Anda di halaman 1dari 8

PEMERINTAH KABUPATEN PIDIE JAYA

DINAS PERTANAHAN
Alamat : Komplek Perkatoran Cot Trieng Lantai 3 Kode Pos 24186 Meureudu email: pertanahanpijay@gmail.com

Nomor : 900/590/121/DPPJ/2021 Meureudu, 22 Desember 2021


Lampiran : 1 eks Kepada Yth ;
Notaris Siti Nurmawani, S.H., M.Kn
di –
Meureudu

Perihal : Permohonan Pembuatan Akta Peralihak Ganti Rugi

Dengan hormat,

Kami yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : HAUREN AYNY, S. Pd


Pekerjaan / Jabatan : Kepala Dinas Pertanahan Kab. Pidie Jaya
Alamat : Komplek Perkatoran Cot Trieng Lantai 3 Kode Pos
24186 Meureudu email: pertanahanpijay@gmail.com
Dalam hal ini bertindak sebagai kuasa dari:
Nama : AIYUB BIN ABBAS
Pekerjaan / Jabatan : Bupati Pidie Jaya
Alamat : Komplek Perkatoran Cot Trieng Lantai 3 Kode Pos
24186 Meureudu email: pertanahanpijay@gmail.com

Dengan ini mengajukan permohonan pembuatan Akta Peralihan Hak Ganti Rugi atas
bidang tanah untuk Belanja Modal Untuk Jalan yang terletak di:
Jalan : Alue Keutapang
Desa/Keluarah : Alue Keutapang
Kecamatan : Bandar Dua
Kabupaten : Pidie Jaya
Provinsi : Aceh

Yang semula terdaftar sebagai Hak Milik Pribadi Bapak A. Jalil Johan dengan
Nomor Akta Jual Beli 141/Akta/1978 yang akan dialihkan menjadi Hak Milik
Pemerintah Daerah Kabupaten Pidie Jaya berdasarkan Kwitansi Pembayaran
Ganti Rugi tanah tersebut. (terlampir)

Demikian permohonan kami, atas bantuan dan kerja sama yang baik kami ucapkan
terima kasih.

Kepala Dinas Pertanahan


Kabupaten Pidie Jaya
HAUREN AYNY, S. Pd
Pembina Tk. I (IV/b)
NIP. 19641231 198610 2 015

Ulasan Lengkap
Dalam transaksi jual beli tanah, baik penjual maupun pembeli dikenakan pajak. Untuk penjual, dikenakan
Pajak Penghasilan (“PPh”). Dasar hukum pengenaan PPh untuk penjual tanah adalah Pasal 1 ayat (1) dan
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah
dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya (“PP 34/2016”) sebagai berikut:

 Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari:

a. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau


b. perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya,

Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau

Mulai Dari

Rp 149.000

terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.

2. Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pihak yang mengalihkan hak
atas tanah dan/atau bangunan melalui penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan
hak, lelang, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.

Besarnya PPh dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah sebesar:[1]

a. 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana
atau Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
b. 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa
Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha
pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau

c. 0% (nol persen) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan
usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau badan usaha milik
daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum.

Kami asumsikan Wajib Pajak yang Anda maksud bukanlah Wajib Pajak yang usaha pokoknya mealakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan juga bukanlah pengalihan yang ditujukan kepada
pemerintah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah.

 Jadi rumus cara menghitung PPh untuk pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah:

 PPh = 2.5% X jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan

Nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam hal jual beli yang tidak dipengaruhi hubungan
istimewa, selain pengalihan hak kepada pemerintah dan pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang,
adalah nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh.[2]
 Hubungan istimewa dianggap ada apabila:[3]

a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di
antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah
penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau

c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus
dan/atau ke samping satu derajat.

 
Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan, salah satunya adalah
orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp 60
juta dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.[4]

 Contoh Cara perhitungan:

Bu Shinta menjual rumah dengan luas bangunan 600m 2 dan luas tanah 1200m2 dengan harga Rp 1 miliar.
Berapa PPh yang harus dibayarkan oleh Bu Shinta?

 Besaran PPh terutang adalah:

 2.5 % x 1.000.000.000 = Rp 25.000.000

 Cara Menghitung Pajak Bagi Pembeli

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (“UU
28/2009”), untuk pembeli, dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (“BPHTB”), yaitu
pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.[5] Hal ini didasarkan pada 
Pasal 85 ayat (1) dan ayat (2) huruf a angka 1) UU 28/2009 yang mengatur bahwa yang menjadi Objek
Pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan tersebut salah satunya meliputi pemindahan hak karena jual beli.

 Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen).[6] Tarif BPHTB ditetapkan dengan
Peraturan Daerah.[7]

 Untuk itu, mengenai BPTHB Anda perlu melihat kembali peraturan di daerah setempat. Seperti misalnya
di DKI Jakarta, BPHTB diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 18
Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (“Perda DKI Jakarta 18/2010”) serta
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 126 Tahun 2017 tentang Pengenaan 0% (Nol Persen)
Atas Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Terhadap Perolehan Hak Pertama Kali dengan Nilai
Perolehan Objek Pajak Sampai dengan Rp2.000.000.000,00 (Dua Miliar Rupiah) (“Pergub DKI Jakarta
126/2017”).

 Berdasarkan Perda DKI Jakarta 18/2010, tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).[8]

 Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (“NPOP”).[9] Dalam hal jual beli, Nilai
Perolehan Objek Pajak adalah harga transaksi, sementara dalam hal hibah, hibah wasiat, dan waris
adalah nilai pasar.[10] Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak tidak diketahui atau lebih rendah daripada
Nilai Jual Objek Pajak (“NJOP”) yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun
terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.[11]
 Cara Menghitung BPHTB:[12]

Tarif BPTHB x (Nilai Perolehan Objek Pajak – Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak)

 Besaran Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (“NPOPTKP”) di DKI Jakarta ditetapkan sebagai
berikut:[13]

a. besaran Rp 80 juta untuk setiap Wajib Pajak; dan


b. besaran Rp 350 juta untuk Waris dan Hibah Wasiat.

Berkaitan dengan pengalihan hak yang tidak terdapat hubungan istimewa di dalamnya pada kasus Anda,
dalam Penjelasan Pasal 7 Perda DKI Jakarta 18/2010, diuraikan juga contoh perhitungannya sebagai
berikut:

Wajib Pajak “A” membeli tanah dan bangunan dengan:

NPOP : Rp 150.000.000,00

NPOPTKP : RP 80.000.000,00 (-)

NPOP Kena Pajak : Rp 70.000.000,00

BPHTB Terhutang : 5% x Rp 70.000.000,00 = Rp 3.500.000,00

Akan tetapi, perlu diketahui bahwa terdapat pengenaan 0% atas BPHTB terhadap perolehan hak untuk
pertama kali meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru, sebagaimana diatur dalam Pergub DKI
Jakarta 126/2017.

 Pengenaan 0% atas BPHTB terhadap perolehan hak pertama kali karena pemindahan hak atau
pemberian hak baru ini hanya berlaku bagi wajib pajak orang pribadi, yang merupakan Warga Negara
Indonesia yang berdomisili di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta paling sedikit selama 2 (dua) tahun
berturut-turut, serta dengan Nilai Perolehan Objek Pajak sampai dengan Rp2 miliar.[14]

Uraian selengkapnya mengenai pajak jual beli tanah dapat Anda simak dalam artikel Pajak Penjual dan
Pembeli dalam Transaksi Jual Beli Tanah dan Cara Memperoleh Pengenaan 0% Atas BPHTB di Jakarta.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang


Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah
dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya;

4. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 18 Tahun 2010 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan;

5. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 13 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Gubernur Nomor 112 Tahun 2011 tentang Prosedur
Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan;
6. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 126 Tahun 2017 tentang Pengenaan 0% (Nol
Persen) Atas Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Terhadap Perolehan Hak Pertama Kali
Dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Sampai Dengan RP2.000.000.000,00 (Dua Miliar Rupiah).

[1] Pasal 2 ayat (1) PP 34/2016

[2] Pasal 2 ayat (2) huruf d PP 34/2016

[3] Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

[4] Pasal 6 huruf a PP 34/2016

[5] Pasal 1 angka 41 UU 28/2009

[6] Pasal 88 ayat (1) UU 28/2009

[7] Pasal 88 ayat (2) UU 28/2009

[8] Pasal 6 Perda DKI Jakarta 18/2010

[9] Pasal 87 ayat (1) UU 28/2009 dan Pasal 5 ayat (1) Perda DKI Jakarta 18/2010

[10] Pasal 87 ayat (2) UU 28/2009 dan Pasal 5 ayat (2) Perda DKI Jakarta 18/2010

[11] Pasal 87 ayat (3) UU 28/2009 dan Pasal 5 ayat (3) Perda DKI Jakarta 18/2010

[12] Pasal 89 ayat (1) UU 28/2009 dan Pasal 7 ayat (1) Perda DKI Jakarta 18/2010

[13] Pasal 13 ayat (1) Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 13 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Gubernur Nomor 112 Tahun 2011 tentang Prosedur
Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Penyesuaian Tarif PPN 11% Mulai 1 April
2022
Jakarta, 31 Maret 2022 – Sehubungan dengan penyesuaian tarif PPN dari 10%
menjadi 11% yang mulai berlaku tanggal 1 April 2022, dengan ini disampaikan hal-hal
sebagai berikut:

1. Penyesuaian tarif PPN merupakan amanat pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun


2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

2. Kebijakan tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan dari reformasi perpajakan


dan konsolidasi fiskal sebagai fondasi sistem perpajakan yang lebih adil, optimal, dan
berkelanjutan.

