Disusun oleh:
Pembimbing:
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Mini Project dengan judul “Gambaran
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Jiwa Remaja terhadap Prestasi Belajar pada
Siswa MTs Umdatur Rasikien Kelas 7 dan Kelas 9 di Wilayah Kerja Puskesmas Cakung
Barat, Jakarta Timur”. Penulisan laporan mini project ini dimaksudkan untuk memenuhi
persyaratan dalam rangka Program Internsip Dokter Indonesia tahun 2022-2023.
Selama proses penulisan mini project ini, Penulis mendapat banyak bantuan baik
moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, Penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada dr. Istika Rahma, selaku dokter pembimbing dan Kasatpel PKL Cakung
Barat; dr. Rina Sutoyo, selaku dokter penanggung jawab bidang Kejiwaan; Kepala MTs
Umdatur Rasikien yang telah mengizinkan pelaksanaan kegiatan mini project; teman-teman
Internsip Puskesmas Kelurahan Cakung Barat; serta seluruh pihak yang telah memberikan
bimbingan dan nasihat selama ini.
Kami menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan
saran Penulis harapkan agar laporan ini berguna bagi pihak yang membutuhkan.
Penulis
KATA PENGANTAR ii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB IV HASIL 29
6.1. Simpulan 38
6.2. Saran 38
DAFTAR PUSTAKA 40
LAMPIRAN 43
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah kesehatan jiwa pada remaja menjadi perhatian global. World Health Organization
(WHO) memperkirakan 150 juta orang di seluruh dunia menderita depresi, 25 juta orang
mengalami skizofrenia, dan sekitar 20% terjadi pada remaja. Secara global, bunuh diri
menempati urutan ketiga di antara penyebab kematian selama masa remaja, dan depresi
adalah penyebab utama penyakit dan kecacatan. Sekitar 10–20% anak-anak dan remaja di
seluruh dunia mengalami masalah kesehatan mental, namun hanya sekitar 10% yang
mendapatkan perhatian medis. Kurangnya layanan kesehatan untuk anak dan remaja terutama
terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMIC) karena kurangnya kebijakan
pemerintah, kurangnya dana dan kematian tenaga medis terlatih.1
Masalah kesehatan mental pada usia dini dapat mengganggu kinerja pendidikan dan karir di
masa dewasa. Jika masalah tidak ditangani dengan benar, maka akan membuat masalah
semakin menonjol. Mengenali dini masalah kesehatan jiwa dapat mencegah terjadinya
masalah kesehatan pada remaja.1
Karena penyakit mental dikonseptualisasikan sebagai gangguan kronis pada anak muda dan
karena jumlah anak muda yang tinggal di LMIC tidak proporsional, untuk mengatasi masalah
kesehatan mental pada tahap perkembangan awal di negara-negara tersebut merupakan
prioritas agenda kesehatan global. Selain argumen tentang bagaimana biaya sosial dapat
dikurangi dengan intervensi dini, ada juga tanggung jawab etis kepada kaum muda yang
paling rentan, yang potensi perkembangan penuhnya dapat digagalkan.2
Bukti penting ada bahwa faktor risiko kesehatan mental khusus untuk periode usia sekolah
(dari usia 5 sampai 18 tahun, dengan definisi variabel di seluruh negara) lazim di LMIC.
Sebuah studi perwakilan dari 3005 remaja di Mexico City menunjukkan bahwa 68%
memiliki setidaknya satu jenis kesulitan kronis. Faktor risiko seperti obesitas yang dirasakan,
kesulitan akademik, intimidasi di sekolah, disfungsi keluarga, pekerja anak, pelecehan fisik
dan seksual, penggunaan tembakau, alkohol, dan obat-obatan, penggunaan patologis internet,
kehamilan remaja, dan penggunaan sebagai tentara selama masa kanak-kanak telah terbukti
membahayakan kesehatan mental anak-anak, remaja, dan orang dewasa.2
Faktanya, masa remaja adalah usia puncak timbulnya gangguan kejiwaan yang paling umum
seperti gangguan defisit perhatian/hiperaktivitas (ADHD), kecemasan, suasana hati, dan
skizofrenia, dan juga merupakan masa berisiko tinggi untuk penyalahgunaan zat dan perilaku
bunuh diri. Timbulnya puncak penyakit mental selama masa remaja dapat dijelaskan oleh
lonjakan hormon seks dan perubahan neurobiologis. Faktor lingkungan secara konstan
berperan dalam proses ini, mempengaruhi pembentukan aspek kognitif dan emosional
individu.3
Hubungan terbalik antara kesehatan mental dan pencapaian pendidikan adalah fenomena
terkenal dalam literatur ilmiah sosiologi, epidemiologi, dan psikiatri sosial. Beberapa studi
telah menunjukkan pengaruh pencapaian pendidikan pada kesehatan mental (penyebab
sosial) dan demikian pula, ada dukungan untuk pengaruh masalah kesehatan mental pada
pencapaian pendidikan (seleksi sosial). Sama pentingnya, sekolah adalah bagian sentral dari
semua masa kanak-kanak, dengan jalur pendidikan dimulai sejak usia dini. Jika hubungan
antara kesehatan mental dan prestasi akademik dapat ditemukan selama masa kanak-kanak
dan remaja, pengenalan dan intervensi dini diperlukan. Karena kinerja akademik dikaitkan
dengan pencapaian pendidikan di masa depan, dan masalah kesehatan mental selama masa
kanak-kanak meningkatkan risiko masalah kesehatan mental selanjutnya, intervensi dini
sangat berharga.4
Beberapa studi berbasis populasi menyelidiki efek kesehatan mental terhadap prestasi
akademik pada anak-anak dan remaja. Dalam studi longitudinal, Fletcher menunjukkan
bahwa depresi remaja dikaitkan dengan tahun bersekolah, mengendalikan komorbiditas
psikiatri dan faktor sosiodemografi. Dalam sebuah studi pada 800 anak yang diikuti dari usia
6 hingga 18 tahun, masalah eksternalisasi tetapi tidak internalisasi memprediksi kinerja
akademik yang buruk. Breslau dan rekannya menemukan bahwa masalah perhatian pada usia
6 memprediksi matematika dan prestasi membaca pada usia 17, sementara tidak ada efek
yang terlihat untuk masalah eksternalisasi dan internalisasi.4,5
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti gambaran faktor-
faktor yang mempengaruhi kesehatan jiwa remaja terhadap prestasi belajar pada siswa kelas 7
dan 9 MTs Umdatur Rasikien.
1.3. Tujuan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan jiwa di usia
remaja.
b. Untuk mendeteksi dini masalah kesehatan jiwa pada usia remaja.
c. Untuk menangani permasalahan kesehatan jiwa pada remaja yang
mempengaruhi prestasi belajar.
1.4. Manfaat
1. Manfaat Teoritik
Sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Internsip Dokter Indonesia dan
berguna untuk menambah wawasan serta pengalaman terutama dalam masalah
kesehatan jiwa remaja dan pengaruhnya terhadap prestasi belajar.
2. Manfaat Metodologik
Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dan pembanding untuk
penelitian selanjutnya serta menambah rujukan dalam bidang kejiwaan.
