Anda di halaman 1dari 26

Referat

Mastitis

Oleh:

Muhammad Sodikin NIM. 2030912310138

Nadya Salsabila NIM. 2030912320036

Savitri Sita Nursanty Ali NIM. 2030912320072

Pembimbing:

dr. Winardi Budiwinata, Sp.B(K)-Onk

DEPARTEMEN/KSM ILMU BEDAH


PROGRAM STUDI KEDOKTERAN ULM/RSUD ULIN
BANJARMASIN

Februari, 2023
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................2

BAB III PENUTUP...........................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................23

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Mastitis adalah peradangan pada jaringan payudara yang sering terjadi saat

laktasi atau menyusui.1 Mastitis paling sering disebabkan oleh

bakteri Staphylococcus aureus.2 Hasil penelitian menunjukkan bahwa 7 ibu (35%)

beresiko mengami mastitis.3 Kasus mastitis diperkirakan terjadi dalam 12 minggu

pertama, namun dapat pula terjadi sampai tahun kedua menyusui.3

World Health Organitation memperkirakan insiden mastitis pada ibu

menyusui sekitar 2,6% - 33% dan prevalensi global adalah sekitar 10%.3 Menurut

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012–2013

menunjukkan bahwa 55% ibu menyusui mengalami payudara bengkak dan

mastitis.4

Faktor risiko penyebab mastitis antara lain adalah statis ASI, puting susu

lecet dan faktor kelelahan pada ibu. Hal ini mengakibatkan jalan masuk bagi

mikroorganisme untuk menginfeksi payudara. Manisfestasi klinik mastitis antara

lain kemerahan, pembengkakan payudara, demam atau infeksi sistemik. Mastitis

klinis didefinisikan sebagai mastitis yang menyebabkan perubahan yang terlihat

pada payudara. Kurang lebih 3% kejadian mastitis berlanjut menjadi kasus abses

payudara, meningkatkan penularan beberapa penyakit, dan menyebabkan

penyapihan dini pada bayi karena alasan rasa sakit dan ketidaknyamanan yang

dirasakan oleh ibu menyusui.5 Oleh karena itu, mastitis membutuhkan penanganan

dengan segera dan tepat agar tidak menimbulkan morbiditas maupun komplikasi.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Mastitis adalah peradangan pada jaringan payudara dan dapat dipecah

menjadi mastitis laktasi dan non-laktasi. Mastitis laktasi adalah bentuk mastitis

yang paling umum. Dua jenis mastitis non-laktasi termasuk mastitis periductal,

dan mastitis granulomatosa idiopatik (IGM).6

Mastitis laktasi, juga dikenal sebagai mastitis nifas, biasanya disebabkan

oleh pembengkakan saluran susu yang berkepanjangan, dengan komponen

infeksius dari masuknya bakteri melalui kerusakan kulit. Pasien dapat

mengembangkan area fokus eritema, nyeri, dan pembengkakan, dan dapat

memiliki gejala sistemik yang terkait, termasuk demam. Hal ini paling sering

terjadi pada enam minggu pertama menyusui tetapi dapat terjadi kapan saja

selama menyusui, dengan sebagian besar kasus berhenti setelah 3 bulan.6

Mastitis periductal adalah kondisi peradangan jinak yang mempengaruhi

saluran subareolar dan paling sering terjadi pada wanita usia reproduksi. Mastitis

granulomatosa idiopatik adalah kondisi peradangan langka dan jinak yang secara

klinis dapat menyerupai kanker payudara. Kondisi ini terjadi terutama pada wanita

parous, paling sering dalam 5 tahun setelah melahirkan.6

2
Gambar 2.1 Mastitis

B. Epidemiologi

Mastitis paling sering terjadi dalam 3 minggu pertama postpartum. Secara

umum laktasi berhubungan dengan infeksi payudara, terjadi pada 10% sampai

33% dari wanita ini. Mastitis laktasi terjadi pada 2% sampai 3% wanita menyusui,

dan 5% sampai 11% dari pasien ini dapat berkembang menjadi abses. Kejadian ini

paling sering terjadi pada wanita usia subur, dengan usia rata-rata 32 tahun.6

Secara global, diperkirakan mastitis terjadi pada 2–30% ibu menyusui. Di

Amerika Serikat, insidensi mastitis sekitar 7–10%. Dari seluruh pasien mastitis,

5–11% dapat mengalami abses payudara.6,7 Epidemiologi mastitis di Indonesia

menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012–2013

menunjukkan bahwa 55% ibu menyusui mengalami payudara bengkak dan

mastitis.4 Meskipun pada SDKI tahun 2017 tidak terdapat update data tentang

prevalensi mastitis, tetapi diketahui di Jakarta, hanya 12% perawatan bayi baru

lahir yang mencakup konseling tentang pemberian air susu ibu (ASI). Hal

mungkin mungkin berkaitan dengan prevalensi mastitis yang masih cukup tinggi

di Indonesia.8

3
Mastitis tidak secara langsung menyebabkan kematian. Namun, jika tidak

diobati dengan tepat dapat berkomplikasi menjadi abses payudara. Morbiditas

berupa infeksi kronis, nyeri, dan terbentuknya jaringan parut dapat terjadi akibat

