Anda di halaman 1dari 60

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Ny. S
Tempat Tanggal Lahir : Sosok, 3 Maret 1955
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Dayak
Agama : Protestan
Alamat : Sosok
Masuk RS : 5 Maret 2020, 19.00 WIB

II. ANAMNESIS
(Autoanamnesis, 5 Maret 2020, 19.00 WIB)
Keluhan Utama : Badan Lemas
Keluhan Tambahan : Kepala Pusing, Mual

Riwayat Perjalanan Penyakit

Pasien datang ke IGD RSU Parindu pada tanggal 5 Maret


2020 pukul 19:00 dibawa keluarganya dengan keluhan badan lemas
sejak 3 hari yang lalu. Lemas yang diraskan muncul secara tiba tiba ,
Pasien mengatakan bahwa sehari makan sebanyak 3x sehari. Tetapi
jika sehabis makan masih terasa lapar. Keluarga pasien
mengatakan bahwa pasien sudah didagnosis dokter menderita DM
tipe 2 sejak 3 tahun dan hipertensi sejak 2 tahun yang lalu, dan
minum secara teratur. Pasien juga mengatakan sering minum
kemudian sering kencing. Selain itu pasien juga mengeluh kepala
terasa pusing dan sedikit mual tetepi tidak muntah tidak ada panas
BAB BAK masih lancar. Setelah pemeriksaan di IGD pasien
kemudian dirawat inap.

1
Riwayat Penyakit Dahulu
- Hipertensi dan DM sejak tahun 2018

Riwayat Penyakit Keluarga


- Hipertensi dan DM (orang tua yaitu ayah dan sudah meninggal)

Riwayat Sosial dan Kebiasaan


Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga, aktivitas keseharian pasien
lebih banyak dihabiskan untuk beristirahat. Biaya pengobatan
menggunakan BPJS.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum
- Kesadaran : Compos Mentis
- Nadi : 110 kali/ menit, isi dan tegangan cukup,
reguler
- Tekanan Darah : 169/79 mmHg
- Pernapasan : 48 kali/ menit
- Suhu : 37,6 oC
- Berat badan : 59 kg
- Tinggi badan : 155 cm

Keadaan Spesifik
Kulit
Turgor kulit normal
Kepala
Bentuk : Normosefali
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Mata tidak cekung, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik, refleks cahaya +/+, pupil bulat, isokor
Hidung : Sekret tidak ada, Nafas Cuping Hidung -/-
Telinga : Sekret tidak ada

2
Mulut : Mukosa mulut kering
Tenggorok : Dinding faring tidak hiperemis, T1-T1 tidak hiperemis
Leher : Perbesaran KGB tidak ada
Thorax
Paru-paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi -/-
Palpasi : Vokal Fremitus kanan = kiri (↑)
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Suara Nafas Vesikuler +/+ , Rhonki -/- , wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Pulsasi, iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : thrill tidak teraba
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi Jantung I-II reguler, murmur dan gallop tidak ada
Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Soepel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Lipat paha dan genitalia
Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada
Ekstremitas
Akral dingin tidak ada, edema tidak ada, sianosis tidak ada
Pemeriksaan Neurologis
Fungsi Motorik :
Tungkai Lengan
Pemeriksaan Kanan Kiri Kanan kiri
Gerakan Segala arah Segala arah Segala arah Segala arah
Kekuatan +5 +5 +5 +5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - - - -

3
Refleks
fisiologis +N +N +N +N
Refleks
patologis - - - -

Fungsi sensorik : Dalam batas normal


Fungsi nervi kraniales : Dalam batas normal
Rangsang meningeal : Kaku kuduk (-), Brudzinsky I, II (-),
Kernig sign (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Darah Rutin dan GDS (dilakukan pada tanggal, 05 Maret 2020)
Leukosit : 9,5 x 103/uL
Eritrosit : 4,65 x 106/ uL
Hb : 12 g/dL
Hematokrit : 38 %
Trombosit : 267 x 109/L
GDS : 285 mg/dL
- EKG
Normal Sinus Rythm
- Rontgen Thorax (dilakukan pada tanggal, 05 Maret 2020)
Kesan : Cor dan pulmo tidak ada kelainan

V. DIAGNOSIS

4
Diagnosis Utama : DM tipe 2
Diagnosis Sekunder : Hipertensi grade 2

VI. PENATALAKSANAAN
- Konsul Sp. PD
- Diet DM dan rendah garam
- Bedrest
- IVFD NaCl 20 tpm (mikro)
- Inj. Ranitidin 50mg/12 jam
- Inj. Ondansetron 4mg/12 jam
- Inj. Novorapid 3x4 U
- Captopril 3x25 mg
- Amlodipin 1x5 mg

VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

VIII. Follow Up

Tanggal / Perjalanan Penyakit Instruksi

5
Jam
06/03/2020 S: Lemas +, mual berkurang, pusing -, makan - Bedrest
07.00 dan minum biasa, BAB-BAK biasa - IVFD NaCl 20 tpm
O: KU: CM (mikro)
TD : 130/80 mmHg - Inj. Ranitidin 50mg/12
N: 84 x/menit RR: 20 x/menit
jam
S: 37 oC SpO2 : 95 %
- Inj. Ondansetron 4mg/12
Kepala : normosefali
Mata : KA-/-, SI -/- jam
Cor : BJ I-II reguler, murmur-, gallop – - Inj. Novorapid 3x4 U
Pulmo : SNV +/+, rhonki -/-, wheezing -/- - Captopril 3x25 mg
Abdomen : Supel, BU +, NT – - Amlodipin 1x5 mg
Ekstremitas : AH +/+, CRT <2 dtk

GDS : 150

A : DM tipe 2 dan Hipertensi

07/03/2020 S: Lemas berkurang, mual tidak ada, pusing -, - Bedrest


07.00 makan dan minum biasa, BAB-BAK biasa - IVFD NaCl 20 tpm
O: KU: CM (mikro)
TD : 140/80 mmHg - Inj. Ranitidin 50mg/12
N: 88 x/menit RR: 20 x/menit
jam
S: 37 C
o
SpO2 : 95 %
- Inj. Ondansetron 4mg/12
Kepala : normosefali
Mata : KA-/-, SI -/- jam
Cor : BJ I-II reguler, murmur-, gallop – - Inj. Novorapid 3x4 U
Pulmo : SNV +/+, rhonki -/-, wheezing -/- - Captopril 3x25 mg
Abdomen : Supel, BU +, NT – - Amlodipin 1x5 mg
Ekstremitas : AH +/+, CRT <2 dtk - Mecobalamin 2x500 mg

GDS : 140

A : DM tipe 2 dan Hipertensi

08/03/2020 S: Pasien sudah tidak ada keluhan -BLPL


07.00 O: KU: CM -Inj Novorapid 3x4 U
TD : 130/80 mmHg -Omeprazol 1x20 mg
N: 82 x/menit RR: 20 x/menit -Domperidon 3x10 mg
S: 37 C
o
SpO2 : 95 %
-Captopril 3x25 mg
Kepala : normosefali
-Amlodipin 1x5 mg
Mata : KA-/-, SI -/-
Cor : BJ I-II reguler, murmur-, gallop –
Pulmo : SNV +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

6
Abdomen : Supel, BU +, NT –
Ekstremitas : AH +/+, CRT <2 dtk

GDS : 120

A : DM tipe 2 dan Hipertensi

7
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes adalah penyakit kronis serius yang terjadi karena pankreas tidak
menghasilkan cukup insulin (hormon yang mengatur gula darah atau glukosa),
atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang
dihasilkannya. Jumlah kasus dan prevalensi diabetes terus meningkat selama
beberapa dekade terakhir. Secara global, diperkirakan 422 juta orang dewasa
hidup dengan diabetes pada tahun 2014, dibandingkan dengan 108 juta pada tahun
1980.1 Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, proporsi
penduduk ≥15 tahun dengan DM adalah 6,9%. Prevalensi penderita DM
berdasarkan wawancara (pernah didiagnosa dan ada gejala) mengalami
peningkatan dari 1,1% (tahun 2007) menjadi 2,1% (tahun 2013). Proporsi
penduduk umur ≥15 tahun dengan toleransi glukosa terganggu (TGT) mencapai
29,9%. Hal ini berarti akan semakin banyak penduduk yang berisiko tinggi untuk
menderita DM.2 Pada saat ini, jumlah usia lanjut (lansia, berumur >65 tahun) di
dunia diperkirakan mencapai 450 juta orang (7% dari seluruh penduduk dunia),
dan nilai ini diperkirakan akan terus meningkat. Sekitar 50% lansia mengalami
intoleransi glukosa dengan kadar gula darah puasa normal.15,16
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi Diabetes Melitus
maupun Gangguan Toleransi Glukosa (GTG) meningkat seiring dengan
pertambahan usia, menetap sebelum akhirnya menurun. Dari data WHO
didapatkan bahwa setelah mencapai usia 30 tahun, kadar glukosa darah akan naik
1-2 mg%/tahun pada saat puasa dan akan naik sebesar 5,6-13 mg%/tahun pada 2
jam setelah makan.15,17
Seiring dengan pertambahan usia, lansia mengalami kemunduran fisik dan
mental yang menimbulkan banyak konsekuensi. Selain itu, kaum lansia juga
mengalami masalah khusus yang memerlukan perhatian antara lain lebih rentan
terhadap komplikasi makrovaskular maupun mikrovaskular dari DM dan adanya
sindrom geriatri.15

BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes
mellitus adalah kelainan metabolisme heterogen yang ditandai dengan adanya
hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin, aksi insulin yang rusak atau
keduanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan
jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama
mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. Kriteria diagnostik untuk
diabetes didasarkan pada ambang glikemia yang berhubungan dengan
penyakit mikrovaskular, terutama retinopati.4