3. Manfaat Aplikatif
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan dan memberikan
informasi kepada masyarakat tentang kesehatan jiwa remaja sehingga masyarakat
terutama keluarga memiliki kemampuan dan keahlian dalam membina remaja di
lingkungan rumahnya agar remaja dapat menjalani hidup dengan maksimal serta
meningkatkan prestasi belajarnya di sekolah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut UU No. 18 Tahun 2014, Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu
dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut
menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan
mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.6
Sedangkan menurut Andrews, Kesehatan Jiwa adalah sejauh mana seseorang memiliki
kesejahteraan psikologis (misalnya, harga diri yang positif, kemampuan untuk mengatasi
tekanan normal dalam kehidupan seseorang, mampu beradaptasi dengan perubahan, dan
memiliki hubungan yang memuaskan dan memuaskan dengan orang lain).7
Penyakit jiwa adalah sejauh mana seseorang tidak memiliki kesejahteraan psikologis karena
kondisi yang memengaruhi pemikiran, perasaan, dan perilaku mereka. Penyakit jiwa pada
anak-anak dan remaja termasuk gangguan perilaku (misalnya, gangguan defisit perhatian-
hiperaktif, gangguan perilaku, skizofrenia, gangguan penggunaan zat), gangguan suasana hati
(misalnya, depresi, kecemasan, stres), gangguan perkembangan saraf (misalnya, gangguan
spektrum autisme, intelektual, ketidakmampuan belajar), dan gangguan yang berhubungan
dengan kesehatan (misalnya, gangguan makan).7
Kesehatan jiwa anak-anak dan remaja mencakup kesejahteraan intelektual, emosional, dan
sosial mereka. Kesehatan jiwa mereka memengaruhi cara mereka berpikir, merasakan, dan
bertindak. Oleh karena itu, membantu menentukan bagaimana mereka mengatasi stres,
berhubungan dengan orang lain, dan membuat pilihan dalam hidup mereka. Kesehatan jiwa
penting di setiap tahap kehidupan, mulai dari masa kanak-kanak dan remaja hingga dewasa.7
Terjadinya faktor risiko dan faktor protektif secara bersamaan membatasi identifikasi elemen
spesifik yang bertanggung jawab atas timbulnya dan berlanjutnya masalah kesehatan mental.
Faktor distal awal (yaitu, faktor non-spesifik yang mempengaruhi kemungkinan risiko
selanjutnya) bekerja sama dengan penyebab proksimal (yang secara langsung menimpa
individu) melalui rantai probabilistik yang dikondisikan oleh isu-isu seperti dosis, konteks,
dan waktu. Pendekatan siklus hidup (Gambar 2.1) memberikan model yang memetakan
faktor risiko yang relevan dalam urutan kronologis, dari periode prakonsepsi satu generasi ke
generasi berikutnya.2
Namun, banyak anak yang mengalami kondisi buruk di tahun-tahun awalnya tumbuh menjadi
orang dewasa yang sehat. Gagasan resiliensi berbeda dari gagasan umum tentang risiko dan
faktor pelindung karena bertujuan untuk menggabungkan kualitas dan perbedaan bawaan
pada individu yang memungkinkan mereka mengatasi kesulitan. Karakteristik sistem
pengasuh anak, termasuk pengasuhan yang tanggap dan kompeten secara emosional serta
sumber daya pengasuh seperti pendidikan, kesehatan mental, dan sejarah relasional (yaitu,
keterikatan dan jaringan teman sebaya), merupakan prediktor proksimal langsung dari
resiliensi pada anak-anak.2
Teori ketahanan (resiliensi) menyatakan bahwa semua anak, terlepas dari risiko atau status
kesehatan mental saat ini, dapat memperoleh manfaat dari bantuan dan dukungan dalam
pengembangan strategi dan keterampilan ketahanan yang efektif dan sehat secara mental.
Dukungan dan fokus pada pengembangan keterampilan ketahanan anak tidak mengarah pada
kehidupan yang bebas risiko, tetapi dapat meningkatkan kemampuan anak untuk mencari
dukungan sambil membangun harga diri dan kemanjuran diri mereka. Dengan membekali
anak-anak dengan keterampilan yang dapat digunakan untuk mengatasi stres kehidupan
negatif melalui peningkatan ketahanan dan faktor pelindung, anak-anak dapat berkembang
meskipun ada hambatan. Karena semua orang mengalami kesengsaraan di beberapa titik
dalam hidup mereka, strategi pengajaran untuk pemikiran yang tangguh akan lebih baik
diterapkan terlebih dahulu kepada populasi yang berpotensi "berisiko". Hasil positif dan
kemungkinan yang terkait dengan penguatan ketahanan anak yang diterapkan secara
universal dapat bertindak sebagai pendekatan mitigasi, yang memungkinkan dukungan awal
dan penguatan kesehatan mental, daripada memerlukan intervensi untuk situasi akut di masa
mendatang.8
Oleh karena itu, ketahanan paling baik didefinisikan sebagai proses dinamis multisistemik
dari adaptasi atau pemulihan yang berhasil dalam konteks risiko atau ancaman. Intinya, ada
dua komponen utama resiliensi: risiko atau ancaman terhadap orang atau sistem (misalnya
penganiayaan, bencana alam, penyakit mental pada orang tua) dan kriteria yang digunakan
untuk mengevaluasi adaptasi atau pemulihan yang berhasil (misalnya kesehatan fisik atau
kesejahteraan subjektif).9
Gambar 2.1. Model Siklus terhadap Faktor Risiko Gangguan Mental2
1. Faktor Internal
a. Faktor Biologis
Aktivitas manusia pasti menggunakan dimensi biologis, seperti tidur, mandi, minum,
makan, bekerja, dan lain-lain. Awalnya manusia memahami bahwa hubungan spiritual
merupakan hubungan fisik dan jiwa yang tidak terjelaskan secara ilmiah, tetapi
sekarang ini hal itu dapat dipahami dengan ilmu pengetahuan. Faktor biologis sangat
memberi kontribusi yang besar bagi kesehatan mental. Beberapa aspek yang
berpengaruh langsung pada faktor biologis antara lain otak, sistem endokrin, genetik,
sensori, kondisi ibu selama hamil.11
1) Otak
Otak merupakan bagian yang penting untuk memerintah aktifitas yang dilakukan
manusia, berfungsi sebagai penggerak sensori motoris. Keunikan dan perbedaan yang
ada pada diri manusia tidak dapat terlepas dari otak manusia itu sendiri. Otak manusia
berperan dalam mengekspresikan segenap pengalaman hidup manusia. Oleh karena
itu fungsi otak yang baik akan menyebabkan kesehatan mentalyang baik pula,
sebaliknya jika fungsi otak terganggu menyebakan gangguan pada kesehatan
mentalnya. Kesehatan pada otak sangat ditentukan oleh hal-hal yang merangsang saat
masa kanak-kanak dan perlindungan dari berbagai gangguan.11
2) Sistem Endokrin
Kerja otak dalam menjalankan koordinasinya banyak dibantu oleh sistem endoktrin.
Kelenjar endokrin merupakan senyawa kimiawi. Kelenjar ini mengeluarkan hormon
yang diangkut ke seluruh tubuh oleh darah. Ada tujuh macam kelenjar endoktrin,
yaitu kelenjar tiroid, pituitari, paratiroid, adrenal, gonad, timus, dan pankreas yang
memiliki tugas masing-masing. Ketidaknormalnya sistem endoktrin ternyata bisa
mengganggu mental manusia. Gangguan mental akibat dari sistem endokrin,
berakibat buruk pada mentalitas manusia. Beberapa perilaku akibat tidak normalnya
sistem endokrin antara lain emosi yang tidak stabil, agresivitas, kecerdasan yang
rendah, sering merasa cemas.11
3) Genetik
Faktor genetik berpengaruh pada mentalitas manusia, perilaku manusia yang sehat
salah satunya karena genetik yang sehat. Faktor genetik sangat memiliki pengaruh
yang besar terhadap mentalitas manusia. Salah satu gangguan mentalnya, psikosis
yang berlebihan atau kecenderungan psikosis (schizopherenia) dan mania-depresif
(sangat senang – sangat terpuruk) merupakan sakit mental dari bawaan atau warisan
secara genetis dari orangtua. Gangguan mental lainnya adalah Alzeimer syndrome,
Huntington syndrome, phenylketonuria dan ketergantungn alkohol serta obat-obatan.11
4) Sensori
Sensori digunakan sebagai alat untuk menangkap seluruh stimuli dari luar. Sensori
meliputi pengecapan, penciuman, perabaan, penengaran dan penglihatan. Jika terjadi
gangguan pada sistem sensori ini maka informasi tidak bisa diterima secara baik.
