Anda di halaman 1dari 36

PENGARUH TRANSFORMATIONAL LEADERSHIP

TERHADAP TURNOVER INTENTION DENGAN PERAN


MEDIASI AFFECTIVE COMMITMENT
PADA BADAN USAHA MILIK DESA

PROPOSAL TESIS

Diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam tugas mata kuliah


Metodologi Penelitian Kuantitatif pada Program Studi
Magister Pengembangan Sumber Daya Manusia

Oleh:
DWI ARIADY KUSUMA
NIM. 092124253013

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS AIRLANGGA

2022

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Tujuan organisasi pasti memerlukan sumber daya sebagai sumber energi,
tenaga maupun kekuatan yang diperlukan untuk menciptakan berbagai aktivitas
dan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi. Hal itu mencakup segala sumber
daya yang dimiliki organisasi seperti sumberdaya manusia, alam, finansial dan
ilmu pengetahuan atau teknologi. Keberhasilan suatu organisasi sangat ditentukan
oleh unsur manusia, sehingga penting bagi perusahaan untuk memiliki sumber
daya manusia dalam perusahaannya. Manusia sebagai bagian dari sumber daya
berperan aktif dan dominan dalam setiap kegiatan organisasi. Tidak dapat tercapai
tujuan perusahaan tanpa peran aktif karyawan meskipun alat-alat yang dimiliki
perusahaan begitu canggih (Hasibuan, 2003:10).
Peristiwa yang sering terjadi di dalam suatu sistem dan pengelolaan sumber
daya manusia di beberapa perusahaan adalah bagaimana karyawan itu sendiri
berperilaku. Salah satu bentuk perilaku dari karyawan tersebut adalah turnover
intention yang mengacu dan berujung pada keputusan karyawan untuk
meninggalkan pekerjaannya. Turnover Intention merupakan kadar intentisitas dari
keinginan untuk keluar dari perusahaan oleh karyawan. Maka Turnover intention
adalah niat suka rela untuk meninggalkan organisasi, sehingga dapat berpengaruh
pada status dan kebijakan dalam organisasi serta mempengaruhi produktivitas
terhadap karyawan.
Turnover Intention didefinisikan sebagai niatan dari seorang karyawan
untuk berpindah atau keluar dari sebuah perusahaan. Hal ini akan berdampak
negatif bagi perusahaan ketika angka tersebut cukup tinggi sehingga kinerja dari
karyawan keseluruhan dalam perusahaan akan menurun. Seseorang yang sudah
memiliki niatan untuk keluar dari perusahaan maka dalam bekerja tidak akan
fokus dan tidak berkontribusi maksimal.
Perusahaan yang sukses dan berkembang cenderung memiliki strategi untuk
memprioritaskan karyawannya sebagai pilihan utama (Alzubi, 2018). Beberapa
strategi yang sering diterapkan antara lain gaji yang lebih tinggi, pembagian laba,
dan menciptakan suasana kerja yang kondusif. Hal tersebut dapat mendorong
produktifitas karyawan dan meningkatkan angka retensi diantara karyawan
perusahaan. Artinya angka niatan karyawan untuk berpindah menjadi lebih rendah
ketika kebutuhan mereka dapat terpenuhi dan timbul rasa komitmen terhadap
perusahaan (Alzubi, 2018).
Tingginya angka karyawan yang keluar (high Turnover Intention) menjadi
permasalahan klasik dari setiap perusahaan. Setiap perusahaan berusaha untuk
menekan angka Turnover Intention ini dengan berbagai cara. Tingginya Turnover
tidak hanya menyebabkan meningkatnya biaya rekruitmen dan pelatihan atas
karyawan baru, tetapi juga berdampak pada pekerjaan, produktifitas, dan reputasi
negatif bagi perusahaan. Disisi lain perusahaan akan kehilangan tenaga ahli dan
sumber daya manusia yang berharga ketika seorang karyawan keluar dari
perusahaan (Balsam dan Miharjo, 2007). Dari sudut pandang perusahaan,
Turnover dapat menyebabkan hilangnya laba dan hubungan yang selama ini
terjalin dengan pelanggan. Keluarnya seorang karyawan dapat berpengaruh pada
keseluruhan perusahaan (Johnson, et al. 2000).
Sikap yang menunjukan sering kali adanya keinginan berpindah oleh
karyawan yaitu keinginan mencari lowongan pekerjaan lain, serta adanya evaluasi
kemungkinan peluang pekerjaan lebih baik ditempat lain (Harnoto, 2002, dalam
Prihartono 2013:934). Griffeth dan Hom (2000) mengemukakan bahwa ada
beberapa penelitian yang mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
keinginan karyawan untuk berhenti bekerja salah satunya adalah gaya
kepemimpinan. Ketika karyawan merasa nyaman dengan pemimpin mereka,
karyawan lebih cenderung untuk tinggal di perusahaan, sebaliknya ketika
pemimpin merupakan sumber ketidaknyamanan bagi karyawan maka
kecenderungan untuk meninggalkan perusahaan akan meningkat. Seorang
pemimpin harus mampu membuat para karyawannya mengagumi, menghormati
dan sekaligus mempercayainya.
Seorang pemimpin juga harus mampu memotivasi para karyawannya
dalam melakukan pekerjaan dan harus mampu memberi ide-ide dan gagasan-
gagasan yang kreatif dalam memecahkan suatu permasalahan di dalam organisasi.
Munculnya turnover intention pada karyawan disebabkan oleh indikasi
permasalahan seperti tekanan dari pimpinan BUMDes atau pimpinan adalah hal
yang pasti ada (Prihartono, 2013:932). Begitupun penelitian yang dilakukan oleh
Gul et al. (2012) niatan untuk berpindah juga di sebabkan oleh model pemimpin
kecuali pemimpin yang menerapkan sistem transformational leadership.
Burn (1976) dalam Budiarto dan Selly (2004:127) memberikan definisi
Transformational leadership yaitu bentuk proses pimpinan dan bawahan yang
saling meningkatkan pada tingkat moralitas dan motivasi antar satu sama lain,
serta mampu menerapkan kedudukan apapun pada siapa saja dalam organisasi.
Kepemimpinan ini mencakup pemberian pengaruh terhadap rekan kerja, superior
dan, juga bawahan (dikutip oleh Yulk, 1988, dalam Budiarto dan Selly, 2004:127).
Hasil Penelitian Gul et al. (2012:44) menunjukkan adanya hubungan negatif yang
signifikan pada gaya transformational leadership terhadap turnover intention dan
hubungan positif terhadap komitmen organisasi. Berdasarkan dari hasil penelitian
tersebut dapat disimpulkan bahwa persepsi karyawan pada gaya kepemimpinan
transformasionl secara negative mempengaruhi terhadap keinginan mereka untuk
meninggalkan organisasi dan berbanding terbalik untuk gaya kepemimpinan
transaksional. Berbeda yang dihasilkan pada penelitian Gul (2012:47) penelitian
yang dilakukan Long et al. (2012: 579) menemukan adanya hubungan negative
namun tidak signifikan antara gaya transformational leadership terhadap turnover
intention. Begitupun Hasil penelitian survei oleh Park dan Pierce (2020:06)
menunjukkan bahwa gaya transformational leadership memiliki efek langsung dan
negatif pada Turnover Intention karyawan.
Beberapa literatur menunjukkan Turnover Intention disepadankan dengan
intension to leave atau intention to quit. Banyak faktor yang mendasari penyebab
turnover intension pada karyawan, salah satu diantaranya untuk mengidentifikasi
faktor pengaruh tersebut ialah aspek psikologis perilaku karyawan. Karakteristik
karyawan untuk melakukan berpindah (turnover intention) adalah karyawan yang
tidak memegang teguh komitmen terhadap organisasi.
Ada hal menarik pada penelitian Gyensare et al. (2016) penelitian ini
menemukan efek tidak langsung transformational leadership pada intensi turnover
karyawan melalui Affective Commitment. Temuan ini memberikan dukungan
teoritis kepada sikap komitmen tersebut untuk affective commitment yang
menyatakan bahwa keterlibatan dan identifikasi seseorang dengan organisasi akan
mengurangi Turnover Intention. Juga, ditemukan bukti empiris bahwa pengaruh
persepsi karyawan terhadap gaya kepemimpinan pimpinan BUMDes langsung
mereka tentang niat mereka untuk berhenti bervariasi sesuai dengan tingkat
keterikatan emosional dan keterlibatan dengan organisasi.
Komitmen organisasional merupakan tingkat sampai mana seorang
karyawan memihak sebuah organisasi serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk
mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut (Robbins, 2001:100).
Penelitian yang dilakukan oleh Andini (2006:1) mengungkapkan bahwa komitmen
organisasi berpengaruh negative terhadap turnover intention. Sedangkan
penelitian yang dilakukan Tnay et al. (2013:201) menemukan bahwa komitmen
organisasional tidak signifikan berhubungan dengan turnover intention. Menurut
Robbins (2008:100-101) Komitmen organisasi (Organizational commitment)
merupakan suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi tertentu
serta tujuan-tujuan dan keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam
organisasi tersebut. Keterlibatan pekerjaan yang tinggi berarti memihak pada
pekerjaan tertentu seorang individu, sementara komitmen organisasional yang
tinggi berarti memihak organisasi yang merekrut individu tersebut.
Meyer dan Allen (1997) dalam Yulianti,(2015: 57-58) menyebutkan bahwa
untuk mengukur komitmen organisasional dari karyawan dapat diukur dengan
Affective Commitment yaitu keterlibatan emosi pekerja dengan organisasi.
Continuence Commitment merupakan keterlibatan komitmen berdasarkan biaya
yang dikeluarkan akibat keluarnya pekerja dari organisasi. Normative
Commitment keterlibatan perasaan pekerja terhadap tugas-tugas yang ada di
organisasi.
Namun penelitian ini memfokuskan pada komitmen organisasional secara
afektif. Hal itu sangat berkaitan dengan affective commitment yang ditunjukkan
dengan keterikatan emosional karyawan, identifikasi karyawan, dan keterlibatan
karyawan terhadap perusahaan. Karena menurut Yulianti (2015:57) dengan
demikian karyawan yang memiliki affective commitment yang kuat akan terus
bekerja dalam perusahaan karena mereka ingin (want to) melakukan hal tersebut
dengan baik. Hal ini sesuai dengan yang di teliti oleh Fazio (2017) bahwa
affective commitment memiliki peran mediasi antara Social Support terhadap
Turnover Intention pada karyawan. Sedangkan menurut penelitian yang di
lakukan Gyensere (2016) menunjukkan bahwa dengan adanya affective
commitment akan menurunkan turnover intention pekerja dan berfungsi untuk
meningkatkan tingkat kepercayaan dan kemauan untuk mengikuti filosofi,
ideologi, visi, dan panduan pemimpin mereka dalam organisasi. Karenanya,
affective commitment sepenuhnya memediasi hubungan antara transformational
leadership dan intensi turnover karyawan.

