Anda di halaman 1dari 35

Case Report Session

ASMA PADA ANAK

Oleh:
Dini Fajriah Omari
2040312131

Preseptor:
dr. Yorva Sayoeti, Sp.A(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan pada Allah SWT berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah Case Report Session (CRS)
yang berjudul “Asma pada Anak”. Makalah CRS ini disusun untuk menambah
pengetahuan dan wawasan penulis dan pembaca, serta menjadi salah satu kegiatan
ilmiah dalam mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Yorva Sayoeti, Sp.A(K) selaku
preseptor yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah
ini. Penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yag telah membantu dalam
penulisan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih memiliki banyak
kekurangan. Kritik dan saran sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Padang, 11 Januari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
2.1 Latar Belakang 1
2.2 Batasan Masalah 2
2.3 Tujuan Penulisan 2
2.4 Metode Penulisan 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Definisi 3
2.2 Epidemiologi 3
2.3 Faktor Risiko 4
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi 9
2.4.1 Patogenesis 9
2.4.2 Patofisiologi 10
2.5 Manifestasi Klinis 11
2.6 Diagnosis 11
2.5.1 Anamnesis 11
2.5.2 Pemeriksaan Fisik 12
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang 12
2.5.4 Klasifikasi 14
2.7 Penatalaksanaan 15
2.7.1 Tatalaksana Serangan Asma di Rumah 15
2.7.2 Tatalaksana Serangan Asma di Fasyankes dan Rumah Sakit 16
2.7.3 Tatalaksana Jangka Panjang 18
2.8 Prognosis 20
BAB III LAPORAN KASUS 21
BAB IV DISKUSI 30
DAFTAR PUSTAKA 32

ii
BAB I
PENDAHULUAN

2.1 Latar Belakang

Asma merupakan suatu kelainan pada saluran napas bawah yang


diakibatkan oleh proses inflamasi kronis yang banyak terjadi pada anak. Global
Institute for Asthma (GINA) mendefinisikan asma adalah penyakit heterogen yang
ditandai dengan adanya inflamasi kronis pada saluran napas. Inflamasi kronis
tersebut menyebabkan gejala wheezing, sesak napas, nyeri dada, dan batuk yang
dapat berubah berdasarkan waktu dengan intensitas yang berbeda-beda, bersamaan
dengan terjadinya obstruksi saat ekspirasi.1
Asma telah menjadi masalah kesehatan global yang serius mengenai semua
kelompok usia dengan adanya peningkatan prevalensi tidak hanya di negara
berkembang, namun juga negara maju. Penyakit ini sering terjadi pada anak-anak,
oleh karena itu penting untuk lebih konsisten dalam meningkatkan sistem
kesehatan. Prevalensi asma pada anak-anak di Brasil, Costa Rica, Panama, Peru
dan Uruguay bervariasi dari 20% hingga 30%.2,3
Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat termasuk di
negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Peningkatan tersebut diduga
berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama
polusi baik indoor maupun outdoor. Prevalensi asma pada anak di seluruh dunia
berkisar antara 2-30%. Di Indonesia prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada
usia sekolah dasar dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama. Asma
memberi dampak negatif bagi pengidapnya seperti sering menyebabkan anak tidak
masuk sekolah, membatasi kegiatan olahraga serta aktivitas seluruh keluarga, juga
dapat merusak fungsi sistem saraf pusat, menurunkan kualitas hidup penderitanya,
dan menimbulkan masalah pembiayaan.1,4
Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya,
dan tidak dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan
untuk menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya
penurunan frekuensi dan derajat serangan, sedangkan penatalaksanaan utama
adalah menghindari faktor penyebab.5

1
2.2 Batasan Masalah
Laporan kasus ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, prognosis, serta laporan
kasus asma pada anak.

2.3 Tujuan Penulisan


Laporan kasus ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman mengenai asma pada anak.

2.4 Metode Penulisan


Laporan kasus ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
merujuk pada berbagai literatur.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Asma merupakan suatu kelainan pada saluran napas bawah yang
diakibatkan oleh proses inflamasi kronis yang banyak terjadi pada anak. Global
Institute for Asthma (GINA) mendefinisikan asma adalah penyakit heterogen yang
ditandai dengan adanya inflamasi kronis pada saluran napas. Inflamasi kronis
tersebut menyebabkan gejala wheezing, sesak napas, nyeri dada, dan batuk yang
dapat berubah berdasarkan waktu dengan intensitas yang berbeda-beda, bersamaan
dengan terjadinya obstruksi saat ekspirasi.1
Terjadinya asma dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Asma
terjadi karena inflamasi kronik, hiperresponsif, dan perubahan struktur akibat
penebalan dinding bronkus (remodeling) saluran respiratori yang berlangsung
kronik bahkan sudah ada sebelum munculnya gejala awal asma. Penyempitan dan
obstruksi pada saluran respiratori terjadi akibat penebalan dinding bronkus,
kontraksi otot polos, edema mukosa, dan hipersekresi mukus.6
Definisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK)
Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada tahun 2016 menyebutkan
bahwa asma adalah penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronis yang
mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat
bervariasi.6

2.2 Epidemiologi
Asma adalah penyakit pernapasan kronis yang paling banyak diderita di
seluruh dunia, menyerang lebih dari 300 juta orang dari semua kelompok etnis di
segala usia. Penyakit ini sering terjadi pada anak-anak, oleh karna itu penting untuk
lebih konsisten dalam meningkatkan sistem kesehatan. Asma bukan hanya masalah
kesehatan di masyarakat negara maju baik di negara-negara berkembang, insiden
penyakit ini sangat bervariasi. Di India diperkirakan terdapat 15-20 juta penderita
asma, sebanyak 10-15% adalah anak berusia 15 tahun. Di Wilayah Pasifik Barat
dari WHO, kejadian asma bervariasi dari lebih dari 50% di antara anak-anak di