Gangguan pada pendengaran (tuli) dan penglihatan (buta) banyak terjadi secara
kongenetal (cacat sejak lahir). Gangguan sensori sangat mempengaruhi mental
seseorang karena aspek sensori ini sangat penting keberadaannya dan dibutuhkan
pada manusia. Anak dengan gangguan sensori misal gangguan pendengaran yang
berat akan berakibat pada gangguan bicara (bisu), hal ini akan memicu pula
perkembangan sosial maupun emosinya, sehingga cenderung menjadi orang yang
paranoid, yaitu gangguan afeksi dimana kecurigaan yang berlebihan kepada orang
lain dan kecurigaan itu salah tidak sesuai kebenarannya.11
Anak dalam kandungan sangat bergantung pada kondisi ibu baik fisik dan mental.
Faktor ibu selama kehamilan sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental anak.
keadaan ibu hamil yang sehat lahir dan batinnya membuat kandungan sehat dan
memungkinkan membuahkan anak yang sehat pula terutama mentalnya, sebaliknya
kandungan tertentu dapat menyebabkan gangguan kepada keturunanya. Faktor-faktor
ibu yang ikut mempengaruhi kesehatanmental anak adalah usia ibu, cakupan nutrisi
ibu, obat-obatan dikonsumsi ibu terutama yang mengandung nikotin, terpapar radiasi
saat hamil, penyakit yang diderita, stress dan komplikasi pada saat hamil maupun
pada proses melahirkan.11
b. Faktor Psikologis
Faktor psikis manusia yang pada dasarnya adalah satu kesatuan dengan sistem
biologis. Faktor psikis berkaitan erat dengan kegiatan kehidupan manusia yang
multiaspek sehingga faktor psikis juga erat kaitannya dengan kesehatan mental
terutama hal spiritual yang melekat pada jiwa seseorang, yaitu ketaatan beribadah
menjalani tuntunan agama berkaitan erat dengan kesehatan mental. Faktor psikis yang
mempengaruhi kesehatan mental seseorang antara lain yaitu pengalaman awal, proses
pembelajaran, dan kebutuhan.11
1) Pengalaman Awal
Proses pembelajaran merupakan hasil dari pelatihan dan pengalaman manusia yang
membentuk perilaku manusia itu sendiri, jadi perilaku manusia merupakan hasil
belajar. Manusia belajar sejak dari masa bayi terhadap lingkungannya. Oleh karena itu
faktor lingkungan sangat mempengaruhi perilaku manusia yang membentuk
mentalitas manusia itu.11
3) Kebutuhan
2. Faktor Eksternal
Faktor ekstrenal merupakan sosial budaya yang dapat mempengaruhi kesehatan mental.
Faktor sosial budaya yang dapat menghambat atau mendukung kesehatan mental yaitu
lingkungan fisik, penyinaran dan udara, kebisingan dan polusi, lingkungan kimiawi,
lingkungan biologis dan juga faktor lingkungan lain seperti gempa, banjir, angin topan
dan kemarau.11
Perilaku seseorang yang sehat dan sakit sangat ditentukan oleh faktor lingkungan sosial,
yaitu jika peran seseorang sesuai dengan nila-nilai yang secara sosiologis diterima.
Lingkungan sosial juga mempengaruhi pola sehat dan sakitnya, baik kesehatan fisik
maupun mental.11
a. Faktor Keluarga
Keluarga adalah lingkungan sosial bagi setiap orang dan merupakan lingkungan yang
sangat dekat bagi seseorang. Kepribadian anak akan tumbuh dan berkembang pertama
kali di dalam keluarga. Melalui keluarga inilah, jika kita ingin menciptakan generasi
yang akan datang yang mempunyai mental sehat, dengan mempersiapkan calon ibu
dan ayah yang matang dan memiliki mental yang sehat pula sehingga mampu
menciptakan kehidupan keluarga yang nyaman, tentram, bahagia dan aman. Keluarga
adalah wadah pertama kali dan utama sebagai tempat pembinaan mental seorang
anak.11
b. Masyarakat dan Lingkungan
c. Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah dimasa sekarang ini harus dilewati oleh setiap anak, sebelum
anak tersebut terjun ke dalam masyarakat. Sekolah sebagai tempat bagi anak
menuntut ilmu pengetahuan, belajar, bergaul, mencari bakat keterampilan untuk
membekali diri dan mempersiapkan agar dapat yakin atau percaya diri dan
bertangungjawab menghadapi hidup baik dalam keluarga maupun dalam
masyarakat.11
Setidaknya satu dari lima remaja berusia 9–17 tahun saat ini memiliki gangguan kesehatan
mental yang terdiagnosis yang menyebabkan sejumlah gangguan; satu dari 10 memiliki
kelainan yang menyebabkan gangguan signifikan. Hanya sepertiga dari remaja ini menerima
perawatan yang diperlukan. Kecemasan dan gangguan suasana hati dua sampai tiga kali lebih
banyak terjadi pada remaja perempuan dibandingkan pada remaja laki-laki, meskipun
kebalikannya berlaku untuk gangguan defisit perhatian.12
Penyakit mental yang paling umum pada remaja adalah gangguan kecemasan, suasana hati,
perhatian, dan perilaku. Beberapa gangguan ini dapat mengganggu kemampuan pasien untuk
memahami atau mengartikulasikan masalah kesehatannya dan untuk mematuhi pengobatan
yang direkomendasikan dengan tepat. Kriteria untuk membuat setiap diagnosis spesifik
diuraikan dan dibahas dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental, Edisi
Kelima (DSM-V).12
1. Gangguan Cemas
Gangguan kecemasan adalah gangguan kesehatan mental yang paling umum pada remaja.