abses payudara. Selain itu, mastitis dihubungkan dengan peningkatan risiko

terjadinya kanker payudara. Diketahui, kanker payudara merupakan penyebab

nomor 2 kematian terkait kanker pada wanita di dunia.9,10

C. Etiologi dan Faktor Risiko

Mastitis dapat terjadi dengan atau tanpa infeksi. Etiologi mastitis infeksius

dan abses payudara sebagian besar disebabkan oleh bakteri yang mengkolonisasi

kulit. Bakteri yang paling umum ditemukan adalah S. aureus diikuti oleh

Stafilokokus koagulase-negatif. Mayoritas S. aureus yang diisolasi sekarang

adalah S. aureus yang resisten methicillin (MRSA) yang menjadi penyebab umum

terapi antibiotik yang gagal.11

Beberapa infeksi payudara (dan sampai 40% dari abses payudara) mungkin

polimikrobial, dengan isolasi aerob (Staphylococcus, Streptococcus,

Enterobacteriaceae, Corynebacterium, Escherichia coli, dan Pseudomonas) serta

anaerob (Peptostreptococcus, Propionibacterium, Bacteroides, Lactobacillus,

Eubacterium, Clostridium, Fusobacterium, dan Veillonella). Anaerob kadang-

kadang diisolasi dalam abses dan dalam kasus berulang kronis.11

Mastitis non-infeksi dapat terjadi akibat ectasia duktus yang mendasarinya

(mastitis peri-ductal atau mastitis sel plasma) dan jarang dari bahan asing

(misalnya tindik puting susu, implan payudara, atau silikon). Mastitis

granulomatosa (lobular) adalah penyakit jinak yang pernah dianggap idiopatik,

4
namun ada bukti yang berkembang terkait dengan infeksi corynebacteria.12

Berikut faktor-faktor yang menyebabkan mastitis:5

1. Daya tahan tubuh yang lemah dan kurangnya menjaga kebersihan putting

payudara saat menyusui.

2. Infeksi bakteri staphylococcus auereus yang masuk melalui celah atau retakan

putting payudara.

3. Saluran ASI tersumbat tidak segera diatasi sehingga menjadi mastitis.

4. Puting pada payudara retak/lecet. Hal ini dapat terjadi akibat posisi menyusui

yang tidak benar. Akibatnya puting robek dan retak. Bakteri menjadi lebih

mudah untuk memasuki payudara. Bakteri akan berkembang biak di dalam

payudara dan hal inilah yang menyebabkan infeksi.

5. Payudara tersentuh oleh kulit yang memang mengandung bakteri atau dari

mulut bayi. Bakteri tersebut dapat masuk ke dalam payudara melalui lubang

saluran susu.

6. Selain itu, ada beberapa hal lain yang turut meningkatkan risiko dari penyakit

ini, seperti:

 Pernah mengalami penyakit mastitis sebelumnya.

 Memiliki penyakit anemia di mana penyakit ini dapat menurunkan daya

tahan tubuh terhadap serangan infeksi, salah satunya penyakit mastitis.

 Tidak dapat mengeluarkan semua susu ketika menyusui. Hal ini dapat

membuat payudara terisi penuh oleh susu dan menyebabkan saluran susu

dalam payudara tersumbat. Hal ini akan membuat ukuran dari payudara

membesar dan lebih rentan terinfeksi oleh bakteri.

5
 Terdapat riwayat mastitis pada anak sebelumnya.

 Frekuensi menyusui yang jarang atau waktu menyusui yang pendek.

Biasanya mulai terjadi pada malam hari saat ibu tidak memberikan

bayinya minum sepanjang malam atau pada ibu yang menyusui dengan

tergesa-gesa.

 Pengosongan payudara yang tidak sempurna

 Pelekatan bayi pada payudara yang kurang baik. Bayi yang hanya

mengisap puting (tidak termasuk

 areola) menyebabkan puting terhimpit diantara gusi atau bibir sehingga

aliran ASI tidak sempurna.