Di Jawa Timur terdapat 6.363 BUMDes yang sudah terdaftar. BUMDes


tersebut tersebar dalam 7.724 desa yang ada di Jawa Timur. Desa tersebut berada
pada 29 Kabupaten di Provinsi Jawa Timur dan 1 Kota yaitu Kota Batu. Pada
BUMDes yang ada di Provinsi Jawa Timur terdapat 21 jenis usaha. Usaha tersebut
terdiri dari 40,44% dalam bentuk simpan pinjam dan sisanya sejumlah 59,56%
dalam bentuk sektor riil.
Keunggulan lain dari keberadaan BUMDes adalah sebagai wadah yang
dapat menampung setiap kegiatan ekonomi. Sudah menjadi lembaga pelayanan
publik bagi masyarakat desa (Sihabudin 2009, Zulkarnaen 2016, & Hardijono
dkk. 2014). Hayyuna dkk. (2014) dan Hidayati (2015) menunjukkan bahwa
peningkatan pendapatan asli desa dapat dihasilkan melalui pengelolaan BUMDes
yang terstruktur dan sistematis. Namun, Syahril dkk. (2019) menyebutkan
terdapat faktor-faktor penghambat yang mempengaruhi kinerja BUMDes yaitu
permodalan, tanggung jawab, pendidikan masyarakat, dan keyakinan, serta jenis
usaha yang dijalankan.
Namun karena masih kurangnya jaminan tertentu bagi masyarakat, maka
perlunya perlindungan hukum berupa peraturan desa tentang BUMDes
memberikan jaminan yang lebih terjamin bagi setiap masyarakat. Sejak pertama
kali berdiri, BUMDes telah menjadi alat untuk meningkatkan pendapatan asli desa
dan juga pendapatan masyarakat. Badan Usaha Milik Desa juga mampu
menciptakan peluang usaha baru yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Badan Usaha Milik Desa merupakan salah satu lembaga yang ada di desa yang
bergerak baik dalam bidang usaha maupun pemberdayaan ekonomi.
Perilaku kepemimpinan yang diadopsi oleh BUMDes Larasati desa
kendalbulur di kabupaten Kediri Jawa Timur berupaya menawarkan kebebasan
kepada karyawan di tempat kerja, perasaan terikat pada organisasi dan persepsi
positif tentang dukungan kepemimpinan, manajer dan profesional SDM
berpotensi menumbuhkan komitmen karyawan. Bahwa dengan hal ini dapat
merangsang inovasi organisasi dan kesuksesan bisnis. Dalam penelitian ini,
menjadikan peran mediasi Affective Commitment pada Transformational
Leaderhip dan Turnover Intention.
Permasalahan karyawan resign sangat merepotkan bagi BUMDes Larasati.
Walaupun rekruitmen sudah merupakan salah satu tugas dari MSDM namun jika
terlalu banyak waktu kerja yang dihabiskan hanya untuk rekruitmen maka hal ini
akan berdampak pada fungsi MSDM lain tidak dapat terlaksana dengan baik.
Tentunya hal ini juga menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi MSDM BUMDes
Larasati untuk dapat menemukan cara bagaimana menekan angka Turnover
Intention yang bisa dilihat dari model peran pemimpin transformasional dan
komitmen afektif karyawan. Faktor kepemimpinan merupakan faktor yang paling
kuat mempengaruhi keinginan karyawan untuk berhenti bekerja (Hom dan
Griffeth, 1995) dan terdapat pengaruh antara kepemimpinan transformasional
terhadap turnover intention, karena model kepemimpinan ini mampu memotivasi
karyawannya. Karyawan yang tidak puas akan pekerjaannya atau kurang
berkomitmen pada organisasi akan terlihat menarik diri dari perusahaan baik
melalui ketidak hadiran atau keluar kerja. Berdasarkan uraian latar belakang
permasalahan yang dihadapi oleh BUMDes Larasati tersebut maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Transformational
Leadership Terhadap Turnover Intention, Dan Mediasi Affectif
Commitment”.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang penelitian yang telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya, maka rumusan masalah yang akan dicoba dijawab melalui penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah Transformational Leadeship berpengaruh terhadap Turnover
Intention pada BUMDes Larasati?
2. Apakah Affective commitment memediasi hubungan Transformational
Leadership terhadap Turnover Intention pada BUMDes Larasati?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalah di atas dapat dibuat tujuan penelitian
sebagai berikut:
1. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh Transformational Leadeship
berpengaruh terhadap Turnover Intention pada BUMDes Larasati.
2. Untuk menguji dan menganalisis peran Affective Commitment memediasi
hubungan Transformational Leadership terhadap Turnover Intention pada
BUMDes Larasati

1.4 Manfaat Penelitian


Pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai
berikut:
1. Sebagai masukan dan bahan evaluasi untuk BUMDes Larasati dalam
memperoleh keseimbangan kehidupan kerja karyawan untuk
meningkatkan kepuasan kerja karyawan.

2. Sebagai masukan bagi masyarakat, khususnya bagi mahasiswa dan


mahasiswi yang mempelajari tentang Turnover Intention, dan hal-hal apa
saja yang perlu untuk dikembangkan dan diperhatikan dalam memperoleh
keseimbangan kehidupan kerja karyawan.

3. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat menjadi masukan untuk


pengembangan ilmu pengetahuan, secara khusus tentang Turnover
Intention, dan terutama pada bidang human resource management.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1. Transformational Leadership
Kepemimpinan merupakan definisi dari prosedur atau proses yang
mengarahkan dan membimbing perilaku orang dalam lingkungan kerja (Nelson,
2006). Banyak pendekatan yang berbeda dari gaya kepemimpinan yang
ditemukan pada banyak literatur. Berdasarkan hasil beberapa studi, peran
kepemimpinan ialah menciptakan pengaruh dalam mencapai tujuan (Bass, 1997
dalam Almanitsir et al., 2013). Berdasarkan teori Burns, 1979, Bass pada tahun
1985 dan 1998 mengelaborasi teori gaya kepemimpinan termasuk
transformational leadership dan transaksional.
Transformational leadership lebih mendasarkan pada pergeseran nilai dan
kepercayaan pemimpin serta kebutuhan pengikutnya (Luthans, 2006).
Transformational leadership memotivasi pengikut untuk dapat melakukan suatu
hal lebih dari yang diharapkan (Northouse, 2013). Transformational leadership
membuat pengikut merasa percaya, kagum, setia, dan hormat kepada pemimpin
serta pengikut juga termotivasi untuk melakukan lebih dariapa yang diharapkan
dari mereka (Yukl, 2006). Transformational Leadership adalah seorang pemimpin
yang mendatangkan sebuah perubahan dalam individu maupun organisasi untuk
mencapai kinerja yang lebih tinggi.
Transformational leadership fokus pada konsep atribusi positif dalam
pencapaian kinerja yang melebihi ekspektasi. Pemimpin transformasional
mencapai tujuannya melalui peningkatan kepedulian terhadap pentingnya nilai
yang harus diciptakan dalam membuat rencana pencapaian hasil dan
mewujudkannya, menjalin hubungan yang baik diseluruh anggota tim, organisasi
dan seluruh pemangku kepentingan serta dapat memilah antara kebutuhan dan
keinginan yang perlu dicapai (Beck Tauber, Daniela, 2012). Dalam kepemimpinan
transformasioal, karyawan dapat dengan mudah berbagi pengetahuan antara
anggota dalam organisasi sehingga orgasisasi yang memiliki pemimpin
transformasional cenderung memiliki intelektual dan kedekatan antar pribadi yang
tinggi sehingga motivasi pun dapat meningkat (Paracha et al., 2012).
Avolio dan Bass (2004 dalam Beck Tauber, Daniela, 2012) merinci perilaku
transformational leadership yang terdiri dari empat dimensi yaitu pengaruh ideal,
inspirasi motivasi, stimulasi intelektual dan pertimbangan individu. Perilaku
pemimpin transformasional yang pertama yaitu pengaruh ideal artinya pemimpin
bertindak sebagai panutan. Pengikut mengagumi, hormat dan percaya kepada
pemimpin mereka. Pemimpin transformasional menanamkan kebanggaan,
melampaui kepentingan untuk kebaikan kelompok, bertindak dengan membangun
rasa hormat, berpenampilan meyakinkan, mempertimbangkan konsekuensi moral
10
11

dan etis dalam mengambil keputusan. Perilaku pemimpin transformasional yang


kedua yaitu inspirasi motivasi yang artinya pemimpin memotivasi dan
menginspirasi para pengikutnya untuk tujuan tertentu atau berbagai visi.
Pemimpin memberikan makna dan tantangan serta menampilkan antusiasme dan
optimisme. Untuk melakukannya, pemimpin transformasional berbicara optimis
tentang masa depan, berbicara antusias tentang apa yang perlu dilakukan,
mengartikulasikan visi di masa depan dan memiliki keyakinan bahwa tujuan akan
dicapai. Perilaku pemimpin transformasional yang ketiga yaitu stimulasi
intelektual yaitu para pemimpin mampu merangsang inovasi dan kreativitas
pengikutnya. Hal tersebut dapat dilakukan pemimpin dengan mencari perspektif
berbeda saat memecahkan masalah, memeriksa kembali asumsi kritis dan
menyarankan cara baru untuk melihat bagaimana tujuan dapat diwujudkan. Dalam
perilaku pemimpin transformasional yang keempat yaitu pertimbanganindividu,
pemimpin bertindak sebagai mentor bagi pengikut.
Transformational leadership adalah bentuk kepemimpinan yang efektif di
organisasi (Nemanich dan Keller, 2007), sektoral (García-Morales et al. , 2012)
dan nasional (Howell dan Avolio, 1993) level. Juga, transformational leadership
sangat penting karena memungkinkan orangdengan beragam latar belakang untuk
bekerja bersama secara produktif menuju tujuan bersama (Lee, 2014). Selain itu,
transformational leadership menekankan perubahan yang disibukkan dengan
mentransformasikan kinerja organisasi baik dari buruk ke memuaskan atau dari
dapat diterima untuk sempurna (Bass dan Riggio, 2006; Mullins, 2007).
Pemimpin menciptakan peluang belajar, iklim yang mendukung serta
mengembangkan potensi pengikut. Didalamnya pemimpin memberi pelajaran dan
pelatihan, menganggap setiap individu memiliki kebutuhan, kemampuan dan
aspirasi yang berbeda serta membantu pengikut mengembangkan kekuatannya.
Pengertian transformational leadership merupakan gaya kepemimpinan yang
berupaya mentransformasikan nilai-nilai yang dianut oleh bawahan untuk
mendukung visi dan tujuan organisasi.
Bass dan Avolio (1994) mengemukakan bahwa Transformational leadership
mempunyai empat dimensi, yaitu:
1. Attributed charisma
Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat
para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya.
Pengukuran pada dimensi ini menggunakan beberapa indikator yaitu, 1) Karyawan
memiliki kepercayaan kepada pimpinan BUMDes. 2) Visi pimpinan BUMDes
mendorong karyawan untuk bekerja lebih baik. 3) Pimpinan BUMDes mempunyai
misi yang jelas yang di berikan kepada karyawan.
12