Pada waktu tertentu, satu dari delapan remaja memenuhi kriteria klinis untuk gangguan
kecemasan. Gangguan kecemasan termasuk gangguan kecemasan umum, gangguan
kecemasan sosial, dan gangguan panik. Gangguan kecemasan secara klinis signifikan
ketika mengganggu area fungsi penting, seperti sekolah, pekerjaan, atau hubungan
dengan keluarga dan teman sebaya. Mereka sering terjadi bersamaan dengan gangguan
depresi atau attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) dan berhubungan dengan
peningkatan risiko bunuh diri. Lihat Gambar A untuk faktor risiko gangguan
kecemasan.12
Gejala fisik umum terjadi pada banyak gangguan kecemasan. Gejalanya meliputi nyeri
dada, jantung berdebar, sesak napas, pusing, sinkop, mual, muntah, nyeri perut berulang,
serta gangguan pola tidur, nafsu makan, dan tingkat energi.12
Remaja dengan gangguan mood menunjukkan gejala vegetatif yang lebih sedikit
(misalnya, kelelahan dan energi rendah) dan lebih mudah tersinggung daripada orang
dewasa dengan gangguan mood, sering mengobati diri sendiri dengan alkohol dan zat
lain, dan berisiko tinggi terhadap perilaku bunuh diri. Sekitar dua pertiga remaja dengan
gangguan mood memiliki satu atau lebih gangguan mental, termasuk gangguan
kecemasan, gangguan perilaku, dan ADHD. Lihat Gambar A untuk faktor risiko
gangguan kecemasan.12
Remaja yang melaporkan gejala depresi yang berdampak buruk pada sekolah, pekerjaan,
atau hubungan interpersonal, tetapi mengalami gejala ini hanya selama 7-10 hari sebelum
setiap periode menstruasi dapat mengalami gangguan dysphoric pramenstruasi. Mereka
harus dievaluasi untuk gangguan suasana hati atau kecemasan yang terjadi bersamaan.12
Sekitar 1 dari 20 remaja memenuhi kriteria klinis untuk ADHD. Remaja dengan ADHD
cenderung mudah terganggu, lalai, dan tidak dewasa secara emosional. Mereka sering
memiliki masalah perilaku dan pendidikan. Remaja dengan ADHD memiliki
kecenderungan yang meningkat untuk perilaku pengambilan risiko, termasuk perilaku
seksual berisiko. Mereka mungkin memerlukan waktu tambahan yang dihabiskan untuk
pendidikan pasien dengan instruksi yang disajikan dengan jelas.12
5. Gangguan Somatisasi
Gejala somatik, umum pada anak-anak dan remaja, lebih banyak dilaporkan oleh wanita
daripada pria, terutama setelah pubertas. Gangguan dismorfik tubuh, keasyikan obsesif
bahwa beberapa aspek tubuh seseorang cacat dan harus disembunyikan atau diperbaiki,
biasanya dimulai pada masa remaja. Ini sering dikaitkan dengan OCD atau gangguan
kecemasan sosial.12
Bunuh diri adalah penyebab utama kedua kematian pada orang muda berusia 15-24 tahun,
dengan tingkat 13.9 kematian akibat bunuh diri pada populasi ini per hari; tingkat upaya
bunuh diri adalah 100-200 kali lebih tinggi daripada upaya penyelesaian. Remaja yang
berisiko termasuk mereka yang menunjukkan penurunan nilai sekolah, kesedihan kronis,
disfungsi keluarga, masalah dengan orientasi seksual, identitas gender, pelecehan fisik
atau seksual, penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan, memiliki riwayat keluarga bunuh
diri, atau telah melakukan upaya bunuh diri sebelumnya.12
Remaja yang ingin bunuh diri jarang menawarkan informasi tersebut sebagai gejala yang
muncul. Namun, mereka sering kali merasa lega ketika subjeknya disinggung. Pertanyaan
harus diajukan secara langsung, tidak mengancam, tidak menghakimi. Praktisi mungkin
mulai dengan, “Terkadang remaja yang berurusan dengan masalah atau masalah serupa
menjadi sangat sedih dan mulai mempertanyakan kehidupan itu sendiri. Apakah ini
terjadi pada Anda?" Jawaban positif harus diikuti dengan pertanyaan seperti:12
“Pernahkah Anda berpikir untuk bunuh diri atau menyakiti diri sendiri?”
“Apakah Anda berpikir untuk bunuh diri sekarang?”
"Apakah Anda punya rencana untuk bunuh diri?" (Jika pasien menjawab dengan
tegas, tanyakan rincian rencananya dan apakah dia pernah mencoba bunuh diri di
masa lalu.)
Risiko bunuh diri paling tinggi ketika pasien dapat menjelaskan rencana waktu, lokasi,
dan cara bunuh diri serta memiliki akses mudah ke cara tersebut, terutama obat-obatan
atau senjata api. Ketika ada risiko percobaan bunuh diri atau menyakiti diri sendiri yang
serius diidentifikasi atau diakui, remaja tersebut harus dirujuk ke lembaga krisis
kesehatan mental atau departemen gawat darurat untuk diperiksa oleh profesional
perawatan kesehatan mental. Ini mungkin termasuk memberikan informasi kepada orang
tua atau wali tentang mengamankan senjata atau obat mematikan yang mungkin tersedia
untuk pasien.12
Cedera diri non-bunuh diri (misalnya, "menyayat") adalah kerusakan yang disengaja pada
permukaan tubuh seseorang dengan harapan bahwa cedera tersebut hanya akan
menyebabkan cedera fisik ringan atau sedang. Ini biasanya dilakukan untuk mendapatkan
kelegaan dari perasaan negatif atau kondisi kognitif. Estimasi prevalensi seumur hidup
dari cedera diri non-bunuh diri di antara siswa sekolah menengah adalah 12-23%, dengan
angka lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki. Cedera diri non-bunuh diri sering
dikaitkan dengan gangguan kecemasan, gangguan mood, gangguan kepribadian,
gangguan makan, dan terutama dengan riwayat pelecehan seksual atau penelantaran
kronis dan penganiayaan di masa kanak-kanak. Cedera diri non-bunuh diri harus dicurigai
pada pasien dengan kecelakaan yang sering atau penjelasan yang dipertanyakan, atau luka
atau bekas luka yang tidak dapat dijelaskan yang dicatat selama pemeriksaan, atau
keduanya. Skrining untuk depresi dan bunuh diri juga harus mencakup skrining untuk
melukai diri sendiri tanpa bunuh diri.12
1. Intervensi pembelajaran sosial dan emosional (SEL): mencakup program berbasis sekolah
dan kurikulum dengan fokus yang jelas pada perkembangan siswa dalam kemampuan
emosional dan sosial, yang terdiri dari pengetahuan dan ekspresi emosional, pengaturan
emosi, keterampilan hubungan, kemampuan komunikasi, konflik metode resolusi, dan
pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Keterampilan ini dilakukan melalui
program yang sesuai dengan perkembangan. 5 keterampilan tersebut antara lain:
a. Manajemen diri mencakup mengatur emosi, mengatasi stres, melatih pengendalian
diri, dan memotivasi diri sendiri dengan cara yang produktif dan sadar. Memahami
tanggung jawab pribadi dalam berbagai aspek kehidupan.
b. Keterampilan hubungan seperti membangun hubungan dengan berbagai orang dan
kelompok, berkomunikasi dengan benar, mendengarkan secara aktif, menyelesaikan
masalah, menolak tekanan sosial yang sesuai, dan mencari bantuan saat dibutuhkan.
c. Pengambilan keputusan yang bertanggung jawab, kemampuan untuk membuat pilihan
konstruktif tentang perilaku dan interaksi sosial. Berfokus pada kesejahteraan remaja
dan orang lain, mengakui tanggung jawab mereka sendiri untuk bertindak secara etis,
mendasarkan keputusan pada keselamatan, menilai hasil yang realistis dari beberapa
perilaku, memilih pilihan yang tepat untuk diri mereka sendiri dan orang lain.
d. Kesadaran diri meliputi perasaan seseorang, menghubungkan pikiran dan perasaan
dengan perilaku, self-efficacy, dan optimisme. Ini adalah kemampuan untuk fokus
pada tindakan, pikiran, atau emosi.
e. Kesadaran sosial, kapasitas untuk mengambil perspektif orang lain, menghormati
keragaman, empati, memahami norma-norma sosial dan etika perilaku, mengenali
sumber daya keluarga, sekolah, dan masyarakat.
2. Intervensi psikologi positif berfokus pada membangun emosi positif, hubungan, dan
kekuatan karakter pada remaja, serta meningkatkan keterampilan untuk kebahagiaan dan
kesejahteraan. Intervensi ini, seperti SEL, biasanya disampaikan melalui program kelas.
3. Intervensi berbasis mindfulness memiliki sejarah panjang dan berasal dari praktik dan
filosofi Timur, intervensi ini mengharuskan remaja untuk memfokuskan kesadaran
mereka pada situasi saat ini. Program berbasis mindfulness dibuat untuk melatih orang
untuk menumbuhkan mindfulness dan menerapkan praktiknya ke dalam kehidupan
sehari-hari. Mindfulness dapat disebut memperhatikan dengan cara tertentu, pada saat ini,
dengan sengaja, dan tidak menghakimi. Dengan demikian, program ini mengajarkan
keterampilan mindfulness seperti meningkatkan perhatian yang bertujuan,
mengembangkan hubungan yang berbeda dengan pikiran seseorang, dan mempraktikkan
berbagai pendekatan dalam menanggapi emosi dan pikiran yang tidak menyenangkan
dengan cara yang tidak menghakimi.