3
Kepulauan Caroline. Prevalensi asma pada anak-anak di Brasil, Costa Rica,
Panama, Peru dan Uruguay bervariasi dari 20% hingga 30%.2,3
Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat termasuk di
negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Peningkatan tersebut diduga
berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama
polusi baik indoor maupun outdoor. Prevalensi asma pada anak di seluruh dunia
berkisar antara 2-30%. Dari Infodatin 2016, prevalensi asma di Indonesia sebanyak
5,5% terjadi pada usia 15-24 tahun. Di Indonesia prevalensi asma pada anak sekitar
10% pada usia sekolah dasar dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama.
Asma dapat timbul pada segala umur, 30% penderita menunjukkan gejala klinis
pada umur 1 tahun, sedangkan 80-90% timbul gejala pertama umur 4-5 tahun.
Prevalensi asma menurun sebanding dengan bertambahnya usia terutama setelah
usia sepuluh tahun. Hal ini yang menyebabkan prevalensi asma pada orang dewasa
lebih rendah jika dibandingkan dengan prevalensi asma pada anak.4,10

2.3 Faktor Risiko


Asma diyakini sebagai penyakit heterogen yang awal dan persistensinya
didorong oleh interaksi gen-lingkungan. Interaksi ini dapat terjadi pada awal
kehidupan dan bahkan dalam kandungan. Ada konsensus bahwa “window of
opportunity” ada selama kehamilan dan di awal kehidupan ketika faktor
lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan asma. Beberapa faktor
lingkungan, baik biologis dan sosiologis penting dalam perkembangan asma. Data
yang mendukung peran faktor risiko lingkungan untuk perkembangan asma
mencakup nutrisi, alergen (baik yang terhirup dan tertelan), polutan (terutama asap
tembakau lingkungan), mikroba, dan faktor psikososial.

Faktor lain yang berkontribusi terhadap perkembangan asma, di antaranya:


1. Nutrisi ibu dan bayi
a. Diet maternal
Pola diet ibu selama kehamilan menjadi fokus perhatian terkait
perkembangan alergi dan asma pada anak. Tidak ada bukti kuat bahwa
konsumsi makanan tertentu selama kehamilan meningkatkan risiko asma.
Namun, penelitian terbaru mengamati bahwa asupan makanan ibu yang
4
umumnya dianggap alergi (kacang dan susu) dikaitkan dengan penurunan
alergi dan asma pada keturunannya. Data serupa telah ditunjukkan dalam
kohort kelahiran Nasional Denmark yang sangat besar yaitu hubungan antara
konsumsi kacang tanah, kacang pohon dan/atau ikan selama kehamilan dan
penurunan risiko asma pada keturunannya.1
b. Obesitas dan peningkatan berat badan maternal
Data menunjukkan bahwa obesitas ibu dan penambahan berat badan
selama kehamilan menimbulkan peningkatan risiko asma pada anak-anak.
Sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa obesitas ibu pada kehamilan
dikaitkan dengan kemungkinan yang lebih tinggi dari asma atau wheezing;
setiap 1 kg/m2 peningkatan BMI ibu dikaitkan dengan 2-3% peningkatan asma
anak. Pertambahan berat badan gestasional yang tinggi dikaitkan dengan
kemungkinan asma atau wheezing yang lebih tinggi. Namun, tidak ada
rekomendasi yang dapat dibuat saat ini, karena penurunan berat badan yang
tidak terarah pada kehamilan tidak dianjurkan.1
c. Menyusui
Menyusui mengurangi episode wheezing di awal kehidupan. Namun,
mungkin tidak mencegah perkembangan asma persisten. Terlepas dari
pengaruhnya terhadap perkembangan asma, menyusui harus didorong untuk
semua manfaat positif lainnya.1
d. Waktu pemberian makanan padat
Mulai tahun 1990-an, banyak lembaga pediatrik nasiona
merekomendasikan penundaan pengenalan makanan padat, terutama untuk
anak-anak yang berisiko tinggi terkena alergi. Namun, meta-analisis tidak
menemukan bukti bahwa praktik ini mengurangi risiko penyakit alergi
termasuk asma. Dalam kasus kacang tanah, pengenalan dini dapat mencegah
alergi kacang pada bayi berisiko tinggi.1
2. Suplemen ibu dan bayi
a. Vitamin D
Sebuah tinjauan sistematis studi kohort, kasus kontrol, dan cross-
sectional menyimpulkan bahwa asupan vitamin D, dan vitamin E dikaitkan
dengan risiko penyakit wheezing pada anak-anak yang lebih rendah. Terdapat

5
pengurangan 25% risiko asma/ wheezing berulang pada usia 0–3 tahun.
Efeknya paling besar di antara wanita yang mempertahankan kadar vitamin D
setidaknya 30 ng/ml menunjukkan bahwa kadar vitamin D yang cukup selama
awal kehamilan mungkin penting dalam mengurangi risiko wheezing di awal
kehidupan.1
b. Minyak ikan dan asam lemak tak jenuh ganda rantai panjang
Satu studi baru-baru ini menunjukkan penurunan asma pada anak-anak
pra-sekolah yang berisiko tinggi untuk asma ketika ibu diberi suplemen
minyak ikan dosis tinggi pada trimester ketiga.1
3. Alergen inhalan
a. Tungau debu rumah
Tungau debu rumah adalah hewan (Dermatophagoide pteronyssinus)
berukuran sekitar 0,5 mm yang umum dijumpai di tempat tinggal manusia.
Tungau biasanya berada di karpet terutama yang berbulu tebal dan tidak
dibersihkan, di tumpukan koran, buku, dan pakaian kotor. Tungau debu rumah
yang menyerang penderita asma bronkial masuk ke dalam saluran napas
seseorang sehingga merangsang terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I oleh
karena suatu alergen atau reaksi alergi.
b. Kelembaban, jamur yang terlihat, dan bau jamur di lingkungan rumah
dikaitkan dengan peningkatan risiko asma.1
c. Perubahan cuaca
Kondisi cuaca yang berlawanan seperti temperatur dingin, tingginya
kelembaban dapat menyebabkan asma lebih parah, epidemik yang dapat
membuat asma menjadi lebih parah berhubungan dengan badai dan
meningkatnya konsentrasi partikel alergenik. Dimana partikel tersebut dapat
menyapu pollen sehingga terbawa oleh air dan udara. Perubahan tekanan
atmosfer dan suhumemperburuk asma dengan serangan sesak napas dan
pengeluaran lendir yang berlebihan.
4. Polutan
Ibu yang merokok selama kehamilan adalah rute paling langsung dari
paparan asap tembakau lingkungan pra-kelahiran. Paparan polutan luar ruangan,
seperti tinggal di dekat jalan utama, dikaitkan dengan peningkatan risiko asma.

