam wacana hukum acara
perdata Indonesia hanya dapat diajukan :

1. Apabila pihak yang berkepentingan untuk maju ke pengadilan harus


diwakili, misalnya untuk badan hukum dan anak dibawah perwalian atau
orang dibawah pengampunan,
2. Apabila pihak yang diwakili tidak mau atau takut maju sendiri ke
pengadilan sehingga dapat diwakilkan kepada seorang kuasa hukum.
Gugatan yang pertama dapat dilakukan tanpa surat kuasa dari pihak yang
diwakili karena sudah ada penunjukan oleh hukum, pada gugatan yang
terakhir hanya dapat dilakukan apabila ada kuasa dari pihak yang
diwakili.
Hukum Acara perdata positif Indonesia tidak mengenal prosedur gugatan secara
perwakilan sebagaimana dimaksud di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dan telah lama dikenal di negara-negara Common
law. Di dalam naskah rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata, materi
prosedur class action juga sudah mulai dicantumkan, dan pada beberapa kasus
prosedur class action dalam beberapa kasus sudah mulai dipergunakan.
Prosedur beracara dalam persidangan perdata yang memberikan hak prosedural
terhadap satu atau sejumlah kecil orang untuk bertindak sebagai penggugat
mengatas-namakan mereka sendiri, sekaligus mengatas-namakan kepentingan
puluhan, ratusan, ribuan, ratusan ribu bahkan jutaan orang lainnya yang mengalami
penderitaan dan kerugian yang sama dengan yang mewakilinya.

Satu atau sejumlah kecil orang yang tampil sebagai penggugat disebut sebagai wakil
kelas (class representatives). Sedangkan jumlah orang banyak yang diwakilinya
bertindak sebagai penggugat absentee yang disebut sebagai anggota kelas (class
members).
Ada juga permasalahan yang tidak kalah pentingnya dalam gugatan perwakilan
kelompok, yakni mengenai cara-cara pemberitahuan kepada para pihak, terutama
pemberitahuan kepada anggota kelompok. Cara pemberitahuan kepada anggota
kelompok dapat dilakukan melalui media massa, kantor-kantor
pemerintahan/kecamatan/kelurahan, kantor pengadilan, siaran radio atau televisi,
secara individual sesuai dengan yang ditentukan oleh Hakim berdasarkan standar
formal dalam peraturan Mahkamah Agung R.I.

Dalam gugatan perwakilan kelompok juga diatur tentang permasalahan opt out  yaitu
apabila ada anggota kelompok keberatan terhadap gugatan yang diajukan. Serta ada
pula pengaturan tentang opt in  yaitu pernyataan masuk dalam suatu gugatan
perwakilan yang sedang diajukan.
Sarana gugatan perwakilan kelompok dapat diterapkan dalam berbagai macam
gugatan-gugatan yang pada umumnya mempunyai ciri khas banyaknya orang yang
merasa dirugikan atas suatu hal tertentu, seperti contohnya pada kasus-kasus yang
berhubungan dengan hukum perlindungan konsumen.

Gugatan perwakilan kelompok atau lebih dikenal secara luas dengan sebutan class
action merupakan perkembangan hukum baru di Indonesia sebagai sarana pengajuan
gugatan bagi sekelompok orang guna mengajukan tuntutannya ke pengadilan negeri
apabila ada suatu kepentingan sekelompok orang itu merasa dirugikan.

Dari banyaknya gugatan-gugatan perwakilan kelompok yang menyangkut pada


hukum perlindungan konsumen yang beberapa kali di usahakan untuk diterapkan
pada badan peradilan, namun demikian usaha tersebut kandas di tengah jalan dengan
alasan yang sangatlah klasik yaitu belum ada pengaturan acara gugatan perwakilan
kelompok dalam hukum positif di Indonesia sehingga Hakim sudah tentu akan
menyatakan tidak dapat menerima gugatan atau menolak gugatan itu.

Cara-cara yang ditempuh oleh sekelompok orang tersebut dalam mengajukan


gugatannya secara berkelompok untuk menuntut suatu ganti rugi adalah termasuk
salah satu fenomena pembaharuan hukum karena mendobrak tradisi hukum acara
perdata Indonesia yang sudah usang. Ciri-ciri pembaharuan hukum seperti ini
termasuk dalam aliran hukum kritis atau dengan kata lain sebagai teori hukum anti
kemapanan karena mendobrak tradisi hukum acara perdata Indonesia yang sudah
turun temurun.
Jadi sungguh tepat ketika sekelompok besar orang yang merasa dirugikan oleh
produk-produk dari produsen untuk meminta ganti-kerugian melalui badan peradilan
dengan mempergunakan sarana gugatan perwakilan kelompok sebagai suatu sarana
hukum acara perdata baru yang dapat ditempuh sebagai pegangan ketika hukum
acara perdata yang sudah usang namun tetap berlaku tidak cukup memadai.

