Anda di halaman 1dari 4

Nicklaus Shane

X-MIPA
1A. Candi Kalasan ( Masa Syailendra )
Candi Kalasan terletak di Desa Kalibening, Tirtamani, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta, tepatnya sekitar 16 km ke arah timur dari kota Yogyakarta. Dalam Prasasti Kalasan
dikatakan bahwa candi ini disebut juga Candi Kalibening, sesuai dengan nama desa tempat candi
tersebut berada. Tidak jauh dari Candi Kalasan terdapat sebuah candi yang bernama Candi Sari.
Kedua candi tersebut memiliki kemiripan dalam keindahan bangunan serta kehalusan pahatannya.
Ciri khas lain yang hanya ditemui pada kedua candi itu ialah digunakannya vajralepa (bajralepa)
untuk melapisi ornamen-ornamen dan relief pada dinding luarnya.

Umumnya sebuah candi dibangun oleh raja atau penguasa kerajaan pada masanya untuk berbagai
kepentingan, misalnya untuk tempat ibadah, tempat tinggal bagi biarawan, pusat kerajaan atau
tempat dilangsungkannya kegiatan belajar-mengajar agama. Keterangan mengenai Candi Kalasan
dimuat dalam Prasasti Kalasan yang ditulis pada tahun Saka 700 (778 M). Prasasti tersebut ditulis
dalam bahasa Sanskerta menggunakan huruf pranagari. Dalam Prasasti Kalasan diterangkan bahwa
para penasehat keagamaan Wangsa Syailendra telah menyarankan agar Maharaja Tejapurnama
Panangkarana mendirikan bangunan suci untuk memuja Dewi Tara dan sebuah biara untuk para
pendeta Buddha. Menurut prasasti Raja Balitung (907 M), yang dimaksud dengan Tejapurnama
Panangkarana adalah Rakai Panangkaran, putra Raja Sanjaya dari Kerajaan Mataram Hindu.

Rakai Panangkaran kemudian menjadi raja Kerajaan Mataram Hindu yang kedua. Selama kurun
waktu 750-850 M kawasan utara Jawa Tengah dikuasai oleh raja-raja dari Wangsa Sanjaya yang
beragama Hindu dan memuja Syiwa. Hal itu terlihat dari karakter candi-candi yang dibangun di
daerah tersebut. Selama kurun waktu yang sama Wangsa Syailendra yang beragama Buddha aliran
Mahayana yang sudah condong ke aliran Tantryana berkuasa di bagian selatan Jawa Tengah.
Pembagian kekuasaan tersebut berpengaruh kepada karakter candi-candi yang dibangun di wilayah
masing-masing pada masa itu. Kedua Wangsa tersebut akhirnya dipersatukan melalui pernikahan
Rakai Pikatan Pikatan (838 - 851 M) dengan Pramodawardhani, Putra Maharaja Samarattungga dari
Wangsa Syailendra.

Untuk membangun bangunan suci bagi Dewi Tara, Rakai Panangkaran menganugerahkan Desa
Kalasan dan untuk membangun biara yang diminta para pendeta Buddha. Diperkirakan bahwa candi
yang dibangun untuk memuja Dewi Tara adalah Candi Kalasan, karena di dalam candi ini semula
terdapat patung Dewi Tara, walaupun patung itu sudah tidak berada di tempatnya. Sementara itu,
yang dimaksud dengan biara tempat para pendeta Buddha, menurut dugaan, adalah Candi Sari yang
memang letaknya tidak jauh dari Candi Kalasan. Berdasarkan tahun penulisan Prasasti Kalasan itulah
diperkirakan bahwa tahun 778 Masehi merupakan tahun didirikannya Candi Kalasan.

Menurut pendapat beberapa ahli purbakala, Candi kalasan ini telah mengalami tiga kali pemugaran.
Sebagai bukti, terlihat adanya 4 sudut kaki candi dengan bagian yang menonjol. Selain itu yang
terdapat torehan yang dibuat untuk keperluan pemugaran pada tahun 1927 sampai dengan 1929
oleh Van Romondt, seorang arkeolog Belanda. Sampai saat ini Candi Kalasan masih digunakan
sebagai tempat pemujaan bagi penganut ajaran Buddha, terutama aliran Buddha Tantrayana dan
pemuja Dewi Tara.

Bangunan candi diperkirakan berada pada ketinggian sekitar duapuluh meter diatas permukaan
tanah, sehingga tinggi keseluruhan bangunan candi mencapai 34 m. Candi Kalasan berdiri diatas alas
berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 45x45 m yang membentuk selasar di sekeliling candi. Di
setiap sisi terdapat tangga naik ke emperan candi yang dihiasi sepasang kepala naga pada kakinya. Di
hadapan anak tangga terbawah terdapat hamparan lantai dari susunan batu. Di depannya kaki
tangga dipasang lempengan batu yang tipis dan halus dengan bentuk berlekuk-lekuk.