2. Inspirational motivation
Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang
mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan,
mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu
menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan
optimisme. Pengukuran pada dimensi ini menggunakan beberapa indikator yaitu, 1)
Pimpinan BUMDes membuat karyawan bangga ketika dapat berteman dengannya. 2)
Pimpinan BUMDes menetapkan standar yang tinggi untuk pekerjaan karyawan. 3)
Pimpinan BUMDes mengembangkan berbagai cara untuk mendorong karyawan agar
bekerja lebih baik.
3. Intellectual stimulation
Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan
solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan
memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang
baru dalam melaksanakantugas-tugas organisasi. Pengukuran pada dimensi ini
menggunakan beberapa indikator yaitu, 1) Pimpinan BUMDes memungkinkan
karyawan untuk berfikir tentang berbagai problem lama dengan cara pandang baru. 2)
Pimpinan BUMDes menekankan pada karyawan menggunakan kecerdasan untuk
mengatasi berbagai hambatan. 3) Pimpinan BUMDes mengharuskan karyawan
memberikan pendapat dengan argumen yang baik.
4. Individualized consideration (konsiderasi individu)
Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang
pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan
bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan
pengembangan karir. Pengukuran pada dimensi ini menggunakan beberapa indikator
yaitu, 1) Pimpinan BUMDes mencari tahu apa yang karyawan inginkan dan
membantu untuk mendapatkannya. 2) Pimpinan BUMDes memberikan perhatian
secara pribadi kepada karyawan. 3) Pimpinan BUMDes memberikan penghargaan
ketika karyawan melakukan pekerjaan dengan baik.

Teori yang dikemukakan oleh Avolio dan Bass (2004 dalam Beck Tauber,
Daniela, 2012) dalam hal pengertian maupun indikator transformational
leadership yang dikemukakan sangat relevan jika diterapkan pada kasus PT.
Infomedia Sosial Humanika . Terdapat empat indikator yang sesuai dengan
kondisi PT. Infomedia Sosial Humanika yang terjadi pada dan dapat menjabarkan
secara jelas masalah yang terjadi. Sehingga dapat ditemukan solusi yang tepat
untuk memperbaiki masalah pada transformational leadership.
2.1.2 Affective Commitment
13

Mowday (1982) memberikan definisi bahwa komitmen organisasional adalah


derjat dimana karyawan percaya dan menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan
tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasi. Pada dasarnya komitmen
kerja sebagai istilah lain dari komitmen organisasional. Menurutnya komitmen
organisasional merupakan dimensi perilaku penting yang dapat digunakan untuk
menilai kecenderungan karyawan untuk bertahan sebagai anggota organisasi.
Karyawan yang mempunyai komitmen tinggi kepada organisasi kemungkinan
kecil untuk meninggalkan organisasi darpada karyawan yang relatif tidak
berkomitmen (Joiner dalam Chiu, et al., 2005). Menurut Greenberg dan Baron
(1993), karyawan yang memiliki komitmen organisasional yang tinggi adalah
karyawan yang lebih stabil dan lebih produktif sehingga pada akhirnya lebih
menguntungkan bagi organisasi.
Komitmen organisasional merupakan kondisi dimana pegawai sangat tertarik
terhadap tujuan, nilai-nilai, dan saran organisasinya. Komitmen terhadap
organisasi artinya lebih sekedar keanggotaan formal karena meliputi sikap
menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang
tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan (Steers dalam
Kuntjoro, 2002). Jadi menurut Mowday dalam Yulianti (2015) untuk dapat
memahami Komitmen organisasional dilihat dari dua pendekatan yaitu attitudinal
(sikap) commitment dan behavioral (perilaku) commitment.
Komitmen organisasional terdiri dari 3 komponen,yaitu affective
commitment, komitmen normatif,dan komitmen kontinuans (Meyer &
Allen,1987). Ketiga komponen komitmen organisasi tersebut digerakkan oleh
motif yang berbeda-beda. Affective commitment didasari oleh adanya keterlibatan
emosi dan kelekatan internal individu terhadap organisasi (Meyer & Allen, 1991).
Komitmen normatif didasari oleh adanya tanggung jawab individu terhadap
organisasi (Meyer& Allen, 1991). Sementara komitmen kontinuans didasari oleh
adanya pertimbangan mengenai kerugian yang akan muncul jika individu
meninggalkan organisasi (Meyer & Allen, 1991).Dari ketiga komponen ini,
affective commitment merupakan komponen yang dianggap paling penting,
karena merupakan inti dari komitmen organisasi (Mercurio, 2015), yang dianggap
lebih menggambarkan dedikasi dan loyalitas pada perusahaan (Rhoades,
Eisenberger, & Armeli, 2001). Oleh sebab itu affective commitment organisasi
menjadi variabel yang diteliti.
Affective commitment organisasi didefinisikan sebagai perasaan memiliki
dan identifikasi (menjadi bagian dari diri seseorang) yang dapat meningkatkan
keikutsertaan individu dalam kegiatan organisasi, dorongan untuk mewujudkan
tujuan organisasi, dan keinginan untuk menetap didalam organisasi (Meyer &
14

Allen, 1991). Sedangkan Greenberg dan Baron (1993:191) mendefinisikan


affective commitment merupakan keinginan seseorang untuk bekerja di dalam
sebuah organisasi, karena mereka menyetujui dan berkeinginan untuk melakukan
pekerjaan tersebut.
Sedangkan menurut Yulianti (2015:57) affective commitment adalah
keinginan seseorang untuk tetap mempertahankan keanggotaannya di dalam
organisasi karena secara emosional merasa terikat, mengidentifikasikan dirinya
dan merasa terlibat dengan organisasi, sehingga akan membuat seseorang
memiliki keyakinan yang kuat dan keinginan yang besar untuk mengikuti segala
nilai-nilai organisasi. Karyawan yang memiliki affective commitment yang kuat,
mereka bekerja dalam organisasi karena menginginkannya (want to) serta
memiliki motivasi intrinsik untuk berkinerja terbaik.
Affective Commitment organisasi dapat memberikan dampak positif terhadap
permasalahan kondisi kerja pada karyawan pertelevisian, antara lain dengan cara
mengurangi tekanan kerja dengan menekan burnout atau kelelahan secara
emosional (Schmidt, 2007). Selain itu, dampak positif lainnya adalah menurunkan
risiko pengunduran diri (Meyer, Stanley, Herscovitch, & Topolnytsky, 2002),
menurunkan tingkat absensi karyawan (Eisenberger, Fasolo, & Davis-La Mastro,
1990), individu dapat menghargai nilai-nilai perusahaan (Beheshtifar & Herat,
2013), dan patuh padanorma dan praktik kebijakan organisasi (Jena,
Bhattacharyya, & Pradhan, 2017). Secara praktis, individu dengan affective
commitment organisasi akan bekerja dengan sungguh-sungguh dan menampilkan
performa kerja yang lebih baik (Meyer & Allen, 1997). Lebih lanjut, affective
commitment organisasi juga diduga dipengaruhi oleh usia (Pourghaz, Tamini, &
Karamad, 2011).
McShane (2008) mengemukakan lima cara membangun affective
commitment sebagai berikut:
a. Justice and Support
Komitmen yang lebih tinggi dalam sebuah organisasi adalah affective
commitment, sehingga organisasi berusaha untuk bias memenuhi kebutuhan para
karyawan dan memunculkan dengan nilai – nilai seperti keadilan, kesopanan,
pengampunan, dan integritas moral.
b. Shared Values
Definisi affective commitment mengacu pada keberpihakan seseorang terhadap
organisasi, dan keberpihakan tersebut akan sangat tinggi jika karyawan meyakini
bahwa nilai – nilai yang dianut sepaham dengan nilai dominan organisasi.
c. Trust
15

Kepercayaan mengacu pada pengharapan positif yang dimiliki seseorang


terhadap orang lain dalam situasi yang berisiko. Hal itu juga merupakan aktivitas
timbal balik; untuk mendapatkan kepercayaan maka berikan kepercayaan.
d. Organizational Comprehension
Affective commitment merupakan keberpihakan seseorang terhadap organisasi,
sehingga masuk akal jika perilaku tersebut diperkuat ketika karyawan memahami
organisasi atau organisasi, termasuk masa lalunya, keadaan sekarang dan yang
akan datang.
e. Employee Involvement
Keterlibatan karyawan meningkatkan affective commitment dengan menguatkan
keberpihakan social karyawan terhadap organisasi. Para karyawan merasa
menjadi bagian dalam organisasi ketika karyawan tersebut diberikan wewenang
dalam pengambilan keputusan untuk masa depan organisasi dan terikat secara
psikologis pada organisasi yang mempekerjakannya melalui perasaan seperti
loyalitas dan afeksi, karena sepakat terhadap tujuan organisasi (Meyer dan Allen,
1991).
Banyak penelitian yang mengkonfirmasi kekokohannya dalam hal validitas
dan konten, serta reabilitasnya (Meyer et al.., 2002), peneliti memutuskan
komitmen organisasi afektif sebagai variabel mediasi dalam penelitian ini karena
sebagian besar peneliti telah belajar sebagai variabel eksogen. Ini konsisten
dengan Mathieu dan Zajac (1990) studi meta-analitik yang mencatat bahwa
komitmen belum dipelajari secara intensif sebagai variabel endogen dan berdebat
untuk pengembangan model komitmen "berbasis teori". Oleh karena itu, fokus
pada affective commitment sangat penting karena sangat mempengaruhi
organisasi penting dan hasil yang terkait dengan karyawan seperti Turnover
Intention (Meyer et al.., 2002; Mowday et al.., 1982) yang merupakan variabel
hasil dalam penelitian ini.
2.1.3 Turnover Intention
Turnover intention (intensi keluar) adalah kecenderungan atau niat
karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaannya (Zeffane,1994). Menurut
Bluedorn dalam Grant et al. (2001) turnover intention adalah kecenderungan
sikap atau tingkat dimana seorang karyawan memiliki kemungkinan untuk
meninggalkan organisasi atau mengundurkan diri secara sukarela dari
pekerjaanya. Lebih lanjut dijelaskan Mobley, Horner dan Hollingsworth, 1978
dalam Grant et al (2001) keinginan untuk pindah dapat dijadikan gejala awal
terjadinya turnover dalam sebuah perusahaan. Intensi keluar (turnover intention)
juga dapat diartikan sebagai pergerakan tenaga kerja keluar dari organisasi.
Turnover dapat berupa pengunduran diri atau perpindahan keluar unit organisasi,
16

pemberhentian atau kematian dari anggota organisasi.