2.2 Epidemiologi DM
Secara global, diperkirakan 422 juta orang dewasa hidup dengan
diabetes pada tahun 2014, dibandingkan dengan 108 juta pada tahun 1980.
Prevalensi diabetes di dunia (dengan usia yang distandarisasi) telah meningkat
hampir dua kali lipat sejak tahun 1980, meningkat dari 4,7% menjadi 8,5%
pada populasi orang dewasa. Hal ini mencerminkan peningkatan faktor risiko
terkait seperti kelebihan berat badan atau obesitas. Selama beberapa dekade
terakhir, prevalensi diabetes meningkat lebih cepat di negara berpenghasilan
rendah dan menengah daripada di negara berpenghasilan tinggi. Diabetes
menyebabkan 1,5 juta kematian pada tahun 2012. Gula darah yang lebih tinggi
dari batas maksimum mengakibatkan tambahan 2,2 juta kematian, dengan
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan lainnya. Empat puluh tiga
persen (43%) dari 3,7 juta kematian ini terjadi sebelum usia 70 tahun.
Persentase kematian yang disebabkan oleh diabetes yang terjadi sebelum usia
70 tahun lebih tinggi di negara- negara berpenghasilan rendah dan menengah
daripada di negara-negara berpenghasilan tinggi.1
Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 oleh
Departemen Kesehatan, menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi DM di
daerah urban untuk usia di atas 15 tahun sebesar 5,7%. Prevalensi terkecil
terdapat di Propinsi Papua sebesar 1,7%, dan terbesar di Propinsi Maluku
Utara dan Kalimantan Barat yang mencapai 11,1%. Sedangkan prevalensi

2
toleransi glukosa terganggu (TGT), berkisar antara 4,0% di Propinsi Jambi
sampai 21,8% di Propinsi Papua Barat dengan rerata sebesar 10.2%.5
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, proporsi
penduduk ≥15 tahun dengan DM adalah 6,9%. Prevalensi penderita DM
berdasarkan wawancara (pernah didiagnosa dan ada gejala) mengalami
peningkatan dari 1,1% (tahun 2007) menjadi 2,1% (tahun 2013). Prevalensi
diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2,6%),
DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%).
Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter atau gejala, tertinggi terdapat di
Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan
Nusa Tenggara Timur 3,3 persen. Proporsi penduduk umur ≥15 tahun dengan
toleransi glukosa terganggu (TGT) mencapai 29,9%. Hal ini berarti akan
semakin banyak penduduk yang berisiko tinggi untuk menderita DM.2

2.3 Klasifikasi DM
Klasifikasi DM dibagi menjadi 4 tipe sebagai berikut6,7:
a. Diabetes tipe 1
Dulu dikenal sebagai tipe juvenile onset dan tipe dependen insulin;
namun, kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia. Insidens
diabetes tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapat
dibagi dalam dua subtype: (a) autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan
kerusakan sel-sel beta; dan (b) idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan
tidak diketahui sumbernya.
b. Diabetes tipe 2
Dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas dan tipe
nondependent insulin. Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relative sampai yang dominan defek sekresi
insulin disertai resistensi insulin.

c. Diabetes gestasional

3
Diabetes melitus gestasional adalah klasifikasi operasional
(daripada kondisi patofisiologis) yang mengidentifikasi wanita yang
menderita diabetes melitus selama kehamilan. Wanita yang menderita
diabetes mellitus tipe 1 selama kehamilan dan wanita dengan diabetes
mellitus asimptomatik tipe 2 yang tidak terdiagnosis yang ditemukan
selama kehamilan diklasifikasikan dengan Gestational Diabetes Mellitus
(GDM). Pada kebanyakan wanita yang mengembangkan GDM; gangguan
ini mulai muncul pada trimester ketiga kehamilan. Faktor risiko terjadinya
GDM adalah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga.
d. Tipe Khusus lainnya
1. Kelainan genetic dalam sel beta yang dikenali dengan MODY
2. Kelainan genetic pada kerja insulin, menyebabkan sindrom resistensi
insulin berat dan akantosis negrikans
3. Penyakit pada eksokrin pancreas menyebabkan pankreatitis kronik
4. Penyakit endokrin seperti sindrom cushing dan akromegali
5. Obat-obat yang bersifat toksik terhadap sel-sel beta
6. Infeksi

2.4 Patogenesis DM
Ada hubungan langsung antara hiperglikemia dan respons fisiologis &
perilaku. Setiap kali ada hiperglikemia, otak mengenalinya dan mengirim
pesan melalui impuls saraf ke pankreas dan organ lain untuk mengurangi
efeknya.8
2.4.1 Diabetes Tipe 1
DM tipe 1 ditandai oleh penghancuran sel-sel penghasil insulin secara
autoimun di pankreas oleh sel T CD4 + dan CD8 + dan makrofag
menginfiltrasi sel-sel islet. Berikut beberapa karakteristik diabetes tipe 1
sebagai suatu penyakit autoimun9:
a. Adanya sel-sel yang imunokompeten dan sel aksesori dalam sel islet
pankreas yang terinfiltrasi;

4
b. hubungan kerentanan terhadap penyakit dengan gen kelas II (respons
imun) dari kompleks histokompatibilitas utama (MHC; antigen leukosit
manusia HLA);
c. adanya antibody spesifik sel islet
d. Perubahan imunoregulasi yang dimediasi sel T, khususnya di
kompartemen sel T CD4 +;
e. Keterlibatan monokin dan sel TH1 yang memproduksi interleukin dalam
proses penyakit;
f. Respon terhadap imunoterapi dan;
g. Seringnya terjadi penyakit autoimun spesifik organ lainnya pada
seseorang yang terkena atau anggota keluarganya.
Destruksi sel β pankreas secara autoimun, menyebabkan defisiensi
sekresi insulin yang menyebabkan gangguan metabolisme yang
berhubungan dengan T1DM. Selain hilangnya sekresi insulin, fungsi sel α
pankreas juga abnormal dan ada sekresi glukagon yang berlebihan pada
pasien T1DM. Biasanya, hiperglikemia menyebabkan penurunan sekresi
glukagon, namun, pada pasien dengan T1DM, sekresi glukagon tidak
ditekan oleh hiperglikemia.10
Kadar glukagon yang meningkat secara tidak tepat dapat
memperburuk defek metabolik akibat defisiensi insulin. Meskipun defisiensi
insulin adalah defek utama pada T1DM, ada juga defek dalam pemberian
insulin. Kekurangan insulin menyebabkan lipolisis yang tidak terkontrol dan
peningkatan kadar asam lemak bebas dalam plasma, yang menekan
metabolisme glukosa dalam jaringan perifer seperti otot rangka. Ini
mengganggu penggunaan glukosa dan defisiensi insulin juga menurunkan
ekspresi sejumlah gen yang diperlukan untuk jaringan target untuk
merespons secara normal terhadap insulin seperti glukokinase dalam hati
dan kelas GLUT 4 transporter glukosa dalam jaringan adiposa. hal ini
menjelaskan bahwa gangguan metabolisme utama , yang diakibatkan oleh
defisiensi insulin pada T1DM adalah gangguan metabolisme glukosa, lipid
dan protein.

5
2.4.2 Diabetes Mellitus Tipe 2
Pada diabetes tipe 2, terdapat dua kelaianan patologis utama pada
diabetes tipe 2 yaitu gangguan sekresi insulin melalui disfungsi sel β
pankreas, dan gangguan aksi insulin melalui resistensi insulin. Dalam situasi
di mana resistensi terhadap insulin mendominasi, massa sel-B mengalami
transformasi yang mampu meningkatkan pasokan insulin dan
mengkompensasi permintaan yang berlebihan dan anomali. Secara absolut,
konsentrasi insulin plasma (baik puasa maupun stimulasi makan) biasanya
meningkat, meskipun “relatif” dengan tingkat keparahan resistensi insulin,
konsentrasi insulin plasma tidak cukup untuk mempertahankan homeostasis
glukosa normal.
Resistensi insulin dan hiperinsulinemia menyebabkan gangguan
toleransi glukosa kecuali untuk diabetes dengan onset maturitas muda
(MODY), cara pewarisan untuk diabetes mellitus tipe 2 tidak jelas. MODY,
diwariskan sebagai sifat dominan autosom, dapat terjadi akibat mutasi pada
gen glukokinase pada kromosom 7p. MODY didefinisikan sebagai
hiperglikemia yang didiagnosis sebelum usia dua puluh lima tahun dan dapat
diobati selama lebih dari lima tahun tanpa insulin dalam kasus di mana
antibodi sel islet (ICA) negative.
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2
Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih
berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta,
organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal
(defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal
(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya
ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa
pada DM tipe-2.
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot,
liver dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis
penderita DM tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya

6
sebagai the ominous octet. Secara garis besar patogenesis DM tipe-2
disebabkan oleh delapan hal (omnious octet) berikut11 :
1. Kegagalan sel beta pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah
sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh
liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja
melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.
3. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga
timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis
glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini
adalah metformin, dan tiazolidindion.
4. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas
(FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang
proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan
otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang
disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja
dijalur ini adalah tiazolidindion.
5. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin
ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan
GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga
gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan
defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut

7
incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya
bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja
DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim
alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang
kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah
setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-
glukosidase adalah akarbosa.
6. Sel Alpha Pancreas:
Sel alpha pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel alpha berfungsi dalam
sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma
akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal
meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang
menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon
meliputi GLP-1 agonis, DPP- 4 inhibitor dan amylin.
7. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM
tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh
persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran
SGLT-2 (Sodium Glucose co- Transporter) pada bagian convulated
tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran
SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada
glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen
SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat
penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan
dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2
inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
8. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang
obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang
merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan

8
ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang
juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis,
amylin dan bromokriptin.

