Anda di halaman 1dari 12

RINGKASAN BEBERAPA JURNAL

PENERAPAN ALKOHOL, ETER DAN FENOL DALAM BIDANG

KEFARMASIAN

DosenPengampu : Andika, M.Farm., Apt

DisusunOleh :

Aisyah 1848201110007
Nadya Rahmi 1848201110091
Nida Khairiyah 1848201110094
Ricky Hariyadi 1848201110124
RossaWahyuNingtyas 1848201110133

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN


PROGRAM STUDI S1 FARMASI
FAKULTAS FARMASI
2019
Judul Jurnal :

Identifikasi Kandungan Alkohol Dalam Obat Di Apotek Melalui Pengamatan


Pada Kemasan Sekunder

Abstrak :

Kebutuhan akan obat halal saat ini menjadi isu yang menarik untuk terus
didiskusikan, mengingat masih banyak obat-obat yang ditengarahi mengandung
bahan haram di dalamnya. Kehalalan obat tergantung pada bahan aktif dan bahan
tambahan sebagai penyusun obat, termasuk proses produksi dan penyimpanannya.
Obat beralkohol menjadi polemik di masyarakat terutama terakit kehalalnnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kandungan alkohol pada obat
bentuk sediaan sirup di Apotik Yakersuda Bangkalan. Penelitian ini menggunakan
desain observasional. Pengumpulan data dengan observasi pada kemasan
sekunder obat. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 8 (delapan) item obat yang
mencantumkan kandungan alkohol pada kemasan sekunder. yaitu: Actifed Plus
Batuk Kering + Pilek dengan kandungan alkohol (9,9%); Actifed Plus Expektoran
(6,93%); Benacol DTM (4%); Benacol Syr (4%); OBH Combi Syr Berdahak
(2%); Vicks formula 44 (10); dan Woods Exp Syr (6%). Kesimpulan Kandugan
alkohol pada obat yang mencantumkan kandungan alkohol pada kemasan
sekundernya di Apotik Yakersuda melebihi 1%. Obat yang tidak mencantumkan
komposisi alkohol tidak bisa dipastikan obat tersebut bebas alkohol.

Latar Belakang :

Penemuan obat dan metode baru yang terkait dengan pengobatan penyakit,
merupakan salah satu ikhtiar manusia khususnya para pakar Farmasi untuk
mengurangi kesenjangan antara munculnya penyakit baru dengan kebutuhan
terhadap obat karena setiap penyakit yang diturunkan pasti ada obatnya (Isa
2016), sebagaimana Hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa semua penyakit
ada obatnya, karena Allah menurunkan penyakit sekaligus menurunkan obatnya.
“Dari Abu Darda’, ia berkata: Rasulullah (shalallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda:
Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat bagi setiap penyakit,
maka berobatlah dan janganlah berobat dengan yang haram” (HR. Abu Dawud).

Minuman beralkohol atau minuman yang berbahaya bagi kesehatan dilarang


dalam Islam, dan bahkan sedikit alkohol dalam makanan atau minuman akan
membuat produk menjadi haram. Saat ini, sudah diketahui bahwa alkohol adalah
berbahaya bagi kesehatan (Park et al 2016). Majelis Ulama Indonesia (MUI)
menetapkan bahwa kandungan alkohol dalam minuman tidak boleh melebihi 1%,
walaupun dalam fatwa MUI tahun 2009, obat beralkohol masih diperbolehkan
jika dalam keadaan terpaksa tidak ada pilihan lain (darurat), dan secara medis
tidak membahayakan bagi kesehatan (MUI 200).