4. Intervensi pengembangan pemuda yang positif mencakup pendekatan pendampingan
pribadi, melibatkan remaja dalam olahraga, kegiatan waktu luang, dan program
kepemimpinan pemuda. Program ini bertujuan agar generasi muda mengembangkan
perilaku positif seperti percaya diri dan pergaulan. Intervensi ini adalah metode prososial
yang disengaja yang berinteraksi dengan kaum muda dengan cara yang produktif dan
konstruktif di dalam sekolah, komunitas, kelompok sebaya, keluarga, dan organisasi
mereka.
5. Intervensi literasi kesehatan jiwa merupakan isu penting karena berpotensi membantu
deteksi dini penyakit jiwa. Memahami bagaimana menjaga kesehatan mental yang positif,
gangguan mental dan perawatannya, mengurangi stigma yang terkait dengan penyakit
mental, dan meningkatkan kemanjuran pencarian bantuan adalah bagian dari program. Ini
mendukung remaja untuk mencapai kesehatan mental yang positif, dan untuk
memfasilitasi akses tepat waktu ke bantuan yang tepat ketika masalah psikologis muncul.
Semua remaja dengan kesulitan atau masalah kesehatan mental berhak mendapatkan layanan
kesehatan mental komprehensif yang tepat waktu, berkualitas tinggi, untuk memungkinkan
penilaian, bantuan, dan perawatan yang berhasil untuk diri mereka sendiri dan orang lain.
Teknik-teknik berikut harus diterapkan untuk mempromosikan kesehatan mental: Semua staf
yang bekerja secara langsung dengan remaja harus memiliki pengetahuan, pelatihan, dan
bantuan yang memadai untuk mempromosikan kesehatan mental remaja dan keluarganya,
serta memperhatikan tanda-tanda awal masalah. Sistem rujukan, sistem pendukung, dan
program yang efektif harus dikembangkan dengan baik. Remaja harus dapat menerima
perawatan kesehatan mental yang cepat, jika perlu. Jika diperlukan, remaja dengan gangguan
belajar dan kondisi kesehatan mental harus memiliki akses ke layanan kesehatan mental yang
berkualitas.13
Selama masa kanak-kanak tengah (6-12 tahun), perkembangan kognitif berlanjut dan
membangun harga diri dan kompetensi sosial merupakan tugas perkembangan yang penting.
Masa remaja (10-20 tahun) ditandai dengan banyak tantangan perkembangan, termasuk
pubertas, perkembangan pemikiran yang lebih abstrak dan perkembangan rasa identitas diri.
Tercatat sebagai periode yang sangat rentan untuk terlibat dalam perilaku berisiko yang dapat
berdampak negatif pada kesehatan mental dan jalan hidup seseorang. Penguatan keluarga dan
program pengasuhan anak yang bertujuan untuk meningkatkan hubungan keluarga,
komunikasi, dan pengawasan orang tua telah ditemukan untuk mempromosikan hasil
kesehatan mental dan perilaku yang baik untuk anak-anak dan remaja di negera
berkembang.14
Selain program pengasuhan anak, program berbasis sekolah, khususnya program kecakapan
hidup telah terbukti efektif baik di negara maju maupun negara berkembang untuk
mempromosikan penanganan sosioemosional, terutama selama masa remaja ketika kaum
muda sangat rentan terhadap pengaruh teman sebaya yang negatif. Program kecakapan hidup
di sekolah telah terbukti berhasil dalam meningkatkan pengambilan keputusan,
mempengaruhi manajemen dan penyelesaian konflik, serta membantu menghindari tekanan
teman sebaya untuk terlibat dalam perilaku berisiko dan menghubungkan remaja dengan
sumber daya masyarakat yang mendukung. Seluruh program sekolah yang mempromosikan
keterhubungan dengan sekolah juga terbukti meningkatkan kesehatan mental dan perilaku,
berfungsi untuk melindungi lingkungan rumah yang negatif.14
1. Promotif
a. Keluarga
Upaya promotif di keluarga dilaksanakan dalam bentuk pola asuh dan pola
komunikasi dalam keluarga yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan jiwa
yang sehat.
b. Lembaga Pendidikan
c. Masyarakat
Program promosi kesehatan mental yang secara khusus menargetkan ketahanan dapat
disebut sebagai program pembelajaran sosial dan emosional, program mindfulness,
program manajemen stres, atau program kesejahteraan emosional dan bervariasi dalam
hal kurikulum, panjang dan implementasi, dan penggunaan berbagai alat dan aktivitas
untuk menyampaikan kunci tema dan topik. Metode penyampaian juga bervariasi,
termasuk penggunaan alat klinis, sumber daya pendidikan, pelatihan guru dan orang tua,
perubahan sistem dan sumber daya sekolah, dan penggunaan alat naratif. Dengan
demikian, kurikulum yang digunakan dalam program ini bervariasi, meskipun semuanya
menggunakan definisi resiliensi yang telah ditetapkan sebelumnya dan hasil yang
diinginkan untuk dicapai dari program pembelajaran sosial dan emosional. Kurikulum
pembelajaran sosial dan emosional yang paling efektif sangat interaktif dan menggunakan
berbagai alat pendidikan, menangani keterampilan khusus dan umum, dan disampaikan
dalam lingkungan yang mendukung. Program promosi kesehatan mental yang
mempromosikan ketahanan fokus pada pengembangan keterampilan mengatasi,
kesadaran, pengenalan dan manajemen emosi, hubungan empatik, kesadaran diri dan
kemanjuran, dan perilaku mencari bantuan. Hasil sekunder sering termasuk penurunan
gejala kecemasan, depresi, dan peningkatan hasil akademik.8
2. Preventif
Upaya preventif merupakan suatu kegiatan untuk mencegah terjadinya masalah kejiwaan
dan gangguan jiwa yang ditujukan untuk mencegah terjadinya masalah kejiwaan;
mencegah timbulnya dan/atau kambuhnya gangguan jiwa; mengurangi faktor risiko
akibat gangguan jiwa pada masyarakat secara umum attau perorangan; dan/atau
mencegah timbulnya dampak masalah psikososial. Upaya ini dilaksanakan di
lingkungan:6
a. Keluarga
Pengembangan pola asuh yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan jiwa;
Komunikasi, informasi, dan edukasi dalam keluarga; dan
Kegiatan lain sesuai dengan perkembangan masyarakat
b. Lembaga
Menciptakan lingkungan lembaga yang kondusif bagi perkembangan kesehatan
jiwa;
Memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai pencegahan gangguan
jiwa; dan
Menyediakan dukungan psikososial dan kesehatan jiwa di lingkungan lembaga.
c. Masyarakat
Menciptakan lingkungan masyarakat yang kondusif;
Memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai pencegahan gangguan
jiwa; dan
Menyediakan konseling bagi masyarakat yang membutuhkan.