Gambar 2.1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis
hiperglikemia pada DM tipe 2 (Ralph A. DeFronzo. From the Triumvirate to the
Ominous Octet: A New Paradigm for the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus.
Diabetes. 2009; 58: 773-795)

2.4.3 Resistensi Insulin


Resistensi terhadap aksi insulin akan mengakibatkan gangguan
pengambilan insulin yang dimediasi insulin di perifer (oleh otot dan lemak),
supresi yang inkomplit dari output glukosa hepatik dan gangguan
penyerapan trigliserida oleh lemak. Untuk mengatasi resistensi insulin, sel
islet akan meningkatkan jumlah insulin yang dikeluarkan. Produksi glukosa
endogen dipercepat pada pasien dengan diabetes tipe 2 atau gangguan
glukosa puasa. Karena peningkatan ini maka terjadi hiperinsulinemia,
setidaknya pada tahap penyakit awal dan menengah, resistensi insulin hati
adalah yang paling kuat mendorong terjadinya hiperglikemia diabetes tipe 2.
Penuaan, obesitas, konsumsi energi yang tidak mencukupi, minum alkohol,
merokok, dll adalah faktor risiko independen dari patogenesis diabetes tipe
2. Obesitas (terutama obesitas lemak visceral) karena kurangnya olahraga
disertai dengan penurunan massa otot, menginduksi resistensi insulin, dan
terkait erat dengan peningkatan pesat dalam jumlah pasien usia menengah
9
dan tinggi. Perubahan sumber energi makanan, terutama peningkatan asupan
lemak, penurunan asupan pati, peningkatan konsumsi gula sederhana, dan
penurunan asupan serat makanan, berkontribusi terhadap obesitas dan
menyebabkan gangguan toleransi glukosa.9

2.4.4 Patogenesis DM pada Usia Lanjut


Seiring dengan proses penuaan, semakin banyak lansia yang berisiko
terhadap terjadinya DM, sehingga sekarang dikenal istilah prediabetes.
Prediabetes merupakan kondisi tingginya gula darah puasa (gula darah
puasa 100-125mg/ dL) atau gangguan toleransi glukosa (kadar gula darah
140- 199mg/dL, 2 jam setelah pembebanan 75 g glukosa). Modifikasi gaya
hidup mencakup menjaga pola makan yang baik, olah raga dan penurunan
berat badan dapat memperlambat perkembangan prediabetes menjadi DM.
Bila kadar gula darah mencapai >200 mg/dL maka pasien ini masuk dalam
kelas Diabetes Melitus (DM).15 Gangguan metabolisme karbohidrat pada
lansia meliputi tiga hal yaitu resistensi insulin, hilangnya pelepasan insulin
fase pertama sehingga lonjakan awal insulin postprandial tidak terjadi pada
lansia dengan DM, peningkatan kadar glukosa postprandial dengan kadar
gula glukosa puasa normal. Di antara ketiga gangguan tersebut, yang paling
berperanan adalah resistensi insulin. Hal ini ditunjukkan dengan kadar
insulin plasma yang cukup tinggi pada 2 jam setelah pembebanan glukosa
75 gram dengan kadar glukosa yang tinggi pula.15,16,18
Timbulnya resistensi insulin pada lansia dapat disebabkan oleh 4
faktor15 perubahan komposisi tubuh: massa otot lebih sedikit dan jaringan
lemak lebih banyak, menurunnya aktivitas fisik sehingga terjadi penurunan
jumlah reseptor insulin yang siap berikatan dengan insulin, perubahan pola
makan lebih banyak makan karbohidrat akibat berkurangnya jumlah gigi
sehingga, perubahan neurohormonal (terutama insulin-like growth factor-1
(IGF-1) dan dehidroepiandosteron (DHEAS) plasma) sehingga terjadi
penurunan ambilan glukosa akibat menurunnya sensitivitas reseptor insulin
dan aksi insulin.

10
Selain gangguan metabolisme glukosa, pada DM juga terjadi
gangguan metabolisme lipid sehingga dapat terjadi peningkatan berat badan
sampai obesitas, dan bahkan dapat pula terjadi hipertensi. Bila ketiganya
terjadi pada seorang pasien, maka pasien tersebut dikatakan sebagai
mengalami sindrom metabolik.15

2.5 Manifestasi Klinis DM pada Usia Lanjut12


Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi
metabolic defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak
dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau
toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan
melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini
akan mengakibatkan diuresis osmotic yang meningkatkan pengeluaran urine
(poliura) dan timbul rasa haus (polydipsia). Karena glukosa hilang bersama
urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan
berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul
sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh Lelah dan mengantuk.
Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang
eksklosif dengan polydipsia, polyuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah,
somnolen yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu.
Tetapi, gejala klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan
penurunan berat badan tidak selalu tampak pada lansia penderita DM karena
seiring dengan meningkatnya usia terjadi kenaikan ambang batas ginjal untuk
glukosa sehingga glukosa baru dikeluarkan melalui urin bila glukosa darah
sudah cukup tinggi. Selain itu, karena mekanisme haus terganggu seiring
dengan penuaan, maka polidipsi pun tidak terjadi, sehingga lansia penderita
DM mudah mengalami dehidrasi hiperosmolar akibat hiperglikemia berat.19-22
DM pada lansia umumnya bersifat asimptomatik, kalaupun ada gejala,
seringkali berupa gejala tidak khas seperti kelemahan, letargi, perubahan
tingkah laku, menurunnya status kognitif atau kemampuan fungsional (antara
lain delirium, demensia, depresi, agitasi, mudah jatuh, dan inkontinensia urin).
Inilah yang menyebabkan diagnosis DM pada lansia seringkali agak

11
terlambat.19,20 Bahkan, DM pada lansia seringkali baru terdiagnosis setelah
timbul penyakit lain. Berikut ini adalah data M.V. Shestakova
(1999)mengenai manifestasi klinis pasien lansia sebelum diagnosis DM
ditegakkan.19

Tabel 2.1 Manifestasi Klinis Pasien Lansia Sebelum diagnosis DM

Di sisi lain, adanya penyakit akut (seperti infark miokard akut,


stroke, pneumonia, infeksi saluran kemih, trauma fisik/ psikis) dapat
meningkatkan kadar glukosa darah. Hal ini menyebabkan lansia yang
sebelumnya sudah mengalami toleransi glukosa darah terganggu (TGT)
meningkat lebih tinggi kadar gula darah sehingga mencapai kriteria
diagnosis DM. Tata laksana kondisi medis akut itu dapat membantu
mengatasi eksaserbasi intoleransi glukosa tersebut.19-21

2.6 Diagnosis DM pada Usia Lanjut


Diagnosis DM pada usia lanjut ditegakkan atas dasar pemeriksaan
kadar glukosa darah, sama seperti pemeriksaan DM pada umumnya.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar
adanya glukosuria.13

12
Pada usia 75 tahun, diperkirakan sekitar 20% lansia mengalami DM,
dan kurang lebih setengahnya tidak menyadari adanya penyakit ini. Oleh
sebab itu, American Diabetes Association (ADA) menganjurkan penapisan
(skrining) DM sebaiknya dilakukan terhadap orang yang berusia 45 tahun ke
atas dengan interval 3 tahun sekali. Interval ini dapat lebih pendek pada pasien
berisiko tinggi (terutama dengan hipertensi dan dislipidemia).16
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
a. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Tabel 2.2. Kriteria Diagnosis DM menurut American Diabetes Association


Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi
tidak ada asupan kalori minimal 8 jam
atau
Pemeriksaan glukosa plasma 200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl dengan keluhan klasik
Atau
Pemeriksaan HbA1c 6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohamoglobin Standarization Program
(NGSP)

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
a. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma
2-jam <140 mg/dl;

13
b. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -
jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100
mg/dl

c. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT


d. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Tabel 2.3 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan
prediabetes
HbA1c (%) Glukosa darah Glukosa plasma 2 jam
puasa (mg/dl) setelah TTG) (mg/dL)
Diabetes 6,5 126 mg/dL 200 mg/dL
Prediabetes 5,76,4 100-125 140-199
Normal <5,7 <100 <140

Tabel 2.4 Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):


1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan (dengan karbohidrat yang
cukup) dan melakukan kegiatan jasmani seperti kebiasaan sehari-hari.
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air
putih tanpa glukosa tetap diperbolehkan .
3. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa.
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak- anak),
dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit.
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai.
6. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa.
7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.

14
Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes
Melitus Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak
menunjukkan gejala klasik DM, yaitu:
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23

kg/m2) yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg
atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.
Catatan:
Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal
sebaiknya diulang setiap 3 tahun , kecuali pada kelompok prediabetes
pemeriksaan diulang tiap 1 tahun..

Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas


pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM.
Dalam hal ini harus diperhatikan adanya perbedaan hasil pemeriksaan glukosa
darah plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti pada tabel-6 di bawah ini.

15
Tabel 2.5. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM Belum pasti DM DM
100-199
Kadar glukosa Plasma vena <100 ≥ 200
darah sewaktu
(mg/dl) Darah kapiler <90 90-199 ≥ 200

100-125
Kadar glukosa Plasma vena <100 ≥126
darah puasa
(mg/dl) Darah kapiler <90 90-99 ≥100

Sebagaimana tes diagnostik lainnya, hasil tes terhadap DM perlu


diulang untuk menyingkirkan kesalahan laboratorium, kecuali diagnosis DM
dibuat berdasarkan keadaan klinis seperti pada pasien dengan gejala klasik
hiperglikemia atau krisis hiperglikemia. Tes yang sama dapat juga diulang
untuk kepentingan konformasi. Kadangkala ditemukan hasil tes pada seorang
pasien yang tidak bersesuaian (misalnya antara kadar gula darah puasa dan
HbA1C). Jika nilai dari kedua hasil tes tersebut melampaui ambang
diagnostik DM, maka pasien tersebut dapat dipastikan menderita DM.
Namun, jika terdapat ketidaksesuaian (diskordansi) pada hasil dari kedua tes
tersebut, maka tes yang melampaui ambang diagnostik untuk DM perlu
diulang kembali dan diagnosis dibuat berdasarkan hasil tes ulangan. Jika
seorang pasien memenuhi kriteria DM berdasarkan pemeriksaan HbA1C

16
(kedua hasil >6,5%), tetapi tidak memenuhi kriteria berdasarkan kadar gula
darah puasa (<126 mg/dL) atau sebaliknya, maka pasien tersebut dianggap
menderita DM.23

2.7 Tatalaksana DM 13
Target terapi DM yang dianjurkan adalah HbA1c <7,0% untuk lansia
dengan komorbiditas minimal dan <8,0% untuk lansia yang renta, harapan
hidup <5 tahun, dan lansia yang berisiko bila dilakukan kontrol gula darah
intensif risiko. Namun, rekomendasi target terapi ini tidak mutlak dan perlu
disesuaikan secara individual menurut tingkat disabilitas, angka harapan
hidup, dan kepatuhan pengobatan. Anjuran terapi DM yang banyak digunakan
saat ini adalah sebagaimana dianjurkan dalam guideline konsensus
ADAEASD untuk terapi DM tipe 2 (2008)10
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas
hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas
hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa
darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien
secara komprehensif.

2.7.1 Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum


Perlu dilakukan evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan
pertama, yang meliputi:
1. Riwayat Penyakit
a. Usia dan karakteristik saat onset diabetes.

17
b. Pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik, dan riwayat
perubahan berat badan.
c. Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda.
d. Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap,
termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh
tentang perawatan DM secara mandiri.
e. Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan,
perencanaan makan dan program latihan jasmani.
f. Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar
hiperglikemia, hipoglikemia).
g. Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan
traktus urogenital.
h. Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada ginjal,
mata, jantung dan pembuluh darah, kaki, saluran pencernaan, dll.
i. Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa
darah.
j. Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung
koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk
penyakit DM dan endokrin lain).
k. Riwayat penyakit dan pengobatan diluar DM.
l. Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status
ekonomi.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran tinggi dan berat badan.
b. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah
dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya
hipotensi ortostatik.
c. Pemeriksaan funduskopi.
d. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.
e. Pemeriksaan jantung.
f. Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.