6
Paparan NO2, SO2, dan PM10 prenatal dikaitkan dengan peningkatan risiko asma
pada masa kanak-kanak.1
Polusi udara dibagi menjadi dua yaitu polusi udara dalam ruangan dan di
luar ruangan. Polusi udara di dalam ruangan dapat menimbulkan ancaman
kesehatan yang serius, seperti semprotan minyak wangi, semprotan nyamuk, dan
lain-lain. Menurut Studi EPA (Environment Protecting Agency) menunjukkan
bahwa tingkat polusi udara sebanyak 2-5 kali lebih tinggi udara dalam ruangan
dibandingkan udara luar ruangan.7
Tingkat tingginya polusi udara dalam ruangan menjadi perhatian khusus,
karena banyak orang yang menghabiskan sebanyak 90 persen dari waktu mereka
di dalam ruangan. Kualitas udara di luar ruangan merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang utama. Di luar ruangan, seperti polusi akibat zat kimia hasil
pabrikan, kendaraan bermotor, dan orang yang bekerja di lingkungan berdebu atau
asap.7
5. Pengaruh mikroba
Interaksi manusia dengan mikrobiota mungkin bermanfaat dalam mencegah
asma. Misalnya risiko asma lebih rendah terjadi pada anak-anak yang dibesarkan
di peternakan dengan paparan kandang dan konsumsi susu peternakan mentah
daripada anak non-petani. Risiko asma juga berkurang pada anak-anak yang kamar
tidurnya memiliki kadar endotoksin lipopolisakarida turunan bakteri yang tinggi.
Demikian pula, anak-anak di rumah dengan 2 anjing atau kucing lebih kecil
kemungkinannya untuk alergi dibandingkan anak-anak di rumah tanpa anjing atau
kucing. Paparan bayi terhadap mikroflora vagina ibu melalui persalinan
pervaginam juga dapat bermanfaat. Ini mungkin berhubungan dengan perbedaan
mikrobiota usus bayi menurut cara persalinannya.1
6. Obat-obatan
Penggunaan antibiotik selama kehamilan dan pada bayi dikaitkan dengan
perkembangan asma di kemudian hari, meskipun tidak semua penelitian
menunjukkan hubungan ini. Analgetik dan parasetamol (asetaminofen) dikaitkan
dengan asma pada anak-anak dan orang dewasa, meskipun paparan selama masa
bayi dapat dikacaukan dengan penggunaan parasetamol untuk infeksi saluran
pernapasan. Penggunaan parasetamol yang sering oleh wanita hamil telah dikaitkan

7
dengan asma pada anak-anak mereka.
7. Faktor psikososial
Lingkungan sosial tempat anak-anak terpapar juga dapat berkontribusi pada
perkembangan dan keparahan asma. Distress ibu selama kehamilan atau selama
tahun-tahun awal anak telah dikaitkan dengan peningkatan risiko asma pada anak.1
Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma,
kejadian asma, berat ringannya penyakit, serta kematian akibat penyakit asma.
Beberapa faktor tersebut telah disepakati oleh ahli, sedangkan sebagian lain masih
dalam penelitian.

Faktor yang dapat memengaruhi terjadinya serangan asma di antaranya8:


1. Riwayat atopi
Adanya riwayat atopi berhubungan dengan meningkatnya risiko asma
persisten dan beratnya asma. Beberapa penelitian di Inggris, anak usia 16 tahun
dengan riwayat asma, akan terjadi serangan mengi dua kali lipat lebih banyak bila
anak mengalami hay fever, rhinitis alergi atau eksema. Eksema persisten
berhubungan dengan gejala asma persisten. Beberapa menunjukan bahwa
sensitisasi alergi terhadap alergen inhalan, susu, telur, atau kacang pada tahun
pertama kehidupan, merupakan prediktor timbulnya asma.

2. Jenis kelamin
Menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalens
asma pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak
perempuan.
3. Usia
Pada kebanyakan kasus asma persisten, gejala asma pertama kali timbul
pada usia muda, yaitu beberapa tahun pertama kehidupan. Dari Melbourne,
Australia, didapatkan 25% anak dengan asma persisten mendapat serangan mengi
di usia <6 bulan, 75% muncul gejala mengi pertama pada usia sebelum dari 3 tahun.
4. Ras/etnik
Menurut laporan dari Amerika Serikat, didapatkan bahwa prevalens asma
dan kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih.