3. Barang dan Jasa tertentu TETAP DIBERIKAN FASILITAS BEBAS PPN antara
lain:

a) barang kebutuhan pokok: beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur,
susu, buah-buahan, sayur-sayuran, dan gula konsumsi;

b) jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa sosial, jasa asuransi, jasa keuangan, jasa
angkutan umum, dan jasa tenaga kerja;

c) vaksin, buku pelajaran dan kitab suci;

d) air bersih (termasuk biaya sambung/pasang dan biaya beban tetap);

e) listrik (kecuali untuk rumah tangga dengan daya >6600 VA);

f) rusun sederhana, rusunami, RS, dan RSS;

g) jasa konstruksi untuk rumah ibadah dan jasa konstruksi untuk bencana nasional;

h) mesin, hasil kelautan perikanan, ternak, bibit/benih, pakan ternak, pakan ikan, bahan
pakan, jangat dan kulit mentah, bahan baku kerajinan perak;

i) minyak bumi, gas bumi (gas melalui pipa, LNG dan CNG) dan panas bumi;

j) emas batangan dan emas granula;

k) senjata/alutsista dan alat foto udara.

4. Barang tertentu dan jasa tertentu TETAP TIDAK DIKENAKAN PPN:

a) barang yang merupakan objek Pajak Daerah: makanan dan minuman yang disajikan
di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya;
b) jasa yang merupakan objek Pajak Daerah: jasa penyediaan tempat parkir, jasa
kesenian dan hiburan, jasa perhotelan, dan jasa boga atau catering;

c) uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga;

d) jasa keagamaan dan jasa yang disediakan oleh pemerintah.

5. Sebagai bagian dari reformasi perpajakan, penyesuaian tarif PPN juga dibarengi
dengan:

a) penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi atas penghasilan kena pajak
Rp50 juta sampai dengan Rp60 juta dari 15% menjadi 5%;

b) pembebasan pajak untuk WP OP pelaku UMKM dengan omzet sampai dengan Rp500
juta;

c) fasilitas PPN final dengan besaran tertentu yang lebih kecil, yaitu 1%, 2% atau 3%;

d) layanan restitusi PPN dipercepat sampai dengan Rp 5 Miliar tetap diberikan.

6. Di samping dukungan perpajakan, pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan


Belanja Negara (APBN) juga tetap melanjutkan dan akan memperkuat dukungannya
berupa perlindungan sosial untuk menjaga daya beli masyarakat dan kondisi
perekonomian nasional.

7. Pemerintah akan terus merumuskan kebijakan yang seimbang untuk menyokong


pemulihan ekonomi, membantu kelompok rentan dan tidak mampu, mendukung dunia
usaha terutama kelompok kecil dan menengah, dengan tetap memperhatikan kesehatan
keuangan negara untuk kehidupan bernegara yang berkelanjutan.

8. Pengaturan lebih lanjut mengenai UU HPP klaster PPN akan tertuang dalam:

a) PMK tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, dan


Pelaporan PPN atas Pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP dari Luar Daerah Pabean di
Dalam Daerah Pabean Melalui PMSE;

b) PMK tentang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri;

c) PMK tentang PPN atas LPG Tertentu;

d) PMK tentang PPN atas Penyerahan Hasil Tembakau;

e) PMK tentang PPN atas Penyerahan Barang Hasil Pertanian Tertentu;

f) PMK tentang PPN atas Penyerahan Kendaraan Bermotor Bekas;

g) PMK tentang PPN atas Penyerahan Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian;

h) PMK tentang PPN atas Penyerahan JKP Tertentu;

i) PMK tentang Kriteria dan/atau Rincian Makanan dan Minuman, Jasa Kesenian dan
Hiburan, Jasa Perhotelan, Jasa Penyediaan Tempat Parkir, serta Jasa Boga atau
Katering, yang Tidak Dikenai PPN;
j) PMK tentang Penunjukan Pihak Lain sebagai Pemungut Pajak dan Tata Cara
Pemungutan, Penyetoran, dan/atau Pelaporan Pajak yang Dipungut oleh Pihak Lain atas
Transaksi Pengadaan Barang dan/atau Jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan
Pemerintah;

k) PMK tentang PPN dan PPh atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto;

l) PMK tentang PPh dan PPN atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial;

m) PMK tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan NPWP, Pengukuhan dan
Pencabutan Pengukuhan PKP, serta Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran,
dan Pelaporan Pajak bagi Instansi Pemerintah;

n) PMK tentang PPN atas Penyerahan Jasa Agen Asuransi, Jasa Pialang Asuransi, dan
Jasa Pialang Reasuransi.

9. Direktorat Jenderal Pajak telah menyesuaikan aplikasi layanan perpajakan, seperti:


e-Faktur Desktop, e-Faktur Host to Host, e-Faktur Web, VAT Refund, dan e-Nofa
Online.

Demikian disampaikan, terima kasih.  

Anda mungkin juga menyukai