 Ibu atau bayi sakit.

 Frenulum pendek.

 Produksi ASI yang terlalu banyak.

 Berhenti menyusu secara cepat/mendadak, misalnya saat bepergian.

 Penekanan payudara misalnya oleh bra yang terlalu ketat atau sabuk

pengaman pada mobil. Sumbatan pada saluran atau muara saluran oleh

gumpalan ASI, jamur,serpihan kulit, dan lain-lain.

 Penggunaan krim pada puting.

 Ibu stres atau kelelahan.

 Ibu malnutrisi. Hal ini berhubungan dengan daya tahan tubuh yang

rendah.

Selain itu, Menurut American Family Physician, hal-hal lain yang

meningkatkan risiko mastitis adalah labiopalatoschizis, cracked nipple, teknik

6
menyusui yang kurang baik, stasis ASI lokal, tindikan payudara, nutrisi ibu yang

kurang, primiparitas, bra yang terlalu ketat, penggunaan pompa payudara manual,

dan infeksi jamur.5

D. Klasifikasi

Mastitis diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu mastitis puerparalis

epidemic, mastitis aninfekseosa, mastitis subklinis, dan mastitis infeksiosa.

Dimana keempat jenis tersebut muncul dalam kondisi yang berbeda-beda.

Diantaranya adalah sebagai berikut:13

1. Mastitis Puerparalis Epidemik

Mastitis puerparalis epidemik ini biasanya timbul apabila pertama kali bayi

dan ibunya terpanjan pada organisme yang tidak dikenal atau virulen. Masal ini

paling sering terjadi dirumah sakit, yaitu infeksi silang atau berkesinambungan

strain resisten.

2. Mastitis Noninfeksiosa

Mastitis noninfeksiosa terjadi apa bila ASI tidak keluar dari sebagian atau

seluruh payudara, produksi ASI melambat dan aliran terhenti. Namun proses ini

membutuhkan waktu beberapa hari dan tidak akan selesai dalam 2-3 minggu.

Untuk sementara waktu, akumulasi ASI dapat menyebabkan respon peradangan.

3. Mastitis Subklinis

Mastitis subklinis telah diuraikan sebagai sebuah kondisi yang dapat disertai

dengan pengeluaran ASI yang tidak adekuat, sehingga produksi ASI sangat

berkurang, yaitu kira-kira hanya sampai dibawah 400 ml/hari (<400 ml/hari)

7
4. Mastitis Infeksiosa

Mastitis infeksiosa terjadi apabila siasis ASI tidak sembuh dan proteksi oleh

faktor imun dalam ASI dan oleh respon-reson inflmasi. Secara normal, ASI segar

bukan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.

E. Patofisiologi

Secara anatomi, payudara memiliki ambang tertentu untuk pertahanan

terhadap pathogen yang menyerang.5 Terdapat beberapa cara masuknya kuman

yaitu melalui duktus laktiferus ke lobus sekresi, melalui puting yang retak ke

kelenjar limfe sekitar duktus (periduktal) atau melalui penyebaran hematogen

(pembuluh darah).14

Makrofag susu, leukosit dan sel epitel adalah sel pertama yang menemukan

dan mengenali patogen bakteri yang memasuki kelenjar susu. Neutrofil kemudian

direkrut dari darah ke dalam kelenjar susu yang terinfeksi, di mana mereka

mengenali, memfagositisasi, dan membunuh patogen yang menyerang di tahap

awal infeksi. Kekebalan adaptif memainkan peran penting dalam pembersihan

kekebalan tubuh ketika pertahanan bawaan gagal untuk sepenuhnya

menghilangkan pathogen penyebab mastitis. Sejumlah besar limfosit T helper

(Th) bermigrasi ke bagian yang terinfeksi dan mengatur respons imun adaptif

yang efektif. Himpunan bagian sel ini dapat melepaskan chemokine dan sitokin

inflamasi, seperti CXCL10, CCL2, CCL20, IL-17, IL-12, IFN-γ, IL-1β, IL-6,

TGF-β dan IL-10, yang secara signifikan meningkat. Sitokin ini tidak hanya

penting untuk pemeliharaan peradangan lokal lingkungan tetapi juga berkontribusi

8
pada diferensiasi sel T helper yang berbeda. Namun, subset sel pembantu T

tertentu, termasuk sel Th1, Th2, Th17 dan sel T regulator (Treg), yang

dimobilisasi dalam mastitis tidak didefinisikan dengan baik.5,15

Terjadinya mastitis diawali dengan peningkatan tekanan di dalam ductus

(saluran ASI) akibat stasis ASI. Bila ASI tidak segera dikeluarkan maka terjadi

tegangan alveoli yang berlebihan dan mengakibatkan sel epitel yang memproduksi

ASI menjadi datar dan tertekan, sehingga permeabilitas jaringan ikat meningkat.