18
g. Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi kelainan
vaskular, neuropati, dan adanya deformitas).
h. Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka,
hiperpigmentasi, necrobiosis diabeticorum, kulit kering, dan
bekas lokasi penyuntikan insulin).
i. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain.
3. Evaluasi Laboratorium
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2jam setelah TTGO.
b. Pemeriksaan kadar HbA1c
4. Penapisan Komplikasi
Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita
yang baru terdiagnosis DMT2 melalui pemeriksaan:
a. Profil lipid pada keadaan puasa: kolesterol total, High Density
Lipoprotein (HDL), Low Density Lipoprotein (LDL), dan trigliserida.
b. Tes fungsi hati
c. Tesfungsiginjal:Kreatininserumdanestimasi-GFR
d. Tesurinrutin
e. Albuminurinkuantitatif
f. Rasioalbumin-kreatininsewaktu.
g. Elektrokardiogram.
h. Foto Rontgen thoraks (bila ada indikasi: TBC, penyakit jantung
kongestif).
i. Pemeriksaan kaki secara komprehensif.

2.7.2 Langkah-langkah Penatalaksanaan Khusus


Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat
(terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi
farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan.
Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau
kombinasi. Pada keadaan emergensi dengan dekompensasi metabolik berat,
misalnya: ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat,
atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder

19
atau Tersier. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tersebut dapat dilakukan setelah
mendapat pelatihan khusus.
1. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan
sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat
penting dari pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi terdiri dari
materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi tingkat lanjutan.
a. Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
Primer.
b. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
Sekunder dan / atau Tersier,
2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2
secara komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang
lain serta pasien dan keluarganya). Guna mencapai sasaran terapi TNM
sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap penyandang DM.
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama
dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing
individu. Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai
pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori,
terutama pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi
insulin atau terapi insulin itu sendiri.
a. Komposisi Makanan yang Dianjurkan terdiri dari:
 Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Terutama karbohidrat yang berserat tinggi. Pembatasan karbohidrat
total <130 g/hari tidak dianjurkan. Glukosa dalam bumbu

20
diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama
dengan makanan keluarga yang lain.
Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi. Pemanis
alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake/ADI).
Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan
makanan selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori sehari.
 Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20- 25% kebutuhan kalori, dan
tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Komposisi
yang dianjurkan: lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori, lemak tidak
jenuh ganda < 10 %, dan selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu
fullcream. Konsumsi kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari.
 Protein
Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi. Sumber
protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu
dan tempe. Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan
asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan
energi, dengan 65% diantaranya bernilai biologik tinggi. Kecuali
pada penderita DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan
protein menjadi 1-1,2 g/kg BB perhari.
 Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan orang
sehat yaitu <2300 mg perhari. Penyandang DM yang juga menderita
hipertensi perlu dilakukan pengurangan natrium secara individual.
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan
bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.

21
 Serat
Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang-
kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi
serat. Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal
dari berbagai sumber bahan makanan.
 Pemanis Alternatif
Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas
aman (Accepted Daily Intake/ADI). Pemanis alternatif
dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.
Pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai
bagian dari kebutuhan kalori, seperti glukosa alkohol dan fruktosa.
Glukosa alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol,
sorbitol dan xylitol. Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada
penyandang DM karena dapat meningkatkan kadar LDL, namun
tidak ada alasan menghindari makanan seperti buah dan sayuran yang
mengandung fruktosa alami. Pemanis tak berkalori termasuk:
aspartam, sakarin, acesulfame potassium, sukralose, neotame.

Terapi diet untuk lansia dapat merupakan sebuah masalah tersendiri


karena adanya berbagai keterbatasan, antara lain berupa:25 keterbatasan
finansial, tidak mampu menyediakan bahan makanan karena masalah
transportasi/ mobilitas, tidak mampu menyiapkan makanan (terutama pada
lansia pria tanpa istri), keterbatasan dalam mengikuti instruksi diet karena
adanya gangguan fungsi kognitif, berkurangnya pengecapan karena
berkurangnya kepekaan dan jumlah reseptor pengecap, meningkatnya kejadian
konstipasi pada lansia. Total kalori dan komposisi makanan juga harus
diperhitungkan

3. Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang DM, antara lain dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal
yang besarnya 25-30 kal/kgBB ideal. Jumlah kebutuhan tersebut ditambah

22
atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu: jenis kelamin, umur,
aktivitas, berat badan, dan lain-lain. Beberapa cara perhitungan berat badan
ideal adalah sebagai berikut:
 Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca yang
dimodifikasi:
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di
bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi:
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB Normal: BB ideal ± 10 %
Kurus: kurang dari BBI - 10 %
Gemuk: lebih dari BBI + 10 %
 Perhitungan berat badan Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks massa
tubuh dapat rumus:

IMT = BB(kg)/TB (m2)


Klasifikasi IMT*
BB Kurang <18,5
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih ≥23,0 ; dengan risiko 23,0 – 24,9; Obes I 25,0-29,9;
Obes II 30.
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:
 Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori basal perhari untukperempuan sebesar 25 kal/kgBB
sedangkan untuk pria sebesar 30 kal/kgBB.
 Umur
Pasien usia diatas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk
setiap dekade antara 40 dan 59 tahun. Pasien usia diantara 60 dan 69
tahun, dikurangi 10%. Pasien usia diatas usia 70 tahun, dikurangi
20%.
 Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas
fisik. Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada
23
keadaan istirahat. Penambahan sejumlah 20% pada pasien dengan
aktivitas ringan: pegawai kantor, guru, ibu rumah tangga.
Penambahan sejumlah 30% pada aktivitas sedang: pegawai industri
ringan, mahasiswa, militer yang sedang tidak perang. Penambahan
sejumlah 40% pada aktivitas berat: petani, buruh, atlet, militer dalam
keadaan latihan. Penambahan sejumlah 50% pada aktivitas sangat
berat: tukang becak, tukang gali.
 Stres Metabolik
Penambahan 10-30% tergantung dari beratnya stress metabolik
(sepsis, operasi, trauma).
 Berat Badan
Penyandang DM yang gemuk, kebutuhan kalori dikurangi sekitar 20-
30% tergantung kepada tingkat kegemukan. Penyandang DM kurus,
kebutuhan kalori ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan
untuk meningkatkan BB. Jumlah kalori yang diberikan paling sedikit
1000-1200 kal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kal perhari untuk
pria. Secara umum, makanan siap saji dengan jumlah kalori yang
terhitung dan komposisi tersebut di atas, dibagi dalam 3 porsi besar
untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3
porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Tetapi pada kelompok
tertentu perubahan jadwal, jumlah dan jenis makanan dilakukan
sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang DM yang mengidap
penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit
penyerta.
4. Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan
DMT2 apabila tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-
hari dan latihan jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali
perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu.
Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan jasmani. Apabila
kadar glukosa darah <100 mg/dL pasien harus mengkonsumsi karbohidrat

24
terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan
jasmani. Kegiatan sehari-hari atau aktivitas sehari- hari bukan termasuk
dalam latihan jasmani meskipun dianjurkan untuk selalu aktif setiap hari.
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan
berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-
70% denyut jantung maksimal) seperti: jalan cepat, bersepeda santai,
jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara
mengurangi angka 220 dengan usia pasien.
Pada penderita DM tanpa kontraindikasi (contoh: osteoartritis,
hipertensi yang tidak terkontrol, retinopati, nefropati) dianjurkan juga
melakukan resistance training (latihan beban) 2-3 kali/perminggu (A)
sesuai dengan petunjuk dokter. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani. Intensitas latihan jasmani pada
penyandang DM yang relatif sehat bisa ditingkatkan, sedangkan pada
penyandang DM yang disertai komplikasi intesitas latihan perlu dikurangi
dan disesuaikan dengan masing-masing individu.

Berikut ini adalah pertimbangan manfaat-risiko olah raga pada lansia :


Tabel 2.6 Peran Olah Raga pada Lansia

Karena pada lansia, seringkali dijumpai juga penyakit penyerta


seperti osteoartritis, parkinson, gangguan penglihatan, dan gangguan
keseimbangan, maka olah raga sebaiknya dilakukan di lingkungan yang

25
memang dekat, dan jenis olah raga yang dilakukan lebih bersifat isotonik
daripada isometrik.25

2.7.3 Terapi Farmakologis


Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral
dan bentuk suntikan.
2.7.3.1 Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat anti- hiperglikemia oral dibagi
menjadi 5 golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
 Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah
hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan
sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang
tua, gangguan faal hati, dan ginjal).
Sulfonilurea dapat digunakan ketika ada keadaan yang
merupakan kontraindikasi untuk metformin, atau digunakan
sebagai dalam kombinasi dengan metformin jika gula darah target
belum tercapai. Sulfonilurea jenis apapun yang digunakan tunggal
menyebabkan penurunan HbA1C sebesar 1-2%.24,26
Mekanisme kerja utama sulfonilurea adalah meningkatkan
sekresi insulin sel β pankreas. Pada studi UKPDS, tampak tidak
ada perbedaan dalam hal efektivitas dan keamanan penggunaan
sulfonilurea (klorpropramid, glibenklamid, dan glipizid), tetapi
sulfoniliurea generasi kedua dengan masa kerja singkat lebih
dipilih untuk lansia dengan DM. Sedangkan klorpropramid dipilih
untuk tidak digunakan pada lansia karena masa kerja yang panjang,
efek antidiuretik, dan berhubungan dengan hipoglikemia
berkepanjangan. Di antara sulfonilrea generasi kedua, glipizid

26
mempunyai risiko hipoglikemia yang paling rendah sehingga
merupakan obat terpilih untuk lansia.26,31
Meskipun demikian, semua sulfonilurea dapat
menyebabkan hipoglikemia. Oleh karena itu, pemberiannya harus
dimulai dengan dosis yang rendah dan ditingkatkan secara bertahap
untuk mencapai gula darah target, sembari dilakukan pengawasan
untuk mencegah terjadinya efek samping.26,27
 Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat
asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi
secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia
post prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah
hipoglikemia.
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
 Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di
jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada
sebagian besar kasus DMT2. Dosis Metformin diturunkan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30- 60 ml/menit/1,73

m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan

sperti: GFR<30 mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat,


serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya
penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, PPOK,gagal jantung
[NYHA FC III-IV]). Efek samping yang mungkin berupa gangguan
saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.
Dalam konsensus ADA-EASD (2008), metformin
dianjurkan sebagai terapi obat lini pertama untuk semua pasien

