Anda di halaman 1dari 11

Ringkasan Teori Psikoanalisa Sigmund Freud

Dosen Pengampu: Dr. Phill. Zarina Akbar, M. Psi., Psikolog

Oleh:
RIZMA FANILASARI
1113822029

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS PENDIDIKAN DASAR
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2022
A. Teori Psikoanalisa
Teori psikoanalisis merupakan teori yang berusaha untuk menjelaskan tentang
hakikat dan perkembangan kepribadian manusia. Unsur-unsur yang diutamakan dalam
teori ini adalah motivasi, emosi dan aspek-aspek internal lainnya. Teori ini
mengasumsikan bahwa kepribadian berkembang ketika terjadi konflik-konflik dari aspek-
aspek psikologis tersebut, yang pada umumnya terjadi pada anak-anak atau usia dini.
Psikoanalisis memiliki banyak hal untuk ditawarkan kepada pendidikan. Hubungan di
antara mereka seperti sebuah perkawinan di mana kedua pasangan sadar akan kebutuhan
bersama mereka, tapi tidak terlalu mengerti satu sama lain dan karena juga tidak mengerti
akan namanya menyatu. Jadi tujuantujuan pendidikan yang dinyatakan berdasarkan
analisis psikoanalisis adalah memberi tuntunan bagi pendidik dan anak didik tentang apa
yang hendak dicapai, kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan, dan tentang kemajuan
yang dicapai oleh anak didik. Teori psikoanalisis adalah teori yang berusaha menjelaskan
hakikat dan perkembangan kepribadian.
Pada perkembangannya teori psikoanalisis banyak diimplementasikan dalam dunia
pendidikan. Beberapa di antaranya diurai pada jabaran berikut ini. Pertama, berbicara
tentang konsep kecemasan yang dikemukakan oleh Freud, tentu saja berkaitan pula
dengan proses pendidikan. Kecemasan merupakan fungsi ego untuk memperingatkan
individu tentang kemungkinan suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang
sesuai. Dalam pendidikan, konsep kecemasan pada tiap individu dapat diolah dan
dikembangkan oleh para pengajar/konselor demi kebaikan peserta didik. Dengan kosep
ini pula, peserta didik dibantu untuk menghargai diri dan oran lain serta lingkungannya.
Dengan kata lain, konsep kecemasan diarahkan ke pendidikan ranah afektif atau
karakternya. Kedua, dalam ranah yang lebih luas, teori psikoanalisis juga digunakan pada
proses pendidikan yang berbasis kecerdasan majemuk. Setiap individu memiliki
kecerdasan yang berbeda-beda. Tidak akan ada dua pribadi berbeda walaupun anak
kembar memiliki kecerdasan yang sama. Kecerdasan bukanlah berpatokan pada angka-
angka yang berkaitan dengan IQ. Menurut Garner, ada beberapa kecerdasan yang ada
pada manusia, yaitu kecerdasan matematik, linguistik, kinestetik, visual-spasial, musik,
intra-personal, inter-personal, naturalistik, dan eksistensial. Sebuah pendidikan
seharusnya menjembatani setiap kecerdasan yang dimiliki oleh peserta didik.
Mengembangkan bakat dan minat sesuai dengan kebutuhannya tentu sejalan dengan teori
Freud yang menyebut bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki keinginan dan
kebutuhan dasar.
Ketiga, konsep psikoanalisis yang menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk
yang memiliki kebutuhan dan keinginan dasar. Dengan konsep ini, pengajar dapat
mengimplementasikannya ke dunia pendidikan. Berbagai elemen dalam pendidikan dapat
dikembangkan dengan berbasis pada konsep ini. Kurikulum atau perangkat pembelajaran
misalnya, pendidik harus melakukan berbagai analisis kebutuhan dan tujuan agar apa
yang diajarkannya nanti sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan peserta didik. Hal