Kehalalan obat ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: 1. Bahan baku yang digunakan
yaitu bahan aktif; bahan tambahan seperti pembawa, pengisi, pelarut, pengawet,
pengemulsi, pensuspensi, pewarna, dan lain-lain; 2. Proses produksi, dimana
dalam proses tidak boleh menggunakan alat-alat yang bersentuhan dengan barang
najis dan barang haram; 3. Penyimpan produk.
Perbedaan persepsi yang terjadi di masyarakat bahwa sebagian besar obat liquid
(sirup) non herbal mengandung alkohol yang kadarnya lebih besar dari 1%.
Karena berdasarkan fatwa MUI bahwa minuman dilarang mengandung alkohol
lebih dari 1% (MUI 2009), sementara obat dalam bentuk sirup juga diminum.
Terkait dengan obat beralkohol, fatwa MUI mengatakan diperbolehkan jika dalam
keadaan darurat, maka muncul polemik apa benar kondisi saat ini masih dalam
keadaan darurat, mengingat pakar Farmasi semakin banyak dan teknologi semakin
canggih. Obat liquid nonherbal yang sudah mendapatkan label bebas alkohol pun
ternyata diisukan masih mengandung alkohol, meskipun pernyataan tersebut
belum teruji secara ilmiah (Lukmanudin 2015).

Metode Penelitian :

Penelitian ini menggunakan desain observasional yang bersifat deskriptif.


Penelitian dilakukan di Apotik Yakersuda Bangkalan. Pengumpulan data
dilakukan dengan observasi terhadap kemasan sekunder pada semua obat sirup
yang ada di Apotik tersebut, yaitu dengan mengamati komposisi dari masing-
masing obat sirup tersebut. Kemudian semua obat sirup tersebut dicatat
kandungan alkoholnya.

Hasil dan Pembahasan :

Dari hasil penelitian sebagaimana disajikan pada tabel berikut, menunjukkan


bahwa dari 106 (seratus enam) obat dalam bentuk sediaan sirup yang ada di
Apotik Yakersuda Bangkalan terdapat 8 (delapan) item obat yang mencantumkan
kandungan alkohol nya pada kemasan sekunder, yaitu: Actifed Plus Batuk Kering
+ Pilek dengan kandungan alkohol (9,9%); Actifed Plus Expektoran (6,93%);
Benacol DTM (4%); Benacol Syr (4%); OBH Combi Syr Berdahak (2%); Vicks
formula 44 (10); dan Woods Exp Syr (6%). Penelitian ini tidak bisa mengetahui
kandungan alkohol dalam obat yang tidak mencantumkan pada kemasan
sekundernya, karena tidak dilakukan pemeriksaan di laboratorium. Untuk itu obat
yang tidak mencantumkan kandungan alkohol pada kemasan sekundernya, belum
bisa dipastikan bahwa obat tersebut tanpa alkohol, karena alkohol sampai saat ini
masih menjadi pilihan utama sebagai pelarut obat sirup terutama untuk bahan aktif
yang sulit larut dalam air. Oleh karena itu perlu dibuktikan dengan pemeriksaan di
laboratorium. Dari data tersebut menunjukkan bahwa semua obat yang
mencantumkan kandungan alkohol terbukti bahwa semuanya (100%)
mengandung alkohol lebih dari 1%, artinya melebihi batas yang diperbolehkan
sesuai dengan fatwa MUI (MUI 2009).

Kesimpulan :

Kandungan alkohol pada beberapa obat bentuk sediaan sirup yang mencantumkan
kandungan alkohol pada kemasan sekundernya di Apotik Yakersuda melebihi 1%
yaitu: Actifed Plus Batuk Kering + Pilek dengan kandungan alkohol (9,9%);
Actifed Plus Expektoran (6,93%); Benacol DTM (4%); Benacol Syr (4%); OBH
Combi Syr Berdahak (2%); Vicks formula 44 (10); dan Woods Exp Syr (6%).
Untuk obat yang tidak mencantumkan kandungan alkohol pada kemasan belum
bisa dipastikan bahwa obat tersebut bebas alkohol. Disarankan pada para praktisi
Apoteker di Industri farmasi, dan pada akademisi di Perguruan Tinggi Farmasi
untuk mencari alternatif pengganti alkohol sebagai pelarut sediaan farmasi,
supaya obat tersebut lebih terjamin kehalalannya. Perlu dilakukan penelitian di
laboratorium tentang kandungan alkohol dalam obat.
Judul Jurnal : Peranan Eter dan Morfin Dalam Anestsi