27
DM tipe 2 kecuali pada mereka yang punya kon-traindikasi
terhadap metformin misalnya antara lain gangguan fungsi ginjal
(kreatinin serum >133 mmol/L atau 1,5 mg/dL pada pria dan >124
mmol/L atau 1,4 mg/dL pada wanita), gangguan fungsi hati, gagal
jantung kongestif, asidosis metabolik, dehidrasi, hipoksia dan
pengguna alkohol. Namun, karena kreatinin serum tidak
menggambarkan keadaan fungsi ginjal yang sebenarnya pada usia
sangat lanjut, maka metformin sama sekali tidak dianjurkan pada
lansia >80 tahun. Metformin bermanfaat terhadap sistem
kardiovaskular dan mempunyai risiko yang kecil terhadap kejadian
hipoglikemia.26,27
Meskipun demikian, penggunaan metformin pada lansia
dibatasi oleh adanya efek samping gastrointestinal berupa
anoreksia, mual, dan perasaan tidak nyaman pada perut (terjadi
pada 30% pasien). Untuk mengurangi kejadian efek samping ini,
dapat diberikan dosis awal 500 mg, kemudian ditingkatkan 500
mg/minggu untuk dapat mencapai kadar gula darah yang
diinginkan.26,27
Walaupun terapi awal dengan modifikasi gaya hidup dan
metformin pada mulanya efektif, hal yang terjadi secara alami pada
sebagian besar pasien DM tipe 2 adalah kecenderungan naiknya
gula darah seiring dengan berjalannya waktu dengan prevalensi 5-
10% per tahun. Sebuah studi UKPDS menyatakan bahwa 50%
pasien yang terkontrol dengan obat-obatan tunggal memerlukan
penambahan obat kedua setelah 3 tahun; dan setelah 9 tahun, 75%
pasien memerlukan terapi multipel untuk mencapai target HbA1C
<7%.28-30
Berikut ini adalah faktor yang turut memperburuk kontrol
gula darah tersebut.28
• Penurunan kepatuhan terhadap modifikasi gaya hidup
(diet, olah raga, dan usaha menurunkan berat badan) maupun
kepatuhan minum obat hipoglikemik

28
• Adanya penyakit lain atau mengkonsumsi obat-obatan
yang dapat meningkatkan resistensi insulin, mempengaruhi
pelepasan insulin, atau meningkatkan produksi glukosa hati. Hal
ini terutama berperanan pada lansia penderita DM yang umumnya
mengkonsumsi banyak obat.
• Progresivitas DM tipe 2 dapat berupa meningkatnya
resistensi insulin atau defek sekresi insulin.
Konsensus ADA dan EASD menganjurkan pemeriksaan
Konsensus ADA dan EASD menganjurkan pemeriksaan HbA1C
setiap 3 bulan serta penambahan obat kedua jika target terapi
HbA1C <7% tidak tercapai dengan modifikasi gaya hidup dan
metformin (lihat algoritma). Untuk dapat mencapai target HbA1C,
diperlukan target kadar gula darah puasa 70-130 mg/dl dan kadar
gula postprandial <180 mg/dL.28
Untuk pasien DM yang tidak gula darahnya tidak terkendali
dengan kombinasi modifikasi gaya hidup dan metformin, ada 4
golongan obat-obatan yang dapat diberikan menurut konsensus
ADA-EASD. Obat-obatan ini terdiri dari 2 golongan yaitu terapi
tingkat 1/langkah 2 yang terdiri dari sulfoniliurea dan insulin serta
terapi tingkat 2 yang terdiri dari tiazolidindion dan agonis
Glucagon Like Peptide-1/GLP1.29,30 Di antara semua obat ini,
sulfonilurea adalah yang paling cost-effective, sedangkan insulin
dianggap sebagai terapi yang paling efektif dalam mencapai target
gula darah. Namun, sulfonilurea dan insulin berhubungan dengan
risiko hipoglikemia dan peningkatan berat badan.29
 Tiazolidindion(TZD)
Tiazolidindion merupakan kelompok obat yang dapat
memperbaiki kontrol gula darah dengan meningkatkan kepekaan
jaringan perifer terhadap insulin. Penggunaan tiazolidindion
(pioglitazon dan rosiglitazon) sebagai monoterapi menyebabkan
penurunan HbA1C sebesar 0,5- 1,4%. Pada berbagai studi klinis

29
didapatkan bahwa kontrol gula darah dengan rosiglitazon lebih
lama dibandingkan dengan metformin.24,27,29,30
Tidak seperti obat DM lainnya, tiazolidindion memperbaiki
berbagai marker fungsi sel β pankreas yang antara lain ditunjukkan
dengan meningkatnya sekresi insulin selama 6 bulan. Namun, efek
ini hanya sementara, setelah 6 bulan terapi dengan tiazolidindion,
terjadi penurunan fungsi sel β pankreas.27,29
Di luar manfaat tersebut, tiazolidindion mempunyai
beberapa efek samping, antara lain peningkatan berat badan dan
edema yang terkait dengan risiko kardiovaskular. Studi
menunjukkan bahwa risiko gagal jantung meningkat sebesar 1,2-2
kali lipat pada penggunaan tiazolidindion dibandingkan obat
hipoglikemik lain. Gagal jantung terjadi pada median terapi selama
6 bulan, baik pada dosis tinggi maupun rendah, dan ini terutama
terjadi pada lansia.27,29
Baik pioglitazon maupun rosiglitazon berisiko
menimbulkan gagal jantung. Bahkan rosiglitazon juga berisiko
memicu kejadian iskemia miokard (peningkatan risiko relative
40%) sehingga konsensus ADA/EASD (2008) tidak menganjurkan
rosiglitazon untuk terapi DM tipe 2. Berbeda dengan rosiglitazon,
pioglitazon dapat mengurangi kejadian kardiovaskular karena
pioglitazon dapat memperbaiki profil lipid aterogenik.29
Efek samping lain dari tiazolidindion adalah meningkatnya
risiko fraktur >2 kali lipat, terutama pada panggul. Efek samping
ini dapat terjadi setelah penggunaan tiazolidindion 12-18 bulan.
Risiko fraktur ini sama baik dengan dosis tinggi maupun rendah,
pada pasien lansia maupun nonlansia, dan pada pria maupun
wanita.29
c. Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam
usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa
darah sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan

30
pada keadaan: GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat,
irritable bowel syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi berupa
bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan
flatus. Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan
dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase- IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim
DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam
konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk
meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon
bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat
golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin.
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co- transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli
distal ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa
SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin,
Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja
mendapat approvable letter dari Badan POM RI pada bulan Mei 2015.

Tabel 2.7 Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia


Golongan Cara Kerja Utama Efek Samping Penurunan
Obat Utama HbA1c
Sulfonilurea Meningkatkan sekresi insulin BB naik 1,0-2,0%
hipoglikemia
Glinid Meningkatkan sekresi insulin BB naik 0,5-1,5%
hipoglikemia
Metformin Menekan produksi glukosa Dispepsia, diare, 1,0-2,0%
hati & menambah sensitifitas asidosis laktat
terhadap insulin
Penghambat Menghambat absorpsi Flatulen, tinja 0,5-0,8%
Alfa- glukosa lembek

31
Glukosidase
Tiazolidindion Menambah sensitifitas Edema 0,5-1,4%
terhadap insulin
Penghambat Meningkatkan sekresi Sebah, muntah 0,5-0,8%
DPP-IV insulin, menghambat sekresi
glukagon
Penghambat Menghambat penyerapan Dehidrasi, infeksi 0,8-1,0%
SGLT-2 kembali glukosa di tubuli saluran kemih
distal ginjal

Tabel 2.8 Obat Hiperglikemia Oral


Dosi Lama Frek/
Golongan Generik Nama Dagang mg / tab s Kerja hari Waktu
Haria (jam)
n
(mg)
Condiabet 5
Glidanil 5
Glibenclamide Harmida 2,5-5 2,5-20 12-24 1-2
Renabetic 5
Daonil 5
Gluconic 5
Padonil 5
Glipizide Glucotrol-XL 5-10 5-20 12-16 1
Diamicron 30-60 30-120 24 1
MR
Diamicron
Glucored

32
Gliclazide Linodiab
Pedab 80 40-320 10-20 1-2
Glikamel Sebelum
Sulphonylrea Glukolos makan
Meltika
Glicab
Gliquidone Glurenorm 30 15-120 6-8 1-3
Actaryl 1-2-3-4
Amaryl 1-2-3-4
Diaglime 1-2-3-4
Gluvas 1-2-3-4
Metrix 1-2-3-4
Pimaryl 2-3
Glimepiride Simryl 2-3 1-8 24 1

Versibet 1-2-3
Amadiab 1-2-3-4
Anpiride 1-2-3-4
Glimetic 2
Mapryl 1-2
Paride 1-2
Relide 2-4
Velacom 2 2-3
/Velacom 3
Glinide Repaglinide Dexanorm 0,5-1-2 1-16 4 2-4
Nateglinide Starlix 60-120 180-360 4 3
Actos 15-30 Tidak
Thiazolidinedi Pioglitazone Gliabetes 30 15-45 24 1 ber-
one Prabetic 15-30 gantung
Deculin 15-30 jadwal
Pionix 15-30 makan
Penghambat Acrios Bersama
Alfa- Acarbose Glubose 50-100 100-300 3 suapan
Glukosidase Eclid pertama
Glucobay

33
Adecco 500
Efomet 500-850 Bersama
Biguanide Metformin Formell 500-850 500- 6-8 1-3 /sesudah
Gludepatic 500 3000 makan
Gradiab 500-850
Metphar 500
Zendiab 500
Diafac 500
Forbetes 500-850
Glucophage 500-850-
1000
Glucotika 500-850
Glufor 500-850
Glunor 500-850
Heskopaq 500-850
Nevox 500
Glumin 500
Glucophage 500-750
Metformin XR 500- 24 1-2
XR Glumin XR 2000
Glunor XR 500
Nevox XR
Vildagliptin Galvus 50 50-100 12-24 1-2 Tidak
Penghambat Sitagliptin Januvia 25-50- 25-100 ber-
DPP-IV 100 24 1 gantung
Saxagliptin Onglyza 5 5 jadwal
Linagliptin Trajenta makan
Tidak
Penghambat Dapagliflozin Forxigra 5-10 5-10 24 1 ber-
SGLT-2 gantung
jadwal
makan
Glibenclamide 1,25/250
+ Metformin Glucovance 2,5/500 12-24 1-2