ini sudah lumrah digunakan dalam berbagai proses pendidikan dan penelitian
pengembangan. Keempat, berkaitan dengan agresivitas siswa, seorang pendidik harus
mampu mengontrol dan mengatur sikap ini agar terarah menjadi lebih positif. Agresivitas
dalam ilmu psikologi merupakan wahana bagi siswa untuk memuaskan keinginannya
yang cenderung ke arah merusak, mengganggu, atau menyakiti orang lain. Dengan kata
lain agresivitas merupakan ungkapan perasaan frustasi yang tidak tepat. Dalam hal ini,
penyebab munculnya tindakan agresivitas dapat berupa penilaian negatif atau kata-kata
yang menyakitkan. Jika siswa melakukan kesalahan, tidak selayaknya dihukum dengan
kata-kata kasar atau hukuman lain yang justru akan melukai secara psikologis.
Treatment-nya terhadap kasus ini dapat dilakukan dengan penjajakan secara personal,
memberi sugesti dan wejangan, tidak memberi hukuman tetapi memberi semacam
kebebasan dalam bertanggung jawab, dan membantunya dalam berinteraksi dengan
lingkungan sekitar.
Unsur-unsur yang diutamakan dalam teori ini adalah motivasi, emosi dan aspek-
aspek internal lainnya. Teori ini mengasumsikan bahwa kepribadian berkembang ketika
terjadi konflik-konflik dari aspek-aspek psikologis tersebut, yang pada umumnya terjadi
pada anak-anak atau usia dini. Pemahanan Freud tentang kepribadian manusia didasarkan
pada pengalaman-pengalaman dengan pasiennya, analisis tentang mimpinya, dan
bacaannya yang luas tentang beragam literatur ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.
Pengalaman-pengalaman ini menyediakan data yang mendasar bagi evolusi teorinya.
Baginya, teori mengikuti mengikuti observasi dan konsepnya tentang kepribadian terus
mengalami revisi selama 50 tahun terakhir hidupnya. Meskipun teorinya berevolusi,
Freud menegaskan bahwa psikoanalisis tidak boleh jatuh ke dalam elektisisme, dan
murid-muridnya yang menyimpang dari ide-ide dasar ini segera akan dikucilkan secara
pribadi dan profesional oleh Freud. Freud menganggap dirinya sebagai ilmuan. Namun,
definisinya tentang ilmu agak berbeda dari yang dianut kebanyakan psikolog saat ini.
Freud lebih mengandalkan penalaran deduktif ketimbang metode riset yang ketat, dan ia
melakukan observasi secara subjektif dengan jumlah sampel yang relatif kecil. Dia
menggunakan pendekatan studi-studi kasus hampir secara secara ekslusif, merumuskan
secara khas hipotesis-hipotesis terhadap fakta-fakta kasus yang diketahuinya.
Pemikiran Freud membagi 3 level kesadaran yaitu :
a. Sadar (conscious)
Sebagai penghubung dengan kehidupan sehari termasuk pengalaman dan
persepsi yang mana kita sadar terhadap kejadian tertentu. Menurut Freud hanya
sebagian kecil saja dari kehidupan mental (fikiran, persepsi, perasaan, dan ingatan)
yang masuk ke kesadaran (consciousness)
b. Prasadar (preconscious)
Terdiri dari memori-memori yang tidak hanya ada di kesadaran namun dapat
dengan mudah dibangkitkan ke kesadaran. Isinya dapat muncul ke kesadaran dan
dikembalikan ke tidaksadaran bila dibutuhkan. Pengalaman yang ditinggal oleh
perhatian, semula disadari  tetapi kemudian tidak lagi dicermati, akan ditekan pindah
ke daerah prasadar.
c. Tak sadar (unconscious)
Menyimpan motif-motif instingtual yang primitif dan memori serta emosi yang
sangat tenang. Taksadar adalah bagian paling dalam dari struktur kesadaran dan
menurut Freud bagian terpenting dari jiwa manusia. Freud membuktikan bahwa
ketidaksadaran bukanlah abstraksi hipotetik tetapi itu adalah kenyataan empirik.