Abstrak :

Eter merupakan senyawa organik yang mempunyai titik didih rendah


sehingga mudah menguap dan mempunyai daya larut yang baik terhadap jaringan
sel tubuh. Senyawa ini digunakan dalam proses anestesi yang di maksudkan untuk
patirasa pasien yang akan menjalani pembedahan, anestesi ini dapat dilakukan
secara lokal maupun keseluruhan. tergantung pada pembedahan yang akan
dilakukan. Pada tahun 1846 di Boston seorang dokter gigi bernama William TG
berhasil mengoperasi tumor rahang pasien dengan menggunakan eter sebagai
anastesi.
Anestesi tersebut dilakukan dengan cara hirup dan cara injeksi. Metode
injeksi lebih baik karena dapat diatur konsentrasinya sesuai dengan kondisi pasien
yang akan menjalani pembedahan sehingga waktu ketidaksadaran pasien
dapatditentukan.

Proses Anestesi :

Anestesi dibagi menjadi dua golongan, yaitu anestesi umum dan anestesi lokal.
Pemberian anestesi umum dimaksudkan untuk patirasa terhadap rasa sakit
(analgesia) hilangnya kesadaran dan rileksasi otot. Anestesi dapat dilakukan
melalui injeksi dan penghirupan, untuk penghirupan digunakan senyawa
nitrooksida, siklopropana maupun eter, sedangkan untuk injeksi digunakan
senyawa barbiturate. Standar anestesi hirup yang baik adalah dapat mempengaruhi
pengaruhi beberapa saraf, mudah melarut di dala darah dan jaringan, tidak mudah
terbakar tidak meracuni tubuh pasien,mtidak terlalu berbau dan tidak
menimbulkan efek samping pusing dan mual. Senyawa dietil eter yang dalam
perdagangan hanya disebut eter saja, merupakan senyawa terbaik untuk anestesi
total/umum walaupun mempunyai kekurangan seperti mudah terbakar,
menimbulkan efek samping pusing dan mual dan reaksinya sangat lambat.
Dengan kondisi seperti tersebut, saat sekarang penggunaan eter telah dibatasi dan
sebagai senyawa penggantinya adalah senyawa halotana yang dianggap sebagai
anestesi ideal saat ini karena mudah diserap dan diadsorbsi oleh paru-paru pasien,
tidak menimbulkan kerusakan hati.

Uraian Tentang Eter:

Sifat fisik eter merupakan senyawa yang tidak berwarna dan mempunyai bau yang
enak, titik didihnya lebih rendah dari titik didih senyawa alkohol yang
mernpunyai jumlah atom C sama. Misalnya adalah (Hart H, 1983:93):
CZHS - 0 - CZH'5 C4H9-OH
eter butanol
td.=35,6°C td.=117,9°C
Rendahnya titik didih eter karena tidak dapat membentuk ikatan hidrogen dengan
molekul eter yang lain, tetapi dapat membentuk ikatan hidrogen dengan molekul
air. Eter tidak bereaksi dengan asam encer, basa encer maupun dengan senyawa
oksidator/reduktor biasa. Penggunaan eter untuk anestesi waktu sekarang telah
ditinggalakan karena dapat meracuni tubuh, seperti terjadinya kerusakan hati dan
menimbulkanrasa pusing dan mual pada pasien.
Untuk menghindari terjadinya keracunan penggunaan obat anestesi, kecuali dosis
obat anestesi yang digunakan sudah tepat harus diperhatikan keamanan dan
keampuhan obat anestesi tersebut. Hal ini karena keamaanan pasien tergantung
pada: :
a. Teknik suntikan yang benar yaitu dilakukan secara pelanpelan dengan aspirasi
berulang.
b. Persiapan yang baik, termasuk tersedianya obat untuk keperluan keadaan
darurat dan tersedianya alat resutasi.
c. Kewaspadaan akan reaksi abat anestesi.
Dengan memperhatikan keamanan dan keampuhan obat anestesi tersebut maka
dapat dihindari terjadinya keracunan pasien sehingga setelah selesai melakukan
pembedahan tidak
akan menimbulkan efek samping bagi pasien yang selanjutnya akan merugikan
pasien itu sendiri.
Judul Jurnal : Asetilisasi Pada Fenol Dan Anisol Menggunakan Anhidrida Asam
Asetat Berkatalis Zr4 + -Zeolit Beta