Beberapa komponen (terutama protein kekebalan tubuh dan natrium) dari plasma

masuk ke dalam ASI dan selanjutnya ke jaringan sekitar sel sehingga memicu

respons imun. Stasis ASI, adanya respons inflamasi, dan kerusakan jaringan

memudahkan terjadinya infeksi.16

Gambar 2.2 Patogenesis dan Manifestasi Klinis Mastitis17

9
F. Diagnosis

1. Anamnesis

Pasien biasanya akan memberikan riwayat nyeri payudara, eritema, hangat,

dan mungkin edema. Terdapat riwayat laktasi. Penting untuk menanyakan riwayat

infeksi payudara sebelumnya dan pengobatan sebelumnya. Pasien mungkin juga

mengeluhkan demam, mual, muntah, drainase purulen dari puting susu, atau

tempat eritema. Penting juga untuk menanyakan tentang riwayat kesehatan pasien,

termasuk diabetes.7

Pasien akan mengalami eritema, indurasi, hangat, dan nyeri tekan pada

palpasi di tempat yang dipertanyakan pada pemeriksaan. Mungkin terasa seperti

ada massa yang teraba atau area fluktuasi. Mungkin ada cairan bernanah di puting

susu atau tempat fluktuasi. Pasien mungkin juga memiliki adenopati aksila reaktif.

Pasien mungkin mengalami demam atau takikardia pada pemeriksaan, meskipun

ini jarang terjadi.7

2. Tanda dan Gejala

 Payudara yang terbendung membesar, membengkak, keras, dan kadang

terasa nyeri

 Payudara dapat terlihat merah, mengkilat dan puting teregang menjadi

rata

 ASI tidak mengalir dengan mudah, dan bayi sulit mengenyut untuk

menghisap ASI sampai pembengkakan berkurang.

10
 Ibu akan tampak seperti sedang flu, dengan gejala demam, rasa dingin

dan tubuh terasa pegal dan sakit

 Terjadi pembesaran kelenjar getah bening ketiak pada sisi yang sama

dengan payudara yang terkena

a b
Gambar 2.3 (a) Eritema terkait dengan mastitis (b) abses payudara laktasi
dengan pembengkakan dan eritema yang terlihat.11

3. Pemeriksaan penunjang

 Laboratorium darah

Deteksi mastitis umumnya didasarkan pada indikator peradangan, seperti

jumlah sel somatik, sitokin inflamasi, aktivitas enzim (LDH atau NAGase), dan

konduktivitas listrik.18

Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan lain untuk menunjang diagnosis

tidak selalu diperlukan. Hitung darah lengkap dapat diperoleh untuk mengevaluasi

leukositosis. Jika ada draniase yang jelas biakan dapat diperoleh unutk membantu

pemilihan antibiotik.7 WHO menganjurkan pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas

pada beberapa keadaan, yaitu bila pengobatan dengan antibiotik tidak

memperlihatkan respons yang baik dalam 2 hari, terjadi mastitis berulang, mastitis

terjadi di rumah sakit, dan alergi terhadap antibiotik atau pada kasus berat.16

Bahan kultur diambil dari ASI pancar tengah hasil dari perahan tangan

yang langsung ditampung menggunakan penmapung urin steril. Puting harus

11
dibersihkan terlebih dulu dan bibir penampung diusahakan tidak menyentuh

puting untuk mengurangi kontaminasi dari kuman yang terdapat di kulit yang

dapat memberikan hasil positif palsu dari kultur.5

Dalam beberapa kasus, untuk memastikan adanya abses payudara, aspirasi

jarum dilakukan dan cairan dianalisis.7 Tes untuk mendiagnosis kemungkinan TB

termasuk tes kulit tuberkulin (seringkali positif pada pasien dengan penyakit

aktif), studi mikrobiologi, dan/atau biopsi. Ketika mastitis laktasi dicurigai,

pemeriksaan neonatus harus dipertimbangkan, khususnya yang berkaitan dengan

rongga mulut, kulit, dan area popok. Untuk kasus mastitis laktasi berulang, biakan