Satu hal yang teramat penting adalah dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tanggal 26 April 2002 tentang Acara
Gugatan Perwakilan Kelompok yang meskipun hanya merupakan suatu peraturan
Mahkamah Agung namun tetap sebagai suatu perbendaharaan dalam hukum positif
pada hukum acara perdata di Indonesia sebagai petunjuk teknis yang khusus untuk
mengajukan upaya hukum gugatan perwakilan kelompok walaupun di sana sini
masih terdapat berbagai macam kekurangan namun setidaknya dapat sebagai acuan
bagi perkembangan hukum acara perdata di Indonesia.

Menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai


definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). UUPK menyatakan, konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak
untuk diperdagangkan. Sebelum muncul UUPK-yang diberlakukan pemerintah mulai
20 April 2000-praktis hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang
konsumen dalam hukum positif di Indonesia. Dalam Garis-Garis Besar Haluan
Negara (Ketetapan MPR No. II/MPR/1993) disebutkan kata konsumen dalam rangka
membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan. Sama sekali tidak ada
penjelasan lebih lanjut tentang pengertian istilah ini dalam ketetapan tersebut.

Diantara ketentuan normatif itu terdapat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999


tentang Larangan Praktek Monopoli dan persaingan Usaha Tidak Sehat
(diberlakukan 5 Maret 2000; satu tahun setelah diundangkan). Undang-Undang ini
memuat suatu definisi tentang konsumen, yaitu setiap pemakai dan atau pengguna
barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan
orang lain. Batasan itu mirip dan garis besar maknanya diambil alih oleh UUPK.

Istilah lain yang agak dekat dengan konsumen adalah “pembeli’ (koper). Istilah ini
dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengertian konsumen
jelas lebih luas daripada pembeli. Luasnya pengertian konsumen dilukiskan secara
sederhana oleh mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy dengan
mengatakan, “Consumers by definition include us all”.[14]
Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para ahli hukum pada
umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari
benda dan jasa (uiteindelijke gebruiker van goederen en diensten).
Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai
terakhir (konsumen antara) dengan konsumen pemakai terakhir. Konsumen dalam
arti luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya
mengacu pada konsumen pemakai terakhir.

Di Perancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang, konsumen


diartikan sebagai, “The person who obtains goods or services for personal or family
purposes”.
Dari definisi itu terkandung dua unsur, yaitu (1) konsumen hanya orang, dan (2)
barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan pribadi atau keluarganya.
Sekalipun demikian, makna kata “memperoleh” (to obtain) masih kabur, apakah
maknanya hanya melalui hubungan jual beli atau lebih luas daripada itu.[15]
Di Australia, ketentuannya ternyata jauh lebih moderat. Dalam Trade Practices Act
1974 yang sudah berkali-kali diubah, konsumen diartikan sebagai, “seseorang yang
memperoleh barang atau jasa tertentu dengan persyaratan harganya tidak melewati
40.000 dollar Australia”. Artinya, sejauh tidak melewati jumlah uang di atas, tujuan
pembelian barang atau jasa tersebut tidak dipersoalkan. Jika jumlah uangnya sudah
melebihi 40.000 dollar, keperluannya harus khusus. Dalam rumusan peraturan
tersebut dinyatakan, “Where that price exceeded the prescribed amount (1) the goods
were of a kind ordinarily acquired for personal, domestic or household use or
consumption or the goods consisted of a commercial road vehicle, (2) the services
were of a kind ordinarily acquired for personal, domestic or household use or
consumption”.[16]
Rumusan-rumusan berbagai ketentuan itu menunjukkan sangat beragamnya
pengertian konsumen. Masing-masing ketentuan memiliki kelebihan dan
kekurangan. Untuk itu, dengan mempelajari perbandingan dari rumusan konsumen,
kita perlu kembali melihat pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka (2) UUPK.
F.      Metode Penelitian
Penelitian tentang pengajuan gugatan secara class action dalam rangka perlindungan
hukum bagi konsumen ini merupakan penelitian hukum  normatif dan empiris.
Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari penelitian lapangan tentang pengajuan
gugatan secara class action dalam rangka perlindungan hukum bagi konsumen.
1. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan
yang berupa: :[17]
1)      Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, yang terdiri
dari :

a.)    Undang-Undang Dasar 1945

b.)    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

c.)     Reglemen Indonesia yang diperbaharui (HIR Staatsblad 1848 Nomor 16 dan
Staatsblad 1941 Nomor 44

d.)    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

e.)    Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 tahun 2002 tentang Acara
Gugatan Perwakilan Kelompok

f.)     Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

2)      Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku literatur,
makalah, artikel, hasil penelitian, dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan
penelitian.