34
5/500
Glimepiride+ Amaryl M 1/250 1-2
Metformin 2/500
15/500
Pionix-M 15/850 18-24 1-2
Pioglitazone +
Metformin Actosmet 15/850 Menga 1-2
Sitagliptin + 50/500 tur
Obat Metformin Janumet 50/850 dosis 2 Bersama
kombinasi 50/1000 mak- /sesudah
tetap Vildagliptin + 50/500 simum makan
Metformin Galvusmet 50/850 masin 12-24 2
50/1000 g-

Saxagliptin + Kombiglyze masin


Metformin XR 5/500 g 1
Linagliptin + Trajenta Duo 2,5/500 kom-

Metformin 2,5/850 ponen 2


2,5/1000

2.7.3.2 Obat Antihiperglikemia Suntik


Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan
kombinasi insulin.
a. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis Hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut,
stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
35
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Jenis dan Lama Kerja Insulin


Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :
 Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
 Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
 Insulin kerja menengah (Intermediate- acting insulin)
 Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
 Insulin kerja ultra panjang (Ultra long-acting insulin)
 Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja
cepat dengan menengah (Premixed insulin)

Tabel 2.9 Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja (Time


Course of Action)
Jenis Insulin Awitan Puncak Lama Kemasan
(onset) Efek Kerja
Insulin analog Kerja Cepat (Rapid-Acting)
Insulin Lispro (Humalog®) 5-15 1-2 jam 4-6 Pen
Insulin Aspart (Novorapid®) menit jam /cartridge
Insulin Glulisin (Apidra®) Pen, vial
Pen

Insulin manusia kerja pendek = Insulin Reguler (Short-Acting)


Humulin® R Actrapid® 30-60 2-4 jam Vial, pen /
menit 6-8 cartridge
jam

Insulin manusia kerja menengah = NPH (Intermediate-Acting)


Humulin N® Insulatard® 1,5–4 4-10 jam 8-12 Vial, pen /
Insuman Basal® jam jam cartridge

36
Insulin analog kerja panjang (Long-Acting)
Insulin Glargine (Lantus®) Hampir 12-24 Pen
Insulin Detemir (Levemir®) 1–3 jam tanpa jam
Lantus 300 puncak

Insulin analog kerja ultra panjang (Ultra Long-Acting)


Degludec (Tresiba®)* 30-60 Hampir tanpa Sampai 48
menit puncak jam

Insulin manusia campuran (Human Premixed)


70/30 Humulin® (70% NPH, 30% 30-60 3–12 jam
reguler) menit
70/30 Mixtard® (70% NPH, 30%
reguler)
Insulin analog campuran (Human Premixed)
75/25 Humalogmix® (75% 12-30 1-4 jam
protamin lispro, 25% lispro) menit
70/30 Novomix® (70% protamine
aspart, 30% aspart)
50/50 Premix
NPH:neutral protamine Hagedorn; NPL:neutral protamine lispro. Nama obat
disesuaikan dengan yang tersedia di Indonesia. *Belum tersedia di Indonesia

Pada lansia yang hanya menggunakan insulin basal, saatnya pemberian


insulin bukan hal yang penting. Jika kontrol gula darah atau glukosa postprandial
target tidak tercapai dengan pemberian basal insulin, maka dapat diberikan insulin
kerja singkat (short-acting). Namun, pada pemberian bolus insulin short acting,
saatnya makan merupakan faktor penting, dan sering menimbulkan masalah pada
pasien yang renta yang tidak dapat menyuntikkan insulinnya sendiri.24,31
Dibandingkan dengan insulin jenis lain, insulin analog paling mendekati
pola sekresi insulin endogen basal pada orang dewasa sehat. Walaupun demikian,

37
penggunaan insulin berhubungan dengan efek samping peningkatan berat badan
dan hipoglikemia. Dari berbagai studi dilaporkan bahwa efek samping
hipoglikemia lebih jarang terjadi pada penggunaan analog insulin (detemir dan
glargine) dibandingkan NPH. Sementara itu, didapati efek peningkatan berat
badan dengan nilai yang sama (+ 3 kg dalam 6 bulan) baik pada golongan analog
insulin maupun NPH.29,30
Bila kegagalan sel β pankreas mensekresi insulin sudah demikian parah,
diperlukan pemberian insulin untuk kontrol gula darah, sehingga insulin
memegang peranan penting dalam tata laksana DM. Lansia merupakan kelompok
populasi yang rentan terhadap efek samping hipoglikemia. Oleh sebab itu,
diperlukan edukasi bagi lansia dan pengasuhnya tentang pengenalan gejala
hipoglikemia dan penanganannya.29

b. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic


Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan
baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel-beta
sehingga terjadi peningkatan pelepasan insulin, mempunyai efek menurunkan
berat badan, menghambat pelepasan glukagon, dan menghambat nafsu makan.
Efek penurunan berat badan agonis GLP-1 juga digunakan untuk indikasi
menurunkan berat badan pada pasien DM dengan obesitas. Pada percobaan
binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek
samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan
muntah. Obat yang termasuk golongan ini adalah: Liraglutide, Exenatide,
Albiglutide, dan Lixisenatide.
Salah satu obat golongan agonis GLP-1 (Liraglutide) telah beredar di
Indonesia sejak April 2015, tiap pen berisi 18 mg dalam 3 ml. Dosis awal 0.6
mg perhari yang dapat dinaikkan ke 1.2 mg setelah satu minggu untuk
mendapatkan efek glikemik yang diharapkan. Dosis bisa dinaikkan sampai
dengan 1.8 mg. Dosis harian lebih dari 1.8 mg tidak direkomendasikan. Masa
kerja Liraglutide selama 24 jam dan diberikan sekali sehari secara subkutan.
Penggunaan obat golongan tingkat 2 berdasarkan konsensus ADA-
EASD tampaknya menjanjikan untuk tata laksana DM, namun masih
terbatasnya penelitian dan pengalaman klinis terhadap obat-obatan tersebut

38
menyebabkan penggunaannya masih terbatas. Oleh sebab itu, kelompok obat
ini belum dianjurkan untuk digunakan pada lansia.29

2.7.3.3 Terapi Kombinasi


Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam
penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak dini.
Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai dengan
dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons
kadar glukosa darah. Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara
terpisah ataupun fixed dose combination, harus menggunakan dua macam obat
dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran
kadar glukosa darah belum tercapai dengan kombinasi dua macam obat, dapat
diberikan kombinasi dua obat antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang
disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai,
terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat anti- hiperglikemia oral.
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan
pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang).
Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam menjelang tidur,
sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur.
Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah
yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk
kombinasi adalah 6-10 unit. kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar
glukosa darah puasa keesokan harinya. Dosis insulin dinaikkan secara perlahan
(pada umumnya 2 unit) apabila kadar glukosa darah puasa belum mencapai target.
Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali
meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi
insulin basal dan prandial, sedangkan pemberian obat antihiperglikemia oral
dihentikan dengan hati-hati.

39
Gambar 2.2 Kosensus Perkeni 2015 : Algoritme Pengelolaan DM Tipe 2 di
Indonesia
2.8 Aspek Khusus DM pada Lansia terkait Sindrom Geriatri
Selain manifestasi klinik yang telah disebutkan, pada lansia juga terdapat
aspek khusus berkenaan dengan DM yang dikenal dengan sindrom geriatri. Tata
laksana DM harus memperhatikan semua aspek dalam sindrom geriatri ini.
1. Depresi
Kejadian depresi pada lansia penderita DM adalah 2 kali lipat
dibandingkan dengan lansia pada umumnya, dan prevalensi pada wanita
lebih banyak (28%:18%). Sayangnya, depresi pada lansia ini seringkali
tidak terdeteksi.32,33 Depresi tentu meningkatkan biaya pelayanan
kesehatan dan memberi pengaruh buruk pada pengobatan DM karena tata
laksana DM yang efektif memerlukan partisipasi pasien. Sebuah studi
memperlihatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
keparahan depresi dan keberhasilan pengobatan. Jadi, tata laksana DM
kurang berhasil pada pasien yang menderita depresi. Mekanisme
hubungan antara DM dan depresi belum jelas, tetapi hiperglikemia dapat
menyebabkan depresi dan sebaliknya, depresi dapat menyebabkan
hiperglikemia. Metaanalisis dari 24 studi memperlihatkan bahwa terdapat

40
hubungan signifikan antara nilai HbA1C dan gejala depresi. Tata laksana
depresi dapat meningkatkan proporsi pasien dengan kontrol gula darah
yang baik.32
Karena depresi dapat mengganggu tata laksana DM, sebaiknya
dilakukan skrining berkala atas depresi pada lansia penderita DM. Saat ini
tersedia berbagai modalitas skrining antara lain Geriatric Depression
Scale, Beck Depression Inventory, atau Zung’s Mood Scale. Pada lansia
penderita DM yang mengalami depresi rekuren, perlu ditelaah kembali
obat yang diterimanya, adakah obat yang menyebabkan depresi di antara
obat-obatan tersebut.32,33
2. Gangguan Fungsi Kognitif
Berbagai studi telah melaporkan hubungan antara DM dan
gangguan fungsi kognitif yang meningkatkan risiko terjadinya demensia.
Hubungan gangguan fungsi kognitif pada lansia penderita DM cukup kuat,
dan wanita mengalami penurunan fungsi kognitif yang lebih bermakna
dibandingkan pria. Studi lain membuktikan bahwa lansia dengan kontrol
gula darah yang baik lebih lambat mengalami gangguan fungsi
kognitif.32,34
Seperti hal depresi, gangguan fungsi kognitif dapat menganggu
kemampuan pasien berpartisipasi dalam tata laksana DM, baik dalam hal
modifikasi gaya hidup maupun dalam minum obat. Oleh sebab itu, penting
dilakukan skrining atas gangguan fungsi kognitif pada awal pengobatan
dan setiap ada perubahan pada kemampuan lansia di dalam mengurus diri
sendiri.34,35