dari rongga mulut dan nasofaring bayi dan ibu harus diserahkan untuk

menentukan status pembawa stafilokokusnya.11

 Pencitraan

Temuan mamografi sering meniru kanker. Oleh karena itu, paling berguna

setelah fase akut teratasi dan lesi payudara yang mendasarinya dapat

diidentifikasi. Semua wanita di atas usia 40 tahun dan mereka dengan presentasi

yang rumit atau atipikal, atau di mana dicurigai adanya keganasan harus menjalani

mamografi untuk resolusi fase akut.11

Pemeriksaan USG dapat dilakukan apabila ada kecurigaan selulitis atau

abses. Pada USG abses dapat muncul sebagai massa yang tidak jelas dengan

septations internal.7

12
a

b
Gambar 2.4 Pemeriksaan USG (a) menunjukkan lesi hypoechoic berbatas tegas dan
US scan (b) menunjukkan abses kronis dengan batas hypoechoic. 11

G. Tatalaksana

Tatalaksama mastitis secara umum berpusat pada manajemen gejala (misal.

menerapkan kompres panas / dingin, analgesik), dorongan kelanjutan menyusui

(termasuk mengosongkan payudara yang terkena, menyusui lebih sering, dan

mengubah posisi makan sering), dan terapi antibiotik memeriksa efektivitas terapi

antibiotik dalam mengobati gejala mastitis pada wanita sehingga intervensi lain

yang bisa dilakukan antara lain pendidikan cara menyusui yang benar, perubahan

kebiasaan menyusui, kompres panas/dingin pada payudara, teknik relaksasi, dan

penggunaan antibiotik profilaksis untuk mencegah terulangnya mastitis.19

Kompres hangat dapat memberikan rasa nyaman dan menurunkan suhu tubuh.

Perubahan pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamus anterior sehingga terjadi

vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan atau

13
kehilamgan energi atau panas melalui kulit, sehingga terjadi penurunan mastitis

non-infeksi. Apabila pasien berhenti mengeluarkan ASI, stasis lebih lanjut akan

terjadi, dan infeksi akan berlanjut. Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dapat

digunakan untuk mengontrol rasa sakit. Panas yang dioleskan ke payudara tepat

sebelum pengosongan dapat membantu meningkatkan pengeluaran ASI dan

memfasilitasi pengosongan. Kompres dingin ke payudara setelah pengosongan

dapat membantu mengurangi edema dan nyeri.

Jika gejala mastitis laktasi bertahan lebih dari 12 sampai 24 jam, antibiotik

harus diberikan.  Karena S. aureus penyebab paling umum, terapi antibiotik harus

disesuaikan. Dalam keadaan infeksi ringan tanpa faktor risiko MRSA, pengobatan

rawat jalan dapat dimulai dengan dicloxacillin atau cephalexin. Jika pasien

memiliki alergi penisilin, eritromisin dapat digunakan. Jika pasien memiliki faktor

risiko infeksi MRSA, pilihan pengobatan meliputi trimetoprim-sulfametoksazol

(TMP-SMX) atau klindamisin. TMP-SMX harus dihindari pada wanita yang

menyusui bayi kurang dari 1 bulan, dan pada bayi yang mengalami penyakit

kuning atau prematur. Jika seorang pasien memerlukan rawat inap, pengobatan

empiris dengan vankomisin harus dimulai sampai kultur dan kepekaan

kembali. Tidak ada penelitian yang memadai tentang durasi pengobatan rawat

jalan yang tepat, tetapi sebagian besar sumber merekomendasikan kursus 10-14

hari.6

Tabel 2.1 Penggunaan Antibiotik pada Mastitisis1

14
Perlu diperhatikan bahwa amoksisilin tanpa klavulanat bukanlah pilihan

pengobatan yang cocok karena tingkat resistensi yang tinggi.1 Laporan WHO

terbaru menguraikan kekhawatiran masyarakat terhadap resistensi antimikroba.

Penting untuk aktif mencari alternatif yang aman dan efektif untuk antibiotik.

Probiotik, dapat menjadi salah satu alternatif tersebut. Probiotik adalah

mikroorganisme hidup yang bila diberikan dalam jumlah yang memadai dianggap

memberi manfaat. Penelitian menunjukkan bahwa bakteri probiotik memiliki

antiinflamasi yang signifikan sifat-sifat yang sebanding dengan obat-obatan

terapeutik agen dan mendukung potensi penggunaannya sebagai imunomodulator

agen. Mengingat mikrobiota usus sangat penting stimulus untuk pematangan dan

fungsi yang memadai sistem kekebalan, pemberian probiotik oral kepada wanita

selama periode awal pasca kelahiran untuk memodulasi komposisi mikrobiota

diduga menyediakan strategi diet yang efektif untuk mengurangi risiko infeksi dan

penyakit.18

Drainse ASI yang efektif dengan menyusui dan / atau mengungkapkan

sangat penting untuk menjaga pasokan ASI yang memadai dan untuk mengurangi

15
risiko pembentukan abses payudara. Jika gejalanya ringan dan terlokalisir, wanita

tersebut dapat mempertimbangkan untuk meningkatkan drainase ASI:

1. Metode fisiologis (mis. Mengekspresikan, memijat, dan menyusui) untuk

mengatasi mastitis tanpa menggunakan antibiotic

2. Pastikan pemosisian dan pemasangan yang benar serta pengeluaran ASI yang

sering dan efektif

3. Berikan kehangatan untuk membantu refleks let-down dan karena itu aliran

ASI dan drainase payudara

4. Oleskan kompres dingin setelah menyusui untuk mengurangi rasa sakit dan

edema

5. Hindari pakaian / bra yang ketat

H. Komplikasi

Komplikasi dari mastitis dan/atau abses payudara dapat dibagi menjadi

komplikasi akut dan kronis. Secara akut, infeksi payudara dapat menyebabkan

penghentian menyusui dan dukungan dari petugas kesehatan dan keluarga adalah

penting. Infeksi payudara dapat dikaitkan dengan bakteremia yang menyebabkan

sepsis, orang dengan gangguan kekebalan sangat rentan. Mastitis dapat menjadi

faktor pencetus abses payudara (kurang dari 10% pasien dengan mastitis

cenderung mengalami abses payudara) atau fasciitis nekrotikans yang lebih serius,

terutama pada anak-anak. Selain itu, orang dengan mastitis S. aureus berisiko

lebih tinggi untuk infeksi kulit berikutnya di tempat ekstra-mammae. Mastitis dan

abses payudara terkadang bisa berakibat fatal jika tidak ditangani secara adekuat,

terutama pada wanita dengan gangguan sistem imun.11

16
a b
Gambar 2.5 (a) Abses payudara laktasi dengan eritema, kulit tipis di atasnya dan
jaringan nekrotik (b) I&D kecil abses payudara. 11

Komplikasi kronis termasuk jaringan parut, infeksi payudara, termasuk

abses yang tidak diobati secara memadai, dapat menyebabkan jaringan parut

payudara yang signifikan.11

a b
Gambar 2.6 (a) Menunjukkan nekrosis parah karena keterlambatan penanganan,
dengan (b) pasca penanganan, dengan asimetri/skar yang signifikan. 11

Intervensi bedah selain aspirasi jarum dapat menyebabkan bekas luka pasca

operasi. Infeksi berulang, TB, dan mastitis granulomatosa dapat menyebabkan

kelainan bentuk payudara yang signifikan. Pada beberapa pasien, infeksi atau

pengobatan dapat menyebabkan mastektomi fungsional (payudara yang tidak

dapat berlaktasi secara efektif akibat kerusakan jaringan). Pada bayi, kerusakan

pada kuncup payudara akibat jaringan parut dan/atau intervensi bedah dapat

menyebabkan asimetri dan/atau hipoplasia payudara selanjutnya. Mastitis

berulang dapat menyebabkan peradangan kronis dan kerusakan pada payudara.

17
Pasien dengan mastitis S. aureus berisiko mengalami infeksi kulit berikutnya di

tempat ekstra-mammae. Jika terjadi pecahnya abses, hal ini dapat menyebabkan

pengeringan sinus yang mengakibatkan fistula mammae. Fistula mammae adalah

kondisi kronis yang mewakili langkah terakhir dalam apa yang disebut rangkaian

penyakit inflamasi terkait saluran mammae. Perawatan utamanya adalah

pembedahan dan mungkin termasuk penyembuhan dengan niat sekunder atau

penutupan primer dengan atau tanpa antibiotik.11

I. Pencegahan

Pencegahan terhadap kejadian mastitis dapat dilakukan dengan

memperhatikan factor risiko di atas. Bila payudara penuh dan bengkak

(engorgement), bayi biasanya menjadi sulit melekat dengan baik, karena

permukaan payudara menjadi sangat tegang. Ibu dibantu untuk mengeluarkan

sebagian ASI setiap 3 – 4 jam dengan cara memerah dengan tangan atau pompa

ASI yang direkomendasikan. Sebelum memerah ASI pijatan di leher dan

punggung dapat merangsang pengeluaran hormon oksitosin yang menyebabkan

ASI mengalir dan rasa nyeri berkurang. Teknik memerah dengan tangan yang

benar perlu diperlihatkan dan diajarkan kepada ibu agar perahan tersebut efektif.