8
7. Lingkungan
Alergen pada lingkungan anak meningkatkan risiko penyakit asma.
Alergen yang sering mencetuskan adalah serpihan binatang peliharaan, tungau
debu rumah, jamur, dan kecoa.
8. Asap rokok
Prevalensi asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi dari anak
yang tidak terpajan asap rokok. Resiko asap rokok sudah dimulai sejak dari janin
dalam kandungan, umum nya berlangsung terus setelah anak di lahirkan, dan
menyebabkan meningkatnya resiko.
9. Outdoor air pollution
Beberapa partikel halus di udara seperti debu jalan raya, nitrat dioksida,
karbon monoksida atau SO2, dapat meningkatkan gejala asma.
10. Infeksi respiratorik
Infeksi respiratorik dengan prevalensi asma masih merupakan
kontroversi. Namun infeksi saluran nafas bawah merupan faktor resiko yang
bermakna untuk terjadinya asma.

2.4 Patogenesis dan Patofisiologi


2.4.1 Patogenesis
Inflamasi saluran napas pada asma kemungkinan mencerminkan adanya
suatu ketidakseimbangan antara dua populasi limfosit Th yang “berlawanan”.
Telah diketahui dua jenis limfosit Th yaitu Th1 yang menghasilkan IL-2 dan IFN-
γ yang memiliki peran pada mekanisme pertahanan selular sebagai respon terhadap
infeksi. Kontras dengan Th1, Th2 menghasilkan sitokin-sitokin IL-4, -5, -6, -9, -13
yang memediasi inflamasi alergi.11
Sel dendritik merupakan antigen presenting cell (APC) yang utama pada
saluran pernapasan. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik akan melakukan
migrasi ke tempat dengan banyak limfosit, melalui pengaruh sitokin lainnya sel
dendritik akan matang dan membantu polarisasi Th0 menjadi Th2. Proses berlanjut
sampai dihasilkannya mediator-mediator inflamasi dan terjadi hiperespon bronkus
dan obstruksi aliran udara.6

9
Gambar 2.1 Patogenesis asma1,11

Terdapat bukti yang mendukung peran dari epitel saluran napas dan
mesenkim di bawahnya dalam patogenesis asma. Diperkirakan bahwa individu
yang rentan secara genetik memiliki fungsi barier epitel yang terganggu
menyebabkan epitel menjadi rentan terhadap infeksi virus pada awal kehidupan
yang mengarahkan sel dendritik pada pembentukan Th2. Cedera epitel yang
terpelihara mengarah pada komunikasi yang terganggu dengan mesenkim di
bawahnya. Inhibisi perbaikan epitel menyebabkan dihasilkannya faktor
pertumbuhan termasuk TGF-β2 yang mengaktivasi fibroblas subepitel untuk
membentuk myofibroblas dan mendukung terjadinya metaplasia mukus. Deposit
myofibroblas, penebalan lamina retikularis pada epitel, dan sekret mitogen
menyebabkan hipertrofi otot polos.12

2.4.2 Patofisiologi
Asma merupakan proses inflamasi kronis yang khas, melibatkan dinding
saluran pernapasan, peningkatan reaktivitas saluran pernapasan dan menyebabkan.
penyempitan jalan nafas yang reversibel dan ditandai oleh serangan batuk,
wheezing (mengi) dan dispnea pada individu dengan jalan naoas yang hiperreaktif.
Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang dengan penyakit
atopik mengidap asma.
10
Gambaran khas adanya inflamasi saluran pernapasan yaitu adanya aktivasi
eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran
pernapasan. Munculnya sel-sel tersebut berhubungan dengan terjadinya proses
inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang proses reparasi saluran
respiratori yang menyebabkan perubahan struktural dan fungsional yang
menyimpang pada saluran respirasi atau disebut remodelling.6

Gambar 2.2 Patofisiologi asma6

2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis dapat berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada tertekan
yang timbul secara kronis dan atau berulang, reversibel, cenderung memberat pada
malam atau dini hari dan biasanya timbul jika ada pencetus.6

2.6 Diagnosis
2.5.1 Anamnesis
Tanyakan mengenai gejala-gejala respiratorik yang dikeluhkan oleh pasien.
Kebanyakan pasien akan mengeluhkan adanya wheezing atau batuk kronik
berulang.
Gejala dengan karakteristik yang mengarah pada asma diantaranya6:
a. Gejala timbul secara episodik atau berulang
b. Faktor pencetus seperti iritan, alergen, infeksi saluran napas atau aktivitas fisik
c. Riwayat alergi pada pasien atau anggota keluarga
11
d. Variabilitas, biasanya memberat pada malam hari
e. Reversibilitas, gejala dapat membaik spontan atau dengan obat

2.5.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan dilakukan lengkap mulai dari tanda vital, pemeriksaan kepala
dan leher, serta pemeriksaan paru. Evaluasi tanda-tanda atopi seperti rinitis alergi
dan dermatitis atopi. Tanda vital akan menunjukkan hasil normal saat pasien tidak
dalam serangan, namun dapat terjadi takikardia dan takipnea saat serangan.13
Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksana fisik pasien biasanya
tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak, dapat
terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang
terdengar dengan stetoskop. Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain pada pasien
seperti dermatitis atopi atau rinitis alergi, dan dapat pula dijumpai tanda alergi
seperti allergic shiners atau geographic tongue.6

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran napas
akibat obstruksi, hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori, atau adanya
atopi pada pasien.6

a. Uji fungsi paru dengan spirometri dan peak flow meter.


b. Uji cukit kulit (skin prick test) eosinofil total darah, pemeriksaan IgE spesifik.
c. Uji inflamasi respiratori: FeNO (fractional exhaled nitric oxide), eosinofil
sputum.
d. Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, hipertonik salin.