Struktur kepribadian terdiri dari:

a. Id (Das Es)
Id adalah sistem kepribadian yang orisinil. Kepribadian setiap orang hanya
terdiri dari id ketika dilahirkan. Id merupakan tempat bersemayam naluri-naluri.
Seperti kawah yang terus mendidih dan bergejolak, id tidak dapat mentoleransi
ketegangan, dan senantiasa bekerja untuk melepaskan ketegangan itu sesegera
mungkin. Orientasi id adalah selalu pada kesenangan dan menghindarkan pada
kesakitan. Dengan kata lain, id bersifat tidak sadar dan selalu berusaha untuk
memuaskan kebutuhan-kebutuhan naluriah sesuai dengan asas kesenangan. Id tidak
pernah matang dan selalu menjadi “anak manja” dalam struktur kepribadian.
b. Ego (Das Ich)
Ego ditafsirkan sebagai hasrat untuk memanuhi nafsu. Hanya saja telah ada
kontrol dari manusia itu sendiri. Sudah ada pertimbangan, dan telah memikirkan
akibat dari yang telah dilakukannya. Dengan diatur oleh asas kenyataan, ego berlaku
realistis dan berpikir logis serta merumuskan rencana-rencana tindakan bagi
pemuasan kebutuhan. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa hubungan id dan ego
adalah ego merupakan tempat bersemayam intelegensi dan rasionalitas yang
mengawasi dan mengendalikan id. Sementara id hanya mengenal kenyataan
subjektif.
c. Superego (Das Uber Ich)
Superego adalah cabang moral atau hukum kepribadian atau lebih sering disebut
dengan “hati nurani”. Pembentukan dan perkembangan superego sangat ditentukan
oleh pengarahan atau bimbingan lingkungan sejak usia dini. Superego memberikan
kode moral kepada individu dalam menentukan baik-buruk, benar-salah. Superego
merepresentasikan hal-hal yang ideal dan mendorong kepada kesempurnaan bukan
pada kesenangan (Corey, 2005; 15). Superego merepresentasikan pada nilai-nilai
tradisional dan ideal-ideal masyarakat yang diajarkan orangtua kepada anak.
Superego berfungsi menghambat impuls-impuls id. Superego berkaitan dengan
imbalan-imbalan dan hukuman. Imbalan merupakan perasaan-perasaan bangga dan
mencintai diri, sedangkan hukuman merupakan perasaan-perasaan berdosa dan
rendah diri.