ASI hasil perahan dapat diminumkan ke bayi dengan menggunakan cangkir atau

sendok. Pembengkakan payudara ini perlu segera ditangani untuk mencegah

terjadinya feedback inhibitor of lactin (FIL) yang menghambat penyaluran ASI.20

Cara menyusui yang baik dapat dilihat dengan mengamati P3 (Posisi,

Perlekatan, Penghisapan) apakah perlekatan dan posisi bayi sudah benar, serta

bayi sudah menghisap dengan efektif.

18
1. Posisi menyusui21,22

 Seluruh badan bayi tersangga dengan baik, jangan hanya leher dan

bahunya saja.

 Kepala dan tubuh bayi lurus.

 Badan bayi menghadap ke dada ibunya, sehingga hidung bayi berhadapan

dengan puting susu.

 Badan bayi dekat ke ibunya.

Gambar 2.7 Posisi Menyusui21

2. Perlekatan bayi yang benar saat menyusui21,22

 Sentuh puting susu ke bibir bayi supaya bayi mau membuka leher

mulutnya

 Dekatkan bayi sehingga dagu dan bibit bawah menempel pada payudara

 Ushakan sebanyak mungkin daerah aerola msuk kedalam mulut bayi

19
Gambar 2.8 Perlekatan Bayi Saat Menyusui.21

3. Cara melekatkan yang benar ditandai dengan:22


 Dagu menempel pada payudara ibu

 Mulut bayi terbuka lebar

 Bibir bawah bayi membuka lebar

 Aerola tampak lebih banyak di bagian atas daripada dibagian bawah

Pengosongan yang tidak sempurna atau tertekannya duktus akibat pakaian

yang ketat dapat menyebabkan ASI terbendung. Ibu dianjurkan untuk segera

memeriksa payudaranya bila teraba benjolan, terasa nyeri dan kemerahan. Selain

itu ibu juga perlu beristirahat, meningkatkan frekuensi menyusui terutama pada

sisi payudara yang bermasalah serta melakukan pijatan dan kompres hangat di

daerah benjolan.5

Pada kasus puting lecet, bayi yang tidak tenang saat menetek, dan ibu-ibu

yang merasa ASI nya kurang, perlu dibantu untuk mengatasi masalahnya. Pada

peradangan puting dapat diterapi dengan suatu bahan penyembuh luka seperti atau

lanolin, yang segera meresap ke jaringan sebelum bayi menyusu. Pada tahap awal

pengobatan dapat dilakukan dengan mengoleskan ASI akhir (hind milk) setelah

menyusui pada putting dan areola dan dibiarkan mengering. Tidak ada bukti dari

literatur yang mendukung penggunaan bahan topikal lainnya.5

20
Kelelahan sering menjadi pencetus terjadinya mastitis. Seorang tenaga

Kesehatan harus selalu menganjurkan ibu menyusui cukup beristirahat dan juga

mengingatkan anggota keluarga lainnya bahwa seorang ibu menyusui

membutuhkan lebih banyak bantuan. Ibu harus senantiasa memperhatikan

kebersihan tangannya karena S. aureus adalah kuman komensal yang paling

banyak terdapat di rumah sakit maupun masyarakat. Penting sekali untuk tenaga

kesehatan rumah sakit, ibu yang baru pertama kali menyusui dan keluarganya

untuk mengetahui teknik mencuci tangan yang baik. Alat pompa ASI juga

biasanya menjadi sumber kontaminasi sehingga perlu dicuci dengan sabun dan air

panas setelah digunakan. Untuk pencegahan mastitis bisa juga dilakukan dengan

ibu melahirkan cukup istrirahat dan secara teratur menyusui bayinya agar payudara

tidak menjadi bengkak. Gunakan bra yang sesuai dengan ukuran payudara.