Robbins (2001:138) menjelaskan bahwa Turnover dapat terjadi secara sukarela
(voluntary turnover) maupun secara tidak sukarela (involuntary turnover). Voluntary
Turnover atau quit merupakan keputusan karyawan untuk meninggalkan organisasi
secara sukarela yang disebabkan oleh faktor seberapa menarik pekerjaan yang ada saat
ini dan tersedianya alternatif pekerjaan lain. Sebaliknya, involuntary turnover atau
pemecatan menggambarkan keputusan pemberi kerja (employer) untuk menghentikan
hubungan kerja dan bersifat uncontrollable bagi karyawan yang mengalaminya.
Turnover menurut Novliadi (2007) diartikan sebagai berhentinya seorang
karyawan dari tempatnya bekerja secara sukarela. Sementara Spector (2003)
mendefinisikan turnover sebagai keluarnya karyawan. Berdasarkan penjelasan diatas
maka dapat disimpulkan bahwa niatan berpindah (turnover intention) adalah keinginan
individu yang secara sadar dan penuh pertimbangan untuk meninggalkan perusahaan
dimana ia bekerja sekarang.
Novliadi (2007) mendefinisikan niatan berpindah sebagai kecenderungan atau niat
karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaannya secara sukarela menurut pilihannya
sendiri. Sementara Abelson (1987) mendefinisikan niatan berpindah sebagai suatu
keinginan individu untuk meninggalkan organisasi dan mencari alternatif pekerjaan lain.
Tindakan penarikan diri terdiri atas beberapa komponen yang secara simultan muncul
dalam individu berupa adanya pikiran untuk keluar, keinginan untuk mencari lowongan
pekerjaan lain, mengevaluasi kemungkinan untuk menemukan pekerjaan yang layak
ditempat lain, dan adanya keinginan untuk meninggalkan organisasi.
Menurut Mobley (1977) merumuskan tahapan-tahapan kognitif yang dialami
individu sebelum meninggalkan pekerjaannya, yaitu :
1. Pikir-pikir untuk berhenti dari pekerjaan (thoughts of quitting).
2. Berniat untuk mencari alternatif pekerjaan lain (intention to search for another job).
3. Berniat untuk meninggalkan pekerjaan(intention to quit).
Tahapan dimulai pada saat individu mulai berpikir untuk berhenti dari
pekerjaannya. Hal ini melibatkan penilaian antara hal-hal yang diharapkan dari
pekerjaannya yang baru dengan harga yang harus dibayar jika meninggalkan
pekerjaannya sekarang. Selanjutnya apabila individu menemukan bahwa terdapat
peluang untuk mendapatkan alternatif pekerjaan lain yang lebih memuaskan,
maka pencarian untuk pekerjaan baru akan dimulai. Hal ini melibatkan penilaian
pekerja terhadap pendapat atau tidaknya diterima hasil pekerjaan tersebut. Jika
sesuatu atau beberapa alternatif pekerjaan lain telah ditemukan, maka alternatif-
alternatif tersebut akan dibandingkan dengan pekerjaan saat ini. Selanjutnya
apabila alternatif pekerjaan telah ditemukan tahapan kognitif karyawan akan
17

berlanjut pada tahap ketiga yaitu niatan karyawan tersebut untuk meninggalkan
pekerjaan (intention to quit).
Tindakan penarikan diri menurut Abelson (1987) terdiri atas beberapa
komponen yang secara simultan muncul dalam individu berupa adanya pikiran
untuk keluar, keinginan untuk mencari lowongan pekerjaan lain, mengevaluasi
kemungkinan untuk menemukan pekerjaan yang layak di tempat lain, dan adanya
keinginan untuk meninggalkan perusahaan.
Sebagian besar karyawan yang meninggalkan perusahaan karena alasan
sukarela dapat dikategorikan atas perpindahan kerja sukarela yang dapat
dihindarkan (avoidable voluntary turnover) dan perpindahan kerja sukarela yang
tidak dapat dihindarkan (unavoidable voluntary turnover). Avoidable voluntary
turnover dapat disebabkan karena alasan berupa gaji, kondisi kerja, pimpinan
BUMDes, atau ada perusahaan lain yang dirasa lebih baik. “Voluntary turnover
atau quit merupakan keputusan karyawan untuk meninggalkan organisasi secara
sukarela yang disebabkan oleh faktor seberapa menarik pekerjaan yang ada saat
ini, dan tersedianya alternatif pekerjaan lain. Sebaliknya, involuntary turnover
atau pemecatan menggambarkan keputusan pemberi kerja (employer) untuk
menghentikan hubungan kerja dan bersifat uncontrollable bagi karyawan yang
mengalaminya (Shaw et al.., 1998)”.Sedangkan unavoidable voluntary turnover
dapat disebabkan karena perubahan jalur karir atau faktor keluarga. Niatan
berpindah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah voluntary turnover.
Menurut Mobley (1977) niatan berpindah adalah persepsi kognitif dari
pemikiran, rencana, dan keinginan untuk keluar dari perusahaan. Seseorang yang
memiliki niatan untuk berpindah dari suatu perusahaan memiliki beberapa gejala-
gejala awal sebagai berikut :
1. Karyawan berpikir untuk meninggalkan perusahaan.
2. Karyawan akan berusaha untuk mencari pekerjaan pada perusahaan lain.
3. Karyawan berusaha untuk meninggalkan perusahaan.
4. Karyawan berusaha untuk meninggalkan perusahaan dalam waktu dekat.
5. Karyawan berusaha untuk meninggalkan perusahaan bila ada kesempatan
yang lebih baik

2.2 PenelitianTerdahulu
Penelitian yang membahas tentang Transformational Leadership, Affective
Organizational Commitment, dan Turnover Intention. Dimana sebelumnya
terdapat beberapa peneliti terdahulu yang pernah melakukan penelitian yang
hampir serupa, namun perbedaan yang ada dalam penelitian ini kemudian
18

dikembangkan. Beberapa peneliti terdahulu yang dimaksud adalah sebagai


berikut:
2.2.1 Michael Asiedu Gyensare, Olivia Anku-Tsede, Mohammed-Aminu Sanda,
Christopher Adjei Okpoti (2016) "Transformational leadership and employee
turnover intention: The mediating role of affective commitment".
Penelitian ini yang menjadi dasar pijakan bagi peneliti untuk mengadopsi
model. Dalam ulasan literatur mereka meyakini bahwa, Pertama menguji
transformational leadership dan affective commitment sebagai anteseden dari
turnover intention. Kedua, mereka juga memeriksa peran mediasi dari affective
commitment antara transformational leadership dan intensi turnover.
Studi penelitian yang di lakukan Gyensare et al., berkontribusi pada literatur
yang akan dilakukan peneliti. Pertama, membuat model Affective Commitment
dan teori komitmen sikap, mereka berpendapat bahwa karyawan memiliki
keterikatan emosional dengan organisasi dan identifikasi akan turnover intention
menurun dan berfungsi untuk meningkatkan tingkat kepercayaan dan kemauan
yang lebih besar untuk mengikuti panduan pemimpi. Kedua, mereka memberikan
kontribusi empiris pada yang masih adaliteratur dengan memeriksa peran mediasi
dari affective commitment dalam suatu organisasidalam budaya kolektivis,
bertentangan dengan penelitian sebelumnya yang biasanya digunakan sampel dari
budaya individualis di Barat.
Selain kontribusi teoritis dan empiris, penelitian kami juga membuat
signifikan kontribusi praktis dengan memberikan saran kepada manajer menengah
dan atas tentang cara melakukannya menciptakan suasana kepercayaan,
kekaguman, kesetiaan dan rasa hormat terhadap karyawan yang maupada
gilirannya membantu mengurangi Turnover Intention mereka. Makalah ini
pertama dan terpenting menyajikan tinjauan literatur. Ini diikuti oleh kerangka
penelitian dan metode penelitian. Akhirnya, makalah ini melihat hasil serta
diskusi dan implikasi untuk penelitian masa depan.
2.2.2 Taekyung Park, Barbara Pierce. (2020). “Impacts of transformational
leadership on turnover intention of child welfare workers”
Tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh Park dan Pierce adalah untuk
menguji langsung danefek langsung dari transformational leadership, seperti yang
dirasakan oleh pekerja kesejahteraan anak di lembaga publik kesejahteraan anak,
dengan intensi turnover. Untuk menyelidiki efek langsung dan tidak langsung dari
transformational leadership dari direktur kantor lokal, penelitian mereka diuji
hubungan antara transformational leadership dan Turnover Intention pekerja
kesejahteraan anak melalui variabel mediasi, seperti organisasi komitmen
nasional, budaya organisasi, dan klien organisasi.
19

Salah satu temuan kunci dalam penelitian ini adalah gaya transformational
leadership direktur kantor lokal memiliki dampak negatif dan langsung pakta
tentang turnover intention pekerja kesejahteraan anak. Penemuan ini mendukung
hipotesis penelitian pertama kami. Selain itu, organisasi komitmen sebagian
memediasi efek transformational leadership dengan turnover intention. Hasil ini
konsisten dengan respon sebelumnya pencarian dan teori yang diajukan tentang
hubungan antara transformasi kepemimpinan, rasional dan sikap kerja, termasuk
intensi turnover dan komitmen organisasional dalam organisasi layanan manusia.
Teori yang diusulkan menunjukkan bahwa pekerja kesejahteraan anak
yang bekerja di bawah kepemimpinan dengan skor yang lebih tinggi dalam
karakteristik transformational leadership lebih cenderung menunjukkan komitmen
organisasional lebih kecil kemungkinannya untuk rela mengundurkan diri dari
pekerjaan dari pada yang di bawah direksi dengan skor lebih rendah. Sangat
sedikit penelitian yang meneliti efek transformational leadership terhadap
Turnover Intention pekerja dalam pengaturan kesejahteraan anak.
Temuan utama dari penelitian ini adalah pentingnya gaya transformational
leadership dari direktur kantor lokal di lembaga kesejahteraan anak. Terlepas dari
faktor mediasi kondisi organisasi, transformational leadership terkait dengan niat
pekerja kesejahteraan anak untuk meninggalkan agensi mereka menunjukkan
tingkat kekuatan yang sama. Studi ini menyiratkan bahwa niat pergantian pekerja
dapat dipengaruhi tidak hanya oleh pemimpin / penyelia langsung mereka, tetapi
juga oleh para pemimpin mereka yang jauh, seperti direktur kantor setempat.
Sebagian besar penelitian sebelumnya meneliti gaya kepemimpinan pemimpin
langsung atau pengawas sebagai prediktor Turnover Intention di lembaga
kesejahteraan anak.
2.2.3. John Fazio, Baiyun Gong, Randi Sims, Yuliya Yurova, (2017) "The role of
affective commitment in the relationship between social support and turnover
intention".
Penelitian Fazio et al., menyatakan tentang efek mediasi affective
commitment antara dukungan sosial dan turnover, temuan mereka tidak hanya
memberikan bukti bahwa affective commitment sebagai mediator, tetapi lebih
jauh mengklarifikasi bahwa dampak dukungan sosial (PSS dan POS) pada
turnover intention tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh affective commitment.
Seperti yang disarankan oleh teori pertukaran sosial, hasil penelitian mereka
menunjukkan bahwa affective commitment memediasi hubungan negatif antara
persepsi dukungan sosial dan turnover intention. Artinya, peningkatan dukungan
sosial yang dirasakan mengarah pada peningkatan affective commitment dan
20