B. Tahap Perkembangan Kepribadian


Menurut Freud dinamika kepribadian didasarkan pada konversi energi, yang mana
disini dinyatakan bahwa energi dapat berubah dari energi fisiologis pada energi psikis
ataupun sebaliknya. Energi psikis adalah energi yang digunakan dalam kegiatan
psikologis, seperti berfikir. Penghubung antara kedua energi (energi fisiologis dan energi
psikologis) adalah id dan instink-instinknya. Dinamika kepribadian terkait dengan proses
pemuasan instink, pendistribusian energi psikik dan dampak dai ketidak mampuan ego
untuk mereduksi ketegangan pada berinteraksi dengan dunia luar yaitu kecemasan.
 Naluri manusia (instink). Instink merupakan kumpulan hasrat atau keinginan
(wishes). Instink mempunyai empat macam karakteristik, yaitu: (a) sumber (source):
kondisi rangsangan jasamaniah atau needs, (b) tujuan (aim): menghilangkan
rangsangan jasmaniah atau mereduksi tegangan, sehingga mencapai kesenangan dan
terhindar dari rasa sakit, (c) objek (object): meliputi benda atau keadaan yang berada
di lingkungan yang dapat memuaskan kebutuhan, termasuk kegiatan untuk
memperoleh objek tersebut, seperti belanja atau memasak makanan dan (d)
pendorong/penggerak (impetus): kekuatan yang bergantung kepada intensitas (besar-
kecilnya) kebutuhan. Freud melihat naluri sebagai historis yang diperoleh dan
bersifat konservatif. Dia percaya bahwa naluri adalah dorongan bawaan untuk
memulihkan keadaan sebelumnya hal, bahwa mereka somatik atau kebutuhan
biologis pikiran.
 Freud mengklasifikasikan instink ke dalam dua kelompok yaitu :
a. Instink hidup (life instink: eros). Instink hidup merupakan motif dasar manusia
yang mendorongnya untuk bertingkah laku secara positif atau konstruktif. Energi
yang bertanggungjawab bagi instink hidup adalah libido. Libido ini bersumber
dari erogenetic zones yaitu bagian-bagian tubuh yang sangat peka terhadap
rangsangan (seperti bibir, dubur dan organ seks) yang apabila dimanipulasi
tertentu akan menimbulkan rasa kenikmatan. Dalam pandangan Freud, naluri
seksual adalah unik di antara naluri dalam bahwa mereka adalah satu-satunya
orang yang tidak mencoba untuk memulihkan keadaan sebelumnya.
b. Instink mati (death instink: thanatos). Instink ini merupakan motif dasar manusia
yang mendorongnya untuk bertingkah laku yang bersifat negatif atau destruktif.
Thanatos adalah sekelompok insting mati yang menentang upaya Eros dan,
"memimpin apa yang hidup kembali ke negara anorganik" (ibid). Freud
meyakini bahwa manusia dilahirkan dengan membawa dorongan untuk mati
(keadaan tak bernyawa = inanimate state). Pendapat ini didasarkan kepada
prinsip konstansi yaitu bahwa semua proses kehidupan itu cenderung kembali
kepada dunia yang anorganis. Kenyataan manusia akhirnya mati, oleh karena itu
tujuan hidup adalah mati. Derivatif dari instink ini adalah tingkah laku agresif,
baik secara verbal (seperti berkelahi, memebunuh atau bunuh diri dan memukul
orang lain). Bagi Freud, evolusi peradaban manusia mewakili perjuangan antara
hidup dan mati naluri seperti manusia. Dia menyimpulkan ini dengan sebuah
kutipan dari Plautus; Homo Homini Lupus (manusia adalah serigala bagi
manusia).

Freud menegaskan bahwa pada manusia terdapat lima fase perkembangan kepribadian, ke
lima fase tersebut adalah sebagai berikut:

c. Fase Oral (usia 0 – 10 tahun)