Jika terindikasi dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan untuk mencari


kemungkinan diagnosis banding, misalnya uji tuberkulin, foto sinus paranasal, foto
toraks, uji refluks gastrointestinal, uji keringat, uji gerakan silia, uji defisiensi imun,
CT scan toraks, endoskopi respiratori (rinoskopi, laringoskopi, bronkoskopi).6

12
Tabel 2.1 Kriteria diagnosis asma

Gejala Karakteristik
Wheezing, batuk , sesak a. Biasanya lebih dari 1 gejala respiratori
napas, dada tertekan, b. Gejala berfluktuasi intensitasnya seiring
produksi sputum waktu
c. Gejala memberat pada malam atau dinihari
d. Gejala timbul bila ada pencetus

Konfirmasi adanya limitasi aliran udara ekspirasi


Gambaran obstruksi FEV1 rendah (<80% nilai prediksi)
saluran respiratori FEV1 / FVC ≤ 90%
Uji reversibilitas (pasca- Peningkatan FEV1 >12%
bronkodilator)
Variabilitas Perbedaan PEFR harian >13%
Uji provokasi Penurunan FEV1 >20%, atau PEFR >15%

Gambar 2.3 Alur diagnosis asma


13
2.5.4 Klasifikasi
Asma merupakan penyakit yang sangat heterogen dengan variasi yang
sangat luas. Atas dasar itu, ada berbagai cara pengelompokan asma.

Tabel 2.2 Klasifikasi asma berdasarkan kekerapan timbulnya gejala6


Kekerapan Uraian kekerapan gejala asma
Intermiten <6x/tahun atau jarak antar gejala ≥6 minggu
Persisten ringan >1x/bulan, <1x/minggu
Persisten sedang >1x/minggu, namun tidak setiap hari
Persisten berat Gejala asma terjadi hampir tiap hari

Tabel 2.3 Klasifikasi asma berdasarkan derajat serangan asma


Serangan asma
Asma serangan
Asma serangan berat dengan ancaman
ringan-sedang
henti napas
a. Bicara dalam kalimat a. Bicara dalam kata a. Mengantuk
b. Lebih senang duduk b. Duduk bertopang lengan b. Letargi
daripada berbaring c. Gelisah c. Suara napas tak
c. Tidak gelisah d. Frekuensi napas terdengar
d. Frekuensi napas meningkat
meningkat e. Frekuensi nadi meningkat
e. Frekuensi nadi meningkat f. Retraksi jelas
f. Retraksi minimal g. SpO2 (udara kamar)
g. SpO2 (udara kamar): 90- <90%
95% h. PEF < 50% prediksi atau
h. PEF > 50% prediksi atau terbaik
terbaik

Tabel 2.4 Berdasarkan derajat kendali


Terkendali penuh Terkendali
Tidak
Manifestasi Klinis (Bila semua kriteria sebagian
terkendali
terpenuhi) (Min. satu kriteria)
Gejala siang hari Tidak pernah (< 2 > 2 kali/minggu Tiga atau lebih
kali/minggu) kriteria
terkendali
Aktivitas terbatas Tidak ada Ada sebagian
Gejala malam hari Tidak ada Ada
Pemakaian pereda Tidak ada (< 2 > 2 kali/minggu
kali/minggu)

14
Berdasarkan keadaan saat ini:
a. Tanpa gejala
b. Ada gejala
c. Serangan ringan-sedang
d. Serangan berat
e. Ancaman gagal napas

Gambar 2.4 Labelisasi asma


2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Tatalaksana Serangan Asma di Rumah
Orangtua perlu diberikan edukasi untuk memberikan pertologan
pertama serangan asma di rumah. Tata laksana serangan asma di rumah ini penting
agar pasien dapat segera mendapatkan pertolongan dan mencegah terjadinya
serangan yang lebih berat.
Pasien harus segera dibawa ke fasyankes terdekat jika pasien mempunyai
satu atau lebih faktor risiko atau pasien tiba-tiba dalam keadaan distre srespirasi
(sesak berat).

Tatalaksana yang dapat dilakukan pasien/orang tua di rumah:


Berikan inhalasi agonis β2 kerja pendek, via nebulizer atau dengan MDI + spacer
sebagai berikut:
Jika diberikan via nebulizer:
1. Berikan agonis β2 kerja pendek, lihat responsnya. Bila gejala (sesak napas dan
wheezing) menghilang, cukup diberikan satu kali.
2. Jika gejala belum membaik dalam 30 menit, ulangi pemberian sekali lagi.
3. Jika dengan 2 kali pemberian agonis β2 kerja pendek via nebulizer belum
membaik, segera bawa ke fasyankes.
15
Jika diberikan via MDI + spacer:
1. Berikan agonis β2 kerja pendek serial via spacer dengan dosis: 2-4 semprot.
Berikan satu semprot obat ke dalam spacer diikuti 6-8 tarikan napas melalui
antar muka (interface) spacer berupa masker atau mouthpiece. Bila belum ada
respons berikan semprot berikutnya dengan siklus yang sama.
2. Jika membaik dengan dosis ≤4 semprot, inhalasi dihentikan.
3. Jika gejala tidak membaik dengan dosis 4 semprot, segera bawa ke fasyankes.

2.7.2 Tatalaksana Serangan Asma di Fasyankes dan Rumah Sakit

16
. Jika memburuk, kelola sebagai SERANGAN, ASMA DENGAN„„„
ANCAMAN FIENTI NAPAS dan pertimbangkan rawat ICT

Gambar 2.5 Alur tatalaksana serangan asma anak di fasyankes dan rumah sakit
17
2.7.3 Tatalaksana Jangka Panjang
Terapi medikamentosa
Obat asma terdiri dari dua jenis yaitu reliever atau pereda dan controller
atau pengendali.
Beberapa jenis obat pengendali asma yaitu:
a. Steroid inhalasi