Ringkasan :

Zeolit beta pada umumnya memiliki keasaman tinggi dan berpotensi aktif sebagai
katalis heterogen dalam asilasi Friedel-Crafts senyawa aromatik. Untuk meningkatkan
stabilitas dan selektivitasnya, zeolit beta perlu diaktivasi dan dimodifikasi terlebih dahulu
dengan mengembankan logam aktif zirkonium dengan metode pertukaran ion.
Karakterisasi katalis meliputi analisis kristalinitas katalis dengan XRD, sifat permukaan
katalis dengan Surface Area Analyzer dan uji keasaman dengan pengadsorbsi piridin.

Dalam industri, reaksi asetilasi biasa digunakan pada pembuatan selulosa


asetat dan pembuatan aspirin (asam asetil salisilat). Agen asetilasi yang umum
digunakan untuk industri adalah anhidrida asetat karena lebih murah, tidak mudah
dihidrolisis, dan reaksinya tidak berbahaya (Wahyuni 2004). Reaksi berkatalis
asam dari suatu anhidrida dengan alkohol atau fenol akan menghasilkan ester.
Reaksi ini menggunakan anhidrida asetat yang tersedia secara komersial
(Harwood et al. 2009).
Asilasi aromatik secara umum berlangsung dengan bantuan katalis asam
Lewis. Dalam substitusi elektrofilik, substituen yang telah ada dalam cincin
mengarahkan elektrofilik yang akan masuk pada posisi-posisi tertentu dan juga
mempengaruhi laju reaksi substitusi. Ada dua jenis substituen, yang pertama
gugus aktivasi membentuk produk -orto dan -para. Kedua merupakan gugus
deaktivasi membentuk produk -meta (Sitorus 2010). Orientasi dan laju substitusi
elektrofilik pada fenol dan anisol mengarahkan pada posisi orto- dan para-atau
merupakan gugus pengaktivasi cincin.

Nuraningsih & Irmina (2007) telah melakukan penelitian mengenai reaksi


asilasi fenol dengan menggunakan katalis homogen (FeCl3, Al2O3, FeCl3/Al2O3
). Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa produk asetofenon dan fenil etanoat
dengan peningkatan keasaman katalis sebanding dengan meningkatnya produk
asetofenon dari hasil asilasi. Ramli et al. (2002) melakukan penelitian mengenai
asilasi anisol menggunakan katalis H-zeolit beta dengan agen asilasi anhidrida
propionik. Hasil asilasi diperoleh produk utama p-metoksi propiofenon sebesar
75,3% dan hasil samping berupa asam propionik.
Penggunaan katalis heterogen dapat menjadi suatu alternatif yang sangat menarik
dalam industri kimia, karena kemudahan dalam pemisahan dan katalis ini dapat
digunakan kembali. Selain itu, harga katalis heterogen pada umumnya lebih
rendah daripada katalis homogen (Triyono 2002). Di antara logam-logam transisi,
logam zirkonium merupakan unsur logam transisi yang banyak digunakan dalam
proses katalitik pada katalis sebagai pendukung dan juga sebagai promotor
(Sugiyanto & Suyanti 2010). Yongzhong et al. (2005) melaporkan bahwa
zirkonium dapat dimasukkan atau diembankan ke dalam zeolit beta sampai 2,4%.
Pada penelitian ini akan dipreparasi katalis dari logam Zr4+ yang
diembankan pada zeolit beta. Katalis tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai
pengemban karena memiliki stabilitas pemanasan yang tinggi, porositas yang baik
dan luas permukaan yang besar. Penelitian ini mempelajari pengaruh temperatur,
waktu reaksi serta aktivitas dan selektivitas katalis Zr4+-zeolit beta pada reaksi
asetilasi fenol dan anisol.