Berlangsung dari usia 0 sampai dengan 18 bulan, titik kenikmatan terletak pada
mulut, dimana aktivitas paling utama adalah menghisap dan menggigit. Hal ini
merupakan tingkah laku yang menimbulkan kesenangan atau kepuasaan. Menurut
Freud objek yang paling pertama mendatangkan kesenangan dan kepuasan adalah
buah dada ibu atau botol susu. Tugas perkembangan pokok dari seorang bayi selama
fase oral ini adalah membentuk sikap ketergantungan dan kepercayaan pada orang
lain. Freud yakin bahwa individu, yang fase oralnya memperoleh perangsang oral
yang berlebihan atau sangat kekurangan di masa dewasanya akan memiliki
kepribadian oralpassive, dengan ciri-ciri karakter seperti pennurut, pasif, kurang
matang, dan dependen. Pada fase oral kedua (oral-aggressive atau oral-sadistic)
ketika seorang bayi sudah memiliki gigi, menggigit dan mengunyah memiliki arti
penting dalam mengungkapkan frustasi yang disebabkan ketidak hadiran ibu atau
tidak adanya objek pemuas kebutuhannya. Dan apabila individu mengalami fiksasi
atau terpaku pada fase oral sadistic maka masa dewasanya akan memiliki karakter
sarkastis, pesimis, dan sinis terhadap yang ada disekitarnya dan memiliki
kecederungan mendominasi da mengeksploitasi orang lain sepanjang upaya
memuaskan kebutuhan-kebutuhannya.
d. Fase Anal (usia 1 – 2/3 tahun)
Belangsung dari usia 18 sampai dengan 3-4 tahun, titik kenikmatannya terletak
pada anus. Yaitu seperti menahan faeces (kotoran). Memegang dan melakukan
sesuatu adalah aktivitas yang paling dinikmati. Pada fase ini juga anak sudah mulai
diperkenalkan kepada aturan-aturan kebersihan oleh orang tuanya memalui atau
latihan mengenai bagaimana dan dimana seharusnya seorang anak membuang
kotorannya.
e. Fase Phallic ( usia 2/3 – 5/6 tahun)
Berlangsung antara 3 sampai 5 tahun, 6 atau 7 tahun. Titik kenikmatan di tahap
ini adalah alat kelamin, sementara aktivitas paling nikmatnya adalah masturbasi.
Dengan maksud memperoleh kepuasan. Kata Freud, si anak secara tak sadar
memiliki keinginan memiliki orang tua yang berlawan jenis dengan dia, dan pada
saat yang sama memandang orang tua yang berjenis kelamin yang sama dengan dia
sebagai saingannya.Pada masa phallic, anak-anak juga menemukan bahwa anak laki-
laki memiliki kelebihan pada alat kelamin sedangkan anak perempuan tidak memiliki
kelebihan seperti anak laki-laki, ini menimbulkan rasa iri hati (penis envy) pada anak
perempuan. Sementara itu pada anak laki-laki memiliki rasa ketakutan, yaitu rasa
takut di kebiri oleh ayahnya.
f. Fase Laten ( usia 5/6 – 12/13 tahun)
Berlangsung dari usia 5, 6 atau 7 sampai usia pubertas (sekitar usia 12 tahun).
Dalam tahap ini, Freud yakin bahwa rangsangan-rangsangan seksual ditekan
sedemikian rupa demi proses belajar. Di zaman Freud anak-anak usia ini, yang
terlihat tenang dan biasabiasa saja secara seksual, mungkin saja menghabiskan
seperempat waktunya untuk masturbasi da main dokter-dokteran dengan lawan
jenisnya. Kita tahu bahwa zaman Freud adalah zaman yang merepresi wacana
seksual, maka tidak hera perkembangan seksualitas anak-anak lebih lambat dari
perkembangan yang dialami anak zaman sekarang. Dengan berakhirnya fase phallic,
anak akan memasuki tahap ini yaitu fase phallic (masa tenang). Pada fase ini sampai
pubertas aktivitas seksual berkurang, dan energi libidal disalurkan ke dalam
aktivitas-aktivitas yang lain seperti belajar, olahraga, atau berteman dsb. Periode ini
bisa dilihat sebagai periode persiapan bagi perkembanan psikoseksual fase
berikutnya, serta pada periode ini anak mulai melakukan perbandingan seksual.
g. Fase Genital
Dimulai pada usia pubertas, ketika dorongan seksual sangat terlihat jelas pada
diri remaja, khususya yang tertuju pada kenikmatan hubungan seksual. Masturbasi,
seks oral, homoseksual dan kecenderugan-kecenderungan seksual lain yang kita
anggap ‚biasa’ saat ini, tidak dianggap Freud sebagai seksualitas yang normal.
Dengan memasuki masa pubertas yang juga merupakan awal dimulainya fase genital,
individu mengalami kebangkitan atau peningkatan dalam dorongan seksual dan