Gambar 2.6 Pilihan steroid inhalasi


Steroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan berperan
penting dalam tata laksana asma jangka panjang. Steroid inhalasi merupakan obat
pengendali asma yang paling efektif. Steroid inhalasi umumnya diberikan dua kali
dalam sehari, kecuali ciclesonide yang diberikan sekali sehari. Ciclesonide
merupakan preparat steroid inhalasi yang baru, efek sistemik minimal dan deposisi
obat di orofaring lebih sedikit dibanding preparat steroid inhalasi yang lain.
b. Agonis β2 kerja panjang (Long acting ß2 agonist, LABA)
Sebagai pengendali asma, agonis β2 kerja panjang tidak digunakan tunggal
melainkan selalu bersama steroid inhalasi. Kombinasi agonis β2 kerja panjang
dengan steroid terbukti memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka
kekambuhan asma.
c. Antileukotrien
Antileukotrien terdiri dari antagonis reseptor cysteinyl-leukotrien 1
18
(CysLT1) seperti montelukast dan inhibitor 5-lipoksigenase seperti zileuton. Studi
klinik menunjukkan antileukotrien memiliki efek bronkodilatasi kecil dan
bervariasi, mengurangi gejala termasuk batuk, memperbaiki fungsi paru, dan
mengurangi inflamasi jalan napas dan mengurangi eksaserbasi. Sebagai obat
pengendali tunggal efeknya lebih rendah dibandingkan dengan steroid inhalasi.
Alternatif untuk anak yang tidak dapat menggunakan alat inhalasi atau ada
kontraindikasi pemakaian steroid.

Gambar 2.7 Jenjang dalam tatalaksana asma jangka panjang pada anak usia >5
tahun
Terapi Nonmedikamentosa
Konsensus umum mengenai edukasi pada asma yaitu harus mengandung
informasi mengenai perjalanan alamiah penyakit (kronik dan berulang), kebutuhan
untuk terapi jangka panjang serta perbedaan berbagai medikasi yang digunakan.
Penekanan pada pentingnya kepatuhan terhadap terapi walaupun pasien tidak
bergejala serta penjelasan secara tertulis atau demonstrasi penggunaan alat terapi
pada asma, hal tersebut harus juga memandang latar belakang sosiokultural dari
pasien.
Edukasi terhadap pengelolaan diri sendiri adalah penting sebagai bagian
dari proses penatalaksanaan asma, hal ini termasuk di dalamnya yaitu menghindari
faktor-faktor pencetus yang dapat diidentifikasi. Penggunaan perencanaan tertulis
direkomendasikan yang dikenal dengan istilah asthma action plan yang mencakup
regimen terapi sehari-hari termasuk instruksi spesifik untuk identifikasi awal dan
tatalaksana yang sesuai terhadap serangan asma.16

19
2.8 Prognosis
Batuk dan wheezing berulang terjadi pada 35% anak usia pra sekolah.
Sekitar sepertiganya berlanjut menjadi asma persisten pada masa anak-anak
berikutnya, dan hampir dua pertiga akan membaik selama masa remaja. Severitas
asma pada usia 7–10 tahun memiliki nilai prediktif menetapnya asma pada usia
dewasa. Anak dengan asma sedang sampai berat serta fungsi paru yang rendah
cenderung memiliki asma persisten pada usia dewasa. Bagaimanapun, remisi
penuh dalam 5 tahun pada anak-anak adalah jarang.15

20
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : An. ZRE
Umur : 3 tahun 7 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Seberang Padang
MR : 01.12.60.62
Suku bangsa : Minangkabau
Tanggal pemeriksaan : 11 Januari 2022

3.2 Anamnesis
Diberikan oleh: Ny. RMS (ibu kandung)
Seorang pasien anak perempuan usia 3 tahun 7 bulan dirawat di Bangsal Anak
RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 11 Januari 2022 dengan:

Keluhan Utama
Sesak napas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang


• Anak awalnya aktif bermain dengan adiknya sambil berlarian, berteriak, dan
tertawa sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Kemudian timbul sesak napas
sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak berbunyi menciut, timbul pada
dini hari, tidak dipengaruhi cuaca, makanan, debu, bulu binatang, ataupun
serbuk bunga. Anak sehari-hari terpapar asap rokok dari pamannya yang
tinggal serumah.
• Batuk sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk tidak berdahak dan tidak
bercampur darah.
• Rasa dada tertekan tidak ada.
• Demam tidak ada, pilek tidak ada.
• Buang air kecil biasa, jumlah cukup, berwarna jernih.
• Buang air besar 2-3x sehari, konsistensi lunak, dan berwarna kuning.

21
Riwayat Penyakit Dahulu
• Riwayat ruam kemerahan di kulit tidak ada. Riwayat bersin di pagi hari tidak
ada.
• Riwayat kontak dengan pasien terkonfirmasi COVID-19 tidak ada. Riwayat
perjalanan jauh tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga


• Riwayat asma di keluarga ada yaitu kakek kandung. Kakek pasien juga pernah
minum obat rutin selama 6 bulan. Kakek kandung pasien sudah meninggal 4
tahun yang lalu karena infeksi paru.
• Riwayat sering bersin di pagi hari di keluarga ada (ibu kandung).
• Riwayat ruam kemerahan di kulit pada anggota keluarga tidak ada.

Riwayat Persalinan
Lama hamil : 42 minggu (lebih bulan)
Cara lahir : spontan
Ditolong oleh : bidan
Indikasi : lebih bulan
Berat lahir : 4000 gr
Panjang lahir : 51 cm
APGAR score : langsung menangis
Kesan : riwayat persalinan normal

Riwayat Makanan dan Minuman

ASI : usia 0-2 tahun


Susu formula : usia 4 bulan-2 tahun
Bubur susu : usia 6 bulan
Buah, biskuit : usia 6 bulan
Nasi tim : usia 6 bulan
Makanan utama : makanan biasa 3x/hari
Daging : 4 x/minggu
Ikan : 3 x/minggu
Telur : 4 x/minggu
Sayur : 4 x/minggu
22
Buah : 3 x/minggu
Kesan : kualitas dan kuantitas makanan dan minuman cukup