pengurangan berikutnya dalam Turnover Intention. Temuan mereka juga


mendukung argumen bahwa kewajiban yang dirasakan dari dukungan sosial yang
dirasakan dapat secara langsung mempengaruhi hasil pekerjaan seperti Turnover
Intention, tanpa mediasi affective commitment. Dengan demikian, seperti yang
diperkirakan, dukungan sosial yang dirasakan dimediasi sebagian, bukan
sepenuhnya, oleh affective commitment dalam mengurangi turnover intention.
Sebagian besar dampak adalah karena proses yang tidak melibatkan affective
commitment. Semakin tinggi dukungan sosial yang dirasakan, semakin banyak
karyawan yang merasa wajib untuk tetap dengan organisasi dan melakukan
pekerjaan mereka dengan baik terlepas dari kesulitan dan stres. Dengan demikian,
peran dukungan sosial sebagai penentu langsung dari Turnover Intention
didukung. Perbedaan dalam jumlah efek langsung dengan tidak langsung
berdasarkan pada bentuk dukungan sosial memberikan bobot pada anggapan
bahwa karyawan dapat membedakan antara sumber dukungan dan merespons
sesuai.
Penelitian ini berkontribusi pada literatur turnover dengan eksplorasi lebih
lanjut untuk peran dukungan sosial dan affective commitment. Pertama, temuan
menunjukkan bahwa POS dan PSS memengaruhi intensi turnover di luar proses
melalui dampak pada affective commitment. Penelitian tentang teori penguatan
menunjukkan bentuk dasar kolaborasi berdasarkan kepentingan yang sesuai dari
pihak terkait, bukan motivasi intrinsik masing-masing pihak. Ketika karyawan
percaya bahwa pengurangan turnover dihargai dengan dukungan sosial yang
mereka butuhkan, mereka dapat berperilaku sesuai untuk penguatan tanpa alasan
lain. Berpotensi, menurut teori disonansi kognitif yang memprediksi penyesuaian
sikap dan perilaku dalam menanggapi inkonsistensi antara berbagai kognisi,
bagian dari affective commitment yang meningkat dapat berupa sikap retrospektif
yang digunakan untuk membenarkan berkurangnya turnover intention.
2.2.4. Sajid Gul, Bilal Ahmad, Shafiq Ur Rehman, Nabia Shabir, Nassir Razzaq.
(2012). “Leadership Styles, Turnover Intentions and the Mediating Role of
Organizational Commitment”.
Penelitian Sajid Gul et al., menghasilkan bahwa salah satu aset paling
berharga yang dimiliki organisasi adalah karyawan organisasi. Akibatnya, itu
menjadi area inti konsentrasi bagi kepemimpinan untuk memimpin dengan cara
yang meningkatkan tingkat motivasi karyawan untuk pencapaian tujuan
organisasi yang efektif dan efisien seperti profitabilitas, produktivitas,
pertumbuhan dan citranya.
Temuan penelitian ini mengungkapkan bahwa responden ditemukan lebih
condong ke arah transformational leadership dalam hal komitmen dan keinginan
21

berpindah daripada kepemimpinan transaksional. Selain itu temuan penelitian ini


juga mengungkapkan bahwa perusahaan asuransi yang beroperasi di Pakistan
harus fokus pada perilaku imbalan kontingensi dan perilaku hukuman
kontingensi. Pengawas di perusahaan asuransi perlu menyediakan lingkungan
seperti itu kepada bawahan mereka di mana mereka dapat mengembangkan diri
secara pribadi dan profesional. Penelitian mereka menunjukkan bahwa pengawas
di perusahaan asuransi lebih condong ke arah pencapaian tujuan organisasi dan
memberikan pengikut visi yang jelas untuk masa depan yang jelas bagi organisasi
yang berorientasi laba. Dalam studi ini misalnya, ditemukan bahwa, bawahan
yang bekerja dengan pemimpin transformasional merasa lebih berkomitmen
dalam pengaturan perusahaan asuransi.
Oleh karena itu semua kondisi mediasi ditemukan terpenuhi untuk
transformational leadership dan kepemimpinan transaksional dengan komitmen
organisasional sebagai mediator dan intensi turnover sebagai variabel dependen.
Jadi Hipotesanya telah diterima berarti bahwa komitmen organisasional
memediasi hubungan antara gaya kepemimpinan dan turnover intention.

2.3. Hipotesis
2.3.1. Pengaruh transformational leadership terhadap turnover intention
Selama bertahun-tahun, transformational leadership dan keinginan
berpindah adalah dua bidang penelitian yang berbeda. Namun, minat dalam
menggabungkan dua konsep terpisah ini telah berkembang selama tiga dekade
terakhir dan didasarkan pada asumsi bahwa karyawan lebih mungkin dipengaruhi
oleh perilaku kepemimpinan pimpinan BUMDes langsung mereka (Purcell dan
Hutchinson, 2007). Mengurangi tingkat turnover karyawan yang memenuhi dan
melampaui tujuan dapat membuat dampak yang luar biasa pada keseluruhan
seperti yang di lakukan Gyensare et al. (2016) bahwa peran transformational
leadership bersifat negatif terdap Turnover Intention pada karyawan di Ghana.
Misalnya, Park dan Pierce (2020) meneliti efek langsung dan tidak langsung dari
transformational leadership pada Turnover Intention pekerja kesejahteraan anak
yang hasilnya negatif. Para peneliti melaporkan bahwa transformational
leadership berkontribusi dalam mengatur pergantian karyawan dengan
meningkatkan kinerja keuangan perusahaan. Chang et al.. (2013) dalam studi
multilevel di Taiwan menetapkan bahwa faktor tingkat individu dan toko secara
signifikan terkait dengan turnover intention. Pada tingkat individu, karakteristik
pekerjaan memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan omset sementara
hasil di tingkat toko menemukan hubungan negatif yang signifikan antara
transformational leadership dan keinginan berpindah. Demikian pula, Kara et al..
22

(2013) mempelajari pengaruh gaya transformational leadership dan transaksional


pada kesejahteraan karyawan di industri perhotelan. Menggunakan data dari
sampel 443 hotel bintang lima Turki, Kara et al.. (2013) menemukan
transformational leadership lebih efektif dalam meningkatkan kesejahteraan
karyawan dan meminimalkan Turnover Intention. Oleh karena itu,
transformational leadership telah ditunjukkan sebagai variabel kunci dalam
mengurangi turnover intention dan meningkatkan kesejahteraan karyawan secara
keseluruhan. Namun pengaturan empiris dari berbagai studi ini memunculkan
kebutuhan untuk penelitian serupa di perusahaananak cabang dari Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) seperti BUMDES LARASATI untuk menetapkan apakah
transformational leadership akan mengarah pada pengurangan Turnover Intention.
Pada catatan ini, kami mengusulkan untuk mempelajari gaya transformational
leadership dan niat pergantian karyawan:
H1: Transformational leadership berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Turnover
Intention

2.3.2. Peran mediasi affective commitment pada hubungan transformational


leadership dan turnover intention
Selanjutnya, penelitian lain telah menemukan hubungan positif
antaratransformational leadership dan affective commitment (Kark et al. ., 2003;
Yucel et al. .,2013) dan hubungan negatif antara affective commitment dan
Turnover Intention(Guntur et al.. , 2012; Lew dan Sarawak, 2011; Meyer et al. .,
2002). Sejalan dengan Gyensare et al. (2016) model esensi inti dari affective
commitmentsebagai mediator dari transformational leadership dengan turnover
intention, peneliti mengusulkan juga bahwa affective commitment akan
memediasi hubungan antara transformational leadership dan turnover intention:
H2. Affective commitment memediasi sepenuhnya hubungan antara transformasional niat
kepemimpinan dan turnover karyawan

2.4. Kerangka Konseptual


H1
H2
Transformational Affective Turnover
Leadership Organizational Intention
Commitment

Gambar 2.1 Kerangka konseptual


23

Peningkatan Turnover Intention ditunjang dengan seberapa besar tingkat


Transformational leadership, dan tingkat Affective Commitmen karyawan. Tidak
hanya itu saja, dalam penelitian ini juga mencoba untuk menguji Affective
commitment sebagai mediasi dari kedua konstruk yaitu Transformational
leadership dan Turnover intention yang telah ditinjau dari beberapa literatur
terdahulu sebelumnya.
24

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif. Pendekatan ini digunakan yaitu untuk menjawab rumusan masalah dan hipotesis
yang telah didefinisikan sebelumnya. Metode penelitian kuantitatif menurut Arifin (2012:29)
merupakan penelitian yang menitik beratkan pada pengujian hipotesis dengan menggunakan
data terukur dan pada akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan. Metode penelitian kuantitatif
ini merupakan penelitian yang menitik beratkan pada pengujian hipotesis yang dinyatakan di
awal, dan analisis berlangsung dengan menggunakan statistik, tabel, atau diagram yang
menggambarkan hipotesis.
Penelitian kuantitatif bertumpu sangat kuat pada pengumpulan data berupa angka hasil
dari pengukuran. Karena itu data yang terkumpul harus diolah secara statistik agar dapat
ditaksir dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan mengetahui apakah
pengaruh antara variabel Transformational Leadership, Affective Commitment, dan Turnover
Intention.
3.2 Identifikasi Variabel
Pada penelitian ini, variabel-variabel yang akan dianalisis dan diidentifikasi adalah
sebagai berikut:
1. Independent variable (variabel bebas) (X) adalah variabel yang mempengaruhi
variable dependent (variabel terikat). Dalam hal ini variabel bebasnya adalah
Transformational Leadership.
2. Dependent variable (variabel terikat) (Y) merupakan variabel yang nilainya
tergantung dari variabel lain. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah
Turnover Intention.
3. Mediation Variable (variabel mediasi) (Z) adalah variabel yang memediasi antara
variabel bebas dan variabel terikat. Dalam penelitian ini variabel mediasinya adalah
Affective Commitment.
3.3. Definisi Operasional Variabel
Secara operasional, variabel perlu didefinisikan dengan tujuan untuk menjelaskan makna
variabel penelitian. Menurut Singarimbun et al.. (1987) memberikan pengertian tentang
definisi operasional adalah untuk penelitian yang memberikan petunjuk bagaimana variabel
itu diukur atau diteliti. Berdasarkan identifikasi klasifikasi variabel, maka definisi operasional
dari masing-masing variabel yang diteliti adalah sebagai berikut:
3.3.1. Transformational Leadership (X)
Transformasional leadership merupakan penilaian karyawan PT ISH terhadap
pimpinannya yang memiliki karakteristik mampu memotivasi karyawan untuk melakukan
suatu hal lebih dari target, mendatangkan perubahan pada individu dan organisasi,
mengaktifkan kebutuhan karyawan serta membuat karyawan merasa percaya dan kagum pada
pemimpin. Transformational leadership pada pemimpin akan dinilai oleh karyawan
25