3. Kuratif
Upaya kuratif merupakan kegiatan pemberian pelayanan kesehatan terhadap ODGJ yang
mencakup proses diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat sehingga ODGJ dapat
berfungsi kembali secara wajar di lingkungan keluarga, lembaga, dan masyarakat yang
ditujukan untuk penyembuhan atau pemulihan; pengurangan penderitaan; pengendalian
disabilitas; dan pengendalian gejala penyakit. Proses penegakkan diagnosis dilakukan
untuk menentukan kondisi kejiwaan dan tindak lanjut penatalaksanaan yang dilakukan
oleh dokter umum, psikolog, atau dokter spesialis kedokteran jiwa. Penatalaksanaan dapat
dilakukan dengan rawat jalan atau rawat inap.6
4. Rehabilitatif
Upaya ini meliputi rehabilitasi psikiatrik dan/atau psikososial yang dilaksanakan sejak
dimulainya pemberian pelayanan kesehatan jiwa terhadap pasien; dan rehabilitasi sosial
yang dilaksanakan secara persuasif, motivatif, atau koersif, baik dalam keluarga,
masyarakat, maupun panti sosial. Upaya rehabilitasi sosial diberikan dalam bentuk
motivasi, perawatan dan pengasuhan, bimbingan mental spiritual, bimbingan fisik,
bimbingan sosial, bimbingan resosialisasi, dan/atau rujukan.6
Sekolah bisa dibilang memberikan pengaturan yang ideal untuk memberikan intervensi
kesehatan mental. Kaum muda menghabiskan banyak waktu di sekolah, dan layanan berbasis
sekolah dapat mengurangi kesenjangan akses ke layanan kesehatan mental, menormalkan
pencarian bantuan, dan meningkatkan penyerapan intervensi. Namun, intervensi berbasis
sekolah dapat meningkatkan risiko stigma karena visibilitas pencarian bantuan kepada guru
dan teman sebaya dan tidak dapat diterima oleh semua orang. Siswa mengalami dinamika
yang kompleks di lingkungan sekolah, di mana teman sebaya dapat menjadi sumber
dukungan emosional dan sumber stigma, label negatif, dan bahkan intimidasi. Agar berhasil,
intervensi berbasis sekolah harus sesuai dengan etos dan budaya sekolah dan membutuhkan
komitmen dan keterlibatan dari staf sekolah. Ada tiga pendekatan utama untuk intervensi
kesehatan mental berbasis sekolah:
1. Universal
Pendekatan seluruh sekolah atau kelas di mana intervensi diberikan kepada semua siswa,
dengan tujuan utama mencegah gangguan kesehatan mental atau meningkatkan kesehatan
mental. Intervensi universal menawarkan cakupan yang baik dan mungkin dianggap tidak
terlalu mengganggu dan kurang menstigmatisasi daripada intervensi yang ditargetkan
atau diindikasikan. Namun, hal tersebut sulit diterapkan dan membutuhkan keterlibatan
dan komitmen sekolah yang kuat, dan ukuran efek biasanya kecil.16
2. Selektif
Intervensi yang diberikan kepada individu yang dianggap berisiko mengalami kesulitan
kesehatan mental, dengan tujuan mencegah timbulnya gangguan.16
Program pencegahan selektif bertujuan untuk menjangkau orang-orang yang berisiko di
atas rata-rata untuk mengalami gangguan kecemasan. Ini adalah kelompok tertentu yang
terdiri dari individu yang berbagi faktor risiko, seperti pengalaman kesulitan dalam
interaksi antara individu lain, kelompok atau lingkungan pada umumnya. Program
pencegahan selektif berfokus pada pemberdayaan faktor pelindung pada individu dalam
kelompok yang didefinisikan sebagai risiko di atas rata-rata. Untuk mengidentifikasi
individu yang memenuhi syarat untuk pencegahan selektif, penilaian status risiko
berdasarkan faktor risiko dan kerentanan tertentu perlu dilakukan.17
3. Terindikasi
Intervensi diberikan kepada siswa yang sudah mengalami gejala gangguan kesehatan
jiwa, dengan tujuan untuk mengurangi gejala dan mencegah timbulnya kesulitan
sekunder. Intervensi yang terarah dan terindikasi cenderung menghasilkan ukuran efek
yang lebih besar daripada pendekatan universal, tetapi mereka mengandalkan identifikasi
yang akurat dari murid yang membutuhkan dan mungkin menstigmatisasi bagi mereka
yang menerimanya.16
Idealnya, intervensi dini akan mencegah timbulnya masalah kesehatan mental anak dan
remaja. Namun demikian, setelah didiagnosis, intervensi pengobatan yang lebih kompleks
dan terarah biasanya diperlukan. Meskipun tidak ada uji coba terkontrol secara acak dari
intervensi psikososial untuk masalah eksternalisasi masa kanak-kanak yang diidentifikasi di
negara berkembang, laporan dari populasi yang kurang beruntung di negara maju dapat
memberikan bukti efektivitas secara tidak langsung. Untuk masalah internalisasi, terapi
perilaku kognitif kelompok efektif untuk pengobatan gangguan obsesif-kompulsif pada anak-
anak dan remaja Brasil.2
Studi intervensi yang diulas juga mendukung argumen bahwa layanan kesehatan jiwa anak
dan remaja tidak terbatas pada sektor kesehatan, dan bahwa beberapa lembaga lain
terpengaruh oleh masalah kesehatan jiwa dan memiliki peran penting dalam mendukung
kesehatan jiwa. Sistem ini termasuk pendidikan, perawatan sosial, dan peradilan pidana.
Misalnya, di negara berkembang, timbulnya gangguan kontrol impuls dan penyalahgunaan
zat menyebabkan penghentian pendidikan dini, yang mengakibatkan marjinalisasi jangka
panjang individu dan menjadi beban masyarakat.2
Gambar X. Contoh Intervensi untuk Mencegah Gangguan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja
pada Negara Berpendapatan Menengah ke Bawah2
BAB III
METODE
Rancangan penelitian ini adalah cross sectional. Cross sectional adalah penelitian yang
mengambil satu data variabel dependen dan satu data variabel independen. Keduanya
dilakukan dalam sekali waktu (simultan).18
Tempat dilakukannya penelitian ini adalah MTs Umdatur Rasikin, Kelurahan Cakung Barat,
Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Serta penelitian ini dilaksanakan dari bulan November–
Desember 2022.
Populasi penelitian ini adalah siswa MTs Umdatur Rasikien. Menurut Yuandari, populasi
adalah sekumpulan data yang mengidentifikasikan suatu fenomena yang tergantung dari
kegunaan dan relevansi data yang dikumpulkan. Atau dapat dikatakan jumlah keseluruhan
objek yang akan diteliti.19
Sampel penelitian ini adalah siswa kelas 7 dan kelas 9 MTs Umdatur Rasikin. Menurut
Yuandari, sampel adalah sekumpulan data yang diambil atau diseleksi dari suatu populasi.
Atau dapat dikatakan bahwa sampel adalah sebagian dari populasi.19
1. Siswa yang terdaftar di MTs Umdatur Rasikien pada Kelas 7 dan Kelas 9.
2. Siswa yang dicurigai memiliki kelainan kesehatan jiwa yang diketahui oleh Wali Kelas
dan Guru Bimbingan Konseling (BK).
3. Siswa yang memiliki prestasi rendah akibat adanya kecurigaan kelainan kesehatan jiwa.
1. Siswa yang tidak memiliki masalah kesehatan jiwa yang diketahui oleh Wali Kelas dan
Guru Bimbingan Konseling (BK).
2. Siswa yang memiliki prestasi baik.
Variabel merupakan gejala yang menjadi fokus peneliti untuk diamati dari sekelompok orang
atau objek yang memiliki variasi antara satu dengan yang lainnya dalam kelompok tersebut. 19
Variabel independen penelitian ini adalah faktor yang mempengaruhi kesehatan jiwa remaja.
Sedangkan variable dependen penelitian ini adalah prestasi belajar siswa.
Pada penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder yang diperoleh dari
kuesioner dan catatan konseling guru Bimbingan Konseling (BK). Data Primer adalah data
statistik yang diperoleh atau bersumber dari tangan pertama. Contohnya data yang diambil
dengan menggunakan instrumen (angket, kuesioner, wawancara). Data Sekunder adalah data
statistik yang diperoleh atau bersumber dari tangan kedua. Contohnya data yang diambil dari
buku register.19
Pada penelitian ini peneliti mengumpulkan data primer dari lembar kuesioner SRQ-20 yang
berisikan 20 pertanyaan yang dirasakan responden dalam 30 hari terakhir sejak dilakukan
konseling. Sedangkan data sekunder didapatkan dari catatan konseling guru BK MTs
Umdatur Rasikin.