Riwayat Imunisasi

Dasar/Umur Booster/Umur
Imunisasi
scar (+)
BCG
DPT: 1 2 bulan 18 bulan

2 4 bulan

3 6 bulan
Polio: 0 1 bulan 18 bulan
1 2 bulan
2 4 bulan
3 6 bulan

Hepatitis B: 1 saat lahir 18 bulan


2 2 bulan
3 4 bulan
4 6 bulan

Haemofilus influenza B: 1 2 bulan 18 bulan


2 4 bulan
3 6 bulan

MR/MMR 9 bulan 18 bulan

Kesan : riwayat imunisasi dasar lengkap sesuai usia

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

Riwayat Pertumbuhan Riwayat Gangguan Umur


Umur
dan Perkembangan Perkembangan Mental
Ketawa 2 bulan Isap jempol -

Miring 2 bulan Gigit kuku -

Tengkurap 5 bulan Sering mimpi -

23
Duduk 8 bulan Mengompol -

Merangkak 7 bulan Aktif sekali -

Berdiri 11 bulan Apatik -

Berjalan 12 bulan Membangkang -

Gigi pertama 7 bulan Ketakutan -

Bicara 1,5 tahun Pergaulan jelek -

Membaca - Kesukaran belajar -

Prestasi di sekolah -

Kesan : Riwayat pertumbuhan dan perkembangan normal sesuai usia

Riwayat Keluarga

Ayah Ibu
Data
Tn. YME Ny. RMS
Nama
Umur 35 tahun 28 tahun

Pendidikan S1 D3

Pekerjaan Swasta Asisten apoteker

Penghasilan Rp4.000.000,00 Rp3.000.000,00

Perkawinan Pertama Pertama

Penyakit yang pernah Rhinitis alergi


Tidak ada
diderita

Saudara Kandung

Nama Jenis kelamin Usia Keterangan


No
An. ZRE Perempuan 3 tahun 7 Pasien
1.
bulan
2. An. ZE Laki-laki 1 tahun Sehat

Riwayat Perumahan dan Lingkungan


• Rumah tempat tinggal : permanen
• Sumber air minum : air galon
24
• Buang air besar : jamban di dalam rumah
• Pekarangan : cukup luas
• Sampah : diangkut petugas

Kesan : higienitas dan sanitasi baik

3.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : CMC
Tekanan darah : 107/67 mmHg
Frekuensi nadi : 116x/menit
Frekuensi nafas : 37x/menit
SpO2 : 99%

Suhu : 37,0°C
BB : 16 kg
TB : 104 cm
BB/U : 0<SD<2 (BB cukup)
TB/U : 0< SD<2 (TB normal)
BB/TB : -1<SD<0 (gizi baik)
Status gizi : gizi baik
Anemia : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Edema : tidak ada
Ikterus : tidak ada

Pemeriksaan Sistemik
Kulit : teraba hangat, ruam tidak ada
Kelenjar getah bening: tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Kepala : bulat, simetris
Rambut : rambut hitam dan tidak mudah dicabut
Mata : edema palpebra tidak ada, allergic shiners (-)
Telinga : kelainan kongenital tidak ada, keluar sekret dari telinga
25
tidak ada
Hidung : napas cuping hidung tidak ada
Gigi dan mulut : geographic tongue (+)
Tenggorok : uvula di tengah, tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis
Leher : tidak teraba pembesaran KGB, JVP 5-2 cmH20
Thorax
Paru
Inspeksi : retraksi epigastrium minimal
Palpasi : fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : suara napas bronkovesikuler, wheezing ada, ronki tidak ada

Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : batas-batas jantung tidak melebar
Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : distensi tidak ada
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Punggung : tidak ada kelainan
Genitalia : A1M1P1
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium
Hematologi (11 Januari 2022)
Hb : 13,9 gr/dl (N)
Ht : 41% (N)
3
Leukosit : 28.870/mm (↑)

26
Hitung jenis : 0/1/1/65/27/6 (neutrofilia shift to the right)
3
Trombosit : 578.000/mm (↑)
Eritrosit : anisositosis normokrom
Kesan: leukositosis dengan neutrofilia shift to the right, trombositosis

Rontgen Toraks
1 Desember 2021

Kesan:
Cor dan pulmo dalam batas normal

3.5 Daftar Masalah


• Sesak napas
• Batuk
• Geographic tongue
• Retraksi epigastrium
• Suara nafas bronkovesikuler, wheezing

3.6 Diagnosis Kerja


Asma intermiten serangan ringan-sedang

27
3.7 Diagnosis Banding
• Rhinitis
• Bronkiolitis

3.8 Penatalaksanaan
• O2 2L/menit nasal kanul
• ML 500 kkal
• MC 4x150 cc
• Ampisilin 4x400 mg IV
• Kloramfenikol 4x400 mg IV
• Deksametason 3x2,5 mg IV
• Nebu ventolin/4 jam

3.9 Edukasi
• Hindari faktor pencetus
• Kepatuhan terhadap terapi walaupun pasien tidak bergejala

3.10 Follow Up

12 Januari 2021 (07.00)


S Sesak berkurang
Batuk masih ada
BAB dan BAK normal
O KU : sedang
Kes : CMC
TD : 95/54 mmHg
Nadi : 115 bpm
Nafas : 28 bpm
Suhu : 37,10 C
SpO2 : 99%
Mata : allergic shiners tidak ada, edema palpebra tidak ada
Hidung : nafas cuping hidung tidak ada

28
Mulut : geographic tongue ada
Paru :
Inspeksi : retraksi dinding dada tidak ada
Palpasi : fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : suara napas bronkovesikuler, wheezing tidak ada
A Asma intermiten serangan ringan-sedang
P Lanjut terapi