BUMDES LARASATI. Transformational leadership dalam penelitian ini diukur


menggunakan skala transformational leadership yang dibuat oleh Bass dan Avolio (1994).
Bass dan Avolio (1994) mengemukakan bahwa Transformational leadership mempunyai
empat dimensi, yaitu:
1. Attributed charisma
Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para
pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya. Pengukuran pada
dimensi ini menggunakan beberapa indikator yaitu, 1) Karyawan memiliki kepercayaan
kepada pimpinan BUMDes. 2) Visi pimpinan BUMDes mendorong karyawan untuk
bekerja lebih baik. 3) Pimpinan BUMDes mempunyai misi yang jelas yang di berikan
kepada karyawan.
2. Inspirational motivation
Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang
mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan,
mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu
menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme.
Pengukuran pada dimensi ini menggunakan beberapa indikator yaitu, 1) Pimpinan
BUMDes membuat karyawan bangga ketika dapat berteman dengannya. 2) Pimpinan
BUMDes menetapkan standar yang tinggi untuk pekerjaan karyawan. 3) Pimpinan
BUMDes mengembangkan berbagai cara untuk mendorong karyawan agar bekerja lebih
baik.
3. Intellectual stimulation
Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi
yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan
memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru
dalam melaksanakantugas-tugas organisasi. Pengukuran pada dimensi ini menggunakan
beberapa indikator yaitu, 1) Pimpinan BUMDes memungkinkan karyawan untuk berfikir
tentang berbagai problem lama dengan cara pandang baru. 2) Pimpinan BUMDes
menekankan pada karyawan menggunakan kecerdasan untuk mengatasi berbagai
hambatan. 3) Pimpinan BUMDes mengharuskan karyawan memberikan pendapat dengan
argumen yang baik.
4. Individualized consideration (konsiderasi individu)
Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin
yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara
khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir.
Pengukuran pada dimensi ini menggunakan beberapa indikator yaitu, 1) Pimpinan
BUMDes mencari tahu apa yang karyawan inginkan dan membantu untuk
mendapatkannya. 2) Pimpinan BUMDes memberikan perhatian secara pribadi kepada
karyawan. 3) Pimpinan BUMDes memberikan penghargaan ketika karyawan melakukan
pekerjaan dengan baik.
26

Bass dan Avolio (1994) memberikan skala transformational leadership terdiri dari 4
dimensi transformational leadership, yaitu pengaruh ideal, motivasi yang menginspirasi,
rangsangan intelektual, dan pertimbangan yang diadaptasi. Semakin tinggi skor total pada
skala transformational leadership, maka semakin tinggi pula penilaian karyawan BUMDES
LARASATI terhadap pemimpin dalam hal transformational leadershipnya.
3.3.2. Affective Commitment(Z)
Affective commitment berkaitan dengan emosional, identifikasi, dan keterlibatan
karyawan di dalam suatu organisasional. Karyawan dengan afektif tinggi masih bergabung
dengan perusahaan karena keinginan untuk tetap menjadi karyawan pada perusahaan
tersebut.
Indikator affective commitment yang dikemukakan oleh Allen dan Meyer (1991)
menggunakan enam item yaitu:
1. Memiliki makna yang mendalam secara pribadi
2. Rasa dedikasi yang kuat dengan organisasi
3. Bangga memberitahukan hal tentang organisasi dengan orang lain
4. Terikat secara emosional dengan organisasi
5. Senang apabila dapat bekerja di organisasi sampai pensiun
6. Senang berdiskusi mengenai organisasi dengan orang lain di luar organisasi

3.3.3. Turnover Intention (Y)


Turnover intention adalah kadar atau intensitas dari keinginan untuk keluar dari
perusahaan, banyak alasan yang menyebabkan timbulnya turnover intentions ini dan
diantaranya adalah keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Kecederungan
atau niat seseorang karyawan untuk berhenti bekerja dan keluar dari perusahaan untuk
bekerja dan berpindah ke perusahaan lain, sesuai dengan seberapa sering karyawan berfikir
untuk meninggalkan organisasi. (Chen dan Francesco, 2000)
Berdasarkan pandangan-pandangan yang telah dikemukakan, dapat dipahami bahwa
turnover intention adalah kadar atau intensitas dari keinginan untuk keluar dari perusahaan
yang merupakan salah satu bentuk perilaku menarik diri (withdrawal) dalam dunia kerja
sekaligus pada dasarnya adalah hak dari setiap karyawan. Keberadaan turnover intention
dapat diukur dengan indikator sebagai berikut (Mobley, 1977):
1. Karyawan berpikir untuk meninggalkan perusahaan.
2. Karyawan akan berusaha untuk mencari pekerjaan pada perusahaan lain.
3. Karyawan berusaha untuk meninggalkan perusahaan.
4. Karyawan berusaha untuk meninggalkan perusahaan dalam waktu dekat.
5. Karyawan berusaha untuk meninggalkan perusahaan bila ada kesempatan
yang lebih baik

a. Jenis dan Sumber Data


Penelitian ini menggunakan jenis dan sumber data dari primer dan data sekunder.
3.4.1 Data Primer
27

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber asli oleh peneliti
yang memiliki kaitan dengan variabel untuk tujuan spesifik (Sekaran,2006). Data primer pada
penelitian ini adalah data dari hasil pengisian kuesioner oleh karyawandi BUMDES
LARASATI yang terdiri dari pertanyaan mengenai indikator-indikator yang digunakan untuk
mengukur variabel dalam penelitian. Kuesioner yang memuat variabel Transformational
Leadership, Affective Commitment dan Turnover Intention dinilai oleh karyawan.
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari informasi yang dikumpulkan dari sumber
yang telah ada. Penelitian ini menggunakan sumber dari jurnal nasional maupun
internasional, buku-buku literatur, artikel terkait untuk mendukung penelitian ini.
b. Prosedur Pengambilan Data
Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini yaitu:
1. Survey Pendahuluan
Dilakukan secara langsung dengan menghubungi BUMDES LARASATI yang
berguna untuk mendapatkan gambaran keadaan perusahaan secara umum serta
informasi yang dibutuhkan seperti jumlah karyawan dan menanyakan informasi
mengenai Transformational Leadership, Affective Commitment dan Turnover
Intention.
2. Studi Kepustakaan
Dilakukan dengan cara mengumpulkan data berupa literatur sehingga diperoleh teori-
teori yang akan digunakan untuk membahas permasalahan yang terjadi. Studi
kepustakaan dapat diperoleh dari:
a. Buku terkait dengan topik penelitian
b. Jurnal dengan mencari pada Sciencedirect, Emerald, Google Scholar, dsb.
3. Studi Lapangan
Pada penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran kuesioner
melalui online, dalam hal ini menggunakan google form yang telah dipersiapkan dan
dibuat sebelumnya. Alasan menggunakan google form ini karena lebih efisien dan
responden bias mengisi dimanapun walaupun tidak di tempat kerja, alasan yang lain
juga penyebaran kuesioner secara online ini cenderung lebih murah.
c. Teknik Penentuan Populasi dan Sampel
Teknik penentuan populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
3.6.1. Populasi Penelitian
Populasi adalah wilayah yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Sugiyono, 2014: 61). Menurut Sekaran (2013:265) menyatakan bahwa
populasi merupakan sebagian atau keseluruhan kumpulan manusia, kejadian, atau sesuatu
yang menjadi ketertarikan untuk selanjutnya diinvetigasi atau diteliti. Kejelasan populasi
dalam penelitian merupakan hal yang penting dalam melakukan penelitian. Pada penelitian
28

ini, populasi yang digunakan adalah karyawan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Larasati
sebanyak 38 karyawan.

3.6.2 Sampel Penelitian


Sampel merupakan bagian dari populasi (Sekaran, 2013:241). Dengan mempelajari
sampel diperoleh kesimpulan yang dapat digunakan untuk mengeneralisasikan populasinya.
Teknik dalam menentukan sampel tersebut disebut sampling.

d. Teknik Analisis Data


Partial least square merupakan metode analisis yang powerful karena dapat diterapkan
pada semua skala data, tidak membutuhkan banyak asumsi dan ukuran sampel tidak harus
besar. PLS selain dapat digunakan sebagai konfirmasi teori juga dapat digunakan untuk
membangun hubungan yang belum ada landasan teorinya atau untuk pengujian proposisi
(Ghozali, 2008:18).
Terdapat dua macam indikator dalam pendekatan PLS, yaitu reflective indicator dan
formative indicator. Reflective indicator adalah indikator yang dianggap dipengaruhi oleh
konstruk laten, atau indikator yang dianggap merefleksikan/mempresentasikan konstruk
laten. Reflective indicator mengamati akibat yang ditimbulkan oleh variabel laten.
Sedangkan, formative indicator mengamati faktor penyebab variabel laten.
Ghazali (2008:18-19) menjelaskan bahwa jumlah perkiraan kasar sampel kecil yaitu:
1. Lima sampai sepuluh kali skala dengan jumlah terbesar dari indikator (kausal)
formatif (catatan skala untuk konstruk yang didesain dengan reflectif indicator dapat
diabaikan), atau

2. Lima sampai sepuluh kali dari jumlah terbesar structural pasti yang diarahkan pada
konstruk tertentu dalam model structural.
Meninjau penjelasan poin kedua, maka dapat ditemukan bahwa jumlah minimal sampel
untuk penelitian ini adalah sebesar 63 sampel. Angka tersebut didapatkan dengan
mengkalikan jumlah structural path sebanyak delapan dengan syarat yang ditentukan yaitu
sepuluh.
Langkah-langkah PLS menurut Ghazali (2008:22) sebagai berikut:
1. Merancang model structural atau inner model. Inner model adalah model yang
menspesifikasikan hubungan antar variable laten atau bias juga dikaitkan inner
model menggambarkan hubungan antar variable laten berdasarkan substantive
theory.
2. Merancang model pengukuran atau outer model. Outer model adalah model
yang menspesifikasi hubungan antara variable laten denga indikator-
indikatornya atau dapat dikatakan bahwa outer model mendefinisikan
bagaimana setiap indicator berhubungan dengan variable latennya.
3. Mengkontruksi diagram jalur.
29