3. Keterbatasan Fisik dan Risiko Terjatuh


DM merupakan faktor risiko utama untuk gangguan fungsi tungkai
bawah, gangguan keseimbangan, dan kemampuan gerak. Dibandingkan
dengan lansia laninnya risiko keterbatasan fisik 2-3 kali lipat pada lansia
penderita DM, dan risiko ini lebih besar pada wanita . Dampak semua ini
adalah lebih banyak lansia wanita penderita DM yang mengalami jatuh
dan fraktur. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengkajian berkala terhadap

41
faktor risiko terjatuh pada lansia penderita DM agar dapat diupayakan
pencegahannya.33-35
4. Polifarmasi
Polifarmasi adalah penggunaan 5 atau lebih obat-obatan sekaligus.
Pada penderita DM, polifarmasi mungkin tak dapat dihindari karena selain
diperlukan untuk pengendalian gula darah, obat juga diperlukan untuk
mengatasi gangguan tekanan darah, dispipidemia, dan komplikasi
vaskular. Pada kenyataannya, selain meningkatkan risiko terjadinya efek
samping obat, pada lansia polifarmasi meningkatkan kerentanan terhadap
depresi, gangguan fungsi kognitif dan risiko terjatuh.33-35
Salah satu efek samping pada lansia penderita DM yang paling
serius adalah hipoglikemia. Predisposisi untuk keadaan ini antara lain
berupa makan tidak teratur, penurunan berat badan, aktivitas berlebih,
gangguan hati, gangguan ginjal, penggunaan alkohol, dan kebingungan
akan regimen pengobatan. Risiko ini terutama tinggi pada penggunaan
sulfonilurea atau insulin sekretogogue, maka sulfonilurea kerja panjang
tidak boleh digunakan pada lansia dengan DM. Pilihan obat untuk lansia
penderita DM tergantung dari fungsi hati, fungsi ginjal, obat lain yang
dipakai, dan kemampuan untuk monitor diri sendiri. Untuk
meminimalisasi risiko polifarmasi, daftar obat-obatan perlu ditinjau secara
berkala, yang tidak terlalu bermanfaat dapat dihentikan pemberiannya.33,34
5. Inkontinensia Urin
Kejadian inkontinensia urin meningkat pada lansia penderita DM, dan
wanita berisiko 2 kali lebih banyak daripada pria. Faktor yang berperanan
dalam hal ini antara lain poliuria, glikosuria, neurogenic bladder, infeksi
saluran kemih, efek samping pengobatan dan impaksi feces. Inkontinensia
urin persisten perlu dievaluasi dan diatasi karena dapat menurunkan
kualitas hidup dan memicu terjadinya isolasi sosial.33
6. Risiko Komplikasi Kronik pada Lansia Penderita DM
DM tipe 2 merupakan penyakit kronik dan dapat menimbulkan komplikasi
kronik, baik berupa komplikasi makrovaskular maupun mikrovaskular.
Dalam studi United Kingdom Prospective Diabetes Study tampak bahwa

42
dalam 9 tahun, 9% pasien DM mengalami komplikasi mikrovaskular dan
20% mengalami komplikasi makrovaskular, dan komplikasi
makrovaskular berupa aterosklerotik merupakan 75% penyebab kematian
pada DM tipe 2. Mereka yang tidak ada riwayat serangan jantung berisiko
mengalami infark miokard sama dengan pasien non-DM yang punya
riwayat serangan jantung. Ini menunjukkan bahwa DM merupakan faktor
risiko penyakit kardiovaskular. Komplikasi mikrovaskular antara lain
dapat berupa retinopati, nefropati, neuropati dan penyakit pembuluh darah
perifer. Kejadiannya berbanding lurus dengan lamanya menderita DM dan
kontrol gula darah yang buruk. Di AS, dilaporkan bahwa DM merupakan
penyebab kebutaan dan gagal ginjal utama.36
7. Tata Laksana Umum untuk Komplikasi Kronik DM
Lansia merupakan populasi yang rentan terhadap terjadinya
komplikasi kronik DM yang dapat menimbulkan morbiditas dan
mortalitas. Oleh sebab itu, tata laksana komprehensif terhadap lansia
penderita DM tidak dapat terlepas dari upaya untuk mencegah terjadinya
komplikasi kronik DM.
8. Kontrol Gula Darah
Dengan kontrol gula darah yang baik, risiko komplikasi
makrovaskular dapat dikurangi. Kontrol gula darah ini tidak perlu terlalu
ketat pada lansia mengingat risiko hipoglikemia pada lansia penderita DM.
Target kontrol gula darah ditentukan oleh status kesehatan serta
kemampuan fisik & mental.26

9. Kontrol Lemak Darah


DM dianggap sebagai faktor risiko yang setara dengan penyakit
jantung koroner, sehingga dislipidemia pada DM harus dikelola secara
agresif yaitu harus mencapai target kadar kolesterol LDL
10. Lain-Lain
Berhenti merokok. DM dan merokok merupakan faktor risiko
aterosklerotik yang bersinergi. Selain itu, merokok dapat mempercepat
timbulnya mikroalbuminuria yang dapat berkembang ke arah

43
makroproteinemia. Manfaat dari berhenti merokok untuk mencegah
komplikasi kronik DM diperoleh setelah 3-6 bulan dan seterusnya.26,36
Penggunaan aspirin. Aspirin sebanyak 75-162 mg dianjurkan untuk
digunakan sebagai pencegahan primer terhadap komplikasi kronik DM,
serta dianjurkan untuk pasien DM berusia >40 tahun dengan riwayat
keluarga menderita komplikasi DM atau mempunyai komponen sindrom
metabolik lain.36
Penggunaan penghambat β-adrenergik. Studi UKPDS
menunjukkan bahwa setelah infark miokard, pasien yang menyandang
kontraindikasi relatif terhadap peng-hambat βadrenergik (asma, penyakit
paru obstruktif kronik, tekanan darah rendah dan fraksi ejeksi ventrikel
kiri yang rendah) ternyata dapat mentoleransi dan memperoleh manfaat
kardioproteksi dari penggunaan penghambat β-adrenergik. Berdasarkan
studi ini, kecuali adanya kontraindikasi absolut (bradikardia, blok jantung,
hipotensi berat, gagal jantung yang tidak terkontrol, penyakit paru berat),
maka pasien DM degan riwayat infark miokard sebaiknya diberi
penghambat βadrenergik.26

2.9 Komplikasi13,14
2.9.1 Krisis Hiperglikemia
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes yang
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl),
disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas
plasma meningkat (300-320 mOs/ml) dan terjadi peningkatan anion gap. Status
Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH) adalah suatu keadaan dimana terjadi
peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dl), tanpa tanda dan
gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/ml),
plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.

2.9.2 Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah < 70 mg/dl.
Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa

44
adanya gejala-gejala sistem otonom, seperti adanya whipple’s triad: Terdapat
gejala-gejala hipoglikemia, kadar glukosa darah yang rendah, gejala berkurang
dengan pengobatan.
Sebagian pasien dengan diabetes dapat menunjukkan gejala glukosa
darah rendah tetapi menunjukkan kadar glukosa darah normal. Di lain pihak,
tidak semua pasien diabetes mengalami gejala hipoglikemia meskipun pada
pemeriksaan kadar glukosa darahnya rendah. Penurunan kesadaran yang
terjadi pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan
disebabkan oleh hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat
berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan
waktu kerja obat telah habis. Pengawasan glukosa darah pasien harus
dilakukan selama 24-72 jam, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik
atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang. Hipoglikemia pada
usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya
yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien.
Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan
pengawasan yang lebih lama.
Tabel 2.10 Tanda dan Gejala Hipoglikemia pada Orang Dewasa
Tanda Gejala
Pucat, takikardia,
Autonomik Rasa lapar, berkeringat, gelisah, widened pulse-
paresthesia, palpitasi, Tremulousness pressure

Lemah, lesu, dizziness, pusing, Cortical-blindness,


Neuroglikopenik confusion, perubahan sikap, gangguan hipotermia, kejang,
kognitif, pandangan kabur, diplopia koma

Rekomendasi pengobatan hipoglikemia:


Hipoglikemia Ringan:
1. Pemberian konsumsi makanan tinggi glukosa (karbohidrat sederhana)

45
2. Glukosa murni merupakan pilihan utama, namun bentuk karbohidrat lain
yang berisi glukosa juga efektif untuk menaikkan glukosa darah.
3. Makanan yang mengandung lemak dapat memperlambat respon kenaikkan
glukosa darah.
4. Glukosa 15–20 g (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air adalah
terapi pilihan pada pasien dengan hipoglikemia yang masih sadar.
5. Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan setelah 15
menit pemberian upaya terapi. Jika pada monitoring glukosa darah 15
menit setelah pengobatan hipoglikemia masih tetap ada, pengobatan dapat
diulang kembali.
6. Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai normal,
pasien diminta untuk makan atau mengkonsumsi snack untuk mencegah
berulangnya hipoglikemia.

Pengobatan pada hipoglikemia berat:


1. Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral diperlukan berupa
pemberian dekstrose 20% sebanyak 50 cc (bila terpaksa bisa diberikan
dextore 40% sebanyak 25 cc), diikuti dengan infus D5% atau D10%.
2. Periksa glukosa darah 15 menit setelah pemberian i.v tersebut. Bila kadar
glukosa darah belum mencapai target, dapat diberikan ulang pemberian
dextrose 20%.
3. Selanjutnya lakukan monitoring glukosa darah setiap 1- 2 jam kalau
masih terjadi hipoglikemia berulang pemberian Dekstrose 20% dapat
diulang
4. Lakukan evaluasi terhadap pemicu hipoglikemia.

2.9.3 Makroangiopati

46
a. Pembuluh darah jantung: penyakit jantung coroner: Kardiomiopati yang
diinduksi-DM terutama terkait dengan dislipidemia dan peningkatan
tekanan darah. Perkembangan fibrosis jantung yang menonjol terkait
dengan kardiomiopati semakin ditingkatkan dengan produksi berlebihan
radikal bebas oksidatif yang mengganggu sel-sel miokard, yang
menyebabkan disregulasi homeostasis kalsium seluler, disfungsi
kontraktilitas, remodeling miokardium dan selanjutnya, kematian
kardiomiosit. Stres oksidatif menghambat sistem proteksi antioksidan
pada pasien diabetes
b. Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer yang sering terjadi pada
penyandang DM. Gejala tipikal yang biasa muncul pertama kali adalah
nyeri pada saat beraktivitas dan berkurang saat istirahat (claudicatio
intermittent), namun sering juga tanpa disertai gejala. Ulkus iskemik pada
kaki merupakan kelainan yang dapat ditemukan pada penderita.
c. Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke hemoragik.