29
BAB IV
DISKUSI

Pasien anak perempuan usia 3 tahun 7 bulan dirawat di Bangsal Anak RSUP
Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 11 Januari 2022 dengan keluhan utama sesak
nafas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas atau distres respirasi
terjadi ketika adanya gangguan pada pertukaran udara mengarah pada
berkurangnya ventilasi dan oksigenasi, harus bisa dilakukan identifikasi serta
penanganan pada penyebab distres tersebut untuk mencegah terjadinya menjadi
suatu gagal napas. Sesak napas pada pasien ini merupakan yang pertama kali
dirasakan. Pada anak sendiri, berdasarkan tingkatan usia, sesak napas memiliki
banyak penyebab. Pada pasien ini dengan usia 3 tahun 7 bulan penyebab paling
sering dari gejala sesak napas yaitu asma, pneumonia, tonsilitis, abses peritonsil,
aspirasi benda asing, dan gangguan panik.17
Anamnesis sangat penting dilakukan pada anak yang mengalami sesak
napas. Onset, durasi, dan kronisitas gejala harus ditanyakan. Tanyakan juga faktor
yang memperberat atau meringankan gejala atau keluhan yang sama sebelumnya
dan respon terhadap terapi yang pernah dilakukan.17 Anak batuk kering sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit. Batuk pada asma biasanya kering atau produktif
minimal, namun bisa juga berhubungan dengan adanya hipersekresi mukus.
Pengukuran sekresi musin pada sputum telah dilaporkan pada asma, kemungkinan
melibatkan hiperplasia sel goblet pada epitel bronkial dengan produksi sputum
yang bervariasi.18 Sesak napas timbul setelah bermain dengan adiknya dengan
berlari, berteriak, dan tertawa. Sesak napas pada pasien timbul saat dini hari. Sesak
juga disertai bunyi menciut. Faktor yang memperberat dalam kasus ini yang
mencetuskan adalah aktivitas, serta adanya riwayat alergi di keluarga yaitu riwayat
asma dari kakek dan rhinitis alergi dari ibu. Pasien juga terpapar asap rokok sehari-
hari dari pamannya yang tinggal serumah.
Berdasarkan panduan nasional asma anak, pada pasien ini didapatkan gejala
respiratori asma berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas dan produksi
sputum dengan karakteristik yang mengarah ke asma yaitu gejala timbul pertama
kali, keluhan muncul bila ada faktor pencetus seperti aktivitas berlebihan yang
merupakan salah satu etiologi yang bisa mencetuskan asma. Asap rokok dan
30
polutan udara lainnya dapat memperberat inflamasi saluran napas dan
meningkatkan derajat keparahan asma. Udara dingin, hiperventilasi akibat aktivitas
fisik, atau bau-bauan yang terlalu kuat dapat merangsang terjadinya
bronkokonstriksi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang, kesadaran
CMC, dan peningkatan frekuensi napas. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
geographic tongue pada mulut yang dapat timbul karena reaksi alergi. Pada
pemeriksaan paru tampak retraksi epigastrium minimal, dari auskultasi paru
didapatkan wheezing di seluruh lapangan paru. Wheezing yang terdengar diseluruh
kedua lapangan paru berhubungan dengan adanya penyempitan difus saluran napas
dan adanya limitasi aliran udara.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis kerja pada kasus
ini adalah asma. Diagnosis asma dapat ditegakkan bila tidak terdapat spirometry/
peak flow meter yaitu dengan cara pemberisan β agonis selama 3-5 hari lalu dinilai
apakah terdapat perubahan membaik. Bila iya maka dapat ditegakkan diagnosis
asma. Menurut panduan nasional asma anak, labelisasi diagnosis asma pada anak
harus memuat kekerapan dan derajat pada saat serangan.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Papadopoulos NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J, Lemanske R


et al. International consensus on (ICON) pediatric asthma. Eur J Allergy Clin
Immunol 2012;67:976-997.
2. Global Initiative for Asthma. 2017. Pocket Guide for Health Professionals,
updated 2017.
3. Kartasasmita CB. Epidemiologi asma anak. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Ed 1. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83.
4. Liu AH, Covar RA, Spahn JD, Sicherer SH. Childhood asthma. Dalam:
Kliegman RM, Stanton BF, St Geme III JW, Schor NF, Behrman RE,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. 20th Ed. Philadelphia: Saunders;
2016. h.1095-1103.
5. Central for Disease Control and Prevention U.S Department of Health and
Human Services. Asthma: data, statistics, and surveillance. Georgia: U.S
Department of Health and Human Services; 2008.
6. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. You can control your
asthma. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2016. h.2-4.
7. National Heart, Lung, and Blood Institute U.S Department of Health and
Human Services. Expert panel report 3: Guidlines for the diagnosis and
management of asthma. Bethesda: U.S Department of Health and Human
Services; 2007.
8. Rahajoe NN, Kartasasmita CB, Supriyatno B, Setyanto DB. Panduan nasional
asma anak. Ed 2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2015.h.21-75.
9. Pynn MC, Thornton CA, Davies GA. Asthma pathogenesis. Pulmão RJ
2012;21:11-17.
10. Tarasidis GS, Wilson KF. Diagnosis of asthma: clinical assessment. Int Forum
of Allergy and Rhinology 2015;5:22-25.
11. Guidlines and Protocols Advisory Committee British Columbia Ministry of
Health. Asthma in children – diagnosis and management. Victoria: British
Columbia Ministry of Health; 2015.
12. Sharma A. Respiratory distress. Dalam: Kliegman RM, Lye PS, Bordini BJ,
Toth H, Basel D, penyunting. Nelson pediatric symptom-based diagnosis.
Philadelphia: Saunders; 2018. h.39-45.
13. Manning HL, Schwartzstein M. Pathophysiology of dyspnea. The New Eng J
Med 1995;333:1547-1555.
14. Niimi A. Cough and asthma. Current Resp Med Rev 2011;7:47-52.

32

Anda mungkin juga menyukai