November 2022
1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11 12
13 14 15 16 17 18 19
20 21 22 23 24 25 26
Konseling Konseling
Personal Kelompok
27 28 29 30
Desember 2022
1 2 3
4 5 6 7 8 9 10
Konseling
Personal
dan
Evaluasi
guru BK
11 12 13 14 15 16 17
18 19 20 21 22 23 24
25 26 27 28 29 30 31
BAB IV
HASIL PELAKSANAAN
1.
2.
3.
4.
4.1. Profil Kelurahan Cakung Barat
Kelurahan Cakung Barat terletak di Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Tepatnya berada di
Jl. Tipar Cakung, Jl. Inspeksi PPD. Kelurahan ini memiliki kode pos 13910.
Profil Keterangan
Geografi dan Pemerintahan
Luas Wilayah 6.12 km2
Jumlah RT 107
Jumlah RW 10
Sosial dan Kesejahteraan Rakyat
SD Negeri 10
Madrasah Ibdidaiyah (MI) Negeri 2
SMP Negeri 2
Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri –
SMA Negeri 1
Profil Keterangan
Madrasah Aliyah (MA) Negeri –
SMK Negeri –
Perguruan Tinggi Negeri –
SD Swasta 1
Madrasah Ibdidaiyah (MI) Swasta 3
SMP Swasta 2
Madrasah Tsanawiyah (MTs) Swasta 2
SMA Swasta 1
Madrasah Aliyah (MA) Swasta –
SMK Swasta 4
Perguruan Tinggi Swasta –
Masjid 21
Mushola 40
Gereja Protestan 2
Gereja Katolik –
Kependudukan
Penduduk 77.849 (2018)
79.026 (2019) [Laju: 0.75%]
Kepadatan Penduduk (per km2) 12.913 (2019)
Rasio Laki-Laki 40.552
Rasio Perempuan 38.474
Pariwisata
Rumah Makan 3
Hotel –
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan 15 responden siswa MTs Umdatur
Rasikin yang memenuhi kriteria inklusi. Berikut karakteristik responden:
Berdasarkan tabel di atas, didapatkan kelas yang paling dominan adalah responden kelas 7
sebanyak 10 (66.66%). Jenis kelamin yang paling dominan adalah Perempuan sebanyak 13
(86.66%). Usia responden yang paling dominan adalah kurang dari 15 tahun sebanyak 11
(73.33%). Semua responden terdapat adanya gangguan kesehatan jiwa sebanyak. Mayoritas
responden yang memiliki masalah akademis sebanyak 9 (60%). Masalah akademis yang
dimaksud adalah adanya nilai materi pelajaran yang dibawah nilai standar kelulusan
sebanyak 10 pelajaran.
Seluruh responden diberikan lembar kuesioner SRQ-20 yang berisikan 20 pernyataan yang
berhubungan dengan keluhan atau masalah tertentu yang mungkin dirasakan selama 30 hari
terakhir sejak lembar kuesioner ini dibagikan. Kuesioner ini dibagikan sebelum konseling
support group dan sesudah/akhir konseling support group.
Berdasarkan tabel di atas, didapatkan nilai pre-test paling besar adalah 18 (90%) dari total 20,
sebanyak 1 orang, dan nilai pre-test paling kecil adalah 6 (30%) dari total 20, sebanyak 1
orang. Nilai post-test paling besar adalah 14 (70%) dari total 20, sebanyak 1 orang, dan nilai
post-test paling kecil adalah 1 (5%) dari total 20, sebanyak 1 orang.
Perubahan Skor
Frekuensi Presentase
Penurunan Skor 15 100%
Persamaan Skor 0 0%
Peningkatan Skor 0 0%
Sumber: Data Primer Penelitian
Berdasarkan tabel di atas, didapatkan bahwa responden yang mengalami penurunan skor
setelah dilakukan konseling support group sebanyak 15 responden (100%). Tidak ada
responden yang mengalami persamaan skor setelah dilakukan konseling support group.
Tidak ada responden yang mengalami peningkatan skor setelah dilakukan konseling support
group.
Pre-test Post-test
Frekuensi Presentas Frekuensi Presentase
e
Ingin Bunuh Diri 12 80% 0 0%
Tidak Ingin Bunuh Diri 3 20% 15 100%
Sumber: Data Primer Penelitian
Adanya keinginan mengakhiri hidup/ bunuh diri terdapat pada pertanyaan kuesioner nomor
17. Berdasarkan tabel di atas, didapatkan bahwa responden yang ada keinginan untuk bunuh
diri saat sebelum dilakukan konseling support group sebanyak 12 responden (80%).
Sedangkan setelah dilakukan konseling support group didapatkan penurunan jumlah menjadi
0 responden (0%).
Frekuensi Presentase
Gangguan Cemas 5 33.33%
Gangguan Mood dan Depresi 13 86.66%
ADHD 1 6,66%
Gangguan Somatisasi 0 0%
Pikiran Bunuh Diri 12 80%
Melukai Diri Sendiri 0 0%
Lainnya 3 20%
Sumber: Data Primer Penelitian
Berdasarkan tabel di atas, didapatkan bahwa kelainan kesehatan jiwa yang ada pada
responden didominasi oleh Gangguan Mood dan Depresi sebanyak 13 responden (86.66%).
Sedangkan kelainan kesehatan jiwa yang paling sedikit terjadi adalah Melukai Diri Sendiri
dan Gangguan Somatisasi sebanyak 0 responden (0%).
Tabel di atas menyatakan jumlah mata pelajaran yang kategori nilai “C” dan kategori
nilai dibawahnya, yang tercatat sebelum dilakukan konseling dan sesudah konseling. Nilai
tersebut adalah nilai asli sebelum perbaikan nilai. Setiap responden melakukan Ujian Akhir
Semester, satu minggu setelah dilakukan konseling. Berdasarkan tabel di atas, didapatkan
bahwa sebanyak 14 responden (93.33%) megalami perbaikan nilai. Sedangkan 1 responden
(17.33%) mengalami perburukan.
BAB V
DISKUSI
Pada bab ini peneliti akan menguraikan hasil penelitian mengenai Gambaran Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Kesehatan Jiwa Remaja terhadap Prestasi Belajar pada Siswa MTs
Umdatur Rasikin. Data yang digunakan merupakan data primer yang diperoleh dari kuesioner
SRQ-20, dan data sekunder yang diperoleh dari catatan konseling guru BK setempat.
Penelitian ini memperoleh data sebanyak 15 sampel yang telah memenuhi kriteria inklusi.
Pada studi yang dilakukan Lok, et al, faktor-faktor yang mempengaruhi status
kesehatan mental remaja didefinisikan. Menurut temuannya, remaja tampaknya merupakan
kelompok yang berisiko dalam hal masalah kesehatan mental. Ini karena kesehatan mental
yang buruk sangat terkait dengan masalah kesehatan dan perkembangan lainnya pada remaja,
terutama prestasi pendidikan yang rendah, penyalahgunaan zat, kekerasan, dan kesehatan
reproduksi dan seksual yang buruk.28
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
Dalam Bab terakhir laporan Mini Project yang berjudul “Gambaran Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Kesehatan Jiwa Remaja terhadap Prestasi pada Siswa MTs Umdatur Rasikien
Kelas 7 dan Kelas 9 di Wilayah Kerja Puskesmas Cakung Barat Jakarta Timur”, penulis
dapat membuat kesimpulan dan saran berdasarkan hasil dan diskusi penelitian sebagai
berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
6.1. Simpulan
1. Berdasarkan hasil wawancara dengan kuesioner SRQ-20 pada sebelum dan sesudah
konseling support group, didapatkan perbaikan skor pada 15 responden (100%).