4. Melakukan estimasi atau pendugaan parameter. Pendugaan parameter dilakukan


untuk menghitung data variable laten.
5. Goodness of Fit. Dalam hal ini dibagi menjadi dua yaitu outer model dan inner
model:
a. Outer model terbagi menjadi dua yaitu reflektif dan formatif. Dalam
penelitian ini indicator menggunakan indicator reflektif. Outer model
reflektif dievaluasi dengan beberapa factor yaitu:
1) Composite reliability. Composite reliability merupakan estimasi terkait
sejauh mana suatu item pengukuran dapat dipercaya yang didasarkan
pada hubungan korelasi dari variabel yang akan di observasi (Hair et
al.., 2014). Nilai dari composite reliability bervariasi antara 0 sampai 1,
dengan keterangan bahwa semakin tinggi nilai maka semakin tinggi pula
reliabilitasnya (Hair et al.., 2014). Hair et al.., (2014) juga
menambahkan bahwa dalam exploratory research nilai 0,60 sampai 0,70
masih dapat diterima. Sedangkan nilai dibawah 0,60 mengindikasikan
lemahnya konsistensi reliabilitas internal.
2) Convergent Validity. Convergent validity merupakan estimasi dari sejauh
mana item pengukuran memiliki korelasi dengan sebuah konstruk (Hair
et al.., 2014). Convergent validity dilihat melalui nilai outer loadings.
Semakin tinggi nilai outer loadings mendikasikan bahwa indikator yang
digunakan memiliki kesamaan dan saling berhubungan. Hair et al..,
(2014) menjelaskan bahwa indikator yang diterima merupakan indicator
dengan nilai 0.70 atau lebih. Indikator dengan nilai 0.70 atau lebih.
Indikator dengan nilai dibawah 0.40 harus dihapus dan tidak digunakan,
sedangkan indicator dengan nilai diantara 0.40 dan 0.70 harus dilakukan
analisis terkait dampaknya composite reliability dan AVE. Apabila
dihapusnya indicator tersebut mampu meningkatkan nilai composite
reliability dan AVE maka indicator tersebut sebaiknya di hapus. Namun,
jika penghapusan indicator tidak memberikan dampak terhadap
composite reliability dan AVE maka indikator terhadap composite
reliability dan AVE maka indicator boleh dipertahankan.
3) Discriminant Validity. Discriminant validity merupakan estimasi terkait
sejauh mana sebuah konstruk dinyatakan benar-benar berbeda dari
konstruk lainnya (Hair et al.., 2014). Terdapat dua cara untuk mengukur
nilai discriminant validity. Pertama dengan melihat nilai cross loading
dari masing-masing indikator. Discriminant validity terpenuhi apabila
nilai cross loading yang berhubungan dengan sebuah konstruk lainnya.
Kedua dengan membandingkan nilai akar kuadrat AVE. Nilai akar
kuadrat AVE yang dihubungkan pada sebuah konstruk harus lebih tinggi
dibandingkan nilai kuadrat AVE pada konstruklainnya.
30

4) Construct Validity. Pengukuran construct validity dapat diketahui


melalui hasil nilai AVE, construct validity dan dikatakan suatu konstruk
baik apabila nilai AVE lebih besar dari 0,5.
b. Inner model diukur dengan menggunakan beberapa kriteria yaitu:
1) R2 untuk variable laten endogen. Hasil R2 sebesar0.67 , 0.33 , dan 0.19
mengindikasikan bahwa model “baik”, “moderat”, dan “lemah”.
2) Estimasi koefisien jalur. Hal ini merupakan nilai estimasi untuk
hubungan jalur dalam model structural yang diperoleh dengan prosedur
boot stapping dengan nilai yang harus signifikan.
3) Predictive relevance (Q2). Apabila Digunakan untuk mengukur
seberapa baik nilai observasi yang dihasilkan oleh model dan para
meternya, diperoleh nilai Q2 lebih dari nol hal tersebut memberikan
bukti bahwa model memiliki predictive relevance.
31

DAFTAR PUSTAKA
Abelson. M.A. (1987). Examination of Avoidable and Unavoidable Turnover. Journal of
Applied Psychology. Vol. 72. No. 3. pp. 382-386.
Almintisir,Abu Baker; Akeel,Abu Baker da Subramaniam,Indra Devi. 2013. The Role of
Transformasional Leadership Style in Motivating Public Sector Employees in Libya.
Australian Journal of Basic and Applied Sciences. 7: 99-108.
Alzubi, Y.Z.W. (2018). Turnover Intention in Jordanian Universities : The Role of Leadership
Behaviour, Organizational Commitment, and Organizational Culture. International
Journal of Advanced and Applied Sciences. Vol. 5. No. 1. pp. 177-192.
Andini, R. 2006. Analisis Pengaruh Kepuasan Gaji, Kepuasan Kerja, Komitmen
Organisasional Terhadap Turnover Intention (Studi Kasus pada Rumah Sakit Roemani
Muhammadiyah Semarang). Journal Management Diponegoro. Semarang : Magister
Manajemen Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Arifin, Zainal. (2012). Penelitian Pendidikan Metode Dan Paradigma Baru. Bandung:
Remaja Rosdakarya
Balsam, S., dan Miharjo, S. (2007). The Effect of Equity Compensation on Voluntary
Executive Turnover. Journal of Accounting and Economics. Vol. 43. No. 1. pp. 95-119
Bass, B.M. and Riggio, R.E. (2006), Transformational Leadership, 2nd ed., Lawrence
Erlbaum, Mahwah, NJ.
Beck Tauber, Daniela. 2012. Transformational Leadership: Exploring its Functionality
(Dissertation). Universitatas-Buchbinderei Georg Konrad. Munich.152 pp.
Beheshtifar, M., & Herat, B. H. (2013). To promote employees commitment via perceived
organizational support. International Journal of Academic Research in Business and
Social Sciences, 3(1), 306–314.
Budiarto Y, Selly. 2004. Komitmen karyawan pada perusahaan ditinjau dari transformational
leadership dan transaksional. Jurnal Psikologi, Vol. 2, No. 2. Hal. 121-141.
Chang, W.-J., Wang, Y.-S. and Huang, T.-C. (2013), “Work design-related antecedents of
turnover intention: a multilevel approach”, Human Resource Management, Vol. 52 No.
1, pp. 1-26.
Chen, L.Y., & Francesco, A. M. (2000). Employee Demography, Organizational
Commitment, and Turnover Intention in China: Do Cultural Differences Matter?.
Human Relation, 53(6), 869-887.
Chiu et al., 2005. Understanding Hospital Employee Job Stress and Turnover Intentions in
Practical Setting: The Moderating Ole of Locus of Control. The Journal of Psychology.
140 (6): 517-530
32

Eisenberger, R., Fasolo, P., & Davis-LaMastro, V. (1990). Perceived organizational support
and employee diligence, commitment, and innovation. Journal of Applied Psychology,
75(1), 51. https://doi.org/10.1037//0021-9010.75.1.51
Fazio, John. Baiyun Gong. Randi Sims, Yuliya Yurova, (2017) "The role of affective
commitment in the relationship between social support and turnover intention",
Management Decision, Vol. 55 Issue: 3, pp.512-525
García-Morales, V.J., Jiménez-Barrionuevo, M.M. and Gutiérrez-Gutiérrez, L. (2012),
“Transformational leadership influence on organizational performance through
organizational learning and innovation”, Journal of Business Research, Vol. 65 No. 7,
pp. 1040-1050.
Ghozali, I. (2008). Structural Equation Modelling, Edisi II. Semarang: Universitas
Diponegoro.
Grant, K., David, W.C., George, S.L., dan William, C.M. (2001). The Role of Satisfaction
with Territory Design on the Motivation, Attitudes, and Work Outcomes of Salespeople.
Journal of the Academy of Marketing Science. Vol. 29, No. 2, pp. 165-178.
Greenberg,J., & Baron, R.A. (1993). Behaviour in Organizations: Understanding and
Managing The Human Side of Work (5th Ed.), Upper Saddle River, N.J: Prentice Hall.
Griffeth dan Hom. 2000. A meta-analysis of Antecedents and Correlates of Employee. Journal
of Management.
Gul S, Ahmad B, Rehmahn S.U, Shabir N, Razzaq, N. 2012. Leadership styles, turnover
intention and the mediating role of organizational commitment. Information and
Knowlage Managemen.ISSN 2224-5758 (Paper) ISSN 2224-896X (Online), Vol. 2, No.
7, Hal. 44-51.
Gyensare, Michael Asiedu. Olivia Anku-Tsede, Mohammed-Aminu Sanda, Christopher Adjei
Okpoti, (2016) "Transformational leadership and employee turnover intention: The
mediating role of affectivecommitment", World Journal of Entrepreneurship,
Management and Sustainable Development, Vol.12 Issue: 3, pp.243-266.
Hasibuan, Malayu SP. 2003. Organisasi dan Motivasi, Dasar Peningkatan Produktivitas.
Jakarta : Bumi Aksara.
Hom, P.W., & Griffeth, R.W. 1995. Employee Turnver. Cincinnati, OH: South-Western
College Pub.
Howell, J.M. and Avolio, B.J. (1993), “Transformational leadership, transactional leadership,
locus of control, & support for innovation: key predictors of consolidated-business-unit
performance”, Journal of Applied Psychology, Vol. 78 No. 6, pp. 891-902.
33