Bangunan candi secara keseluruhan berbentuk empat persegi panjang berukuran 34x 45 m, terdiri
atas ruang utama yang berbentuk bujur sangkar dan bilik-bilik yang menjorok keluar di tengah
keempat sisinya. Dinding di sekeliling kaki candi dihiasi dengan pahatan bermotif kumuda, yaitu
daun kalpataru yang keluar dari sebuah jambangan bulat.

Candi Kalasan memiliki 4 buah pintu yang terletak di keempat sisi, namun hanya pintu di sisi timur
dan barat yang mempunyai tangga untuk mencapai pintu dan hanya pintu di sisi timur yang
merupakan pintu masuk ke ruang utama di tengah candi. Dilihat dari letak pintu utamanya tersebut
dapat dikatakan bahwa Candi Kalasan menghadap ke timur. Di sepanjang dinding candi terdapat
cekungan-cekungan yang berisis berbagai arca, walaupun tidak semua arca masih berada di
tempatnya. Diatas semua pintu dan cekungan selalu dihiasi dengan pahatan bermotif Kala. Tepat di
atas ambang pintu, di bawah pahatan Kalamakara, terdapat hiasan kecil berupa wanita bersila
memegang benda di kedua belah tangannya. Relung-relung di sisi kiri dan kanan atas pintu candi
dihiasi dengan sosok dewa dalam posisi berdiri memegang bunga teratai.

Bagian atas tubuh candi berbentuk kubus yang melambangkan puncak Meru, dikelilingi oleh 52
stupa setinggi, rata-rata, 4,60 m.Sepanjang batas antara atap dan tubuh candi dihiasi dengan
deretan makhluk kerdil yang disebut Gana.

Atap candi ini berbentuk segi delapan dan bertingkat dua. Tingkat pertama dihiasi dengan relung-
relung berisi arca Budha Manusi Budha, sedangkan tingkat ke dua dihiasi dengan relung-relung berisi
arca Dhayani Budha. Puncak candi sesungguhnya berbentuk stupa, tetapi sampai saat ini belum
berhasil direkonstruksi kembali karena banyak batu asli yang tidak di temukan. Bila dilihat dari
dalam, puncak atap terlihat seperti rongga dari susunan lingkaran dari batu yang semakin ke atas
semakin menyempit.

Ruang utama candi berbentuk bujur sangkar dan mempunyai pintu masuk di sisi timur. Di dalam
ruangan tersebut terdapat susunan batu bertingkat yang dahulu merupakan tempat meletakkan
patung Dewi Tara. Diperkirakan bahwa patung tersebut terbuat dari perunggu setinggi sekitar enam
meter. Menempel pada dinding barat, di belakang susunan batu tersebut terdapat semacam altar
pemujaan.

1B. Candi Sewu ( Masa Sanjaya )


Candi Sewu terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten,
Propinsi Jawa Tengah. Dari kota Yogyakarta jaraknya sekitar 17 km ke arah Solo. Candi Sewu
merupakan gugus candi yang letaknya berdekatan dengan Candi Prambanan, yaitu kurang lebih 800
meter di sebelah selatan arca Rara Jongrang.
Candi ini diperkirakan dibangun pada abad ke-8, atas perintah penguasa Kerajaan Mataram pada
masa itu, yaitu Rakai Panangkaran (746-784 M) dan Rakai Pikatan yang beragama Hindu. Walaupun
rajanya beragama Hindu, Kerajaan Mataram pada masa mendapat pengaruh kuat dari Wangsa
Syailendra yang beragama Buddha. Para ahli menduga bahwa Candi Sewu merupakan pusat kegiatan
keagamaan masyarakat beragama Buddha. Dugaan tersebut didasarkan pada isi prasasti batu
andesit yang ditemukan di salah satu candi perwara. Prasasti yang ditulis dalam bahasa Melayu Kuno
dan berangka tahun 792 Saka tersebut dikenal dengan nama Prasasti Manjusrigrta. Dalam prasasti
tersebut diceritakan tentang kegiatan penyempurnaan prasada yang bernama Wajrasana
Manjusrigrha pada tahun 714 Saka (792 Masehi). Nama Manjusri juga disebut dalam Prasasti Kelurak
tahun 782 Masehi yang ditemukan di dekat Candi Lumbung.

Candi Sewu terletak berdampingan dengan Candi Prambanan, sehingga saat ini Candi Sewu
termasuk dalam kawasan wisata Candi Prambanan. Di lingkungan kawasan wisata tersebut juga
terdapat Candi Lumbung dan Candi Bubrah. Tidak jauh dari kawasan tersebut terdapat juga
beberapa candi lain, yaitu: Candi Gana, sekitar 300 m di sebelah timur, Candi Kulon sekitar 300 m di
sebelah barat, dan Candi Lor sekitar 200 m di sebelah utara. Letak candi Sewu, candi Buddha
terbesar setelah candi Borobudur, dengan candi Prambanan, yang merupakan candi Hindu,
menunjukan bahwa pada masa itu masyarakat beragama Hindu dan masyarakat beragama Buddha
hidup berdampingan secara harmonis.