2. Berdasarkan hasil wawancara didapatkan permasalahan kesehatan jiwa remaja terbanyak
berupa Gangguan Mood dan Depresi sebanyak 13 responden (86.66%).
3. Berdasarkan hasil wawancara didapatkan penurunan angka keinginan bunuh diri dari 12
responden (80%) menjadi 0 responden (0%).
4. Berdasarkan hasil wawancara didapatkan penyebab permasalahan kesehatan jiwa remaja
terbanyak karena adanya faktor eksternal sebanyak 14 responden (93.33%).
5. Berdasarkan data nilai raport, didapatkan bahwa terdapat perbaikan prestasi belajar
responden sebanyak 14 responden (93.33%).
5.1. Saran
1. Bagi Peneliti
Diharapkan bagi petugas kesehatan untuk dapat bekerjasama dengan pihak institusi
pendidikan untuk menjaring (skrining) siswa dengan permasalahan kesehatan jiwa.
4. Bagi Masyarakat
Diharapkan bagi masyarakat untuk lebih berperan aktif dalam skrining kesehatan
jiwa dengan cara mengikuti skrining kesehatan jiwa di institusi pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fitriyana S, Rathomi HS & Shafira S. 2020. Perlu Intervensi Kesehatan Mental Remaja di
Pelayanan Kesehatan Primer. Global Medical and Health Communication: Vol.8, No.2,
August 2020.
2. Kieling C, Baker-Henningham H, Belfer M, et al. 2011. Child and adolescent mental
health worldwide: evidence for action. Lancet 2011; 378: 1515–25. DOI:10.1016/S0140-
6736(11)60827-1.
3. de Figueiredo CS, Sandre PC, Portugal LCL, Mázala-de-Oliveira T, et al. COVID-19
pandemic impact on children and adolescents' mental health: Biological, environmental,
and social factors. Prog Neuropsychopharmacol Biol Psychiatry. 2021 Mar 2;106:
110171. doi: 10.1016/j.pnpbp.2020.110171.
4. Agnafors S, Barmark M & Sydsjö G. 2020. Mental health and academic performance:
a study on selection and causation efects from childhood to early adulthood. Soc
Psychiatry Psychiatr Epidemiol. 2021 May;56(5):857-866. Doi: 10.1007/s00127-020-
01934-5.
5. Breslau J, Miller E, Breslau N, Bohnert K, Lucia V, Schweitzer J. 2009. The impact of
early behavior disturbances on academic achievement in high school. Pediatrics
123(6):1472–1476.
6. Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
7. Andrews JJW. 2022. Introduction: Mental Health Assessment, Prevention,
and Intervention—Promoting Child and Youth Well-Being. In: Andrews JJW, Shaw SR,
Domene JF & McMorris CA. Mental Health Assessment, Prevention, and Intervention:
Promoting Child and Youth Well-Being. Switzerland: Springers.
8. Fenwick-Smith A, Dahlberg EE & Thompson SC. 2018. Systematic review of resilience-
enhancing, universal, primary school-based mental health promotion programs. BMC
Psychol. 2018; 6: 30. doi: 10.1186/s40359-018-0242-3.
9. Mesman E, Vreeker A & Hillegers M. 2021. Resilience and mental health in children and
adolescents: an update of the recent literature and future directions. Curr Opin
Psychiatry. 2021 Nov; 34(6): 586–592. doi: 10.1097/YCO.0000000000000741.
10. Kemenkes. 2020. Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Jiwa di Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
11. Latipun. 2019. Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan. Malang: UMM Press.
12. ACOG. 2017. Mental Health Disorders in Adolescents. USA: The American College of
Obstetricians and Gynecologists Committee Opinion No. 705.
13. Santre S. 2022. Mental Health Promotion in Adolescents. Journal of Indian Association
for Child and Adolescent Mental Health;18(2):122-127.
doi:10.1177/09731342221120709.
14. Petersen I & Lund C. 2013. Chapter 3: Mental health promotion in developing contexts.
In: Knifton L & Quinn N. Public Mental Health: Global Perspectives. New York:
McGraw-Hill Open University Press.
15. Castillo EG, Ijadi-Maghsoodi R, Shadravan S, et al. 2019. Community Interventions to
Promote Mental Health and Social Equity. Curr Psychiatry Rep. 2019; 21(5): 35. doi:
10.1007/s11920-019-1017-0.
16. Ford T & Finning K. 2020. Mental Health in Schools. In: Taylor E, et al. Mental Health
and Illness of Children and Adolescents. Singapore: Springer Nature Singapore Pte Ltd.
17. Filiz T. 2017. Universal, Selective and Indicated Prevention of Anxiety disorders in
adults: a Systematic Review. Master Thesis. Netherland: Faculty of Behavioral and
Management Science University of Twente.
18. Donsu JDT. 2016. Metodologi Penelitian Keperawatan. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
19. Yuandari E & Rahman RTA. 2017. “Metodologi Penelitian dan Statistik”. Bogor:
Penerbit IN MEDIA.
20. BPS. 2020. Cakung Dalam Angka Tahun 2020. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
21. Widyasari DC & Yuniardi MS. 2019. The Prevalence of Psychological Distress among
Adolescents: An Initial Study of Adolescents’ Mental Health in Malang, Indonesia.
Advances in Social Science, Education and Humanities Research (ASSEHR), volume 304.
22. McLean CP, Asnaani A, Litz BT & Hofmann SG. 2011. Gender differences in anxiety
disorders: Prevalence, course of illness, comorbidity and burden of illness. Journal of
Psychiatric Research, 45(8), 1027–1035.
https://doi.org/10.1016/j.jpsychires.2011.03.006.
23. Souza LDM, Ores L, Oliveira GT, Cruzeiro ALS, Silva RA, Pinheiro RT, & Horta BL.
2010. Ideação suicida na adolescência: Prevalência e fatores associados. Jornal
Brasileiro de Psiquiatria, 59(4), 286-292. doi: 10.1590/S0047- 20852010000400004.
24. Carvalho, P. D., Barros, M. V. G., Santos, C. M., Melo, E. N., Oliveira, N. K. R., &
Lima, R. A. (2011). Prevalência e fatores associados a indicadores negativos de saúde
mental em adolescentes estudantes do ensino médio em Pernambuco, Brasil. Revista
Brasileira de Saúde Materno-Infantil, 11(3), 227-238. doi: 10.1590/S1519-
38292011000300003.
25. Agnafors S, Barmark M & Sydsjö G. 2020. Mental health and academic performance:
a study on selection and causation efects from childhood to early adulthood. Social
Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 56(5), 857–866. Doi: 10.1007/s00127-020-
019345-5.
26. Halpern-Manners A, Schnabel L, Hernandez EM, Silberg JL & Eaves LJ. 2016. The
relationship between education and mental health: new evidence from a discordant twin
study. Soc Forces 95(1):107–131.
27. Van der Ende J, Verhulst FC & Tiemeier H. 2016. The bidirectional pathways between
internalizing and externalizing problems and academic performance from 6 to 18 years.
Dev Psychopathol 28(3):855–867.
28. Lok N, Bademli K & Canbaz M. 2017. Factors affecting adolescent mental health. New
Trends and Issues Proceedings on Humanities and Social Sciences. [Online]. 4(2), pp
31-36.
29. Ackard DM, Neumark-Sztainer D, Story M & Perry C. 2006. Parent–child connectedness
and behavioral and emotional health among adolescents. American Journal of Preventive
Medicine, 30(1), 59-66.
LAMPIRAN