2.9.4 Mikroangiopati
a. Retinopati diabetic: Hiperglikemia dapat menginduksi retinopati diabetik
melalui stimulasi Protein Kinase-C (PKC). Aktivasi PKC dapat
mengakibatkan peningkatan banyak jalur metabolisme, stimulasi
pertumbuhan sel dan apoptosis, dan meningkatkan permeabilitas seluler.
Hiperglikemia dan keadaan stres oksidatif terkait dengan retinopati diabetik
juga merangsang faktor pertumbuhan apoptosis tertentu yang dapat
berkontribusi terhadap pembentukan katarak diabetik. Selain itu,
peningkatan kadar glukosa dalam sel retina pada individu diabetes dapat
menyebabkan peningkatan risiko retinopati dan kebutaan yang
menyertainya.
b. Nefropati diabetic: Nefropati diabetik berhubungan dengan gangguan
morfologis dari barrier/pembatas sel endotel glomerulus dan membran
daskar glomerulus. hal ini dapat mengarah pada peningkatan filtrasi protein
dalam urin, yang mencerminkan penurunan protein pada pasien diabetes.
Stres oksidatif pada DM dapat menginduksi ekspresi gen angiotensinogen,

47
yang menyebabkan gangguan fungsi ginjal. Indikator awal nefropati
diabetes adalah peningkatan ekskresi albumin urin
c. Neuropati: Pada neuropati perifer, hilangnya sensasi distal merupakan
faktor penting yang berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki yang
meningkatkan risiko amputasi. Gejala yang sering dirasakan berupa kaki
terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan terasa lebih sakit di malam hari.
Setelah diagnosis DMT2 ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan
skrinning untuk mendeteksi adanya polineuropati distal yang simetris
dengan melakukan pemeriksaan neurologi sederhana (menggunakan
monofilamen 10 gram). Pemeriksaan ini kemudian diulang paling sedikit
setiap tahun. Pada keadaan polineuropati distal perlu dilakukan perawatan
kaki yang memadai untuk menurunkan risiko terjadinya ulkus dan amputasi
Pemberian terapi antidepresan trisiklik, gabapentin atau pregabalin dapat
mengurangi rasa sakit. Semua penyandang DM yang disertai neuropati
perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko
ulkus kaki.

BAB III

48
PEMBAHASAN

Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit metabolik yang


disebabkan oleh banyak faktor penyebab, yang ditandai dengan peningkatan kadar
glukosa darah secara kronik yang disertai gangguan metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, aksi dari insulin
atau keduanya.
Lansia merupakan populasi yang rentan terhadap gangguan metabolisme
karbohidrat yang dapat muncul sebagai Diabetes Mellitus (DM), tetapi gejala
klinis DM pada lansia seringkali bersifat tidak spesifik. DM pada lansia seringkali
tidak disadari hingga munculnya penyakit lain atau baru disadari setelah
terjadinya penyakit akut. Oleh sebab itu, upaya diagnosis dini melalui skrining
terhadap DM pada lansia perlu dilakukan.
Diagnosis maupun tata laksana DM pada lansia tidak berbeda dengan pada
populasi lainnya. Rekomendasi tata laksana DM yang banyak digunakan saat ini
adalah konsensus ADA-EASD (2008) yang membagi obat-obatan untuk
tatalaksana DM menjadi 2 tingkat dan 3 langkah. Namun, lansia merupakan
kelompok yang rentan terhadap terjadinya efek samping obat-obatan. Oleh sebab
itu, dalam tata laksana DM pada lansia tidak dianjurkan menggunakan obat-
obatan tingkat 2 yang belum banyak diteliti.
Tata laksana DM pada lansia tidak hanya bertujuan mencapai kadar gula
darah yang baik, tetapi mencegah komplikasi kronik DM baik komplikasi
makrovaskular maupun mikrovaskular. Aspek khusus yang dikenal dengan nama
sindrom geriatri yang juga harus mendapat perhatian. Jadi, tata laksana DM pada
lansia harus dilakukan secara komprehensif.

DAFTAR PUSTAKA

49
1. WHO. Global Report On Diabetes. France: World Health Organization;
2016
2. Riset Kesehatan Dasar. 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan.
Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.)
3. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis
dan strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta :
balai penerbit FKUI, 2006; 1906)
4. American Diabetes Association. Diagnosis and classification of diabetes
mellitus. Diabetes Care 2012;35:S64–71.
5. Riset Kesehatan Dasar. 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan.
Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.

6. Baynest HW. Classification, Pathophysiology, Diagnosis and Management


of Diabetes Mellitus. J Diabetes Metab 2015, 6(5); 1-9
7. Z. Punthakee et al. 2018 Clinical Practice Guidelines: Definition,
Classification and Diagnosis of Diabetes, Prediabetes and Metabolic
Syndrome. Can J Diabetes. 2018; 10–15.
8. Patidar D. Pharmacology- III. (2ndedtn). Meerut: Shree Sai Prakashan.
2011; 113 – 4.
9. Ozougwu JC, Obimba KC, Belonwu CD, Unakalamba CB. The
pathogenesis and pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes mellitus.
J. Physiol. Pathophysiol. 2013; 4(4): 46-57.
10. Holt RI. Diagnosis, epidemiology and pathogenesis of diabetes mellitus:
an update for psychiatrists. Br J Psychiatry Suppl. 2004; 47: S55-63.
11. Ralph A. DeFronzo. From the Triumvirate to the Ominous Octet: A New
Paradigm for the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009;
58: 773-795
12. Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis. Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: EGC; 2012.
13. PERKENI. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus.
Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB PERKENI; 2015

50
14. Lotfy M, Adeghate J, Kalasz H, Singh J, Adeghate E. Chronic
Complications of Diabetes Mellitus: A Mini Review. Current Diabetes
Reviews. 2017; 13: 3-10.
15. Rochmah W. Diabetes Mellitus pada Usia Lanjut. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI;
2007.p.1915-18.
16. Kane RL, Ouslander JG, Abrass RB, Resnick B. Essentials of Clinical
Geriatrics. 6th ed. New York: McGraw Hill; 2009.p.363- 70.
17. Subramaniam I, Gold JL. Diabetes Mellitus in Elderly. J Indian Acad Geri.
2005;2:77-81. Available from: http://www.jiag.org/ sept/diabetes.pdf
18. Chau D, Edelman SV. Clinical Management of Diabetes in the Elderly.
Clin Diab. 2001.
Available from: http://clinical.diabetes journals.org/content/19/4/172.full
19. Burduli M. The Adequate Control of Type 2 Diabetes Mellitus in an
Elderly Age. 2009.
Available from: http://www.gestosis.ge/ eng/pdf_09/Mary_Burduli.pdf
20. Sclatter A. Diabetes in the Elderly: The Geriatrician’s Perspective. Can J
Diab. 2003;27(2):172-5.
Available from: http:// www.diabetes.ca/files/ElderlySclaterJune03.pdf
21. Ganesan VS, Balaji V, Seshaiah V. Diabetes in the Elderly. Int J Diab Dev
Countries. 1994;14:119-23.
Available from: http:// www.rssdi.org/1994_oct-dec/review_article1.pdf
22. Meneilly GS, Tessier D. Diabetes in Elderly Adults. J
Gerontol.2001;56A(1):M5-11.Available from:
http://biomedgerontology.oxfordjournals.org/content/full/56/1/M5
23. American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes
2010. Diabetes Care. 2010;33(1):S11-4.
Available from: http://care.diabetesjournals.org/content/33/Supplement_1/
S11.extract
24. British Geriatric Society. Best Practice Guide: Diabetes. 2009.

51
Available from: http://www.bgs.org.uk/Publications/Publication
%20Downloads/good_practice_full/Diabetes_6-4.pdf
25. Gupta V, Suri P. Diabetes in Elderly Patients. JK Practitioner.
2002;91(4):258-9.
Available from: http://medind.nic.in/jab/t02/ i4/jabt02i4p258o.pdf
26. Wallace JI. Management of Diabetes in the Elderly. Clin Diab.
1999;17(1). Available from:
http://journal.diabetes.org/ clinicaldiabetes/v17n11999/Pg19.htm
27. Lee FT. Advances in Diabetes Therapy in the Elderly. J Pharm Pract Res
2009;39:63-7.
Available from: http://jppr.shpa.org.au/ lib/pdf/gt/2009-03_Lee_GT.pdf
28. McCulloh DK. Management of persistent hyperglycemia in type 2
diabetes mellitus. 2010. Available from:
http://www.uptodate.com/home/content/topic.do?topicKey=diabetes/
24304
29. McGill JB. Selecting among ADA/EASD tier 1 and tier 2 treatment
options. J Fam Prac. 2009;58(9):S26-S34.
Available from: http://findarticles.com/p/articles/mi_m0689/is_9_58/ai_n
35672335/
30. Nathan DM, Buse JB, Davidson MB, Heine RJ, Holman RR, Sherwin R.
Management of Hyperglycemia in Type 2 Diabetes: A Consensus
Algorithm for the Initiation and Adjustment of Therapy. Diabetes Care.
2009;27(1):6-14.
Available from: http:/ /care.diabetesjournals.org/content/32/5/e59.full
31. Barnett AH. Tablet and insulin therapy in type 2 diabetes in the elderly. J
Royal Soc Med. 1994;87:612-614. Available from: http:/
/www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1294855/pdf/ jrsocmed00080-
0054.pdfAdjustment of Therapy. Diabetes Care. 2009;27(1):6-14.
Available from: http:/ /care.diabetesjournals.org/content/32/5/e59.full
32. Pinkstaff SM. Aging with Diabetes-An Underappreciated Cause of
Progressive Disability and Reduced Quality of Life. Clin Geri.
2004;12(9):45-53.

52
Available from: http://www. clinicalgeriatrics. com/article/3441
33. Brown AF, Mangione CM, Saliba D, Sarkisian CA. Guidelines for
Improving the Care of the Older Person with Diabetes Mellitus. JAGS
2003;51:S265-75. Available from:
http://www.americangeriatrics.org/products/positionpapers/JAGSfinal05.p
df
34. Diabetes in Elderly Patients. ACP Diabetes Care Guide. 2007. p.98-101.
Available from:
http://diabetes.acponline.org/custom_
resources/ACP_DiabetesCareGuide_Ch14.pdf
35. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanisme Terjadinya,
Diagnosis dan Strategi Pengelolaan. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2007.p.1884- 8.

53

Anda mungkin juga menyukai