mulai menaruh perhatian terhadap lawan jenis. Peningkatan dorongan seksual ini
merupakan akibat dari adanya perubahan biokimia dan fisiologis, yakni menjadi
matangnya organ-organ reproduksi dan sistem endokrin mulai menjalankan
fungsinya mengeluarkan hormon-hormon yang kemudian menghasilkan ciri-ciri seks
sekunder.
Dalam teori psikoanalisis, karater genital mengiktisarkan tipe ideal dari
kepribadian, yakni terdapat pada orang yang mampu mengembangkan relasi seksual
yang matang dan bertanggungjawab, serta mempu memperoleh kepuasan dari
pasangan heteroseksual. Untuk mencapai karakter genital ini, individu haruslah
bebas dari ketidakpuasan dan hambatan masa kanak-kanak awal. Namun apabila
individu mengalami pengalaman traumatik di masa kanak-kanak awalnya atau halhal
yang menghambat, maka penyesuaian yang memadai selama fase genital ini akan
sulit.
C. Implementasi Psikoanalisis dalam Bidang Pendidikan
Teori psikoanalisis dalam dunia pendidikan:
Pendidikan dalam hal psikoanalisis memiliki pengertian yang sangat luas,
menunjuk kepada semua tindakan yang diterapkan oleh orang dewasa, ahli atau non-
pakar, guru dan orang tua, untuk membentuk dan mempengaruhi perilaku anak (peserta
didik) yang sedang tumbuh dengan cara yang diinginkan. Kata pendidikan juga akan
digunakan untuk menunjuk prinsip-prinsip yang menjadi dasar tindakan perlindungan
terhadap sikap peserta didik. "Psikoanalisis" seperti yang digunakan di sini mengacu pada
kumpulan proposisi dan bukan pada teknik terapeutik atau metode pengamatan dari mana
proposisi tersebut diturunkan (Kris: 620). Secara umum tujuan pendidikan nasional
adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani
dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.
Dengan adanya pendidikan, maka akan timbul dalam diri seseorang untuk
berlomba-lomba dan memotivasi diri kita untuk lebih baik dalam segala aspek kehidupan.
Pendidikan merupakan salah satu syarat untuk lebih memajukan pemerintah ini, maka
usahakan pendidikan mulai dari tingkat SD sampai pendidikan di tingkat universitas.
Pada intinya pendidikan itu bertujuan untuk membentuk karakter seseorang yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun, pendidikan yang dimaksud bukan
hanya menekankan pada intelektual saja, dengan bukti bahwa adanya UN sebagai tolok
ukur keberhasilan pendidikan tanpa melihat proses pembentukan karakter dan budi
pekerti anak. Pendidikan di indonesia hanya dilihat pada sisi IQ saja padahal sisi EQ dan
SQ adalah yang terpenting. Kecerdasan intelektual (IQ) hanya memberi kontribusi 20
persen terhadap kesuksesan hidup seseorang.
Psikoanalisis memiliki banyak hal untuk ditawarkan kepada pendidikan. Hubungan
di antara mereka seperti sebuah perkawinan di mana kedua pasangan sadar akan
kebutuhan bersama mereka, tapi tidak terlalu mengerti satu sama lain dan karena juga
tidak mengerti akan namanya menyatu (Bettelheim, 1969:73). Jadi tujuan-tujuan
pendidikan yang dinyatakan berdasarkan analisis psikoanalisis adalah memberi tuntunan
bagi pendidik dan anak didik tentang apa yang hendak dicapai, kegiatan-kegiatan yang
mereka lakukan, dan tentang kemajuan yang dicapai oleh anak didik.

D. Kesimpulan
Dalam pendidikan, konsep psikoanalisis juga diaplikasikan ke dalamnya. Artinya,
Pendidikan juga perlu mempertimbangkan konsep-konsep psikoanalisis dalam
mengembangkan dan mendidik siswanya. Salah satunya dengan memperhatikan konsep
dari psikoanalisis yang menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki
keinginan dan kebutuhan dasar. Hal lain yang diterapkan dalam proses pendidikan adalah
dengan menggunakan berbagai pendekatan dalam proses bimbingan kepada para siswa.
Dibutuhkan pendekatan secara personal dalam menangani peserta didik yang memiliki
sikap agresif yang berlebihan. Hal lainnya juga terlihat dalam proses pendidikan inklusif
dan pendidikan kreatif. Kedua jenis pendidikan ini mengadopsi konsep-konsep
psikoanalisis dalam mengembangkan peserta didiknya.

Anda mungkin juga menyukai