Usahakan selalu menjaga kebersihan payudara dengan cara membersihkan dengan

kapas dan hangat sebelum dan sesudah menyusui.5

J. Prognosis

Sebagian besar pasien mastitis sembuh dalam 2-3 minggu dengan

pengobatan yang tepat. Setiap pasien yang terus mengalami mastitis setelah 5

minggu harus dievaluasi untuk keganasan atau infeksi.7

21
BAB III

PENUTUP

Mastitis adalah suatu kondisi radang payudara dan mungkin akibat

penurunan imunitas dan penurunan daya tahan terhadap infeksi. Mastitis berkisar

pada tingkat

keparahan dari peradangan ringan, asimptomatik yang biasanya tidak menular,

hingga mastitis parah yang terbukti secara klinis, yang bermanifestasi sebagai

kemerahan, pembengkakan payudara, demam atau infeksi sistemik. Mastitis dapat

timbul dari faktor-faktor yang berhubungan dengan kesehatan ibu, kesehatan bayi

atau keduanya. Dalam pencegahan kasus mastitis, hal yang disarankan adalah

masih tetap menyusui bayinya, agar dapat mengurangi pembendungan pada ASI,

tetapi jika ada putting susu lecet maka sebaiknya menggunakan alat bantu untuk

menyalurkan ASI pada bayinya. Pemberian informasi tentang cara menyusui yang

benar dan cara manajemen laktasi sangat penting untuk pencegahan mastitis.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Pevzner Miri, Dahan Arik. Mastitis while breastfeeding: prevention, the


importance of proper treatment, and potential complications. Journal of
Clinical Medicine. 2020; 9(2328):1-6.

2. Saboo A, Bennett I. Trends in non-lactation breast abscesses in a tertiary


hospital setting. ANZ J Surg. 2018; 88(7-8):739-744. 

3. Aini Qurrotu, Vidayati Lelly Aprilia. Penanganan dan perawatan pada ibu
menyusui dengan mastitis di BPM Lukluatun Mubrikoh. Jurnal Paradigma.
2019; 1(1):39-45.

4. Badan Pusat Statistik. Survei demografi dan kesehatan Indonesia. BPS.


2013.

5. Tristanti Ika, Nasriyah. Mastitis. Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan.


2019; 10(2):330-337.

6. Blackmon Melodie M. Nguyen Hai, Mukherji P. Acute mastitis. StatPearls


Publishing LLC. 2022

7. Toomey A, Le JK. Breast abscess. StatPearls Publishing LLC. 2022

8. Badan Pusat Statistik. Survei demografi dan kesehatan Indonesia Provinsi


DKI Jakarta. BPS. 2017

9. Miller AC. Breast Abscesses and masses. Medscape. 2021

10. Alkabban FM, Ferguson T. Breast cancer. StatPearls Publishing LLC. 2021

11. Boakes E, Woods A, Jhonson N, Kodoglou N. Breast infection: a review of


diagnosis and management practices. Eur J Breast Health 2018; 14:136-
143.

12. Johnstone KJ, Robson J, Cherian SG, Wan Sai Cheong J, Kerr K, Bligh JF.
Cystic neutrophilic granulomatous mastitis associated with Coryne-
bacterium including Corynebacterium kroppenstedtii. Pathology 2017;
49:405-412.

13. Djamuidin Syahrul. Askep nifas pada ibu dengan infeksi payudara. 2009.

23
14. Zadrozny et al. Effect of postnatal HIV treatment on clinical mastitis and
breast inflammation in HIV infected breastfeeding women, Paediatr Perinat
Epidemiol.Jurnal NCBI. 2018.

15. Meretoja T, Ihalainen H, Leidenius M. Inflammations of the mammary


gland. Duodecim. 2017; 133(9):855-61

16. Pilar Mediano, Leónides Fernández, Juan M Rodríguez, María Marín.,


Case– control study of risk factors for infectious mastitis in Spanish
breastfeeding women. BMC Pregnancy and Childbirth 2014; 14:195.

17. The Calgary Guide to Understanding Disease. Gynecology Lactational


Mastitis and Breast Abscess: Pathogenesis and clinical finding. 2023.

18. Wan-Ting Yang, Chun-Yen Ke, Wen-Tien Wu, Ru-Ping Lee, 1 and Yi-
Hsiung Tseng. Effective treatment of bovine mastitis with intramammary
infusion of angelica dahurica and rheum officinale extracts. Evidence-Based
Complementary and Alternative. Medicine Volume. 2019.

19. Diana M. Bond, Jonathan M. Morris, Natasha Nassar Study protocol:


evaluation of the probiotic. Lactobacillus Fermentum CECT5716 for the
prevention of mastitis in breastfeeding women: a randomised controlled
trial. Bond et al. BMC Pregnancy and Childbirth. 2017; 17:148.

20. Yu Z. et al, High-risk factors for suppurative mastitis in lactating women.


Med Sci Monit, 2018; 24: 4192-4197.

21. Kementerian Kesahatan RI. Buku saku pelayanan kesehatan neonatal


esensial. Bakti Husada. Jakarta. 2010.

22. Kementerian Kesehatan RI. Buku bagan manajemen terpadu balita sakit
(MTBS). KemenKes RI. Jakarta. 2015.

24

Anda mungkin juga menyukai