METODE PENELITIAN
Preparasi katalis dilakukan dengan memanaskan H-zeolit beta dengan
oven pada suhu 150OC selama 2 jam sehingga terbentuk H-zeolit beta aktif.
Pemanasan bertujuan untuk mengurangi kandungan air yang menutupi permukaan
pori H-zeolit beta. Hasilnya, 5 g H-zeolit beta aktif direndam dalam 25 mL ZrCl4
0,1 N dan dipanaskan selama 24 jam pada suhu 90OC sambil diaduk menggunakan
stirer magnetic. Pengadukan bertujuan untuk menghindari terakumulasinya logam
aktif pada permukaan katalis, sehingga diperoleh keadaan yang homogen.
Analisis dengan metode BET didasarkan pada banyaknya gas nitrogen
yang teradsorbsi pada permukaan semakin besar. Sebaliknya semakin sedikit gas
nitrogen yang teradsorbsi pada permukaan padatan maka semakin kecil luas
permukaan.
Pori katalis memiliki peran penting dalam peningkatan luas permukaan padatan.
Untuk memperoleh luas permukaan padatan yang besar maka harus
memperhatikan luas dan volume pori padatan. Masuknya logam aktif Zr4+ ke
dalam pori zeolit beta terbukti memperluas permukaan zeolit beta. Hal ini dapat
dilihat dari peningkatan luas permukaan spesifik yang cukup besar dari 0,452
m2/g pada H-zeolit beta menjadi 8,514 m2/g pada Zr4+-zeolit beta dan volume
pori total juga semakin meningkat dari 0,015 cc/g pada H-zeolit beta menjadi
0,032 cc/g pada Zr4+-zeolit beta.
Proses pertukaran ion juga menyebabkan terjadinya penurunan rerata jejari
pori total secara signifikan sebagai akibat terbukanya pori berukuran kecil
(mikropori), yaitu dari 302,826 Å pada H-zeolit permukaan padatan. Semakin
banyak gas nitrogen yang teradsorbsi pada permukaan padatan maka luas beta
menjadi 15,261 Å pada Zr4+-zeolit beta karena luas permukaan spesifik yang
meningkat. Tujuan pertukaran ion logam aktif ke permukan suatu padatan adalah
untuk memperluas permukaan padatan tersebut (sampel katalis) dan diharapkan
aktivitas katalis akan meningkat. Semakin banyak logam yang dipertukarkan
secara merata pada pori dan permukaan katalis diharapkan luas permukaan
spesifik akan meningkat pula.
Keasaman merupakan salah satu faktor penting dalam penggunaan zeolit
sebagai katalis. Uji keasaman katalis dilakukan untuk mengetahui jumlah situs
asam pada padatan katalis tersebut. Makin besar sifat keasaman berarti semakin
banyak situs pada padatan katalis tersebut. Keasaman yang ditentukan dalam
penelitian ini merupakan keasaman pada permukaan katalis yang ditentukan
secara gravimetri dengan piridin sebagai basa adsorbat.

Hasil asetilasi anisol dengan anhidrida asam asetat terkatalis Zr4+-zeolit


beta tidak memperoleh produk. Gugus asetil dari anhidrida asam asetat sukar
untuk menggantikan atom H pada cincin benzena baik pada fenol maupun anisol.
Asetilasi pada cincin benzena dengan perbandingan mol yang sama antara
senyawa pereaksi dengan anhidrida asam asetat membutuhkan waktu reaksi yang
lebih lama dan temperatur reaksi yang lebih tinggi dibandingkan asetilasi pada
gugus OH dalam fenol.

Anda mungkin juga menyukai