3)      Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang terdiri
dari :

a.)    Kamus Umum Bahasa Indonesia

b.)    Kamus Inggris – Indonesia

c.)     Kamus Istilah Hukum

d.)    Ensiklopedia
1. Teknik Pengumpulan Data
1. Penelitian lapangan; dalam penelitian ini pengumpulan data
dilakukan dengan cara wawancara dan mengajukan daftar
pertanyaan kepada responden / narasumber. Adapun responden /
narasumber dalam penelitian ini adalah :
1)      Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta

2)      Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Cabang Yogyakarta

3)      Pakar Hukum Acara Perdata

1. Penelitian Kepustakaan; dalam penelitian ini pengumpulan data


dilakukan dengan cara studi dokumen, yaitu mempelajari, mengkaji dan
menelaah materi/bahan-bahan hukum, baik yang berupa peraturan
perundang-undangan, buku-buku literatur, makalah, artikel, hasil
penelitian, dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian
ini.
2. Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan dari hasil penelitian, selanjutnya dianalisis secara
deskriptif kualitatif,  yaitu suatu metode analisis data dengan cara mengelompokkan
dan menseleksi data yang diperoleh dari penelitian menurut kualitas dan
kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan dan
teori-teori hukum serta pendapat para pakar hukum, sehingga diperoleh jawaban
terhadap permasalahan dalam penelitian ini. Adapun metode berfikir yang digunakan
dalam analisis ini adalah metode induktif, yaitu proses berfikir yang berawal dari
proposisi-propisisi khusus (sebagai hasil pengamatan) kemudian diambil suatu
kesimpulan yang bersifat umum
KERANGKA PENULISAN SKRIPSI

ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTRA ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


B. Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian
C. Metode Penelitian
D. Sistematika Pembahasan

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BA III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
 
Andi Hamzah, 1990, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta
Bambang Sunggono, 2003, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Bruce J. Cohen, 1992, Sosiologi, Suatu Pengantar, Tery Simamora-Sahat, Rineka
Cipta, Jakarta
Charless E. Kupchela & Margareth C. Hyland, 1986, Environmental Science, Allyn
& Bacon, Massachusetts
David L. Ratner, 1988, Securities Regulation, West Publishing Co, St. Paul,
Minnesota
E. Sundari, 2002, Pengajuan Gugatan Secara Class Action, Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta
Henry Campbell Black, 1991, Black’s Law Dictionary, Sixth Ed, West Publishing
Co, St. Paul, Minnesota
Mas Ahmad Santoso, 1997,  Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan (Class
Action), ICEL, Jakarta
Ontario Laws Reform Commission, 1982, Report on Class Action, Vol. 1, Ontario,
Canada
R. Soepomo, 1989, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita,
Jakarta
R. Tresna, 1989, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta
Sidarta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta
Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Pengantar, Rajawali Press, Jakarta
Sudikno Mertokusumo, 1998, Hukum acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta
The World Commission on Environmental and Development, 1988, Hari Depan
Kita Bersama, Alih Bahasa Bambang Soemantri, Gramedia, Jakarta
[1] Sudikno Mertokusumo, 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, hlm, 2
[2] E. Sundari, 2003, Pengajuan Gugatan Secara Class Action, Universitas Atma
Jaya, Yogyakarta, hlm. 3
[3] Bruce J. Cohen, 1992, Sosiologi, Suatu Pengantar, Tery Simamora-Sahat, Rineka
Cipta, Jakarta, hlm. 338
 [4] The World Commission on Environmental and Development, 1988, Hari Depan
Kita Bersama, Alih Bahasa Bambang Soemantri, Gramedia, Jakarta, hlm. 429
[5] The World Commission on Environmental and Development, 1988, Op.Cit, hlm.
425, 453
[6] Henry Campbell Black, 1991, Black’s Law Dictionary, Sixth Ed, west Publishing
Co, St Paul, Minnesota, hlm. 170
 [7] Henry Campbell Blacks, 1991, Black’s Law Dictionary, 6th Ed. West publishing
Co, St Paul, Minnesota, USA, hlm. 170
[8] Ontario Laws Reform Commission, 1982, Report on Class Action, Vol. 1,
Ontario, Canada, hlm.5
[9] Ibid, hlm. 19
[10] Henry Campbell Black, 1991, Op.Cit, hlm. 171
[11] Ontario Law Reform Commission, 1982, Op.Cit, hlm. 18
[12] Ibid, hlm. 8
 [13] Ibid, hlm. 117
[14] Shidarta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, hlm. 2
[15] Ibid, hlm. 3
[16] Ibid, hlm. 5
[17] Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Pengantar Rajawali Press, Jakarta, hlm. 14
[18] Bambang Sunggono, 2003, Metodologi Penelitian Hukum,  PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 10.
bid
[10] Henry Campbell Black, 1991, Op.Cit, hlm. 171
[11] Ontario Law Reform Commission, 1982, Op.Cit, hlm. 18
[12] Ibid, hlm. 8
 [13] Ibid, hlm. 117
[14] Shidarta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, hlm. 2
[15] Ibid, hlm. 3
[16] Ibid, hlm. 5
[17] Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Pengantar Rajawali Press, Jakarta, hlm. 14
[18] Bambang Sunggono, 2003, Metodologi Penelitian Hukum,  PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 10

Anda mungkin juga menyukai