Jena, L. K., Bhattacharyya, P., & Pradhan, S. (2017). Employee engagement and affective
organizational commitment: Mediating role of employee voice among Indian service
sector employees. Vision:The Journal of Business Perspective, 21(4), 356–366.
https://doi.org/10.1177/0972262917733170
Johnson, J.T., Griffeth, R.W., dan Griffin, M. (2000). Factors Discriminating Functional and
Dysfunctional Salesforce Turnover. Journal of Business and Industrial Marketing. Vol.
15. No. 6. pp. 399-415.
Kara, D., Uysal, M., Sirgy, M.J. and Lee, G. (2013), “The effects of leadership style on
employee wellbeing in hospitality”, International Journal of Hospitality Management,
Vol. 34, September, pp. 9-18.
Kark, R., Shamir, B. and Chen, G. (2003), “The two faces of transformational leadership:
empowerment and dependency”, Journal of Applied Psychology, Vol. 88 No. 2, pp.
246-255.
Kim, H. (2014). Transformasional leadership, organizational clan culture, organizational
affective commitment, and organizational citizenship behavior: a case of south
korea’s public sector. Public Organization Review, 14(3), 397-417.
Kim, H. (2012). Transformational leadership and organisational citizenship behavior in
the public sector in South Korea: the mediating role of affective commitment.
Local Government Studies, 38(6), 867–892.
Kuntjoro, 2002. Komitmen Organisasi. Artikel e-psikologi.com, 26-07-2007
Lee, M. (2014), “Transformational leadership: is it time for a recall?”, International Journal
of Management and Applied Research, Vol. 1 No. 1, pp. 17-29.
Lee, Ye Hoon B. W. (2017). Transformational leadership and organizational citizenship
behaviour: Mediating role of affective commitmen. SAGE, 1-10.
Lew, T.-Y. and Sarawak, M. (2011), “Affective organizational commitment and turnover
intention of academics in Malaysia”, International Conference on Business and
Economics Research, Vol. 1, pp. 110-114.
Long C. S, Thean L. Y, Ismail W. K. W, Juson A. 2012. Leadership styles and employees
turnover intention: Exploratory study of academic staff in a Malaysian College. World
Applied Sciences Journal, 10 (4), ISSN 1818-4952, Hal. 575-581.
Luthans, F. 2006. Perilaku Organisasi. Edisi Sepuluh. Penerbit ANDI.Yogyakarta.
Mathieu, J.E. and Zajac, D.M. (1990), “A review and meta-analysis of the antecedents,
correlates, and consequences of organizational commitment”, Psychological Bulletin,
Vol. 108 No. 2, pp. 171-194.
34

McShane dan Glinow, V., 2008. Organizational behavior; emerging realities for the work
place revolution. New York: McGraw Hill Companies.
Mercurio, Z. A. (2015). Affective commitment as a core essence of organizational
commitment: An integrative literature review. Human Resource Development Review,
14(4), 389–414. https://doi.org/10.1177/1534484315603612
Meyer, J. P., & Allen, N. J. (1987). Organizational commitment: Toward a three-component
model. London: Department of Psychology, University of Western Ontario.
Meyer, J. P., & Allen, N. J. (1990). The measurement and antecedents of affective,
continuance and normative commitment to the organization. Journal of Occupational
Psychology, 63(1), 1–18. https://doi.org/10.1111/j.2044-8325.1990.tb00506.x
Meyer, J. P., & Allen, N. J. (1991). A three-component conceptualization of organizational
commitment. Human Resource Management Review, 1(1), 61–89.
https://doi.org/10.1016/1053-4822(91)90011-Z
Meyer, J. P., & Allen, N. J. (1997). Commitment in the workplace: Theory, research, and
application. Thousand Oaks, CA: SAGE Publications, Inc.
https://doi.org/10.4135/9781452231556
Meyer, J. P., Stanley, D. J., Herscovitch, L., & Topolnytsky, L. (2002). Affective,
continuance, and normative commitment to the organization: A meta-analysis of
antecedents, correlates, and consequences. Journal of Vocational Behavior, 61(1), 20–
52. https://doi.org/10.1006/jvbe.2001.1842
Mobley, W.H. (1977). Intermediate Linkage in the Relationship Between Job Satisfaction and
Employee Turnover. Journal of Applied Psychology. Vol. 62. No. 2. pp. 237-240.
Mowday, R.T., Porter, L.W. and Steers, R.M. (1982), Employee-Organizational Linkages,
Academic Press, New York, NY.
Mullins, L.J. (2007), Management and Organisational Behaviour , 8th ed., Financial Times
Prentice Hall, Harlow.
Nelson,A,C. 2006. Leadership in New Era:Planning Leadership in a New Era. Journal of the
American Planning Association. 72:393-409.
Nemanich, L.A. and Keller, R.T. (2007), “Transformational leadership in an acquisition: a
field study of employees”, The Leadership Quarterly, Vol. 18, pp. 49-68.
Northouse P.G. 2013. Kepemimpinan Teori dan Praktik. Edisi Keenam. Jakarta: PT. Indeks.
Novliadi, Ferry. (2007). Intensi Karyawan Ditinjau Dari Budaya Perusahaan dan Kepuasan
Kerja. Universitas Sumatera Utara.
35

Paracha,Umer; Qamar,Adnan; Mirza,Anam;Ul Hassan,Inam dan Waqas,hamid. 2012. Impact


of Leadership Style (Transformational and Transactional Leadership) On Employee
Performance & mediating Role of Job Satisfaction “Study of Private School (Educator)
In Pakistan. Global Journal of Management and Business Research. 12:54-64
Park, Taekyung, Barbara Pierce. 2020. Impacts of Transformational Leadership on Tutnover
Intention of Child Welfare Workers. Elsevier Children and Youth Services Review, 108,
Hal. 01-10. https://doi.org/10.1016/j.childyouth.2019.104624
Pourghaz, A., Tamini, B. K., & Karamad, A. (2011). Do demographic characteristics make a
difference to job satisfaction, organizational commitment and burnout among travel
agency drivers? A case study in Iran. Journal of Basic and Applied Scientific Research,
1(8), 916–923.
Prihartono R.W. 2013. Komitmen Organisasi Dan Turnover Intention Pada Karyawan PT.
Rentokil Initial . Jurnal Ilmu Manajemen Vol. 1, No. 3 Mei, Hal. 931-944
Purcell, J. and Hutchinson, S. (2007), “Front-line managers as agents in the HRM-
performancecausal chain: theory, analysis and evidence”, Human Resource
Management Journal,Vol. 17 No. 1, pp. 3-20.
Rhoades, L., Eisenberger, R., & Armeli, S. (2001). Affective commitment to the organization:
The contribution of perceived organizational support. Journal of Applied Psychology,
86(5), 825. https://doi.org/10.1037/0021-9010.86.5.825
Robbins, Stephen P. 2001. Perilaku Organisasi (Organizational Behavior) jilid 2. Jakarta :
Salemba empat.
Schmidt, K.-H. (2007). Organizational commitment: A further moderator in the relationship
between work stress and strain? International Journal of Stress Management, 14(1), 26.
https://doi.org/10.1037/1072-5245.14.1.26
Sekaran, U., dan Bougie, R. (2013). Research Methods for Business. United Kingdom: Jhon
Wiley & Sons Ltd.
Shaw, Jason D, Delery, John E, Jenkins, G. Douglas Jr, and Gupta, Nina. (1998). An
Organization-Level Analysis of Voluntary and Involuntary Turnover. Academy of
Management Journal. Vol. 41, No.5, October, pp.511-525.
Spector, P.E. (2003). Industrial and Organizational Psychology, Research and Practice. Third
Edition. United States : John Wiley & Sons, Inc
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Dan R
& D. Bandung: Alfabeta.
36

Tnay E, Othman A. E. A, Siong H. C, Lim S. L. O. 2013. The Influence of Job Satisfaction


and Organizational Commitment on Turnover Commitment. Elsevier Procedia-Social
and Behavioral Sciences, 97, Hal. 201-208.
Yucel, I., McMillan, A. and Richard, R.C. (2013), “Does CEO transformational leadership
influence top executive normative commitment?”, Journal of Business Research, Vol.
67 No. 6, pp. 1170-1177.
Yukl, Gary. 2006. Leadership in organizational. Fifth Edition. New Jersey: Prentice Hall.
Upper Saddle River, 07458.
Yulianti, Praptini. 2015. Komitmen Organisasional Prespektif: Konsep dan Empiris . Jurnal
Studi Manajemen dan Bisnis Vol. 2, No. 1, Hal. 52-62
Zeffane, Rachid. (1994). Understanding Employee Turnover : The Need for a Contingency
Approach. International Journal of Manpower. Vol. 15, No. 9, pp. 1-14.
37

LAMPIRAN 1

KUESIONER PENELITIAN
Petunjuk:
Berilah tanda silang (X) pada kolom yang jawabannya sesuai dengan pendapat bapak/ibu
/saudara/i. Pilihan jawaban yang tersedia adalah sebagai berikut:
a. STS = Sangat tidak setuju (1)
b. TS = Tidak setuju (2)
c. CS = Cukup Setuju (3)
d. S = Setuju (4)
e. SS = Sangat setuju (5)
Transformational leadership (X1)
NO Pernyataan ST TS CS S SS
S
1. Pimpinan BUMDes membuat saya bangga ketika
dapat berteman dengannya
2. Saya memiliki kepercayaan kepada pimpinan
BUMDes saya
3. Pimpinan BUMDes mempunyai misi yang jelas
yang dia berikan kepada saya
4. Pimpinan BUMDes menetapkan standar yang
tinggi untuk pekerjaan saya
5. Visi pimpinan BUMDes mendorong saya untuk
bekerja lebih baik
6. Pimpinan BUMDes mengembangkan berbagai
cara untuk mendorong saya agar bekerja lebih
baik
7. Pimpinan BUMDes memungkinkan saya untuk
berfikir tentang berbagai problem lama dengan
cara pandang baru
8. Pimpinan BUMDes menekankan saya
menggunakan kecerdasan untuk mengatasi
berbagai hambatan
9. Pimpinan BUMDes mengharuskan saya
memberikan pendapat dengan argumen yang baik
10. Pimpinan BUMDes mencari tahu apa yang saya
inginkan dan membantu saya untuk
mendapatkannya
11. Pimpinan BUMDes memberikan perhatian secara
pribadi kepada saya
12. Pimpinan BUMDes memberikan penghargaan
ketika saya melakukan pekerjaan dengan baik
38

Affective Commitmen (Z)


NO Pernyataan ST TS CS S SS
S
1. Saya akan sangat senang untuk menghabiskan
sisa karir saya di BUMDes ini.
2. Saya benar-benar merasa bahwa masalah
BUMDes adalah juga masalah saya.
3. Saya mempunyai rasa dedikasi yang tinggi
terhadap BUMDes
4. Saya merasa terikat secara emosional dengan
BUMDes ini.
5. Saya merasa menjadi bagian dari keluarga di
BUMDes ini.
6. BUMDes ini memiliki banyak makna personal
bagi saya

Turnover Intention (Y)


NO Pernyataan ST TS CS S SS
S
1. Saya pernah/sering berfikir untuk berhenti dari
pekerjaan BUMDes dan mencari pekerjaan lain.
2. Saya pernah/sering berfikir untuk berhenti dari
pekerjaan BUMDes dan menerima tawaran
pekerjaan lain dengan gaji yang lebih tinggi.
3. Saya akan berusaha untuk mencari pekerjaan lain
secepatnya.
4. Saya akan secepatnya memutuskan untuk segera
meninggalkan BUMDes ini.
5. Saya akan segera meninggalkan BUMDes ini
karena bekerja di sini hanya membuat saya
semakin terbebani

Anda mungkin juga menyukai