Nama Sewu, yang dalam bahasa Jawa berarti seribu, menunjukkan bahwa candi yang tergabung
dalam gugusan Candi Sewu tersebut jumlahnya cukup besar, walaupun sesungguhnya tidak
mencapai 1000 buah. Tepatnya, gugusan Candi Sewu terdiri atas 249 buah candi, terdiri atas 1 candi
utama, 8 candi pengapit atau candi antara, dan 240 candi perwara. Candi utama terletak di tengah,
di ke empat sisinya dikelilingi oleh candi pengapit dan candi perwara dalam susunan yang simetris.

Candi Sewu mempunyai 4 pintu gerbang menuju pelataran luar, yaitu di sisi timur, utara, barat, dan
selatan, yang masing-masing dijaga oleh sepasang arca Dwarapala yang saling berhadapan. Dari
pelataran luar ke pelataran dalam juga terdapat 4 pintu masuk yang dijaga oleh sepasang arca
Dwarapala, serupa dengan yang terdapat di gerbang luar.

Arca Dwarapala yang terbuat dari batu utuh tersebut ditempatkan di atas lapik persegi setinggi
sekitar 1,2 m dalam posisi satu kaki berlutut, kaki lainnya ditekuk, dan satu tangan memegang gada.
Tinggi arca Dwarapala ini mencapai sekitar 2,3 m.

Candi utama atau candi induk terletak di pelataran persegi seluas 40 m2, yang dikelilingi pagar dari
susunan batu setinggi 0,85 m. Bangunan candi berbentuk poligon bersudut 20 dengan diameter 29
m. Tinggi bangunan mencapai 30 m dengan 9 atap yang masing-masing mempunyai stupa di
puncaknya.

Tubuh candi berdiri di atas batur setinggi sekitar 2,5 m. Kaki candi dihiasi pahatan bermotif bunga
dalam jambangan. Untuk mencapai permukaan batur yang membentuk selasar, terdapat tangga
selebar sekitar 2 m yang dilengkapi dengan pipi tangga. Pangkal pipi tangga dihiasi makara, kepala
naga dengan mulut menganga lebar, dengan arca Buddha di dalamnya. Dinding luar pipi tangga
dihiasi pahatan berwujud raksasa Kalpawreksa.

Di atas ambang pintu tidak terdapat Kalamakara, namun dinding di kiri dan kanan ambang pintu
dihiasi pahatan kepala naga dengan mulut menganga. Berbeda dari yang terdapat di pangkal pipi
tangga, bukan Buddha yang terdapat dalam mulut naga, melainkan seekor singa.
Candi utama yang dibangun dari batu andesit ini mempunyai pintu utama di sebelah timur, sehingga
dapat dikatakan bahwa candi utama ini menghadap ke timur. Selain pintu utama, terdapat 3 pintu
lain, yaitu yang menghadap ke utara, barat dan selatan. Semua pintu masuk dilengkapi dengan bilik
penampil. Ruang dalam tubuh candi berbentuk kubus dengan dinding terbuat dari susunan bata
merah. Di dalam ruangan ini terdapat sebuah 'asana'. Pada dinding luar tubuh dan kaki atap candi
terdapat relung-relung berisi arca Buddha dalam berbagai posisi.

Candi perwara dan candi apit seluruhnya terletak di pelataran luar. Di setiap sisi terdapat sepasang
candi apit yang berada di antara candi utama dengan deretan dalam candi perwara. Setiap pasangan
candi apit berhadapan mengapit jalan yang membelah halaman menuju ke candi utama.

Candi apit berdiri di atas batu setinggi sekitar 1 m, dilengkapi dengan tangga selebar sekitar 1 m
menuju ke selasar di permukaan kaki candi. Di atas ambang pintu bukan dihiasi pahatan Kalamakara,
melainkan beberapa panil relief. Atap candi berbentuk stupa dengan deretan stupa kecil menghiasi
pangkalnya. Dinding tubuh candi apit dihiasi dengan sosok-sosok pria berbusana kebesaran, nampak
seperti dewa, dalam posisi berdiri memegang setangaki teratai di tangannya.

Candi perwara dibangun masing-masing dalam empat deret di sisi terluar mengelilingi candi utama
dan candi apit. Pada deret terdalam terdapat 28 bangunan, deretan kedua terdapat 44 bangunan,
deretan ketiga terdapat 80 bangunan, dan deretan ke empat 88 bangunan. Semua candi perwara,
kecuali yang berada dalam deretan ketiga, menghadap ke luar atau membelakangi candi utama.
Hanya yang berada dalam deretan ketiga yang menghadap ke dalam. Sebagian besar candi perwara
dalam keadaan rusak, tinggal berupa onggokan batu.

2. Nilai Nilai
 Semangat kebudayaan masyarakat Mataram Kuno sangat tinggi. Hal
itu dibuktikan dengan banyaknya peninggalan berupa prasasti dan
candi.
 Saling menghormati dan toleransi antara umat hindu dan
buddha pada zaman mataram kuno, hal ini dilihat dari letak candi-
candi yang berdekatan dan juga orang hindu pada masa kerajaan
mataram kuno ikut membantu pembuatan candi boroudur yang
merupakan candi buddha.

Anda mungkin juga menyukai